• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. hubungan antara pemilik (principal) dan manajemen (agent) dalam mengelola

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. hubungan antara pemilik (principal) dan manajemen (agent) dalam mengelola"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

15 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

2.1. Landasan Teori 2.1.1. Teori Agensi

Teori agensi mengasumsikan bahwa terdapat kemungkinan konflik dalam hubungan antara pemilik (principal) dan manajemen (agent) dalam mengelola perusahaan atau disebut dengan konflik keagenan. Jensen & Meckling (1976) mendefinisikan hubungan agensi sebagai kontrak di mana satu orang atau lebih (principal) yang melibatkan orang lain (agent) untuk melakukan beberapa layanan atas nama principal yang melibatkan pendelegasian wewenang pengambilan keputusan kepada agent. Pemberian wewenang ini biasanya didasari oleh adanya keterbatasan kemampuan dan waktu owner untuk mengelola suatu proyek atau tugas, sehingga owner memerlukan seorang spesialis (agent) yang dapat mengerjakan proyek atau tugas tersebut (Parker, Dressel, Chevers, & Zeppetella, 2018). Namun, kurangnya kontrol sering kali menyebabkan agent akan berlaku selfish oportunis yang menimbulkan masalah antara agent dan owner (Miller & Whitford, 2007).

Hubungan antara pemilik (principal) dan manajer (agent) pada umumnya akan menciptakan asimetri informasi di antara kedua belah pihak (Messier, 2017).

Asimetri informasi merupakan keadaan di mana manajer memiliki informasi yang commit to user

(2)

16

lebih banyak tentang posisi keuangan dan hasil operasi perusahaan jika dibandingkan dengan pemiliknya. Namun, informasi yang disampaikan oleh agent kepada principal terkadang tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya. Oleh karena itu, diperlukan adanya high level atas good corporate governance untuk mengatasi masalah ini (Kanagaretnam, Lobo, & Whalen, 2007).

Menurut Armstrong, Blouin, Jagolinzer, & Larcker (2015), terjadinya permasalahan agensi antara principal dan agent disebabkan oleh keinginan principal untuk memaksimalkan laba dengan menurunkan beban pajak. Pihak agent memiliki kepentingan pribadi terkait sumber daya perusahaan, sementara pihak principal menghendaki terciptanya agresivitas pajak pada ukuran yang sesuai, yaitu tidak kurang karena dapat mengurangi keuntungan dan tidak lebih karena adanya ancaman sanksi serta pencemaran nama baik (Desai & Dharmapala, 2006). Apabila keputusan agresivitas pajak perusahaan dibuat oleh manajer, maka akan memberikan kesempatan bagi manajer untuk melakukan penghindaran pajak agar memperoleh laba dalam waktu dekat (Minnick & Noga, 2010). Berdasarkan permasalahan ini, fungsi corporate governance diharapkan mampu menanggulangi dampak atas persoalan agensi terkait agresivitas pajak perusahaan (Desai & Dharmapala, 2006).

2.1.2. Tax Avoidance

Penghindaran pajak adalah suatu tindakan yang umumnya dilakukan oleh wajib pajak dengan tujuan untuk menghindari atau meminimalisasi besarnya beban

commit to user

(3)

17

pajak yang harus disetorkan ke negara. Penghindaran pajak (tax avoidance) merupakan salah satu strategi yang dilakukan oleh perusahaan dalam kebijakan perpajakan untuk meminimalisasi kewajiban pajaknya yang dilakukan secara legal berdasarkan peraturan yang berlaku. Tax avoidance biasanya dilakukan dengan memanfaatkan kelemahan-kelemahan hukum pajak dan tidak melanggar hukum perpajakan (Dyreng, Hanlon, & Maydew, 2008). Di satu sisi, tax avoidance dapat memberikan manfaat yang besar bagi perusahaan, tetapi di sisi lain akan berdampak negatif pada penerimaan negara yang berasal dari pajak (Handayani, 2019).

