• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN TERHADAP ANAK. A. Pengaturan Hukum Tindak Pidana Pemerkosaan Terhadap Anak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN TERHADAP ANAK. A. Pengaturan Hukum Tindak Pidana Pemerkosaan Terhadap Anak"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

A. Pengaturan Hukum Tindak Pidana Pemerkosaan Terhadap Anak

Perumusan hak dan kedudukan warga negara dihadapan hukum merupakan penjelmaan dari salah satu Sila Pancasila yaitu sila keadilan sosial. Keadilan adalah penghargaan terhadap setiap orang menurut harkat dan martabatnya sebagai pribadi dan dalam hubungannya dengan segala sesuatu yang ada di luar pribadinya. Hukum mempunyai komponen-komponen, yaitu: (a) Komponen substantif, berupa kaidah-kaidah yang mempunyai sifat relatif konstan; (b) Komponen spiritual, berupa nilai-nilai yang mempunyai tendensi dinamis; (c) Komponen struktural, terdiri dari lapisan-lapisan mulai dari adat, kebiasaan hukum dan undang-undang; (d) Komponen kultural, berupa tatanan hidup manusia yang mempunyai sifat menyelaraskan diri dengan lingkungan. Dalam kaitan, ini Hukum Acara Pidana berfungsi ganda , yakni disatu sisi berusaha mencari dan menemukan kebenaran sejati tentang terjadinya tindak pidana agar yang bersangkutan dapat dipidana sebagai imbalan atas perbuatannya, di sisi lain untuk sejauh mungkin menghindarkan seseorang yang tidak bersalah

agar jangan sampai dijatuhi pidana.40

Kedudukan anak sebagai generasi muda yang akan meneruskan cita-cita luhur bangsa, calon-calon pemimpin bangsa di masa mendatang dan sebagai sumber harapan bagi generasi terdahulu, perlu mendapat kesempatan

40

Maidin gultom, Perlindungan Hukum Terhadap anak, (Bandung: Repika Aditama, 2008), hlm.20

(2)

luasnya untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar baik secara rohani, jasmani,dan sosial. Pemerkosaan dalam bentuk kekerasan dan ancaman kekerasan untuk bersetubuh dengan anak dibawah umur diatur dalam peraturan tertulis yaitu sebagai berikut:

a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Tindak pidana pemerkosaan di atur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada bab XIV buku ke- II yakni dimulai dengan pasal 285 sampai dengan pasal 288 KUHP.

Pasal 285 KUHP41

Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia, dihukum, karena memperkosa, dengan hukum penjara selama-lamanya dua belas tahun.

Pasal 285 tersebut dirinci, akan terlihat unsur-unsur berikut:42

a. Perbuatannya : memaksa;

b. Caranya : 1) dengan kekerasan;

2) ancaman kekerasan;

c. Objek : seseorang perempuan bukan istrinya;

d. Bersetubuh dengan dia;

Pengertian perbuatan memaksa adalah perbuatan yang ditujukan pada orang lain dengan menekan kehendak orang lain yang bertentangan dengan kehendak orang lain itu agar orang lain tadi menerima kehendak orang yang menekan atau sama dengan kehendak sendiri. Menerima kehendak ini setidaknya ada dua macam, yaitu:

a. Menerima apa yang akan diperbuat terhadap dirrinya; atau

41

R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, 1995, hlm.210

42

(3)

b. Orang yang dipaksa berbuat yang sama sesuai dengan apa yang dikehendaki orang yang memaksa.

Cara-cara memaksa disini terbatas dengan ada dua cara, yaitu kekerasan dan ancaman kekerasan . Dua cara memaksa itu tidak diterangkan lebih jauh dalam undang-undang. Hanya mengenai kekerasan, ada Pasal 89 yang merumuskan tentang perluasan arti dari kekerasan, yaitu membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan. R. Soesilo member arti kekerasan dengan kata-kata mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani yang tidak kecil secara tidak sah. Menurut Satochid kekerasan adalah setiap perbuatan yang terdiri atas digunakannya kekuatan badan yang tidak ringan atau agak berat.

Ada dua fungsi kekerasan dalam hubungannya dengan tindak pidana yang bersangkutan, yaitu sebagai berikut:

a. Kekerasan yang berupa cara melakukan suatu perbuatan. Kekerasan disini

memerlukan syarat akibat ketidakberdayaan korban.

b. Kekerasan yang berupa perbuatan yang dilarang dalam tindak pidana,

bukan merupakan cara melakukan perbuatan.

