• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENELITIAN MANDIRI MASYARAKAT EKONOMI ASEAN ( MEA) DALAM LITERASI MEDIA BARU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENELITIAN MANDIRI MASYARAKAT EKONOMI ASEAN ( MEA) DALAM LITERASI MEDIA BARU"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

PENELITIAN MANDIRI

MASYARAKAT EKONOMI ASEAN ( MEA) DALAM LITERASI

MEDIA BARU

TIM PENELITI :

ADE DEVIA PRADIPTA ( 1988120920130822001) PUTU TITAH KAWITRI RESEN ( 1981120720120822001)

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS UDAYANA

(2)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI i

ABSTRAK ii

I. PENDAHULUAN 1

II. KERANGKA KONSEP 6

III. PEMBAHASAN 8

IV. PENUTUP 14

(3)

ABSTRACT

This study is aimed at describing new media literacy and its impact on people’s awareness on the coming of Asean Economic Community. It has been mentioned for many times by the officer of Indonesia Ministry of Foreign Affairs that the level of awareness of Indonesian people on South East Asian Nations integration under Asean Community remains low compared to several countries such as Singapore, Thailand, or The Phillipines. It has been known very well that the distribution of information becomes one of the main keys to spread the information to the society so that the society would get much better understanding on Asean Economic Community ( AEC ). Media takes a big portion on increasing people’s awareness on AEC,especially the new medias that has been growing rapidly lately. By using library research, this study found that level of new media literacy of Indonesia people was still low, one of the causes was the low level of people’s education.

(4)

MASYARAKAT EKONOMI ASEAN ( MEA ) DALAM LITERASI MEDIA BARU

I. PENDAHULUAN

Salah satu hasil kesepakatan dalam KTT ASEAN adalah terintegrasinya ekonomi ASEAN melalui sistem pembentukan perdagangan bebas antar negara anggota yang disebut dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Pada awalnya, MEA disepakati untuk dilaksnakan pada tahun 2020. Namun, pada tanggal 23 Januari 2007, para negara anggota sepakat untuk mempercepat pelaksanaan MEA menjadi tahun 2015. MEA didasari oleh persiapan untuk menghadapi globalisasi ekonomi dan persaingan ekonomi global.

Keputusan pemimpin negara anggota ASEAN untuk mempercepat pelaksanaan MEA berdampak pada dinamika masyarakat Indonesia. Jumlah penduduk Indonesia yang banyak berdampak pada mekanisme penyebaran informasi mengenai percepatan pelaksanaan MEA. Sosialisasi pelaksanaan MEA dilakukan oleh Kementerian Luar Negeri yang bekerja sama dengan instansi-instansi daerah, media massa, kampus, dan organisasi lainnya. Sosialisasi MEA perlu dilakukan bukan hanya untuk memberi informasi tentang apa dan bagaimana MEA, tetapi juga untuk meningkatkan daya saing Indonesia di Asia Tenggara.

Percepatan pelaksanaan MEA membawa Indonesia pada mekanisme sosialisasi yang terkesan mendadak dan kurang persiapan. Ina H. Krisnamurthi selaku Direktur Kerja Sama Ekonomi ASEAN, Kementerian Republik Indonesia menyatakan bahwa sosialisasi tentang MEA kurang maksimal dan salah penempatan. Pada pelaksanaannya, sosialisasi mengenai pilar-pilar dan peraturan perundangan mengenai MEA juga diberikan pada masyarakat. Padahal seharusnya, sosialisasi yang diberikan kepada masyarakat adalah lebih kepada hal teknis dan persiapan praktis untuk menghadapi MEA (www.umy.ac.id/evaluasi-mea-2015-mea-2025-indonesia-harus-lebih-siap.html). Dalam cetak biru MEA, sosialisasi merupakan salah satu hal penting yang harus diimplementasikan.

Berdasarkan laporan AEC scorecard Sekretariat ASEAN, dari 107 measures yang ada dalam AEC blue print, tingkat pengimplementasian Indonesia hanya mencapai angka 80,37%. Angka ini tertinggal jauh dari Singapura yang sudah mencapai angka 93,25%, sehingga Singapura merupakan negara yang paling siap dalam menghadapi MEA.

(5)

Sebaliknya, Indonesia hanya menempati urutan ketujuh dari sepuluh negara anggota ASEAN (Srikandini, 2011).

Selama ini, sosialiasi mengenai MEA dilakukan oleh Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Perdagangan ke beberapa instansi. Salah satu instansi yang sering menjadi target sasaran sosialisasi adalah kampus, dalam hal ini adalah mahasiswa. Padahal, pemahaman mengenai MEA harus dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat. Sosialisasi MEA juga dilakukan melalui media massa baik media cetak, elektronik, maupun internet. Konsekuensinya, pada masyarakat dengan akses media massa yang terbatas, informasi mengenai MEA tidak tersampaikan dengan maksimal.