Menurut Suandy (2008) dalam bukunya, penghindaran pajak diartikan sebagai suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan pengaturan hukum dari urusan wajib pajak untuk mengurangi kewajiban pajaknya dengan memanfaatkan celah hukum perpajakan. Perbedaan antara penghindaran pajak (tax avoidance) dan penggelapan pajak (tax evasion) terletak pada legalitas kebijakan perpajakan perusahaan. Komite urusan fiskal Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) telah menyebutkan 3 (tiga) karakteristik penghindaran pajak, yaitu sebagai berikut.

a. Adanya unsur artifisial di mana berbagai peraturan seolah-olah terdapat didalamnya, padahal tidak dan ini dilakukan karena ketiadaan faktor pajak.

b. Memanfaatkan loopholes dari undang-undang atau menerapkan ketentuan- ketentuan legal untuk berbagai tujuan, pada kenyataannya bukan itu yang sebenarnya dimaksudkan dalam undang-undang.

commit to user

(4)

18

c. Para konsultan pajak menunjukkan alat atau cara untuk melakukan penghindaran pajak dengan syarat wajib pajak menjaga serahasia mungkin (Council of Executive Secretaries of Tax Organization, 1991).

2.1.3. Good Corporate Governance

Corporate governance merupakan suatu mekanisme yang mempelajari hubungan antara perusahaan dengan pihak internal, eksternal, dan pemerintah. Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI) mendefinisikan corporate governance atau tata kelola perusahaan sebagai seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengurus/pengelola perusahaan, kreditur, pemerintah, karyawan, serta para pemegang kepentingan internal dan eksternal lainnya yang berkaitan dengan hak dan kewajiban mereka, atau suatu sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri BUMN Nomor Kep-01/MBU/2011 pasal 1 ayat 1 tentang penerapan tata kelola perusahaan yang baik pada BUMN, good corporate governance adalah prinsip- prinsip yang mendasari suatu proses dan mekanisme pengelolaan perusahaan yang berlandaskan pada peraturan perundang-undangan dan etika berusaha. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan 2 (dua) sumber konsep GCG sebagai landasan teori, yaitu laporan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) tahun 2015 dan pedoman umum GCG yang diterbitkan oleh Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) tahun 2006.

commit to user

(5)

19

Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) mengartikan good corporate governance sebagai sarana untuk menciptakan kepercayaan pasar dan integritas bisnis yang sangat penting bagi perusahaan yang membutuhkan akses ke pasar modal untuk investasi jangka panjang. Pada dasarnya, konsep GCG dalam laporan OECD tidak memiliki model yang baku, didalamnya hanya terdapat prinsip-prinsip yang mendasari bagi perusahaan untuk dapat melaksanakan tata kelola perusahaan dengan baik (Widiiswa & Baskoro, 2020).

Berdasarkan laporan OECD, perusahaan dapat menerapkan 6 (enam) bagian untuk menjalankan organisasinya dengan berlandaskan GCG. Keenam bagian tersebut meliputi: (i) memastikan dasar untuk kerangka kerja tata kelola perusahaan yang efektif; (ii) hak dan perlakuan yang adil bagi pemegang saham dan fungsi kepemilikan utama; (iii) investor institusi, pasar saham, dan perantara lainnya; (iv) peran pemangku kepentingan dalam tata kelola perusahaan; (v) pengungkapan dan transparansi; serta (vi) tanggung jawab dari dewan.

Dalam dokumen good corporate governance yang diterbitkan oleh KNKG, pedoman umum yang termuat dalam dokumen ini khusus untuk diterapkan pada perusahaan-perusahaan di Indonesia. Pedoman ini berisi mengenai hal-hal yang sangat prinsip yang seharusnya menjadi landasan bagi setiap perusahaan untuk mempertahankan kesinambungan usahanya dalam lingkup etika bisnis yang berlaku.

Sebuah perusahaan dapat dikatakan sudah melaksanakan good corporate governance apabila telah menerapkan prinsip-prinsip GCG dengan baik (Subagiastra, et al., 2016).

commit to user

(6)

20

Prinsip-prinsip tersebut meliputi transparansi (transparancy), akuntabilitas (accountability), responsibilitas (responsibility), independensi (independency), dan kewajaran serta kesetaraan (fairness).

