Sikap dan Kontrol Perilaku: Kesediaan sebagai Mediator dari Sikap dan
Peluang Mengemudi Agresif
Thobagus Mohammad Nu’man
Program Studi Psikologi, Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta Program Studi Magister Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Neila Ramdhani Program Studi Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Abstrak. Perilaku mengemudi agresif masih menjadi penyebab utama dari peristiwa kecelakaan lalu lintas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran sikap dan kontrol perilaku yang dirasakan terhadap perilaku mengemudi agresif, dan kesediaan untuk mengemudi agresif. Penelitian ini melibatkan 96 responden mahasiswa berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan yang menggunakan kendaraan bermotor untuk aktivitas sehari-hari. Pengumpulan data menggunakan Aggressive Driving Behavior Scale (ADBS) (
= .846) dari Houston et al. (2003), skala Sikap terhadap Mengemudi Agresif (
= .814), skala Kontrol Perilaku yang dirasakan (
= .858) yang disusun peneliti dengan mengacu pada Theory of Planned Behavior (Ajzen & Fishbein, 2005), serta skala Kesediaan Mengemudi Agresif (
= .846). Hasil uji fitmenunjukkan bahwa sikap dan kontrol perilaku yang dirasakan terhadap perilaku mengemudi agresif dimediasi oleh kesediaan untuk mengemudi agresif yang diperlihatkan dari ² = .399 (p > .05), nilai RMSEA = .000 (
.08), nilai GFI = .998 (> .90), dan nilai AGFI = .977 (> .90). Walaupun sikap secara signifikan memengaruhi perilaku mengemudi agresif, namun perannya menjadi lebih kuat apabila ada variabel kesediaan individu untuk mengemudi agresif.Kata Kunci: kesediaan, kontrol perilaku yang dirasakan, perilaku mengemudi agresif, sikap
The Attitude and Behavioral Control: Willingness as a Mediator of Attitudes and
Opportunities on Aggressive Driving
Abstract. Aggressive driving behavior is still a major cause of catastrophic accident events. This study aims to determine the role of attitudes and perceived behavioral control towards aggressive driving behavior, and willingness to drive aggressively. The study involved 96 respondents who drived motorized vehicle for daily activities. Data collection used Aggressive Driving Behavior Scale (ADBS) (
= .846) from Houston et al. (2003), Attitude toward Aggressive Driving scale (
= .814), Perceived Behavioral Control scale (
= .858) compiled by researchers with reference to the Theory of Planned Behavior (Ajzen & Fishbein, 2005), and Willingness to Drive Aggressively scale (
= .846). The fit test results showed that the attitude and control of perceived behavior towards aggressive driving behavior was mediated by the willingness to drive aggressively as shown from ² = .399 (p > .05), RMSEA value = .000 (
.08), GFI value = .998 (> .90), and AGFI value = .977 (> .90). Although the attitude significantly influences aggressive driving behavior, its role, however, becomes stronger when there was a variable in the willingness of individuals to drive aggressively.World Health Organization (2018) melaporkan bahwa kecelakaan lalu lintas merupakan persoalan yang sangat memprihatinkan. Hal ini ditunjukkan dengan adanya fakta bahwa setiap tahun, kecelakaan lalu lintas mengakibatkan hampir 1,2 juta orang meninggal dunia. Fakta ini menempati urutan kedelapan penyebab kematian seluruh manusia di seluruh tahapan usia, serta urutan pertama penyebab kematian pada anak-anak dan remaja dalam rentang usia 5 – 29 tahun. Permasalahan kecelakaan lalu lintas ditemukan tiga kali lebih tinggi di negara-negara berpenghasilan rendah-menengah dibandingkan negara-negara berpenghasilan tinggi (World Health Organization, 2018). Berdasarkan data statistik dari Korps Lalu Lintas Kepolisian Negara Republik Indonesia (Korlantas Polri), disebutkan bahwa sebanyak 93,350 kasus kecelakaan terjadi sepanjang Juni 2018– Desember 2019 (Korlantas Polri, 2018). Data kecelakaan lalu lintas di wilayah hukum Polda Yogyakarta sepanjang tahun 2018 tercatat 5,061 kasus kecelakaan lalu lintas, dan menyebabkan 23 korban luka berat, 6800 korban luka ringan, dan 485 korban meninggal dunia. Kecelakaan lalu lintas tersebut tidak hanya mengakibatkan korban jiwa tetapi juga kerugian materiel yang diperkirakan mencapai 406 miliar rupiah pada periode waktu yang sama (Bappeda DIY, 2018). Stephens dan Sullman (2015) mencatat bahwa faktor manusia seperti agresi, kehilangan konsentrasi, dan kontrol perilaku terhadap kendaraan
merupakan faktor yang menyebabkan kecelakaan lalu lintas. Selain itu, Korlantas Polri menyebutkan bahwa kendaraan yang terlibat kecelakaan lalu lintas didominasi oleh sepeda motor daripada kendaraan roda empat. Kecelakaan lalu lintas yang melibatkan sepeda motor berkisar sebanyak 79% dibandingkan yang melibatkan mobil (Korlantas Polri, 2018). Secara spesifik, Herrero-Fernández dan Fonseca-Baeza (2017) menyebutkan perilaku agresif mengemudi sebagai salah satu faktor risiko yang mengakibatkan morbiditas dan kematian dalam kecelakaan kendaraan bermotor. Efek mengemudi agresif dan mengemudi berisiko ditemukan pada hubungan antara pemikiran agresif dan peristiwa kecelakaan. Paleti et al. (2010) menyatakan bahwa pengemudi agresif cenderung menunjukkan perilaku-perilaku yang berisiko atau mengarah pada terjadinya kecelakaan. Perilaku agresif mengemudi (Parker et al., 1998) adalah segala bentuk perilaku mengemudi yang dimaksudkan untuk melukai atau membahayakan pengguna jalan lain secara fisik atau psikologis. Di sisi lain, menurut Houston et al. (2003), perilaku mengemudi agresif sebagai pola perilaku mengemudi tidak aman yang meletakkan pengendara dan/atau orang lain pada risiko.