Hasil survey yang dilakukan oleh Litbang Kompas pada tahun 2015 menemukan bahwa dua dari 5 responden menyatakan tidak pernah mendengar sama sekali mengenai MEA (http://print.kompas.com/baca/2015/12/01/MEA%2c-Antara-Peluang-dan-Ancaman). Hal ini menunjukkaan bahwa sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah sangat minim. Pada akhirnya, minimnya sosialisasi akan berdampak pada kesiapan dan daya saing masyarakat dalam menjalani MEA.

MEA membawa peluang dan juga tantangan bagi masyarakat ASEAN, khususnya masyarakat Indonesia. Salah satu tantangan yang harus dihadapi oleh masyarakat Indonesia adalah penguatan daya saing dan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya daya saing masyarakat Indonesia di era MEA adalah minimnya informasi. Masyarakat, terutama yang bertempat tinggal di pedesaan, masih “buta” akan tantangandan peluang MEA. Hal ini disebabkan karena kurangnya akses informasi dan strategi komunikasi pemerintah yang tidak mencapai masyarakat lapisan bawah.

Salah satu penyebab kurang efektifnya sosialisasi MEA adalah rendahnya literasi media masyarakat Indonesia jika dibandingkan dengan masyarakat di Kawasan ASEAN. Literasi media merupakan salah satu keterampilan individu yang berkaitan dengan penggunaan media dalam mengakses informasi. Literasi media dapat dimaknai sebagai kemampuan individu untuk mengakses, menganalisa, mengvaluasi, dan mengkomunikasikan pesan dan konten media (Livingstone, 2004). Pada hakikatnya, literasi media sebagai salah satu komponen untuk mensosialisasikan peluang dan tantangan MEA. Masifnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi serta meningkatnya pengetahuan masyarakat seharusnya mampu meningkatkan literasi media masyarakat, terutama pada media-media baru.

(6)

II. KERANGKA KONSEP

A. Masyarakat Ekonomi ASEAN ( MEA )

Masyarakat Ekonomi ASEAN adalah salah satu pilar dari tiga pilar Komunitas ASEAN. Dua pilar lainnya adalah pilar politik – keamanan dan pilar sosial budaya. Tujuan utama dari Komunitas ASEAN adalah untuk mempererat integrasi masyarakat ASEAN dan untuk menyesuaikan cara pandang keterbukaan dalam menyikapi perkembangan dunia. Masyarakat Ekonomi ASEAN ( MEA) merupakan salah satu cita-cita negara anggota ASEAN untuk bekerja sama dalam upaya memperdalam dan memperluas ekonomi terpadu di kawasan ASEAN dan dengan kawasan di luar ASEAN. Melalui MEA, ASEAN dicita-citakan akan menjadi pasar tunggal dan basis produksi, kawasan yang lebih dinamis dan berdaya saing, memiliki pembangunan yang setara, serta berupaya mempercepat keterpaduan ekonomi di kawasan ASEAN dan dengan kawasan luar ASEAN ( Kementerian Luar Negeri, 2011). Dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), terdapat arus barang , jasa, dan investasi yang bebas, aliran modal yang lebih bebas, pembangunan ekonomi yang adil dan pengurangan kemiskinan. Tujuan yang ingin dicapai oleh negara-negara anggota adalah 1) pasar tunggal dan basis produksi; 2) kawasan ekonomi yang kompetitif; 3) wilayah pembangunan ekonomi yang adil; 4) terintegrasinya wilayah ASEAN ke dalam ekonomi tunggal (Website ASEAN).

Mengingat MEA akan membawa tantangan dan peluang bagi Indonesia umunya dan masyarakat Bali pada khususnya, maka diperlukan kesiapan yang matang dari masyarakat untuk menghadapi MEA. Informasi yang memadai akan menjadi penentu krusial dalam mendukung kesiapan masyarakat menghadapi MEA. Pemerintah daerah, dunia pendidikan dan perguruan tinggi, praktisi, pelaku usaha, dan kalangan media memiliki peran penting dalam meningkatkan kapasitas sumber daya manusia Indonesia ( Masyarakat ASEAN, Maret 2015). Peran media dalam membentuk pemahaman masyarakat terhadap MEA inilah yang akan menjadi fokus penelitian ini. Pada bagian selanjutnya akan dijelaskan mengenai peran dan fungsi media.