Berdasarkan uraian diatas, maka kekerasan dalam pengertian Pasal 285 dapatlah didefenisikan sebagai suatu cara/upaya berbuat (sifatnya abstrak) yang ditujukan pada orang lain yang untuk mewujudkan diisyarakatkan dengan menggunakan kekuatan badan besar, kekuatan badan mana mengakibatkan bagi orang lain itu menjadi tidak berdaya secara fisik. Sifat kekerasan itu sendiri adalah abstrak, maksudnya wujud konkretnya cara kekerasan itu ada bermacam-macam

(4)

yang tidak terbatas. Misalnya memukul dengan kayu, menempeleng, menendang, menusuk dengan pisau dan sebagainya.

Ancaman kekerasan adalah “ancaman kekerasan fisik yang ditunjukan pada orang, yang pada dasarnya juga berupa perbuatan fisik, perbuatan fisik mana dapat saja berupa perbuatan persiapan untuk dilakukkan perbuatan fisik yang besar atau lebih besar yang berupa kekerasan, yang akan ada mungkin segera dilakukan/diwujudkan kemudian bilamana ancaman itu tidak mmbuahkan hasil sebagaimana yang diinginkan „pelaku”. Ancaman kekerasan mengandung dua aspek penting yaitu sebagai berikut:

1. Aspek objektif ialah (a) wujud nyata dari ancaman kekerasan yang berupa

perbuatan persiapan dan mungkin sudah merupakan perbuatan permulaan pelaksanaan untuk dilakukannya perbuatan yang lebih besar yakni kekerasan secara sempurna; dan (b) menyebabkan orang menerima kekerasan menjadi tidak berdaya secara psikis, berupa rasa takut, rasa cemas (aspek subjektif yang diobjektifkan).

2. Aspek subjektif ialah timbulnya suatu percayaan bagi si penerima

kekerasan (korban) bahwa jika kehendak pelaku yang dimintanya tidak

dipenuhi yang in casu bersetubuh dengan dia, maka kekerasan itu

benar-benar akan diwujudkan. Aspek kepercayaan ini sangan penting dalam ancaman kekerasan sebab jika kekerasan ini tidak timbul pada diri korban, tidaklah mungkin korban akan membiarkan dilakukan suatu perbuatan terhadap dirinya.

(5)

Kekerasan dan ancaman kekerasan ditujukan pada seseorang perempuan yang bukan istrinya. Antara kekerasan dengan ketidakberdayaan perempuan itu terdapat hubungan kausal dan karena tidak berdaya itulah persetubuhan dapat terjadi. Jadi sebenarnya terjadi persetubuhan pada dasarnya adalah akibat dari perbuatan memaksa dengan menggunakan kekerasan dan ancaman kekerasan itu. Perkosaan ini adalah tindak pidana materil, dan bukan tindak pidana formal walaupun dirumuskan juga perbuatan yang dilarang dalam Pasal 285 yakni memaksa.

Kekerasan yang bersifat fisik dengan kekuatan besar dan ditujukan pada

orang lain yang in casu seorang perempuan, dapat menimbulkan akibat luka berat

atau kematian. Dalam kejahatan perkosaan bersetubuh, akibat luka berat tidak merupakan alasan pemberatan. Akan tetapi, akibat kematian adalah merupakan dasar pemberatan pidana.

Pasal 286 KUHP:43

Barangsiapa bersetubuh dengan perempuan yang bukan istrinya, sedang diketahuinya, bahwa perempuan itu pingsan atau tidak berdaya, dihukum penjara selama-lamanya sembilan tahun.

Pasal 286 tersebut dirinci, akan terlihat unsur-unsur berikut:44

Unsur-unsur objektif:

a. Perbuatannya : bersetubuh;

b. Objeknya : seorang perempuan bukan istrinya:

c. Dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya;

Unsur-unsur subjektif:

d. Diketahuinya perempuan itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya.

Persamaan antara kejahatan Pasal 286 dan Pasal 285, ialah sebagai berikut:

43 R. Soesilo,

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, 1995, hlm.211

44

(6)

1. Persetubuhan itu telah terwujud pada atau dengan perempuan korban, pada saat korban dalam keadaan tidak berdaya.

2. Perempuan korban bukan istri si pembuat.

Sementara itu perbedaan, ialah sebagai berikut:

1. Ketidakberdayaaan atau pingsan perempuan (korban) pada Pasal 286

ini tidak disebutkan sebab-sebabnya, yang jelas bukan sebab dari perbuatan si pembuat sebab jika disebabkan oleh si pembuat maka masuk dalam Pasal 285. Akan tetapi, pada Pasal 285 ketidakberdayaan disebabkan oleh kekerasan atau ancaman kekerasan yang dilakukan oleh si pembuat. Misalnya seorang dokter menyuntikan obat tidur pada seorang pasien perempuan, dalam keadaan tertidur kemudian perempuan itu disetubuhinya.

