• Tidak ada hasil yang ditemukan

MEI HANA ROSITA DEVI BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "MEI HANA ROSITA DEVI BAB II"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Penelitian Sejenis yang Relevan

Penelitian sejenis tentang alih kode dan campur kode dalam kegiatan belajar mengajar sudah pernah dilakukan pada tahun 2008. Penelitian tersebut berjudul “Alih Kode dan Campur Kode dalam Kegiatan Belajar Mengajar di SMP Negeri 2 Kalibagor Kecamatan Kalibagor Kabupaten Banyumas Tahun Pelajaran 2008-2009” oleh Abdul Rokhman mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Penelitian tersebut bertujuan untuk mendeskripsikan macam alih kode dan campur kode yang terdapat pada tuturan guru (bahasa Indonesia dan Matematika), kemudian mendeskripsikan faktor penyebab terjadinya alih kode dan campur kode bahasa Indonesia ke bahasa Jawa, serta mendeskripsikan tingkat tutur dalam proses belajar mengajar siswa kelas VII SMP Negeri 2 Kalibagor, Kecamatan Kalibagor, Kabupaten Banyumas.

Penelitian Abdul Rokhman termasuk ke dalam jenis penelitian deskriptif kualitatif dengan menggunakan tiga tahap yang berurutan yaitu: (1) tahap penyedia- an data; (2) tahap analisis data; (3) tahap penyajian hasil analisis data. Dalam

(2)

Dari hasil analisis data ditemukan adanya jenis kode dalam alih kode yang berupa bahasa, dialek dan ragam bahasa, serta macam alih kode yang berupa alih kode sementara dan alih kode permanen. Faktor penyebab alih kode dalam penelitian tersebut diantaranya disebabkan karena ketidakmampuan menguasai kode, pengaruh situasi bicara, pengaruh keinginan untuk menyesuaikan diri dengan kode yang dikuasai lawan bicara, pengaruh maksud-maksud tertentu, serta adanya keinginan untuk mendidik lawan bicara. Sementara untuk jenis kode dalam campur kode yang ditemukan yaitu berupa dialek dan ragam bahasa. Macam campur kode yang ditemukan berupa penyisipan unsur berupa kata, penyisipan unsur berupa frasa, penyisipan unsur berupa ungkapan atau idiom, serta penyisipan unsur berupa klausa. Kemudian faktor-faktor penyebabnya dikarenakan adanya identifikasi peranan, identifikasi ragam dan keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan.

Berdasarkan penjabaran tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa penelitian yang peneliti lakukan berbeda dengan penelitian yang dilakukan Abdul Rokhman. Adapun perbedaannya terletak pada data dan sumber data. Data dalam penelitian Abdul Rokhman berupa tuturan guru pada mata pelajaran bahasa Indonesia dan Matematika yang mengandung alih kode dan campur kode yang meliputi bahasa, dialek dan ragam bahasa di SMP Negeri 2 Kalibagor pada saat kegiatan belajar mengajar berlangsung di kelas VII, sedangkan data yang peneliti gunakan berupa tuturan guru dan siswa ketika kegiatan belajar mengajar berlangsung pada mata pelajaran Tata Guna Lahan (kelas X) dan Bahasa Indonesia (kelas XI dan XII) di SMK Negeri 1 Kalibagor, yang terletak di Jalan Raya Purwokerto-Banyumas KM 12, Kecamatan Kalibagor, Kabupaten Banyumas.

(3)

dan Matematika di SMP Negeri 2 Kalibagor pada saat kegiatan belajar mengajar berlangsung di kelas VII, sedangkan sumber data yang peneliti gunakan adalah penutur yang terdiri dari guru dan siswa pada mata pelajaran Tata Guna Lahan (kelas X) dan Bahasa Indonesia (kelas XI dan XII) ketika kegiatan belajar mengajar berlangsung di SMK Negeri 1 Kalibagor, yang terletak di Jalan Raya Purwokerto - Banyumas KM 12, Kecamatan Kalibagor, Kabupaten Banyumas.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penelitian yang peneliti lakukan berbeda dengan penelitian Abdul Rokhman. Untuk itu peneliti beranggapan bahwa penelitian “Alih Kode dan Campur Kode dalam Kegiatan Belajar Mengajar di SMK Negeri 1 Kalibagor Kecamatan Kalibagor Kabupaten Banyumas” perlu dilakukan karena berbeda dengan penelitian sebelumnya. Untuk hasil penelitian yang menjelaskan permasalahan di atas, peneliti menjelaskannya dalam bab hasil penelitian dan pembahasan.

B. Bahasa

1. Definisi Bahasa

Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang dipergunakan oleh masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri (Kridalaksana, 2008: 24). Sementara pendapat lain mengatakan bahwa bahasa adalah alat untuk berinteraksi atau alat untuk berkomunikasi, dalam arti, alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep, atau juga perasaan (Chaer dan Leonie Agustina, 2004: 14)

(4)

dipakainya untuk membentuk pikiran, perasaan, keinginan dan perbuatan-perbuatannya, serta sebagai alat untuk mempengaruhi dan dipengaruhi. Tanpa bahasa, manusia akan lumpuh dalam komunikasi maupun berinteraksi antar individu maupun kelompok. Dengan demikian, manusia tidak dapat terlepas dari bahasa karena bahasa sangatlah penting perananannya dalam berbagai bidang kehidupan. Dengan adanya bahasa, manusia dapat saling mempengaruhi dan dipengaruhi agar tujuan yang ia inginkan tercapai. Melalui bahasa, keinginan dan gagasan yang ada dalam pikirannya dapat tersampaikan.