B.Literasi Media

Media merupakan salah satu faktor kunci dalam penyebaran informasi. Media massa dan media baru seperti Internet dan media sosial semakin mempercepat dan mempermudah penyebaran informasi kepada masyarakat luas. Dominick (2001) menyatakan bahwa media

(7)

memiliki fungsi penafsiran yang mampu menafsirkan kejadian penting berdasarkan fakta dan data yang diberikan kepada masyarakat. Media memiliki kekuatan yang cukup besar untuk menentukan informasi apa yang layak untuk disajikan kepada masyarakat. Media baru seperti Internet dan media sosial pada masyarakat yang akrab dengan teknologi mampu memberikan tambahan manfaat bagi pengembangan pengetahuan dan pemahaman. Melalui informasi dari media-media ini, masyarakat akan mendapatkan banyak informasi mengenai Masyarakat Ekonomi ASEAN dan konsekuensinya secara cepat. Salah satu cara untuk mengembangkan pengetahuan dan pemahaman terhadap informasi adalah dengan literasi media.

Literasi dapat dipahami sebagai kemampuan individu dalam mencari, menemukan, dan menggunakan informasi yang diperolehnya dari beragam sumber dan media (Sholihuddin, 2011). Literasi media menurut McCannon (Strasburger & Wilson, 2002) memaknai literasi media sebagai kemampuan secara efektif dan efisien memahami dan menggunakan komunikasi massa. Secara tradisional, Silverblatt (2007) menyatakan bahwa literasi media merupakan kemampuan untuk mengakses, menganalisis, dan menciptakan. Livingstone, Van Couvering, and Thumin (2004) menyatakan bahwa terdapat empat komponen dasar acuan literasi media, yaitu akses, analisis, evaluasi, dan pembuatan isi pesan. Secara lebih kompleks, Rubin (1998) mendefinisikan literasi media sebagai pemahaman sumber, teknologi komunikasi, kode yang digunakan, pesan yang dihasilkan, seleksi, interpretasi, dan dampak dari pesan tersebut. kesadaran dari banyak pesan media dan kemampuan kritis dalam menganalisis dan mempertanyakan yang dibaca, dilihat, dan ditonton. Melalui media, individu menginterpretasi makna pesan yang diterima. Persepektif penginterpretasian makna ini dibangun berdasarkan struktur pengetahuan yang dikonstruksi dari kemampuan menggunakan informasi (Potter, 2004).

Literasi media erat kaitannya dengan tingkat pendidikan individu. Secara garis besar, makin tinggi pendidikan seseorang, maka makin tinggi pula tingkat literasi medianya. Sejalan dengan empat komponen dasar acuan literasi media yan pertama yaitu akses, Indonesia berada pada posisi yang belum cukup baik, mengingat masih rendahnya akses masyarakat terhadap media. Pada komponen analisis, evaluasi, dan pembuatan diperlukan kematangan dan pendidikan yang cukup untuk mampu memaknai dan membuat pesan media. Penginterpretasian makna dan pemanfaatan teknologi untuk membuat isi pesan media sangat berkaitan struktur pengetahuan dan kemampuan menggunakan informasi. Namun, yang harus digarisbawahi adalah kemampuan untuk membuat isi pesan media haruslah mempertimbangkan dampak dari isi pesan tersebut.

(8)

III. PEMBAHASAN

LITERASI MEDIA BARU, MEA, DAN MASYARAKAT

Media baru atau new media merupakan bentuk media yang mencakup seperangkat teknologi informasi dan komunikasi yang semakin berkembang. McQuail (2011) menyatakan bahwa ciri utama dari media baru adalah adanya saling keterhubungan, memiliki akses terhadap khalayak individu sebagai penerima dan pengirim pesan, interaktif, memiliki karakter terbuka dengan kegunaannya yang beragam, dan bersifat ada di segala tempat. Media baru memungkinkan terjadinya percakapan antar banyak pihak, memungkinkan penerimaan secara simultan, perubahan dan penyebaran kembali objek budaya, menyediakan kontak global secara instan, dan memasukkan subjek modern ke dalam mesin kerja berjaringan. Terdapat karakteristik perubahan utama yang terkait dengan media baru, yaitu: 1) digitalisasi dan konvergensi seluruh aspek media; 2) interaksi dan konektivitas jaringan yang semakin meningkat; 3) mobilitas dan delokasi untuk mengirim dan menerima; 4) adaptasi terhadap peranan publikasi khalayak; 5) munculnya berbagai macam bentuk gateway media; 6) pemisahan dan pengaburan lembaga media.