2. Persetubuhan menurut Pasal 286 ini merupakan unsur perbuatan,

sedangkan menurut Pasal 285 adalah yang dituju oleh perbuatan memaksa atau apa yang dikehendaki si pembuat, yang sekaligus adalah unsur akibat konstitutif dalam perkosaan.

3. Pada Pasal 286 terdapat unsur diketahui bahwa perempuan itu dalam

keadaan tidak berdaya atau pingsan, yang dalam Pasal 285 tidak ada unsur demikian.

Keadaan pingsan dan keadaan tidak berdaya memiliki perbedaan maka walaupun orang pingsan pada dasarnya juga tidak berdaya. Perbedaan itu ialah, bahwa pada keadaan pingsan orang itu berada dalam keadaan tidak sadarkan diri, yang dalam keadaan ini dia tidak mengetahui apa yang telah diperbuat oleh orang

(7)

lain in casu disetubuhi terhadap dirinya. Orang dalam keadaan tidur biasa, tidaklah disebut dalam keadaan pingsan. Akan tetapi dalam keadaan tidur karena menelan obat tidur, atau disuntik dengan obat tidur, keadaan tidur itu dapat disebut dengan keeadaan pingsan. Misalnya orang dalam keadaan tidak sadar karena minum obat penenang yang melebihi dosis atau obat tidur. Akan tetapi, dalam keadaan tidak berdaya orang itu mengerti dan sadar tentang apa yang telah diperbuat oleh orang lain terhadap dirinya. Misalnya perempuan itu ditodong dengan pisau, atau tenaganya tidak cukup kuat untuk melawaan tenaga seorang laki-laki yang memperkosanya, atau dalam keadaan sakit.

Unsur dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya adalah merupakan unsur objektif, yang disadari atau diketahui oleh si pembuat. Untuk yang disebutkan terakhir, yaitu disadari atau diketahuinya bahwa perempuan iu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya adalah berupa unsur subjektif, yakni unsur kesalahan dalam bentuk kesengajaan si pembuat.

Pasal 287 KUHP:45

(1) Barangsiapa bersetubuh dengan perempuan yang bukan istrinya, sedang

diketahuinya atau harus patut disangkanya, bahwa umur perempuan itu belum cukup 15 tahun atau tidak nyata berapa umurnya, bahwa perempuan itu belum masanya untuk kawin dihukum penjara selama-lamanya sembilan tahun.

45

R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, 1995, hlm.211

(8)

(2) Penuntutan hanya dilakukan kalau ada pengaduan , kecuali kalau umurnya perempuan itu belum sampe 12 tahun atau jika ada salah satu hal yang tersebut pada pasal 291 dan 294.

Pasal 287 tersebut dirinci, akan terlihat unsur-unsur berikut:46

Unsur- unsur objektif:

a. Perbuatannya : bersetubuh

b. Objek : dengan perempuan di luar nikah

c. Yang umurnya belum 15 tahun; atau jika umurnya tidak jelas belum

waktunya untuk kawin; Unsur-unsur subjektif:

d. Diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa umurnya belum 15

tahun.

Berbeda dengan Pasal 285 dan Pasal 286 dimana persetubuhan itu terjadi di luar kehendak korban perempuan, pada Pasal 287 ini persetubuhan itu terjadi atas persetujuan atau kehendak perempuan itu sendiri, artinya suka sama senang. Letak patut dipidana pada Pasal 287 ini adalah pada umurnya yang belum lima belas tahun atau belum waktu untuk dikawin.

Persetubuhan menurut Pasal 287 ini sama dengan persetubuhan menurut Pasal 284 tentang turut serta berzina. Apabila didasarkan pada bentuknya kejahatan Pasal 287, yang maksudnya memberi perlindungan terhadap kepentingan hukum anak perempuan dari perbuatan- perbuatan yang melanggar kesusilaan, maka tidak rasional dan tidak adil jika dia dipidana. Akan tetapi apabila didasarkan pada perbuatan persetubuhan itu dilakukan suka sama senang padahal laki-laki itu telah beristri, dan Pasal 287 BW berlaku bagi laki-laki

46 Adami Chazawi,

(9)

tersebut, dan tentang keadaan ini telah diketahui oleh perempuan pasangannya bersetubuh itu, dia dapat pula dijatuhi pidana.

