• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

2.1.1 Manajemen Laba

Laba sering digunakan oleh banyak pihak sebagai dasar pengambilan keputusan bisnis, karena laba merupakan salah satu ukuran kinerja perusahaan. Informasi laba sebagai bagian dari laporan keuangan, sering menjadi target rekayasa melalui tindakan oportunis manajemen untuk memaksimumkan kepuasannya, tetapi dapat merugikan pemegang saham atau investor. Tindakan oportunis tersebut dilakukan dengan cara memilih kebijakan akuntansi tertentu, sehingga laba perusahaan dapat diatur, dinaikkan atau diturunkan sesuai dengan keinginannya. Perilaku manajemen untuk mengatur laba sesuai dengan keinginannya tersebut dikenal dengan istilah manajemen laba (Nuryaman dan Rusmin, 2010).

Menurut Healy & Wahlen (1999) dalam Rahmawati (2012:148) manajemen laba terjadi apabila manajer menggunakan kebijakan (judgement) dalam pelaporan keuangan dan dalam menyusun transaksi untuk mengubah laporan keuangan guna menyesatkan stakeholders mengenai kinerja ekonomi perusahaan atau mempengaruhi contractual outcomes yang tergantung pada angka akuntansi yang dilaporkan.

Sedangkan menurut Sugiri (1998) membagi definisi manajemen laba menjadi dua, yaitu:

a) Defenisi Sempit

Manajemen laba dalam hal ini hanya berkaitan dengan pemilihan metode akuntansi. Manajemen laba dalam artian sempit ini didefinisikan sebagai perilaku manajemen untuk “bermain” dengan komponen discretionary accrual dalam menentukan besarnya laba.

b) Defenisi Luas

Manajemen laba merupakan tindakan manajer untuk meningkatkan (mengurangi) laba yang dilaporkan saat ini atas suatu unit dimana manajer

(2)

bertanggung jawab tanpa mengakibatkan peningkatan (penurunan) profitabilitas ekonomi jangka panjang unit tersebut.

Scott (2006) mengungkapkan terdapat dua cara untuk memahami manajemen laba. Pertama, sebagai perilaku oportunistik manajemen untuk memaksimumkan utilitasnya dalam menghadapi kontrak kompensasi, kontrak utang, dan biaya politik. Kedua, memandang manajemen laba dari perspektif kontrak efisien, dimana manajemen laba memberi manajer suatu fleksibilitas untuk melindungi diri mereka dan perusahaan dalam mengantisipasi kejadian-kejadian yang tak terduga untuk keuntungan pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak. Manajer mempunyai kebebasan untuk memilih dan menggunakan alternatif-alternatif yang tersedia untuk menyusun laporan keuangan sehingga laba yang dihasilkan dapat sesuai dengan yang diinginkan walaupun laba yang dihasilkan tersebut tidak mencerminkan keadaan perusahaan yang sebenarnya.

Berdasarkan positif accounting theory terdapat tiga hipotesis yang menyebabkan terjadinya manajemen laba (Watts dan Zimmerman, 1986) dalam Rahmawati (2012:87), yaitu:

1. Bonus Plan Hypothesis

Manajemen akan memilih metode akuntansi yang memaksimalkan utilitasnya yaitu bonus yang tinggi. Manajer perusahaan yang memberikan bonus besar berdasarkan earnings, lebih banyak menggunakan metode akuntansi yang meningkatkan laba yang dilaporkan. Suatu perusahaan yang di dalamnya memiliki rencana pemberian bonus, maka seorang manajer perusahaan akan melakukan peningkatan laba saat ini yakni dengan memilih metode akuntansi yang mampu menggeser laba dari masa depan ke masa kini. Tindakan ini dilakukan dikarenakan manajer termotivasi untuk mendapatkan upah yang lebih tinggi untuk masa kini. Dalam kontrak bonus dikenal dua istilah yaitu bogey (tingkat laba terendah untuk mendapatkan bonus) dan cap (tingkat laba tertinggi). Jika laba berada di bawah bogey, maka tidak ada bonus yang diperoleh manajer, sedangkan jika laba berada di atas cap, ada tidaknya bonus tergantung pada kontrak yang dibuat. Jika laba berada di bawah bogey, maka manajer

(3)

cenderung akan memperkecil laba dengan harapan kemungkinan akan memperoleh bonus yang lebih besar pada periode berikutnya. Begitu pula jika laba berada di atas cap, maka manajer akan cenderung memilih kebijakan dan prosedur akuntansi yang memperkecil laba. Jadi manajer hanya akan menaikkan laba bersih perusahaan jika laba bersih berada diantara bogey dan cap.

2. Debt Covenant Hypothesis

Manajer perusahaan yang melakukan pelanggaran perjanjian kredit cenderung memilih metode akuntansi yang memiliki dampak peningkatan laba. Hal ini untuk menjaga reputasi mereka dalam pandangan pihak eksternal. Dalam suatu perusahaan yang mempunyai rasio debt to equity cukup tinggi, maka akan mendorong manajer perusahaan untuk cenderung menggunakan metode akuntansi yang dapat meningkatkan pendapatan atau laba. Perusahaan dengan rasio debt to equity yang tinggi akan berakibat menimbulkan kesulitan dalam memperoleh dana tambahan dari pihak kreditor dan bahkan perusahaan dapat terancam melanggar perjanjian utang.

