• Tidak ada hasil yang ditemukan

B AB I PENDAHULUAN - PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis) DENGAN PERIKANAN EKOSISTEM : STUDI KASUS DI PERAIRAN KABUPATEN ACEH BARAT - Repository utu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "B AB I PENDAHULUAN - PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis) DENGAN PERIKANAN EKOSISTEM : STUDI KASUS DI PERAIRAN KABUPATEN ACEH BARAT - Repository utu"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kabupaten Aceh Barat merupakan salah satu wialayah operasional pengelolaan perikanan yang masuk kedalam teritorial wilayah pengelolaan perikanan (WPP) 572, Perairan Aceh Barat termasuk perairan yang saat ini banyak dimanfaatkan potensi ikan pelagis kecilnya oleh nelayan tradisional setempat maupun yang berasal dari provinsi lain.

Pengelolaan perikanan tidak cukup hanya dengan mempertimbangkan target populasi yang berkelanjutan. namun, pengelolaan perikanan perlu juga mempertimbangkan ekosistem dan sumberdaya hayati yang berkelanjutan sebagai habitat dari populasi ikan. Dampak ekosistem akibat pemanfaatan sumberdaya hayati menjadi penting untuk diidentifikasi lebih awal agar kerusakan sumberdaya bisa diminimalisir dan diantisipasi sehingga tidak menimbulkan degradasi sumberdaya hayati yang berkelanjutan. Pendekatan yang lebih mengedepankan aspek keberlanjutan ekosistem ini lebih dikenal dengan pendekatan ekosistem terhadap manajemen perikanan tangkap.

(2)

Pendekatan ekosistem merupakan salah satu bentuk pengelolaan sumber daya yang mempertimbangkan perilaku, karakteristik atau sifat dari alam yang selama ini harus dinomor duakan setelah kepentingkan manusianya dikedepankan. Oleh karena itu, kita perlu melakukan facing –out kepada model pengelolaan ,sumber daya perikanan berbasis ekosistem yang dikenal sebagai

Ecosystem Based Fisheries Management (EAFM), pengelolaan sumber daya perikanan mencakup keseluruhan ekosistem termasuk aspek stakeholder dan dampak yang terjadi pada setiap sektor yang terkait pada perikanan.

(3)

1.2. Perumusan Masalah

Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana pendekatan pengelolaan sumber daya perikanan kasus kelembagaan di Kabupaten Aceh Barat

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui prinsip domain teknik penangkapan perikanan Cakalang (Katsuwonus pelamis) perairan Aceh Barat.

2. Mengetahui status pengelolaan sumberdaya perikanan Cakalang (Katsuwonus pelamis) di perairan Aceh Barat.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Hasil penelitian diharapkan bisa memberi gambaran mengenai kondisi perikanan cakalang di perairan Aceh Barat saat ini.

2. Sebagai bahan pertimbangan dan rekomendasi dalam menyusun kebijakan pengelolan sumber daya perikanan cakalang di perairan Aceh Barat.

1.5. Batasan Penelitian

(4)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Ikan Cakalang (Katwonus pelamis) 2.1.1. Klasifikasi dan morfologi

Klasisifikasi ikan cakalang (Katwonus pelamis) menurut Saanin (1984) diacu dalam Fausan (2011) adalah sebagai berikut :

Phylum : Vertebrata Class : Telestoi

Ordo : Perciformes Famili : Scombridae

Genus : Katsuwonus

Species : Katsuwonus pelamis (Skip jack)

Gambar 2.1. Ikan Cakalang (Sumber: Freitas, 2015)

(5)

serta mempunyai jari-jari sirip tambahan (finlet) di belakang sirip punggung dan dubur. Sirip dada terletak agak ke atas, sirip perut kecil, sirip ekor bercagak agak dalam dengan jari-jari penyokong menutup seluruh ujung hypural (Departemen Pertanian (1983) diacu dalam Fausan (2011).

Ikan Cakalang banyak terdapat di daerah tropis dan subtropis, salah satunya terdapat di Pasifik timur dengan suhu air tempat ikan ini adalah 5 – 13 0C

(dapat sampai 23 0C). Menurut Nakamura (1991) diacu dalam Fausan (2011),

potensi ikan cakalang di seluruh dunia cukup besar, dengan tingkat regenerasi cukup tinggi. Oleh karenanya tidak perlu khawatir akan habis meskipun dilakukan penangkapan dalam jumlah besar.

