• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sikap dan Kontrol Perilaku: Kesediaan sebagai Mediator dari Sikap dan Peluang Mengemudi Agresif

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Sikap dan Kontrol Perilaku: Kesediaan sebagai Mediator dari Sikap dan Peluang Mengemudi Agresif"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Sikap dan Kontrol Perilaku: Kesediaan sebagai Mediator dari Sikap dan

Peluang Mengemudi Agresif

Thobagus Mohammad Nu’man

Program Studi Psikologi, Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta Program Studi Magister Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Neila Ramdhani Program Studi Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Abstrak. Perilaku mengemudi agresif masih menjadi penyebab utama dari peristiwa kecelakaan lalu lintas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran sikap dan kontrol perilaku yang dirasakan  terhadap perilaku mengemudi agresif, dan kesediaan untuk mengemudi agresif. Penelitian ini melibatkan 96 responden mahasiswa berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan yang  menggunakan  kendaraan  bermotor  untuk  aktivitas  sehari-hari.  Pengumpulan  data menggunakan Aggressive Driving Behavior Scale (ADBS) (

= .846) dari Houston et al. (2003), skala Sikap terhadap Mengemudi Agresif (

= .814), skala Kontrol Perilaku yang dirasakan (

 = .858) yang disusun peneliti dengan mengacu pada Theory of Planned Behavior (Ajzen & Fishbein, 2005), serta skala Kesediaan Mengemudi Agresif (

= .846). Hasil uji fitmenunjukkan bahwa sikap dan kontrol perilaku yang dirasakan terhadap perilaku mengemudi agresif dimediasi oleh kesediaan untuk mengemudi agresif yang diperlihatkan dari ² = .399 (p > .05), nilai RMSEA = .000  (

  .08),  nilai  GFI  =  .998  (>  .90),  dan  nilai  AGFI  =  .977  (>  .90).  Walaupun  sikap  secara signifikan memengaruhi perilaku mengemudi agresif, namun perannya menjadi lebih kuat apabila ada variabel kesediaan individu untuk mengemudi agresif.

Kata Kunci: kesediaan, kontrol perilaku yang dirasakan, perilaku mengemudi agresif, sikap

The Attitude and Behavioral Control: Willingness as a Mediator of Attitudes and

Opportunities on Aggressive Driving

Abstract. Aggressive driving behavior is still a major cause of catastrophic accident events. This study aims to determine the role of attitudes and perceived behavioral control towards aggressive  driving  behavior,  and  willingness  to  drive  aggressively.  The  study  involved  96 respondents who drived motorized vehicle for daily activities. Data collection used Aggressive Driving Behavior Scale (ADBS) (

= .846) from Houston et al. (2003), Attitude toward Aggressive Driving scale (

= .814), Perceived Behavioral Control scale (

= .858) compiled by researchers with reference to the Theory of Planned Behavior (Ajzen & Fishbein, 2005), and Willingness to Drive Aggressively scale (

= .846). The fit test results showed that the attitude and control of perceived behavior towards aggressive driving behavior was mediated by the willingness to drive aggressively as shown from ² = .399 (p > .05), RMSEA value = .000 (

 .08), GFI value = .998 (> .90), and AGFI value = .977 (> .90). Although the attitude significantly influences aggressive driving behavior, its role, however, becomes stronger when there was a variable in the willingness of individuals to drive aggressively.

(2)

World  Health  Organization  (2018) melaporkan  bahwa  kecelakaan  lalu  lintas merupakan  persoalan  yang  sangat memprihatinkan. Hal ini ditunjukkan dengan adanya fakta  bahwa  setiap tahun, kecelakaan lalu lintas mengakibatkan hampir 1,2 juta orang meninggal dunia. Fakta ini menempati urutan kedelapan penyebab kematian seluruh manusia di seluruh tahapan usia, serta urutan pertama penyebab kematian pada anak-anak dan remaja dalam rentang usia 5 – 29 tahun. Permasalahan kecelakaan lalu lintas ditemukan tiga kali lebih tinggi di negara-negara berpenghasilan rendah-menengah  dibandingkan  negara-negara berpenghasilan  tinggi  (World  Health Organization, 2018). Berdasarkan data statistik dari  Korps  Lalu  Lintas  Kepolisian  Negara Republik  Indonesia  (Korlantas  Polri), disebutkan  bahwa  sebanyak  93,350  kasus kecelakaan  terjadi  sepanjang  Juni  2018– Desember 2019 (Korlantas Polri, 2018). Data kecelakaan lalu lintas di wilayah hukum Polda Yogyakarta  sepanjang  tahun  2018  tercatat 5,061  kasus  kecelakaan  lalu  lintas,  dan menyebabkan  23  korban  luka  berat,  6800 korban luka ringan, dan 485 korban meninggal dunia.  Kecelakaan  lalu  lintas  tersebut  tidak hanya mengakibatkan korban jiwa tetapi juga kerugian materiel yang diperkirakan mencapai 406  miliar  rupiah  pada  periode  waktu  yang sama  (Bappeda  DIY,  2018).  Stephens  dan Sullman  (2015)  mencatat  bahwa  faktor manusia seperti agresi, kehilangan konsentrasi, dan  kontrol  perilaku  terhadap  kendaraan

merupakan  faktor  yang  menyebabkan kecelakaan lalu lintas.  Selain itu, Korlantas Polri menyebutkan bahwa kendaraan yang terlibat kecelakaan lalu lintas didominasi oleh sepeda motor  daripada  kendaraan  roda  empat. Kecelakaan lalu lintas yang melibatkan sepeda motor berkisar sebanyak 79% dibandingkan yang melibatkan mobil (Korlantas Polri, 2018). Secara spesifik, Herrero-Fernández dan Fonseca-Baeza (2017) menyebutkan perilaku agresif mengemudi sebagai  salah satu  faktor risiko  yang  mengakibatkan  morbiditas  dan kematian  dalam  kecelakaan  kendaraan bermotor.  Efek  mengemudi  agresif  dan mengemudi  berisiko  ditemukan  pada hubungan  antara  pemikiran  agresif  dan peristiwa  kecelakaan.  Paleti et al.  (2010) menyatakan  bahwa  pengemudi  agresif cenderung  menunjukkan  perilaku-perilaku yang berisiko atau mengarah pada terjadinya kecelakaan.  Perilaku  agresif  mengemudi (Parker et al.,  1998)  adalah  segala  bentuk perilaku mengemudi yang dimaksudkan untuk melukai atau  membahayakan pengguna jalan lain  secara  fisik  atau  psikologis.  Di  sisi  lain, menurut  Houston et al.  (2003),  perilaku mengemudi  agresif  sebagai  pola  perilaku mengemudi  tidak  aman  yang  meletakkan pengendara dan/atau orang lain pada risiko.

