1
ISSN. 2443-1435
Volume 1, Nomor 1, April 2015
PENERAPAN METODE DISCOVERY UNTUK MENINGKATKAN
KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA SISWA
Eka Rosdianwinata (ekawinata@yahoo.co.id)
Dosen Prodi Pendidikan Matematika FKIP Universitas Mathla’ul Anwar Banten
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah ada hubungan antara kemampuan pemecahan matematika dengan kecerdasan emosional pada siswa dijenjang SMP. Adapun hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang pembelajarannya menggunakan strategi discovery lebih baik daripada siswa yang pembelajarannya menggunakan strategi pembelajaran konvensional. Pengambilannya sampel untuk penelitian dilakukan secara purposive sampling adapun siswanya adalah siswa kelas VIII SMP disalah satu sekolah yang berada di kabupaten Purwakarta pada tahun pelajaran 2013/2014. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang dikuantitatifkan dimana metode kuantitatif sendiri digunakan untuk membuktikan hipotesis dengan membandingkan dua kelas dengan perlakuan yang berbeda dengan desain penelitian quasi eksperiment. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang pembelajarannya menggunakan metode discovery sama dengan pada siswa yang pembelajarannya konvensional. Hasil yang didapatkan dari Kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang sudah melakukan pembelajaran dengan metode discovery tidak mengalami peningkatan kualitas yang baik. Meskipun didapatkan skor yang dicapai siswa pada awal pembelajaran sampai pada akhir pembelajaran menjadi lebih baik.
Kata Kunci: Metode Pembelajaran discovery, kemampuan pemecahan matematika
ABSTRACT
This study aims to examine whether there is relationship between the ability of mathematical problem solving with emotional intelligence at students of Junior High School.The hypothesis of the study is that the students‟ ability of mathematical problem solving which using discovery strategy in learning is better than students‟ ability which using conventional learning strategy. The sample obtaining of the study is conducted by purposive sampling at the second year students of one of SMP in Purwakarta regency in academic years 2013/2014. The method used in this study is a qualitative study that quantified where quantitative method it self is used top rove the hypothesis by comparing the two classes with different treatments by using quasi experiment research design. The results hows that the mathematical problem solving ability of students who learning using the discovery method is the same as the conventional learning students.The results obtained from the mathematical problem solving ability of students who have completed the learning with discovery method, those quality does not in crease well. Although the obtained scores a chieved by students at the beginning of learning until the end of the lesson for the better.
2
ISSN. 2443-1435
Volume 1, Nomor 1, April 2015
PendahuluanDunia pendidikan saat ini sedang dihadapkan pada dua masalah besar, yaitu mutu pendidikan yang rendah dan sistem pembelajaran disekolah yang kurang memadai. Masalah pendidikan pun menjadi topik utama yang sedang diperbincangkan pada saat ini, baik dikalangan masyarakat, guru, orang tua, bahkan dilingkungan pakar pendidikan. Hal ini menjadi suatu yang sangat wajar karena setiap orang berkepentingan dan menginginkan pendidikan yang terbaik bagi semua lapisan masyarakat dalam hal ini adalah siswa. Terlebih dalam masalah pembelajaran disekolah selalu menjadi sorotan dikarenakan pada saat ini masih rendahnya prestasi belajar siswa terutama pada bidang matematika. Sedangkan seperti yang sudah diketahui bahwa standar kelulusan untuk dapat berhasil dalam bangku sekolah salah satunya adalah lulus nilai mata pelajaran
matematika. Sedangkan pada
kenyataanya nilai mata pelajaran khususnya matematika yang sebagian besar siswa dapatkan masih dibawah standar kelulusan yang sudah pemerintah tetapkan yakni dengan skor 5,5. Sedangkan pada tahun ajaran 2007/2008 menunjukan bahwa siswa paling banyak tidak lulus diakibatkan nilai matematika yang tidak tuntas yakni dengan skor 5,25 sebesar 15,29 %, sedangkan yang lainnya diakibatkan mata pelajaran bahasa Indonesia sebesar 13,84%, bahasa Inggris 12,51% dan IPA sebesar 9,70% (Hasratudin, 2009). pengetahuan-pengetahuan lain yang dipelajari disekolah.
Mengingat bahwa matematika merupakan salah satu unsur penting dalam pendidikan, sehingga matematika itu sendiri sudah diperkenalkan sejak tingkat dasar sampai ke jenjang yang lebih tinggi. Namun dengan demikian
matematika bukan hanya memberikan kemampuan dalam perhitungan-perhitungan kuantitatif saja seperti yang sering kali kita sangkakan, tetapi m
atematika juga berpengaruh terhadap penataan cara berfikir terutama dalam pembentukan kemampuan menganalisis, membuat sintesis, melakukan evaluasi hingga kemampuan
memecahkan masalah serta
menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan mengingat hal tersebut diharapkan dalam proses pembelajaran itu sendiri dapat menyenangkan serta diharapkan terjadi komunikasi antara siswa dengan guru maupun siswa dengan siswa itu sendiri sehingga akan menghasilkan komunikasi dua arah, maka dalam belajar akan menghasilkan perubahan-perubahan dalam diri seseorang dan proses pembelajaranpun akan tercapai. Namun fakta lain menunjukkan bahwa praktek dalam proses pembelajaran di sekolah-sekolah yang berlangsung selama ini dan hampir di semua jenjang pendidikan pada umumnya berlangsung satu arah, yaitu guru sebagai pusat pembelajaran (teacher centered). Guru lebih aktif memberikan informasi atau menjelaskan materi yang diikuti dengan penulisan rumus dan pemberian contoh soal yang dikerjakan bersama siswa dengan dominasi guru, kemudian diakhiri dengan pemberian latihan.
Sehingga dalam hal ini diperlukan metode agar siswa belajar secara aktif dan guru hanya mengarahkan atau membimbing siswa dalam penemuannya, agar siswa tersebut merasa dihargai dan pada akhirnya kan mempunyai rasa percaya diri yang tinggi. Demikian pula tujuan yang diharapkan dalam pembelajaran matematika oleh
3
ISSN. 2443-1435
Volume 1, Nomor 1, April 2015
Mathematics (NCTM) dalam Wahyudin(2008), yang menetapkan standar-standar kemampuan matematis seperti pemecahan masalah, penalaran dan pembuktian, komunikasi, koneksi, dan representasi yang seharusnya dimiliki oleh siswa. Untuk melakukan proses memecahkan permasalahan itu sendiri tentunya diperlukan kemampuan pemecahan yang cukup.
Menurut Johnson dan Rising (Rokhayati, 2010) matematika adalah pola brefikir, pola mengorganisasikan, pembuktian yang logis. Matematika adalah bahasa yang menggunakan istilah yang didefinisikan dengan cermat, jelas, akurat, representasinya dengan symbol, lebih berupa bahasa symbol mengenai ide dari pada mengenai bunyi.
Para ahli pembelajaran
sependapat bahwa kemampuan
pemecahan masalah dalam batas-batas tertentu, dapat dibentuk melalui bidang studi dan disiplin ilmu yang diajarkan. Persoalan tentang bagaimana mengajarkan pemecahan masalah yang ingin dipecahkan, saran dan bentuk program yang disiapkan untuk mengajarkannya, serta variable-variabel pembawaan peserta didik.
NTCM (Widjajanti, 2011) menyebutkan bahwa memecahkan masalah bukan saja merupakan suatu sasaran belajar matematika, tetapi sekaligus merupakan alat utama untuk melakukan belajar itu. Oleh karenanya, kemampuan pemecahan masalah menjadi focus pembelajaran matematika disemua jejang pendidikan, dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Dengan mempelajari pemecahan masalah didalam matematika, para siswa akan mendapatkan cara-cara berfikir, kebiasaan tekun, dan keingintahuan serta kepercayaan diri didalam situasi-situasi yang tidak biasa, sebagaimana
situasi yang akan mereka hadapi ketika
sudah memasuki kehidupan
dimasyarakat.
Adapun indicator pemecahan masalah matematika yang diambil peneliti sesuai dengan kebutuhan penelitian sebagai berikut:
1. Memahami masalah
(understanding the problem)
2. Merencanakan masalah (devising a plan)
3. Menyelesaikan masalah
(carrying out the plan)
4. Memeriksa kembali hasil (looking back)
Berdasarkan keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematika sangatlah diperlukan oleh masyarakat oleh karenanya guru matematika khususnya berkewajiban membekali siswa dengan kemampuan tersebut sebagai dasar untuk menjalani masa depannya.
