11
II. TINJAUAN PUSTAKA
Jambu biji sebagai salah satu komoditas agribisnis dalam sektor pertanian primer, memiliki beberapa keunggulan yang menjadikan jenis buah ini sangat diminati oleh masyarakat luas. Berbagai penelitian telah banyak dilakukan untuk mengetahui berbagai manfaat dan potensi dari buah jambu biji. Konsumsi masyarakat yang tinggi terhadap jambu biji menjadikan buah ini memiliki potensi yang baik untuk dikembangkan usaha budidayanya.
2.1. Karakteristik Umum Tanaman Jambu Biji
Jambu biji (Psidium guajava L.) merupakan salah satu jenis hortikultura kelompok komoditi buah-buahan yang banyak dijumpai di Indonesia. Jambu biji memiliki buah yang berwarna hijau dengan daging buah berwarna putih atau merah dan memiliki rasa asam-manis dan manis. Tanaman buah jenis perdu ini berasal dari Brazilia, Amerika Tengah, yang menyebar ke Thailand kemudian ke negara Asia lainnya, termasuk Indonesia (Parimin 2007).
Jambu biji merupakan tanaman tropis dan dapat tumbuh di daerah subtropis dengan intensitas curah hujan berkisar antara 1.000-2.000 mm per tahun dan merata sepanjang tahun. Jambu biji dapat tumbuh subur pada daerah dengan ketinggian antara 5-1.200 m dpl. Tanaman jambu biji dapat tumbuh berkembang serta berbuah dengan optimal pada suhu sekitar 23-28oC di siang hari. Kelembaban udara yang diperlukan tanaman ini cenderung rendah. Kondisi demikian cocok untuk pertumbuhan tanaman jambu biji.
Salah satu keunggulan tanaman jambu biji adalah dapat tumbuh pada semua jenis tanah. Jambu biji dapat tumbuh optimal pada lahan yang subur dan gembur serta banyak mengandung unsur nitrogen dan bahan organik, atau pada tanah yang liat dan sedikit pasir. Derajat keasaman tanah (pH) tanaman jambu biji tidak terlalu jauh berbeda dengan tanaman lainnya, yaitu antara 4,5-8,2.
Di Indonesia, tanaman jambu biji tersebar dan dibudidayakan di seluruh provinsi di Indonesia. Karakteristik tanaman jambu biji yang cocok dengan kondisi geografis Indonesia, menjadikan tanaman ini banyak dikembangkan oleh petani di berbagai wilayah di Indonesia. Pada tahun 2008, luas panen tanaman jambu biji di Indonesia mencapai 10.800 ha dengan nilai total produksi sebesar
12 212.260 ton8. Pulau Jawa merupakan sentra penanaman buah jambu biji terbesar di Indonesia, meliputi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah DI Yogyakarta, dan Jawa Timur. Sentra produksi terbesar jambu biji terdapat di Provinsi Jawa Barat.
Terdapat beberapa jenis buah jambu biji yang dikenal di Indonesia, yaitu jambu sukun, jambu bangkok, jambu merah, jambu pasar minggu, jambu sari, jambu apel, jambu palembang, dan jambu merah getas. Jambu biji jenis merah getas merupakan hasil silangan jambu bangkok dengan jambu pasar minggu yang berdaging buah merah. Hasil silangan ini memang memiliki sifat yang dapat diunggulkan dari kedua induknya. Secara umum keunggulan dari jambu jenis ini adalah ukurannya besar, daging buahnya tebal, teksturnya lunak, bijinya sedikit, rasanya manis, dan aromanya harum. Produktivitas jambu biji merah getas tergolong tinggi, mengikuti produktivitas induk jambu bangkok yang tinggi. Dalam berproduksi, jenis jambu biji ini tidak mengenal musim atau dapat berbuah sepanjang tahun.
2.2. Budidaya dan Masa Panen Jambu Biji
Soedarya (2010) menyatakan bahwa dalam melakukan kegiatan budidaya jambu biji, terdapat beberapa langkah yang perlu diperhatikan oleh pembudidaya, yaitu:
1) Pengolahan media tanam, mencakup kegiatan: persiapan lahan, pembukaan lahan, pembentukan bedengan, pengapuran lahan, dan pemupukan.
2) Penanaman, mencakup kegiatan: penentuan pola tanaman, pembuatan lubang penanaman, dan penanaman bibit jambu biji.