Secara  garis  besar,  Sharkin  (2004) mengelompokkan  tiga  faktor  yang memengaruhi perilaku mengemudi agresif: (a) kondisi  situasional  dan  atau  lingkungan,  (b) kepribadian  atau  disposisi,  dan  (c)  variabel

(3)

demografis.  Galovski  et al.  (2006) menyimpulkan  bahwa terdapat  faktor-faktor personal  predisposisi  yang  memengaruhi perilaku  mengemudi  agresif:  (a)  kontrol perilaku yang dirasakan tentang mengemudi, (b)  norma  subjektif,  dan  (c)  sikap  positif terhadap mengemudi agresif. Efrat dan Shoham (2013) menegaskan bahwa baik sikap, norma subjektif  dan  kontrol  perilaku  menjadi prediktor yang baik terhadap intensi perilaku mengemudi agresif.

Menurut  model  prototipe/kesediaan (prototype/willingness model)(Gibbons et al., 2009), ada  dua  jalur  yang  memengaruhi munculnya  perilaku:  (a)  melalui  jalur kesengajaan (intensi), yakni perilaku tersebut terbentuk berdasarkan perilaku yang bertujuan dan beralasan (reasoned path); dan (b) melalui reaksi sosial (social reaction),  yakni perilaku terbentuk  tidak  harus  dengan  kesengajaan. Perilaku dilihat sebagai sesuatu yang spontan, reaktif, maupun impulsif karena situasi tertentu. Jalur pertama sebagaimana yang dijelaskan oleh Ajzen  (1991)  bahwa  intensi  merupakan  hal yang menentukan sejauh mana seseorang akan melakukan  tindakan  atau  tidak.  Pendapat  ini berasumsi bahwa perilaku yang dilakukan oleh seseorang merupakan perilaku yang disadari dan  rasional.  Sementara  itu,  jalur  kedua merupakan  pengembangan  sekaligus  kritik terhadap  apa  yang  disampaikan  oleh  Ajzen. Menurut  Gibbons et al.  (1998),  tidak  semua perilaku  bersifat  rasional,  tetapi  ada  banyak perilaku  yang  bersifat  irasional  dan  spontan.

Untuk  itu,  alasan seseorang  melakukan suatu perilaku tidak harus berdasarkan pada sesuatu yang  diniatkan,  tetapi  melalui  reaksi  sosial. Gibbons et al. (1998) menyebut reaksi sosial sebagai  kesediaan  (willingness),  yaitu keterbukaan seseorang akan kesempatan untuk melakukan suatu tindakan. Kesamaan dari dua jalur  tersebut  adalah,  bahwa  kedua-duanya merupakan  determinan  bagi  munculnya perilaku.

Perilaku mengemudi agresif oleh Shinar (1998)  dipandang  sebagai  perilaku  yang muncul  akibat  reaksi  dari  faktor  situasional, misalkan  kemacetan  lalu  lintas  ataupun kepadatan  lalu  lintas.  Hal  yang  sama disampaikan oleh Lajunen dan Parker (2001) yang menyatakan bahwa perilaku mengemudi agresif cenderung dipandang sebagai reaksi dari terhalangnya seseorang dalam mengemudikan kendaraannya. Perilaku agresi yang reaktif dan emosional disebut oleh Anderson dan Bushman (2002)  sebagai  agresi  impulsif.  Dengan  kata lain,  mengemudi  agresif  dapat  digambarkan sebagai perilaku agresif yang reaktif terhadap situasi di jalan raya.

Sikap  dipandang  sebagai  salah  satu determinan  yang  memengaruhi  munculnya intensi.  Sikap  diasumsikan  memiliki kemampuan  untuk  membimbing, memengaruhi, mengarahkan, membentuk, dan memprediksi perilaku (Kraus, 1995). Menurut Fazio et al. (1989), sikap adalah asosiasi yang dipelajari  di dalam  memori  antara  objek  dan evaluasi  positif  atau  negatif  terhadap  objek.

(4)

Dengan demikian, apabila seseorang memegang sikap  setuju  terhadap  suatu  objek,  maka  dia akan cenderung memperhatikan atribut positif dari objek tersebut dan sebaliknya. Perhatian tersebut akan mengarahkan pada perilaku yang sejalan dengan sikap positif atau negatif yang dimiliki oleh individu.

Studi  tentang  pentingnya  sikap  dalam memprediksi  intensi  telah  banyak  dilakukan (Ajzen,  1991).  Dalam  konteks  mengemudi, pentingnya sikap dalam memprediksi intensi telah  ditunjukkan  oleh  berbagai  studi.  Yagil (2001)  menyatakan  bahwa  sikap  terhadap pelanggaran  lalu  lintas  berkorelasi  dengan intensi melanggar lalu lintas (misalnya ngebut, mengambil lajur orang lain, dan tidak menjaga jarak).  Secara  spesifik,  sikap  pengemudi kendaraan bermotor berkaitan dengan perilaku mengemudi agresif terhadap pengendara lain, terutama pengendara sepeda (Fruhen & Flin, 2015). Sikap juga ditemukan berkaitan dengan ragam  perilaku  yang  diasosiasikan  dengan intensi  perilaku  mengemudi  agresif,  misal mengemudi  dalam  keadaan  mabuk  dan pelanggaran lalu lintas (Castanier et al., 2013; Moan,  2013).  Temuan-temuan  tersebut menunjukkan bahwa sikap memiliki peranan penting dalam memunculkan intensi perilaku dalam  berbagai  konteks,  termasuk  konteks intensi  mengemudi  agresif.  Sikap  dipandang sebagai prediktor yang kuat bagi perilaku yang akan datang (Kraus, 1995). Parker et al. (1998) menunjukkan  bahwa  sikap  memiliki keterkaitan  dengan  pelanggaran  mengemudi

agresif,  baik  karena  individu  yang bersangkutan sebagai inisiator maupun karena pembalasan  terhadap  pengemudi  lain  atau respons dari provokasi pengemudi lain.