Rumusan Masalah
Sebagairnana yang tersirat dalam judul dan latar belakang penelitian ini, perlu diadakan suatu ikhtiar untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika. Sehingga yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu :
Apakah peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang menggunakan metode discovery
lebih baik dibandingkan dengan siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional?
Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan yang diajukan dalam penelitian ini, maka yang menjadi tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui peningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika melalui metode Discovery.
4
ISSN. 2443-1435
Volume 1, Nomor 1, April 2015
Adapun tujuan dari penelitian ini adalahuntuk Mengetahui peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang menggunakan metode discovery dibandingkan dengan siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian kualitatif yang
dikuantitatifkan, dimana penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Metode kuantitatif sendiri digunakan untuk membuktikan hipotesis dengan membandingkan dua kelas dengan perlakuan yang berbeda dengan desain penelitian quasi eksperiment atau eksperimen semu yang terdiri atas dua kelompok penelitian yaitu kelas eksperimen yang siswanya menggunakan metode discovery dan kelas kontrol yang siswanya menggunakan metode konvensional.
Upaya mengetahui adanya perbedaan kemampuan pemecahan masalah matematika dan kecerdasan emosional siswa terhadap pembelajaran matematika dilakukan penelitian dengan desain kelompok kontrol non-ekuivalen (Ruseffendi, 2001) berikut.
Kelas eksperimen: O X O ---
Kelas kontrol : O O
Metode kualitatif berperan menjawab pertanyaan peneliti yang berasal dari hasil pengamatan, wawancara, dan observasi yang telah dilakukan dan dianalisis secara kualitatif dengan mendeskripsikan temuan-temuan yang didapatkan selama penelitian dilapangan.
Populasi dan sampel dalam penelitian ini adalah siswa SMPN 2 Plered. Pengambilannya sampel untuk penelitian dilakukan secara purposive sampling.
Hasil Penelitian
Hasil Penelitian diperoleh melalui tes kemampuan pemecahan masalah matematika diawal dan diakhir pembelajaran, serta pengisian angket kecerdasan emosional siswa. Data tersebut didapat dari 55 siswa, terdiri dari 27 siswa kelas eksperimen yang pembelajarannya menggunakan metode pembelajaran discovery dan 28 siswa kelas control yang menggunakan metode pembelajaran secara konvensional.
Data kemampuan pemecahan masalah matematika diperoleh dari pre-test dan post-test. Dari skor pre-test dan
post-test selanjutnya digitung gain ternormalisasi (N-Gain) kemampuan pemecahan masalah menggunakan strategi pembelajaran discovery dan pembelajaran konvensional. Berikut merupakan deskripsi pre-test, pos-test
dan N-gain pada kelas eksperimen dan kelas control.
5
ISSN. 2443-1435
Volume 1, Nomor 1, April 2015
Tabel
Statistic Deskriptif Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika
Data Statistik
Eksperimen Kontrol
Pre-Test Postes N_Gain
Pre-Test Postes N_Gain
Rata-Rata 17.407 21.222 0.35 15.214 18.679 0.19
Sd 2.9123 2.3260 0.15 3.6246 3.4432 0.44
Skor Maksimum Ideal = 28 Berdasarkan tabel diatas, maka
untuk data pre-test diperoleh rataan
pre-test baik pada kelas eksperimen maupun kelas control mempunyai persamaan yakni berkualitas rendah. Dimana siswa kelas eksperimen mendapatkan rataan sebesar 17.407 dan siswa kelas control mendapatkan nilai rataan sebesar 15.214. Dalam hal ini kedua kelas relative mempunyai kualitas rendah.
Data post-test diperoleh nilai rataan pada kelas eksperimen dan pada kelas kontrol juga mempunyai kesamaan yakni berkualitas tinggi. Dimana siswa kelas eksperimen mendapatkan rataan sebesar 21.222 dan siswa kelas control mendapatkan nilai rataan sebesar 18.679. Dalam hal ini kedua kelas relative mempunyai kualitas tinggi.
Menunjukan bahwa post-test
kedua kelas relative berbeda dengan kualitas yang juga menunjukan perbedaan dimana kelas eksperimen menunjukan peningkatan yang cukup besar bila dibandingkan dengan peningkatan pada kelas control. Meskipun perbedaan dari kedua kelas tersebut tidak terlalu besar, namun jika dilihat dari segi peningkatan menunjukan peningkatan yang besar.
Analisis skor N-gain kemampuan pemecahan masalah matematika menggunakan data gain ternormalisasi, data gain ternormalisasi juga menunjukan klasifikasi peningkatan skor siswa yang dibandingkan dengan skor maksimal
idealnya. Rataan N-gain
menggambarkan peningkatan
kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang mendapatkan pembelajaran discovery maupun yang
mendapatkan pembelajaran
konvensional.
Tabel diatas dapat pula dikatakan bahwa siswa yang pembelajarannya menggunakan strategi pembelajaran discovery
memiliki rataan skor N-gain lebih tinggi jika dibandingkan dengan siswa yang pembelajarannya menggunakan strategi pembelajaran konvensional. Klasifikasi skor N-gain kelas eksperimen termasuk kategori sedang, sementara klasifikasi skor N-gain untuk kelas control termasuk kategori rendah.
Hal diatas menunjukan bahwa peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematika antara siswa yang mendapatkan strategi pembelajaran
discovery dengan siswa yang
mendapatkan pembelajaran
konvensional lebih tinggi. Hal tersebut
6
ISSN. 2443-1435
Volume 1, Nomor 1, April 2015
pembelajaran yang menggunakanstrategi pembelajaran discovery lebih memberikan kontribusi yang baik dalam meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika jika dibandingkan dengan pembelajaran konvensional.
Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematika antara siswa yang mendapatkan pembelajaran discovery dengan siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional perlu dilakukan uji statistic lanjutan. Uji statistic yang diperlukan untuk membuktikan hipotesis pertama yaitu yang menyatakan bahwa “kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang pembelajarannya menggunakan strategi discovery lebih baik daripada siswa yang pembelajarannya menggunakan strategi pembelajaran konvensional”.
Hasil uji statistic yang telah dilakukan maka didapat nilai Sig. (2-tailed) yaitu 0.312 yang berarti bahwa lebih dari . Hal ini menunjukan bahwa H0 diterima,
artinya Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang pembelajarannya menggunakan metode discovery sama dengan pada siswa yang pembelajarannya konvensional.
Untuk membuktikan bahwa hipotesis yang menyatakan bahwa kemampuan pemecahan masalah
matematika siswa yang
pembelajarannya menggunakan metode discovery lebih baik dari pada siswa yang pembelajarannya konvensional ternyata tidak terbukti karena setelah diolah hasilnya adalah kemampuan pemecahan masalah
matematika siswa yang
pembelajarannya menggunakan
metode discovery sama dengan pada siswa yang pembelajarannya konvensional. Hal ini berarti bahwa kemampuan pemecahan masalah
matematika siswa yang
pembelajarannya menggunakan strategi discovery lebih baik daripada siswa yang pembelajarannya menggunakan strategi pembelajaran konvensional tidak terdapat perbedaan yang signifkan.
Simpulan
Dalam pembelajaran dengan menggunakan metode discovery
peranan guru bukan pemberi jawaban akhir atas pertanyaan siswa, melainkan mengarahkan siswa untuk membentuk pengetahuan matematika sehingga diperoleh pengetahuan yang diddaptkan secara maksimal. Oleh karena itu guru tidak mendominasi pembelajaran dan tidak senantiasa menjawab dengan segera terhadap pertanyaan-pertanyaan siswa. Guru bukan memberikan jawaban akhir, namun dalam hal ini guru berdiskusi dengan siswa dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan kembali mengenai pertanyaan siswa agar ketika diberikan pertanyaan siswaw berfikir lebih lanjut sehingga penguasaan materi atau konsep menjadi semakin kuat.