Cakalang adalah ikan perenang cepat dan hidup bergerombol (Scholling) sewaktu mencari makan. Kecepatan renang ikan dapat mencapai 50 km/jam. Kemampuan renang ini merupakan salah satu fektor yang menyebabkan penyebarannya dapat mengikuti skala ruang (wilayah geografis) yang cukup luas, termasuk diantaranya beberapa spesies yang dapat menyebar dan bermigrasi lintas samudra. Pengetahuan mengenai penyebaran tuna dan cakalang sangat penting artinya dalam usaha penangkapan (Supadiningsih & Rosana 2004 diacu dalam Fausan, 2011)

2.1.2. Habitat

(6)

2.1.3. Penentuan Daerah Penangkapan Ikan Cakalang

Salah satu faktor penentu keberhasilan dalam usaha penangkapan ikan adalah ketepatan dalam menentukan suatu daerah penangkapan ikan (DPI) yang layak untuk dapat dilakukan operasi penangkapan ikan. Pada umumnya nelayan membutuhkan waktu yang cukup lama dalam mencari schooling ikan, karena dalam menentukan daerah penangkapan ikan hanya berdasarkan intuisi/insting sehingga tidak efektif karena hasil tangkapan tidak pasti (Muklis et al., 2009). Prediksi daerah yang potensial untuk penangkapan ikan dapat dilakukan melalui pengkajian parameter-parameter oseanografi yang berhubungan dengan keberadaan ikan itu sendiri. Suhu dan konsentrasi klorofil-a merupakan parameter oseanografi yang berpengaruh bagi keberadaan sumberdaya ikan. Informasi spasial dan temporal dari parameter-parameter oseanografi dari citara satelit dapat dimanfaatkan untuk mengkaji daerah potensial penangkapan ikan cakalang (Muklis, et al., 2009).

(7)

II.2. Kapasitas Perikanan dan Upaya Penangkapan Ikan

Fishing capacity atau kapasitas penangkapan ikan belum didefinisikan secara tegas oleh FAO, baik di dalam Code of Conduct for Responsible Fisheries

(CCRF) maupun di dalam International Plan of Action (IPOA), karena sulitnya menyatakan satu definisi yang tepat dan tidak meragukan. Ada yang negara yang mendefinisikan fishing capacity dalam terminologi Gross Tonnage (GT) dan Daya Mesin Utama dimana pemanfaatan secara penuh kapal tersebut adalah kapasitas usahanya. Kemudian ada juga yang mendefinisikan fishing capacity

sebagai jumlah ikan yang dapat ditangkap oleh satu kapal atau armada bila tidak dibatasi oleh peraturan atau pertimbangan tingkat panen yang berkelanjutan (Adrianto et al., 2013). Pada prinsipnya, fishing capacity dapat didefinisikan dengan mengacu pada faktor input penangkapan (yakni: kapal dan upaya) atau pada faktor output penangkapan (yakni: potensi tangkapan). Dengan mempertimbangkan beberapa pengertian diatas dan sisi kepraktisan dalam implementasi untuk mengestimasinya, maka pada modul ini, fishing capacity

didefinisikan sebagai jumlah hasit tangkapan ikan maksimum yang dapat dihasilkan pada periode waktu tertentu (tahun) oleh satu kapal atau armada bila dioperasikan secara penuh, dimana upaya dan tangkapan tersebut tidak dihalangi oleh berbagai tindakan pengelolaan perikanan yang menghambatnya. Satuan unit yang digunakan untuk fishing capacity adalah ton/tahun (Adrianto et al., 2013).

(8)

penangkapan ikan beroperasi aktif di dalam air), Namun, unit yang paling umum digunakan untuk satuan effort adalah trip. Trip merupakan istilah yang dipergunakan untuk menyatakan satuan waktu yang ada (Adrianto et al., 2013).

Fishing capacity menjadi input control dalam manajemen perikanan tangkap. Input perikanan yang berlebih berpotensi menimbulkan kapasitas yang berlebin (over capacity). Jadi overcapacity diartikan sebagai situasi berlebihnya kapasitas input perikanan, yakni armada penangkapan ikan yang digunakan untuk menghasilkan output perikanan (hasil tangkapan ikan) pada level tertentu.

Overcapacity yang berlangsung terus menerus akan menyebabkan overfishing, sehingga hal ini tentu saja akan dapat menghambat terwujudnya perikanan yang berkelanjutan dan lestari (Adrianto et al., 2013).

Untuk mengetahui apakah di suatu perairan terdapat kecenderungan akan terjadi fishing capacity berlebih yang akan mengancam kelestarian sumber daya ikan, maka dilakukan dengan pendekatan tidak langsung, yakni melihat nilai ratio antara fishing capacity pada tahun dasar (tahun sebelumnya) dibandingkan dengan

(9)

2.3. Pengelolaan Perikanan Berbasis Ekosistem (EAFM)

Didalam dunia perikanan, pengelolaan perikanan berbasis ekosistem (EBFM) atau sering juga disebut sebagai EAFM (Ecosystem Approach to Fisheries Management) telah diidentifikasi sebagai sebuah pendekatan pengelolaan yang cukup sukses dikala pendekatan pengelolaan perikanan lain mengalami kegagalan (Adrianto, 2010 diacu dalam Adrianto et al., 2013). Ward.

et al. (2002) diaju dalam Adrianto et al. (2013). Menyebutkan bahwa didalam pengelolaan berbasis ekosistem, keberlanjutan ekologi adalah menjadi tujuan utama dari sistem pengelolaan ini, begitu pula dengan pemahaman kritis akan tingkat ketergantungan kesejahteraan manusia dengan tingkat kesehatan ekologi (Adrianto, 2010 diacu Adrianto et al., 2013). Menyebutkan lebih lanjut bahwa secara sederhana EAFM atau EBFM dapat dipahami sebagai sebuah konsep bagaimana menyeimbangkan antara pengetahuan, informasi dan ketidak pastian tentang komponen biotik, abiotik dan interaksi manusia dalam ekosistem perairan melalui sebuah pengelolaan perikanan yang terpadu, komprehensif dan berkelanjutan.