Berdasarkan prinsip-prinsip pelaksanaan good corporate governance menurut laporan OECD (2015) dan pedoman umum GCG menurut KNKG (2006), peneliti telah menentukan 4 (empat) aspek yang akan digunakan untuk menganalisa mekanisme pelaksanaan GCG di Indonesia. Keempat aspek yang dimaksud oleh peneliti telah dijabarkan sebagai berikut.

1. Dewan Komisaris

Indonesia telah menggunakan two tier system pada sistem hukumnya, yaitu fungsi dari dewan direksi dan dewan komisaris terpisah atau berbeda sehingga permasalahan CEO duality yang menyebabkan terjadinya benturan kepentingan telah teratasi. Dewan komisaris dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 33/POJK.04/2014 pasal 1 ayat 3 didefinisikan sebagai organ emiten atau perusahaan publik yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada direksi. Dengan kata lain, dewan ini memiliki kewenangan untuk mengawasi kepemimpinan dan pekerjaan yang dilakukan oleh direksi, dalam hal ini dewan komisaris berwenang mencatat sementara anggota direksi apabila yang bersangkutan ternyata melakukan tindakan yang bertentangan dengan anggaran dasar yang telah ditetapkan perusahaan (Zain, 2008). Pedoman umum GCG yang

commit to user

(7)

21

diterbitkan oleh KNKG tahun 2006 mengatakan bahwa tugas dewan komisaris dapat dikatakan efektif apabila telah memenuhi beberapa prinsip, antara lain: (i) komposisi dewan komisaris harus memungkinkan pengambilan keputusan secara efektif, tepat, dan efisien; (ii) anggota dewan komisaris harus profesional, berintegritas, dan memiliki kemampuan; dan (iii) fungsi pengawasan dan pemberian nasihat.

2. Komisaris Independen

Komisaris independen didefinisikan sebagai seorang yang tidak terafiliasi dalam segala hal dengan pemegang saham pengendali, tidak memiliki hubungan afiliasi dengan dewan direksi atau dewan komisaris, dan tidak memiliki jabatan di perusahaan yang terkait dengan perusahaan pemilik menurut peraturan yang dikeluarkan oleh BEI (Annisa & Kurniasih, 2012). Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 33/POJK.04/2014 pasal 20 ayat 3 telah menegaskan bahwa setiap perusahaan publik minimal memiliki persentase komisaris independen sebesar 30% dari seluruh anggota dewan komisarisnya. Adanya komisaris yang bersifat independen akan mendorong terciptanya pengawasan terhadap jalannya perusahaan yang lebih akuntabel, sehingga dapat memainkan peran pentingnya dalam pelaksanaan tata kelola perusahaan yang baik.

3. Komite Audit

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 55/POJK.04/2015 pasal 3 menyatakan bahwa komite audit adalah komite yang dibentuk oleh dewan komisaris independen perusahaan yang anggotanya diangkat dan diberhentikan

commit to user

(8)

22

oleh dewan komisaris. Komite ini terdiri dari 3 (tiga) orang anggota dan minimal 1 (satu) diantaranya memiliki keahlian di bidang akuntansi dan keuangan. Komite audit menjadi bagian penunjang dari dewan komisaris yang bertugas untuk membantu memastikan bahwa (i) laporan keuangan disajikan secara wajar sesuai prinsip akuntansi berterima umum, (ii) struktur pengendalian internal perusahaan dilaksanakan dengan baik, (iii) pelaksanaan audit internal dan eksternal dilaksanakan sesuai dengan standar audit yang berlaku, dan (iv) tindak lanjut atas temuan audit dilaksanakan oleh manajemen.