Media baru yang berbentuk digital memiliki lima karakteristik (Flew, 2008), yaitu:

1) Manipulable, digitalisasi memungkinan informasi dapat diadaptasi dan diubah

beragam bentuk, pengiriman, penggunaan, dan penggunaan.

2) Networkable, dengan perkembangan teknologi, infomasi yang telah diadaptasi

menjadi digital dapat dibagikan dan dipertukarkan secara kontinyu oleh sejumlah besar pengguna di seluruh dunia.

3) Dense, informasi dalam bentuk digital yang ukurannya sangat besar dapat disimpan dalam media berukuran kecil seperti CD-ROM, USB, dan atau penyedia layanan jaringan seperti Cloud, Dropbox, Google Drive.

4) Compressible, digitalisasi informasi menyediakan peluang bagi pengguna untuk

memperkecil ukuran berkas agar mempermudah pengiriman. Terlebih lagi, pengguna dapat mengembalikan ukuran berkas ke kondisi sepeerti semula.

5) Impartial, informasi dalam bentuk digital yang diterima oleh pengguna memilik

bentuk yang sama dengan representasi yang digunakan oleh pemilik ataupun pencipta. Media baru seperti internet dimanfaatkan oleh masyarakat untuk berbagi informasi dan menjalin hubungan. Media baru sebagai bentuk media yang dekat dengan kehidupan masyarakat digunakan pada berbagai aspek kehidupan. Menurut Siricharoen &Siricharoen

(9)

(2014), literasi media digital sangat penting untuk diberikan kepada individu untuk menghindari kerugian biaya dan kerusakan fisik dan psikologis akibat penipuan dalam penggunaan media digital. Media digital dapat digunakan secara efektif dan efisien dalam menyebarkan dan membentuk pemahaman terhadap sebuah fenomena.

Salah satu media digital yang paling masif digunakan untuk menyebarkan membentuk pemahaman terhadap sebuah fenomena adalah Internet dan media sosial. Internet dan media sosial yang memiliki karakteristik di atas mampu menyebarkan informasi secara cepat tanpa terbatas ruang dan waktu. Melihat karakteristik media digital yang mampu menyebarkan informasi secara cepat, sebaiknya para pihak terkait meningkatkan literasi media masyarakat. Hal ini penting dilakukan sebagai tahap awal penyebaran informasi yang pada akhirnya akan membentuk pemahaman masyarakat terhadap suatu fenomena.

Seperti yang telah dijelaskan di atas, salah satu faktor penyebab ketidaksiapan masyarakat Indonesia terhadap MEA adalah ketidaktahuan akibat sedikitnya informasi dan rendahnya keinginan untuk mencari tahu tentang fenomena tersebut. Hal ini disebabkan karena pemerintah cenderung menggunakan metode-metode yang masih tradisional untuk membentuk pemahaman masyarakat tentang MEA. Pemerintah lebih mengedepankan cara-cara seperti sosialisasi, seminar, dan penguatan kerja sama dengan pihak-pihak terkait, terutama dengan pengusaha. Padahal, kesiapan Indonesia untuk menghadapi MEA tidak hanya bisa dilihat dari kesiapan para pengusaha dan tenaga kerja, tetapi juga harus didukung oleh kesiapan seluruh elemen masyarakat.

Sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah cenderung bersifat satu arah dan hanya sedikit memanfaatkan media-media baru seperti Internet dan media sosial. Padahal, melihat karakteristik media baru yang bersifat digital tersebut, pemerintah dapat menjangkau lebih banyak lapisan masyarakat. Selain itu, pemerintah juga sebaiknya bekerja sama dengan masyarakat yang memiliki literasi media baru yang tinggi. Kelompok masyarakat ini akan menyebarkan informasi dengan cara-cara yang lebih unik, personal, dan bisa dijangkau secara luas.

Trend umum perkembangan literasi media baru diawali oleh kepentingan literasi media untuk membawa kembali agenda pendidikan ketika terdapat sebuah teknologi media baru yang menyebabkan kegelisahan kolektif di masyarakat (Lin, Li, Deng, & Lee, 2013). Kemunculan media baru juga menimbulkan keprihatinan publik di berbagai negara. Lahirnya Internet menjadi tonggak sejarah dalam pengembangan media literasi. Hal ini disebabkan karena Internet mengubah peta media dan memulai perdebatan pada perbedaan pendekatan pada literasi media (Gauntlett, 2011).