3) Pemeliharaan tanaman, mencakup kegiatan: penjarangan dan penyulaman, penyiangan, pembubunan (pembalikan dan penggemburan tanah agar tetap dalam keadaan lunak), perempalan (pemangkasan pada ujung cabang-cabang pohon jambu biji), pemupukan, pengairan dan penyiraman, penyemprotan pestisida, dan pemeliharaan lain berupa pembungkusan buah jambu biji dengan menggunakan plastik. Hal ini bertujuan untuk melindungi agar buah tidak mudah dimakan oleh binatang seperti kalong atau ulat dan menjaga agar
8
13 buah tetap tumbuh dengan baik. Buah jambu biji yang dibungkus plastik juga memiliki kulit buah yang lebih halus dan bagus dibandingkan dengan buah yang tidak dibungkus plastik. Dengan cara ini, petani dapat menjual jambu biji dengan harga yang lebih tinggi di pasar dibandingkan harga biasanya.
Rismunandar (1989) menyebutkan bahwa pada umumnya, tanaman jambu biji akan mulai berbuah pada usia 2-3 tahun setelah masa penanamannya, namun masih sedikit jumlah buah yang dapat dihasilkan per pohonnya. Sementara itu, untuk jambu biji yang pembibitannya dilakukan dengan melalui metode cangkok atau stek, sudah dapat berbuah pada usia 6-12 bulan setelah penanaman. Pada tahun pertama, pohon jambu biji dapat menghasilkan sekitar 2-4 buah per tanaman per tahun. Pada tahun kedua, dapat dihasilkan sekitar 10-25 buah per tanaman per tahun. Pada tahun ketiga, pohon jambu biji mampu berproduksi menghasilkan sekitar 30-45 kg buah per tanaman per tahun.
Pohon jambu biji akan mengalami masa optimal sejak berumur 4 tahun, dengan menghasilkan sekitar 60-75 kg buah per tanaman per tahun dan akan terus bertambah, hingga berumur 10-15 tahun. Sementara untuk jambu biji hasil cangkok atau stek, akan berproduksi optimal sejak berumur dua tahun dan akan terus bertambah hingga berumur sekitar enam tahun. Pada umur tersebut, pohon jambu biji, khususnya jambu biji merah getas, akan menghasilkan buah jambu biji yang sangat banyak, manis, berukuran besar, dan beraroma khas jambu biji. Masa produksi pohon jambu biji diperkirakan mencapai 30 tahun. Sementara untuk pohon jambu biji yang ditanam melalui metode cangkok atau stek, hanya berumur hingga 15 tahun.
Menurut Rismunandar, rata-rata pada sebuah pohon jambu biji dapat dihasilkan buah jambu biji sebanyak 360 buah per pohon atau menghasilkan sekitar 72 kg buah jambu biji per tahunnya. Jika menggunakan konversi, dapat dihasilkan sekitar 4.320 kg jambu biji per tahun pada 1 ha lahan kebun jambu biji dengan jumlah sebanyak 60 buah pohon.
Panen buah jambu biji dilakukan pada umur 109-114 hari setelah bunga mekar untuk konsumsi segar. Sementara, untuk buah jambu biji yang digunakan untuk diolah, sebaiknya dipanen antara 112-113 hari setelah bunga mekar. Jambu biji umumnya dipanen dengan memperhatikan perubahan warna kulit buah,
14 karena cukup sulit dalam memperhitungkan hari. Buah jambu biji yang telah matang memiliki beberapa ciri, yaitu warna kulit buah telah sesuai dengan jenis jambu biji yang ditanam, yakni pada umumnya jambu bewarna hijau pekat menuju hijau muda ke putih-putihan, dan aroma khas jambu biji sudah tercium dari buah. Cara pemanenan yang terbaik adalah dengan memetik buah beserta tangkainya yang sudah matang, sekaligus melakukan pemangkasan pohon agar tidak menjadi rusak. Pemangkasan juga dilakukan agar pohon jambu biji dapat bertunas kembali dengan baik, sehingga dapat cepat berbuah kembali.
2.3. Manfaat Tumbuhan Jambu Biji
Jambu biji memiliki banyak manfaat. Berdasarkan penelitian Pratomo9, buah jambu biji menjadi salah satu buah terbaik yang termasuk dalam kategori pangan fungsional. Buah ini mengandung zat aktif antioksidan yang tinggi dalam asam asorbat (bakal vitamin C), karoten (bakal vitamin A) dan anthocyanin, serta serat pangan dalam bentuk pektin, dengan kadar gula delapan persen. Vitamin C yang dimiliki jambu biji enam kali lebih banyak dibandingkan jeruk dan 30 kali lebih banyak dibandingkan pisang.