4. Kualitas Audit

Kualitas audit adalah segala kemungkinan yang dapat terjadi saat auditor mengaudit laporan keuangan klien dan menemukan pelanggaran yang terjadi serta melaporkannya dalam laporan keuangan auditan (Dewi & Jati, 2014). Saat melaksanakan tugasnya, auditor harus berpedoman pada standar auditing dan kode etik akuntan publik yang relevan (Mulyani, et al., 2018). Keberadaan auditor independen sangat berguna untuk memastikan kualitas pelaporan keuangan perusahaan. Menurut beberapa referensi, laporan keuangan yang diaudit oleh KAP The Big Four dipercaya lebih berkualitas sehingga menampilkan nilai perusahaan yang sebenarnya, oleh karena itu, diduga perusahaan yang diaudit KAP The Big Four (PricewaterhouseCoopers - PwC, Deloitte Touche Tohmatsu, KPMG, Ernst & Young - EY) memiliki tingkat kecurangan yang lebih rendah jika dibandingkan dengan perusahaan yang diaudit oleh KAP non The Big Four (Annisa & Kurniasih, 2012).

commit to user

(9)

23 2.1.4. Penelitian Terdahulu

Penelitian mengenai pengaruh good corporate governance terhadap tax avoidance telah banyak dilakukan oleh para peneliti sebelumnya. Berikut adalah ringkasan penelitian-penelitian terdahulu dengan topik serupa seperti penelitian ini.

Amalia & Septiani (2018) melakukan penelitian mengenai pengaruh corporate governance yang diproksikan oleh kepemilikan institusional, dewan komisaris independen, dewan komisaris, komite audit, dan kualitas audit terhadap tax avoidance yang diukur menggunakan Effective Tax Rate (ETR). Sampel yang digunakan adalah perusahaan manufaktur terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) tahun 2011 – 2015. Analisis regresi linear berganda digunakan dalam penelitian ini.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa komisaris independen dan komite audit berpengaruh positif signifikan terhadap tax avoidance, kepemilikan institusional dan kualitas audit berpengaruh negatif signifikan terhadap tax avoidance, dan dewan komisaris tidak berpengaruh terhadap tax avoidance.

Diantari & Ulupui (2016) melakukan penelitian mengenai pengaruh komite audit, proporsi komisaris independen, dan proporsi kepemilikan institusional terhadap tax avoidance dengan ukuran perusahaan sebagai variabel kontrol. Dalam penelitian ini, tax avoidance diukur dengan menggunakan Cash Effective Tax Rate (Cash ETR).

Sampel yang digunakan adalah perusahaan manufaktur terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) tahun 2012 – 2014. Dengan teknik analisis regresi linear berganda,

commit to user

(10)

24

diperoleh hasil bahwa komite audit dan proporsi komisaris independen berpengaruh negatif terhadap tax avoidance, proporsi kepemilikan institusional tidak berpengaruh terhadap tax avoidance, dan ukuran perusahaan sebagai variabel kontrol berpengaruh positif terhadap tax avoidance.

Prawira (2017) melakukan penelitian mengenai pengaruh corporate governance yang diproksikan oleh ukuran dewan komisaris dan ukuran dewan direksi terhadap agresivitas pajak. Agresivitas pajak diukur dengan menggunakan Book-Tax Differences (BTD). Sampel penelitian yang digunakan adalah perusahaan manufaktur terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) tahun 2013 – 2015. Dengan menggunakan teknik analisis regresi linear berganda, diperoleh hasil bahwa jumlah dewan komisaris berpengaruh negatif signifikan terhadap agresivitas pajak, sedangkan jumlah dewan direksi berpengaruh positif signifikan terhadap agresivitas pajak.

Vanesali & Kristanto (2020) melakukan penelitian mengenai pengaruh corporate governance dan leverage terhadap agresivitas pajak yang diukur dengan menggunakan Effective Tax Rate (ETR). Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah perusahaan sektor pertambangan terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) tahun 2013 – 2018. Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan analisis regresi linear berganda. Hasil uji menunjukkan bahwa kepemilikan institusional dan komite audit berpengaruh positif signifikan terhadap agresivitas pajak, proporsi komisaris independen dan kualitas audit berpengaruh negatif signifikan terhadap agresivitas pajak, dan leverage tidak berpengaruh terhadap agresivitas pajak.

commit to user

(11)

25 2.2. Pengembangan Hipotesis

2.2.1. Pengaruh Dewan Komisaris terhadap Tax Avoidance

Dewan komisaris merupakan mekanisme internal utama perusahaan yang berfungsi untuk mengawasi kinerja dan mengontrol perilaku oportunis manajemen.

