• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. cara pemilik budaya tersebut memandang dunia, termasuk pesimisme atau

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. cara pemilik budaya tersebut memandang dunia, termasuk pesimisme atau"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

I. A. LATAR BELAKANG MASALAH

Kebudayaan pada dasarnya memberikan pemahaman tentang dunia, yaitu cara pemilik budaya tersebut memandang dunia, termasuk pesimisme atau optimisme. Selanjutnya pemahaman tentang dunia tersebut memberikan pemahaman tentang manusia dan perilaku serta nilai-nilai yang mendasarinya. Kebudayaan menentukan perilaku individu, selain berpotensi untuk menggerakkan dan mendorong perilaku individu yang hidup di dalamnya, kebudayaan dapat mengekang atau menahan individu untuk berperilaku tertentu (Harahap dan Siahaan, 1987). Pemantapan perilaku tersebut dapat terlaksana dengan baik melalui proses enkulturasi bahasa, sistem kekerabatan, kepercayaan, upacara ritual, dan nilai-nilai dalam keluarga maupun masyarakat (Purba, 2004).

Koentjaraningrat (1980) mengatakan bahwa individu sejak kecil telah dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya yang ada dalam masyarakatnya, sehingga hal itu sejak lama telah berakar dalam alam jiwanya dan tidak dapat diganti dengan nilai-nilai budaya lain dalam waktu singkat. Proses pemberian pengaruh itu merupakan proses internalisasi nilai budaya yang terjadi sepanjang hidup. Individu belajar menanamkan dalam kepribadiannya segala perasaan, hasrat, nafsu serta emosi yang diperlukan sepanjang hidupnya.

Dalam budaya seseorang, self dilihat sebagai kesatuan batasan lahiriah yang tetap dari beberapa atribut internal, termasuk kebutuhan, kemampuan, motivasi,

(2)

membentuk perilaku, pikiran, dan perasaan individu secara tidak langsung melalui konsep dirinya. Budaya yang berbeda menghasilkan konsep diri yang berbeda pada anggota-anggotanya yang kemudian mempengaruhi semua aspek-aspek lain dari perilaku individu (Matsumoto dan Juang, 2004).

Matsumoto dan Juang (2004) juga menambahkan bahwa kekhasan suatu budaya dapat dilihat dari proses marah yang terjadi pada masyarakatnya karena setiap budaya memiliki nilai-nilai budaya dan aturan yang khas tentang cara individu dalam budaya tersebut menghayati suatu stimulus yang memicu munculnya kemarahan, dan cara mengekspresikan kemarahannya. Dewi (2004) memberi contoh fenomena yang terjadi di Indonesia, yakni orang akan marah ketika orang lain yang usianya jauh lebih muda memanggilnya dengan menggunakan nama saja, tanpa diawali kata sapaan seperti ‘kakak’, ‘ibu’, ataupun ‘bapak’. Hal ini tidak berlaku pada kebanyakan orang Amerika, sehingga dapat disimpulkan bahwa cara memanggil dengan menggunakan hanya nama dapat menjadi penyebab munculnya kemarahan pada orang Indonesia yang tidak berlaku bagi orang Amerika. Lebih lanjut Dewi mengatakan bahwa latar belakang budaya yang berbeda mengakibatkan pengalaman, ekspresi, dan kontrol marah yang berbeda pula. Hal ini dibuktikan dalam penelitiannya yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan mengenai anteseden kemarahan interpersonal, trait-anger, anger expression-in, anger expression control-out, dan

anger expression control-in pada orang Batak dan orang Jawa. Orang Batak

terlihat ekspresif dalam mengungkapkan rasa marahnya dan trait-anger cukup sering muncul terutama pada Batak laki-laki.