(10)

implementasi EAFM melalui penggabungan tujuan sosial ekonomi dan pertimbangan lingkungan dan sumberdaya ikan. Selain itu, dalam perencanaan kebijakan juga ditetapkan mekanisme koordinasi pusat dan daerah, koordinasi antar sektor, dan hubungan antara regulasi nasional dan internasional terkait dengan implementasi EAFM secara komprehensif.

Dalam konteks ini, beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam implementasi pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan (EAFM) antara lain adalah : (1) perikanan harus dikelola pada batas yang memberikan dampak yang dapat ditoleransi oleh ekosistem; (2) interaksi ekologis antar sumberdaya ikan dan ekosistemnya harus dijaga; (3) perangkat pengelolaan sebaiknya

(11)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan dari bulan April sampai Mei 2015 di Kabupaten

Aceh Barat. Adapun lokasi penelitian adalah 3 lokasi yaitu PPI Ujong Baroh, TPI

Meureubo dan TPI Samatiga, 3 lokasi ini di Aceh Barat merupakan pusat kegiatan

perikanan tangkap.

3.2. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dan pembahasan secara deskriptif. Pendekatan kualitatif adalah suatu proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada metodologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah manusia. Pada pendekatan ini, peneliti membuat suatu gambaran kompleks, wawancara, laporan terinci dari pandangan responden, dan melakukan studi pada situasi yang alami (Creswell, 1998:15 dalam Afriani, 2009). Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan metode purposive sampling. Metode ini digunakan terutama pada saat terbatasnya jumlah responden yang ada dilokasi penelitian, atau juga sering digunakan untuk penelitian secara cepat (Afriani, 2009).

3.3. Metode Pengambilan Data

(12)

perairan Aceh Barat dan stakeholder serta akademisi yang ikut terlibat dalam penelitian ini yaitu DKP, UPTD,TPI dan PPI meulaboh.

Adapun jumlah responden nelayan yang diambil dalam penelitian ini menggunakan rumus Pengambilan sampling dalam (Arikunto, 2002).

n=25 %x N Keterangan :

n = Jumlah sampel N= Jumlah Populasi

Penelitian ini menggunkan data sekunder maupun data primer, adapun cara dan prosesnya yaitu sebagai berikut :

a. Data sekunder

Data sekunder diperoleh dari data statistik perikanan Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh Barat serta dari hasil penelitian-penelitian dan publikasi publikasi ilmiah terkait yang pernah dilakukan.

b. Data primer

Data primer untuk wawancara dan kuisioner diperoleh dari sampel responden yang dipilih secara khusus dari pelaku (individu atau organisasi) yang mengerti terhadap permasalahan penelitian. Pengisian kuesioner dan wawancara ditujukan lansung kepada pihak petugas Dinas Kelautan Dan Perikanan (DKP), panglima laot, nelayan, Himpunan nelayan seluruh Indonesia (HNSI) dan akademisi.

Pengumpulan data primer berdasarkan sumber dan informasi yang ingin diperoleh dapat dilihat pada Tabel 3.3.

Tabel 3.1. Data primer berdasarkan sumber dan informasi yang diperoleh

(13)

Kriteria

1 DKP Sistem pengelolaan perikanan tangkap diaceh barat

2 orang yaitu staf DKP Aceh Barat

2 Panglima laot Kebijakan pemerintah terhadap proses pengelolaan perikanan tangkap di aceh barat

3 Orang yaitu panglima laot kecamatan 3 Nelayan Mengenai ruang lingkup domain teknik penangkapan ikan 30 orang Nelayan 4 HSNI Mengenai kinerja nelayan dalam memanfaatkan sumber daya perikanan 1 orang yaitu Ketua HNSI

5 Akademisi Mengenai status pengelolaan perikanan tangkap diaceh barat

1 orang dari status pengelolaan perikanan pada perairan Aceh Barat dilakukan melalui analisis komposit terhadap indikator pada domain teknologi penangkapan ikan. Hasil analisis komposit ini dapat divisualisasikan dengan teknik flag modelling agar dapat mengetahui status pengelolaan perikanan di perairan Aceh Barat.

(14)

3.5. Analisis Data

Analisis EAFM merupakan salah satu pendekatan multi atribut dengan pendekatan kepada gejala atau performa indikasi kondisi ekosistem perairan secara umum (Adrianto et al., 2011).

Analisis EAFM ini dilakukan melalui pendekatan indikator teknik penangkapan ikan. Indikator secara sederhana didefinisikan sebagai sebagai sebuah alat atau jalan untuk mengukur, mengindikasikan, atau merujuk sesuatu hal dengan lebih atau kurang dari ukuran yang diinginkan (Adrianto et al., 2011). Pada penelitian ini dilakukan penilaian terhadap 6 indikator yang ada pada domain teknologi penangkapan ikan. Setiap indikator memiliki kriteria dan bobot penilaian yang berbeda. Kriteria dan bobot masing-masing indikator dapat dilihat pada Tabel 3.1 (Adrianto et al., 2011).