Meskipun  demikian,  intensi  sebagai penentu  perilaku  dipandang  memiliki kelemahan  dalam  menjelaskan  berbagai berilaku yang terkait dengan perilaku berisiko. Webb dan Sheeran (2006) menemukan bahwa intensi  dilaporkan  kurang  prediktif  dalam kaitannya dengan perilaku kesehatan berisiko daripada  dalam  konteks  perilaku  melindungi kesehatan. Temuan yang sama dilaporkan oleh otoritas  keamanan  di  jalan  bahwa  intensi dipandang  kurang  prediktif    ketika  perilaku yang  diukur  merupakan  perilaku  yang  tidak diinginkan secara sosial (socially undesirable) (Rivis et al., 2011). Senada dengan hal tersebut, Beck  dan  Ajzen  (1991)  menemukan  bahwa intensi kurang memprediksi perilaku yang ilegal dan  tidak  pantas.  Konsekuensinya,  perilaku mengemudi  agresif  lebih  tepat dikonseptualisasikan sebagai kesediaanuntuk bereaksi  terhadap  situasi  yang  menyediakan kesempatan  untuk  mencapai  tujuan  melalui mengemudi  agresif.  Gibbons et al.  (1998) menjelaskan  bahwa  faktor  determinan  dari kesediaan terdiri dari tiga faktor: sikap, norma subjektif, dan prototipe.

Berbagai  penelitian  menunjukkan adanya keterkaitan antara sikap dan kesediaan. Sebagaimana  penelitian  yang  dilakukan  oleh Zimmermann  dan  Sieverding  (2010)  yang menunjukkan adanya hubungan antara sikap

(5)

dan  kesediaan  untuk  mengonsumsi  alkohol dalam  konteks  sosial.  Rivis et al.  (2011) menemukan  adanya keterkaitan antara sikap dan  kesediaan  mengemudi  dalam  kondisi mabuk.  Penelitian  sebelumnya  juga menemukan  bahwa  kesediaan  berkorelasi dengan perilaku mengemudi yang berisiko, yaitu mengemudi dalam kondisi mabuk (Pinsky et al., 2004; Rivis et al., 2011). Beberapa penelitian menyebutkan  bahwa  sikap  menjadi  faktor determinan  yang  kuat  dalam  menentukan kesediaan  seseorang  untuk  bertindak mengemudi  agresif  (Elliott et al.,  2017; Kordasiabi et al., 2017).

Menurut  Sheeran  (2002),  kontrol perilaku yang dirasakan semestinya berasosiasi dengan niat, karena seseorang tidak mungkin memiliki  niat  melakukan  suatu  tindakan tertentu  tanpa  memiliki  kontrol  terhadap tindakan tersebut. Sebaliknya, menurut Ajzen (1991), seseorang cenderung memiliki suatu niat  melakukan  tindakan  tertentu  apabila  ia percaya memiliki kemampuan dan sumber daya yang  dibutuhkan  untuk  melakukan  suatu tindakan.

Berdasarkan  kajian  Ajzen  dan  Madden (1986), kontrol perilaku yang dirasakan, jika dibandingkan  dengan  sikap  dan  norma subjektif, memiliki kontribusi yang lebih besar untuk  memprediksi  intensi.  Lebih  lanjut, Sheeran et al.  (2003)  menemukan  bahwa kontrol perilaku yang dirasakan dapat menjadi moderator  hubungan  antara  intensi  dan perilaku. Semakin tinggi skor kontrol perilaku

yang dirasakan, semakin kuat hubungan antara intensi dan perilaku.

Penel itian  yang  dilakukan  oleh Zimmermann  dan  Sieverding  (2010) menemukan  bahwa  kontrol  perilaku  yang dirasakan  berkorelasi  dengan  kesediaan seseorang untuk mengonsumsi alkohol dalam konteks sosial, baik pada kelompok laki-laki maupun  perempuan.  Lebih  spesifik  dalam konteks  mengemudi,  Rivis et al.  (2011) menemukan  keterkaitan  antara  kontrol perilaku  yang  dirasakan  dan  kesediaan mengemudi  setelah  mengonsumsi  alkohol. Selain  itu,  Rivis et al.  (2011)  menemukan bahwa kontrol perilaku yang dirasakan lebih kuat  pada  pengemudi  muda  dan  laki-laki dibandingkan dengan pengemudi perempuan atau  pengemudi  berusia  tua.  Hal  ini  dapat dijelaskan bahwa pengemudi muda laki-laki merasa jika mengemudi dalam kondisi mabuk merupakan  kondisi  yang  kondusif  dan mereka  sebagai  laki-laki  merasa  tertantang untuk  melakukan  hal  tersebut  (Rivis et al., 2011). Kontrol perilaku yang dirasakan juga memberi sumbangan terhadap sejauh mana kesediaan seseorang untuk mempercepat laju kendaraannya  (Kordasiabi et al.,  2017). Penelitian yang  dilakukan oleh  Demir et al. (2019)  menemukan  bahwa  peran  kontrol yang  dirasakan  memprediksi  pelanggaran yang  dilakukan oleh  pejalan kaki. Beberapa penelitian  tersebut  menunjukkan  bahwa kontrol  perilaku  yang  dirasakan  memiliki peran  yang  sangat  berpengaruh  terhadap

(6)

berbagai macam perilaku yang menyimpang. Kesimpulan  yang  dapat  diperoleh  dari penjelasan tersebut adalah seseorang sebelum memunculkan  suatu  perilaku  tertentu, mestinya didahului oleh kesediaan perilaku tersebut.  Dengan  demikian,  kesediaan dipandang  sebagai  variabel  yang memperkuat  keterkaitan  antara  sikap  dan kontrol  yang  dirasakan  terhadap  perilaku tertentu,  dalam  hal  ini  adalah  perilaku mengemudi agresif.