(3)

Suku bangsa Batak Toba adalah salah satu dari enam suku bangsa Batak yang terdiri dari Batak Toba, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Pakpak/Dairi, Batak Mandailing, dan Batak Angkola (Sibeth, 1991; Bangun dalam Koentjaraningrat, 2002). Suku bangsa Batak Toba berdiam di Kabupaten Tapanuli Utara yang wilayahnya meliputi Ajibata (berbatasan dengan Parapat), Pulau Samosir, Pakkat, serta Sarulla. Kabupaten Tapanuli Utara sendiri telah dimekarkan menjadi beberapa Kabupaten yakni Kabupaten Tapanuli Utara (ibukota Tarutung), Kabupaten Toba Samosir (ibukota Balige), Kabupaten Samosir (ibukota Pangururan), Kabupaten Humbang (ibukota Siborong-borong), Kabupaten Humbang Hasundutan (ibukota Dolok Sanggul) (Wikipedia, 2007). Selain di daerah-daerah tersebut, suku bangsa Batak Toba juga banyak tersebar di Pematangsiantar dan menjadi suku bangsa mayoritas di Pematangsiantar. Hal ini terbukti dari sensus penduduk yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) kota Pematangsiantar tahun 2006. Berikut ini disajikan tabel jumlah penduduk kota Pematangsiantar dirinci menurut suku bangsa dan kecamatan.

Tabel 1. Jumlah Penduduk Kota Pematangsiantar Dirinci Menurut Suku Bangsa dan Kecamatan

Kecamatan/ Distrik

Suku Bangsa

Melayu Karo Simalungun Toba Mandailing Pakpak

Siantar Marihat 37 680 1.150 26.602 654 30 Siantar Selatan 28 1.088 1.345 14.142 441 13 Siantar Barat 688 367 1.666 8.954 4.646 17 Siantar Utara 317 321 3.885 24.303 4.042 39 Siantar Timur 190 1.134 4.683 26.448 1.784 100 Siantar Martoba 394 811 3.806 17.203 2.441 51 Jumlah 1.654 4.401 16.490 117.652 14.008 250

(4)

Lanjutan.... Kecamatan/

Distrik

Suku Bangsa

Nias Jawa Minang Cina Aceh Lainnya

Siantar Marihat 150 2.904 31 28 34 256 Siantar Selatan 100 1.300 126 2.667 13 437 Siantar Barat 126 21.371 1.769 3.052 263 5.132 Siantar Utara 137 8.700 2.965 1.688 91 4.499 Siantar Timur 298 5.380 526 1.865 101 1.363 Siantar Martoba 265 23.745 566 269 212 962 Jumlah 1.076 63.400 5.974 9.569 714 12.649

Sumber: Badan Pusat Statistik kota Pematangsiantar tahun 2007

Berdasarkan hasil wawancara dengan Praeses1 HKBP2 (Huria Kristen Batak

Protestan) Distrik V Sumatera Timur3(termasuk kota Pematangsiantar), Pendeta

DR. Plasthon Simanjuntak, tanggal 3 Mei 2008, mengungkapkan bahwa adat Batak Toba di kota Pematangsiantar masih cukup kuat/kental, terlihat pada pola hidup dan pesta-pesta seperti pesta pernikahan yang diselenggarakan sesempurna mungkin sesuai aturan adat Batak Toba, tanpa ada penyederhanaan adatnya. Plasthon Simanjuntak juga menjelaskan bahwa suku bangsa Batak Toba yang ada di Pematangsiantar pada dasarnya berasal dari tanah asal suku bangsa Batak Toba yaitu Tapanuli Utara, dan umumnya bukan berasal dari kaum intelektual.

Suku bangsa atau etnis dapat diartikan sebagai identitas sosial, berasal dari garis keturunan atau budaya asal, yang juga dipengaruhi oleh budaya di lingkungan tempat tinggalnya (Helms dalam Dalton, Elias, dan Wandersman, 2001). Suku bangsa seseorang tampak dalam bahasa, adat, nilai-nilai, ikatan sosial, dan berbagai aspek lain dari subjektif budaya, bukan dari penampilan fisiknya (Feagin & Feagin dalam Dalton, Elias, dan Wandersman, 2001). Suku bangsa Batak Toba adalah individu yang berasal dari (keturunan) suku bangsa Batak Toba, dan etnis ini menganut sistem patrilineal (garis keturunan ayah),

(5)

sehingga marga yang dimiliki seorang anak suku bangsa Batak Toba adalah berasal dari marga ayahnya.