Secara garis besar, Sharkin (2004) mengelompokkan tiga faktor yang memengaruhi perilaku mengemudi agresif: (a) kondisi situasional dan atau lingkungan, (b) kepribadian atau disposisi, dan (c) variabel
demografis. Galovski et al. (2006) menyimpulkan bahwa terdapat faktor-faktor personal predisposisi yang memengaruhi perilaku mengemudi agresif: (a) kontrol perilaku yang dirasakan tentang mengemudi, (b) norma subjektif, dan (c) sikap positif terhadap mengemudi agresif. Efrat dan Shoham (2013) menegaskan bahwa baik sikap, norma subjektif dan kontrol perilaku menjadi prediktor yang baik terhadap intensi perilaku mengemudi agresif.
Menurut model prototipe/kesediaan (prototype/willingness model)(Gibbons et al., 2009), ada dua jalur yang memengaruhi munculnya perilaku: (a) melalui jalur kesengajaan (intensi), yakni perilaku tersebut terbentuk berdasarkan perilaku yang bertujuan dan beralasan (reasoned path); dan (b) melalui reaksi sosial (social reaction), yakni perilaku terbentuk tidak harus dengan kesengajaan. Perilaku dilihat sebagai sesuatu yang spontan, reaktif, maupun impulsif karena situasi tertentu. Jalur pertama sebagaimana yang dijelaskan oleh Ajzen (1991) bahwa intensi merupakan hal yang menentukan sejauh mana seseorang akan melakukan tindakan atau tidak. Pendapat ini berasumsi bahwa perilaku yang dilakukan oleh seseorang merupakan perilaku yang disadari dan rasional. Sementara itu, jalur kedua merupakan pengembangan sekaligus kritik terhadap apa yang disampaikan oleh Ajzen. Menurut Gibbons et al. (1998), tidak semua perilaku bersifat rasional, tetapi ada banyak perilaku yang bersifat irasional dan spontan.
Untuk itu, alasan seseorang melakukan suatu perilaku tidak harus berdasarkan pada sesuatu yang diniatkan, tetapi melalui reaksi sosial. Gibbons et al. (1998) menyebut reaksi sosial sebagai kesediaan (willingness), yaitu keterbukaan seseorang akan kesempatan untuk melakukan suatu tindakan. Kesamaan dari dua jalur tersebut adalah, bahwa kedua-duanya merupakan determinan bagi munculnya perilaku.
Perilaku mengemudi agresif oleh Shinar (1998) dipandang sebagai perilaku yang muncul akibat reaksi dari faktor situasional, misalkan kemacetan lalu lintas ataupun kepadatan lalu lintas. Hal yang sama disampaikan oleh Lajunen dan Parker (2001) yang menyatakan bahwa perilaku mengemudi agresif cenderung dipandang sebagai reaksi dari terhalangnya seseorang dalam mengemudikan kendaraannya. Perilaku agresi yang reaktif dan emosional disebut oleh Anderson dan Bushman (2002) sebagai agresi impulsif. Dengan kata lain, mengemudi agresif dapat digambarkan sebagai perilaku agresif yang reaktif terhadap situasi di jalan raya.
Sikap dipandang sebagai salah satu determinan yang memengaruhi munculnya intensi. Sikap diasumsikan memiliki kemampuan untuk membimbing, memengaruhi, mengarahkan, membentuk, dan memprediksi perilaku (Kraus, 1995). Menurut Fazio et al. (1989), sikap adalah asosiasi yang dipelajari di dalam memori antara objek dan evaluasi positif atau negatif terhadap objek.
Dengan demikian, apabila seseorang memegang sikap setuju terhadap suatu objek, maka dia akan cenderung memperhatikan atribut positif dari objek tersebut dan sebaliknya. Perhatian tersebut akan mengarahkan pada perilaku yang sejalan dengan sikap positif atau negatif yang dimiliki oleh individu.
Studi tentang pentingnya sikap dalam memprediksi intensi telah banyak dilakukan (Ajzen, 1991). Dalam konteks mengemudi, pentingnya sikap dalam memprediksi intensi telah ditunjukkan oleh berbagai studi. Yagil (2001) menyatakan bahwa sikap terhadap pelanggaran lalu lintas berkorelasi dengan intensi melanggar lalu lintas (misalnya ngebut, mengambil lajur orang lain, dan tidak menjaga jarak). Secara spesifik, sikap pengemudi kendaraan bermotor berkaitan dengan perilaku mengemudi agresif terhadap pengendara lain, terutama pengendara sepeda (Fruhen & Flin, 2015). Sikap juga ditemukan berkaitan dengan ragam perilaku yang diasosiasikan dengan intensi perilaku mengemudi agresif, misal mengemudi dalam keadaan mabuk dan pelanggaran lalu lintas (Castanier et al., 2013; Moan, 2013). Temuan-temuan tersebut menunjukkan bahwa sikap memiliki peranan penting dalam memunculkan intensi perilaku dalam berbagai konteks, termasuk konteks intensi mengemudi agresif. Sikap dipandang sebagai prediktor yang kuat bagi perilaku yang akan datang (Kraus, 1995). Parker et al. (1998) menunjukkan bahwa sikap memiliki keterkaitan dengan pelanggaran mengemudi
agresif, baik karena individu yang bersangkutan sebagai inisiator maupun karena pembalasan terhadap pengemudi lain atau respons dari provokasi pengemudi lain.