Pada penelitian mengenai total kandungan fenolik (TSP), aktivitas antioksidan dan antiproliferatif buah jambu biji merah pada sel melanoma, berhasil disimpulkan bahwa buah ini merupakan sumber utama antioksidan dan agen antikanker. Selain itu, juga diketahui bahwa nilai TSP dan TAA (total asam asorbat) jambu biji merah berada di peringkat pertama dari berbagai jenis buah-buahan lainnya yang ada, yang berfungsi sebagai penangkal radikal bebas. Penelitian ini juga menunjukkan adanya kandungan hormon insulin dan glukosa darah dalam pektin (serat pangan) dalam jambu biji yang sangat baik untuk penderita diabetes. Selain itu, menurut dokumentasi Parimin dan LPDII-LIPI, di berbagai daerah, jambu biji lazim digunakan sebagai bahan utama pengobatan untuk sakit demam berdarah dengue (DBD) dan juga dipergunakan sebagai penguat jantung, membantu sistem perncernaan, dan antikanker.
9
Pratomo. 2008. Superioritas Jambu Biji dan Buah Naga dalam Harian Suara Merdeka . http://obortani.com/read/2009/02/11/40-corporate-social-responsibility-csr.html. [19 April 2010]
15 Selain buahnya, daun dan akar jambu biji juga dapat digunakan sebagai obat tradisional, seperti diare, disentri, dan demam berdarah. Kayu jambu biji juga dapat dijadikan berbagai alat dapur karena memiliki karakter yang kuat dan keras.
2.4. Potensi Usaha Budidaya Jambu Biji
Jambu biji merupakan salah satu produk hortikultura yang termasuk dalam komoditi internasional. Jambu biji telah dibudidayakan di lebih dari 150 negara seperti Jepang, Taiwan, India, Brazil, Filipina, Thailand, dan Indonesia. Seperti berbagai jenis buah tropis lainnya, buah jambu biji biasanya dikonsumsi dalam bentuk segar dan dijadikan bahan baku pangan olahan seperti jus, dodol, sirup, selai, jeli, dan sebagainya.
Menurut Pratomo10, sejak tahun 2004 jambu biji khususnya jambu biji merah getas menjadi primadona buah, karena terbukti sangat bermanfaat bagi penyembuhan penderita sakit demam berdarah. Berdasarkan penelitian Pratomo, telah dibuktikan bahwa buah jambu biji (guava) dan buah naga (dragon fruit) merupakan dua jenis buah terbaik yang memenuhi kriteria sebagai pangan fungsional dibandingkan berbagai jenis buah dan sayuran yang ada.
Pangan fungsional didefinisikan sebagai pangan yang memenuhi tiga syarat, yaitu: 1) memiliki penampilan yang serupa dengan makanan konvensional pada umumnya, serta terbukti memiliki manfaat fisiologis dan/atau mengurangi risiko penyakit kronis, di luar fungsi dasarnya sebagai penyedia nutrisi; 2) produk yang mengandung ramuan khusus, yang menawarkan manfaat pengobatan kepada konsumen dan tercakup pada makanan sehari-hari, dan; 3) suatu makanan dapat dihargai sebagai pangan fungsional jika secara memuaskan bisa menunjukkan satu atau lebih pengaruh yang bermanfaat bagi fungsi tubuh, di luar nilai gizi yang dipenuhi, dengan cara meningkatkan kesehatan dan kebugaran atau mengurangi risiko penyakit. Untuk kandungan TSP (total kandungan fenolik) dan TAA (total asam asorbat), jambu biji merah berada di peringkat pertama dari berbagai jenis buah-buahan lainnya yang ada, sementara buah naga berada di peringkat keempat. Permintaan masyarakat terhadap buah jambu biji semakin meningkat hampir pada setiap tahun. Pada tahun 2007, permintaan masyarakat terhadap
10
16 jambu biji mencapai 179.500 ton dan meningkat sebesar 18,27 persen pada tahun 2008 menjadi 212.300 ton11. Selain untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga, jambu biji juga diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hotel, restoran, swalayan, serta industri pengohalan, baik di dalam negeri maupun luar negeri dalam bentuk ekspor. Meningkatnya pemanfaatan jambu biji sebagai bahan baku berbagai produk olahan, seperti jus, dodol, sirup, selai, jeli, dan puree, juga membuat usaha budidaya jambu biji semakin dirasa penting untuk dikembangkan.