Pedoman good corporate governance yang diterbitkan oleh KNKG tahun 2006 menjelaskan bahwa dewan komisaris sebagai organ perusahaan yang bertugas dan bertanggung jawab secara kolektif untuk mengawasi dan memberikan nasihat kepada dewan direksi serta memastikan bahwa perusahaan melaksanakan GCG. Peran dewan komisaris menjadi sangat penting karena berkaitan langsung dengan kepentingan antara principal dan agent di dalam perusahaan.

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 33/POJK.04/2014 pasal 20 ayat 1 telah mewajibkan kepada setiap perusahaan publik agar minimal memiliki dewan komisaris yang tersusun oleh 2 (dua) orang anggota. Banyaknya jumlah anggota dewan komisaris juga harus disesuaikan dengan kompleksitas bisnis serta memperhatikan efektivitasnya terkait pengambilan keputusan. Salah satu peran dewan komisaris adalah memberikan arahan dan pengawasan terhadap direksi dalam penyusunan laporan keuangan agar mematuhi standar akuntansi yang berlaku sehingga menghasilkan laporan keuangan yang berkualitas. Kehadiran dewan komisaris juga memiliki pengaruh besar dalam proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh direksi, termasuk penerapan strategi yang dirancang untuk memenuhi harapan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya (Sunarto, Widjaja, &

commit to user

(12)

26

Oktaviani, 2021). Hal ini akan mendorong pihak manajemen untuk selalu berhati-hati dalam membuat kebijakan perpajakan karena menyangkut langsung pada kepentingan principal.

Halioui, et al. (2016) mengatakan bahwa semakin banyak jumlah anggota dewan komisaris maka akan semakin efektif dalam memonitor aktivitas manajemen perusahaan. Semakin banyak anggota dewan komisaris akan menciptakan pengawasan terhadap dewan direksi yang lebih ketat, sehingga aktivitas direksi dalam hal kebijakan perpajakan dapat diawasi dengan baik. Penelitian yang dilakukan oleh Prawira (2017) memperoleh hasil bahwa dewan komisaris berpengaruh negatif signifikan terhadap agresivitas pajak. Sudah menjadi kewajiban bagi dewan komisaris untuk selalu berpedoman pada GCG dalam melaksanakan tugasnya sehingga dapat menekan praktik penghindaran pajak. Dengan demikian, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

H1 : Dewan komisaris berpengaruh negatif signifikan terhadap tax avoidance.

2.2.2. Pengaruh Komisaris Independen terhadap Tax Avoidance

Komisaris independen merupakan bagian dari dewan komisaris yang berasal dari luar perusahaan dan tidak memiliki hubungan dengan perusahaan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kehadiran komisaris independen dimaksudkan untuk mendukung fungsi pengawasan yang dilakukan oleh dewan komisaris dan memastikan bahwa pengelolaan perusahaan dilakukan dengan baik sehingga

commit to user

(13)

27

menghasilkan laporan keuangan yang objektif. Lanis & Richardson (2012) mengatakan bahwa keberadaan komisaris independen seharusnya dapat meningkatkan pengawasan terhadap manajemen serta meningkatkan kepatuhan perusahaan terhadap aturan perpajakan.

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 33/POJK.04/2014 tentang Direksi dan Dewan Komisaris Emiten atau Perusahaan Publik telah mewajibkan bahwa proporsi minimal komisaris independen sebuah perusahaan adalah sebesar 30% dari jumlah anggota dewan komisarisnya. Semakin banyak jumlah anggota komisaris independen diharapkan mampu menurunkan kebijakan pajak agresif yang dilancarkan oleh perusahaan (Dridi & Boubaker, 2016). Menurut Minnick & Noga (2010), semakin besar proporsi komisaris independen juga dapat meningkatkan kinerja dan kekayaan pemegang saham. Dari perspektif stakeholder, keberadaan komisaris independen merupakan salah satu strategi untuk turut memberikan pengaruh dan pengawasan sehingga dapat memberikan keuntungan bagi stakeholder (Sandy &

Lukviarman, 2015).