(10)

Dalam lingkungan saat ini yang mengedepankan media baru dalam berbagai aspek kehidupan, literasi tradisional tidak bisa lagi digunakan untuk bertahan. Media baru tidak hanya membentuk budaya dalam masyarakat, tetapi media baru itulah budaya masyarakat (Wu & Chen 2007 dalam Lin, Li, Deng, & Lee, 2013). Dengan kata lain, media baru seperti Internet dan media sosial tidak lagi bisa dipisahkan dari budaya masyarakat. Media baru memilik aturan, norma, nilai, bahasa, bahkan masyarakatnya. Lebih lagi, media baru memainkan peranan penting dalam masyarakat, dan individu perlu untuk melengkapi dirinya dengan literasi baru guna mampu terlibat dalam lingkungan media baru.

Aksesibilitas media baru yang mudah seharusnya dimanfaatkan oleh pemerintah untuk membentuk pemahaman tentang MEA. Pembentukan pemahaman ini akan menjadi satu langkah awal untuk mempersiapkan masyarakat arus barang dan tenaga kerja dari luar negeri. Internet yang telah menjadi bagian dari budaya dunia bukanlah hal baru bagi masyarakat Indonesia. Namun, pada faktanya, meskipun pengunaan Internet tinggi tetapi literasi media baru masyarakat Indonesia bisa dikatakan masih rendah. Chen et al. (2011) berpendapat bahwa individu sebaiknya ‘melek’ terhadap media baru untuk mampu berpartisipasi secara bertanggung jawab di masyarakat zaman baru. Hal ini berarti bahwa untuk bisa menjadi bagian dari masyarakat Internet global, peningkatan literasi media baru penting untuk ditingkatkan.

Livingstone, Van Couvering, and Thumin (2004) menyebutkan bahwa pengimplementasian literasi media baru memiliki 3 tujuan, yaitu: 1) demokrasi, partisipasi dan masyarakat aktif; 2) pengetahuan, ekonomi, persaingan, dan pilihan; dan 3) pembelajaran seumur hidup, pengekspresian budaya, dan pemenuhan kebutuhan personal. Literasi tradisional yang dulu hanya berpusat pada kemampuan menulis dan membaca saat ini telah bergeser pada literasi audiovisual dan literasi digital, bahkan literasi media baru. Literasi media digital penting dilakukan untuk menunjang pembentukan pemahaman akibat literasi media massa. Selanjutnya, literasi media digital mampu mengantarkan individu pada tahap literasi informasi. Individu dikatakan sampai pada tahap information literate ketika individu tersebut mampu memanfaatkan media, khususnya mampu menggunakan media untuk menghasilkan informasi yang dibutuhkannya demi kelangsungan hidupnya. Dalan kaitannya dengan kesiapan masyarakat Ekonomi ASEAN, jika masyarakat telah mampu mencapai tahap information literate, individu tersebut mampu mengumpulkan informasi yang membantunya untuk memahami MEA. Harapannya, pemahaman akibat tingkat literasi yang baik ini akan semakin mempersiapkannya untuk menghadapi MEA. Namun, literasi informasi ini dapat dicapai jika individu telah memiliki literasi media yang baik.

(11)

Literasi media baru merupakan kombinasi antara information skils, conventional literacy skills, dan social skills atau yang sering disebut dengan multiliteracies. Chen (2011), menggambarkan sebuah kerangka kerja yang membagi literasi media baru menjadi dua proses, yaitu dari consuming literacy menjadi prosuming literacy dan dari functional literacy menjadi critical literacy, seperti pada gambar 2.1. Consuming literacy merupakan kemampuan untuk mengakses pesan media dan memanfaatkan media pada berbagai tingkatan.

Gambar 2.1 Kerangka Kerja Literasi Media Baru (Chen, 2011)

Prosuming literacy adalah kemampuan untuk menghasilkan konten media. Aspek consuming harus terintegrasi dan berdampak pada aspek prosuming. Prosuming literacy erat kaitannya dengan media baru, terutama media digital. Hal ini dapat dilihat pada karakteristik user generated content yang dimiliki oleh media tersebut. Pada media baru seperti media sosial, user dapat membuat, mengunggah, dan memodifikasi konten-konten dalam media sesuai dengan keinginnya. Dalam kaitannya untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang MEA, user dapat menyebarkan informasi mengenai MEA melalui konten-konten yang mereka hasilkan. Menghasilkan konten media yang bersifat digital ini memerlukan keterampilan dan kemampuan khusus yang berkaitan dengan teknologi. Pemanfaatan teknologi audio-visual sangat diperlukan untuk menyampaikan pesan dn membentuk pemahaman terhadap suatu fenomena.