Setelah penelitian dilakukan dapat dikatakan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang pembelajarannya menggunakan metode discovery lebih baik dari pada siswa yang pembelajarannya konvensional ternyata tidak terbukti karena setelah diolah hasilnya adalah kemampuan pemecahan masalah
matematika siswa yang
pembelajarannya menggunakan metode discovery sama dengan pada
7
ISSN. 2443-1435
Volume 1, Nomor 1, April 2015
siswa yang pembelajarannyakonvensional. Hal ini berarti bahwa kemampuan pemecahan masalah
matematika siswa yang
pembelajarannya menggunakan strategi discovery lebih baik daripada siswa yang pembelajarannya menggunakan strategi pembelajaran konvensional tidak terdapat perbedaan yang signifkan. Metode discovery
dalam pembelajaran matematika direspon dengan baik, oleh karena itu metode pembelajaran dengan menggunakan metode discovery dapat dijadikan sebagai salah satu upaya dalam merubah pandangan yang berorientasi berpusat pada guru mendai berpusat pada siswa meskipun berdasarkan hasil penelitian tidak terdapat perbedaan yang signifikan namun masih bisa digunakan sebagai alternative pembelajaran mengingat dalam prosesnya siswa antusias dalam mengikuti proses pembelajaran dan tidak lupa bahwa dalam penerapan metode discovery dalam pembelajaran matematika dapat meningkatkan interaksi antar siswa, siswa dengan guru, maupun siswa dengan lingkungan sekitar serta mampu memberikan keyakinan kepada siswa dalam mengemukakan pendapatnya.
Daftar Pustaka
Afriyani, Dian. (2008). Hubungan Antara Kecerdasan Emosional Dengan Kecenderungan Pemecahan Masalah Pada Mahasiswa. Skripsi pada
Fakultas Psikologi Dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.
Hasratuddin. (2009). Meningkatkan Kemampuan Berfikir Kritis dan Kecerdasan Emosional Siswa SMP Melalui Pendekatan Matematika Realistik. Laporan Penelitian Hibah Mahasiswa Program Doktor. UPI Bandung. Sahrudin. Asep (2013). Implemetasi
Strategi Pembelajaran Discovery Untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Dan Motivasi Belajar Siswa SMA.
Thesis pada MPM Pascasarjan Unpas. Unpas Bandung : Tidak Diterbitkan.
Sugiyono. (2013). Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta. Wahyudin. (2008). Pembelajaran dan
Model-model Pembelajaran.
Bandung:UPI.
Widjajanti, Djamliah Bondan. (2011).
Kemampuan pemecahan masalaha matematis mahasiswa calon guru matematika: Apa dan bagaimana
mengembangkannya. Seminar nasional matematika dan pendidikan matematika FMIPA UNY pada 5 Desember 2004.
8
ISSN. 2443-1435
Volume 1, Nomor 1, April 2015
PENGARUH PEMBELAJARAN KONFLIK KOGNITIF UNTUK
MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF
MATEMATIS SISWA SMA
Ika Meika Asep Sujana
ikameika@yahoo.co.id ikasep123@gmail.com
Dosen Prodi Pendidikan Matematika FKIP Universitas Mathla’ul Anwar Banten
ABSTRAK
Penelitian ini merupakan penelitian mix method dengan strategi embedded konkuren dengan tujuan penelitian untuk mengetahui: (1) Bagaimana kemampuan berpikir kreatif matematis siswa unggul dan siswa asor; (2) Apakah kemampuan berpikir kreatif siswa yang belajar dengan pembelajaran konflik kognitif lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran konvensional berdasarkan kemampuan prasyarat siswa (unggul dan asor); Populasi pada penelitian ini adalah siswa SMAN CMBBS Banten, dengan sampel kelas XI IPA sebanyak dua kelas. Instrument yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes matematika berbentuk pilihan ganda beralasan dan uraian, lembar observasi kegiatan siswa dan guru juga wawancara tentang pembelajaran. Analisis data dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif yang diperoleh dari hasil pretes, postes dan gain ternormalisasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) kemampuan berpikir kreatif siswa unggul dan siswa asor sebelum pembelajaran tidak berbeda; (2) kemampuan berpikir kreatif siswa yang belajar dengan pembelajaran konflik kognitif lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran konvensional berdasarkan kemampuan prasyarat siswa (unggul).
ABSTRACT
This research is mixed method with concurrent embedded strategy that aims to find out: (1) How the ability of mathematical creative thinking of superior students and asor students ; (2) Iscreative thinking ability of students who learn by learning cognitive conflict better than the conventional learning based on students' pre requisites ability (superior andasor). The population of the research is SMAN CMBBS students, with two classses of class XI IPA as sample. The instruments used in this research are multiple choice mathematics test reasoned and description, teachers and students activity observation sheets, and interview about learning. The data are analyzed quantitatively and qualitatively that obtained from pre-test and post-test results and gain normalized. The results show that: (1) The creative thinking ability of superior students and asor students before learning is same ; (2) The creative thinking ability of students who learn by learning cognitive conflict is better than the conventional learning based on students' pre requisites ability(superior)
9
ISSN. 2443-1435
Volume 1, Nomor 1, April 2015
PendahuluanPembelajaran matematika selama ini masih kurang melibatkan
siswa dalam pembentukan
pengetahuannya sendiri, siswa lebih banyak mendengarkan dan menerima pengetahuan yang disampaikan guru. Siswa sangat tergantung pada cara guru dalam mengajar. Siswa pasif sedangkan guru aktif.Sebagian besar aktifitas belajar matematika adalah bersifat berlatih menyelesaiakan soal-soal.
Studi Wahyudin (1999) yang menemukan bahwa sebagian besar peserta didik tampak mengikuti dengan baik setiap penjelasan atau informasi dari guru, siswa sangat jarang mengajukan pertanyaan kepada guru sehingga guru asyik sendiri menjelaskan apa yang telah disiapkannya, dan siswa hanya menerima saja yang disampaikan oleh guru. Padahal yang diinginkan adalah manusia Indonesia yang mandiri, mampu untuk memunculkan gagasan dan ide yang kreatif serta mau dan mampu menghadapi tantangan atau permasalahan yang dihadapinya.
Akan tetapi, tuntutan dalam dunia pendidikan sekarang ini sudah banyak berubah. Guru bukan lagi sosok yang harus mengajar dalam arti memindahkan (transfer) pengetahuan yang dimilikinya kedalam pikiran siswa, namun harus mendorong siswa
untuk mencari sendiri
pengetahuannya. Hal ini didasarkan pada teori belajar konstruktivisme yang menyatakan bahwa pengetahuan yang kita peroleh adalah hasil konstruksi sendiri, sehingga tidak mungkin mentransfer pengetahuan karena setiap orang membangun pengetahuan pada dirinya (Von Glasersfeld dalam Suparno, 1997) dan
siswalah yang harus aktif dalam proses pembelajaran.
Melalui pembelajaran konflik kognitif, siswa dituntut untuk
mengungkapkan konsepsinya
mengenai materi yang diajarkan, sehingga siswa termotivasi untuk membuktikan konsepsinya.Kegiatan seperti ini menuntut siswa mencari sendiri pengetahuannya.Dengan demikian siswa menjadi ingat dan yakin pada konsep ilmiah yang ditemuinya. Secara tidak langsung hal ini akan meningkatkan cara berpikir kreatif dalam pembelajaran.
Konsepsi alternatif adalah konsep yang dibentuk siswa berdasarkan pengalaman yang dialaminya atau pengetahuan yang diperolehnya sebelum melalui proses pembelajaran. Seorang guru harus menghargai konsepsi alternatif siswa baik konsepsi tersebut sesuai ataupun tidak sesuai dengan konsep ilmiah.Konsep ilmiah adalah konsep yang telah diuji oleh ilmuwan dan terbkukti kebenarannya.Tugas guru dalam pembelajaran salah satunya adalah mengubah atau memperbaiki konsepsi alternatif siswa yang keliru dengan konsep ilmiah matematika.
Kenyataan di lapangan, pembelajaran masih di dominasi oleh keterampilan manipulatif dan sistem evaluasinya juga masih menekankan pada keterampilan berhitung sehingga siswa kurang menguasai konsep-konsep matematika dan mengalami kesulitan dalam penyelesaian soal-soal yang bersifat konseptual. Penguasaan konsep yang lemah inilah yang akan berdampak pada kurangnya berpikir kreatif siswa. Ini sesuai dengan penelitian Tall dan Bakar (2000) bahwa siswa dan mahasiswa yang telah mempelajari konsep fungsi kurang
10
ISSN. 2443-1435
Volume 1, Nomor 1, April 2015
kritis dan kreatif dalam menelaahmasalah-masalah konjektur. Selanjutnya berdasarkan pengalaman penulis dalam mengajar matematika di kelas XI pada siswa SMAN CMBBS dari tahun 2007 kebanyakan siswa yang nilainya di atas KKM (Kriteria Ketuntasan Minimum) adalah siswa-siswi yang pemahaman konsepnya
bagus dan mereka mampu
mengkoneksikan materi-materi yang telah di ajarkan secara baik. Akan tetapi tingkat kreatif siswa masih belum terukur dengan baik, karena masing-masig siswa yang telah mencapai KKM hanya memberikan jawaban sesuai dengan contoh yang dijelaskan guru atau sesuai dengan penjelasan yang ada dalam buku panduan saja.
