• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENERJEMAHAN: SEBUAH ALTERNATIF METODE PEMBELAJARAN BAHASA ASING DI PERGURUAN TINGGI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENERJEMAHAN: SEBUAH ALTERNATIF METODE PEMBELAJARAN BAHASA ASING DI PERGURUAN TINGGI"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

SOSIO-RELIGIA, Vol. 1, N0. 5, Februari 2003

DI PERGURUAN TINGGI

Oleh: Fuad Arif Fudiyartanto*

Abstrak

Bahasa asing (bahasa kelompok masyarakat lain) sebagai alat komunikasi global-internasional merupakan hal yang sangat penting bagi kita, bagi mereka yang tidak menganggap hal itu sebagai bentuk penjajahan. Karena kemampuan kognisi manusia sangat terbatas, dibutuhkan metode belajar yang tepat agar tujuan belajar bahasa asing tercapai tetapi tidak terlalu menyita ruang kognisi kita. Setiap individu memiliki kecenderungan sendiri-sendiri sesuai karakter masing-masing.

Metode penerjemahan dapat digunakan sebagai alternatif sarana belajar bahasa asing terutama bagi kalangan mahasiswa perguruan tinggi. Dasarnya ialah karena penerjemahan mensyaratkan penguasaan dua bahasa (bahasa sumber, yang biasanya bahasa asing, dan bahasa sasaran, yang umumnya adalah bahasa sendiri) baik pada tataran leksikon, struktur gramatikal, situasi komunikasi atau situasi tuturan, dan konteks kultural teks bahasa sumber sebagai sarana menganalisis pesan dan bahasa sasaran untuk penyampaiannya kembali secara wajar. Sementara mahasiswa perguruan tinggi dipercaya sangat sesuai dengan metode ini karena mereka telah memiliki dasar pengetahuan bahasa asing yang sudah mereka pelajari sejak pendidikan dasar dan menengah.

A. Pendahuluan

Semakin pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini akan membawa konsekuensi semakin intensif dan terbukanya persinggungan antar peradaban di dunia. Hal ini tentu saja akan membawa implikasi bagi seluruh masyarakat dunia. Jarak geografis semakin tidak berarti; komunikasi jarak jauh, apalagi kontak langsung, semakin mudah dilakukan; semua orang bisa berdialog

*

Penulis adalah Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

(2)

SOSIO-RELIGIA, Vol. 2, No. 1, November 2002

dengan siapa saja dan dari manapun tanpa kesulitan berarti; adalah sebagian kecil di antara hal-hal tersebut.

Bahasa menjadi salah satu elemen penting dalam komunikasi antar peradaban ini. Bahasa memang merupakan sarana untuk mengkomunikasikan ide, gagasan, atau konsep yang dimiliki oleh suatu masyarakat tertentu pemilik bahasa itu.1 Atau dengan ungkapan lain,

fungsi bahasa adalah to communicate and discriminate meanings, adalah untuk mengkomunikasikan dan mengemas makna.2 Ide atau konsep-konsep

tentang kehidupan yang diyakini dalam suatu masyarakat, agar dapat diwariskan pada generasi berikutnya, kemudian dikomunikasikan melalui bahasa yang juga mereka ciptakan sendiri.3 Karena setiap

masyarakat menilai dan melakukan sesuatu dengan cara mereka sendiri, maka mereka juga menggunakan bahasa mereka sendiri untuk mengartikulasikan segala yang mereka yakini tersebut.4

Karena itu penguasaan bahasa asing (bahasa masyarakat lain) menjadi crucial dan penting bagi setiap orang.5 Karena pertimbangan

keterbatasan kapasitas otak manusia menampung seluruh informasi yang dibutuhkan untuk penguasaan segala jenis pengetahuan termasuk bahasa asing, pemilihan metode pembelajaran yang tepat juga perlu dilakukan. Salah satu metode yang coba kami tawarkan dalam tulisan ini adalah “penerjemahan” (translation) sebagai alternatif metode pembelajaran bahasa asing, terutama di perguruan tinggi. Penerjemahan dirasa cukup signifikan dalam konteks ini sebab penerjemahan mensyaratkan penguasaan kompetensi dua bahasa (bahasa sumber,

1 Pendapat ini dapat kita temukan dalam Wallace L. Anderson (Ed.),

Introductory Readings on Language, (New York: Holt, Rinehart and Winston Inc., 1966), p. 38.

