• Tidak ada hasil yang ditemukan

Korea Selatan: Pembangunan dan Kesiapan Mental

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Korea Selatan: Pembangunan dan Kesiapan Mental"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

* Arief Budiman, Sosiolog, pengajar Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga. Dimuat

Korea Selatan: Pembangunan

dan Kesiapan Mental

Arief Budiman

*

KALAU kita melihat pengalaman beberapa negara di Asia Timur, khususnya Korea Selatan dan Taiwan di satu pihak (yang mengambil jalan kapitalisme) dan Korea Utara dan Republik Rakyat Cina di lain pihak (yang mengambil jalan sosialisme), tampak kedua pihak menunjukkan keberhasilan dalam pembangunan ekonominya. Negara-negara yang mengambil jalan kapitalisme, umumnya lebih tinggi tingkat perkembangan ekonominya; yang sosialisme lebih merata dan lebih mengutamakan produksi kebutuhan dasar rakyatnya (Lihat tulisan saya sebelumnya, “Kapitalisme atau Sosialisme: Pelajaran dari dua Korea,“ Kompas, 14 Agustus ‚85). Kedua kelompok negara ini (pada yang sosialis, terutama RRC) tampaknya sedang bangkit sebagai negara industri, yang mulai melemparkan hasil produksinya ke pasar internasional.

Mental yang siap

Dari gejala di atas kita barangkali menyimpulkan, untuk pembangunan ekonomi, kedua sistem, yakni kapitalisme dan sosialisme, tampaknya dapat diandalkan, asal dijalankan dengan baik dan sungguh-sungguh. Tentu saja ada juga syarat lain, yakni bila kesempatan sejarah memungkinkan. Misalnya, suksesnya Jepang dalam membangun industrinya tidak dapat dilepaskan dengan terjadinya Perang Korea tahun 1950-1953, yang membuat banyak pesanan barang-barang industri masuk ke industri Jepang yang sedang tumbuh waktu itu.

(2)

pada permulaan tahun 1960an, di samping juga adanya keengganan negara-negara industri besar untuk memproduksikan barang-barang industri yang kecil, karena ongkos produksi (gaji buruh) yang sudah terlalu tinggi di sana. Tapi bagaimanapun juga, semua kesempatan sejarah (dari luar) ini tidak akan ada gunanya, kalau negara yang bersangkutan belum siap untuk mengisi kesempatan yang datang itu.

Itulah sebabnya, mengapa Filipina, Indonesia, Mungthai dan Malaysia belum dapat menyerap panen dari Perang Vietnam tersebut.

Mengapa Korea Selatan dapat siap menyerap kesempatan sejarah ini? Salah satu penjelasan (tentu saja bukan satu-satunya penjelasan) adalah karakter atau mentalitas orang Korea itu sendiri, yang kalau mau meminjam istilah Kuncaraningrat, cocok untuk pembangunan. Mental apakah yang dimiliki oleh orang Korea, sehingga dapat cocok dengan pembangunan?

Pertanyaan ini sempat saya ajukan kepada Prof Dr Kim Kyong-dong, Direktur Institute for Social-Science, Seoul National Uni-versity. Dia sendiri seorang sosiolog, yang perhatiannya terhadap antropologi besar, dan mendapatkan PhD dari universitas ternama di Amerika Serikat. Saya tanyakan, apakah memang sudah menjadi karakter orang Korea untuk bekerja keras dan tidak mudah patah? Dia menjawab, tidak. Dia lalu memberikan makalahnya yang berjudul The Distinctive Features of South Korea’s

Develop-ment, yang dipresentasikan pada simposium internasional dengan

tema In Search of an East Asian Development Model, di New York, tanggal 28-30 Juni 1985.

Menurut Kim, bagaimana orang Korea dapat menjadi rajin di zaman penjajahan Jepang, kalau mereka harus bekerja untuk kepentingan bangsa lain? Kalaupun mereka rajin waktu itu, ini karena mereka terpaksa melakukannya untuk sekadar menyambung hidup mereka. Tapi sekarang, bangsa Korea memang rajin dan ulet, karena insentif yang diberikan pemerintah tepat. Dengan demikian, kerajinan

(3)

Korea Selatan: Pembangunan dan Kesiapan Mental

orang Korea sekarang merupakan hasil dari perubahan lingkungan, bukan karena dari “sono”-nya orang Korea sudah rajin dan ulet.

Kepribadian tradisional orang Korea

Dalam makalahnya, Kim memberikan gambaran dari apa yang disebutnya sebagai kepribadian tradisional orang Korea, yakni kepribadian sebelum Korea memasuki zaman modernnya. Gambaran kepribadian ini diperoleh dari studi-studi yang dilakukan oleh sarjana-sarjana Korea dan asing pada masa-masa yang lalu. Orang Korea dianggap sangat emosional, mudah marah dan melakukan tindakan-tindakan yang radikal. Juga tidak punya daya abstraksi, ada kecenderungan menjadi irasional. Terlalu memikirkan diri sendiri dan kurang rasa tanggung jawabnya. Tidak punya inisiatif dan tidak kreatif.