Berdasarkan uraian tersebut, penulis ingin melakukan penelitian dengan judul "Pengaruh Pembelajaran Konflik Kognitif untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis Siswa SMA".
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, tujuan penelitian ini dijabarkan sebagai berikut: (1) Untuk memperoleh deskripsi kemampuan berpikir kreatif matematis siswa unggul dan siswa asor, (2) Untuk mengetahui kemampuan berpikir kreatif siswa yang belajar dengan pembelajaran konflik kognitif lebih
baik dibandingkan dengan
pembelajaran konvensional
berdasarkan kemampuan prasyarat siswa (unggul dan asor).
Tinjauan Pustaka Konflik Kognitif
Kontruktivisme merupakan landasan berfikir pembelajaran konflik kognitif, dalam filisofi ini pengetahuan dibangun dalam pikiran anak melalui
asimilasi dan akomodasi dari pengetahuan awal yang dimiliki siswa dengan pengetahuan baru yang diperoleh dari lingkungan sekitarnya, dalam pembelajaran dengan konflik kognitif ini siswa didorong untuk mampu mengkontruksi pengetahuan sendiri melalui pengalaman nyata dan interaksi dengan lingkungannya, Ibrahim (2011:42) menjelaskan bahwa berdasarkan pandangan ahli kontruktivisme seperti piaget dan vygotsky tentang pembelajaran, dapat diperoleh hal-hal berikut ini: (1) Siswa mengkontruksi sendiri pengetahuan dan pemahaman mereka, atau dengan kata lain guru tidak dapat mengirimkan ide kepada siswa yang pasif; (2) Pengetahuan dan pemahaman adalah unik bagi setiap siswa; (3) Kegiatan berfikir semenjak awal pembelajaran adalah unsur yang paling penting untuk belajar secara efektif; (4) Lingkungan sosial budaya dari sebuah komunitas belajar matematika berinteraksi dengan ide matematika awal siswa dan sekaligus meningkatkan perkembangan ide matematika tersebut; (5) Model-model untuk ide-ide matematika membantu siswa mengungkap dan mendiskusikan ide-ide matematika; (6) Pengajaran yang efektif merupakan kegiatan yang terpusat pada siswa.
Dalam proses pembelajaran, siswa sering mengalami kebimbangan dalam menentukan solusi atau alasan terhadap suatu pertanyaan yang dihadapi apakah solusi yang ia berikan benar atau salah. Dalam pemberian solusi atau alasan terhadap suatu pertanyaan ini tentu dipengaruhi oleh kemampuan kognitif yang dimiliki siswa. Jika siswa tidak mampu menyesuaikan struktur kognitifnya dalam situasi konflik yang
11
ISSN. 2443-1435
Volume 1, Nomor 1, April 2015
dihadapinya, maka siswa tersebutdikatakan berada dalam situasi konflik kognitif.
Konflik kognitif ini disadari atau tidak sering terjadi dalam proses belajar mengajar, hal ini karena kemampuan kognitif dari siswa juga materi yang sedang diajarkan. Konflik kognitif terjadi dalam proses belajar yaitu ketika terjadi ketidakseimbangan antara informasi atau pengetahuan yang telah dimilki siswa dengan informasi yang dihadapi dalam suasana belajar.
Sebagai contoh ketika seorang siswa belum bisa memastikan suatu kurva dengan persamaan , tanpa menggambarkan kurva tersebut untuk apakah kurva selalu naik, selalu turun, turun kemudian naik atau naik kemudian turun?. Ketika siswa tertegun dan bingung untuk menjawabnya maka dapat kita katakan siswa tersebut mengalami konflik kognitif.
Dalam situasi konflik kognisi,
siswa akan memanfaatkan
kemampuan kognitifnya dalam upaya mencari justifikasi, konfirmasi atau verifikasi terhadap pendapatnya. Artinya kemampuan kognitifnya memperoleh kesempatan untuk diberdayakan, disegarkan, atau dimantapkan, apalagi jika siswa tersebut masih terus berupaya. Misalnya siswa akan memanfaatkan daya ingatnya, pemahamannya akan konsep-konsep matematika ataupun pengalamannya untuk membuat suatu keputusan yang tepat. Dalam situasi konflik kognitif seperti ini, siswa dapat memperoleh kejelasan dari lingkungannya, antara lain dari guru ataupun siswa yang lebih pandai (scaffolding). Dengan kata lain, konflik kognitif yang ada pada diri seseorang
yang direspon secara tepat atau positif
dapat menyegarkan dan
memberdayakan kemampuan kognitif yang dimiliki siswa.
Berpikir Kreatif Matematis
Berpikir kreatif adalah berpikir secara konsisten dan terus menerus menghasilkan sesuatu yang kreatif/orisinil sesuai dengan keperluan. Penelitian Brookfield (1987) menunjukkan bahwa orang yang kreatif biasanya (1) sering menolak teknik yang standar dalam menyelesaikan masalah, (2) mempunyai ketertarikan yang luas dalam masalah yang berkaitan maupun tidak berkaitan dengan dirinya, (3) mampu memandang suatu masalah dari berbagai perspektif, (4) cenderung menatap dunia secara relatif dan kontekstual, bukannya secara universal atau absolut, (5) biasanya melakukan pendekatan trial and error dalam menyelesaikan permasalahan yang memberikan alternatif, berorientasi ke depan dan bersikap optimis dalam menghadapi perubahan demi suatu kemajuan. Marzano (1988) mengatakan bahwa untuk menjadi kreatif seseorang harus: (1) bekerja di ujung kompetensi bukan ditengahnya, (2) tinjau ulang ide, (3) melakukan sesuatu karena dorongan internal dan bukan karena dorongan eksternal, (4) pola pikir divergen/ menyebar, (5) pola pikir lateral/imajinatif. (Suryabrata, 2012: 15).
Berdasarkan pada penjelasan di atas, dapat dirumuskan pengertian berpikir kreatif adalah jika seseorang dapat berpikir luwes, lancar, original dan elaborasi untuk menyelesaikan suatu masalah matematika, yang sifatnya menghasilkan sesuatu ide baru
12
ISSN. 2443-1435
Volume 1, Nomor 1, April 2015
berdasarkan situasi yang diberikan,menemukan beberapa cara yang mungkin untuk menyelesaikan masalah matematika.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian mix-method.Mix-method
adalah perpaduan antara metode kualitatif dan kuantitatif dimana peneliti melakukan perlakuan kepada subjek penelitian untuk selanjutnya ingin diketahui pengaruh perlakuan serta peneliti ingin mengetahui secara
deskripsi dari perlakuan
tersebut.Strategi penelitian mix-method yang digunakan dalam penelitian ini merupakan startegi embedded konkuren. Mix-method
dengan startegi embedded konkuren
adalah mix-method yang
menggunakan prosedur-prosedur dalam penelitiannya mempertemukan atau menyatukan data kualitatif dan kuantitatif untuk memperoleh analisis komprehensip dari masalah penelitian.
Dalam strategi ini, pengumpulan dua jenis data dalam satu waktu, kemudian menggabungkannya menjadi satu informasi dalam interpretasi hasil keseluruhan. (Creswell, 2010: 23).
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMAN Cahaya Madani Banten Boarding School.
Hasil Penelitian
Hasil Pretes dan Psotes yang diukur dengan nilai Gain
Untuk melihat penigkatan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa yang memperoleh pembelajaran Konflik Kognitif dan siswa yang
memperoleh pembelajaran
konvensional adalah dengan menghitung gain kedua kelompok dengan menggunakan rumus gain ternormalisasi.Sebaran data skor gain kemampuan berpikir kreatif matematisberdasarkan prasyarat siswa (unggul dan asor) disajikan dalam Tabel1 berikut.
Tabel 1
Skor Gain KemampuanBerpikir Kreatif Matematis Kemampuan
awal siswa
Kelas Eksperimen Kelas Kontrol
𝑿̅ S 𝑿̅ S
Unggul 0,74 0,18 0,52 0,09
Asor 0,49 0,13 0,38 0,19
Total 0,61 0,20 0,44 0,17
Keterangan: Skor Maksimum Ideal (SMI) 100
Dari table 1terlihat bahwa rata-rata gain ternormalisasi kemampuan berpikir kreatif matematis siswa kelas eksperimen lebih besar daripada kelas kontrol.
Untuk mengetahui apakah perbedaan skor rata-rata gain ternormalisasi siswa kelas eksperimen
dan kelas kontrol cukup signifikan atau tidak, maka data diuji dengan menggunakan uji Anova dua jalur. Sebelum dilakukan analisis uji anova, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas terhadap data skor gain ternormalisasi.