Perbuatan perempuan yang belum berumur lima belas tahun itu sesuai Pasal 284, tetap merupakan perbuatan turut berzina. Tidak boleh dipidana karena deengan berdasarkan pada Pasal 287 ini perbuatannya itu kehilangan sifat melawan hukumnya perbuatan. Jadi di sini terdapat alasan peniadaan pidana di luar undang-undang. Sementara itu terhadap si laki-laki yang telah beristri ini, dia telah melakukan dua tindak pidana sekaligus (berbarengan) yakni Pasal 284

sebagai pleger (pembuat pelaksana) dan Pasal 287 sebagai dader (pembuat

tunggal).

Perempuan diluar kawin, artinya bukan istrinya. Pada dasarnya hukum pidana tidak mengancam pidana pada pembuat yang menyetubuhi perempuan belum berumur lima belas tahun. Jika perempuan itu adalah istrinya sendiri, kecuali apabila dari persetubuhan itu menimbulkan akibat luka-luka, luka berat atau kematian.

Pengertian belum waktunya untuk dikawin, adalah belum waktunya untuk disetubuhi. Indikator belum waktunya untuk disetubuhi ini ada pada bentuk fisik dan secara psikis. Secara fisik tampak pada wajah atau tubuhnya masih wajah anak-anak atau tubuh anak kecil, seperti tubuh anak-anak pada umumnya, belum tumbuh buah dadanya atau belum tumbuh rambut kemaluannya, atau mungkin belum datang haidnya. Secara psikis dapat dilihat pada kelakuannya, misalnya masih senang bermain-main seperti pada umumnya anak belum berumur lima belas tahun. Dalam kejahatan ini dirumuskan unsur kesalahan, yang berupa : (1)

(10)

kesengajaan, yaitu diketahuinya umurnya belum lima belas tahun; dan (2) kealpaan, yakni sepatutnya harus diduganya umurnya belum lima belas tahun atau jika umurnya tidak jelas, belum waktunya untuk kawin.

Kejahatan Pasal 287 merupakan tindak pidana aduan relatif karena pengaduan itu belaku atau diperlukan hanya dalam hal persetubuhan yang dilakukan pada anak perempuan yang umurnya dua belas sampai lima belas tahun atau jika dalam melakukan persetubuhan itu tidak ada unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 291 dan 294. Akan tetapi, apabila persetubuhan itu dilakukaan pada anak perempuan belum berumur dua belas tahun, dan terdapat unsur-unsur yang disebutkan dalam Pasal 291 dan 294, kejahatan itu bukan merupakan tindak pidana aduan.

Unsur-unsur yang dimaksud dalam Pasal 291, merupakan unsur akibat perbuatan menyetubuhi, yakni luka-luka, luka berat dan kematian. Unsur ini disebut dengan unsur akibat konstitutif yang timbul setelah dilakukannya

perbuatan. Antara perbuatan dan akibat terdapat causal verband, artinya

akibat-akibat itu benar-benar langsung diakibat-akibatkan oleh sebab persetubuhan. Sementara itu, yang dimaksud dngan salah satu dari hal berdasarkan Pasal 294, ialah bila persetubuhan itu dilakukan pada anak kandungnya, anak tiri, anak angkatnya, anak di bawah pengawasannya, pembantu atau bawahannya.

Pasal 288 KUHP:47

(1) Barangsiapa bersetubuh dengan istrinya yang diketahuinya atau harus

dipatut disangkanya, bahwa perempuan itu belum masanya buat

47

R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, 1995, hlm.213

(11)

dikawinkan, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun, kalau perbuatan itu erakibat badan perempuan itu mendapat luka.

(2) Kalau perbuatan itu menyebabkan perempuan mendapat luka berat,

diajatuhkan hukuman penjara selama-lamanya delapan tahun.

(3) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian perempuan itu dijatuhkan

hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun.

Pasal 288 tersebut dirinci, akan terlihat unsur-unsur berikut:48

Unsur-unsur objektif:

a. Perbuatannya : bersetubuh;

b. Objek : dengan perempuan istrinya yang belum waktunya dikawin

c. Menimbulkan akibat luka-luka;

Unsur-unsur subjektif:

d. Diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa perempuan itu belum

waktunya untuk kawin.