3. Political Cost Hypothesis

Adanya biaya politik dikarenakan profitabilitas perusahaan yang tinggi dapat menarik perhatian media dan konsumen. Suatu perusahaan yang memiliki biaya politik tinggi, akan mendorong manajer untuk memilih atau merubah metode akuntansi yang menangguhkan laba yang dilaporkan dari periode sekarang ke periode masa mendatang sehingga dapat memperkecil laba yang dilaporkan.

Manajemen laba didorong oleh beberapa motivasi. Scott (1997) dalam Muid dan Catur (2005) berpendapat bahwa ada beberapa faktor yang dapat memotivasi manajer melakukan manajemen laba, yaitu:

(4)

1. Bonus Purpose

Para manajer yang bekerja pada perusahaan yang menerapkan rencana bonus akan berusaha mengatur laba yang dilaporkannya dengan tujuan dapat memaksimalkan jumlah bonus yang akan diterimanya.

2. Debt Covenant

Menyatakan bahwa semakin dekat suatu perusahaan kepada waktu pelanggaran perjanjian utang maka para manajer akan cenderung untuk memilih metode akuntansi yang dapat memindahkan laba periode mendatang ke periode berjalan dengan harapan dapat mengurangi kemungkinan perusahaan mengalami pelanggaran kontrak utang.

3. Political Motivations

Menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan dengan skala besar dan industri strategis cenderung untuk menurunkan laba guna mengurangi tingkat visibilitasnya terutama saat periode kemakmuran yang tinggi. Upaya ini dilakukan dengan harapan memperoleh kemudahan serta fasilitas dari pemerintah.

4. Taxation Motivations

Menyatakan bahwa perpajakan merupakan salah satu motivasi mengapa perusahaan mengurangi laba yang dilaporkan. Tujuannya adalah dapat meminimalkan jumlah pajak yang harus dibayar.

5. Changes Of CEO

CEO yang mendekati masa pensiun cenderung akan menaikkan laba untuk meningkatkan bonus mereka, hal yang sama juga terjadi ketika kinerja perusahaan buruk, mereka akan memaksimalkan laba agar tidak diberhentikan.

6. Initial Public Offering (IPO)

Perusahaan yang akan go public belum memiliki nilai pasar, keadaan ini menyebabkan manajer melakukan manajemen laba dengan harapan dapat menaikkan harga saham perusahaan.

Menurut Scott (2000) dalam Rahmawati (2012:117) menyatakan bahwa terdapat beberapa pola manajemen laba, yaitu:

(5)

1. Taking a bath

Pola ini dijalankan ketika perusahaan dalam kondisi tertekan atau sedang melakukan reorganisasi. Hal ini biasanya terkait dengan pergantian CEO yang membuat manajer cenderung melaporkan laba bersih yang rendah pada periode ini dengan harapan meningkat dimasa yang akan datang. 2. Income minimization

Pola ini dilakukan jika perusahaan dalam kondisi laba yang tinggi maka untuk mengurangi visibilitasnya dia melakukan minimalisasi laba.

3. Income maximization

Pola ini dilakukan manajer jika ingin menaikkan bonusnya dan dihadapkan pada perjanjian utang yang hampir dilanggar.

4. Income Smoothing

Dilakukan perusahaan dengan cara meratakan laba yang dilaporkan untuk mencapai tren atau level tertentu, sehingga dapat mengurangi fluktuasi laba yang terlalu besar karena pada umumnya investor lebih menyukai laba yang relatif stabil.

Menurut Rahmawati (2012:145) manajemen laba dapat dilakukan dengan tiga teknik sebagai berikut:

1. Memanfaatkan peluang untuk membuat estimasi akuntansi

Cara manajemen untuk mempengaruhi laba melalui judgement terhadap estimasi akuntantasi antara lain: estimasi tingkat piutang tidak tertagih, estimasi kurun waktu depresiasi aktiva tetap atau amortisasi aktiva tak berwujud, dan estimasi biaya garansi.

2. Mengubah metode akuntansi

Perubahan metode akuntansi yang digunakan untuk mencatat suatu transaksi, contoh: merubah metode depresiasi aktiva tetap, dari metode depresiasi angka tahun ke metode garis lurus.

3. Menggeser periode biaya atau pendapatan

Rekayasa ini sering disebut sebagai manipulasi keputusan operasional, dengan cara mempercepat atau menunda pengeluaran operasional.

(6)

Contoh: mempercepat atau menunda pengeluaran untuk penelitan sampai periode akuntansi berikutnya, mempercepat atau menunda pengeluaran promosi sampai periode akuntansi selanjutnya.

2.1.2 Pengukuran Manajemen Laba

Kebijakan akrual dalam mengaplikasikan standar akuntansi dapat digunakan untuk melakukan manajemen laba. Pendekatan akrual digunakan sebagai dasar untuk melakukan manajemen laba, karena pihak manajemen dapat memberikan kebijakannya dalam penyusunan laporan keuangan (Kusuma dan Sari, 2003).

Total akrual dibagi menjadi dua komponen yakni discretionary accrual dan non discretionary accrual. Kelebihan dalam pendekatan total akrual adalah pendekatan tersebut berpotensi untuk dapat mengungkap cara-cara untuk menurunkan atau menaikkan keuntungan, karena cara-cara tersebut kurang mendapat perhatian untuk diketahui oleh pihak luar.

Non discretionary accruals merupakan penyesuaian akuntansi atas aliran kas perusahaan sesuai dengan yang dimandatkan oleh standar akuntansi yang berlaku (Rahmawati, 2012:160). Kebijakan akrual yang disebabkan tuntutan kondisi perusahaan, seperti peningkatan pendapatan perusahaan sehingga dibutuhkan penyesuaian terhadap estimasi tingkat piutang tidak tertagih disebut non discretionary accrual.