Bloomfield (dalam Sumarsono, 2012: 18) berpendapat bahwa bahasa adalah sistem lambang berupa bunyi yang bersifat sewenang-wenang (arbitrer) yang dipakai oleh anggota-anggota masyarakat untuk saling berhubungan dan berinteraksi. Karena merupakan suatu sistem, bahasa itu mempunyai aturan-aturan yang saling bergantung, dan mengandung struktur-struktur unsur yang bisa dianalisis secara terpisah-terpisah. Orang berbahasa mengeluarkan bunyi-bunyi secara berurutan membentuk suatu unsur tertentu. Bunyi-bunyi itu merupakan lambang, yaitu yang melambangkan makna yang bersembunyi di balik bunyi itu. Pengertian sederetan bunyi itu melambangkan suatu makna bergantung pada kesepakatan atau konvensi anggota masyarakat pemakainya. Hubungan antara bunyi dan makna itu tidak ada aturannya, jadi sewenang-wenang. Tetapi, karena bahasa itu mempunyai sistem, tiap anggota masyarakat terikat pada aturan dalam sistem itu, yang sama-sama dipatuhi.

(5)

bungan interaksi antara manusia yang satu dengan yang lain. Tentunya dengan tujuan bertukar informasi maupun untuk menyampaikan ide dan gagasan yang berbeda-beda sehingga akan terbentuk sebuah masyarakat bahasa.

2. Fungsi Bahasa

Selain itu, perlu pula diketahui fungsi bahasa. Menurut Leech (dalam Aslinda dan Leni Syafyahya, 2010: 90) fungsi bahasa ada lima, yakni: (1) fungsi informasimal, (2) fungsi ekspresif, (3) fungsi direktif, (4) fungsi estetik, (5) fungsi fatis. Sementara Halliday (dalam Aslinda dan Leni Syafyahya, 2010: 91) merinci tujuh fungsi bahasa, yaitu fungsi interaksional, personal, regulatoris, instrumental, representasional, imajinatif, heuristis. Secara ringkas, uraian ketujuh fungsi itu adalah sebagai berikut;

a. Fungsi instrumental bertujuan untuk memanipulasi lingkungan penghasil kondisi tertentu sehingga menyebabkan suatu peristiwa terjadi. Singkatnya, bahasa digunakan untuk melakukan sesuatu. Orientasi fungsi ini bertumpu pada mitra tu tutur saja.

b. Fungsi regulatoris berfungsi sebagai pengawas atau pengatur peristiwa. Fungsi ini merupakan kontrol perilaku sosial.

c. Fungsi representasional berfungsi sebagai pembuat pertanyaan, penyampai fakta, penjelas atau pemberitahu kejadian nyata sebagaimana dilihat dan dialami orang. d. Fungsi interaksional adalah fungsi yang mengacu pada pembinaan

mempertahankan hubungan sosial antarpenutur dengan menjaga kelangsungan e. komunikasi. Orientasi fungsi ini terletak pada kedua pihak peserta tutur, yaitu

penutur dan mitra tutur.

(6)

rang. Orientasi fungsi terakhir ini tertuju pada penuturnya sendiri.

g. Fungsi heuristis disebut sebagai pemertanya yang berfungsi untuk memperoleh pengetahuan.

h. Fungsi imajinatif berfungsi sebagai pencipta sistem, gagasan, atau kisah imajinatif.

C. Hakikat Komunikasi

Menurut Kridalaksana (2008: 130) komunikasi adalah peristiwa penyampaian amanat dari sumber atau atau pengirim ke penerima melalui sebuah saluran. Tentunya dalam kegiatan sehari-hari manusia tidak pernah lepas dari sebuah peristiwa komunikasi. Chaer dan Leonie Agustina (2004: 17) mengemukakan ada tiga komponen penting dalam setiap proses komunikasi, yakni:

1. Pihak yang berkomunikasi, yakni pengirim dan penerima informasi yang dikomunikasikan yang lazim disebut partisipan.

2. Informasi yang dikomunikasikan

3. Alat yang digunakan dalam komunikasi itu.

Pihak yang terlibat dalam proses komunikasi tentunya ada dua orang atau dua kelompok orang, yaitu pertama yang mengirim (sender) informasi dan yang kedua yang menerima (receiver) informasi. Informasi yang disampaikan tentunya berupa suatu ide, gagasan, keterangan, atau pesan. Sedangkan alat yang digunakan adalah simbol/lambang seperti bahasa (karena hakikat bahasa adalah sebuah sistem lambang); berupa tanda-tanda, seperti rambu-rambu lalulintas, gambar, atau petunjuk dan dapat juga berupa gerak-gerik anggota badan (kinesik).