Perempuan yang disetubuhi si pembuat ini adalah istrinya sendiri, yang belum waktunya dikawin. Belum waktunya dikawin artinya belum pantas untuk disetubuhi karena masih anak-anak. Pada pasal 288 ini tidak dimasukkan unsur belum berumur lima belas tahun seperti pada Pasal 287 . Berdasarkan rumusan ayat (1) Pasal 287 yang menyebutkan sebagai alternatif dari belum berumur lima belas tahun, dalam hal ini tidak diketahui secara jelas umurnya adalah belum waktunya untuk kawin, maka dalam Pasal 288 ini dapat juga diartikan bahwa perempuan (istrinya) yang belum waktunya untuk dikawin itu belum berumur lima belas tahun.

Kejahatan pasal ini tidak dioper dari WvS Belanda, melainkan khusus ada dalam WvS Hindia Belanda (KUHP) , berdasarkan pertimbangan bahwa pada penduduk asli Indonesia dahulu serinng kali adanya pernikahan anak. Akan tetapi,

48

(12)

kini tidak mungkin terjadi pernikahan anak yang umurnya belum lima belas tahun, karena menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 seorang perempuan untuk izin menikah umurnya sekurang-kurangnya yang telah mencapai 16 tahun (Pasal 7 ayat 1). Perempuan (istrinya) belum waktunya untuk dikawin adalah unsur objektif. Tentang keadaan yang sebenarnya ini harus diketahui oleh suaminya itu. Apabila dia tidak tahu secara pasti tentang keadaan itu, dia sepatutnya harus menduga bahwa perempuan (istrinya) itu belum pantas untuk disetubuhi. Ini merupakan unsur kesalahan si pembuat.

Menyetubuhi istrinya yang belum waktunya untuk kawin ini tidaklah dilarang atau tidak dipidana. Baru dapat dipidana apabila dari persetubuhan itu timbul akibat luka-luka. Akibat luka adalah membuktikan bahwa perempuan (istrinya) itu belum waktunya untuk disetubuhi. Sebab perempuan yang sudah pantas disetubuhi, tidaklah meenimbulkan luka-luka sebagaimana yang dimaksud disini, apabila luka berat. Robeknya selaput darah (keperawanan) semata-mata karena persetubuhan tidaklah masuk dalam pengertian luka-luka disini. Karena robeknya keperawanan itu adalah suatu keharusan dari persetubuhan pertama. Jadi yang dimaksud dengan luka-luka adalah luka-luka lain diluar robeknya selaput dara. Misalnya luka-luka di dalam liang vagina. Jadi unsur akibat ini adalah berupa unsur syarat untuk dapat dipidana, yang timbul setelah perbuatan menyetubuhi dilakukan.

Apabila akibat menyetubuhi itu bukan sekadar luka-luka tetapi luka berat, maka dapat dijatuhkan pidana penjara paling lama delapan tahun. Bahkan apabila berakibatkan kematian istrinya itu, maka dapat dijatuhkan pidana paling lama dua

(13)

belas tahun. Akibat luka berat atau kematian adalah berupa dasar pemberatan pidana pada Pasal 288 ini.

Mengenai luka berat oleh undang-undang telah diberikan pengertian khusus secara limitatif oleh pasal 90, yang menyatakan, bahwa lua berat berarti :

a. Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh

sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut;.

b. Tidak mampu terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau

pekerjaan pencaharian;

c. Kehilangan salah satu pancaindra;

d. Mendapat cacat berat;

e. Menderita sakit lumpuh;

f. Terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih;

g. Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan;

Itulah pengertian luka berat. Karena telah dirinci secara limitatif, maka tidak ada luka berat lain di luar dari yang disebutkan secara limitatif menurut Pasal 90 tersebut.

b. Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002

Pengaturan lebih khusus mengenai perlindungan hukum terhadap anak tertuang dalam Undang No 23 Tahun 2002. Pembentukan Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak didasarkan pada pertimbangan bahwa perlindungan anak dalam segala aspek merupakan landasan yuridis dan bagian kegiatan pembangunan nasional, khususnya dalam

(14)

mewujudkan kehidupan anak dalam berbangsa dan bernegara. Lahirnya Undang-Undang Perlindungan Anak ini merupakan bentuk kepedulian masyarakat dalam memperjuangkan hak-hak anak. Untuk efektivitas pengawasan penyelenggaran Perlindungan Anak diperlukan lembaga independen yang diharapkan dapat mendukung Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam penyelenggaran Perlindungan Anak.