Adanya komisaris independen sebagai bagian dari tata kelola perusahaan ditujukan untuk menciptakan perusahaan yang terbuka dalam memberikan informasi bagi pihak-pihak yang berkepentingan dan menekan tindakan manajemen yang dapat merugikan perusahaan, salah satunya adalah praktik agresivitas pajak. Penelitian yang dilakukan oleh Diantari & Ulupui (2016), Maharani & Suardana (2014), Subagiastra, et al. (2016), dan Vanesali & Kristanto (2020) menunjukkan hasil bahwa komisaris

commit to user

(14)

28

independen berpengaruh negatif signifikan terhadap penghindaran pajak. Zhou (2011 dalam Halioui, et al., 2016) mengatakan bahwa komisaris independen dengan jumlah yang banyak terbukti lebih kecil kemungkinannya akan terpengaruh oleh agresivitas pajak. Berdasarkan uraian tersebut, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

H2 : Komisaris independen berpengaruh negatif signifikan terhadap tax avoidance.

2.2.3. Pengaruh Komite Audit terhadap Tax Avoidance

Komite audit adalah organ pendukung dalam tata kelola perusahaan yang berfungsi untuk membantu dewan komisaris dalam mengawasi aktivitas manajemen perusahaan. Dengan keahlian yang dimiliki, komite ini dapat memberikan pandangannya terkait permasalahan yang berhubungan dengan kebijakan keuangan, akuntansi, dan pengendalian internal perusahaan. Berjalannya fungsi komite audit secara efektif memungkinkan pengendalian pada perusahaan dan laporan keuangan yang lebih baik serta mendukung good corporate governance (Andriyani, 2008).

Sejak direkomendasikannya good corporate governance di Bursa Efek Indonesia (BEI), komite audit telah menjadi komponen utama dalam struktur corporate governance perusahaan publik (Diantari & Ulupui, 2016). Komite ini menjadi bagian sebuah perusahaan yang bertugas untuk mengontrol dan mengawasi kinerja manajemen, baik kinerja keuangan maupun kepatuhan terhadap standar operasional prosedur perusahaan (Haryanti, 2019). Fungsi komite audit yang berjalan

commit to user

(15)

29

dengan baik akan diiringi dengan berkurangnya kecurangan dalam pelaporan keuangan yang dilakukan oleh manajemen.

Dalam hubungannya dengan perpajakan, pihak manajemen umumnya memiliki motivasi untuk meningkatkan laba dengan cara menekan beban pajak.

Apabila stategi tersebut dilakukan secara agresif, maka akan berdampak negatif bagi pemegang saham, seperti menurunkan kredibilitas perusahaan jika tindakannya terdeteksi oleh fiskus. Oleh karena itu, komite audit diharapkan dapat mengurangi praktik penghindaran pajak yang dilakukan oleh pihak manajemen. Penelitian yang dilakukan oleh Diantari & Ulupui (2016), Hanum & Zulaikha (2013), dan Maharani

& Suardana (2014) memperoleh hasil bahwa komite audit berpengaruh negatif signifikan terhadap tax avoidance. Hasil penelitian terdahulu telah membuktikan bahwa keberadaan komite audit di sebuah perusahaan dapat meningkatkan kualitas good corporate governance, sehingga dapat meminimalisasi praktik penghindaran pajak. Berdasarkan uraian tersebut, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

H3 : Komite audit berpengaruh negatif signifikan terhadap tax avoidance.

2.2.4. Pengaruh Kualitas Audit terhadap Tax Avoidance

Salah satu elemen penting dalam good corporate governance adalah transparansi. Setiap perusahaan diwajibkan untuk objektif dalam menjalankan bisnis, seperti menyediakan informasi keuangan secara tepat waktu, dapat diperbandingkan,

commit to user

(16)

30

dan mudah diakses oleh para pemangku kepentingan perusahaan. Transparansi mensyaratkan adanya pengungkapan yang akurat tentang laporan keuangan yang telah diaudit oleh auditor independen. Laporan ini akan berguna bagi para pemegang saham untuk mengetahui dan menilai kebijakan-kebijakan perpajakan yang diterapkan oleh manajemen perusahaan.