Discretionary accruals merupakan penyesuaian akuntansi atas aliran kas perusahaan sesuai dengan pilihan manajer (Rahmawati, 2012:160). Discretionary accruals digunakan sebagai indikator adanya praktik manajemen laba, karena manajemen laba lebih menekankan kepada keleluasaan atau kebijakan (discretion) yang tersedia dalam memilih dan menerapkan prinsip-prinsip akuntansi untuk mencapai hasil akhir, dan dijalankan di dalam kerangka praktik yang berlaku secara umum yang masih diperdebatkan, atau dengan kata lain, discretionary accruals merupakan akrual dimana manajemen memiliki fleksibilitas dalam mengatur jumlahnya karena discretionary accruals ada dibawah kebijakan (discretion) manajemen.

(7)

Pada penelitian ini, manajemen laba diukur dengan menggunakan proksi discretionary accruals (DA) yang merupakan modifikasi dari Jones (1991) dan Dechow et.al. (1995) dalam Rahmawati (2012:161). Discretionary accruals merupakan komponen penting dari penelitian manajemen laba, selain itu pengukuran discretionary accruals saat ini telah dipakai secara luas untuk menguji earnings management hypothesis. Berdasarkan perspektif manajerial, akrual menunjukkan instrumen-instrumen yang mendukung adanya manajemen laba.

Untuk mendapatkan nilai DA (discretionary accruals), maka langkah pertama adalah mencari total akrual (TA) dengan rumus:

TAit = Nit – CFOit

Selanjutnya menghitung nilai total akrual yang diestimasi dengan persamaan regresi Ordinary Least Square (OLS) sebagai berikut:

TAit/Ai,t -1= β1(1/Ai,t -1) + β2(∆REVit/Ai,t -1) + β3(PPEit/Ai,t -1) + e Dengan menggunakan koefisien regresi di atas nilai non discretionary accruals (NDA) dapat dihitung dengan rumus:

NDAit = β1(1/Ai,t 1) + β2((∆REVit ∆RECit)/Ai,t 1) + β3(PPEit/Ai,t -1)

Selanjutnya discretionary accruals (DA) dapat dihitung sebagai berikut: DAit = (TAit/Ai,t -1) – NDAit

Keterangan:

DAit = Discretionary Accruals perusahaan i pada periode ke t NDAit = Non Discretionary Accruals perusahaan i pada periode ke t TAit = Total akrual perusahaan i pada periode ke t

Nit = Laba bersih perusahaan i pada periode ke t

CFOit =Arus kas dari aktivitas operasi perusahaan i pada periode ke t Ait-1 = Total aset perusahaan i pada periode ke t-1

(8)

∆Revit = Perubahan pendapatan perusahaan i pada periode ke t PPEit = Aset tetap perusahaan i pada periode ke t

∆Recit = Perubahan piutang perusahaan i pada periode ke t e = error

2.1.3 Teori Agensi

Teori keagenan menyangkut hubungan kontraktual antara anggota-anggota di perusahaan. Jensen dan Meckling (1976) dalam Jao dan Pagalung (2011) menjelaskan bahwa hubungan agensi terjadi ketika satu orang atau lebih (prinsipal) mempekerjakan orang lain (agen) untuk memberikan suatu jasa dan kemudian mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan. Prinsipal adalah pemegang saham atau investor, sedangkan agen adalah manajemen yang mengelola perusahaan atau manajer. Inti dari hubungan keagenan adalah adanya pemisahan fungsi antara kepemilikan di investor dan pengendalian di pihak manajemen.

Adanya pemisahan antara pemilik perusahaan dan pengelolaan oleh manajemen cenderung menimbulkan konflik keagenan di antara prinsipal dan agen. Konflik kepentingan antara prinsipal dan agen terjadi karena kemungkinan agen tidak selalu berbuat sesuai dengan keinginan prinsipal, sehingga menimbulkan biaya keagenan (agency cost).

Asimetri informasi adalah keadaaan dimana beberapa pihak yang bertransaksi usaha mempunyai informasi lebih dari pihak lainnya (Rahmawati, 2012:3). Ketidakseimbangan informasi antara pemilik perusahaan dan manajer memicu manajer untuk menyampaikan informasi yang tidak sesuai dengan kondisi perusahaan sebenarnya. Kondisi ini menyebabkan timbulnya masalah agensi (agency problem) yang terwujud dalam pelaporan keuangan yang menyesatkan oleh manajer kepada pemegang saham dan stakeholders lainnya mengenai kinerja perusahaan. Menurut Rahmawati (2012:3) asimetri informasi dibagi menjadi dua jenis yaitu:

(9)

1. Adverse Selection, yaitu jenis asimetri informasi dimana satu pihak atau lebih yang melangsungkan suatu transaksi usaha atau transaksi potensial memiliki informasi lebih atas pihak-pihak lain. Adverse selection terjadi karena beberapa orang, seperti manajer perusahaan dan para pihak dalam (insider) lainnya lebih mengetahui kondisi kini dan prospek kedepan suatu perusahaan daripada para investor luar.