Kewajiban dan tanggungjawab Negara dan Pemerintah dalam usaha

perlindungan anak diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 yaitu:49

a. Menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan

suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya, bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak dan kondisi fisik dan/atau mental (pasal 21).

b. Memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggarakan

perlindungan anak (pasal 22).

c. Menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan

memperhatikan hak dan kewajiban orangtua, wali atau orang lain yang

secara umum bertanggungjawab terhadap anak mengawasi

penyelenggaraan perlindungan anak (pasal 23).

d. Menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan

pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak (pasal24)

Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga mempertegas tentang perlunya pemberantasan sanksi pidana dan denda

49

Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak, (Bandung: Rafika Aditama, 2008), hlm. 39

(15)

bagi pelaku kejahatan terhadap anak, untuk memberikan efek jera, serta mendorong adanya langkah konkret untuk memulihkan kembali fisik, psikis dan sosial anak korban dan/atau anak pelaku kejahatan. Hal tersebut perlu dilakukan untuk mengantisipasi anak korban dan/atau anak pelaku kejahatan di kemudian hari tidak menjadi pelaku kejahatan yang sama.

Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan

berlandaskan Undang-Undang Dasar 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-hak Anak meliputi:

a. Non diskriminasi

b. Kepentingan yang terbaik bagi anak

c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan

d. Penghargaan terhadap pendapat anak.50

Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat

perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.51

Pengaturan hukum tindak pidana pemerkosaan terhadap anak di dalam Undang-undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 yaitu:52

Pasal 81

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun

50

Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak, (Bandung: Rafika Aditama, 2008), hlm 75

51

Ibid

52

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

(16)

dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi

setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan

oleh orang tua, wali, pengasuh anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 76D berbunyi:

Setiap orang yang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

1. Unsur Pasal 76D sebagai berikut:

a. Setiap orang

Yang dimaksud adalah subjek hukum atau orang pendukung hak dan kewajiban yang padanya dapat diminta pertanggungjawaban atas perbuatan yang dilakukannya.

b. Melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan

Dalam unsur ini kekerasan atau ancaman kekerasan fisik atau kekerasan lain yang bersifat psikis atau kejiwaan yang termasuk didalamnya.

c. Memaksa anak untuk melakukan persetubuhan dengannya atau dengan

orang lain.

Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas tahun), termasuk anak yang masih dalam kandungan dan persetubuhan adalah peraduan antara anggota kemaluan laki-laki dan kemaluan perempuan yang bisa dijalankan unuk menjalankan anak, jadi anggota kemaluan laki-laki harus masuk kedalam anggota perempuan sehingga mengeluarkan air mani.

(17)

2. Unsur-unsurnya:

a. Dengan sengaja

Berarti si pelaku dalam hal ini menghendaki perbuatannya tersebut dan menginsafi akibat yang timbul dari perbuatannya tersebut. Kata sengaja menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia departemen pendidikan dan kebudayaan pustaka member pengertian sengaja adalah “dimaksud (direncanakan) memang diniatkan begitu, tidak secara kebetulan”. Teori pidana tentang sengaja tidak lagi memberikan defenisi secara gramatical tetapi telah berkembang sehingga dapat berupa:

1. Sengaja sebagai niat

2. Sengaja sadar akan kepastian atau keharusan dan;

3. Sengaja sadar akan kemungkinan

b. Melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak

melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Yang dimaksud tipu muslihat adalah siasat dengan maksud mengakali agar dapat memperdaya korban (anak) untuk mencapai kehendaknya dalam hal melakukan persetubuhan dengannya (pelaku) atau dengan orang lain serangkain kebohongan adalah rangkaian kata-kata dusta atau kata-kata yang bertentangan dengan kebenaran sedangkan membujuk berarti berusaha mempengaruhi supaya orang yang menuruti kehendak yang membujuk dalam hal ini melakukan persetubuhan dengannya atau dengaan orang lain.

(18)

3. Tindak pidana melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain yang dilakukan oleh:

a. Orang tua adalah ayah dan ibu kandung atau ayah dan atau ibu tiri, atau

ayah dan/ atau ibu angkat.

b. Wali adalah orang atau badan yang dalam kenyataannya menjalankan

kekuasaan asuh sebagai orang tua terhadap anak.

c. Pengasuh anak adalah orang tua, wali atau badan yang merawat anak.

d. Pendidik adalah tenaga professional yang bertugas merencanakan dan

melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pengabdian.

e. Tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri

dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan. Pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 82

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan

oleh orang tua, wali, pengasuh anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(19)

Pasal 76E berbunyi:

Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.

Penjelasan untuk setiap unsur (setiap orang, melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, membujuk) sama dengan pengertian yang telah dijelaskan di atas. Bentuk tindak pidana yang ditekankan disini adalah salah satu unsur yang terbukti (unsurnya bersifat alternatif) untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul dalam arti apabila seorang anak (perempuan) dengan tindakan (unsur) yang sedemikian rupa di atas, sehingga mengikuti kehendak pelaku untuk dilakukan pencabulan terhadap dirinya.