Meskipun demikian, intensi sebagai penentu perilaku dipandang memiliki kelemahan dalam menjelaskan berbagai berilaku yang terkait dengan perilaku berisiko. Webb dan Sheeran (2006) menemukan bahwa intensi dilaporkan kurang prediktif dalam kaitannya dengan perilaku kesehatan berisiko daripada dalam konteks perilaku melindungi kesehatan. Temuan yang sama dilaporkan oleh otoritas keamanan di jalan bahwa intensi dipandang kurang prediktif ketika perilaku yang diukur merupakan perilaku yang tidak diinginkan secara sosial (socially undesirable) (Rivis et al., 2011). Senada dengan hal tersebut, Beck dan Ajzen (1991) menemukan bahwa intensi kurang memprediksi perilaku yang ilegal dan tidak pantas. Konsekuensinya, perilaku mengemudi agresif lebih tepat dikonseptualisasikan sebagai kesediaanuntuk bereaksi terhadap situasi yang menyediakan kesempatan untuk mencapai tujuan melalui mengemudi agresif. Gibbons et al. (1998) menjelaskan bahwa faktor determinan dari kesediaan terdiri dari tiga faktor: sikap, norma subjektif, dan prototipe.
Berbagai penelitian menunjukkan adanya keterkaitan antara sikap dan kesediaan. Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Zimmermann dan Sieverding (2010) yang menunjukkan adanya hubungan antara sikap
dan kesediaan untuk mengonsumsi alkohol dalam konteks sosial. Rivis et al. (2011) menemukan adanya keterkaitan antara sikap dan kesediaan mengemudi dalam kondisi mabuk. Penelitian sebelumnya juga menemukan bahwa kesediaan berkorelasi dengan perilaku mengemudi yang berisiko, yaitu mengemudi dalam kondisi mabuk (Pinsky et al., 2004; Rivis et al., 2011). Beberapa penelitian menyebutkan bahwa sikap menjadi faktor determinan yang kuat dalam menentukan kesediaan seseorang untuk bertindak mengemudi agresif (Elliott et al., 2017; Kordasiabi et al., 2017).
Menurut Sheeran (2002), kontrol perilaku yang dirasakan semestinya berasosiasi dengan niat, karena seseorang tidak mungkin memiliki niat melakukan suatu tindakan tertentu tanpa memiliki kontrol terhadap tindakan tersebut. Sebaliknya, menurut Ajzen (1991), seseorang cenderung memiliki suatu niat melakukan tindakan tertentu apabila ia percaya memiliki kemampuan dan sumber daya yang dibutuhkan untuk melakukan suatu tindakan.
Berdasarkan kajian Ajzen dan Madden (1986), kontrol perilaku yang dirasakan, jika dibandingkan dengan sikap dan norma subjektif, memiliki kontribusi yang lebih besar untuk memprediksi intensi. Lebih lanjut, Sheeran et al. (2003) menemukan bahwa kontrol perilaku yang dirasakan dapat menjadi moderator hubungan antara intensi dan perilaku. Semakin tinggi skor kontrol perilaku
yang dirasakan, semakin kuat hubungan antara intensi dan perilaku.
Penel itian yang dilakukan oleh Zimmermann dan Sieverding (2010) menemukan bahwa kontrol perilaku yang dirasakan berkorelasi dengan kesediaan seseorang untuk mengonsumsi alkohol dalam konteks sosial, baik pada kelompok laki-laki maupun perempuan. Lebih spesifik dalam konteks mengemudi, Rivis et al. (2011) menemukan keterkaitan antara kontrol perilaku yang dirasakan dan kesediaan mengemudi setelah mengonsumsi alkohol. Selain itu, Rivis et al. (2011) menemukan bahwa kontrol perilaku yang dirasakan lebih kuat pada pengemudi muda dan laki-laki dibandingkan dengan pengemudi perempuan atau pengemudi berusia tua. Hal ini dapat dijelaskan bahwa pengemudi muda laki-laki merasa jika mengemudi dalam kondisi mabuk merupakan kondisi yang kondusif dan mereka sebagai laki-laki merasa tertantang untuk melakukan hal tersebut (Rivis et al., 2011). Kontrol perilaku yang dirasakan juga memberi sumbangan terhadap sejauh mana kesediaan seseorang untuk mempercepat laju kendaraannya (Kordasiabi et al., 2017). Penelitian yang dilakukan oleh Demir et al. (2019) menemukan bahwa peran kontrol yang dirasakan memprediksi pelanggaran yang dilakukan oleh pejalan kaki. Beberapa penelitian tersebut menunjukkan bahwa kontrol perilaku yang dirasakan memiliki peran yang sangat berpengaruh terhadap
berbagai macam perilaku yang menyimpang. Kesimpulan yang dapat diperoleh dari penjelasan tersebut adalah seseorang sebelum memunculkan suatu perilaku tertentu, mestinya didahului oleh kesediaan perilaku tersebut. Dengan demikian, kesediaan dipandang sebagai variabel yang memperkuat keterkaitan antara sikap dan kontrol yang dirasakan terhadap perilaku tertentu, dalam hal ini adalah perilaku mengemudi agresif.