(12)

Dengan masifnya perkembangan teknologi saat ini, prosuming literacy bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan. User dapat menghasilkan konten-konten media dimanapun dan kapanpun melalui teknologi yang dekat dengan kehidupan sehari-hari mereka. Ketika pemerintah menginginkan literasi informasi tercapai, paling tidak prosuming literacy ini tercapai dengan mengedukasi pemanfaatan media baru seperti media sosial dan Internet. Pemerintah dan masyarakat dapat memaksimalkan media sosial sebagai salah satu media yan dapat secara cepat menyebarkan dan menambah pengetahuan tentang sesuatu, khususnya tentang MEA. Paling tidak, informasi tentang apa dan bagaimana MEA di Indonesia mampu terjawab. Hal ini penting untuk dilakukan agar muncul pemahaman bahwa Indonesia tengah berada pada persaingan arus barang dan tenaga kerja di ASEAN. Harapannya dengan pemahaman yang dibentuk melalui media sosial ini, muncul kesadaran masyarakat untuk memeperbaiki diri dan menyiapkan diri dalam kancah persaingan tersebut.

Prosuming literacy memiliki lima indikator, yaitu: prosuming skill, distribution, production, participation, dan creation. Prosuming skill mengacu pada keterampilan teknikal individu yang diperlukan untuk memproduksi konten media. Keterampilan ini berkaitan dengan kemampuan individu untuk membuat sebuah komunikasi berbasis online, menggunakan perangkat lunak dari berbagai macama artifak digital, dan melakukan pemograman. Keterampilan ini berkaitan dengan membuat, menyunting, dan menyebarkan pesan media.

Distribution merupakan indikator yang menggambarkan kemampuan individu untuk

mendistribusikan informasi secara langsung. Distribusi informasi lebih berperan penting pada prosuming literacy. Distribusi informasi ini berkaitan dengan proses individu untuk berbagi informasi dan bahkan perasaannya melalui network websites seperti media sosial, blog, dan sebagainya, juga berkaitan dengan berbagi pesan media (Lin et.al 2013). Media sosial merupakan salah satu network websites yang sangat dekat dengan kehidupan manusia. Masyarakat sangat mudah memperoleh dan menyebarkan informasi dengan memilih icon share. Dalam sekejap, informasi akan bisa tersebar kepada seluruh pengguna yang berkaitan.

Production, mengacu pada kemampuan inividu untuk menduplikasi atau melakukan

mix media content. Aktivitas pada indikator ini mencakup scanning & typing naskah cetak menjadi naskah digital, menghasilkan klip audio visual, dan menulis pada Blog atau Facebook. Jika ditarik benang merahnya, ketiga indikator utama ini berkaitan dengan model literasi media baru oleh Chen (2011) pada bagian functional literacy. Functional literacy mengacu pada kemampuan individu untuk menghasilkan makna tekstual dan menggunakan

(13)

fitur dan pesan media. Secara lebih mendalam functional literacy tidak hanya berkaitan dengan menghasilkan pesan media dan mendiseminasikannya, tetapi juga bagaimana mampu menghasilkan konten media yang berkualitas dan memiliki dampak sosial yang baik bagi masyarakat.

Indikator keempat, yaitu participation, merupakan indikator yang lebih kritis dibandingkan ketiga indikator sebelumnya. Secara spesifik, Chen (2011) dan Jenkins et al (2006) menyatakan bahwa indikator ini berkaitan dengan kemampuan individu untuk berpartisipasi secara interaktif dan kritis pada lingkungan media baru. Interaktivitas dapat terjalin dengan melakukan komunikasi dua arah antar partisipan. Umpan balik dapat secara langsung diterima dengan menggunakan media ini. Dengan demikian, peluang tejadinya komunikasi yang efektif akan semakin besar, sehingga hubungan akan terjalin dengan lebih baik. Indikator ini mensyaratkan terjadinya koneksi sosial dan kontribusi individu yang lebih baik. Indikator terakhir adalah creation. Indikator ini berkaitan dengan pemahaman kritis terhadap isu-isu sosial budaya dan ideologi yang ada pada media. Pada indikator ini, lebih ditekankan inisiatif pribadi individu untuk melakukan pemahaman terhadap pesan media. Kedua indikator terakhir ini dapat diketegorikan pada critical literacy.

Critical literacy merupakan kemampuan untuk menganalisis, mengevaluasi, dan mengkritik media. Secara ringkasnya, functional literacy merupakan fondasi dari critical literacy. Individu bisa saja mengalami kegagalan untuk konteks sosio-kultural dalam media secara eksplisit akibat belum mengenal karakteristik teknis dari fitur dan bahasa media baru (Chen 2011). Secara sederhana, masyarakat harus melalui tahap functional literacy sebelum mencapai tahap critical literacy, begitu pula dengan pemerintah.