Tindak pidana melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul yang dilakukan oleh :

a. Orang tua adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/atau ibu tiri,

atau ayah dan/atau ibu angkat;

b. Wali adalah orang atau badan yang dalam kenyataannya menjalankan

kekuasaan asuh sebagai orang tua terhadap anak;

(20)

d. Pendidik adalah tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pengabdian.

e. Tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri

dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan. Pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

c. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2016

Pemerintah menerapkan keadaan darurat dan memaksa, atas kejahatan seksual yang mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Pemerintah menganggap bahwa kejahatan seksual sudah merupakan kejahatan luar biasa yang harus ditangani dan dihukum dengan cara luar biasa juga. Penerapan hukuman tambahan pada Perppu sebagai parameter dan keluasan hakim dalam mengambil putusan. Perppu ini hanya berlaku untuk pelaku yang sudah dewasa, sedangkan terhadap pelaku anak-anak tetap diberlakukan Undang-Undang Peradilan Anak

(lex spesialis).

Pasal 81 PERPPU No 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas

Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, diatur mengenai tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak yang berbunyi:

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

(21)

tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(2) Ketentuan pidana sebagai mana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula

bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat,

serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan

persetubuhan dengannya atau orang lain.

(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(4) Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (3),

penambahan 1/3 dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 76D.

(5) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D

menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.

(6) Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3),

ayat (4), ayat (5), pelaku dapat dikenal pidana tambahan berupa pengumunan identitas pelaku.

(7) Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5)

dapat dikenal tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.

(8) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diputuskan

bersama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan.

(9) Pidana tambahan dan tindakan dikecualikan bagi pelaku anak.53

Tambahan pasal 81 yakni pasal 81A yang berbunyi sebagai berkut:

(1) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam pasal 81 ayat (7) dikarenakan

untuk jangka waktu paling lama (dua) tahun dan dilaksanakan setelah terpidananya menjalani pidana pokok.

(2) Pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bawah

pengawasan scara berkala oleh kementrian yang menyelenggarakan urusan pemerintaan di bidang hukum, sosial, dan kesehatan.

(3) Pelaksanaan kebiri kimia disertai dengan rehabilitasi.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tindakan dan

rehabilitas diatur dengan Peraturan Pemerintah.

53

(22)

Pasal 76D

Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Dalam ketentuan pasal diatas, dapat disebutkan unsur-unsur tindak pidana kekerasan seksual yang dapat dikenakan sanksi kepada pelaku, yaitu:

a. Setiap orang

Menurut Pasal 1 angka 16 Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, ialah setiap orang adalah orang perseorangan atau koorporasi.

b. Melakukan kekerasan

Pada pasal 1 angka 15a dalam Undang-Undang yang sama, kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap anak yang berakibatkan timbulnya kesengsaraan atau penderitaan fisik, psikis, seksual,dan/ atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.

c. Ancaman kekerasan

Adalah serangan psikis yang mengakibatkan orang menjadi ketakutan sehingga mampu melakukan pembelaan atau perlawanan atau kekerasan yang belum diwujudkan tapi menyebabkan orang yang terkena tidak mempunyai pilihan selain mengikuti kehendak yang mengancam dengan kekerasan. Seperti

diancam akan ditembak, dibunuh, ditusuk, dan sebagainya.54

54

P.A.F. Lamintang, Delik-delik Khusus (Tindak pidana- Tindak Pidana Melanggar Norman-Norma Kesusilaan dan Norma-norma Kepatutan), (Bandung: Mandar Maju,1990), hlm.113

(23)

d. Memaksa

Yaitu memperlakukan dengan paksa; melakukan (mendesak, menekan, dan sebagainya) dengan kekerasan (dengan kekuatan); mengharuskan (dengan

tidak boleh atau harus).55

e. Melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Yakni bertemunya dua alat kelamin, baik lewat jalan depan maupun belakang dengannya atau dengan orang lain.

f. Melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan

Mengadung pengertian bermacam tipu, berbagai daya upaya yang buruk. Maksudnya perbuatan atau perkataan yang tidak jujur (bohong/palsu) dengan

maksud untuk menyesatkan, mengakali, atau mencari untuk; kecoh.56

g. Membujuk anak adalah orang tua, wali, pengasuh, pendidik, atau tenaga

kependidikan.

Pasal 82 PERPPU No 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, diatur mengenai tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak yang berbunyi:

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima)

tahundan paling lama 15 tahun dan denda paling banyak

Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(2) Dalam hal ini tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana di maksud pada ayat (1).