Berdasarkan beberapa penelitian di atas yang menyebutkan peranan sikap dan kontrol perilaku  yang  dirasakan  dalam  konteks berkendara,  khususnya  mengemudi  agresif (Efrat & Shoham, 2013; Kordasiabi et al., 2017), peneliti berasumsi bahwa perilaku mengemudi agresif  dipengaruhi  oleh  variabel  sikap  dan kontrol  perilaku  yang  dirasakan.  Selain  itu, determinan  terdekat  perilaku  mengemudi agresif ditentukan oleh kesediaanmengemudi agresif.  Hipotesis  yang  diajukan  dalam penelitian  ini  dibedakan  menjadi  dua,  yaitu hipotesis  minor  dan  mayor.  Hipotesis  minor penelitian  ini  adalah:  (1)  Sikap  terhadap mengemudi  agresif  memiliki  efek  langsung maupun  tidak  langsung  terhadap  perilaku mengemudi agresif; dan (2) Kontrol perilaku yang dirasakan memiliki efek langsung maupun tidak langsung terhadap perilaku mengemudi agresif.  Sementara  hipotesis  mayor  dalam penelitian  ini  adalah  adanya  pengaruh  sikap terhadap  mengemudi  agresif  dan  kontrol perilaku  yang  dirasakan  terhadap  perilaku

agresif  mengemudi  yang  dimediasi  oleh kesediaan mengemudi agresif.

Metode

Subjek  penelitian  ini  adalah  96 mahasiswa yang terdiri dari 50 mahasiswa laki-laki dan 46 mahasiswa perempuan yang berusia antara 17  – 27 tahun  (M =  19.93; SD =  1.84) yang  mengendarai  kendaraan  sepeda  motor. Pengumpulan  data  dilakukan  dengan menggunakan  empat  skala  yang  terdiri  atas skala Perilaku Mengemudi Agresif yang disusun dengan  mengacu  pada Aggressive Driving Behavior Scale  (ADBS)  yang  terdiri  atas  dua aspek,  yaitu  Perilaku  Konflik  (Conflict Behavior) dan Mengebut (Speeding) (Houston et al., 2003).

Peneliti  menyusun  sendiri  skala  Sikap terhadap Mengemudi Agresif dan skala Kontrol Perilaku yang dirasakan dengan mengacu pada model Theory of Planned Behavior  (Ajzen  & Fishbein,  2005).  Dua  komponen  sikap  yaitu instrumental  dan  eksperiensial  digunakan dalam menyusun butir-butir skala sikap. Untuk pengukuran  tidak  langsung  (belief-based measure)  didasarkan  atas  komponen keyakinan  perilaku  (behavioral belief)  dan evaluasi  terhadap  hasil  dari  suatu  perilaku (outcome evaluation).  Alat  ukur  Kontrol Perilaku yang Dirasakan terhadap Mengemudi Agresif, terdiri dari delapan butir yang disusun berdasarkan  komponen-komponen  yang disarankan  oleh  Ajzen dan  Fishbein    (2005), yaitu  efikasi  diri  dan  kontrol  perilaku  yang

(7)

dirasakan. Untuk  pengukuran  tidak langsung (belief-based measure)  didasarkan  atas komponen  kontrol  kekuatan  keyakinan (control belief strength) dan kontrol kekuatan kepercayaan (control belief power).

Skala  Kesediaan  Mengemudi  Agresif mengacu pada pernyataan Gibbons et al. (1998) yang  mengukur  kesediaan  seseorang melakukan  tindakan  tertentu  dengan  cara memberikan  gambaran  tentang  kejadian kondusif yang mengandung  risiko, kemudian responden  ditanya  tentang  kemungkinan-kemungkinan  tindakan  yang  akan  dilakukan atau  dengan  kata  lain  bagaimana  responden bereaksi terhadap situasi tersebut. Selanjutnya,

analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis jalur (path analysis).

Hasil

Uji fitmodel perilaku mengemudi agresif menggunakan analisis jalurmodel persamaan struktural  memperlihatkan  bahwa  nilai  kai-kuadrat (chi-square) sebesar .399 dengan p = .528 (> .05); nilai RMSEA sebesar .000 (< .08); nilai GFI sebesar .998 (> .90); dan nilai AGFI .977 (> .90). Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan oleh Schumacker  dan  Lomax  (2004)  dan  Byrne, (2013), hasil uji fit telah memenuhi persyaratan (Tabel 1). Tidak ada perbedaan matriks kovarians data dan matriks kovarians yang diestimasi.

Model  teoritis  yang  dihipotesiskan dapat  diterima,  yaitu  ada  pengaruh  sikap (attitude) terhadap mengemudi agresif dan kontrol perilaku yang dirasakan (Perceived

Behavior Control/PBC)  terhadap  perilaku agresif  mengemudi  (aggressive driving) yang dimediasi oleh  kesediaan mengemudi agresif.

Tabel 1

Rangkuman Uji Fit Model Perilaku Mengemudi Agresif

Sumber  Persyaratan  GoF  Kesimpulan  ²  Nilai p > .05  .528  Fit  RMSEA  Nilai RMSEA < .08  .000  Fit  GFI  Nilai GFI > .90  .998  Fit  AGFI  Nilai AGFI > .90  .977  Fit  

Catatan. GoF = Goodness of Fit; RMSEA = Root Mean Square Error of Approximation; GFI = Goodness of Fit Index; AGFI = Adjusted of Fit Index.

(8)

Gambar 1

Uji Model Teoritis Perilaku Mengemudi Agresif

Catatan. Uji model teoritis perilaku mengemudi agresif ini menghasilkan Relative Chi-square Index (cmin)= .399, p = .528, GFI = .998, AGFI = .977, dan RMSEA = .000.

Hasil analisis menunjukkan ada pengaruh sikap  terhadap  kesediaanuntuk  mengemudi agresif  (

=  .18; p  <  .05),  dan  ada  pengaruh kontrol  perilaku  yang  dirasakan  terhadap kesediaanuntuk mengemudi agresif (

= .61; p < .01).  Berdasarkan  hasil  tersebut,  dapat disimpulkan bahwa individu yang memiliki sikap yang positif terhadap mengemudi agresif dan memiliki keyakinan atas kemampuan sumber daya  yang  dibutuhkan  untuk  bertindak mengemudi agresif cenderung menumbuhkan kesediaanuntuk  mengemudi  agresif.  Kontrol perilaku yang dirasakan memiliki kemampuan prediktif yang lebih kuat dibandingkan dengan sikap. Selanjutnya, kesediaanuntuk mengemudi agresif  menjadi  determinan  terdekat  bagi munculnya perilaku mengemudi agresif (

= .80; p < .01). Selain itu secara independen, individu yang memiliki sikap positif terhadap mengemudi agresif akan cenderung menampilkan perilaku mengemudi agresif (

= .14; p < .05).