Tingkah lakunya, senang hidup mewah, banyak melakukan pekerjaan yang tak berguna. Pemalas dan jorok.

Dalam hubungan interpersonal, seringkali terlalu baik secara berlebihan, sehingga kita merasa tidak enak, karena terlalu kasar dan ofensif. Tidak dapat memisahkan antara yang pribadi dan yang resmi. Lemah dalam mematuhi peraturan dan hukum. Sensitif pada penilaian orang lain, pasif dan berusaha menyesuaikan diri dengan norma masyarakat.

Dalam hubungannya dengan organisasi sosial, orang Korea bersifat otoriter. Pengejar status. Sifat familiisme juga kuat, juga koncoismedan sistem koneksi.

Dalam pandangan dunianya, orang Korea bersifat membumi. Kesuksesan hidup di dunia sangat dipentingkan, bukan pada hidup di alam yang lain. Orang Korea juga bersifat fatalistis, mudah menyerahkan dirinya pada nasib. Berorientasi kepada masa lalu. Merasa rendah diri.

Nilai-nilai lain yang dianut adalah pengutamaan terhadap hidup dengan umur panjang, pemujaan pada leluhur, ingin mempunyai keluarga besar, ingin punya banyak harta, senang makan dan minum

(4)

umumnya.

Mental orang Korea sekarang

Kalau kita lihat sifat-sifat tradisional orang Korea seperti di atas, saya hampir yakin, bahwa Kuncaraningrat akan menggolongkannya sebagai kepribadian yang tidak cocok dengan pembangunan. Tapi ketika orang menilai kepribadian orang Korea sekarang (atau Korea modern), maka hasilnya bertolak belakang dengan kepribadian yang tradisional.

Sekarang mereka dianggap rasional, demokratis, ilmiah dan ulet. Seperti dikatakan oleh Kim dalam makalahnya (hal. 13): “Orang Korea masih sangat emosional, kasar, agresif, tahyul, jorok, tapi barangkali tidak lagi malas.“

Ketika pada orang Korea sekarang ditanyakan, “kalau Anda cukup kaya untuk hidup tanpa kerja, apa yang akan Anda lakukan,“ ternyata 97,7 persen menyatakan, mereka akan terus bekerja. (Di Amerika Serikat, angka ini adalah 80 persen pada tahun 1950. Penelitian di Korea Selatan dilakukan pada tahun 1967).

Penelitian di antara anak-anak sekolah Korea Selatan pada tahun 1970-an menunjukkan, mereka beranggapan achievement sebagai nilai tertinggi yang ditanamkan orangtua mereka dalam membesarkan mereka. Di Amerika dan Inggris, nilai ini terletak sebagai nomor 6 dan 8 dalam skala prioritas nilai.

Semua uraian di atas menunjuk kepada suatu kesimpulan, bahwa orang Korea dulu lain dengan orang Korea sekarang. Mental orang Korea sudah berubah. Faktor-faktor apa yang menyebabkan perubahan ini? Ini adalah pertanyaan penting yang dapat memberi pelajaran juga bagi kita di Indonesia.

Faktor agama?

Profesor Kim sendiri menolak anggapan, bahwa Konfusianisme dan agama Kristen (yang makin luas dianut di Korea Selatan

(5)

Korea Selatan: Pembangunan dan Kesiapan Mental

sekarang) menjadi penyebab utamanya, seperti yang sering dinyatakan oleh beberapa ahli ilmu sosial. Dia lebih cenderung mengatakan, penjajahan Jepang serta masuknya pengaruh Amerika setelah Perang Korea, merupakan faktor yang lebih penting. Kalaupun mau dicari nilai-nilai tradisional yang membuat Korea Selatan dapat berhasil dalam pembangunannya yang sekarang, nilai itu adalah kesanggupan orang Korea dalam menyesuaikan diri terhadap pengaruh dari luar. Daya penyesuaian diri yang besar ini berasal dari agama rakyat Korea yang dulu (shamanisme) yang bersifat sinkretis. Sejak dulu, kecenderungan agama rakyat di Korea yang sinkretis ini, telah berhasil meng-Korea-kan agama-agama asing yang datang dari luar. Hal yang sama sekarang terjadi pada agama Kristen.

Daya penyesuaian diri inilah yang dipakai oleh Kim untuk menjelaskan, bagaimana orang Korea dapat menyerap rasionalitas yang datang dari Barat. Bergabung dengan apa yang disebut sebagai hahn, daya penyesuaian diri ini kemudian mendapatkan tenaganya untuk berkembang.