2. Moral Hazard, yaitu jenis asimetri informasi dimana satu pihak atau lebih yang melangsungkan suatu transaksi usaha atau transaksi potensial, dapat mengamati tindakan-tindakan mereka dalam penyelesaian transaksi-transaksi sedangkan pihak-pihak lainnya tidak. Masalah moral hazard terjadi karena adanya pemisahan kepemilikan dengan pengendalian yang merupakan karakteristik kebanyakan perusahaan besar. Tidaklah mungkin bagi para pemegang saham dan pihak lainnya untuk secara efektif mengamati secara langsung tingkat dan kualitas upaya-upaya manajer puncak dalam menjalankan tugasnya. Karena itu kemudian manajer tergiur untuk mengelak dari tanggung-jawab dan melempar kesalahan setiap penurunan kinerja perusahaan kepada faktor-faktor diluar kendali manajer. Manajer sebagai pengelola mempunyai informasi yang lebih banyak dibandingkan pihak luar yang tidak mungkin mendapatkan seluruh informasi perusahaan. Manajer yang mendapatkan informasi relatif lebih banyak mempunyai fleksibilitas dalam mempengaruhi laporan keuangan yang digunakan untuk memaksimalkan kepentingannya sendiri. Tingginya tingkat asimetri informasi antara manajer dan pemegang saham merupakan bukti bahwa pemegang saham kehilangan sumberdaya, insentif atau akses yang cukup terhadap informasi yang relevan guna memonitor tindakan manajer (Schiper, 1989) dalam Rahmawati (2012:5).

Berdasarkan teori keagenan untuk mengatasi masalah yang berawal dari konflik kepentingan antara pemilik dan manajemen dapat diminimumkan melalui suatu mekanisme monitoring yang bertujuan untuk mengendalikan,

(10)

mengatur dan menyelaraskan berbagai kepentingan, yaitu tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance).

2.1.4 Corporate Governance

Corporate governance berkaitan dengan bagaimana para investor yakin bahwa manajer akan memberikan keuntungan bagi mereka, yakin bahwa manajer tidak akan mencuri/menggelapkan atau mengivestasikan kedalam proyek-proyek tidak menguntungkan yang berkaitan dengan dana yang telah ditanamkan oleh investor, serta bagaimana para investor mengontrol para manajer. Forum for Corporate Governance in Indonesia (2001) dalam Rahmawati (2012:169) mendefinisikan corporate governance sebagai berikut :

“Seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka, atau dengan kata lain suatu sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan”.

Perusahaan dapat menjamin transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, independensi, serta kesetaraan dan kewajaran ketika menerapkan corporate governance. Sistem corporate governance yang sehat harus memberi perlindungan efektif kepada para stakeholders, sehingga mereka dapat meyakinkan dirinya akan perolehan kembali imbalan dengan wajar. Sistem tersebut juga harus membantu menciptakan lingkungan yang kondusif dan berkesinambungan (Tugiman, 2006).

Tujuan corporate governance adalah menciptakan nilai tambah bagi para pemegang kepentingan (stakeholders). Corporate governance yang efektif diharapkan dapat meningkatkan kinerja perusahaan. Manfaat dari penerapan corporate governance dapat diketahui dari harga saham perusahaan yang bersedia dibayar oleh investor (Rahmawati, 2012:171).

Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI, 2001) menjelaskan manfaat corporate governance sebagai berikut:

(11)

1. Meningkatkan kinerja perusahaan melalui terciptanya proses pengambilan keputusan yang lebih baik, meningkatkan efisiensi operasional perusahaan serta lebih meningkatkan pelayanan kepada stakeholders.

2. Mempermudah diperolehnya dana pembiayaan yang lebih murah sehingga dapat meningkatkan corporate value.

3. Mengembalikan kepercayaan investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia.

4. Pemegang saham akan merasa puas dengan kinerja perusahaan karena sekaligus akan meningkatkan shareholders value dan dividen.

Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG, 2006) mengeluarkan pedoman umum Good Corporate Governance yang terdiri dari prinsip-prinsip pokok, yaitu:

1. Transparansi (Transparency)

Untuk menjaga obyektivitas dalam menjalankan bisnis, perusahaan harus menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan. Perusahaan harus mengambil inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga hal yang penting untuk pengambilan keputusan oleh pemegang saham, kreditur dan pemangku kepentingan lainnya.

2. Akuntabilitas (Accountability)

Perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar. Untuk itu perusahaan harus dikelola secara benar, terukur dan sesuai dengan kepentingan perusahaan dengan tetap memperhitungkan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lain. Akuntabilitas merupakan prasyarat yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan.

3. Responsibilitas (Responsibility)

Responsibilitas menekankan pada adanya sistem yang jelas untuk mengatur mekanisme pertanggungjawaban perusahaan kepada pemegang

(12)

saham dan pihak-pihak lain yang berkepentingan. Hal tersebut untuk merealisasikan tujuan yang hendak dicapai dalam good corporate governance yaitu mengakomodasi kepentingan pihak-pihak yang berkaitan dengan perusahaan seperti masyarakat, pemerintah, asosiasi bisnis dan sebagainya. Responsibilitas juga berkaitan dengan kewajiban perusahaan untuk mematuhi semua peraturan dan hukum yang berlaku.

4. Kewajaran dan Kesetaraan (Fairness)

Prinsip ini menekankan pada jaminan perlindungan hak-hak para pemegang saham, termasuk hak-hak pemegang saham minoritas dan para pemegang saham asing serta perlakuan yang setara terhadap semua investor. Praktek kewajaran ini juga mencakup adanya sistem hukum dan peraturan serta penegakannya yang jelas dan berlaku bagi semua pihak. Hal ini penting untuk melindungi kepentingan pemegang saham khususnya pemegang saham minoritas dari praktek kecurangan (fraud) dan praktek-praktek insider trading.