Berdasarkan beberapa penelitian di atas yang menyebutkan peranan sikap dan kontrol perilaku yang dirasakan dalam konteks berkendara, khususnya mengemudi agresif (Efrat & Shoham, 2013; Kordasiabi et al., 2017), peneliti berasumsi bahwa perilaku mengemudi agresif dipengaruhi oleh variabel sikap dan kontrol perilaku yang dirasakan. Selain itu, determinan terdekat perilaku mengemudi agresif ditentukan oleh kesediaanmengemudi agresif. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua, yaitu hipotesis minor dan mayor. Hipotesis minor penelitian ini adalah: (1) Sikap terhadap mengemudi agresif memiliki efek langsung maupun tidak langsung terhadap perilaku mengemudi agresif; dan (2) Kontrol perilaku yang dirasakan memiliki efek langsung maupun tidak langsung terhadap perilaku mengemudi agresif. Sementara hipotesis mayor dalam penelitian ini adalah adanya pengaruh sikap terhadap mengemudi agresif dan kontrol perilaku yang dirasakan terhadap perilaku
agresif mengemudi yang dimediasi oleh kesediaan mengemudi agresif.
Metode
Subjek penelitian ini adalah 96 mahasiswa yang terdiri dari 50 mahasiswa laki-laki dan 46 mahasiswa perempuan yang berusia antara 17 – 27 tahun (M = 19.93; SD = 1.84) yang mengendarai kendaraan sepeda motor. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan empat skala yang terdiri atas skala Perilaku Mengemudi Agresif yang disusun dengan mengacu pada Aggressive Driving Behavior Scale (ADBS) yang terdiri atas dua aspek, yaitu Perilaku Konflik (Conflict Behavior) dan Mengebut (Speeding) (Houston et al., 2003).
Peneliti menyusun sendiri skala Sikap terhadap Mengemudi Agresif dan skala Kontrol Perilaku yang dirasakan dengan mengacu pada model Theory of Planned Behavior (Ajzen & Fishbein, 2005). Dua komponen sikap yaitu instrumental dan eksperiensial digunakan dalam menyusun butir-butir skala sikap. Untuk pengukuran tidak langsung (belief-based measure) didasarkan atas komponen keyakinan perilaku (behavioral belief) dan evaluasi terhadap hasil dari suatu perilaku (outcome evaluation). Alat ukur Kontrol Perilaku yang Dirasakan terhadap Mengemudi Agresif, terdiri dari delapan butir yang disusun berdasarkan komponen-komponen yang disarankan oleh Ajzen dan Fishbein (2005), yaitu efikasi diri dan kontrol perilaku yang
dirasakan. Untuk pengukuran tidak langsung (belief-based measure) didasarkan atas komponen kontrol kekuatan keyakinan (control belief strength) dan kontrol kekuatan kepercayaan (control belief power).
Skala Kesediaan Mengemudi Agresif mengacu pada pernyataan Gibbons et al. (1998) yang mengukur kesediaan seseorang melakukan tindakan tertentu dengan cara memberikan gambaran tentang kejadian kondusif yang mengandung risiko, kemudian responden ditanya tentang kemungkinan-kemungkinan tindakan yang akan dilakukan atau dengan kata lain bagaimana responden bereaksi terhadap situasi tersebut. Selanjutnya,
analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis jalur (path analysis).
Hasil
Uji fitmodel perilaku mengemudi agresif menggunakan analisis jalurmodel persamaan struktural memperlihatkan bahwa nilai kai-kuadrat (chi-square) sebesar .399 dengan p = .528 (> .05); nilai RMSEA sebesar .000 (< .08); nilai GFI sebesar .998 (> .90); dan nilai AGFI .977 (> .90). Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan oleh Schumacker dan Lomax (2004) dan Byrne, (2013), hasil uji fit telah memenuhi persyaratan (Tabel 1). Tidak ada perbedaan matriks kovarians data dan matriks kovarians yang diestimasi.
Model teoritis yang dihipotesiskan dapat diterima, yaitu ada pengaruh sikap (attitude) terhadap mengemudi agresif dan kontrol perilaku yang dirasakan (Perceived
Behavior Control/PBC) terhadap perilaku agresif mengemudi (aggressive driving) yang dimediasi oleh kesediaan mengemudi agresif.
Tabel 1
Rangkuman Uji Fit Model Perilaku Mengemudi Agresif
Sumber Persyaratan GoF Kesimpulan ² Nilai p > .05 .528 Fit RMSEA Nilai RMSEA < .08 .000 Fit GFI Nilai GFI > .90 .998 Fit AGFI Nilai AGFI > .90 .977 Fit
Catatan. GoF = Goodness of Fit; RMSEA = Root Mean Square Error of Approximation; GFI = Goodness of Fit Index; AGFI = Adjusted of Fit Index.
Gambar 1
Uji Model Teoritis Perilaku Mengemudi Agresif
Catatan. Uji model teoritis perilaku mengemudi agresif ini menghasilkan Relative Chi-square Index (cmin)= .399, p = .528, GFI = .998, AGFI = .977, dan RMSEA = .000.