13
ISSN. 2443-1435
Volume 1, Nomor 1, April 2015
Tabel 2Hasil Uji Homogenitas Gain Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol
Test of Homogeneity of Variance
Levene Statistic df1 df2 Sig. Nilai _Gain_BK Based on Mean .591 1 50 .445 Based on Median .495 1 50 .485
Based on Median and with adjusted df
.495 1 49.012 .485
Based on trimmed mean .577 1 50 .451
Berdasarkan hasil perhitungan uji homogenitas yang tersaji pada tabel 2 di atas, nilai signifikan = 0,445. Berarti Ho diterima, maka data skor gain kelas eksperimen dan kelas kontrol berasal dari populasi yang memiliki varians homogen.
Setelah dilakukan uji normalitas dan homogenitas terhadap data gain, ternyata kemampuan berpikir kreatif matematis siswa kelas
eksperimen dan kelas kontrol berdistribusi normal dan homogen.
Untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan rata-rata nilai gain kemampuan berpikir kreatif matematika siswa unggul dan siswa asor pada kelas ekperimen dan kelas kontrol, dihitung dengan ANOVA dua jalur. Dengan menggunakan SPSS 18.0 yaitu General Linear Mode (GLM)-Univariate,
14
ISSN. 2443-1435
Volume 1, Nomor 1, April 2015
Tabel 3Hasil Uji Anova Dua Jalur Skor Gain Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis Berdasarkan
Kelompok Unggul-Asor dan Model Pembelajaran Multiple Comparisons Gain_BK Tukey HSD (I) Prasyarat (J) Prasyarat Mean Differen ce (I-J) Std. Error Sig. 95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound Unggul Eksp Asor Eksp .2477* .06322 002 .0794 .4159 Unggul Kontrol .2220* .06603 008 .0462 .3977 Asor Kontrol .3539* .06107 000 .1914 .5164
Asor Eksp Unggul Eksp -.2477* .06322 002 -.4159 -.0794
Unggul Kontrol -.0257 .06603 980 -.2015 .1500 Asor Kontrol .1062 .06107 315 -.0563 .2687 Unggul Kontrol Unggul Eksp -.2220* .06603 008 -.3977 -.0462 Asor Eksp .0257 .06603 980 -.1500 .2015 Asor Kontrol .1319 .06398 180 -.0383 .3022 Asor Kontrol Unggul Eksp -.3539* .06107 000 -.5164 -.1914 Asor Eksp -.1062 .06107 315 -.2687 .0563 Unggul Kontrol -.1319 .06398 180 -.3022 .0383 Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = .026. *. The mean difference is significant at the .05 level. Dari tabel 3 di atas, nilai sig
yang lebih besar dari 0,05 terjadi pada kelompok siswa asor eksperimen dengan kelompok siswa unggul dan siswa asor kelas kontrol juga pada siswa unggul dan siswa asor pada kelas kontrol. Selainnya nilai sig lebih kecil dari 0,05. Dengan kata lain pada setiap
kelompok prasyarat siswa terjadi perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematis, kecuali pada kelompok siswa asor eksperimen dengan kelompok siswa unggul dan siswa asor kelas kontrol. Dalam hal ini peningkatan pada kelas eksperimen lebih besar dari pada kelas kontrol.
15
ISSN. 2443-1435
Volume 1, Nomor 1, April 2015
PembahasanKemampuan Berpikir Kreatif Matematis Siswa Unggul dan Siswa Asor
Berdasarkan analisis terhadap hasil rata-rata pretes kemampuan berpikir kreatif matematis pada kelas ekperimen dan kelas kontrol masing-masing adalah 20,27 dan 14,53. Perbedaan nilai kemampuan awal berpikir kreatif matematis siswa secara keseluruhan berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa kesiapan atau kemampuan awal berpikir kreatif matematis siswa secara keseluruhan baik siswa pada kelas ekperimen maupun siswa pada kelas kontrol relatif tidak sama.
Adapun hasil analisis nilai rata-rata pretes siswa unggul dengan siswa asor baik pada kelas ekperimen maupun pada kontrol terlihat adanya perbedaan, rata-rata nilai pretes siswa unggul eksperimen 23,38, siswa asor ekperimen 17,15. Pada kelas kontrol rata-rata nilai pretes siswa unggul 21,91 dan siswa asor 9,13. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan awal berpikir kreatif matematis siswa unggul tidak sama dengan siswa asor. Akan tetapi dari hasil analisis uji anova, perbedaan yang signifikan hanya terjadi pada hasil pretes siswa unggul eksperimen dengan siswa asor kontrol, untuk kelompok awal siswa lainnya tidak berbeda signifikan.
Dapat diambil kesimpulan bahwa kemampuan awal berpikir kreatif matematis siswa secara keseluruhan antara kelas ekperimen dan kelas kontrol berbeda. Sedangkan kemampuan awal berpikir kreatif matematis siswa unggul dan siswa asor tidak berbeda secara signifikan atau relatif berada pada kondisi awal yang sama kecuali pada siswa unggul
ekperimen dengan siswa asor kontrol berbeda signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa ada tingkat kreatif yang berbeda sebelum pembelajaran diberikan di kelas.
Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis Siswa yang Belajar dengan Pembelajaran Konflik
Kognitif Berdasarkan
Kemampuan Prasyarat Siswa (Unggul dan Asor)
Berdasarkan analisis data postes dan data gain, kemampuan berpikir kreatif matematis dengan uji anova dua jalur pada taraf signifikan 0,05 diperoleh hasil kemampuan berpikir kreatif matermatis siswa yang belajar dengan pembelajaran konflik kognitif berdasarkan kemampuan prasyarat siswa (unggul dan asor) lebih baik daripada siswa yang belajar dengan pembelajaran konvensional. Baik dari hasil postes ataupun dari gain, kemampuan berpikir kreatif matematis pada kelompok siswa unggul kelas eksperimen berbeda signifikan dengan kelompok siswa lainnya (asor eksperimen, unggul kontrol dan asor kontrol), sedangkan pada kelompok siswa asor kelas eksperimen kemampuan atau peningkatannya tidak berbeda signifikan dengan kelompok siswa unggul dan siswa asor kelas kontrol.
Hasil tersebut memberikan gambaran bahwa pembelajaran konflik kognitif yang diterapkan cukup berpengaruh terhadap kemampuan berpikir kreatif matematis terutama
pada kelompok siswa
unggul.Sedangkan pada kelompok siswa asor eksperimen terlihat dari jawaban PG beralasan, dimana mereka menjawab lebih terinci dibandingkan dengan siswa kelas kontrol (unggul
16
ISSN. 2443-1435
Volume 1, Nomor 1, April 2015
dan asor), ini memberikan gambarandari pembelajaran konflik kognitif cukup pengaruh positif bagi kelompok siwa asor.
Hasil temuan lain selama proses pembelajaran bahwa siswa dapat memperluas wawasannya pada saat diskusi berlangsung; timbulnya konflik kognitif sehingga mereka melakukan strategi berdiskusi untuk memperoleh informasi sesama temannya dan guru serta mencoba untuk menjelaskan temuannya kepada teman-temannya di kelas.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, analisis data, temuan dan pembahsan tentang kemampuan pemahaman konsep dan berpikir kreatif matematis siswa yang belajar dengan pembelajaran konflik kognitif, diperoleh kesimpulan sebagai berikut: (1) Kemampuan berpikir kreatif matematis siswa unggul dan siswa asor sebelum pembelajaran dimulai pada kelas ekperimen dan kelas kontrol tidak berbeda signifikan. Setelah pembelajaran diterapkan yaitu pembelajaran konflik kognitif pada kelas eksperimen dan pembelajaran konvensional pada kelas kontrol terdapat perbedaan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa unggul dan siswa asor. Dimana nilai siswa pada kelas dengan pembelajaran konflik kognitif lebih baik daripada siswa dengan pembelajaran konvensional. (2) Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematis antara siswa yang belajar dengan pembelajaran konflik kognitif dan siswa yang belajar dengan pembelajaran konvensional. Peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa yang belajar
dengan pembelajaran konflik kognitif lebih baik daripada siswa yang belajar dengan pembelajaran konvensional diukur dari kemampuan awal siswa (untuk kelompok unggul)
Daftar Pustaka
Creswell, John W. (2010). Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Jogjakarta: Pustaka Pelajar. Fisher, R. (1995). Thinking Children to
Think, Cheltenham, United Kingdom: Stanley Thornes Ltd. Ibrahim.(2011) peningkatan
kemampuan komunikasi, penalaran dan pemecahan masalah matematis serta kecerdasan emosional melalui pembelajaran
bermasis-masalah pada siswa sekolah menengah atas. Disertsai UPI: Tidak diterbitkan.