5. Indepedensi (Indepedency)

Pengelolaan perusahaan harus secara independen dan bebas dari pengaruh pihak luar dan masing-masing bagian organisasi tidak boleh saling mendominasi serta tidak dapat diintervensi pihak lain.

2.1.5 Mekanisme Corporate Governance

Mekanisme merupakan cara kerja sesuatu secara tersistem untuk memenuhi persyaratan tertentu. Mekanisme corporate governance merupakan suatu prosedur dan hubungan yang jelas antara pihak yang mengambil keputusan dengan pihak yang melakukan kontrol atau pengawasan terhadap keputusan. Mekanisme corporate governance yang baik akan memberikan perlindungan kepada para pemegang saham dan kreditur untuk memperoleh kembali atas investasinya dengan wajar, tepat, dan seefisien mungkin, serta memastikan bahwa manajemen bertindak yang terbaik dalam melakukan tugasnya untuk kepentingan perusahaan.

(13)

Menurut Jensen (1976) dalam Rahmawati (2012:170) mekanisme corporate governance dibagi menjadi dua kelompok, yaitu:

1. Mekanisme internal (internal mechanism), seperti struktur dewan direksi, kepemilikan manajerial dan kompensasi eksklusif.

2. Mekanisme eksternal (external mechanism), seperti pasar untuk kontrol perusahaan, kepemilikan institusional dan tingkat pendanaan dengan hutang.

Mekanisme corporate governance dalam penelitian ini diproksikan dengan kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, proporsi dewan komisaris independen, dan ukuran komite audit.

2.1.6 Kepemilikan Institusional

Kepemilikan institusional adalah jumlah persentase hak suara yang dimiliki oleh institusi (Jao dan Pagalung, 2011). Institusi yang dimaksud adalah lembaga keuangan seperti perusahaan reksa dana, perusahaan dana pensiun, perusahaan asuransi, bank dan badan besar lainnya dimana lembaga tersebut mengelola dana atas nama pihak lain. Tingkat saham institusional yang tinggi akan menghasilkan upaya-upaya pengawasan yang lebih intensif sehingga dapat membatasi perilaku opportunistic manager, yaitu manager melaporkan laba secara oportunis untuk memaksimumkan kepentingan pribadinya (Scott 2006).

Komunitas bisnis menaruh perhatian yang besar untuk meningkatkan investor institusional di pasar sehingga dapat lebih banyak mempengaruhi kebijakan perusahaan. Institusi dengan kepemilikan saham yang relatif besar dalam perusahaan mungkin akan mempercepat manajemen perusahaan untuk menyajikan disclosure secara sukarela. Kepemilikan institusional memiliki kemampuan untuk mengendalikan pihak manajemen melalui proses monitoring secara efektif sehingga dapat mengurangi manajemen laba. Hal ini terjadi karena investor institusional dikatakan sebagai investor yang sophisticated sehingga dapat melakukan fungsi monitoring secara lebih efektif dan tidak percaya dengan

(14)

tindakan manipulasi oleh manajer seperti tindakan manajemen laba (Bushee, 1998) dalam Jao dan Pagalung (2011).

2.1.7 Kepemilikan Manajerial

Kepemilikan manajerial merupakan kepemilikan saham oleh pihak manajemen terhadap total jumlah saham yang beredar (Jao dan Pagalung, 2011). Manajer dalam hal ini memegang peranan penting karena manajer melaksanakan perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengawasan serta pengambil keputusan.

Jensen dan Meckling (1976) dalam Herawaty (2008), menemukan bahwa kepemilikan manajerial berhasil menjadi mekanisme untuk mengurangi masalah keagenan dari manajer dengan menyelaraskan kepentingan-kepentingan manajer dengan pemegang saham. Sehingga permasalahan keagenan dapat diasumsikan akan hilang apabila seorang manajer dianggap sebagai seorang pemilik. Penelitian mereka menemukan bahwa kepentingan manajer dengan pemegang saham ekster-nal dapat disatukan jika kepemilikan saham oleh manajer diperbesar sehingga manajer tidak akan memanipulasi laba untuk kepentingannya. Dalam kepemilikan saham yang rendah, maka insentif terhadap kemungkinan terjadinya perilaku oportunistik manajer akan meningkat (Shleifer dan Vishny 1986) dalam Herawaty (2008).

2.1.8 Proporsi Dewan Komisaris Independen

Komisaris independen adalah anggota dewan komisaris yang tidak terafiliasi dengan direksi, anggota dewan komisaris lainnya dan pemegang saham pengendali, serta bebas dari hubungan bisnis atau hubungan lainnya yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen atau bertindak semata-mata demi kepentingan perusahaan. Dewan komisaris independen memiliki beberapa misi dalam mewujudkan kehidupan bisnis yang sehat, bersih, dan bertanggung jawab (Sulistyanto, 2008), yang terdiri dari:

1. Mendorong terciptanya iklim yang objektif dan keadilan untuk semua kepentingan sebagai prinsip utama pembuatan keputusan manajerial.

(15)

2. Mendorong diterapkannya prinsip dan praktek good corporate governance di Indonesia.

3. Bertanggung jawab untuk mendorong diterapkannya prinsip good corporate governance melalui pemberdayaan Dewan Komisaris agar dapat melakukan tugas pengawasan dan pemberian nasihat kepada manajer secara efektif dan lebih memberikan nilai tambah bagi perusahaan.