(15)

ikan Analysis (MCA) di mana sebuah set kriteria dibangun sebagai basis bagi analisis keragaan wilayah pengelolaan perikanan dilihat dari pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan melalui pengembangan indeks komposit dengan tahapan sebagai berikut (Adrianto et al., 2005) :

(16)

2. Kaji keragaan setiap indikator yang diuji. 3. Berikan skor untuk setiap keragaan indikator 4. Tentukan bobot untuk setiap indikator

5. Kembangkan indeks komposit masing-masing aspek dengan model fungsi : CAi = f (CAn….n=1,2,3…..m)

6. Kembangkan indeks komposit untuk seluruh keragaan EAFM dengan model fungsi sebagai berikut :

C-WPPi = f (CAIy………y = 1,2,3……z; z = 11) Indikator yang dinilai

kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis y komposit sederhana berbasis rataan aritmetik yang kemudian ditampilkan dalam bentuk model bendera (Adrianto et al., 2011) (Tabel 3.2).

Tabel 3.3. Visualisasi model bendera untuk indikator EAFM. (Adrianto et al., 2014)

Rentang Nilai

Model Bendera

Deskripsi

Rendah Tinggi Buruk

1.00 20 Buruk

21 40 Kurang baik

41 60 Sedang

61 80 Baik

(17)

Pengelolaan Perikanan Ikan

Ruang Lingkup Analisa

Domain Teknik

Penangkapan Data Primerdan Sekunder

Indikator EAFM Set Kriteria

Analisa Performa Perfoma

Pengelolaan Ikan

Feeback Analysis

Gambar 3.2. Kerangka Pendekatan Analisa Pengelolaan Perikanan Berbasis Ekosistem (EAFM) (Sumber : Adrianto et al., 2011)

(18)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Letak Geografis Lokasi Penelitian

Secara geografis Kabupaten Aceh Barat terletak pada letak geografis Kabupaten Aceh Barat secara astronomi terletak pada 04°06'-04°47' Lintang Utara dan 95°52'- 96°30' Bujur Timur. Wilayah Kabupaten Aceh Barat memiliki batas administrasi Kabupaten Aceh Jaya dan Pidie di sebelah utara, dan sebelah timur Kabupaten Aceh Tengah dan sebelah barat Samudra Indonesia Kabupaten Nagan Raya di sebelah barat dan selatan (Hafinuddin, 2010).

Kabupaten Aceh Barat terletak dibagian ujung pulau sumatera dipesisir Barat,luas wilayah Kabupaten Aceh Barat mencapai 2.927,95 Km2 atau seluas

292,795 Ha sedangkan panjang garis pantai diperhitungkan 50.55 km dengan luas laut 12 mil atau 233 km2 daratan (DKP, 2007 diacu dalam Hafinuddin, 2010)

Kabupaten ini memiliki empat kecamatan yang berbatasan lansung dengan Samudera Indonesia dan merupakan Kecamatan pesisir yaitu Kecamatan Johan Pahlawan, Meureubo, Samatiga dan Kecamatan Arongan Lambalek. Serta 8 kecamatan daratan yaitu Kaway XVI, Sungai Mas, Pantee Ceureumen, Panton Ree, Bubon, Woyla, Woyla Barat dan Woyla Timur.

(19)

4.2. Keadaan Umum Perikanan Laut Aceh Barat

Kabupaten Aceh Barat memiliki kekayaan sumberdaya perikanan yang cukup besar dan memiliki peluang yang cukup menjanjikan untuk pengembangan sub sektor perikanan khususnya perikanan tangkap. Diperkirakan potensi perikanan laut di perairan Aceh Barat mencapai lebih kurang 12.556.6 ton per tahun (Statistik Perikanan Aceh, 2013).

4.2.1. Unit Penangkapan Ikan

Unit penangkapan merupakan satu kesatuan dari nelayan, kapal dan alat tangkap yang merupakan faktor yang menentukan dalam usaha penangkapan ikan.

4.2.1.1. Kapal

Berdasarkan data Statistik Perikanan Aceh (2013), jumlah armada penangkapan ikan di Kabupaten Aceh Barat mencapai 848 unit, yang didominasi oleh armada perahu kapal motor 559 unit,. Rincian data jumlah armada penangkapan dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1. Jumlah armada penangkapan pada tahun 2008 – 2013

No Armada Tahun

2008 2009 2010 2011 2012 2013 1 Perahu tanpa

motor JukungPP Kecil 7439 7439 7493 7493 7493 7493

PP sedang - - 41 41 41 41

PP legar 76 76 7 7 7 7

2 Motor tempel 138 138 74 74 74 74

3 Kapal motor <5 GT 509 509 509 509 509 378

5-10 GT 35 35 35 35 35 159

10-20 GT 9 9 9 9 9 9

20-30 GT 12 - 12 12 12 12

30-50 GT - - - 4

Keterangan: PP : Perahu Papan

(20)

4.2.1.2. Alat Tangkap

Jenis alat tangkap ikan cakalang yang digunakan oleh nelayan di Kabupaten Aceh Barat antara lain, pancing tonda, pancing ulur, pukat cincin, dan rawai hiu. Dalam perkembangannya jenis alat tangkap pancing, pancing tonda yang mendominasi alat tangkap di Kabupaten ini. Menurut nelayan penggunaaan alat tangkap pancing tonda lebih efektif dibandingkan alat tangkap yang ramah lingkungan lainnya. Menurut Nelayan Aceh Barat sekitar 80% pengunaan alat tangkap pancing tonda ini diduga sangat sesuai dilokasi perairan Aceh Barat dan diperairan tempat daerah penangkapan lainnya (fishing ground) karena didukung oleh arus yang kuat.