Konsep dasar kebudayaan Batak adalah Dalihan Na Tolu yang artinya tiga tiang tungku atau tiga status sosial. Ketiga status sosial tersebut adalah Hula-hula (pihak keluarga ibu atau pemberi istri), Boru (keluarga saudara perempuan atau penerima istri), dan Dongan Tubu (anggota keluarga yang berasal dari satu keturun atau teman semarga). Falsafah hidup suku bangsa Batak Toba yang berlandaskan Dalihan Na Tolu ini mencakup “Somba marhula-hula, elek

marboru, manat mardongan tubu” yaitu hormat pada Hula-hula, ramah dengan

melakukan pendekatan/membujuk Boru, dan berhati-hati dalam menjaga hubungan baik dengan teman semarga. Ketiga status sosial tersebut akan dijalani oleh setiap suku bangsa Batak Toba (yang sudah menikah, suami dan istri) sehingga hubungan kekerabatan berupa Dalihan Na Tolu mendidik suku bangsa Batak Toba menjadi orang yang demokratis dan terbuka. Dalam kehidupan sehari-hari, konsep Dalihan Na Tolu ini dipegang teguh dan hingga kini menjadi landasan kehidupan sosial dan bermasyarakat di lingkungan suku bangsa Batak Toba. Sistem kekerabatan tersebut tidak bertujuan menciptakan sistem kelas atau kasta melainkan untuk membangun hubungan saling mengasihi dan menghormati agar tetap bersatu dan bekerjasama (Harahap dan Siahaan, 1987; Simanjuntak, 2000).

Simanjuntak (2000) menjelaskan bahwa demokrasi dalam suku bangsa Batak Toba diartikan sebagai demokrasi yang kolektif, yaitu cara/seni yang mampu mengharmonisasikan perasaan individu dengan keiinginannya. Ketiga

(6)

status sosial dalam Dalihan Na Tolu mengindikasikan bahwa Hula-hula memiliki status khusus atau paling tinggi. Hal ini dikarenakan suku bangsa Batak Toba percaya bahwa Hula-hula adalah sumber berkat dan perlindungan bagi Boru. Hal inilah pula yang mengharuskan Boru memberikan hormat pada Hula-hula dan menganggap Hula-hula sebagai ‘raja’ atau pemimpin. Hula-hula disisi lain diharapkan membina hubungan yang baik dengan Boru secara persuasi/membujuk. Hula-hula diharapkan berhati-hati menjalankan fungsinya sebagi ‘raja’, bukan berarti Hula-hula memiliki posisi yang tinggi dapat memperlakukan Boru secara bebas karena Boru adalah pendukung kehidupan

Hula-hula. Semakin banyak Boru, maka dapat diartikan semakin besar kekuasaan Hula-hula, dan tanpa ada Boru, Hula-hula tidak memiliki arti karena tidak

memiliki kekuasaan. Budaya Batak Toba juga mengajarkan seseorang untuk berhati-hati dengan Dongan Tubu. Dongan Tubu merupakan saudara sehingga memiliki status, hak, dan kewajiban yang sama. Kesamaan atau kesetaraan tersebut sering menjadi motivator Dongan Tubu untuk bersaing mendapatkan hak, status, kehormatan, dan sebagainya, yang kemudian berpeluang besar menimbulkan konflik. Itulah sebabnya setiap orang berhati-hati dalam menjaga hubungan baik dengan Dongan Tubu.

Kemandirian suku bangsa Batak Toba di dalam Dalihan Na Tolu menghasilkan potensi konflik yang tinggi berupa keinginan untuk bersaing dan lebih lanjut menghasilkan pula rasa iri dan dengki yang dalam. Perasaan tersebut dalam bahasa Batak Toba dikenal dengan hosom (dendam), elat (dengki, iri), late (dengki, iri) dan teal (sombong) (Harahap dan Siahaan, 1987). Irmawati (2007)

(7)

menjelaskan bahwa perasaan tersebut juga membuat suku bangsa Batak Toba sulit menyatakan dirinya telah gagal.