Keberadaan komisaris independen diatur dalam peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 57/POJK.04/2017 Pasal 19 yang menyatakan bahwa setiap perusahaan publik harus membentuk komisaris independen yang anggotanya paling sedikit 30% dari jumlah keseluruhan anggota dewan komisaris. Dewan yang terdiri dari dewan komisaris independen yang lebih besar memiliki kontrol yang kuat atas keputusan manajerial. Proporsi dewan komisaris independen diukur dengan menggunakan indikator persentase anggota dewan komisaris yang berasal dari luar perusahaan dari seluruh ukuran anggota dewan komisaris perusahaan.

2.1.9 Ukuran Komite Audit

Komite audit adalah sekelompok orang yang dipilih oleh kelompok yang lebih besar untuk mengerjakan pekerjaan tertentu atau untuk melakukan tugas-tugas khusus atau sejumlah anggota dewan komisaris perusahaan klien yang bertanggungjawab untuk membantu auditor dalam mempertahankan indepedensinya dari manajemen. Jumlah anggota komite audit berdasarkan peraturan OJK nomor 55/POJK.04/2015 Pasal 4 tentang komite audit paling sedikit terdiri dari 3 orang anggota yang berasal dari komisaris independen dan pihak dari luar emiten atau perusahaan publik. Fungsi utama dari komite audit adalah membantu pelaksanaan tugas dan tanggung jawab dewan komisaris (Tugiman, 2006).

Tugas dari komite audit menurut peraturan OJK nomor 55/POJK.04/2015 Pasal 10 adalah:

1. Melakukan penelaahan atas informasi keuangan yang akan dikeluarkan emiten atau perusahaan publik dan/atau pihak otoritas antara lain laporan

(16)

keuangan, proyeksi dan laporan lainnya terkait dengan informasi keuangan emiten atau perusahaan publik.

2. Melakukan penelaahan atas ketaatan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan kegiatan perusahaan. 3. Memberikan pendapat independen dalam hal terjadi perbedaan pendapat

antara manajemen dan Akuntan atas jasa yang diberikannya.

4. Memberikan rekomendasi kepada Dewan Komisaris mengenai penunjukan Akuntan yang didasarkan pada independensi, ruang lingkup penugasan, dan imbalan jasa.

5. Melakukan penelaahan atas pelaksanaan pemeriksaan oleh auditor internal dan mengawasi pelaksanaan tindak lanjut oleh Direksi atas temuan auditor internal.

6. Menelaah pengaduan yang berkaitan dengan proses akuntansi dan pelaporan keuangan Emiten atau Perusahaan Publik.

7. Menelaah dan memberikan saran kepada Dewan Komisaris terkait dengan adanya potensi benturan kepentingan Emiten atau Perusahaan Publik 8. Menjaga kerahasiaan dokumen, data dan informasi Emiten atau

Perusahaan Publik

Dengan adanya komite audit yang berjalan efektif, komisaris dapat meningkatkan kualitas pelaporan keuangan. Selain itu, komite audit juga membantu dewan komisaris untuk menjalankan tugas dan tanggung jawabnya untuk mengawasi pengendalian internal perusahaan, menyelesaikan masalah-masalah audit, dan memberikan waktu bagi komisaris untuk lebih fokus ke masalah lain.

2.10 Penelitian Terdahulu

Penelitian mengenai manajemen laba telah banyak dijadikan sebagai objek penelitian) dan faktor-faktor yang mempengaruhinya telah banyak diuji oleh peneliti sebelumnya dan menunjukkan simpulan juga variabel independen yang beragam. Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dapat dijadikan referensi dalam penelitian ini, yaitu:

(17)

Tabel 2.1

Matriks Penelitian Terdahulu NO Judul Penelitian

dan Nama Peneliti

Variabel yang

digunakan Hasil Penelitian 1. Mekanisme Corporate Governance, Manajemen Laba Dan Kinerja Keuangan (Studi Pada Perusahaan Go Publik Sektor Manufaktur). Ujiyantho dan Bambang (2007). Kepemilikan manajerial, proporsi dewan komisaris independen, kepemilikan institusional, ukuran dewan komisaris, dan manajemen laba. 1. Kepemilikan manajerial dan proporsi dewan komisaris independen berpengaruh terhadap manajemen laba.

2. Kepemilikan institusional dan ukuran dewan

komisaris tidak memliki pengaruh terhadap manajemen laba. 3. Manajemen laba tidak

berpengaruh signifikan terhadap kinerja keuangan. 2. The Effect of Corporate Governance Mechanism On Earnings Management. Nuryaman dan Rusmin (2010) Kepemilikan manajemen, kepemilikan institusional, kualitas audit, dan manajemen laba.