4.2.2. Volume dan Nilai Produksi Ikan Cakalang

(21)

Tabel 4.2. Volume dan nilai produksi ikan cakalang di Kabupaten Aceh Barat

Sumber: Statistik Perikanan Aceh, 2008-2013; diolah kembali

2008 2009 2010 2011 2012 2013

0

(22)

2008 2009 2010 2011 2012 2013

Gambar 4.2. Perkembangan Nilai Produksi Ikan Cakalang di Kabupaten Aceh Barat Tahun 2008 - 2013

Nilai produksi ikan cakalang di Kabupaten Aceh Barat pada tahun 2013

mencapai Rp 20.528.145.000,-. Namun pada tahun 2013 telah telah terjadi

penurunan nilai produksi sebesar -1,33% dari tahun sebelumnya (tahun 2012). Adapun peningkatan rata-rata per tahun (tahun 2008-2013) adalah sebesar 24,72% (lihat Tabel 4.1 dan Gambar 4.2).

2008 2009 2010 2011 2012 2013

0

Gambar 4.3. Perkembangan Nilai Produksi Ikan Cakalang di Kabupaten Aceh Barat Tahun 2008 - 2013

(23)

Aceh Barat mengenal adanya dua musim yang berpengaruh terhadap aktivitas penangkapan ikan, yaitu musim barat dan musim timur. Musim timur biasanya terjadi pada bulan Oktober sampai April, musim ini adalah musim melaut bagi nelayan dalam menangkap ikan cakalang. Musim barat terjadi pada bulan Mei - September, pada kondisi ini umumnya nelayan enggan tidak melaut karena cuaca buruk.

Armada penangkapan ikan yang ada di Kabupaten ini didominasi oleh armada kapal motor dengan ukuran gross tonase yang besar (5 – 10 GT), yaitu sebanyak 534 unit (Statistik Perikanan Aceh, 2013) maka diduga jarak tempuh armada tersebut jauh dari perairan Aceh Barat atau diprediksikan nelayan kabupaten ini melaut dengan radius 150 mil ke arah laut lepas.

(24)

rendah. Wilayah yang masuk dalam kategori sedang dalam penangkapan cakalang menurut nelayan Aceh Barat terdapat di Perairan Calang, Aceh Selatan, serta Aceh Besar.

4.3. Analisis Status dan Kondisi Perikanan Cakalang di Aceh Barat

Berdasarkan hasil wawancara diduga besarnya produksi ikan cakalang di Kabupaten Aceh Barat dihasilkan sebayak tangkapan target utama (80%) dan hanya 20% merupakan taget sampingan (DKP, Data Statistik Perikanan Aceh 2008-2013). Sangat jelas menyebutkan bahwa saat ini sumberdaya perikanan ikan cakalang di Kabupaten Aceh Barat sedang mengalami peningkatan dengan volume produksi ikan cakalang rata rata 47,09%, sedangkan untuk hasil nilai produksi ikan cakalang mengalami peningkatan rata rata 24,72% dibanding dengan hasil tangkapan tahun yang lalu, bahkan beberapa responden menyebutkan waktu yang dibutuhkan oleh nelayan menuju ke lokasi tangkap sangat beragam dari hanya beberapa jam hingga memakan waktu yang cukup lama. Namun pada umumnya nelayan skala kecil hanya membutuhkan waktu beberapa jam dari pangkalan pelabuhannya. Sedangkan untuk perikanan skala besar memerlukan waktu yang lebih lama sekitar 5-10 hari untuk mencapai lokasi tangkapnya di Perairan Aceh Barat hingga luar Aceh.

Menurut nelayan peningkatan produksi ikan cakalang ini di dukung karena sedang berlangsungnya musim timur. pada musim timur nelayan-nelayan Aceh Barat menjadikan ikan cakalang menjadi sebagai target utama dalam kegiatan penangkapan.

(25)

4.4.1. Metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan illegal

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa di Aceh Barat khususnya kecamatan Johan Pahlawan di UPTD PPI Ujong Baroh tahun 2015 tidak ada metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan ilegal yang merusak secara langsung maupun tidak langsung. Berdasarkan Nilai indikator metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan ilegal di perairan Aceh Barat tergolong dalam kondisi baik karena diduga jumlah frekuensi pelanggarannya < 5 kasus pertahun, hal ini diperoleh dari hasil analisis wawancara nelayan Aceh Barat.