DR. Plasthon Simanjuntak menyatakan bahwa tingginya emosi (emosional) yang ditemukan pada suku bangsa Batak Toba tidak lepas dari budayanya yaitu terbuka dalam segala hal. Hal ini terungkap dalam pribahasa Batak Toba yang berbunyi: “Si boru puasi, si boru bakkara. I si puas i si soada

mara”, artinya bila sudah terbuka persoalan maka disitu ada jalan keluarnya. Pada

satu sisi hal tersebut dapat mempercepat penyelesaian konflik namun di sisi lain menciptakan benturan fisik yang dapat menimbulkan tindak kekerasan atau agresivitas. Lebih lanjut ia membandingkannya dengan suku bangsa Batak Simalungun yang memiliki kontrol diri lebih tinggi dan tidak terbuka menyelesaikan konflik sehingga benturan lebih terhindari. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa suku bangsa Batak Toba pada umumnya kurang memiliki kontrol diri.

Selain konsep Dalihan Na Tolu terdapat pula sembilan nilai budaya Batak yang mencakup segala aspek kehidupan orang Batak yaitu kekerabatan, religi (haporseaon atau ketaatan kepada Tuhan), hagabeon, hukum, kemajuan, konflik,

hamoraon, hasangapon, dan pengayoman. Tiga dari nilai tersebut dipandang

sebagai misi budaya suku Batak, yaitu hagabeon (anak), hamoraon (kekayaan), dan hasangapon (kehormatan), yang dalam pembahasan selanjutnya disingkat dengan misi budaya 3H. Misi budaya tersebut juga dituangkan dalam lagu yang diciptakan oleh Nahum Situmorang berjudul Marragam-ragam, berikut ini kutipan syairnya:

(8)

Marragam-ragam do sita-sita di hita manisia

Marasing-asing do anggo pangidoan di ganup-ganup jolma Hamoran, Hagabeon, Hasangapon ido dilului na deba Inna deba asalma tarbarita goarna tahe....

DR. Plasthon Simanjuntak menyatakan hasangapon adalah cita-cita suku bangsa Batak Toba yang dicapai dengan adanya hagabeon dan hamoraon. Konsep hasangapon ini menyatu dengan ide-ide dan beritegrasi dengan kepribadin suku bangsa Batak Toba. Akhirnya kesemua nilai itu menampilkan sosok suku bangsa Batak Toba yang dinamik, keras, dan ulet dalam kemandirian namun menyatu dalam kebersamaan dan berkonflik secara serentak (Harahap dan Siahaan, 1987).

Adanya konflik dalam kebersamaan merupakan hal yang unik dalam kepribadian suku bangsa Batak Toba, yang bagi suku non-Batak sukar difahami. Oleh sebab itu hubungan suku bangsa Batak Toba dengan suku bangsa lain sering menimbulkan salah pengertian. Kebebasan mengemukakan pendapat pada suku bangsa Batak Toba mungkin akan mengalami benturan bila suku bangsa Batak Toba terlibat dalam masalah yang menyangkut diri orang lain dari suku bangsa lain yang menganut budaya hubungan manusia atas-bawah dan tertutup. Suku bangsa Batak Toba dapat saja memberi kesan kepada suku lain sebagai orang yang suka turut campur urusan orang lain, atau melanggar tata krama sopan santun, meskipun menurut ukuran nilai budaya tradisional suku bangsa Batak Toba, keterlibatan itu adalah wajar atau bahkan wajib (Harahap dan Siahaan, 1987).

Junjungan dan Zulkifli (dalam Lubis, 2005) menjelaskan bahwa bukti sejarah menunjukkan sejak dahulu suku bangsa Batak Toba selalu terlibat konflik. Konflik yang dimaksud adalah perselisihan. Pihak-pihak yang berselisih tidak

(9)

hanya bermaksud memperoleh barang yang diinginkan, melainkan juga memojokkan, merugikan, atau menghancurkan lawan mereka. Sedemikian seringnya terjadi konflik, sehingga tidak heran muncul anggapan sinis yang mengatakan bahwa suku bangsa Batak Toba senang berkelahi dan bahkan terdapat stereotip yang mendukung penilaian yang demikian, yaitu cara berbicara atau berkomunikasi suku bangsa Batak Toba yang keras, sering penuh emosi dan amarah. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Dewi (2005) yang menunjukkan bahwa suku Batak tampak lebih ekspresif menunjukkan rasa marahnya. Sebagai tambahan, Harahap dan Siahaan (1987) mengatakan bahwa suku bangsa Batak Toba lebih agresif dibanding suku Batak Angkola-Mandailing.