Pada kaitannya dengan sosialisasi MEA, masyarakat harus mampu melakukan consuming literacy. Artinya, masyarakat harus mampu mengakses dan memahami pesan-pesan tentang MEA dalam level tekstual. Hal ini bisa dilakukan dengan memberikan informasi tekstual yang lengkap, akurat, dan faktual mengenai MEA dari sumber yang kredibel. Pemerintah dapat memanfaatkan media sosial dan Internet untuk mencapai pemahaman tekstual ini. Masyarakat juga harus diberikan dorongan untuk mencari informasi tekstual pelngkap sehingga pemahaman mereka semakin mendalam.

Selanjutnya, ketika consuming literacy telah berjalan dengan baik, maka masyarakat dan pemerintah harus mampu memaksimalkan prosuming literacy. Masyarakat didorong untuk mengoptimalkan penggunaan teknologi guna mendiseminasikan informasi-informasi

(14)

yang berkaitan dengan MEA. Pada tahap ini, pemberian informasi sudah berada pada level yang lebih tinggi, karena dapat bersifat audio visual, bukan lagi tekstual. Pada tahap ini informasi mengenai MEA dapat dijelaskan secara lebih rinci dengan memberikan video berupa simulasi atau dalam bentuk lainnya. Pesan dapat dibuat secara lebih kreatif dan menarik, sehingga pemahaman terhadap fenomena ini akan lebih mendalam.

Masyarakat Ekonomi ASEAN bukanlah hal baru bagi masyarakat ASEAN. Namun, bisa dikatakan bahwa bagi sebagian masyarakat Indonesia, MEA adalah hal baru. Jika dibandingkan dengan negara-negara anggota lainnya, Indonesia berada pada posisi literasi informasi yang rendah, terutama yang berkaitan dengan MEA. Hal ini berkaitan dengan komunikasi pemerintah kepada masyarakat yang cenederung formal dan hanya memberikan informasi pada tahap kulit. Di sisi lain, masyarakat Indonesia juga cenderung apatis terhadap MEA karena merasa hal tersebut adalah tanggung jawab pemerintah. Akibatnya, sebagian masyarakat masih belum paham tantangan dan peluang mengenai MEA. Secara tidak langsung hal ini akan berdampak pada kesiapan masyarakat untuk menghadapi MEA.

Mencapai literasi terhadap sebuah media bukanlah hal yang mudah bagi pemerintah dan masyarakat. Literasi terhadap media baik tradisional maupun media baru membutuhkan komitmen yang cukup tinggi, karena tidak saja berkaitan dengan peningkatan kemampuan masyarakat tetapi juga berkaitan dengan sarana pendukungnya. Literasi media baru memerlukan waktu yang cukup panjang di masyarakat. Bagi masyarakat Indonesia, yang lebih dulu harus dibangun adalah pada level functional literacy. Masyarakat Indonesia harus mampu memahami makna-makna tekstual pada media baru, terutama media sosial dan Internet. Menciptakan literasi media baru membutuhkan kerja sama yang baik antara pemerintah dengan masyarakat. Pemerintah harus mampu mendorong masyarakat untuk lebih aktif pada level functional¸sebelum berpindah ke level critical.

IV.PENUTUP

Literasi media baru menjadi hal yang penting dalam era Masyarakat Ekonomi ASEAN. Hal ini tidak saja berkaitan dengan penyebaran informasi dan pemahaman mengenai kebijakan tersebut, tetapi juga sangat erat dengan kesiapan masyarakat untuk bersaing. Secara sederhana, masyarakat tidak akan siap bersaing jika tidak sadar dan paham terhadap suatu tantangan. Dalam menyadarkan masyarakat akan tantangan dan peluang MEA, pemerintah sebaiknya tidak hanya melakukan pemberian informasi melalui sosialiasi, tetapi juga dengan mendorong masyarakat untuk mengkases informasi mengenai MEA dari

(15)

media-media baru yang dekat dengan kehidupan sehari-hari. Pemerintah juga dapat bekerja sama dengan komunitas yang memiliki prosuming skill yang baik untuk membuat konten-konten media yang mampu meningkatkan pemahaman masyarakat.

(16)

DAFTAR PUSTAKA

Bungin, Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial. Jakarta: Kencana Prenama Media Grup.

Chen,D.-T.,Wu,J.,&Wang,Y.M.(2011).“Unpackingnewmedialiteracy”.JournalonSystemic s,CyberneticsandInformatics,9(2),84-88.

Direktorat Jenderal Kerja Sama ASEAN Departemen Luar Negeri. 2009. Cetak Biru Komunitas Ekonomi ASEAN. Jakarta: Departemen Luar Negeri.