55

W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), hlm.697

56

(24)

(3) Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan

(4) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 76E

menimbulkan korban lebih dari satu orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi dan/atau korban meninggal dunia, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(5) Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan

ayat (4), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku.

(6) Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat

(4) dapat dikenai tindakan berupa rehablitasi dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.

(7) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diputuskan bersama-sama

dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan.

(8) Pidana tambahan dikecualikan bagi pelaku anak.

Tambahan pasal 82 yakni pasal 82A yang berbunyi:

(1) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam pasal 82 ayat (6) dilaksanakan

selama dan/atau setelah terpidana menjalani pidana pokok.

(2) Pelaksanaan tindakan sbagaimana dimaksud pada ayat (1) di bawah

pengawasan secara berkala oleh kementrian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum, sosial, dan kesehatan.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tindakan diatur

dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 76E

Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa,melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan perbuatan cabul.

Dalam ketentuan pasal diatas, dapat disebutkan unsur-unsur tindak pidana kekerasan seksual yang dapat dikenakan sanksi kepada pelaku, yaitu:

(25)

a. Setiap orang

Menurut Pasal 1 angka 16 Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, ialah setiap orang adalah orang perseorangan atau koorporasi.

b. Melakukan kekerasan

Pada pasal 1 angka 15a dalam Undang-Undang yang sama, kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap anak yang berakibatkan timbulnya kesengsaraan atau penderitaan fisik, psikis, seksual,dan/ atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.

c. Ancaman kekerasan

Adalah serangan psikis yang mengakibatkan orang menjadi ketakutan sehingga mampu melakukan pembelaan atau perlawanan atau kekerasan yang belum diwujudkan tapi menyebabkan orang yang terkena tidak mempunyai pilihan selain mengikuti kehendak yang mengancam dengan kekerasan. Seperti

diancam akan ditembak, dibunuh, ditusuk, dan sebagainya.57

d. Memaksa

Yaitu memperlakukan dengan paksa; melakukan (mendesak, menekan, dan sebagainya) dengan kekerasan (dengan kekuatan); mengharuskan (dengan

tidak boleh atau harus).58

57

P.A.F. Lamintang, Delik-delik Khusus (Tindak pidana- Tindak Pidana Melanggar Norman-Norma Kesusilaan dan Norma-norma Kepatutan), (Bandung: Mandar Maju,1990), hlm.113

58

W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), hlm.697

(26)

e. Melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.

Yakni yang melakukan perbuatan cabul adalah si pembuat yang memaksa dan yang membiarkan dilakukan perbuatan cabul adalah korban yang dipaksa disebut pasif.

f. Melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan

Mengadung pengertian bermacam tipu, berbagai daya upaya yang buruk. Maksudnya perbuatan atau perkataan yang tidak jujur (bohong/palsu) dengan maksud untuk menyesatkan, mengakali, atau mencari untuk; kecoh.

g. Membujuk anak adalah orang tua, wali, pengasuh, pendidik, atau tenaga

Referensi

Dokumen terkait

Jika dibandingkan dengan tindak pidana pasal 77, tindak pidana pasal 78 memiliki unsur yang hamper sama. Perbedaan hanya pada unsur materilnya saja. Perbuatan materil pasal 78

a) Untuk pelaku setiap orang (orang perorangan dan korporasi) yang melakukan tindak pidana perdagangan orang.. 5) Dalam hal tindak pidana perdagangan orang dilakukan

Ancaman pidana perbuatan cabul diatur dalam Pasal 290 KUHP yang mengatur mengenai ancaman pidana penjara paling lama tujuh tahun bagi orang yang melakukan perbuatan cabul dengan

Penerapan hukum pidana materil terhadap tindak pidana pencemaran nama baik melalui tulisan sudah sesuai, perbuatan terdakwa telah terbukti secara sah memenuhi

Hakikatnya pada pertimbangan yuridis merupakan pembuktian unsur-unsur (bestanddelen) dari suatu tindak pidana apakah perbuatan terdakwa tersebut telah memenuhi dan

Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus, atas anugerah dan kasih karunia- Nya, sehingga Penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Penanggulangan Tindak Pidana Perbuatan

Penerapan pidana penjara tidak berlaku terhadap pelaku tindak pidana pencurian ikan yang dilakukan oleh Nelayan asing di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) sebagaimana

Perumusan tindak pidana dalam Bab II Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jika dihubungkan dengan subjek hukum yang dikenal dalam Undang-Undang Pemberantasan