Nadapdap (dalam Lubis, 2005) menggambarkan bahwa secara umum pada diri manusia Batak Toba terdapat dualisme kepribadian. Di satu sisi mereka adalah manusia yang senang bekerja, senang mengumpulkan harta, senang mengabdi pada Tuhan, mencintai masyarakat, dan pandai bergaul. Di sisi lain mereka juga adalah manusia yang pencemburu, pesaing, tidak kenal kompromi dan belas kasihan, serta sering bertindak destruktif, yakni mencari segala macam cara untuk bisa merusak bahkan melenyapkan harta dan atau nama baik orang yang menjadi saingannya.

Penjelasan mengenai nilai-nilai suku bangsa Batak Toba yang memunculkan perilaku-perilaku khusus pada orang Batak Toba di atas dapat menggambarkan kepribadian suku bangsa Batak Toba. Pervin (2005) menjelaskan bahwa kepribadian mengacu pada beberapa karakteristik seseorang dari sejumlah pola-pola perasaan, pikiran dan perilaku yang konsisten. Dalam psikologi,

(10)

kepribadian secara umum dipandang sebagai kumpulan karakter perilaku dan kognitif, trait atau predisposisi seseorang yang relatif menetap pada berbagai situasi, konteks, dan dalam berhubungan dengan orang lain, serta membentuk perbedaan individual (Matsumoto dan Juang, 2004).

Hal yang perlu diperhatikan ketika melihat konstruk kepribadian dalam suatu budaya adalah indigenous personality dan cultural psychology. Indigenous

personality (kepribadian pribumi) merupakan kumpulan trait kepribadian dan

karakteristik yang ditemukan hanya pada budaya tertentu. Cultural psychology (psikologi budaya) dan kepribadian bukanlah hal yang terpisah, melainkan merupakan sistem yang saling menguntungkan, masing-masing memelihara dan membentuk yang lain atau dengan kata lain saling mempengaruhi dan dipengaruhi (Matsumoto dan Juang, 2004). Hasil penelitian menggunakan Big Five

Personality atau yang dikenal juga dengan Five Factor Model (FFM),

menunjukkan tampilan kepribadian yang berbeda pada budaya yang berbeda (Santrock, 2003). Cina, Jepang dan Filipina menunjukkan openness yang rendah (De Raad dalam Pervin, 2005). Penelitian menggunakan trait personality pada budaya Asia menunjukkan mereka lebih membiasakan diri pada hubungan individual dengan keluarga dan kelompok sosial dari pada trait kepribadian individu yang tertutup (Pervin, 2005). Penelitian lain menyatakan orang dewasa di Hong Kong rendah pada extroversion daripada di Inggris dan pada anak-anak di Hong Kong rendah pada extroversion dan neuroticism daripada di Inggris (Matsumoto dan Juang, 2004).

(11)

Teori yang menggambarkan kekonsistenan kepribadian adalah Trait

Theory oleh Allport (dalam Lahey, 2005). Trait adalah pola perilaku (pikiran,

tindakan, dan perasaan) yang relatif menetap untuk semua situasi. Penggambaran kepribadian melalui teori trait secara lengkap diungkap dengan five basic trait (Ashton, dkk. dalam Lahey, 2005), yang dikenal dengan Big Five Personality

traits. Penggambaran ini diuraikan dalam lima dimensi Big Five Personality, yaitu neuroticism, extraversion, opennes to experience, agreeableness, dan concientiousness.

Big Five Personality adalah konsep model yang dibuat berdasarkan

dimensi kepribadian yang jelas dan mendasar yang tampil universal untuk semua orang. Model ini diawali oleh berbagai penelitian Eysenk dengan menggunakan EPQ yang banyak mendukung bahwa extroversion dan neuroticism bersifat stabil, skala kepribadian yang universal. Berbagai penelitian lintas budaya mengenai validitas FFM belakangan ini dilakukan untuk mendukung universalitas tersebut, termasuk pula penelitian ini. Universalitas FFM menggambarkan bahwa semua manusia memiliki struktur kepribadian yang mirip yang dapat dikarakteristikkan oleh lima trait atau dimensi Big Five Personality tersebut (Matsumoto dan Juang, 2004).