Efek  tidak  langsung  ditujukan  untuk melihat  sejauh  mana  variabel  eksogen berpengaruh terhadap variabel endogen yang diperkuat  oleh  variabel  mediator.  Variabel mediator  dipandang  memiliki  peran memperkuat hubungan variabel eksogen dan variabel  endogen.  Berdasarkan  uji  model, ditemukan bahwa kesediaan untuk mengemudi agresif sebagai penguat antara sikap terhadap perilaku  mengemudi  agresif  (

=  .143)  dan kontrol  perilaku  yang  dirasakan  terhadap perilaku mengemudi agresif (

= .486). Dengan kata lain, individu yang memiliki sikap positif terhadap  perilaku  mengemudi  agresif  dan persepsi terhadap kemampuan serta sumber daya  untuk  melakukan  perilaku  mengemudi agresif  cenderung  menampilkan  perilaku mengemudi  agresif  apabila  individu  yang bersangkutan  memiliki  kesediaan  untuk mengemudi  agresif  yang kuat.  Selain itu,  jika dibandingkan dengan sikap efek tidak langsung,

(9)

kontrol perilaku yang dirasakan memiliki nilai koefisien yang cukup besar.

Pembahasan

Kesediaan untuk  mengemudi  agresif diketahui menjadi prediktor yang kuat dalam mengantarai sikap dan kontrol yang dirasakan dengan  perilaku  mengemudi  agresif.  Peran kesediaan  untuk  mengemudi  agresif  sebagai penguat  antara  sikap  terhadap  perilaku mengemudi  agresif  (

=  .143; p  <  .05)  dan kontrol  perilaku  yang  dirasakan  terhadap perilaku mengemudi agresif (

= .486; p < .01). Dengan kata lain, individu yang memiliki sikap positif terhadap perilaku mengemudi agresif dan  persepsi  terhadap  kemampuan  serta sumber  daya  untuk  melakukan  perilaku mengemudi  agresif  cenderung  menampilkan perilaku  mengemudi agresif  apabila individu yang bersangkutan memiliki kesediaan untuk mengemudi agresif yang kuat. Temuan tersebut sejalan  dengan  model  prototipe/kesediaan (Gibbons et al.,  1998)  yang  menyebutkan bahwa  kesediaan  sebagai  determinan  bagi terbentuknya  suatu  perilaku.  Kesediaan didefinisikan  sebagai  keterbukaan  individu terhadap peluang, yaitu kesediaan seseorang untuk melakukan suatu perilaku tertentu dalam situasi  yang  kondusif  untuk  menampilkan perilaku tersebut (Pomery et al., 2009). Dengan demikian,  untuk  menampilkan  perilaku mengemudi  agresif—perilaku  yang mengandung  risiko  ataupun  yang  tidak diharapkan  secara  sosial—ditentukan  oleh

sejauh  mana  seseorang  memiliki  kesediaan untuk  menampilkan  perilaku  mengemudi agresif  saat  kesempatan  tersebut  terbuka. Sebagaimana  penelitian  yang  dilakukan  oleh Zimmermann  dan  Sieverding  (2010)  yang menunjukkan adanya hubungan antara sikap dan kontrol perilaku yang dirasakan terhadap kesediaan untuk mengonsumsi alkohol dalam konteks  sosial.  Temuan  yang  sama,  namun dalam  konteks  perilaku  mengemudi,    juga dilakukan  oleh  Rivis et al.  (2011)  yang menemukan  adanya keterkaitan antara sikap dan  kontrol  perilaku  yang  dirasakan  dengan kesediaan mengemudi dalam kondisi mabuk.

Individu yang memiliki sikap yang positif terhadap  mengemudi  agresif  dan  memiliki keyakinan atas kemampuan sumber daya yang dibutuhkan  untuk  bertindak  mengemudi agresif  cenderung  menumbuhkan  kesediaan untuk  mengemudi  agresif.  Pengaruh  sikap terhadap  kesediaanuntuk mengemudi agresif (

= . 18; p < .05), dan pengaruh kontrol perilaku yang  dirasakan  terhadap  kesediaan untuk mengemudi  agresif  (

=  .61;  p  <  .01). Selanjutnya,  kesediaan untuk  mengemudi agresif  menjadi  determinan  terdekat  bagi munculnya  perilaku  mengemudi  agresif  (

= .80; p  <  .01).  Selain  itu,  secara  independen, individu yang memiliki sikap positif terhadap mengemudi  agresif  akan  cenderung menampilkan perilaku mengemudi agresif (

= .14; p < .05).

Di dalam model ini dihipotesiskan bahwa, sikap  baik  secara  langsung  maupun  tidak

(10)

langsung memiliki pengaruh terhadap perilaku mengemudi  agresif,  meskipun  demikian, pengaruh sikap terhadap perilaku mengemudi agresif  sangat  kecil.  Bahkan  dapat  dikatakan bahwa  tidak  ada  perbedaan  pengaruh  sikap secara  langsung  maupun  tidak  langsung terhadap  perilaku  mengemudi.  Artinya, meskipun  tanpa  perantara  maupun  dengan diperantarai,  kesediaan  sikap  tidak  terlalu signifikan  memengaruhi  munculnya  perilaku mengemudi agresif seseorang. Hal ini berbeda dengan peran kontrol yang dirasakan terhadap perilaku  mengemudi  agresif.  Kontrol  yang dirasakan secara tidak langsung dimediasi oleh kesediaan  terhadap  perilaku  mengemudi agresif  menunjukkan  pengaruh  yang  sangat signifikan (

= .61; p < .01). Artinya, individu yang  merasa  memiliki  kemampuan  untuk melakukan mengemudi  agresif dan  memiliki sumber  daya  yang  dibutuhkan  untuk menampilkan perilaku tersebut, serta memiliki kesediaan  untuk  mengemudi  agresif,  sangat dimungkinkan  untuk  memunculkan  perilaku mengemudi agresif. Persepsi terhadap ada atau tidaknya kesempatan untuk melakukan suatu tindakan  mengemudi  agresif  menentukan kesediaan  seseorang  untuk  melakukan tindakan tersebut. Sebagaimana temuan Demir et al. (2019) yang menyebutkan bahwa ketika seseorang memersepsikan adanya kesempatan untuk  berperilaku  tidak  aman,  maka  akan muncul kesediaan untuk berperilaku demikian. Temuan ini sejalan dengan beberapa penelitian terdahulu  yang  menegaskan  peran  kontrol

perilaku  yang  dirasakan  lebih  kuat dibandingkan peran sikap (Armitage & Conner, 2010; Rhodes & Courneya, 2003).