1. Kepemilikan manajerial dan kepemilikan

institusional berpengaruh negatif secara signifikan terhadap manajemen laba 2. Kualitas audit dengan

firma audit spesialisasi industri berpengaruh positif tidak signifikan terhadap manajemen laba

(18)

NO Judul Penelitian dan Nama Peneliti

Variabel yang

digunakan Hasil Penelitian Mekanisme

Corporate Governance Terhadap

Manajemen Laba (Studi Empiris Pada Perusahaan yang Termasuk dalam Indeks Kompas 100 tahun 2008-2009). Prasasti dan Aridianto (2011) institusional, kepemilikan manajerial, ukuran dewan komisaris, proporsi dewan komisaris independen, dan manajemen laba.

ukuran dewan komisaris, ukuran dewan komisaris independen tidak

berpengaruh secara signifikan terhadap manajemen laba

2. Kepemilikan manajerial berpengaruh secara positif signifikan terhadap manajemen laba 4. Pengaruh Penerapan Mekanisme Good Corporate Governance Terhadap Praktik Manajemen Laba. Purbany dan Setiawan (2012) Kepemilikan institusional, komisaris independen, ukuran dewan komisaris, ukuran dewan direksi, CEO duality, ukuran komite audit, dan manajemen laba. 1. Kepemilikan institusional, ukuran dewan komisaris dan ukuran dewan direksi berpengaruh positif signifikan terhadap manajemen laba 2. Komisaris independen berpengaruh negatif signifikan terhadap manajemen laba

3. CEO duality dan ukuran komite audit tidak berpengaruh secara signifikan terhadap manajemen laba

(19)

NO Judul Penelitian dan Nama Peneliti

Variabel yang

digunakan Hasil Penelitian Corporate Governance dan Ukuran Perusahaan pada Manajemen Laba Evi Octavia (2017) independen, kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, komite audit, ukuran perusahaan, leveragre dan manajemen laba.

dan kepemilikan manajerial berpengaruh positif

terhadap manajemen laba 2. Komisaris independen dan

komite audit berpengaruh negatif terhadap manajemen laba

3. Ukuran perusahaan dan

leverage berpengaruh positif terhadap manajemen laba 6. Pengaruh Mekanisme Corporate Governance, Ukuran Perusahaan, Dan Leverage Terhadap Praktik Manajemen Laba Pada Perusahaan Sektor Industri Manufaktur Di Bursa Efek Indonesia Periode 2005-2008. Isbanah (2012) Kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, ukuran dewan komisaris, proporsi dewan komisaris independen, dan manajemen laba. 1. Kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, tidak berpengaruh terhadap discretionary accruals 2. Proporsi dewan komisaris

independen, ukuran dewan komisaris, leverage berpengaruh negatif terhadap discretionary accruals 3. Ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap discretionary accruals

(20)

2.2 Kerangka Berfikir Hipotesis Penelitian

2.2.1 Pengaruh Kepemilkan Institusional terhadap Manajemen Laba

Adanya perbedaan kepentingan antara prinsipal sebagai pemilik perusahaan dan agen sebagai pengelola perusahaan menimbulkan masalah keagenan yang dapat memicu terjadinya manajemen laba. Keberadaan investor institusional akan meningkatkan fungsi monitoring yang lebih baik terhadap tindakan yang dilakukan manajemen (Boediono, 2005). Hal ini dikarenakan investor institusional seperti perusahaan reksa dana, perusahaan investasi, bank dan kepemilikan oleh institusi lain memiliki tingkat investasi yang besar terhadap perusahaan, sehingga apabila investor institusional merasa tidak puas terhadap kinerja manajer mereka akan menjual sahamnya ke pasar. Hal inilah yang mendasari investor institusional memiliki fungsi monitoring yang lebih teliti terhadap kinerja manajemen, sehingga mampu mengurangi praktik manajemen laba pada perusahaan. Investor institusional dikatakan sebagai investor yang berpengalaman (sophisticated) sehingga dapat melakukan fungsi monitoring secara lebih efektif dan tidak secara mudah diperdaya atau percaya dengan tindakan manipulasi oleh manajer seperti tindakan manajemen laba (Bushee, 1998) dalam Jao dan Pagalung (2011).

Penelitian yang dilakukan oleh Isbanah (2012) menunjukan bahwa kepemilikan institusional tidak berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba. Berbeda dengan penelitian Nuryaman dan Rusmin (2010) yang menemukan bahwa variabel kepemilikan institusional secara statistik berpengaruh negatif signifikan terhadap manajemen laba di dalam perusahaan. Tingkat kepemilikan institusional yang besar akan menimbulkan fungsi pengawasan yang lebih ketat, sehingga dapat mencegah perilaku opportunistic manajer yang nantinya akan berdampak pada peningkatan kinerja operasional serta meminimalisir praktik manajemen laba secara efektif.

Berdasarkan uraian diatas, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah: H1 : Kepemilikan Institusional berpengaruh terhadap Manajemen Laba

(21)

2.2.2 Pengaruh Kepemilikan Manajerial terhadap Manajemen Laba

Jensen & Meckling (1976) dalam Nuryaman (2010) menyatakan bahwa kepemilikan manajerial yang rendah akan berdampak pada konflik kepentingan antara manajer dan pemegang saham. Masalah keagenan dapat diminimalisasi dengan cara memperbesar kepemilikan manajerial sehingga manajemen akan cenderung untuk berusaha meningkatkan kinerjanya untuk kepentingan pemegang saham. Hal itu akan berpengaruh pada manajemen laba yang dihasilkan dan nilai perusahaan.

Namun, kepemilikan juga menghasilkan insentif bagi eksekutif untuk memanipulasi harga saham secara oportunistik. Kemampuan seorang eksekutif dalam menunjukkan perilaku oportunistik dibatasi oleh pengendalian internal. Penelitian yang dilakukan oleh Isbanah (2012) menunjukan bahwa variabel kepemilikan manajerial tidak berpengaruh terhadap manajemen laba. Penelitian ini dilakukan pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI tahun 2005-2008. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Nuryaman dan Rusmin (2010) yang menyatakan bahwa kepemilikan manajerial berpengaruh negatif signifikan terhadap manajemen laba. Hasil ini menunjukkan bahwa mekanisme corporate governance pada proksi kepemilikan manajerial mampu mengurangi ketidakselarasan kepentingan antara manajemen dengan pemilik atau pemegang saham.