Sementara itu, dari segi penawaran, jambu biji hampir selalu mengalami peningkatan penawaran pada setiap tahunnya. Pada tahun 2008, volume produksi komoditas jambu biji Indonesia mencapai 212.260 ton, yang meningkat sebesar 18,27 persen dari tahun 2007 sebesar 179.474 ton12. Jambu biji yang dihasilkan ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan kebutuhan ekspor. Ekspor komoditas jambu biji Indonesia dilakukan ke negara-negara seperti Hongkong, Taiwan, Singapura, Arab Saudi, Belanda, Malaysia, Thailand, dan Swiss (Parimin, 2005). Namun, kebutuhan masyarakat dalam negeri masih belum dapat terpenuhi, sehingga masih dilakukan impor buah jambu biji yang melebihi jumlah ekspor yang dilakukan, yang terjadi hampir pada setiap tahun.
Adanya net impor (selisih impor dengan ekspor) komoditas jambu biji seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2, yaitu sebesar 72 ton pada tahun 2008 atau meningkat sebesar 35,19 persen dari tahun 2007, semakin mengindikasikan bahwa usaha budidaya jambu biji sangat potensial untuk dikembangkan di negara Indonesia, mengingat Indonesia juga telah memiliki kondisi geografis yang sangat cocok untuk usaha budidaya jambu biji.
2.5. Kajian Penelitian Terdahulu
Pada kajian penelitian terdahulu, peneliti mengambil tinjauan beberapa penelitian yang terkait dengan topik penelitian, yaitu studi kelayakan bisnis, baik studi kelayakan bisnis pada studi kasus sektor budidaya komoditas maupun studi kasus pada perusahaan. Terdapat tinjauan penelitian terdahulu dalam kajian ini
11
Direktorat Jenderal Hortikultura Deptan. op.cit. Hlm 2 12
17 yang membahas mengenai kelayakan usaha komoditas srikaya organik dan pohon jati. Tinjauan ini merupakan bentuk pendekatan dari tinjauan analisis kelayakan usaha pada subsektor hortikultura, dikarenakan masih sedikitnya penelitian mengenai kelayakan usaha jambu biji.
Selain itu, peneliti mengkaji penelitian yang lebih khusus pada komoditas jambu biji, yaitu penelitian mengenai tataniaga komoditas jambu biji, studi kelayakan usaha jambu biji, dan studi kelayakan produk olahan jambu biji. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan beberapa kajian yang dapat digunakan untuk melengkapi penelitian ini dan untuk membandingan antara penelitian terdahulu dengan penelitian ini, sehingga dapat menunjukkan adanya persamaan, keunggulan, maupun kelemahan pada penelitian.
Tiara (2009) melakukan penelitian dengan judul “Analisis Kelayakan Usaha Srikaya Organik pada Perusahaan Wahana Cory Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor, Jawa Barat”. Tujuan penelitian ini adalah: (1) menganalisis kelayakan non finansial perusahaan buah srikaya organik di Wahana Cory dilihat dari aspek pasar, aspek teknis, aspek manajemen, dan aspek sosial ekonomi dan lingkungan, (2) menganalisis kelayakan pengusahaan buah srikaya organik di Wahana Cory dilihat dari aspek finansial, (3) menganalisis tingkat kepekaan kondisi kelayakan pengusahaan buah srikaya organik di Wahana Cory terhadap perubahan jumlah produksi srikaya organik serta peningkatan biaya operasional.
Hasil analisis terhadap aspek-aspek non finansial, yaitu analisis aspek pasar, aspek teknis, aspek manajemen, dan sosial ekonomi dan lingkungan, pengusahaan srikaya organik yang dijalankan oleh Wahana Cory layak untuk dilaksanakan. Berdasarkan aspek pasar, peluang pasar masih terbuka karena permintaan yang tinggi dan penawaran yang masih terbatas serta harga jual yang tinggi menjanjikan bahwa usaha srikaya organik dapat mendatangkan keuntungan. Berdasarkan aspek teknis, pengusahaan srikaya organik menggunakan peralatan yang relatif sederhana seperti budidaya pertanian pada umumnya. Berdasarkan aspek manajemen, perusahaan telah menjalankan fungsi-fungsi manajemen dan mempunyai struktur organisasi dengan pembagian kerja yang jelas. Berdasarkan aspek sosial ekonomi dan lingkungan, pengusahaan srikaya organik dapat memberikan kontribusi kepada negara berupa pajak, ikut serta dalam melestarikan
18 lingkungan karena usaha yang dijalankan tidak menimbulkan limbah yang dapat membahayakan lingkungan sekitar proyek, dan mampu menyerap tenaga kerja dari masyarakat di sekitar lokasi usaha.