(7)

gagasan), alat komunikasi (berupa bahasa) dan pelaku komunikasi. Tanpa adanya pihak yang berkomunikasi, proses komunikasi tidak akan terjadi. Proses komunikasi tersebut tentunya terjadi di banyak bidang, khususnya dalam bidang pendidikan. Faktanya antara lain suatu kegiatan belajar mengajar tentunya tak lepas dari peristiwa komunikasi. Guru menggunakan media bahasa sebagai alat menyampaikan materi pelajaran kepada siswa. Di sini guru berperan sebagai informan (sender) dan murid berkedudukan sebagai penerima informasi (receiver).

Hymes (dalam Chaer dan Leonie Agustina, 2004: 49) mengemukakan bahwa dalam suatu peristiwa tutur (komunikasi) terdapat delapan komponen, yang bila huruf-huruf pertamanya dirangkaikan menjadi akronim SPEAKING, yaitu:

1. Setting and Scene yaitu unsur yang berkenaan dengan tempat dan waktu terjadinya percakapan. Umpamanya percakapan yang terjadi di kantin sekolah pada waktu istirahat tentu berbeda dengan yang terjadi di kelas ketika pelajaran sedang berlangsung, tentu berbeda pula dengan percakapan di rumah duka. 2. Participants, yakni orang-orang yang terlibat dalam percakapan. Umpamanya,

antara Ali murid kelas dua SMK dengan pak Ahmad gurunya. Percakapan antara Ali dan pak Ahmad ini berbeda kalau partisipannya bukan Ali dan pak Ahmad,

melainkan antara Ali dan Karin, teman sekelasnya.

3. Ends, yaitu maksud dan hasil percakapan. Misalnya seorang guru bertujuan menerangkan pelajaran bahasa Indonesia secara menarik tetapi hasil yang didapat adalah sebaliknya, murid-murid bosan karena mereka tidak berminat dengan pelajaran bahasa Indonesia.

(8)

dalam hati, “Mudah-mudahan lamaranku diterima dengan baik.” dan kalimat (b) Dia berkata dalam hati, mudah-mudahan lamarannya diterima dengan baik. Kalimat (a) merupakan bentuk percakapan, sedangkan kalimat (b) adalah contoh isi percakapan.

5. Key, yaitu komponen yang menunjuk pada cara atau semangat dalam

melakasanakan percakapan. Misalnya pelajaran linguistik dapat diberikan dengan cara yang santai, tetapi dapat juga dengan semangat yang menyala-nyala. 6. Instrumentalities, yaitu komponen yang berhubungan dengan jalur bahasa yang

digunakan, seperti jalur lisan, tertulis, melalui telegraf atau telepon.

7. Norms, yakni menyangkut dengan norma atau aturan dalam berinteraksi, tentang bagaimana cara membuka suatu komunikasi, bagaimana menjaga agar komunikasi tetap berlangsung, dan bagaimana menyelesaikan sebuah komunikasi.

8. Genres, yaitu komponen yang mengacu pada jenis bentuk penyampaian, seperti

narasi, puisi, pepatah, doa, dan sebagainya.

D. Kedwibahasaan (bilingualisme)

(9)

paling sedikit satu bahasa. Orang yang hanya menguasai satu bahasa disebut

monolingual. Orang yang menguasai dua bahasa disebut bilingual atau

dwibahasawan, sedangkan orang yang menguasai lebih dari dua bahasa disebut

multilingual.

Suwito (1995: 48) menyatakan bahwa istilah kedwibahasaan adalah istilah yang pengertiannya bersifat nisbi (relatif). Kenisbian demikian terjadi karena batas seseorang untuk dapat disebut dwibahasawan itu bersifat arbitrer dan hampir tidak dapat ditentukan secara pasti. Karena pandangan orang terhadap kedwibahasaan didasarkan kepada pandangannya terhadap batas kedwibahasaan seseorang maka pandangannya tentang kedwibahasaan juga berbeda-beda. Demikianlah maka pengertian tentang kedwibahasaan selalu berkembang, yang cenderung meluas. Maka dapat dikatakan bahwa kerelatifan tersebut sangatlah identik dengan kedwibahasaan menurut pandangan masing-masing individu.

Suhardi (2009: 41) menegaskan bahwa pada umumnya masalah kedwibahasaan timbul dari adanya pertemuan antara dua kelompok penutur bahasa (atau lebih) yang berbeda bahasa. Dalam masyarakat bahasa tentunya akan muncul anggota-anggota baru yang berbeda latar kebahasaannya. Kontak antara keduanya yang secara terus-menerus menghasilkan orang-orang yang dapat menguasai lebih dari satu bahasa. Dalam pergaulan yang semakin terbuka, makin sulit bahasa-bahasa yang ada di dunia ini untuk bertahan sendiri tanpa ada pengaruh dari luar. Kalau sudah demikian, jumlah penutur yang menguasai dua bahasa atau lebih (dalam taraf apa pun) makin bertambah.

(10)

hampir sama baiknya. Secara teknik pendapat ini mengacu pada pengetahuan dua bahasa oleh seseorang bagaimanapun tingkatnya. Pengetahuan atau pun kemampuan seseorang dalam menggunakan dua bahasa sangat tergantung pada adanya kesempatan untuk menggunakan kedua bahasa itu. Jika kesempatannya banyak maka kemampuannya bertambah baik, jika kesempatannya sedikit maka kemampuannya itu pun akan berkurang. Kemampuan terhadap dua bahasa akan memudahkan seseorang untuk secara bergantian menggunakan kedua bahasa itu.