Hasil analisis menunjukkan ada pengaruh sikap terhadap kesediaanuntuk mengemudi agresif (
= .18; p < .05), dan ada pengaruh kontrol perilaku yang dirasakan terhadap kesediaanuntuk mengemudi agresif (
= .61; p < .01). Berdasarkan hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa individu yang memiliki sikap yang positif terhadap mengemudi agresif dan memiliki keyakinan atas kemampuan sumber daya yang dibutuhkan untuk bertindak mengemudi agresif cenderung menumbuhkan kesediaanuntuk mengemudi agresif. Kontrol perilaku yang dirasakan memiliki kemampuan prediktif yang lebih kuat dibandingkan dengan sikap. Selanjutnya, kesediaanuntuk mengemudi agresif menjadi determinan terdekat bagi munculnya perilaku mengemudi agresif (
= .80; p < .01). Selain itu secara independen, individu yang memiliki sikap positif terhadap mengemudi agresif akan cenderung menampilkan perilaku mengemudi agresif (
= .14; p < .05).Efek tidak langsung ditujukan untuk melihat sejauh mana variabel eksogen berpengaruh terhadap variabel endogen yang diperkuat oleh variabel mediator. Variabel mediator dipandang memiliki peran memperkuat hubungan variabel eksogen dan variabel endogen. Berdasarkan uji model, ditemukan bahwa kesediaan untuk mengemudi agresif sebagai penguat antara sikap terhadap perilaku mengemudi agresif (
= .143) dan kontrol perilaku yang dirasakan terhadap perilaku mengemudi agresif (
= .486). Dengan kata lain, individu yang memiliki sikap positif terhadap perilaku mengemudi agresif dan persepsi terhadap kemampuan serta sumber daya untuk melakukan perilaku mengemudi agresif cenderung menampilkan perilaku mengemudi agresif apabila individu yang bersangkutan memiliki kesediaan untuk mengemudi agresif yang kuat. Selain itu, jika dibandingkan dengan sikap efek tidak langsung,kontrol perilaku yang dirasakan memiliki nilai koefisien yang cukup besar.
Pembahasan
Kesediaan untuk mengemudi agresif diketahui menjadi prediktor yang kuat dalam mengantarai sikap dan kontrol yang dirasakan dengan perilaku mengemudi agresif. Peran kesediaan untuk mengemudi agresif sebagai penguat antara sikap terhadap perilaku mengemudi agresif (
= .143; p < .05) dan kontrol perilaku yang dirasakan terhadap perilaku mengemudi agresif (
= .486; p < .01). Dengan kata lain, individu yang memiliki sikap positif terhadap perilaku mengemudi agresif dan persepsi terhadap kemampuan serta sumber daya untuk melakukan perilaku mengemudi agresif cenderung menampilkan perilaku mengemudi agresif apabila individu yang bersangkutan memiliki kesediaan untuk mengemudi agresif yang kuat. Temuan tersebut sejalan dengan model prototipe/kesediaan (Gibbons et al., 1998) yang menyebutkan bahwa kesediaan sebagai determinan bagi terbentuknya suatu perilaku. Kesediaan didefinisikan sebagai keterbukaan individu terhadap peluang, yaitu kesediaan seseorang untuk melakukan suatu perilaku tertentu dalam situasi yang kondusif untuk menampilkan perilaku tersebut (Pomery et al., 2009). Dengan demikian, untuk menampilkan perilaku mengemudi agresif—perilaku yang mengandung risiko ataupun yang tidak diharapkan secara sosial—ditentukan olehsejauh mana seseorang memiliki kesediaan untuk menampilkan perilaku mengemudi agresif saat kesempatan tersebut terbuka. Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Zimmermann dan Sieverding (2010) yang menunjukkan adanya hubungan antara sikap dan kontrol perilaku yang dirasakan terhadap kesediaan untuk mengonsumsi alkohol dalam konteks sosial. Temuan yang sama, namun dalam konteks perilaku mengemudi, juga dilakukan oleh Rivis et al. (2011) yang menemukan adanya keterkaitan antara sikap dan kontrol perilaku yang dirasakan dengan kesediaan mengemudi dalam kondisi mabuk.
Individu yang memiliki sikap yang positif terhadap mengemudi agresif dan memiliki keyakinan atas kemampuan sumber daya yang dibutuhkan untuk bertindak mengemudi agresif cenderung menumbuhkan kesediaan untuk mengemudi agresif. Pengaruh sikap terhadap kesediaanuntuk mengemudi agresif (
= . 18; p < .05), dan pengaruh kontrol perilaku yang dirasakan terhadap kesediaan untuk mengemudi agresif (
= .61; p < .01). Selanjutnya, kesediaan untuk mengemudi agresif menjadi determinan terdekat bagi munculnya perilaku mengemudi agresif (
= .80; p < .01). Selain itu, secara independen, individu yang memiliki sikap positif terhadap mengemudi agresif akan cenderung menampilkan perilaku mengemudi agresif (
= .14; p < .05).Di dalam model ini dihipotesiskan bahwa, sikap baik secara langsung maupun tidak
langsung memiliki pengaruh terhadap perilaku mengemudi agresif, meskipun demikian, pengaruh sikap terhadap perilaku mengemudi agresif sangat kecil. Bahkan dapat dikatakan bahwa tidak ada perbedaan pengaruh sikap secara langsung maupun tidak langsung terhadap perilaku mengemudi. Artinya, meskipun tanpa perantara maupun dengan diperantarai, kesediaan sikap tidak terlalu signifikan memengaruhi munculnya perilaku mengemudi agresif seseorang. Hal ini berbeda dengan peran kontrol yang dirasakan terhadap perilaku mengemudi agresif. Kontrol yang dirasakan secara tidak langsung dimediasi oleh kesediaan terhadap perilaku mengemudi agresif menunjukkan pengaruh yang sangat signifikan (
= .61; p < .01). Artinya, individu yang merasa memiliki kemampuan untuk melakukan mengemudi agresif dan memiliki sumber daya yang dibutuhkan untuk menampilkan perilaku tersebut, serta memiliki kesediaan untuk mengemudi agresif, sangat dimungkinkan untuk memunculkan perilaku mengemudi agresif. Persepsi terhadap ada atau tidaknya kesempatan untuk melakukan suatu tindakan mengemudi agresif menentukan kesediaan seseorang untuk melakukan tindakan tersebut. Sebagaimana temuan Demir et al. (2019) yang menyebutkan bahwa ketika seseorang memersepsikan adanya kesempatan untuk berperilaku tidak aman, maka akan muncul kesediaan untuk berperilaku demikian. Temuan ini sejalan dengan beberapa penelitian terdahulu yang menegaskan peran kontrolperilaku yang dirasakan lebih kuat dibandingkan peran sikap (Armitage & Conner, 2010; Rhodes & Courneya, 2003).