Hasil analisis terhadap aspek finansial yang meliputi NPV, Net B/C, IRR dan payback period, pengusahaan srikaya organik oleh Wahana Cory layak untuk dijalankan. Hal ini dapat dilihat dari analisis finansial yang menunjukan bahwa NPV > 0 yaitu sebesar Rp 1.034.057.46,24, Net B/C > 1 yaitu sebesar 2,75 dan IRR sebesar 26,86 persen, dimana ini lebih besar dari tingkat suku bunga (discount rate) sebesar 9 persen. Serta Payback Period yang diperoleh dalam pengusahaan srikaya organik adalah 5 tahun 8 bulan. Jika dilihat dari analisis switching value, penurunan jumlah produksi pengusahaan srikaya organik adalah hal yang paling berpengaruh terhadap kelangsungan usaha dibandingkan dengan penurunan biaya operasional.
Puspitasari (2009) melakukan penelitian dengan judul “Analisis Kelayakan Usaha Jati Unggul Nusantara dengan Pola Bagi Hasil (Studi Kasus pada Unit Usaha Bagi Hasil Koperasi Perumahan Wanabakti Nusantara)”. Tujuan dari penelitian adalah: (1) menganalisis kelayakan usaha Jati Unggul Nusantara UBH-KPWN ditinjau dari aspek pasar, teknis, teknologi, manajemen, dan sosial ekonomi dan lingkungan, (2) menganalisis kelayakan finansial usaha Jati Unggul Nusantara UBH-KPWN yang menerapkan pola bagi hasil, dan (3) menganalisis kepekaan (sensitivitas) usaha Jati Unggul Nusantara UBH-KPWN terhadap perubahan biaya operasional dan jumlah produksi.
Berdasarkan hasil analisis kelayakan non finansial, yaitu analisis aspek pasar, teknis, teknologi, manajemen, dan sosial ekonomi dan lingkungan, usaha Jati Unggul Nusantara UBH-KPWN ini layak untuk dilaksanakan. Hasil analisis finansial menunjukkan usaha Jati Unggul Nusantara UBH-KPWN juga layak untuk dilaksanakan. Nilai NPV yang didapatkan dari hasil analisis finansial ini lebih besar dari nol, yaitu sebesar Rp 42.714.598.081,00 (NPV < 0), Net B/C sebesar 6 (Net B/C > 1), IRR sebesar 48 persen yang lebih besar dari discout rate yang digunakan yaitu 9 persen, dan PP selama 5 tahun 6 bulan 20 hari, serta nilai BEP usaha ini adalah sebanyak 30.510 pohon.
19 Berdasarkan hasil analisis switching value, penurunan jumlah produksi tanaman JUN lebih berpengaruh (lebih sensitif) dibandingkan dengan peningkatan biaya operasional. Batas penurunan jumlah produksi tanaman JUN agar usaha ini tetap layak dilaksanakan adalah sebesar 12,74 persen, sedangkan batas peningkatan biaya operasional adalah sebesar 65,54 persen.
Sumardi (2009) melakukan penelitian dengan judul “Analisis Efisiensi Pemasaran Jambu Biji (Psidium guajava) (Studi Kasus Desa Cilebut Barat, Kecamatan Sukaraja Kabupaten Bogor)”. Penelitian tersebut dilakukan dengan tujuan yaitu mengidentifikasi dan menganalisis sistem pemasaran melalui saluran pemasaran, fungsi-fungsi pemasaran, struktur pasar, dan perilaku pasar jambu biji Desa Cilebut Barat, serta menganalisis efisiensi pemasaran melalui margin pemasaran, farmer’s share, dan rasio keuntungan-biaya yang diterima petani jambu biji di Cilebut Barat.
Berdasarkan penelitian, terdapat beberapa lembaga pemasaran jambu biji di Desa Cilebut Barat, yaitu petani sebagai produsen, pedagang pengumpul, pedagang besar, pengecer, dan konsumen akhir. Dari total produksi (3 bulan terakhir) jambu biji yang dipasarkan, volume penjualan petani pada saluran 1 adalah 9.097 kg (26,82 persen), saluran 2 sebanyak 22.162 kg (65,33 persen), dan saluran 3 sebanyak 2.665 kg (7,86 persen).