Kedwibahasaan tersebut memunculkan beberapa peristiwa, diantaranya adalah alih kode dan campur kode. Hal tersebut dikarenakan adanya kontak bahasa dalam masyarakat yang bilingual maupun multilingual. Peristiwa alih kode dan campur kode tentunya memiliki gejala yang sama yaitu adanya unsur bahasa lain dalam bahasa yang digunakan. Namun dapat dikatakan konsep masalahnya tidak sama. Untuk mengetahui lebih mendalam, kedua peristiwa tersebut lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut.

1. Alih Kode

a. Pengertian Alih Kode

(11)

kode A (misalnya bahasa Indonesia), kemudian beralih menggunakan kode B (misalnya bahasa Jawa), maka peristiwa peralihan pemakaian bahasa seperti itu disebut alih kode (code switching) (Suwito, 1995: 80).

Chaer (2007: 67) menyatakan bahwa dalam masyarakat yang bilingual maupun yang multilingual seringkali terjadi peristiwa yang disebut alih kode, yaitu beralihnya penggunaan suatu kode (entah bahasa atau pun ragam bahasa tertentu) ke dalam kode lain (bahasa atau ragam bahasa lain). Umpamanya, ketika A dan B sedang bercakap-cakap dalam bahasa Indonesia , datanglah C yang tidak mengerti bahasa Indonesia tetapi dapat berbahasa Inggris (dan kebetulan A dan B juga dapat berbahasa Inggris), maka kemudian digunakanlah bahasa Inggris. Setelah C pamit, A dan B meneruskan kembali bercakap-cakap dalam bahasa Indonesia. Alih kode dapat terjadi karena sebab-sebab lain. Misalnya karena perubahan situasi, atau topik pembicaraan.

Suhardi (2009: 44) menyatakan bahwa peristiwa alih kode adalah peristiwa yang lazim terjadi dalam percakapan sehari-hari, khususnya kalau yang terlibat dalam percakapan itu adalah para dwibahasawan. Sementara Kridalaksana (2008: 9) menyatakan bahwa alih kode adalah penggunaan variasi bahasa lain atau bahasa lain untuk menyesuaikan diri dengan peran atau situasi lain, atau karena adanya partisipan lain. Terjadinya alih kode biasanya dikarekan faktor-faktor tertentu, misalnya untuk mengimbangi lawan bicara maupun karena hadirnya partisipan lain atau yang disebut dengan penutur ketiga.

Hymes (dalam Chaer dan Leoni Agustina, 2004: 107) berpendapat bahwa alih kode itu bukan hanya terjadi antarbahasa, tetapi dapat juga terjadi antara

(12)

desa berkomunikasi menggunakan ragam ngoko dengan tetangganya, tiba-tiba beralih ke ragam krama ketika bapak Kepala Desa hadir dan ikut dalam percakapan. Peristiwa itu merupakan alih kode yang terjadi antara ragam bahasa. Contoh lain, ketika seorang guru sedang berbincang-bincang dengan temannya di kantor membahas masalah pekerjaan ia menggunakan gaya bahasa formal, tetapi ketika sudah masuk dalam perbincangan masalah rumah tangga ia beralih ke bahasa nonformal (bahasa Jawa).

Labov (dalam Purwoko, 2008: 121) menyatakan bahwa setiap kode komunikasi tentu bersifat sistematis (systematic) dan punya aturan tersendiri (rule-governed). Oleh sebab itu, dalam interaksi santun sehari-hari para penutur bahasa

Jawa tidak bisa hanya mengandalkan tanda hormat yang terdapat dalam kode krama apalagi ketika mereka harus berkomunikasi dalam kode ngoko secara efektif. Salah satu tindakan alternatif untuk memanifestasikan niat santun mereka adalah melakukan alih kode (code switching). Alih kode di sini maksudnya adalah penggunaan dua atau lebih kode (atau bahasa) dalam suatu peristiwa interaksi. Misalnya, seorang penutur bahasa Jawa yang sedang menggunakan kode ngoko tiba-tiba berpindah menggunakan kode krama ketika ingin menghormati atau sebaliknya secara ironis mengejek lawan bicaranya. Atau seorang berbicara dalam bahasa Jawa tiba-tiba berganti bahasa Indonesia sewaktu menjelaskan soal-soal teknologi yang rumit karena bahasa Indonesia adalah bahasa yang biasa dipakai untuk mempelajari dan mengajarkan teknologi itu di sekolah formal.

(13)

peristiwa penggunaan dua atau lebih kode (atau bahasa) dalam suatu peristiwa interaksi yang lazim terjadi dalam percakapan sehari-hari, khususnya kalau yang terlibat dalam percakapan itu adalah para dwibahasawan.

b. Macam-macam Alih Kode

Menurut Hymes (dalam Rahardi, 2001: 20) alih kode dibedakan menjadi dua macam, yaitu alih kode intern (internal code switching) dan alih kode ekstern (eksternal code switching). Untuk lebih memahami, keduanya lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut.

1) Alih Kode Intern (internal code switching) adalah alih kode yang terjadi antarbahasa daerah dalam suatu bahasa nasional, antardialek dalam satu bahasa daerah, atau antara beberapa ragam dan gaya yang terdapat dalam suatu dialek. Alih kode macam ini dapat berlangsung antara bahasa sendiri, seperti dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa, atau pun dari bahasa Jawa ke bahasa Indonesia.