Ismaimuza, D. (2010). Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Matematis Siswa SMP melalui Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Strategi Konflik Kognitif. Disertasi pada PPS UPI: Tidak diterbitkan. Kwon J, dan Lee,G. What do we know
about students’ cognitive conflict in science classroom: a theoretical model of cognitive conflict process. Diakses dari http:/www.ed.psu.edu/C1/Jour nals/2001.
Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.
17
ISSN. 2443-1435
Volume 1, Nomor 1, April 2015
Tall, D dan Bakar, M (2000).Student'sMental Prototype for Function and Graph. Tersedia: http://www.warwick.ac.uk/ Wahyudin.(1991). Kemampuan Guru
Matematika, Calon Guru Matematika, dan Siswa dalam Mata Pelajaran
Matematika.Disertasi. Program Pasca Sarjana UPI. Bandung: tidak dipublikasikan.
Wahyudin, (2012).Filsafat dan Model-Model pembelajaran matematika. Bandung: Mandiri.
18
ISSN. 2443-1435
Volume 1, Nomor 1, April 2015
PEMBELAJARAN KOLABORATIF MELALUI STRATEGI WRITING
FROM A PROMPT DAN WRITING IN PERFORMANCE TASKS
DALAM UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN MENULIS
MATEMATIS SISWA SMP
Ratu MauladaniyatiRatu_cintaxes@yahoo.com
Dosen Prodi Pendidikan Matematika FKIP Universitas Mathla’ul Anwar
ABSTRAK
Matematika merupakan mata pelajaran yang sangat penting untuk dipelajari oleh siswa. Tetapi, pada kenyataannya masih banyak siswa yang hasil belajar matematikanya rendah. Salah satu penyebabnya adalah lemahnya kemampuan mengkomunikasikan ide-ide/ gagasan secara tertulis pada saat diberikan soal-soal uraian yang jawabannya harus dijelaskan secara sistematis. Hal itu disebabkan oleh kemampuan menulis matematis siswa yang merupakan bagian dari aspek komunikasi belum dikembangkan secara optimal. Salah satu alternatif pembelajaran yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan menulis matematis siswa adalah dengan pembelajaran kolaboratif melalui strategi Writing from A Prompt
(WfAP)dan strategi Writing in Performance Tasks (WiPT). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pembelajaran kolaboratif melalui strategi WfAP dan strategi WiPT terhadap peningkatan kemampuan menulis matematis siswa SMP.Menurut metodenya, penelitian ini merupakan penelitian eksperimen. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan uji ANOVA satu jalur dan uji Scheffe. Berdasarkan analisis data hasil penelitian, diperoleh kesimpulan bahwa ada perbedaan kemampuan menulis matematis siswa yang memperoleh pembelajaran kolaboratif melalui strategi WfAP, pembelajaran kolaboratif melalui strategi WiPT, dan pembelajaran konvensional.Kemampuan menulis matematis siswa yang memperoleh pembelajaran kolaboratif melalui strategi WfAP dan pembelajaran kolaboratif melalui strategi WiPT lebih baik dari pembelajaran konvensional.
Kata Kunci : Pembelajaran Kolaboratif, Strategi Writing from A Prompt, Strategi
Writing in Performance Tasks, Kemampuan Menulis Matematis.
ABSTRACT
Mathematics is very important lesson to learn by students. But, in the reality most of the students are get low result in mathematics. One of the problem is the weakness of the skill to communicate the ideas systematically. It caused by the mathematical writing skill students and it is part of communication aspect that has not developed yet optimally. One of teaching alternative it can be used to increase the mathematical writing skill students is teaching collaborative through Writing from A Prompt (WfAP) strategy and Writing in Performance Tasks (WiPT) strategy. The purpose of this research is to know the influence of collaborative teaching through WfAP strategy and through WiPT strategy to the increase of mathematical writing skill at junior high school students. This method use experiment research and the data analysis of this research use test one way ANOVA and test Scheffe. Based on the data analysis it can be conclude that there are the differences between the mathematical writing skill students who get collaborative teaching through WfAPstrategy, collaborative teaching through WiPTstrategy, and convensional teaching. The mathematical writing skill students who get collaborative teaching
19
ISSN. 2443-1435
Volume 1, Nomor 1, April 2015
through WfAPstrategy and collaborative teaching through WiPTstrategy better than convensional teachingKey word : Collaborative Teaching, Writing from A Prompt Strategy, Writing in Performance TasksStrategy, The Mathematical Writing Skill.
Pendahuluan
Komunikasi matematis
merupakan salah satu bahan kajian dalam pengembangan kurikulum matematika.Di dalam kurikulum matematika disebutkan bahwa kemahiran matematika mencakup kemampuan penalaran, komunikasi, pembacaan masalah, koneksi dan memiliki sikap menghargai kegunaan matematika (dalam Depdiknas, 2004).
Dari hasil wawancara dengan beberapa guru matematika, ada beberapa faktor yang membuat matematika sulit untuk dipelajari siswa, diantaranya yaitu kesulitan mengkomunikasikan ide-ide/ gagasan secara tertulis pada saat diberikan soal-soal uraian yang jawabannya
harus dijelaskan secara
sistematis.Kebanyakan siswa menjawab soal uraian tersebut dengan jawaban yang benar tetapi mereka
tidak menjelaskan secara
detail.Mereka hanya menulis angka-angka lalu dioperasikan, tidak mengetahui alasan pengoperasian angka-angka tersebut. Jawaban yang muncul ketika ditanya hal tersebut adalah mereka dapat itu dari cara yang diberikan bimbingan belajar atau dari guru lesnya.
Oleh karena itu, salah satu aspek dalam kegiatan komunikasi yang dirasa penting untuk ditingkatkan
yaitu kemampuan menulis
matematis.Karena siswa umumnya
merasa kesulitan dalam
mengkomunikasikan ide-ide/ gagasannya secara tertulis yang dituangkan pada lembar jawaban.
Kemampuan menulis tersebut merupakan bagian dari aspek komunikasi yang dikemukakan oleh Baroody (1993) yang menyatakan bahwa ada lima aspek dalam kegiatan komunikasi matematis, yaitu (a)
representing, (b) listening, (c)
reading, (d) discussing dan (e)
writing.
Aspek yang kelima dari komunikasi adalah menulis (writing). Menurut Lado, Menulis merupakan suatu bentuk ekspresi berbahasa dalam bentuk simbol-simbol grafis yang menyatakan pemahaman suatu bahasa sedemikian hingga orang lain dapat membaca simbol-simbol grafis sebagai penyajian satuan-satuan ekspresi berbahasa (dalam Ahmadi, 1990).
Trianto (2002) menyatakan bahwa membelajarkan menulis sangat penting, karena mengkomunikasikan gagasan secara tertulis itu merupakan kegiatan yang sulit bagi banyak orang. Karena itu pembelajaran menulis seyogyanya tidak dipandang hanya sebagai bagian dari mata pelajaran bahasa, tetapi merupakan kegiatan dalam mata pelajaran lain termasuk mata pelajaran matematika (UNNES,
2003). Kemampuan menulis
matematis sebagai bagian dari aspek komunikasi matematis belum dikembangkan secara optimal, khususnya pada siswa Sekolah Menengah Pertama.
Kenyataan di lapangan ditemukan bahwa kemampuan menulis matematis siswa SMP masih rendah.Ini terbukti dengan pemberian
20
ISSN. 2443-1435
Volume 1, Nomor 1, April 2015
beberapa soal kepada sekelompoksiswa, hasilnya mereka pada umumnya dalam menjawab pertanyaan kurang dapat menulis matematis dengan baik.Siswa hanya diajarkan untuk menjawab soal dengan menulis diketahui, ditanyakan, dan jawab.Mereka hanya menuliskan rumus tanpa menjelaskan dari mana rumus diperoleh.Alasan setiap langkah-langkah dalam pengerjaan soal pun tidak disertakan, selain itu siswa juga jarang menggambarkan atau mengubah persoalan kedalam
bahasa matematis.Hal ini
memperlihatkan bahwa kemampuan menulis siswa di SMP dalam pembelajaran matematika masih harus ditingkatkan dan dikembangkan.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah, maka rumusan masalah penelitian adalah: apakah ada perbedaan kemampuan menulis matematis siswa yang memperoleh pembelajaran kolaboratif melalui strategi writing from a prompt,
pembelajaran kolaboratif melalui strategi writing in performance tasks
dan pembelajaran konvensional?