Pola saluran pemasaran 1 terdiri dari: petani-pedagang pengumpul-pedagang pengecer-konsumen akhir. Pola saluran pemasaran 2 merupakan benetuk saluran pemasaran paling panjang dalam tataniaga jambu biji ini. Pola saluran 2 ini terdiri dari: petani-pedagang pengumpul-pedagang besar-pengecer-konsumen akhir. Pola ini juga merupakan bentuk pola yang paling banyak digunakan oleh petani di Desa Cilebut Barat. Pola saluran pemasaran 3 merupakan pola saluran pemasaran yang terpendek. Pola ini memiliki bentuk saluran pemasaran: petani-pedagang pengecer-konsumen akhir.
Fungsi-fungsi pemasaran yang dijalankan oleh lembaga pemasaran diklasifikasikan menjadi tiga fungsi, yaitu fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi fasilitas. Struktur pasar yang dihadapi petani jambu biji di Desa Cilebut Barat mengarah pada struktur pasar oligopsoni. Struktur pasar yang dihadapi pedagang pengumpul mengarah pada struktur pasar oligopoli. Struktur pasar yang
20 terbentuk pada pedagang besar mengarah pada struktur pasar oligopoli terdiferensiasi. Sementara itu, struktur pasar yang dihadapi pedagang kecil mengarah pada struktur pasar persaingan (competitive market).
Pada penelitian ini, dijelaskan pada saluran 1, petani menjual jambu biji dengan harga Rp 1.633,33 per kg kepada pedagang pengumpul. Pada saluran 2, petani menerima harga jual Rp 1.894,44 per kg dari pedagang pengumpul. Sementara itu pada saluran 3, petani menerima harga jual dari pengecer sebesar Rp 1.666,66 per kg jambu biji.
Margin pemasaran pada saluran pemasaran 1 adalah Rp 2.066,67 dengan total biaya pemasaran Rp 932,86 dengan total keuntungan sebesar Rp 1.200,47 per kg. Margin pemasaran yang terbentuk pada pola saluran pemasaran 2 adalah sebesar Rp 3.605,56 per kg dengan total biaya pemasaran sebesar Rp 1.548,71 dan keuntungan Rp 2.056,85. Sementara itu, margin pemasaran pada saluran pemasaran 3 adalah Rp 1.833,34 per kg dengan total biaya pemasaran Rp 850,89 dan total keuntungan sebesar Rp 982,45 per kg.
Dari penelitian mengenai tataniaga jambu biji ini, didapatkan informasi mengenai harga jual dan sistem pemasaran jambu biji yang terjadi di Desa Cilebut Barat. Dengan informasi ini, peneliti mendapatkan perbandingan mengenai harga jual jambu biji yang terjadi di Desa Cilebut Barat dengan harga jual jambu biji yang terjadi di Desa Babakan Sadeng. Informasi ini juga dapat menjadi bahan pendukung dalam melakukan analisis kelayakan dari aspek pasar dan aspek finansial jambu biji di Desa Babakan Sadeng.
Oktaviana (2009) melakukan penelitian dengan judul “Analisis Kelayakan Usaha dan Optimalisasi Produksi Pengolahan Jambu Biji (Psidium Guajava L), (Kasus Gapoktan KUAT, Desa Kaliwungu, Kecamatan Mandiraja, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah)”. Penelitian tersebut dilakukan dengan tujuan yaitu: (1) menganalisis kelayakan usaha pengolahan jambu biji dilihat dari aspek pasar, aspek teknis, aspek manajemen, dan aspek sosial lingkungan, (2) menganalisis kelayakan finansial usaha pengolahan jambu biji, (3) menganalisis sensitivitas usaha pengolahan jambu biji, dan (4) menganalisis kombinasi tingkat produksi optimal puree dan sari buah jambu biji.
21 Berdasarkan analisis aspek pasar, sebagai usaha satu-satunya di Karesidenan Banyumas, usaha pengolahan jambu biji memiliki peluang peluang pengembangan usaha dimana masyarakat Kabupaten maupun Karesidenan Banyumas dapat menjadi target pasar bagi produk olahan jambu biji yaitu puree dan sari buah, sehingga layak diusahakan menurut aspek pasar ini. Dari aspek teknis, pemilihan lokasi dan teknologi pengolahan yang digunakan juga dinyatakan layak untuk diusahakan. Berdasarkan analisis aspek manajemen, usaha pengolahan dengan pelaksana produksi berada di bawah tanggung jawab Gapoktan KUAT juga layak untuk dilaksanakan.