2) Alih Kode Ekstern (eksternal code switching) adalah alih kode yang terjadi antarbahasa asli dengan bahasa asing. Bahasa asli tersebut bisa salah satu bahasa atau ragam yang ada dalam masyarakat tuturnya. Sebagai contoh terjadinya peralihan kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris. Bisa juga terjadi dari bahasa Indonesia ke bahasa Arab atau bahasa asing lainnya.

c. Wujud Alih Kode

Rahardi (2010 : 95) menyatakan ada beberapa macam wujud alih kode:

(14)

seorang warga desa berkomunikasi menggunakan ragam ngoko dengan tetangganya, tiba-tiba beralih ke ragam madya ketika bapak Kepala Desa hadir dan ikut dalam percakapan. Hal ini merupakan contoh dari alih kode yang berwujud alih tingkat tutur.

2) Alih kode yang berwujud alih bahasa, yaitu alih kode yang mencakup peralihan dari bahasa Jawa ke dalam bahasa Indonesia, bahasa Indonesia ke dalam bahasa Jawa. Selain itu bisa juga dari bahasa Jawa ke dalam bahasa asing, bahasa asing ke dalam bahasa Jawa, dan juga dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa asing, atau bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia. Misalnya seorang berbicara dalam bahasa Jawa tiba-tiba berganti bahasa Indonesia sewaktu menjelaskan soal-soal teknologi yang rumit.

d. Faktor-faktor Penyebab terjadinya Alih Kode

Menurut Aslinda dan Leni Syafyahya (2010: 85) ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya alih kode, yaitu: (a) siapa yang berbicara (b) dengan bahasa apa (c) kepada siapa (d) kapan (e) dengan tujuan apa. Sementara Fishman (dalam Chaer dan Leonie Agustina, 2004: 108) mengemukakan bahwa penyebab alih kode secara umum adalah: (a) pembicara atau penutur (b) pendengar atau lawan tutur (c) perubahan situasi dengan hadirnya orang ketiga (d) perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya (e) perubahan topik pembicaraan. Sedangkan menurut Suwito (1995: 85) ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya alih kode yaitu:

1) Penutur (orang pertama)

(15)

atasannya di kantor (dalam situasi resmi), seharusnya mereka berbahasa Indonesia. Namun kenyataannya tidaklah demikian. Apabila karena kedinasan atasannya menggunakan bahasa Indonesia, maka nampak usaha dari bawahannya untuk sedapat mungkin beralih kode dengan bahasa daerahnya. Usaha demikian dilakukan dengan maksud untuk mengubah situasi, yaitu dari situasi resmi ke tidak resmi. Dengan situasi tak resmi diharapkan masalah-masalah yang sedang dibicarakan akan lebih mudah dipecahkan. Tetapi apabila ajakan beralih kode tersebut tidak ditanggapi oleh atasannya, itu merupakan salah satu pertanda bahwa usaha pemecahan masalah mungkin tidak seperti yang diharapkan.

2) Lawan Tutur (mitra tutur)

Setiap penutur pada umumnya ingin mengimbangi bahasa yang dipergunakan oleh lawan tuturnya. Di dalam masyarakat multilingual itu berarti bahwa seorang penutur mungkin harus beralih kode sebanyak kali lawan tutur yang dihadapinya. Dalam hal ini lawan tutur dibedakan menjadi dua golongan yaitu (1) lawan tutur yang berlatar kebahasaan sama dengan penutur, dan (2) lawan tutur yang berlatar kebahasaan berlainan dengan penutur. Menghadapi lawan tutur golongan (1), alih kode mungkin berwujud alih varian (baik serional maupun sosial), alih ragam, alih gaya, atau alih register. Berhadapan dengan lawan tutur golongan (2) alih kode mungkin terjadi dari bahasa daerah ke bahasa daerah lain yang dikuasainya, dari bahasa daerah ke bahasa nasional atau mungkin pula dari keduanya ke bahasa asing tertentu.

3) Hadirnya Penutur Ketiga (orang ketiga)

(16)

berinteraksi dengan bahasa kelompok etniknya. Tetapi, apabila kemudian hadir orang ketiga dalam pembicaraan itu, dan orang itu berbeda latar kebahasaannya, biasanya dua orang yang pertama beralih kode ke bahasa yang dikuasai oleh ketiganya. Hal itu dilakukan untuk netralisasi situasi dan sekaligus menghormati orang ketiga tersebut. Jika bahasa kelompok etnik kedua penutur pertama tetap digunakan, padahal mereka tahu bahwa orang ketiga tidak tahu bahasa mereka, hal itu dianggap sebagai suatu perilaku yang kurang terpuji.

4) Pokok Pembicaraan (topik)

(17)

5) Untuk Membangkitkan Rasa Humor

Alih kode sering dimanfaatkan oleh guru, pemimipin rapat, atau pelawak untuk membangkitkan rasa humor. Bagi guru bangkitnya rasa humor sangat diperlukan untuk menyegarkan suasana yang dirasakan mulai lesu dan kurang bergairah (misalnya pada jam-jam pelajaran terakhir). Pemimpin rapat memerlukan rasa humor untuk menghadapi ketegangan yang mulai timbul dalam memecahkan masalah atau kelesuan karena telah cukup lama bertukar pikiran dan sebagainya. Sedangkan bagi pelawak sudah jelas fungsinya yaitu untuk membuat penonton merasa senang dan puas. Alih kode demikian mungkin berwujud alih varian, alih ragam atau alih gaya bicara.