Kontrol perilaku yang dirasakan sering kali diukur dengan merujuk pada mudah atau sulitnya suatu perilaku ditampilkan atau sejauh mana seseorang percaya terhadap kemampuannya untuk menampilkan suatu perilaku (Ajzen, 2002). Penelitian ini menegaskan bahwa kontrol perilaku yang dirasakan juga dipandang memiliki implikasi motivasional terhadap kesediaan.Orang yang percaya bahwa dia tidak memiliki sumber daya atau kesempatan untuk melakukan perilaku tertentu tidak mungkin memiliki kesediaan yang kuat untuk melakukan suatu perilaku, bahkan jika dia memiliki sikap yang mendukung terhadap perilaku tersebut. Temuan ini memperluas temuan yang dikemukakan oleh Ajzen (2005) yang menyatakan bahwa kontrol perilaku yang dirasakan juga dipandang memiliki implikasi motivasional terhadap intensi (Ajzen, 2005). Dengan kata lain, tidak mungkin seseorang memiliki kesediaan untuk melakukan suatu perilaku yang di luar kontrolnya. Sebaliknya, orang akan cenderung untuk memiliki kesediaan menampilkan suatu perilaku ketika dia percaya bahwa dia memiliki kemampuan dan sumber daya untuk melakukan perilaku tersebut.
Simpulan
Model pada penelitian ini dapat memberi gambaran dalam memprediksi perilaku
mengemudi agresif. Model ini memperlihatkan bahwakesediaan untuk mengemudi agresif merupakan variabel mediator atau penguat keterkaitan antara sikap dan kontrol perilaku yang dirasakan terhadap perilaku mengemudi agresif. Penelitian ini mempertegas temuan-temuan sebelumnya. Dibandingkan dengan sikap, kontrol perilaku yang dirasakan merupakan determinan yang paling kuat memengaruhi perilaku mengemudi agresif dengan dimediasi oleh kesediaan. Individu yang memiliki kemampuan dan sumber daya untuk melakukan agresif mengemudi cenderung memiliki kesediaan yang besar, dan selanjutnya memengaruhi munculnya perilaku mengemudi agresif.
Saran
Selain kesimpulan, ada beberapa rekomendasi untuk kepentingan aplikasi maupun penelitian yang akan datang, yaitu sikap dan kontrol perilaku yang dirasakan secara simultan memberi sumbangan yang berarti bagi kesediaan untuk mengemudi agresif. Meskipun demikian, kontrol yang dirasakan merupakan kata kunci untuk memahami munculnya perilaku mengemudi agresif. Untuk itu, bebagai program yang bertujuan untuk mengubah perilaku berlalu lintas, terutama terkait dengan perilaku mengemudi agresif, perlu mempertimbangkan aspek kontrol perilaku yang dirasakan dalam materi sosialisasi keselamatan berlalu lintas. Kontrol perilaku yang dirasakan melibatkan sejauh mana persepsi individu terhadap
kemampuannya untuk melakukan tindakan tertentu dan sejauh mana individu merasa memiliki sumber daya untuk melakukan tindakan tersebut. Oleh karena itu, berbagai pihak terkait perlu mempertimbangkan untuk mengurangi sumber daya yang memungkinkan memunculkan perasaan individu memiliki kemampuan untuk bertindak agresif di jalan raya, salah satu contohnya adalah dengan membatasi kapasitas mesin (cc) kendaraan yang ada di jalan raya. Bagi peneliti selanjutnya, penelitian ini hanya melibatkan faktor personal sebagai determinan dari kesediaan dan belum mempertimbangkan faktor lingkungan. Untuk penelitian ke depan, diharapkan variabel lingkungan, seperti norma subjektif maupun prototipe pengemudi agresif lebih dimunculkan dengan mempertimbangkan karakteristik subjek yang lebih spesifik, misalkan pada anggota geng bermotor. Selain itu, penelitian yang menggunakan asumsi Theory of Planned Behavior semestinya elisitasi subjek, uji coba alat ukur dan pengambilan data harus menggunakan subjek yang sama, namun dalam penelitian ini menggunakan subjek yang berbeda. Bagi penelitian selanjutnya, disarankan melakukan tahapan elisitasi untuk merumuskan butir-butir pernyataan, kemudian, pengambilan data dilakukan pada subjek yang sama dengan tahap elisitasi tersebut.