Hasil analisis aspek finansial untuk kedua skenario pada penelitian tersebut menunjukkan bahwa usaha pengolahan berbahan dasar jambu biji tersebut layak dilaksanakan. Pada skenario I, diperoleh nilai NPV selama 10 tahun sebesar Rp 590.245.001,64. Untuk kriteria IRR dan Net B/C adalah tak terhingga, sedangkan nilai payback period tidak dapat dihitung. Hal ini dikarenakan nilai Present Value (PV) yang dihasilkan selalu positif, yang berarti usaha pengolahan ini sangat layak untuk dijalankan. Pada skenario II diperoleh nilai NPV sebesar Rp 434.181.938,32; IRR 45 persen; Net B/C 4,2; dan PP selama 5 tahun 7 hari. Hal tersebut menunjukkan ada atau tidaknya bantuan investasi dari pemerintah, usaha pengolahan jambu biji masih layak untuk dijalankan.
Hasil analisis switching value pada penelitian tersebut dilakukan dengan menggunakan tiga variabel, yaitu jumlah produksi puree dan sari buah, biaya bahan baku jambu biji, dan tingkat harga output puree dan sari buah. Pada skenario I dan II, usaha tersebut masih layak dijalankan jika produksi turun maksimal sebesar 22,27 persen dan 16,38 persen, harga bahan baku naik maksimal sebesar 38,85 persen dan 21,23 persen, dan harga puree dan sari buah turun maksimal sebesar 22,27 persen dan 16,38 persen. Dari kedua skenario, perubahan volume produksi dan harga jual produk puree dan sari buah merupakan variabel yang lebih sensitif terhadap tingkat kelayakan usaha.
Sementara itu, hasil analisis optimalisasi produksi puree dan sari buah, dengan kendala bahan baku, bahan tambahan, jam kerja mesin, jam tenaga kerja, dan permintaan minimum, menunjukkan bahwa kombinasi produksi aktual telah mendekati produksi optimal. Pada kondisi aktual, jumlah produksi puree dan sari
22 buah adalah sebesar 5.720 dan 64.050, sedangkan untuk kondisi optimal adalah sebesar 5.720 dan 64.060. Kondisi ini menunjukkan bahwa usaha pengolahan jambu biji telah berproduksi secara optimal pada skala usaha`yang dijalankan.
Dhikawara (2010) melakukan penelitian dengan judul “Analisis Kelayakan Finansial Usahatani Jambu Biji Melalui Penerapan Irigasi Tetes di Desa Ragajaya Kecamatan Bojong Gede, Kabupaten Bogor”. Penelitian ini memiliki latar belakang Desa Ragajaya sebagai sentra jambu biji di Kecamatan Bojong Gede, dengan hasil produksi jambu biji sebanyak 190,67 ton.
Berdasarkan analisis karakteristik usahatani jambu biji di Desa Ragajaya, diketahui bahwa dari jumlah populasi petani, luas lahan yang dimiliki petani dengan status sewa dapat dibagi menjadi: 47,2 persen menyewa lahan dengan luas kurang dari 0,5 ha, sebanyak 44,4 persen menyewa lahan antara 0,5-1 ha, dan sebanyak 8,4 persen petani menyewa lahan dengan luas lebih dari 1 ha.
Peneliti memiliki fokus penelitian pada teknik budidaya jambu biji yang dilakukan para petani di Desa Raajaya yang bersifat homogen. Sistem pengairan yang dilakukan oleh petani masih bergantung pada air hujan (tadah hujan).hasil produksi jambu biji yang diperoleh dengan menggunakan tadah hujan adalah sebanyak 78 ton.sementara itu, pada musim kemarau hasil produksi jambu biji yang diperoleh menurun drastis menjadi sebanyak 13,59 ton. Pada musim kemarau, harga jambu akan meningkat karena jambu biji sedikit di pasaran.
Oleh karenanya, peneliti memberikan solusi alternatif dengan penerapan teknologi irigasi tetes bagi permasalahan tersebut. Kalkulasi biaya yang dibutuhkan untuk penyiraman tanpa irigasi tetes dengan luas lahan 1 ha adalah sebesar Rp 1.296.000,00 per bulan, sedangkan dengan irigasi tetes biaya yang dikeluarkan adalah sebesar Rp 60.000,00 per bulan yang digunakan hanya untuk biaya listrik pemakaian mesin jet pump.
Berdasarkan hasil analisis kelayakan aspek finansial, nilai NPV yang diperoleh petani yang menggunakan irigasi tetes dengan penurunan harga output hingga 15 persen pada tingkat suku bunga diskonto 11 persen adalah lebih besar dari nilai NPV tanpa irigasi tetes, yaitu meningkat sebesar Rp 358.838.843,00 atau 165,72 persen. Nilai Net B/C juga meningkat sebesar 2,8 satuan atau sebesar 62,22 persen dari Net B/C tanpa irigasi tetes. Nilai IRR juga meningkat menjadi
23 12,28 persen dari IRR tanpa irigasi tetes. Akibat dari pemanfaatan teknologi irigasi tetes ini, waktu pengembalian investasi juga lebih cepat 1 tahun 9 bulan dari tanpa irigasi tetes.