6) Untuk Sekedar Bergengsi

Sebagian penutur ada yang beralih kode sekedar untuk bergengsi. Hal itu terjadi apabila baik faktor situasi, lawan bicara, topik, dan faktor-faktor situasional yang lain sebenarnya tidak mengharuskan dia untuk beralih kode. Atau dengan kata lain, baik fungsi kontekstual maupun situasi relevansialnya tidak mendukung peralihan kodenya. Oleh karena tidak didukung oleh faktor-faktor yang seharusnya mendukung, maka alih kode semacam ini memberi kesan dipaksakan, tidak wajar dan tidak jarang menjadi terganggu. Alih kode demikian biasanya didasari oleh penilaian penutur bahwa bahasa yang satu lebih tinggi nilai sosialnya dari bahasa yang lain.

(18)

ini dikarenakan, teori tersebut dinilai lebih lengkap dibanding teori yang lain dan sesuai untuk dijadikan landasan dalam penelitian ini.

2. Campur Kode

a. Pengertian

Kachru (dalam Suwito, 1995: 89) berpendapat bahwa campur kode adalah pemakaian dua bahasa atau lebih dengan saling memasukkan unsur-unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain secara konsisten. Dapat dikatakan bahwa campur kode terjadi apabila seorang penutur menggunakan suatu bahasa yang secara dominan mendukung suatu tuturan kemudian disisipi dengan unsur bahasa lain, tetapi unsur tersebut bukanlah kode utama. Unsur-unsur yang disisipkan tersebut dapat berupa kata, frasa. klausa, idiom, dan sebagainya.

Aslinda dan Leni Syafyahya (2010: 87) menjelaskan bahwa campur kode terjadi apabila seorang penutur bahasa, misalnya bahasa Indonesia memasukkan unsur-unsur bahasa daerahnya ke dalam pembicaraan bahasa Indonesia. Dengan kata lain, dalam peristiwa campur kode misalnya seseorang yang berbicara dengan kode utama bahasa Indonesia yang memiliki fungsi keotonomiannya, kemudian memasukkan kode lain (bahasa daerah) dalam tuturannya. Kode-kode lain tersebut bukan kode utama, hanya serpihan-serpihan saja tanpa fungsi atau keotonomian sebagai sebuah kode.

(19)

peristiwa tutur, klausa-klausa maupun frasa-frasa yang digunakan terdiri dari klausa dan frasa campuran (hybrid clauses, hybrid phrases), dan masing-masing klausa atau frasa itu tidak lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri, maka peristiwa yang terjadi adalah campur kode.

Dari berbagai pendapat di atas peneliti menyimpulkan bahwa campur kode adalah pemakaian dua bahasa atau lebih atau percampuran dua bahasa dalam suatu tindak bahasa dengan menyisipkan unsur-unsur bahasa lain, namun unsur unsur bahasa tersebut bukanlah kode utama melainkan hanya serpihan-serpihan saja baik yang berupa sisipan unsur-unsur yang berupa kata, frasa, klausa, idiom, perulangan kata dan sebagainya dalam suatu peristiwa komunikasi.

b. Macam-macam Campur Kode

Menurut Suwito (1995: 92) berdasarkan unsur-unsur kebahasaan yang terlibat di dalamnya campur kode dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu:

1) Penyisipan unsur-unsur yang berwujud kata 2) Penyisipan unsur-unsur yang berwujud frasa

3) Penyisipan unsur-unsur yang berwujud perulangan kata 4) Penyisipan unsur-unsur yang berwujud ungkapan atau idiom 5) Penyisipan unsur-unsur yang berwujud klausa

Adapun penjelasan dari unsur-unsur di atas secara rinci yaitu sebagai berikut: 1) Kata adalah morfem atau kombinasi morfem yang oleh bahasawan dianggap

(20)

Contoh:

Guru : “Oke anak-anak dengan mempelajari materi pada hari ini kalian bisa mengetahui manfaat dari tata guna lahan, kalian bisa mengetahui apa saja jenis tanaman yang cocok ditanam di kebon dan sekarang saatnya kita mengadakan evaluasi.”

2) Frasa adalah gabungan dua kata atau lebih yang sifatnya tidak predikatif (Kridalaksana, 2008: 66). Dapat dijabarkan bahwa frasa berupa satuan gramatikal yang terdiri dari dua kata atau lebih yang tidak melebihi batas fungsi, maksudnya frasa itu selalu terdapat dalam satu unsur fungsi klausa yaitu: S, P, O dan K. Misalnya kemarin malam, akan datang dan sebagainya.

Contoh:

Siswa : “Anggi mandan mumet, makanya tiduran terus dari tadi bu”.