Referensi
Ajzen, I. (2002). Perceived behavioral control, self-efficacy, locus of control, and the theory of planned behavior. Journal of
Applied Social Psychology, 32(4), 665– 683. https://doi.org/10.1111/j.1559-1816.2002.tb00236.x
Ajzen, I. (2005). Attitudes, personality and behaviour (2nd ed.). Open University Press.
Ajzen, I., & Fishbein, M. (2005). The influence of attitudes on behavior. In D. Albarracín, B. T. Johnson, & M. P. Zanna (Eds.), Hanbook of attitudes (pp. 173–221). Lawrence Erlbaum Associates.
Ajzen, I., & Madden, T. J. (1986). Prediction of goal-directed behavior: Attitudes, intentions, and perceived behavioral control. Journal of Experimental Social Psychology, 22(5), 453–474. https://doi.org/10.1016/0022-1031(86)90045-4
Ajzen, Icek. (1991). The theory of planned behavior. Organizational Behavior and Human Decision Processes, 50(2), 179– 211. https://doi.org/10.1016/0749-5978(91)90020-T
Anderson, C. A., & Bushman, B. J. (2002). Human aggression. Annual Review of Psychology, 53, 27–51. https://doi.org/10.1146/ annurev.psych.53.100901.135231 Armitage, C., & Conner, M. (2010). Efficacy of
the theory of planned behaviour: A meta-analytic review. British Journal of Social Psychology, 40(4), 471–499. https:// doi.org/10.1348/014466601164939 BAPPEDA DIY. (2018). Data kecelakaan dan
pelanggaran lalul intas. http:// ba p p eda.j og ja prov. go.i d/dataku / data_dasar/cetak/548-data-kecelakaan-dan-pelanggaran-lalu-lintas
Beck, L., & Ajzen, I. (1991). Predicting dishonest actions using the theory of planned behavior. Journal of Research in Personality, 25(3), 285–301. https:// doi.org/10.1016/0092-6566(91)90021-H Byrne, B. M. (2013). Structural equation modeling with AMOS: basic concepts, applications, and programming (2nd ed.). Rou tledge Taylor & Franc i s Group.
Castanier, C., Deroche, T., & Woodman, T. (2013). Theory of planned behaviour and road violations: The moderating influence of perceived behavioural control. Transportation Research Part F: Traffic Psychology and Behaviour, 18, 148–158. h t t p s : / / d o i . o r g / 1 0 . 1 0 1 6 / j.trf.2012.12.014
Demir, B., Özkan, T., & Demir, S. (2019). Pedestrian violations: Reasoned or social reactive? Comparing theory of planned behavior and prototype willingness model. Transportation Research Part F Traffic Psychology and Behaviour, 60, 560–572. https://doi.org/10.1016/ j.trf.2018.11.012
Efrat, K., & Shoham, A. (2013). The theory of planned behavior, materialism, and aggressive driving. In Accident Analysis and Prevention (Vol. 59, pp. 459–465). Elsevier Science. https://doi.org/ 10.1016/j.aap.2013.06.023
Elliott, M. A., McCartan, R., Brewster, S. E., Coyle, D., Emerson, L., & Gibson, K. (2017). An application of the prototype willingness model to drivers’ speeding behaviour. European Journal of Social Psychology, 47(6), 735–747. https://doi.org/ 10.1002/ejsp.2268
Fazio, R. H., Powell, M. C., & Williams, C. J. (1989). The role of attitude accessibility in the attitude-to-behavior process. Journal of Consumer Research, 16(3), 280–288. https://doi.org/10.1086/ 209214
Fruhen, L. S., & Flin, R. (2015). Car driver attitudes, perceptions of social norms and aggressive driving behaviour towards cyclists. Accident Analysis and Prevention, 83, 162–170. https://doi.org/ 10.1016/j.aap.2015.07.003
Galovski, T. E., Malta, L. S., & Blanchard, E. B. (2006). Road rage: Assessment and treatment of the angry, aggressive driver. American Psychological Association. Gibbons, F. X., Gerrard, M., Blanton, H., & Russell,
reaction: Willingness and intention as independent predictors of health risk. Journal of Personality and Social Psychology, 74(5), 1164–1180. https:// doi.org/10.1037/0022-3514.74.5.1164 Gibbons, F. X., Houlihan, A. E., & Gerrard, M.
(2009). Reason and reaction: the utility of a dual-focus, dual-processing perspective on promotion and prevention of adolescent health risk behaviour. British Journal of Health Psychology, 14(Pt 2), 231–248. https:// doi.org/10.1348/135910708X376640 Herrero-Fernández, D., & Fonseca-Baeza, S.
(2017). Angry thoughts in Spanish drivers and their relationship with crash-related events. The mediation effect of aggressive and risky driving. Accident Analysis & Prevention, 106, 99–108. h t t p s : / / d o i . o r g / 1 0 . 1 0 1 6 / j.aap.2017.05.015
Houston, J. M., Harris, P. B., & Norman, M. (2003). The aggressive driving behavior scale: Developing a self-report measure of unsafe driving practices. North American Journal of Psychology, 5(2), 269–278.