Auditor independen dapat dikategorikan dengan berfokus pada Kantor Akuntan Publik (KAP) The Big Four dan KAP non The Big Four. Menurut Boussaidi

& Hamed (2015), alasan rasional yang mendasari perbedaan tersebut adalah KAP yang masuk dalam The Big Four memiliki kompetensi untuk mendeteksi dan mengungkapkan kesalahan pelaporan pihak manajemen, profesional dalam mempertahankan kualitas dan reputasinya, serta terjaminnya integritas proses audit.

Oleh karena itu, diharapkan KAP The Big Four dapat menghasilkan laporan keuangan auditan yang telah terbebas dari manipulasi pihak manajemen yang dapat merugikan, termasuk aktivitas penghindaran pajak.

Penelitian yang dilakukan oleh Amalia & Septiani (2018), Fadhilah (2014), Sunarsih & Oktavia (2016), dan Vanesali & Kristanto (2020) menunjukkan hasil bahwa kualitas audit berpengaruh negatif signifikan terhadap tax avoidance. Dapat dikatakan bahwa KAP The Big Four lebih kompeten dan profesional dalam bekerja jika dibandingkan dengan KAP lainnya, sehingga menghasilkan laporan keuangan yang lebih andal. Berdasarkan uraian tersebut, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

commit to user

(17)

31

H4 : Kualitas audit berpengaruh negatif signifikan terhadap tax avoidance.

2.3. Kerangka Penelitian

Kerangka teori menjelaskan bagaimana suatu fenomena atau variabel tertentu dapat terkait dengan teori satu sama lain (Sekaran & Bougie, 2016). Kerangka ini mempermudah pembaca dalam memahami hubungan antarvariabel yang digunakan dalam sebuah penelitian. Berdasarkan tinjauan pustaka dan pengembangan hipotesis yang telah dijabarkan oleh penulis, maka kerangka teori dalam penelitian ini dapat disajikan sebagai berikut.

H1

H2

H3

H4

Gambar 2.1 Kerangka Penelitian Dewan Komisaris (X1)

Komisaris Independen (X2)

Kualitas Audit (X4) Komite Audit (X3)

Ukuran Perusahaan Leverage

Return on Assets Capital Intensity

Tax Avoidance (Y)

commit to user

Referensi

Dokumen terkait

Setelah di perhitungkan berdasarkan metode Manual kapasitas jalan Indonesia 1997 (MKJI 1997), diketahui kecepatan arus bebas kendaraan pada ruas jalan Sentosa dari semua jenis

Sehingga dengan adanya Metode Cantol Raudhoh dapat memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kemampuan membaca anak pada kelompok B di TK KB Baitul Ilmi

Apabila nasabah telah melengkapi dengan benar Profil nasabah Reksa Dana ini akan tetapi memilih Reksa Dana Indosurya Asset Management dengan karakter yang tidak sesuai dengan

Di dukuh Bombong Desa Baturejo Kecamatan Sukolilo setelah penulis melakukan observasi, wawancara dan mencari data-data dokumen, memang tidak ada dalam catatan

Berdasarkan data tersebut, menunjukkan bahwa siput macan mampu mengakumulasi sebesar 101.22 kali konsentrasi plutonium di dalam air laut.Nilai persentase plutonium

generator sesuai langkah (7.1) kemudian menerapkan tegangan ke benda uji masing-masing 15 kali tembakan tegangan untuk setiap konfigurasi pengujian dan pada setiap

Analisa visual menunjukkan bahwa ada komponen protesa yang tidak sesuai dengan sumbu kaki, namun titik sumbu dari polycentric knee berada tepat pada titik sumbu dari gambit

Dari hasil wawancara dengan salah satu awak kapal tongkang bintang, Jefri pada intinya dijelaskan bahwa tidak optimalnya pelaksanan bunker dikarenakan dari