Kontrol perilaku yang dirasakan sering kali diukur dengan merujuk pada mudah atau sulitnya suatu perilaku ditampilkan atau sejauh mana  seseorang  percaya  terhadap kemampuannya  untuk  menampilkan  suatu perilaku  (Ajzen,  2002).  Penelitian  ini menegaskan  bahwa  kontrol  perilaku  yang dirasakan juga dipandang memiliki implikasi motivasional terhadap kesediaan.Orang yang percaya bahwa dia tidak memiliki sumber daya atau  kesempatan  untuk  melakukan  perilaku tertentu  tidak  mungkin  memiliki  kesediaan yang  kuat  untuk  melakukan  suatu  perilaku, bahkan jika dia memiliki sikap yang mendukung terhadap  perilaku  tersebut.  Temuan  ini memperluas temuan yang dikemukakan oleh Ajzen (2005) yang menyatakan bahwa kontrol perilaku  yang  dirasakan  juga  dipandang memiliki  implikasi  motivasional  terhadap intensi (Ajzen, 2005). Dengan kata lain, tidak mungkin seseorang memiliki kesediaan untuk melakukan  suatu  perilaku  yang  di  luar kontrolnya. Sebaliknya, orang akan cenderung untuk memiliki kesediaan menampilkan suatu perilaku ketika dia percaya bahwa dia memiliki kemampuan  dan  sumber  daya  untuk melakukan perilaku tersebut.

Simpulan

Model pada penelitian ini dapat memberi gambaran  dalam  memprediksi  perilaku

(11)

mengemudi agresif. Model ini memperlihatkan bahwakesediaan  untuk  mengemudi  agresif merupakan  variabel  mediator  atau  penguat keterkaitan antara sikap dan kontrol perilaku yang dirasakan terhadap perilaku mengemudi agresif. Penelitian  ini  mempertegas  temuan-temuan sebelumnya. Dibandingkan dengan sikap, kontrol perilaku yang dirasakan merupakan determinan yang  paling  kuat  memengaruhi  perilaku mengemudi  agresif  dengan  dimediasi  oleh kesediaan. Individu yang memiliki kemampuan dan  sumber  daya  untuk  melakukan  agresif mengemudi cenderung memiliki kesediaan yang besar, dan selanjutnya memengaruhi munculnya perilaku mengemudi agresif.

Saran

Selain  kesimpulan,  ada  beberapa rekomendasi  untuk  kepentingan  aplikasi maupun  penelitian  yang  akan  datang,  yaitu sikap  dan  kontrol  perilaku  yang  dirasakan secara  simultan  memberi  sumbangan  yang berarti  bagi  kesediaan  untuk  mengemudi agresif.  Meskipun  demikian,  kontrol  yang dirasakan  merupakan  kata  kunci  untuk memahami  munculnya  perilaku  mengemudi agresif.  Untuk  itu,  bebagai  program  yang bertujuan  untuk  mengubah  perilaku  berlalu lintas,  terutama  terkait  dengan  perilaku mengemudi agresif, perlu mempertimbangkan aspek kontrol perilaku yang dirasakan dalam materi  sosialisasi  keselamatan  berlalu  lintas. Kontrol  perilaku  yang  dirasakan  melibatkan sejauh  mana  persepsi  individu  terhadap

kemampuannya  untuk  melakukan  tindakan tertentu  dan  sejauh  mana  individu  merasa memiliki  sumber  daya  untuk  melakukan tindakan  tersebut.  Oleh  karena  itu,  berbagai pihak terkait perlu mempertimbangkan untuk mengurangi sumber daya yang memungkinkan memunculkan  perasaan  individu  memiliki kemampuan  untuk  bertindak  agresif  di  jalan raya,  salah  satu  contohnya  adalah  dengan membatasi  kapasitas  mesin  (cc)  kendaraan yang ada di jalan raya. Bagi peneliti selanjutnya, penelitian ini hanya melibatkan faktor personal sebagai determinan dari kesediaan dan belum mempertimbangkan faktor lingkungan. Untuk penelitian  ke  depan,  diharapkan  variabel lingkungan, seperti norma subjektif  maupun prototipe pengemudi agresif lebih dimunculkan dengan  mempertimbangkan  karakteristik subjek  yang  lebih  spesifik,  misalkan  pada anggota  geng  bermotor.  Selain  itu,  penelitian yang menggunakan asumsi Theory of Planned Behavior semestinya elisitasi subjek, uji coba alat  ukur  dan  pengambilan  data  harus menggunakan subjek yang sama, namun dalam penelitian  ini  menggunakan  subjek  yang berbeda. Bagi penelitian selanjutnya, disarankan melakukan tahapan elisitasi untuk merumuskan butir-butir  pernyataan,  kemudian, pengambilan data dilakukan pada subjek yang sama dengan tahap elisitasi tersebut.

Referensi

Ajzen, I. (2002). Perceived behavioral control, self-efficacy,  locus  of  control,  and  the theory  of  planned  behavior. Journal of

(12)

Applied Social Psychology32(4),  665– 683.  https://doi.org/10.1111/j.1559-1816.2002.tb00236.x

Ajzen,  I.  (2005). Attitudes, personality and behaviour  (2nd  ed.).  Open  University Press.

Ajzen, I., & Fishbein, M. (2005). The influence of attitudes on behavior. In D. Albarracín, B.  T.  Johnson,  &  M.  P.  Zanna  (Eds.), Hanbook of attitudes  (pp.  173–221). Lawrence Erlbaum Associates.