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menelaah apakah kemampuan menulis matematis siswa yang memperoleh pembelajaran kolaboratif melalui strategi writing from a prompt dan
pembelajaran kolaboratif melalui strategi writing in performance tasks
lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran yang menggunakan pendekatan konvensional.Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai suatu strategi pembelajaran alternatif dalam pembelajaran matematika yang dapat meningkatkan kemampuan menulis matematis siswa.
Metode Penelitian
Dalam penelitian ini metode yang
digunakan adalah metode
eksperimen.Disain yang digunakan adalah disain kelompok kontrol pretes-postes.
Penelitian ini dibagi dalam dua tahap, yaitu tahap persiapan dan tahap pelaksanaan (eksperimen).
Hasil Penelitian Dan Pembahasan
Setelah diketahui sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal dan homogen, tahap selanjutnya adalah menerapkan strategi pembelajaran kolaboratif melalui strategi writing from a prompt, pembelajaran kolaboratif melalui strategi writing in performance task, dan pembelajaran konvensional. Dari hasil pengolahan data postes untuk masing-masing kelas diperoleh rerata hasil pretes kemampuan menulis matematis, seperti pada Tabel 1 berikut ini.
21
ISSN. 2443-1435
Volume 1, Nomor 1, April 2015
Tabel 1Rerata Hasil Postes Kemampuan Menulis Matematis
Pembelajaran Rerata Std. Deviasi
Postes Kolaboratif strategi WfAP 38,19 4,107
Kolaboratif strategi WiPT 37,56 3,826
Konvensional 32,28 4,066
Skor Ideal : 48
Dari data tersebut terlihat bahwa ada perbedaan rerata antara, yang kemudian harus diuji secara statistik. Adapun langkah-langkah pengujiannya sebagai berikut.
1) Uji Normalitas dan Homogenitas Dengan hipotesis yang digunakan
sebagai berikut:
H0 : Sampel berasal dari populasi data skor postes kemampuan menulis
matematis yang
berdistribusi normal
H1 : Sampel berasal dari populasi data skor postes
kemampuan menulis
matematis yang
berdistribusi tidak normal
Dengan menggunakan taraf signifikan α = 0,05, kriteria pengujiannya adalah terima H0 jika nilai Sig. (signifikansi) > 0,05, dan tolak H0 jika nilai Sig. (signifikansi) < 0,05.
Pengujian hipotesis tersebut dilakukan dengan menggunakan uji
Shapiro-Wilk, dengan taraf signifikansi 0,05. Berikut hasil uji normalitas dari ketiga sampel:
Tabel 2
Hasil Uji Normalitas Postes Kemampuan Menulis Matematis
Shapiro-Wilk Pembelajaran Statistic Df Sig.
skor postes
Kolaboratif WfAP .967 32 .412 Kolaboratif WiPT .951 32 .155
22
ISSN. 2443-1435
Volume 1, Nomor 1, April 2015
Berdasarkan Tabel di atas,diperoleh nilai signifikansi untuk pembelajaran kolaboratif melalui strategi WfAP, pembelajaran kolaboratif melalui strategi WiPT dan pembelajaran konvensional masing-masing lebih dari 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa sampel tersebut berasal dari populasi yang berdistribusi norma.
Pasangan hipotesis yang digunakan adalah:
H0 : = =
H1 : , untuk
suatu i = 1,2,3 j= 1,2,3, i j H0 : Ketiga varians data skor
postes kemampuan menulis matematis sama
H1 : Terdapat paling sedikit satu varians data skor postes kemampuan menulis matematis yang berbeda
Pengujian hipotesis tersebut dilakukan dengan menggunakan uji Levene, dengan taraf signifikansi 0,05. Berikut hasil uji homogenitas dari ketiga sampel:
Berdasarkan Tabel di atas, diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,804. Nilai signifikansi tersebut lebih besar dari 0,05 maka H0 diterima. Dengan demikian ketiga kelompok
tersebut memiliki variansi yang sama ditinjau dari aspek kemampuan menulis matematis.
2) Uji ANOVA Satu Jalur Pasangan hipotesis ANOVA satu jalur tes kemampuan menulis matematis adalah sebagai berikut:
H0 : = =
H1 : untuk suatu i
= 1,2,3 j= 1,2,3, i j
H0 : Tidak terdapat perbedaan rerata data skor postes kemampuan menulis matematis siswa
yang memperoleh pembelajaran kolaboratif melalui strategi WfAP, pembelajaran kolaboratif melalui strategi WiPT, dan pembelajaran
konvensional.
H1 : Terdapat paling sedikit satu rerata data skor postes kemampuan menulis matematis siswa
yang memperoleh pembelajaran kolaboratif melalui strategi WfAP, pembelajaran kolaboratif melalui strategi WiPT, dan pembelajaran
konvensional yang berbeda
Hasil perhitungannya disajikan pada Tabel 4 berikut ini:
23
ISSN. 2443-1435
Volume 1, Nomor 1, April 2015
Tabel 4Hasil ANOVA Satu Jalur Postes Kemampuan Menulis Matematis
Sum
of Squares Df Mean Square F Sig.
skor postes
Between Groups 673.771 336.8852 21.038 000
Within Groups 1489.219 3 16.013
Total 2162.990 5
Berdasarkan Tabel di atas, menunjukan bahwa hasil uji ANOVA satu jalur terhadap rerata postes kemampuan menulis matematis untuk ketiga kelas (strategi pembelajaran) memiliki nilai signifikan 0,000.Nilai signifikansi tersebut lebih kecil dari taraf signifikansi 0,05, sehingga H0 ditolak. Ini berarti bahwa terdapat perbedaan
rerata data skor postes kemampuan menulis matematis siswa yang memperoleh pembelajaran kolaboratif melalui strategi WfAP, pembelajaran kolaboratif melalui strategi WiPT, dan pembelajaran konvensional.
Untuk mengetahui kelas mana yang berbeda kemampuan menulis matematis, maka dilakukan tiga kali uji Scheffe
Tabel 5
Hasil Uji Scheffetentang Perbedaan Rerata Postes Kemampuan Menulis Matematis
Dependen t Variable (I) Pembelajaran (J) Pembelajaran Mean Difference (I-J) Std. Error Sig. skor postes
Kolaboratif WfAP Kolaboratif WiPT .625 1.000 .823 Konvensional Kolaboratif WfAP -5.906* 1.000 .000
Kolaboratif WiPT Konvensional 5.281* 1.000 .000
Pembahasan
Dari hasil uji Scheffe, ternyata nilai signifikansi untuk kemampuan menulis matematis siswa yang memperoleh pembelajaran kolaboratif melalui strategi WfAP dengan siswa yang memperoleh pembelajaran secara
konvensional sebesar 0,000. Ini berarti terdapat perbedaan kemampuan menulis matematis yang signifikan antara siswa yang memperoleh pembelajaran kolaboratif melalui strategi WfAP dengan siswa yang memperoleh pembelajaran secara konvensional. Bila dilihat dari rerata
24
ISSN. 2443-1435
Volume 1, Nomor 1, April 2015
postes kemampuan menulis matematispada Tabel 1, dapat disimpulkan bahwa kemampuan menulis matematis siswa yang memperoleh pembelajaran kolaboratif melalui strategi WfAP lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran secara konvensional.
Pembelajaran kolaboratif melalui strategi WfAP telah dapat membantu siswa dalam mengembangkan kemampuan menulis matematis. Prompt diberikan pada pembelajaran membantu siswa dalam menyelesaikan tugas-tugas matematis. Prompt juga berguna dalam memberikan arahan siswa dalam menyelesaikan soal-soal matematis atau dalam memahami konsep matematis serta membimbing siswa dalam kegiatan menulis.
Prompt ternyata cukup efektif dalam menggali pengetahuan siswa dan menanamkan konsep matematika. Misalnya prompt berupa lembar kerja melengkapi tulisan dan gambar ternyata dapat mendorong siswa dalam
memahami konsep-konsep
matematika.
Kemampuan menulis teks (written texts) dalam penelitian ini tampak pada siswa dalam menulis pembuatan kesimpulan. Prompt
merupakan kerangka tulisan sangat membantu siswa dalam membuat kesimpulan atau rangkuman. Dengan
prompt kerangka tulisan ini, kinerja siswa dalam membuat rangkuman pembelajaran matematika menjadi terstruktur dan sistematis.