Hahn adalah campuran dari pelbagai macam perasaan, seperti

penyesalan, marah, dendam, merasa diperlakukan tidak adil, merasa pahit, yang diakibatkan oleh rasa frustrasi yang terus-menerus bertambah, atau penekanan diri yang terus-terus-menerus terhadap perasaan-perasaan ini. Hahn ini dapat mengakibatkan seseorang mengalami macam-macam kesulitan psikologis sampai psikosomatis, tapi dapat juga, sekali mendapat penyaluran yang tepat, menjadi tenaga psikis yang sangat kuat.

Menurut Kim, pengalaman sejarah Korea yang pahit, sejak negara ini mulai dijajah Jepang pada tahun 1910, diikuti dengan Perang Dunia kedua sampai tahun 1945, kemudian disusul lagi dengan Perang Korea tahun 1950-1953, membuat orang Korea mengalami

hahn ini.

Maka ketika negara ini memperoleh stabilitas politiknya di bawah regim militer yang dipimpin oleh Park Chung Hee, greget orang

(6)

diperoleh orang Korea berkat daya penyesuaian dirinya yang tinggi), ditambah lagi dengan kesempatan sejarah yang datang berupa keterbukaan ekonomi dunia untuk menerima kemungkinan tumbuhnya negara-negara industri baru, membikin Korea Selatan dengan cepat melakukan lepas landas.

Orang Korea dan orang Jawa

Saya melihat, uraian tentang kepribadian tradisional orangKorea tidak banyak berbeda dengan kepribadian tradisional (yang sampai sekarang masih kuat) dari orang Jawa. Juga orang Jawa mengalami penderitaan di bawah penjajahan Belanda yang sama, bahkan mungkin lebih berat dibandingkan dengan orang Korea. Kemudian datang penjajahan Jepang, disusul oleh perang kemerdekaan. Orang Jawa barangkali juga memiliki hahn tersebut, tapi greget tersebut tidak menyatukan diri dengan rasionalitas Barat untuk pembangunan, melainkan menjadi greget untuk hidup dengan pola konsumsi orang Barat (bagi mereka yang beruntung ada di atas). Apa yang salah pada orang Jawa? Bukankah mereka juga punya daya penyesuaian diri yang tinggi, karena agama tradisional Jawa pada dasarnya bersifat sinkretis.

Mengapa, bila pada orang Korea penderitaan yang lama membuat mereka ingin ”membalas dendam” dengan berusaha menjadi maju, pada orang Jawa hal yang sama membuat mereka melarikan diri dari dunia nyata dan lari ke dunia mistik? Apakah ini disebabkan karena orang Korea lebih materialistis, orang Jawa spiritualistis disebabkan penderitaan yang berlarut-larut akibat penjajahan, sehingga mereka lalu melarikan diri ke dunia yang tidak riel. Jadi, orang Jawa dulu sebenarnya tidak spiritualistis.

Masih banyak hal yang harus ditanyakan, kalau kita menerima “teori“ Kim ini. Tapi satu hal yang menarik, yakni bangsa Korea sebelumnya memiliki kepribadian yang hampir sama dengan kita sekarang. Ini artinya, bangsa kita pun dapat berubah, seperti halnya orang Korea berubah sekarang.

(7)

Korea Selatan: Pembangunan dan Kesiapan Mental

Menurut saya, perubahan kepribadian orang Korea terutama disebabkan perubahan struktural yang dipaksakan oleh Amerika Serikat, berhubung Amerika menginginkan Korea Selatan menjadi negara yang dapat dibanggakan dalam keberhasilan ekonominya di kubu negara-negara “Dunia Bebas.“ Adakah salah seorang pemimpin bangsa Indonesia yang dapat melakukan hal ini?

>>><<<

Referensi

Dokumen terkait

Pada kesempatan ini disampaikan beberapa hasil penelitian dan uji lapang tentang pemanfaatan bahan pakan limbah pertanian dan agroindustri potensial yang bernilai harga

h) Setelah proses review dan penilaian maka LPPM memberikan proposal hasil review kepada masing – masing dosen pengusul program pengabdian untuk segera direvisi.

In 2016, unprocessed cheese recorded a 48% value share of total cheese, which was an increase on its share from the previous year due to strong performances from portion and

Microsoft Visual Basic adalah salah satu program yang banyak dipakai oleh programmer dalam membuat suatu program, karena visual basic sangat powerful untuk

JADWAL KULIAH SEMESTER GENAP TAHUN AKADEMIK 2011/2012 SORE. NO HARI WAKTU SMT JUR KLS SKS MATA

Provinsi Bali perlu dibuatkan sebuah bangunan pusat pelayanan desain yang berfungsi sebagai tempat informasi desain arsitektur dan interior, tempat kerjasama diantara

Berdasarkan teori Ripley(dalam Purwanto 2010:51-52) mengenai indikator dalam mengukur keberhasilan implementasi kebijakan, penelitimengevaluasi pelaksanaan peraturan

Anwar Astuti Sari Dewi_Fisika_2008 3 Dibandingkan dengan fisika klasik, fisika modern adalah istilah yang lebih longgar, yang dapat merujuk hanya pada fisika kuantum