Ajzen, I., & Madden, T. J. (1986). Prediction of goal-directed behavior: Attitudes, intentions, and perceived behavioral control. Journal of Experimental Social Psychology22(5), 453–474. https://doi.org/10.1016/0022-1031(86)90045-4

Ajzen,  Icek.  (1991).  The  theory  of  planned behavior. Organizational Behavior and Human Decision Processes50(2), 179– 211.  https://doi.org/10.1016/0749-5978(91)90020-T

Anderson, C. A., & Bushman, B. J. (2002). Human aggression. Annual Review of Psychology, 53,  27–51.  https://doi.org/10.1146/ annurev.psych.53.100901.135231 Armitage, C., & Conner, M. (2010). Efficacy of

the theory of planned behaviour: A meta-analytic review. British Journal of Social Psychology40(4),  471–499.  https:// doi.org/10.1348/014466601164939 BAPPEDA  DIY.  (2018). Data kecelakaan dan

pelanggaran lalul intas.  http:// ba p p eda.j og ja prov. go.i d/dataku / data_dasar/cetak/548-data-kecelakaan-dan-pelanggaran-lalu-lintas

Beck, L., & Ajzen, I. (1991). Predicting dishonest actions  using  the  theory  of  planned behavior.  Journal of Research in Personality25(3),  285–301.  https:// doi.org/10.1016/0092-6566(91)90021-H Byrne,  B.  M.  (2013). Structural equation modeling with AMOS: basic concepts, applications, and programming (2nd ed.).  Rou tledge  Taylor  &  Franc i s Group.

Castanier, C., Deroche, T., & Woodman, T. (2013). Theory of planned behaviour and road violations: The moderating influence of perceived  behavioural  control. Transportation Research Part F: Traffic Psychology and Behaviour18, 148–158. h t t p s : / / d o i . o r g / 1 0 . 1 0 1 6 / j.trf.2012.12.014

Demir,  B.,  Özkan,  T.,  &  Demir,  S.  (2019). Pedestrian violations: Reasoned or social reactive? Comparing theory of planned behavior  and  prototype  willingness model. Transportation Research Part F Traffic Psychology and Behaviour60, 560–572.  https://doi.org/10.1016/ j.trf.2018.11.012

Efrat, K., & Shoham, A. (2013). The theory of planned  behavior,  materialism,  and aggressive  driving.  In Accident Analysis and Prevention  (Vol.  59,  pp.  459–465). Elsevier  Science.  https://doi.org/ 10.1016/j.aap.2013.06.023

Elliott, M. A., McCartan, R., Brewster, S. E., Coyle, D., Emerson, L., & Gibson, K. (2017). An application of the prototype willingness model  to  drivers’  speeding  behaviour. European Journal of Social Psychology, 47(6),  735–747.  https://doi.org/ 10.1002/ejsp.2268

Fazio,  R.  H.,  Powell,  M.  C.,  &  Williams,  C.  J. (1989). The role of attitude accessibility in  the  attitude-to-behavior  process. Journal of Consumer Research16(3), 280–288.  https://doi.org/10.1086/ 209214

Fruhen,  L.  S.,  &  Flin,  R.  (2015).  Car  driver attitudes, perceptions of social norms and aggressive  driving  behaviour  towards cyclists.  Accident Analysis and Prevention83, 162–170. https://doi.org/ 10.1016/j.aap.2015.07.003

Galovski,  T.  E.,  Malta,  L.  S.,  &  Blanchard,  E.  B. (2006). Road rage: Assessment and treatment of the angry, aggressive driver. American Psychological Association. Gibbons, F. X., Gerrard, M., Blanton, H., & Russell,

(13)

reaction:  Willingness  and  intention  as independent  predictors  of  health  risk. Journal of Personality and Social Psychology74(5), 1164–1180. https:// doi.org/10.1037/0022-3514.74.5.1164 Gibbons,  F.  X.,  Houlihan,  A.  E.,  &  Gerrard,  M.

(2009). Reason and reaction: the utility of  a  dual-focus,  dual-processing perspective  on  promotion  and prevention  of  adolescent  health  risk behaviour. British Journal of Health Psychology14(Pt 2), 231–248. https:// doi.org/10.1348/135910708X376640 Herrero-Fernández,  D.,  &  Fonseca-Baeza,  S.

(2017).  Angry  thoughts  in  Spanish drivers and their relationship with crash-related  events.  The  mediation  effect  of aggressive  and  risky  driving. Accident Analysis & Prevention106,  99–108. h t t p s : / / d o i . o r g / 1 0 . 1 0 1 6 / j.aap.2017.05.015

Houston,  J.  M.,  Harris,  P.  B.,  &  Norman,  M. (2003). The aggressive driving behavior scale: Developing a self-report measure of  unsafe  driving  practices. North American Journal of Psychology5(2), 269–278.

Kordasiabi, M. C., Sharifabad, M. A. M., & Abedini, S. (2017). Predictors of speeding among drivers based on Prototype Willingness Model. Journal of Research & Health3(3), 436–444.  https://iranjournals.nlai.ir/ article_374765_46fbf9126eabfe17 e2dc595acdc697a1.pdf

KORLANTAS  POLRI.  (2018). Statistik Laka. http://korlantas.polri.go.id/artikel/ korlantas/113?Statistik_Laka

Kraus, S. J. (1995). Attitudes and the prediction of  behavior:  A  meta-analysis  of  the empirical  literature. Personality and Social Psychology Bulletin21(1), 58–57. h t t p s : / / d o i . o r g / 1 0 . 1 1 7 7 / 0146167295211007 La ju ne n,   T. ,  &  Pa rke r,   D.  (20 01 ).   A re aggressive people aggressive drivers? A study of the relationship between s e lf - re p o r te d   ge n e ra l

aggressiveness,  driver  anger  and aggressive driving. Accident Analysis and Preventio n3 3(2) ,  24 3–25 5. h t tps :/ /doi .o rg /1 0. 10 16 /S 00 01 -4575(00)00039-7

Moan, I. S. (2013). Whether or not to ride with an  intoxicated  driver:  Predicting intentions using an extended version of the  theory  of  planned  behaviour. Transportation Research Part F: Traffic Psychology and Behaviour20, 193–205. h t t p s : / / d o i . o r g / 1 0 . 1 0 1 6 / j.trf.2013.08.001