3) Perulangan kata adalah proses morfemis yang mengulang bentuk dasar, baik secara keseluruhan, secara sebagian (parsial), maupun dengan perubahan bunyi (Chaer, 2007: 182). Bentuk kata ulang diantara ada kata ulang murni, kata ulang berimbuhan, kata ulang berubah bunyi, dan kata ulang suku awal. Misalnya ibu-ibu, menari-nari, warna-warni, dan sebagainya.

Contoh:

Guru : “Saya akan memberi kalian soal dan dilarang conto-contoan.”

4) Ungkapan atau idiom adalah kontruksi yang maknanya tidak sama dengan gabungan makna anggota-anggotanya (Kridalaksana, 2008: 90). Idiom biasanya berisi gabungan kata yang membentuk arti baru dimana tidak berhubungan dengan kata pembentuk dasarnya. Misalnya kambing hitam, meja hijau, jago merah, dan sebagainya.

(21)

Guru : “Sebagai remaja yang mulai beranjak dewasa, kalian harus bisa memilah dan memilih lingkungan pergaulan yang baik yang mampu memberi pengaruh positif bagi kalian, yang penting ojo cedhak kebo gupak.”

5) Klausa adalah satuan gramatikal berupa kelompok kata yang sekurang-kurangnya terdiri dari subyek dan predikat, dan mempunyai potensi menjadi kalimat (Kridalaksana, 2008: 124). Dikatakan mempunyai potensi untuk menjadi kalimat karena meskipun bukan kalimat, dalam banyak hal klausa tidak berbeda dengan kalimat, kecuali dalam hal belum adanya intonasi akhir atau tanda baca yang menjadi ciri kalimat.

Contoh:

Guru : “Tema dalam pembuatan cerpen bebas, ada banyak inspirasi yang bisa diperoleh, misalnya saat si Ikbal plesir atau saat si Yugo menang dalam perlombaan bola voli, itu bisa dijadikan inspirasi dalam membuat cerpen, kalian bisa berkreasi sendiri ya anak-anak…”

c. Faktor-faktor Penyebab terjadinya Campur Kode

Terjadinya peristiwa alih kode atau pun campur kode disebabkan oleh beberapa faktor. Dalam masyarakat bilingual atau pun multi bahasa pastinya tidak pernah lepas dari peristiwa tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Suwito (1995: 90) menge-mukakan ada tiga penyebab terjadinya campur kode. Ketiga penyebabnya yaitu identifikasi peranan, identifikasi ragam, dan keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan. Ketiga penyebab itu lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut.

1) Identifikasi Peranan

(22)

seorang murid. Ukuran register maksudnya peranan penutur dan mitra tutur dengan penggunaan campur kode dalam ruang lingkup bidang kegiatan tertentu, misalnya dalam dunia kedokteran pastinya seorang dokter mempunyai register tertentu ketika melaksanakan kegiatan praktik dengan para perawat. Sedangkan ukuran edukasional maksudnya penggunaan campur kode dalam kaitannya dengan tingkat pendidikan penutur dan mitra tutur.

2) Identifikasi Ragam

Identifikasi ragam ditentukan oleh bahasa dimana seorang penutur melakukan campur kode yang akan menempatkan dia dalam hierarki status sosialnya ataupun menempatkan penutur dalam status tertentu dalam kehidupan bermasyarakat. Misalnya, ketika seorang warga desa terlibat dalam sebuah pembicaraan formal yaitu rapat desa, tiba-tiba ia menyisipi ragam madya dalam tuturannya. Hal ini menunjukkan bahwa ia ingin menghormati orang yang lebih tua yang sedang terlibat dalam peristiwa tuturan tersebut misalnya kepada kepala desa ataupun orang yang pantas disegani di lingkungan tersebut.

3) Keinginan untuk Menjelaskan dan Menafsirkan

(23)

seorang penutur bercampur kode dalam bahasa arab dalam khotbahnya di masjid ini menunjukkan bahwa penuturnya termasuk orang “alim”.

E. Tingkat Tutur Bahasa Jawa

1. Pengertian Tingkat Tutur Bahasa Jawa

Tingkat tutur dapat dikatakan merupakan sistem kode dalam suatu masyarakat tutur. Kode dalam jenis ini faktor penentunya adalah relasi antara si penutur dengan si mitra tutur (Rahardi, 2001: 52). Bahasa Jawa juga memiliki gejala-gejala khusus dalam tingkat tuturnya. Ada tingkat tutur halus (krama), menengah (madya), dan biasa (ngoko) yang memiliki fungsi berbeda (Rahardi, 2001: 55). Dalam masyarakat Jawa pada khususnya, pemakaian tingkat tutur ini sudah menjadi hal yang lazim dalam kehidupan sehari-hari. Selain menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, mereka tetap menjunjung tinggi dan melestarikan bahasa kedaerahannya dan mengaplikasikan dalam pergaulan sehari-hari.

2. Macam-macam Tingkat Tutur Bahasa Jawa

Rahardi (2001: 59) membedakan macam tingkat tutur bahasa Jawa menjadi

krama, madya, dan ngoko. Hal ini senada dengan yang diungkapkan Sofwan (2011:

84) membagi tingkat tutur bahasa Jawa ke dalam tiga jenis yaitu ngoko (ngoko lugu,

ngoko andhap), madya (madya ngoko, madya krama,madyantara), dan krama

(mudha krama, krama lugu/kamantara, wredha krama, krama inggil, krama desa, dan basa kedhaton). Pemakaian tingkat tutur ini bergantung dengan siapa yang menjadi lawan tutur atau mitratuturnya.