Peneliti kepribadian, sama seperti ilmu-ilmu lain, mengandalkan pengukuran data konkrit yang dapat digunakan untuk menguji “what people are

like”. Dalam hal inilah Big Five memegang peranan penting. Big Five mula-mula

berasal dari dua tim penelitian yang berdiri sendiri di tahun 1970-an—Paul Costa dan Robert McCrae (di National Institutes of Health), dan tim lainnya yaitu

(12)

Warrent Norman (di University of Michigan) dan Lewis Goldberg (di University of Oregon)—yang melakukan cara sedikit berbeda dengan hasil sama: kebanyakan trait kepribadian manusia dapat dipersempit menjadi lima dimensi kepribadian, tanpa memperhatikan bahasa maupun budaya. Kelima dimensi ini diperoleh dengan menanyakan ribuan orang dengan ratusan pertanyaan kemudian menganalisa data menggunakan prosedur statistik yang dikenal dengan analisa faktor (outofservice, 2002). Big Five dibangun menggunakan pendekatan Lexical Hypothesis yang menyatakan bahwa hampir semua perbedaan kepribadian orang yang menonjol dan tampak dalam kehidupannya dikenal dalam bahasanya (wikipedia, 2007).

Big Five merupakan model gambaran kepribadian yang secara empiris

berdasarkan fenomena, bukan teori, sehingga dapat digunakan dalam berbagai area penelitian psikologis (Srivastava, 2008; wikipedia, 2007). Kelima faktor Big

Five atau FFM juga dikenal dengan model kepribadian OCEAN atau CANEO

karena akronim yang terbentuk dari huruf-huruf inisialnya, yaitu Openness to

experience, Concientiousness, Extraversion, Agreeableness, dan Neuroticism.

Pengelompokkan trait didasarkan pada generalisasi perhitungan statistik sehingga mungkin saja terjadi pengecualian pada profil kepribadian seseorang (wikipedia, 2007) namun tentu saja lebih banyak benarnya daripada salah (outofservice, 2002).

Barent Roberts dan beberapa ahli psikologi (dalam Srivastava, 2008) mengatakan bahwa pengaruh lingkungan (seperti aturan sosial) turut berinteraksi dengan faktor bilogis dalam membentuk trait kepribadian. Lebih lanjut, Chaplin

(13)

(dalam John dan Srivastava, 1999) menemukan bahwa dalam Big Five, konsep

trait dan state digabungkan. State adalah konsep asli kepribadian yang lebih

mudah berubah-ubah, ringkas, dan disebabkan faktor eksternal.

Berdasarkan uraian di atas, kepribadian suku bangsa Batak Toba yang dinamik, keras dan ulet mungkin dapat dikatakan cenderung tinggi di dimensi

conscientiousness dan tingginya kebersamaan pada suku bangsa Batak Toba

mungkin berhubungan dengan dimensi extroversion yang tinggi pula. Namun di sisi lain, suku bangsa Batak Toba juga memiliki sifat agresif, tidak kenal kompromi dan belas kasihan yang kemungkinan mengindikasikan rendahnya skor di dimensi agreeableness. Di sisi lain cara berkomunikasi orang Batak Toba yang keras, sering penuh emosi dan amarah, serta adanya dendam dan iri mungkin dapat dilihat sebagai trait neuroticism.

Sarlito (dalam Atmosiswoyo, dkk., 1999) menyatakan pentingnya mempelajari keragaman budaya untuk menjaga integrasi bangsa, dalam hal ini bangsa Indonesia. Pengakuan akan keragaman atau eksistensi suatu suku bangsa merupakan kebutuhan dasar manusia. Oleh sebab itu peneliti melakukan penelitian deskriptif pada salah satu suku bangsa di Indonesia, yaitu suku bangsa Batak Toba. Penelitian mengenai kepribadian suku bangsa Batak Toba menggunakan Big Five Inventory (BFI) belum pernah dilakukan sehingga peneliti tertarik untuk melakukannya. Penelitian ini mengunakan skala Oliver’s Big Five

(14)

I.B. PERTANYAAN PENELITIAN

Pertanyaan penelitian dalam penelitian ini adalah bagaimana gambaran kepribadian suku bangsa Batak Toba di Pematangsiantar menggunakan Big Five

Inventory (BFI).