Penelitian-penelitian terdahulu merupakan acuan bagi peneliti, terutama dalam pemetaan permasalahan yang menjadi latar belakang permasalahan dalam topik penelitian studi kelayakan bisnis usaha jambu biji ini. Selain itu, penelitian-penelitian terdahulu juga menjadi bahan acuan untuk membedakan penelitian-penelitian ini dengan penelitian-penelitian yang telah dilakukan.
Persamaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian terdahulu, yaitu yang dilakukan oleh Tiara (2009), Puspitasari (2009), Oktaviana (2009), dan Dhikawara (2010) adalah topik penelitian, yaitu mengenai studi kelayakan bisnis. Selain itu, penelitian ini dan penelitian-penelitian terdahulu juga menggunakan analisis tingkat kepekaan usaha (sensitivitas) untuk menganalisis tingkat kepekaan beberapa buah variabel yang dianggap sangat berpengaruh. Penelitian-penelitian tersebut menjadi bahan referensi dalam melakukan analisis kelayakan dari aspek non finansial dan aspek finansial dalam penelitian ini.
Secara khusus, persamaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Sumardi (2009), Oktaviana (2009), dan Dhikawara (2010) adalah persamaan dalam hal objek penelitian, yaitu mengenai komoditas jambu biji. Dari penelitian yang dilakukan oleh Sumardi, peneliti mendapatkan informasi mengenai sistem pemasaran, saluran pemasaran, dan harga jual jambu biji yang dapat menjadi bahan referensi dan bahan perbandingan dalam pemasaran antara jambu biji di Desa Cilebut Barat dengan Desa Babakan Sadeng.
Penelitian yang dilakukan oleh Oktaviana memberikan informasi mengenai analisis kelayakan yang terjadi pada usaha pengolahan buah jambu biji. Sementara itu, penelitian yang dilakukan oleh Dhikawara menjadi bahan referensi utama dalam penelitian ini, karena memiliki topik dan objek penelitian yang sama, yaitu analisis kelayakan usaha budidaya jambu biji.
Meskipun memiliki beberapa kesamaan, namun penelitian ini memiliki beberapa perbedaan dengan penelitian-penelitian terdahulu. Secara umum, perbedaan penelitian ini dengan semua penelitian terdahulu adalah pada lokasi penelitian, yaitu di Desa Babakan Sadeng, Kecamatan Leuwisadeng, Kabupaten
24 Bogor. Selain itu, perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Tiara (2009) dan Puspitasari (2009) terletak pada objek penelitian, dimana penelitian ini mengangkat mengenai kelayakan usaha komoditas jambu biji. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Sumardi (2009) terletak pada topik penelitian, yang mana peneliti tersebut menggunakan analisis tataniaga, sedangkan penelitian ini untuk analisis kelayakan usaha. Sementara itu, perbedaan penelitian ini dengan penelitian Oktaviana (2009) terletak pada spesifikasi objek penelitian. Pada penelitian tersebut dilakukan studi kelayakan usaha pada pengolahan jambu biji dalam bentuk puree dan sari buah di daerah Banyumas, sedangkan pada penelitian ini, peneliti mengangkat mengenai studi kelayakan usaha pada budidaya komoditas jambu biji oleh para petani di Desa Babakan Sadeng.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Dhikawara (2010) terletak pada bentuk kelayakan usaha jambu biji yang dianalisis. Penelitian tersebut dilakukan untuk menganalisis perbandingan kelayakan usaha budidaya jambu biji dengan dua skenario, yaitu sistem tadah hujan dan dengan penerapan irigasi tetes. Sementara, pada penelitian ini dilakukan analisis kelayakan usaha untuk budidaya jambu biji tanpa menggunakan skenario tertentu.
Perbedaan juga ditemukan karena pada penelitian-penelitian sebelumnya dilakukan untuk mengkaji kelayakan usaha pada produk-produk yang dimiliki oleh perusahaan, badan usaha, atau organisasi tertentu sehingga memiliki responden utama para pemilik usaha, sementara penelitian ini dilakukan pada usaha budidaya jambu biji dengan responden utama adalah para petani jambu biji di Desa Babakan Sadeng.