Kordasiabi, M. C., Sharifabad, M. A. M., & Abedini, S. (2017). Predictors of speeding among drivers based on Prototype Willingness Model. Journal of Research & Health, 3(3), 436–444. https://iranjournals.nlai.ir/ article_374765_46fbf9126eabfe17 e2dc595acdc697a1.pdf
KORLANTAS POLRI. (2018). Statistik Laka. http://korlantas.polri.go.id/artikel/ korlantas/113?Statistik_Laka
Kraus, S. J. (1995). Attitudes and the prediction of behavior: A meta-analysis of the empirical literature. Personality and Social Psychology Bulletin, 21(1), 58–57. h t t p s : / / d o i . o r g / 1 0 . 1 1 7 7 / 0146167295211007 La ju ne n, T. , & Pa rke r, D. (20 01 ). A re aggressive people aggressive drivers? A study of the relationship between s e lf - re p o r te d ge n e ra l
aggressiveness, driver anger and aggressive driving. Accident Analysis and Preventio n, 3 3(2) , 24 3–25 5. h t tps :/ /doi .o rg /1 0. 10 16 /S 00 01 -4575(00)00039-7
Moan, I. S. (2013). Whether or not to ride with an intoxicated driver: Predicting intentions using an extended version of the theory of planned behaviour. Transportation Research Part F: Traffic Psychology and Behaviour, 20, 193–205. h t t p s : / / d o i . o r g / 1 0 . 1 0 1 6 / j.trf.2013.08.001
Paleti, R., Eluru, N., & Bhat, C. R. (2010). Examining the influence of aggressive driving behavior on driver injury severity in traffic crashes. Accident Analysis and Prevention, 42(6), 1839– 1854. https://doi.org/10.1016/ j.aap.2010.05.005
Parker, D., Lajunen, T., & Stradling, S. (1998). Attitudinal predictors of interpersonally aggressive violations on the road. Transportation Research Part F: Traffic Psychology and Behaviour, 1F(1), 11–24. h t tps :/ /doi .o rg /1 0. 10 16 /S 13 69 -8478(98)00002-3
Pinsky, I., Labouvie, E., & Laranjeira, R. (2004). Willingness and alternatives to drunk driving among young people from São Paulo city, Brazil. Revista brasileira de psiquiatria (Sao Paulo, Brazil/ : 1999), 26(4), 234–241. https://doi.org/ 10.1590/S1516-44462004000400006 Pomery, E. A., Gibbons, F. X., Reis-Bergan, M., &
Gerrard, M. (2009). From willingness to intention: Experience moderates the shift from reactive to reasoned behavior. In Personality and Social Psychology Bulletin (Vol. 35, Issue 7, pp. 894–908). Sage Publications. https://doi.org/ 10.1177/0146167209335166
Rhodes, R. E., & Courneya, K. S. (2003). Modelling the theory of planned behaviour and past behaviour. Psychology, Health & Medicine, 8(1), 57– 69. https://doi.org/10.1080/ 1354850021000059269
Rivis, A., Abraham, C., & Snook, S. (2011). Understanding young and older male drivers’ willingness to drive while intoxicated: The predictive utility of constructs specified by the theory of planned behaviour and the prototype willingness model. British Journal of Health Psychology, 16(Pt 2), 445–456. h t t p s : / / d o i . o r g / 1 0 . 1 3 4 8 / 135910710X522662
Schumacker, R. E., & Lomax, R. G. (2004). A beginner’s guide to structural equation modeling (2nd ed.). Lawrence Erlbaum Associates, Inc.
Sharkin, B. S. (2004). Road rage: Risk factors, assessment, and intervention strategies. Journal of Counseling & Development, 82(2), 191–199. https://doi.org/ 10.1002/j.1556-6678.2004.tb00301.x Sheeran, P. (2002). Intention—Behavior
Relations: A Conceptual and Empirical Review. European Review of Social Psychology, 12(1), 1–36. https://doi.org/ 10.1080/14792772143000003
Sheeran, P., Trafimow, D., & Armitage, C. J. (2003). Predicting behaviour from perceived behavioural control: Tests of the accuracy assumption of the theory of planned behaviour. British Journal of Social Psychology, 42(3), 393–410. h t t p s : / / d o i . o r g / 1 0 . 1 3 4 8 / 014466603322438224
Shinar, D. (1998). Aggressive driving: The contribution of the drivers and the situation. Transportation Research Part F: Traffic Psychology and Behaviour, 1(2), 137–160. https://doi.org/10.1016/ S1369-8478(99)00002-9
Stephens, A. N., & Sullman, M. J. M. (2015). Trait predictors of aggression and crash-related behaviors across drivers from the United Kingdom and the Irish Republic. Risk Analysis, 35(9), 1730–1745. https:/ /doi.org/10.1111/risa.12379 Webb, T. L., & Sheeran, P. (2006). Does changing behavioral intentions engender behavior change? A meta-analysis of the experimental evidence. In Psychological Bulletin (Vol. 132, Issue 2, pp. 249–268). American Psychological Association. h t tp s : / / do i . o r g / 1 0 . 1 0 3 7 / 0 0 3 3 -2909.132.2.249
World Health Organization. (2018). Global status report on road safety 2018. World Health Organization. https://www.who.int/ publications/i/item/global-status-report-on-road-safety-2018
Yagil, D. (2001). Reasoned action and irrational motives/ : A prediction of drivers’ intention to violate traffic laws. Journal of Applied Social Psychology, 31(4), 720– 740. https://doi.org/10.1111/j.1559-1816.2001.tb01410.x
Zimmermann, F., & Sieverding, M. (2010). Young adults’ social drinking as explained by an augmented theory of planned behaviour: The roles of prototypes, willingness, and gender. British Journal of Health Psychology, 15(Pt 3), 561–581. h t t p s : / / d o i . o r g / 1 0 . 1 3 4 8 / 135910709X476558