Paleti,  R.,  Eluru,  N.,  &  Bhat,  C.  R.  (2010). Examining  the  influence  of  aggressive driving  behavior  on  driver  injury severity  in  traffic  crashes. Accident Analysis and Prevention42(6),  1839– 1854.  https://doi.org/10.1016/ j.aap.2010.05.005

Parker, D., Lajunen, T., & Stradling, S. (1998). Attitudinal predictors of interpersonally aggressive  violations  on  the  road. Transportation Research Part F: Traffic Psychology and Behaviour1F(1), 11–24. h t tps :/ /doi .o rg /1 0. 10 16 /S 13 69 -8478(98)00002-3

Pinsky, I., Labouvie, E., & Laranjeira, R. (2004). Willingness  and  alternatives  to  drunk driving  among  young  people  from  São Paulo  city,  Brazil. Revista brasileira de psiquiatria (Sao Paulo, Brazil/ : 1999), 26(4),  234–241.  https://doi.org/ 10.1590/S1516-44462004000400006 Pomery, E. A., Gibbons, F. X., Reis-Bergan, M., &

Gerrard, M. (2009). From willingness to intention: Experience moderates the shift from  reactive  to  reasoned  behavior.  In Personality and Social Psychology Bulletin (Vol. 35, Issue 7, pp. 894–908). Sage  Publications.  https://doi.org/ 10.1177/0146167209335166

Rhodes,  R.  E.,  &  Courneya,  K.  S.  (2003). Modelling  the  theory  of  planned behaviour  and  past  behaviour. Psychology, Health & Medicine8(1), 57– 69.  https://doi.org/10.1080/ 1354850021000059269

(14)

Rivis,  A.,  Abraham,  C.,  &  Snook,  S.  (2011). Understanding  young  and  older  male drivers’  willingness  to  drive  while intoxicated:  The  predictive  utility  of constructs  specified  by  the  theory  of planned  behaviour  and  the  prototype willingness  model. British Journal of Health Psychology16(Pt  2),  445–456. h t t p s : / / d o i . o r g / 1 0 . 1 3 4 8 / 135910710X522662

Schumacker,  R.  E.,  &  Lomax,  R.  G.  (2004). A beginner’s guide to structural equation modeling  (2nd  ed.).  Lawrence  Erlbaum Associates, Inc.

Sharkin, B. S. (2004). Road rage: Risk factors, assessment, and intervention strategies. Journal of Counseling & Development, 82(2),  191–199.  https://doi.org/ 10.1002/j.1556-6678.2004.tb00301.x Sheeran,  P.  (2002).  Intention—Behavior

Relations:  A  Conceptual  and  Empirical Review. European Review of Social Psychology12(1), 1–36. https://doi.org/ 10.1080/14792772143000003

Sheeran,  P.,  Trafimow,  D.,  &  Armitage,  C.  J. (2003).  Predicting  behaviour  from perceived  behavioural control:  Tests  of the accuracy assumption of the theory of planned behaviour. British Journal of Social Psychology42(3),  393–410. h t t p s : / / d o i . o r g / 1 0 . 1 3 4 8 / 014466603322438224

Shinar,  D.  (1998).  Aggressive  driving:  The contribution  of  the  drivers  and  the situation. Transportation Research Part F: Traffic Psychology and Behaviour, 1(2), 137–160. https://doi.org/10.1016/ S1369-8478(99)00002-9

Stephens, A. N., & Sullman, M. J. M. (2015). Trait predictors  of  aggression  and  crash-related behaviors across drivers from the United Kingdom and the Irish Republic. Risk Analysis35(9), 1730–1745. https:/ /doi.org/10.1111/risa.12379 Webb, T. L., & Sheeran, P. (2006). Does changing behavioral intentions engender behavior change?  A  meta-analysis  of  the experimental evidence. In Psychological Bulletin (Vol. 132, Issue 2, pp. 249–268). American  Psychological  Association. h t tp s : / / do i . o r g / 1 0 . 1 0 3 7 / 0 0 3 3 -2909.132.2.249

World Health Organization. (2018). Global status report on road safety 2018. World Health Organization.  https://www.who.int/ publications/i/item/global-status-report-on-road-safety-2018

Yagil, D. (2001). Reasoned action and irrational motives/  :  A  prediction  of  drivers’ intention to violate traffic laws. Journal of Applied Social Psychology31(4), 720– 740.  https://doi.org/10.1111/j.1559-1816.2001.tb01410.x

Zimmermann,  F.,  &  Sieverding,  M.  (2010). Young adults’ social drinking as explained by  an  augmented  theory  of  planned behaviour:  The  roles  of  prototypes, willingness,  and gender. British Journal of Health Psychology15(Pt 3), 561–581. h t t p s : / / d o i . o r g / 1 0 . 1 3 4 8 / 135910709X476558

Received 7 February 2020 Revised 31 May 2020 Accepted 31 May 2020

Referensi

Dokumen terkait

Hubungan ruang dan organisasi ruang yang dapat mendukung sinergi aktifitas-aktifitas yang ada dalam Arena Promosi Produk guna memperlancar sirkulasi

Berdasarkan tabel diatas Selasar Sunaryo memiliki Isu teknis yang cukup baik namun peran elemen interior ini kurang dimainkan dari pandangan wayfinding signage, elemen interior 4

Jika dalam gedung terdapat 20 baris, maka jumlah kursi dalam gedung tersebut adalah .... Dalam LAB pertanian sedang diteliti sebanyak 6 buah Virus yang selalu

Kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik (Menurut Undang,Undang Dasar

Untuk mengetahui alat dapat berfungsi dengan benar dan valid, dilakukan pengujian alat menggunakan berberapa gelas dengan ukuran yang berbeda sebagai variabelnya dengan

Syekh Nawawi al-Bantani berperan dalam dunia pendidikan Islam di Indonesia, terutama dalam tradisi kitab klasik yang sampai sekarang masih digunakan dan

Hasil dari membandingkan assessment pre-test pada masing-masing kelompok penelitian dengan menggunakan uji t-independent menunjukkan bahwa kelompok eksperimen yang

Sebagai gambaran, LKB ini mencakup semua bentuk layanan HIV dan IMS, seperti kegiatan KIE pengetahuan komprehensif, promosi penggunaan kondom, pengendalian/pengenalan faktor risiko,