Kegiatan penangkapan ikan dengan cara yang merusak dan atau ilegal, secara umum dipicu oleh kondisi masyarakat penangkap ikan (nelayan) yang miskin dan pemahaman yang minim mengenai siklus hidup ikan dan ekosistem yang mendukungnya (yang menjadi tempat tinggal dan berkembang biak), serta tingginya permintaan pasar perdagangan ikan, sehingga mendorong mereka untuk mencari cara yang singkat dan mudah untuk mendapatkan banyak uang melalui eksploitasi sumber daya ikan sedemikian rupa guna meraih hasil tangkapan ikan yang banyak dalam waktu yang singkat walaupun menggunakan cara-cara penangkapan yang ikan yang merusak dengan mengabaikan kepentingan lingkungan. Selain itu, kurangnya penegakan hukum bagi pelaku penangkapan ikan yang merusak tersebut dan ditambah lagi dengan kurangnya informasi serta rendahnya kesadaran konsumen mengenai bagaimana ikan-ikan yang diperdagangkan tersebut ditangkap, sehingga tentu saja hal ini akan mempersulit untuk mewujudkan perikanan yang berkelanjutan dan lestari (Adrianto et al.,

(26)

4.4.2. Modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan

Hasil analisis indikator modifikasi alat penangkapan dan alat bantu penangkapan ikan diperairan Aceh Barat tergolong dalam kondisi sedang, karena terdapat 25 – 50 % ukuran ikan tangkapan yang lebih kecil dari nilai Lm. Menurut data base fishbase nilai Lm (length at first maturity) ikan cakalang berkisar 45 cm, sedangkan hasil rata-rata tangkapan ikan diperairan Aceh Barat 45% dari hasil tangkapan berukuran 30 cm, data yang didapatkan dilapangan ini menunjukan dalam kondsi sedang karena ukuran ikan dari hasil tangkapan 45% nya lebih kecil dari nilai Lm.

Modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan didefinisikan sebagai penggunaan alat tangkap dan dan alat bantu yang tidak sesuai dengan peraturan yang dapat menimbulkan dampak negatif terhadap sumber daya ikan. Penentuan indikator ini dilakukan karena modifikasi alat tangkap dan alat bantu yang tidak sesuai dengan peraturan akan memberikan dampak langsung terhadap kelestarian sumber daya ikan (Adrianto et al.,, 2013).

(27)

penangkapan ikan yang memodifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapannya serta ditambah lagi minimnya pengetahuan dan kesadaran konsumen mengenai ukuran yang layak diperdagangkan atau dikonsumsi, mengakibatkan perkembangannya semakin sulit dikendalikan, sehingga hal tersebut tentu saja akan dapat menghambat terwujudnya perikanan yang berkelanjutan dan lestari (Adrianto et al.,, 2013).

4.4.3. Kapasitas Penangkapan

Dari hasil fishing capacity dan effort data dilapangan memiliki nilai perbandingan yang cukup signifikan, adapun perbandingan nilai fishing capacity pada tahun 2009 sebesar 10.540.704 ton dan pada tahun 2013 sebesar 992.385 ton, dari data tersebut setelah dirumuskan melalui hasil pembagaian nilai fishing capacity (FC) tahun 2009 dan Ardianto 2013 bahwa nilai rasio fishing capacity

pada tahun 2009 dan 2013 berjumlah 10,62, dengan demikian dapat disimpulkan menurut kriteria penilaian EAFM nilai rasio fishing capacity > 1, yang berarti bahwa di perairan Aceh Barat tergolong dalam kondisi baik.

(28)

4.4.4. Selektivitas tangkapan

Dari data yang diperoleh, jumlah armada penangkapan ikan adalah 153 unit, yang terdiri atas 113 unit menggunakan alat tangkap yang selektif yaitu pancing tonda, pancing ulur, pukat cincin, dan rawai hiu. Sedangkan kapal yang menggunakan alat tangkap yang kurang selektif berjumlah 40 unit adapun alat tangkap yang kurang selektif yaitu pukat trawl. (UPTD PPI Meulaboh,2015). Dengan demikian hasil analisis indikator selektifitas dan menggunakan alat penangkapan ikan diperoleh 26,14%, alat tangkap yang sudah diPPI Meulaboh kurang selektif. Menurut kriteria EAFM hasil tersebut menunjukan bahwa di perairan Aceh Barat penggunaan alat yang kurang selektif (PS) masih tergolong baik karena nilai PS lebih lebih kecil dari 50%.

Selektivitas penangkapan merupakan aktivitas penangkapan ikan yang dikaitkan dengan luasan, waktu dan keragaman hasil tangkapan. Pemilihan indikator ini dilakukan karena selektivitas penangkapan yang rendah akan memberikan dampak langsung terhadap kelestarian sumber daya ikan. Selektivitas penangkapan dapat diidentikan dengan sifat keramahan lingkungan, maksudnya adalah bahwa alat tangkap ikan memiliki selektivitas penangkapan yang baik atau tinggi berarti pula alat tangkap tersebut merupakan alat tangkap ramah lingkungan (Adrianto et al.,2013).

(29)

dianggap belum berhasil, dan sebaliknya, pengelolaan perikanan dianggap berhasil, bila tingkat selektivitas penangkapan tinggi (Adrianto et al.,, 2013).