(24)

Contohnya tuturan antarteman akrab/sejawat biasanya menggunakan tingkat tutur ngoko. Hal ini dikarenakan adanya tingkat keakraban di antara mereka. Selain itu orang yang berpangkat tinggi biasanya menggunakan tingkat tutur ngoko dalam berbicara dengan orang yang berpangkat rendah. Begitu juga

seorang guru kepada murid tentunya menggunakan tingkat tutur ngoko dalam berbicara. Tingkat tutur jenis ini dibedakan menjadi dua, yaitu :

1) Ngoko lugu yaitu tingkat tutur yang paling bawah, biasa digunakan dalam

percakapan sehari-hari oleh orang tua kepada anak atau cucunya, orang sederajat antau teman sejawat, atau pun oleh atasan kepada bawahannya. 2) Ngoko andhap merupakan tingkat tutur yang digunakan kepada siapa saja yang sudah akrab akan tetapi masih menghormati satu sama lain, ngoko

andhap dibedakan menjadi dua macam yaitu :

a) Antya-basa yaitu tingkat tutur yang biasa digunakan oleh orangtua kepada orang muda yang memiliki pangkat lebih tinggi, atau antar priyayi tetapi yang memiliki kedekatan. Biasanya berwujud ngoko dan krama inggil.

b) Basa-antya yaitu tingkat tutur yang biasa digunakan oleh orangtua kepada orang muda yang memiliki pangkat lebih tinggi. Biasanya berwujud gabungan kata ngoko, krama inggil dan krama.

(25)

disegani. Bisa juga pada saat pedagang-pedagang sedang berjualan di pasar biasanya mereka menggunakan tingkat tutur jenis ini. Mereka menggunakan tingkat tutur jenis ini pada saat menawarkan dagangan mereka kepada pembeli. Tingkat tutur jenis ini dibedakan menjadi tiga, yaitu :

1) Madya ngoko merupakan tingkat tutur yang biasa digunakan antar pedagang.

2) Madya krama merupakan tingkat tutur yang biasa digunakan oleh seorang

istri kepada suaminya yang berpangkat tinggi, biasanya juga digunakan oleh sesama priyayi yang sudah akrab.

3) Madyantara merupakan tingkat tutur yang biasa digunakan oleh anak bangsawan kepada bawahannya, biasanya juga digunakan oleh seseorang yang memiliki pangkat tinggi kepada anggota keluarga yang memiliki pangkat lebih rendah, bisa juga digunakan oleh warga desa kepada orang lain yang dianggap terhormat.

(26)

1) Mudha krama merupakan tingkat tutur yang biasa digunakan oleh seorang murid kepada gurunya, dan juga sesama priyayi.

2) Krama lugu/kramantara merupakan tingkat tutur yang memiliki tingkat kehalusan rendah. Meskipun begitu jika dibandingkan ngoko alus, ragam krama lugu tetap menunjukkan kadar kehalusan.

3) Wredha krama merupakan tingkat tutur yang biasa digunakan oleh orangtua kepada yang lebih muda yang dianggap perlu disegani.

4) Krama inggil merupakan tingkat tutur paling tinggi dalam unggah-ungguh

bahasa Jawa yang bertujuan mengangungkan orang yang diajak bicara. 5) Krama desa merupakan tingkat tutur yang biasa digunakan oleh

orang-orang desa yang masih buta huruf.

6) Basa kedhaton (bagongan) merupakan tingkat tutur yang biasa

dipergunakan dalam lingkungan keraton.

Referensi

Dokumen terkait

1 KNSI-315 Implementasi Web Service Pada Aplikasi Sistem Informasi Akademik Dengan Platform Mobile.. Purnawansyah Amaliah Faradibah 2 KNSI-318 Batik Stereogram dengan Depth

berkualitas, konsep kualitas pembelajaran mengandung lima rujukan, yaitu:. Kesesuaian meliputi indikator sebagai berikut: sepadan dengan karakteristik peserta didik, serasi

berasal dari Jawa Tengah yang dapat memahami informasi tentang batik klasik dengan menjawab “Ya” adalah sebanyak 33 orang (66%), sedangkan dari luar Jawa. Tengah sebanyak

Menulis syair tembang macapat paling sderhana (pocung) Tugas individu Tes tertulis Tes lisan perbuatan • Pilihan ganda • Isian • Uraian Kurikulum Bahasa Jawa SMA/SMK 2011

Hasil simulasi yang didapat yaitu mekanisme spectrum sharing rule C menghasilkan alokasi kanal bagi secondary user yang bebas konflik satu sama lain dengan jumlah kanal

Berdasarkan hasil pengambilan data awal yang dilakukan oleh peneliti baik berupa survey, observasi maupun wawancara (09-12/Okt/2017), peneliti berasumsi bahwa faktor Sense

Arti tanda negatif pada konstanta adalah apabila tidak ada variabel country of origin, kualitas produk dan kelompok acuan maka tidak akan terjadi niat beli

Pendekatan Coordinated Management of Meaning (CMM) yang digunakan dalam penelitian ini membantu untuk menganalisa mengenai fenomena Proses Konstruksi Ilmu Sejati Orangtua