Kemampuan menulis matematis dalam penelitian ini meningkat dengan
bantuan prompt pada saat
menyelesaikan soal-soal cerita. Tahap-tahap penyelesaian soal cerita dengan kerangka tulisan memudahkan siswa dalam menjawab soal-soal. Siswa terbimbing dan terarah dalam mencari
apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan dari soal yang diberikan.
Dalam pelaksanaan penelitian ini, tugas-tugas matematis selalu diiringi
prompt. Tugas-tugas dalam penelitian ini meliputi: (a) tugas yang telah dilengkapi dengan prompt, seperti memahami konsep dengan melengkapi tulisan, menulis kesimpulan atau rangkuman dengan kerangka tulisan, melengkapi tabel maupun gambar; (b) tugas-tugas yang berupa soal-soal matematika, bentuk soal dapat berbentuk soal rutin maupun non rutin. Bentuk-bentuk tugas ini diberikan secara bergantian dan bervariasi. Tugas-tugas tersebut dalam penelitian ini sebagian besar diselesaikan di kelas, hanya beberapa tugas yang dirancang sebagai tugas rumah.
Melalui pembelajaran kolaboratif dengan strategi WfAP dalam penelitian ini, ternyata secara bertahap siswa terbiasa dalam menuliskan kembali konsep matematis dalam bahasa sendiri, membuat contoh-contoh sendiri melalui gambar, dan pada setiap akhir pembelajaran siswa tidak mengalami kesulitan dalam menuliskan rangkuman pembelajaran. Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat Shield dan Swinson (1996), yang menyatakan bahwa menulis matematis membantu merealisasikan tujuan pembelajaran matematika, yaitu pemahaman tentang materi yang dipelajari.Tujuan pembelajaran yang ditulis dalam hal ini diwujudkan secara tertulis dalam rangkuman. Hasil penelitian ini pun sejalan dengan pendapat Pajares (2002), yang menyatakan bahwa dengan menulis, tujuan yang didasarkan pada pendekatan kinerja akan memberikan dampak positif bagi kemandirian siswa
25
ISSN. 2443-1435
Volume 1, Nomor 1, April 2015
SMP. Tugas merangkum pembelajaranmerupakan tugas yang selalu diberikan
dikelas pada akhir-akhir
pembelajaran.Waktu yang diberikan dalam merangkum ini kurang lebih antara 10-15 menit.Tugas guru pada saat siswa membuat rangkuman dalam membimbing siswa (terlibat/bersama-sama) untuk mengembangkan kemampuan menulisnya.
Setelah pembelajaran
berlangsung, setiap kelompok memajang hasil kerja kelompoknya. Dengan ini siswa lain dapat melihat hasil kerja kelompok lain. Pada umumnya siswa kelompok lain ingin melihat hasil tulisan kelompok lain dan mendiskusikan pada saat pembelajaran selesai. Kegiatan pemajangan hasil kerja kelompok ini dinilai cukup efektif untuk saling berbagi pengetahuan kepada siswa tentang pembelajaran yang baru saja dilaksanakan.
Beberapa kekurangan dalam pembelajaran kolaboratif melalui strategi WfAP ini antara lain
kemampuan siswa dalam
menyelesaikan tugas dan prompt tidak bersamaan, pembelajaran didominasi oleh siswa pandai, adanya kesenjangan antara siswa yang pandai dengan siswa yang kurang dalam menyelesaikan tugas, siswa cemas dengan pemberian tugas-tugas dan prompt yang kurang optimal bagi siswa yang kurang pandai.
Tasks yang diberikan pada awal pembelajaran merangsang siswa untuk
mengungkapkan ide-ide
matematisnya.Tasks ini juga berguna dalam memberikan arahan siswa dalam menyelesaikan soal-soal matematis
atau dan menuntuk untuk
mengembangkan kemampuan menulis siswa.
Dengan menulis melalui
performancetasks ini peran guru bukan lagi sebagai satu-satunya
sumber belajar, tetapi guru tampil sebagai fasilitator dan organisator. Guru memfasilitasi siswa belajar dan mengatur bagaimana siswa belajar.
Dampak dari pemberian tasks
dalam penelitian ini adalah siswa tidak merasa terbebani dalam menulis, lebih mudah mengingat kembali materi pembelajaran yang diperoleh dan menguatkan ingatan siswa. Melalui menulis, otak (jaringan mental) siswa bekerja, gerakan fisik seperti tangan dan mata bekerja, lisan (diskusi) merupakan faktor yang menentukan dalam proses internalisasi pengetahuan siswa.
Melalui kegiatan menulis dalam penelitian ini, guru juga memperoleh informasi yang nyata terhadap kesalahan-kesalahan. Dibuat oleh siswa dalam memahami konsep, kesalahan dalam menyimpulkan hasil belajar, kekuranglengkapan dalam menulis kesimpulan, dan kesalahan membuat gambar.Hasil penelitian ini sejalan dengan pernyataan Masingila dan Winiowska (1996), bahwa aktivitas menulis bagi guru dapat digunakan untuk memantau/memonitoring kesalahan siswa, miskonsepsi siswa terhadap konsep-konsep matematis, dan menulis sebagai wujud nyata dari presentasi siswa.
Dalam kegiatan diskusi kelompok pada saat penerapan pembelajaran kolaboratif melalui strategi WiPT ada beberapa kelemahan yang kurang dapat diatasi oleh guru antara lain kesulitan dalam mengendalikan siswa dalam belajar kelompok, siswa yang sudah selesai mengerjakan kadang mengganggu siswa lain dan siswa berpindah-pindah ke kelompok lain. Selain itu, dalam pembelajaran kolaboratif kerja guru cukup berat dalam memfasilitasi dan membimbing kerja siswa untuk menyelesaikan bahan
26
ISSN. 2443-1435
Volume 1, Nomor 1, April 2015
ajar yang diberikan. Guru harusterampil dan cekatan selama pembelajaran berlangsung, sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai.
Proses pembelajaran dalam penelitian ini, dibuktikan hasil belajar matematika siswa SMP yakni kemampuan menulis dan pemahaman matematika siswa SMP yang memperoleh pembelajaran kolaboratif melalui strategi WiPT lebih baik daripada siswa SMP yang belajar matematika secara konvensional.
Peningkatan kemampuan menulis matematis, untuk kegiatan pembelajaran khususnya dengan pokok bahasan bangun ruang sisi datar untuk siswa SMP yang memperoleh pembelajaran kolaboratif melalui strategi WfAP dan strategi WiPT.Adapun untuk peningkatan kedua strategi tersebut secara konsisten tidak berbeda secara signifikan untuk siswa SMP.Karena dari hasil uji Scheffe, nilai signifikansi untuk kemampuan menulis matematis siswa yang memperoleh pembelajaran kolaboratif melalui strategi WfAP dengan siswa yang memperoleh pembelajaran kolaboratif melalui strategi WiPT sebesar 0,823. Ini berarti tidak terdapat perbedaan kemampuan menulis matematis yang signifikan antara siswa yang memperoleh pembelajaran kolaboratif melalui strategi WfAP dengan siswa yang memperoleh pembelajaran kolaboratif melalui strategi WiPT.
Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan hasil analisis data dan pengujian hipotesis, maka dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan kemampuan menulis matematis siswa yang memperoleh pembelajaran kolaboratif melalui strategi writing from a prompt,pembelajaran
kolaboratif melalui strategi writing in performance tasks dan pembelajaran konvensional.
Adapun saran-sarannya,antara lain yaitupada setiap proses belajar mengajar matematika yang dilakukan, harus diupayakan agar dapat mengakomodasi potensi kemampuan menulis siswa. Hal ini dapat terwujud apabila semua fasilitas pembelajaran terutama menyangkut model dan bentuk bahan ajar/ tugas yang diterapkan dalam pembelajaran matematika dapat dirancang
sedemikian rupa sehingga
mencerminkan keterlibatan siswa dalam mengembangkan kemampuan menulis matematisnya.Untuk peneliti selanjutnya, perlu juga dilakukan penelitian mengenai pengaruh pembelajaran kolaboratifmelalui strategiwriting from a prompt dan strategi writing in performance tasks
terhadap aspek komunikasi dan kemampuan matematika yang lain.
Daftar Pustaka
Baroody, A. J. (1993). Problem Solving, Reasoning and Communicating. New York: Macmillan Publising.
Depdiknas (2004). Kurikulum 2004 Mata Pelajaran Matematika SD. Jakarta: Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama. Masingila, J. O. dan Wisniowska, E. P.
(1996). Developing and Assessing Mathematical Understanding in Calculus through Writing. Years Book 1996. Portio dan Kennye, Margaret. Communication in Mathematics K-12 and Beyond. Reston, V.A : NCTM.