Berdasarkan uraian diatas, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah: H2 : Kepemilikan Manajer berpengaruh terhadap Manajemen Laba

2.2.3 Pengaruh Proporsi Dewan Komisaris Independen terhadap Manajemen Laba

Fama dan Jensen (1983) dalam Ujiyantho dan Pramuka (2007), menyatakan bahwa non-executive director (Komisaris Independen) dapat bertindak sebagai penengah dalam perselisihan yang terjadi diantara para manajer internal dan mengawasi kebijakan manajemen serta memberikan nasihat kepada manajemen.

(22)

Menurut Klein (2002) dalam Herawaty (2008) membuktikan bahwa besarnya discretionary accrual lebih tinggi untuk perusahaan yang memiliki komite audit yang terdiri dari sedikit komisaris independen dibanding perusahaan yang mempunyai komite audit yang terdiri dari banyak komisaris independen.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Octavia (2017) menyatakan bahwa komposisi dewan komisaris independen berpengaruh negatif signifikan terhadap manajemen laba. Hasil penelitian ini mendukung penelitaan Jao dan Pagalung (2012). Hal ini menunjukkan bahwa komisaris independen telah efektif dalam menjalankan tanggung jawabnya mengawasi kualitas pelaporan keuangan demi membatasi manajemen laba pada perusahaan. Berdasarkan hasil ini dapat disimpulkan bahwa semakin besar proporsi dewan komisaris independen maka semakin berkurang aktivitas manajemen laba.

Berdasarkan uraian diatas, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah: H3 : Proporsi Dewan Komisaris Independen berpengaruh terhadap Manajemen Laba.

2.2.4 Pengaruh Ukuran Komite Audit terhadap Manajemen Laba

Komite audit adalah komite yang dibentuk oleh dewan komisaris untuk melakukan tugas pengawasan pengelolaan perusahaan. Komite audit mempunyai tanggung jawab utama untuk membantu dewan komisaris dalam menjalankan tanggung jawabnya terutama dengan masalah yang berhubungan dengan kebijakan akuntansi perusahaan, pengawasan internal, dan sistem pelaporan keuangan. Berdasarkan Surat Edaran OJK nomor 55/POJK.04/2015, keanggotaan komite audit terdiri dari sekurang-kurangnya tiga orang termasuk ketua komite audit.

Keberadaan komite audit dengan jumlah anggota yang memadai akan sangat membantu dalam proses pengawasan terhadap aktivitas perusahaan. Oleh karena itu, semakin banyak anggota komite audit akan meningkatkan efektivitas kinerja komite audit karena akan mampu saling meringankan dan melengkapi tugas setiap anggotanya. Maka diharapkan dengan meningkatnya kinerja komite

(23)

audit ini akan mampu mengurangi dan mencegah terjadi praktik manajemen laba pada perusahaan.

Penelitian Octavia (2017) menyatakan bahwa keberadaan komite audit mempunyai pengaruh negatif terhadap manajemen laba. Hal ini membuktikan bahwa keberadaan komite audit dapat meningkatkan efektifitas kinerja perusahaan. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Purbany dan Setiawan (2012) yang menyatakan bahwa komite audit yang diukur oleh jumlah anggota komite audit tidak berpengaruh secara signifikan terhadap manajemen laba.

Berdasarkan uraian diatas, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah: H4 : Ukuran Komite Audit berpengaruh terhadap Manajemen Laba.

Gambar 2.1

Kerangka Pemikiran Hubungan Antar Variabel Kepemilikan Institusional

Kepemilikan Manajerial

Proporsi Dewan Komisaris Independen

Manajemen Laba

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Sudijono (2011) Statistik dalam arti luas adalah suatu alat untuk mengumpulkan data, mengolah data, menarik kesimpulan, membuat tidakan berdasarkan analisis

Dari meta-analisis, kebutuhan transfusi pada PNL dan kombinasi terapi sama (< 20%). Kebutuhan transfusi pada ESWL sangat rendah kecuali pada hematom perirenal yang besar.

Apabila diperhatikan uraian yang terkait dengan perencanaan jangka panjang tersebut di atas menyiratkan bahwa dalam penyususnan RPJPD Daerah, keterlibatan masyarakat dalam

Konflik merupakan suatu proses yang dihasilkan dari tindakan ke- lompok atau individu yang dipandang oleh kelompok/individu lain akan mem- punyai akibat yang negatif

Pada tabel 1 menunjukkan sampel bukan perokok A dan C memiliki vital capacity yang lebih tinggi dari sampel B dan D hal ini bisa disebabkan oleh beberapa hal, yaitu pada sampel B

Pol.: B-2098-YU milik saksi Timbul Hutabarat, lalu mobil yang dikendarai oleh saksi Agus Permana tersebut diberhentikan oleh Terdakwa I Solihin, terdakwa II Nixon

Analisis regresi berganda digunakan untuk mengetahui pengaruh dari masing- masing variabel bebas secara parsial atau secara bersama-sama terhadap variabel terikat,

Ia juga merupakan satu skim yang ditawarkan oleh Majlis Agama Islam Negeri Johor (MAINJ) dengan nilai RM10 seunit untuk dimilik oleh umat Islam dan mewakafkan saham