Dominick, Yoseph. 2001. Broadcasting, Cable, The Internet and Beyond: An Introduction to The Modern Electronic Media. Singapore: McGraw-Hill.

Flew, Terry. 2008. New Media: An Introduction. Melbourne: Ofxord University Press. Gauntlett,D.(2011).Mediastudies2.0,andotherbattlesaroundthefutureofmediaresearch.David

GauntletKindleeBook.(ASIN: B005E9E3HI).

HW, Philips Iman. 2013. “Studi Komparatif Pentingnya Informasi Literasi Informasi Bagi Mahasiswa”. Visi Pustaka. Vol.5: No. 2. Pp: 80-88.

Kementerian Luar Negeri Indonesia, 2011. Ayo Kita Kenali ASEAN. Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN

Kementerian Luar Negeri RI, Masyarakat ASEAN Edisi 7, Maret 2015

Komisi Penyiaran Indonesia Pusat. 2011. Panduan Sosialisasi Literasi Media Televisi: Pegangan untuk Narasumber. Jakarta: Komisi Penyiaran Indonesia.

Lin, Tzu-Bin, Jen-Yi li, Feng-Deng, and Ling Lee. 2013. “Understanding New Media Literacy: An Explorative Theoritical Framework”. Education and Technology Society. 16 (4): 160-170.

Livingstone,S.,VanCouvering,E.,&Thumin,N.(2004).Adultmedialiteracy-AreviewoftheresearchliteratureonbehalfofOfcom(pp.1-86).London,UK:Office ofCommunications.

Livingstone, Sonia. 2004. “What is Media Literacy?”. Intermedia. 32 (3). Pp. 18-20. http://eprints.lse.ac.uk.

_________, 2011. “Digital Learning and Participation among Youth: Critical Reflectionn on Future Researc Priorities”. International Journal of Learning and Media. Vol. 2: No.2-3. Pp: 1-13.

McQuail, Denis. 2010. McQuail’s Mass Communication Theory. Sixth Edition. London: SAGE Publications.

(17)

Kementerian Luar Negeri Indonesia, 2011. Ayo Kita Kenali ASEAN. Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN

Kementerin Luar Negeri RI, Masyarakat ASEAN Edisi 7, Maret 2015

Samani, Mus Chairil, Jamilah Maliki, and Norazima Abd Rashid. 2011.”Literasi Media Ke Arah Melahirkan Pengguna Media Berpengetahuan”. Jurnal Pengajian Media Malaysia. Vol. 13: No. 2. Pp. 41-64.

Silverblatt, Art. 2007. Genre Studies in Mass Media: A Handbook. London: Armonk (NY). Srikandini, A.G. 2011. “Pasar Tunggal ASEAN 2015: Diplomasi Indonesia dan Penguatan

Kapasitas Tenaga Kerja Terdidik”. Prosiding Seminar “Competitive Advantage”Universitas Gadjah Mada. Vol. 1: No. 1.

Strasburger, V. and B. Wilson. 2002. Children, Adolescents, and the Media.California: SAGE Publications.

Tan, Kevin. 2015. “Peran Keterbukaan Media dan Informasi Indonesia terhadap Pembentukan AEC 2015”. Jurnal ISAFIS. Pp: 45-52.

(18)
(19)

Gambar

Gambar 2.1 Kerangka Kerja Literasi Media Baru (Chen, 2011)

Referensi

Dokumen terkait

signifikan modal kerja, kebijakan dividen dan ratio hutang secara simultan terhadap profitabilitas. Pengujian secara simultan sub struktur-2, diperoleh nilai probability<

Dari semua penelitian yang ada penulis menegaskan bahwa penelitian yang dilakukan penulis berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya, penelitian yang dilakukan

2 Tahun 1992 tentang usaha perasuransian yang menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan asuransi atau pertanggungan adalah “perjanjian antara dua belah pihak atau lebih, dengan

Pada saat relay tidak menerima input atau memiliki input bernilai 0 maka relay dalam kondisi NO (Normali Open) atau kondisi tidak terhubung. Apabila relay mendapatkan nilai 1

The results show that knowledge donating and knowledge collecting positively inluence SME’s innovation capabilities if absorptive capacity is also developed.. In

Dapat dilihat bank sumut dengan beberapa bank lain terlihat suku bunga pinjaman yang berbeda belum tentu tingkat suku bunga yang diatas paling besar akan lebih

menggunakan ANOVA dengan probabilitas 5% (α=0,05). Penentuan model kurva standar dilakukan menggunakan SPSS Statistic v. Kemudian, hasil yang diperoleh dibandingkan dengan

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat ALLAH SWT atas segala rahmat dan hidayah-NYA, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah yang