4.4.5. Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkap ikan dengan dokumen legal

Dari 10% data populasi dokumen kapal legal, 15 unit kapal hasil pemeriksaan terdapat dokumen legal yang tidak sesuai dengan fakta di lapangan sejumlah 5 dokumen, dari hasil analisis data persentase jumlah dokumen legal yang tidak sesuai dengan fakta dilapangan sebesar 33,3%, oleh karena itu, dapat diduga kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkap ikan dengan dokumen legal dalam kondisi sedang, karena menurut kriteria penilaian EAFM apabila tingkat kesesuaiannya berkisar 30 – 50 % berarti dalam kondisi sedang.

Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan dokumen legal merupakan sebagai perbandingan antara dokumen surat legal yang dimiliki dengan aktivitas nyata dari fungsi dan dimensi ukuran kapal dalam melakukan operasi penangkapan ikan. Pemilihan indikator ini dilakukan, karena bila antara surat ijin yang dikeluarkan berbeda dengan aktivitas kenyataan yang ada, maka hal ini dapat dikategorikan sebagai tindakan melanggar aturan atau illegal fishing, dan secara tidak langsung tentunya akan berpotensi mengancam kelestarian sumber daya ikan (Adrianto et al., 2013).

(30)

dapat menyebabkan pengelolaan perikanan menjadi bias atau tidak tepat, yang diakibatkan oleh kesalahan data atau informasi yang diterima. Dengan demikian, bila ada masih terdapat ketidaksesuaian antara dokumen legal dengan faktanya, sudah dapat dipastikan akan memberikan dampak negatif terhadap kelestarian sumber daya ikan yang ada. Akibat selanjutnya tentu akan sulit atau bahkan tidak akan mungkin mewujudkan perikanan tangkap yang bertanggung jawab

(responsible fisheries) (Adrianto et al., 2013).

4.4.6. Sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan

Menurut hasil penelitian terhadap kapal >5 GT sebesar 52 unit kapal diperoleh kapal yang bersertifikat hanya 24 unit kapal maka, hasil perhitungan didapatkan presentase jumlah sampel kapal penangkapan ikan yang dioperasikan oleh awak kapal yang bersertifikat adalah sebesar 46,15%. Dengan demikian dapat disimpulakan menurut criteria penilaian EAFM komposit ini dalam kondisi buruk, karena nilai presentase < 50% berarti dalam kondisi buruk..

(31)

Sertifikasi awak kapal perikanan yang sesuai dengan peraturan secara tidak langsung juga turut andil dalam menentukan kelestarian sumber daya ikan. Hal ini dapat dimengerti bahwa bila awak kapal yang mengoperasikan kapal penangkapan ikan, belum bersertifikat, maka dapat diperkirakan bahwa aktivitas penangkapan ikannya tidak dilakukan sesuai dengan kaidah-kaidah kegiatan penangkapan ikan yang bertanggung jawab. Hal ini tersebut, secara tidak langsung akan memberikan dampak negatif terhadap kelestarian sumber daya ikan yang ada. Akibat selanjutnya tentu akan sulit atau bahkan tidak akan mungkin mewujudkan perikanan tangkap yang bertanggungjawab (responsible fisheries)

(Adrianto et al., 2013).

4.5. Analisis Flag Modelling

(32)

Tabel 4.3. Indeks komposit agregat indicator EAFM pada domain teknik penangkapan ikan di perairan Aceh Barat

Domain Nilai Bendera Keterangan

Teknik Penangkapan Ikan 2,07 Sedang

Rata-rata 2,07 Sedang

Pada tabel 4.3. Menunjukan hasil indeks komposit agregat indikator EAFM pada domain teknik penangkapan ikan di perairan Aceh Barat memiliki nilai 2,07 dengan bendera berwarna kuning, menunjukan bahwa pengelolaan sumberdaya perikanan cakalang (Katsuwonus pelamis) masih tergolong sedang

Dengan demikian untuk tahap perbaikan pengelolaan sumberdaya perikanan cakalang di Aceh Barat dalam kondisi sedang maka perlu dilakukan upaya pemantauan nelayan agar sumberdaya perikanan cakalang diperairan Aceh Barat akan terus berkelanjutan dan dalam kondisi baik.

BAB V

(33)

5.1. Kesimpulan

Kesimpulan dari hasil penelitian adalah sebagai berikut :

1. Prinsip pengelolaan sumberdaya perikanan ikan cakalang di perairan Aceh Barat dalam domain penangkapan meliputi :

a. Kegiatan penangkapan ikan cakalang tidak bersifat illegal dan merusak, b. Modifikasi alat penangkapan perlu memperhatikan ukuran ikan yang

hendak ditangkap guna menjaga sumber daya yang berkelanjutan

c. Untuk menjaga kelestarian sumberdaya ikan cakalang di perairan Aceh Barat maka penangkapan ikan diharuskan menggunakan alat tangkap yang selektif

2. Menurut hasil analisis EAFM (Ecosystem Approach to Fisheries Management) status domain teknik penangkapan ikan di perairan Aceh Barat masih tergolong baik sekali.

5.2. Saran

Perlu dilakukan penelitian lanjutan tentang optimalisasi pengelolaan sumberdaya perikanan ikan cakalang berbasis ekosistem dengan domain sumberdaya ikan, domain habitat dan ekosistem perairan,domain ekonomi, dan domain sosial di perairan Aceh Barat.