I.C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran kepribadian suku bangsa Batak Toba di Pematangsiantar. Penggambaran kepribadian suku bangsa Batak Toba ini menggunakan Big Five Inventory (BFI) yang diadaptasi dan dimodifikasi.

I.D. MANFAAT PENELITIAN

Manfaat penelitian ini dapat dibagi atas dua bagian yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis.

1. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat menambah wacana pengetahuan di bidang Psikologi Sosial, khususnya mengenai suku bangsa Batak Toba. Penelitian ini diharapkan pula mampu menjadi landasan penelitian selanjutnya.

2. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan:

a. Informasi bagi pengamat sosial dalam mengamati dan menganalisa kondisi dan fenomena sosial yang terjadi yang berkaitan dengan suku bangsa Batak Toba khususnya yang di Pematangsiantar.

(15)

b. Informasi bagi masyarakat khususnya yang berinteraksi dengan suku bangsa Batak Toba, sehingga mereka dapat lebih arif dalam memberikan respon terhadap perilaku suku bangsa Batak Toba.

c. Informasi bagi pihak-pihak pengembang yang berhubungan dengan suku bangsa Batak Toba sehingga dapat meningkatkan integrasi bangsa dan menghindari konflik yang destruktif.

I.E. SISTEMATIKA PENULISAN

Adapun sistematika penulisan dari penelitian ini adalah : Bab I : Pendahuluan

Bab ini menjelaskan tentang latar belakang masalah penelitian, pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.

Bab II : Landasan Teori

Bab ini memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan masalah. Teori- teori yang dimuat adalah teori yang berhubungan dengan suku bangsa Batak Toba dan Big Five Personality.

Bab III : Metodologi Penelitian

Pada bab ini dijelaskan mengenai rumusan pertanyaan penelitian, identifikasi variabel penelitian, definisi operasional, populasi dan metode pengambilan sampel, alat ukur yang digunakan, dan metode analisis data. Penelitian ini bersifat kuantitatif, dengan sampel penelitian adalah suku bangsa Batak Toba berjumlah 129 orang. Sampel penelitian ini diambil

(16)

dengan teknik pengambilan sampel proportional incidental sampling. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala Big Five

Personality yang diadaptasi dan dimodifikasi. Metode analisis data

Gambar

Tabel 1.  Jumlah Penduduk Kota Pematangsiantar Dirinci Menurut Suku  Bangsa dan Kecamatan

Referensi

Dokumen terkait

ANALISIS PENGGUNAAN EYD PADA SURAT PRIBADI SISWA KELAS VII SMP N 3 PURWOKERTO TAHUN AJARAN

a) PPKn : Mempresentasikan hasil diskusi tentang penerapan tanggung jawab peserta didik dalam pengambilan keputusan di sekolah. b) Bahasa Indonesia : Membuat karya puisi

aman hidup tertua yang berlangsung kira-kira 340 juta tahun lalu dan sudah ada kehidupan seperti binatang kecil yang tidak aman hidup tertua yang berlangsung kira-kira 340 juta

Rumus perhitungan daya adalah P = V I , yaitu merupakan perkalian nilai tegangan yang ada dengan arus.Dengan demikian, maka Wattmeter terdiri dari komponen pengukur arus

Untuk maksud tersebut sistim pemanas dibuat dari lapisan tipis emas dengan sistim larik dan ditumbuhkan pada salah satu sisi substrat Alumina (AI20JJ.. sedangkan sistim elektroda

Hal ini bisa dilihat dari bentuk ujaran sebelum tanda titik dua yang sebagian besar berupa nomina atau frasa nominal dengan sedikit ekspansi, sedangkan ujaran setelah tanda

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melakukan uji toksisitas akut air sungai yang tercemar limbah hasil industri perikanan di Muncar Kabupaten Banyuwangi terhadap

Ketika pengajuan produk pembiayaan gadai emas di Bank Syariah Mandiri Cabang Rawamangun ternyata menghadapi 2 kendala yaitu ketidaksesuaian nilai pembiayaan yang