(34)

Adrianto L, Matsuda Y, Sakuma Y. 2005. Assesing Sustainability of Fishery Systems in A Small Island Region: Flag Modeling Approach. Proceeding of IIFET. 2005

Adrianto, L., Budiman, A. A., Christijanto, H., Kamarijah, S., Budoyo, G. H., Musthofa, I., Habibi, A., Wardiatno, Y., Susanto, H. A., Azizy, A., Arif, T., Nurcahyanto, A.,2011 Kajian Awal Kerangka Pendekatan Ekosistem Dalam Pengelolaan perikanan ( Ecosystem Approach to Fisheries Management) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia. Bogor: PKSPL-IPB.

Adrianto, L.,Habibi, A., Fahrudin, A., Azizy, A., Susanto, H. A., Musthofa, I., Kamal, M. M., Wisodo, S. H., Wardiatno, Y., Raharjo, P. & Nasution, Z. 2013. Modul Penilaian Indikator untuk Pengelolaan Perikanan Berpendekatan Ekosistem (Ecosystem Approach tp Fisheries Management). Jakarta: National Working Group II EAFM, Direktorat Sumberdaya Ikan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia.

Ardrianto, L., Habibi, A., Fahrudin, A., Azizy, A., Susanto, H. A., Musthofa, I., Kamal, M. M., Wisodo, S. H., Wardianto, Y., Raharjo, P., Nasution, Z., Yonuitner,2014. Indikator untuk Pengelolaan Dengan Pendekatan Ekosistem Ecosystem Approach to Fisheries Management. Jakarta: National Working Group II EAFM, Direktorat Sumberdaya Ikan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia.

Afriani, Iyan, 2009. Metode riset kualitatif. Artikel. Lembaga penelitian mahasiswa penalaran. Universitas Negeri Makasar. Makasar.

(35)

DKP Provinsi Aceh. 2012. Statistik Perikanan Tangkap. Sumber: dkp.acehprov.go.id diakses 18 Agustus 2015

DKP Provinsi Aceh. 2013. Statistik Perikanan Tangkap. Sumber: dkp.acehprov.go.id diakses 18 Agustus 2015

Fausan, 2011. Pemetaan Daerah Potensial Penangkapan Ikan Cakalang

(Katsuwonus pelamis) Berbasis Sistem Informasi Geografis Diperairan Teluk Tomini Provinsi Gorontalo [Skripsi]. Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Hasanuddin.

Freitas, R. P. 2015. Katsuwonus pelamis (Linneus, 1758), skipjack tuna. Sumber: http://www.fishbase.org/photos/thumbnailssummary.php?

Genus=Katsuwonus&Species=pelamisDiakses 4 April 2015

Hafinuddin, 2010. Tingkat opersional PPI Meulaboh Pasca Tsunami dan Alternatif Pengembangannya. [Skripsi]. Departemen Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Muklis, Gaol, J. L. & Simbolon, D. 2009. Pemetaan daerah potensial penangkapan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) dan tongkol (Euthynnus affinis) di Perairan Utara Nanggroe Aceh Darussalam.

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, 1,24-32.

Gambar

Gambar  2.1. Ikan Cakalang  (Sumber: Freitas, 2015)
Gambar 3.1. Teknik Flag modeling (Adrianto et al., 2011)
Tabel  3.2.  Metode  pengukuran,  kriteria,  dan  bobot  indikator  pada  domainteknologi penangkapan ikan
Tabel 3.3. Visualisasi model bendera untuk indikator EAFM. (Adrianto  et al.,2014)
+6

Referensi

Dokumen terkait

Pada manusia asam urat merupakan produk akhir dari metabolisme purin. 4emudian kondisi 64&#34; semakin memperparah kenaikan serum asam urat sehingga kadar asam urat dalam

1) Pengolahan limbah cair dengan menggunakan Instalasi Pengolahan Air Limbah, dimana semua limbah cair yang berasal dari setiap ruangan di rumah sakit ditampung

Berdasarkan brainstorming dengan pihak perusahaan maka diperoleh pembagian insentif sebesar 30:70 dimana pembagian nantinya akan diberikan kepada Perusahaan dan karyawan,

Tutkimuksessa tarkasteltiin sitä, millaisia kertomuksia Tampereen yliopiston normaalikoulun lukiolaiset tuottavat yhteisöllisyyden kokemuksista ja tunteista muutoksen

Merupakan saluran distribusi yang digunakan oleh perusahaan dimana aktifitas utamanya adalah menyalurkan produk dari produsen sampai ke tangan konsumen, yaitu

Dari pembahasan di atas teorema Pythagoras yang diperoleh pada bidang Taxicab bergantung kepada posisi segitiga siku-siku pada bidang koordinat serta menggunakan kemiringan dan

Pada tahun 2017, kami juga meluncurkan UOB Smart Risk, yang merupakan layanan wealth management and investment untuk membantu nasabah Privilege Banking dalam meraih tujuan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan hasil belajar siswa antara model pembelajaran kooperatif Teams Assisted Individualization dan Teaching Game