2 Francis P. Dinneen, An Introduction to General Linguistics, (New York: Holt, Rinehart and Winston, Inc., 1967), p. 47.

3 P. Hariyono, Pemahaman Kontekstual Tentang Ilmu Budaya Dasar, (Yogyakarta: Kanisius, 1996), p. 53.

4 Ronald Wardhaugh, An Introduction to Sociolinguistics, (London: Basil Blackwell, 1986), p. 212.

5 Bahasa asing yang dimaksud dalam konteks tulisan ini adalah bahasa-bahasa di luar rumpun bahasa-bahasa Indonesia, terutama bahasa-bahasa-bahasa-bahasa yang dianggap “penting” di dunia seperti bahasa Arab, Inggris, Perancis, Cina, Jerman dan sebagainya.

(3)

SOSIO-RELIGIA, Vol. 2, No. 1, November 2002

yang biasanya bahasa asing, dan bahasa sasaran, yang umumnya bahasa pertama/sendiri) dengan segala aspeknya.

B. Konsep Dasar Penerjemahan

Penerjemahan sesungguhnya merupakan fenomena linguistik yang kompleks dan unik, sama kompleksnya dengan fenomena bahasa itu sendiri.6 Selain perbedaan sistem bahasa sumber dan bahasa sasaran,

persoalan lain yang mengakibatkan penerjemahan menjadi rumit adalah juga karena perbedaan budaya dan pola pikir yang menyelubungi kedua bahasa tersebut. Karena kompleksitas dan keunikannya inilah, baru mulai awal abad ke-20 penerjemahan mengalami perkembangan yang cukup signifikan baik sebagai profesi maupun ilmu pengetahuan, bahkan abad ini sering disebut sebagai “translation era”.7 Pertanyaan

selanjutnya adalah apa penerjemahan itu atau bagaimana ia dilakukan. Banyak ahli telah memberikan definisi tentang penerjemahan berdasarkan sudut pandang mereka masing-masing. Menurut Catford penerjemahan adalah proses penggantian teks dalam suatu bahasa dengan teks dalam bahasa lain.8 Larson mendefinisikan penerjemahan

sebagai pemindahan makna dari bahasa sumber ke bahasa sasaran.9

Sementara itu Brislin menyatakan bahwa penerjemahan adalah pemindahan ide atau gagasan dari suatu bahasa (bahasa sumber) ke bahasa lain (bahasa sasaran).10 Nida & Taber mengatakan bahwa

penerjemahan adalah menyampaikan kembali pesan dari bahasa sumber kedalam bahasa sasaran dengan padanan (equivalent) yang paling dekat

6 Lihat penjelasan S. Pit Corder, Introducing Applied Linguistics, (Virginia: Penguin Group, 1973), p. 19.

7 Pendapat ini disampaikan oleh Jumpelt dalam Peter Newmark,

Approaches to Translation, (Oxford: Pergamon Press, 1981), p. 3.

8 J.C. Catford, A Linguistic Theory of Translation, (London: Oxford University Press, 1965), p. 1.

9 Mildred L. Larson, Meaning-Based Translation: Guide to Cross-Language

Equivalence, (Lanham: University Press of America, 1984), p. 3.

10 Richard W. Brislin (Ed.), Translation: Application and Research. (New York: Gardner Press, 1976), p. 1.

(4)

SOSIO-RELIGIA, Vol. 2, No. 1, November 2002

dan wajar, pertama dalam hal makna kemudian gaya.11 Ada juga

pendapat lain yang mengatakan bahwa penerjemahan adalah suatu keahlian dalam usaha menggantikan pesan dan atau pernyataan tertulis dari suatu bahasa dengan pesan dan atau pernyataan tertulis yang sama dalam bahasa lain.12

Perbedaan definisi ini sesungguhnya menunjukkan bahwa para ahli memberikan penekanan yang tidak sama terhadap penerjemahan. Namun demikian ada beberapa hal yang perlu dicatat dari semua definisi tersebut. Pertama, penerjemahan selalu melibatkan penguasaan kedua bahasa: bahasa sumber dan bahasa sasaran. Kedua, dimunculkannya istilah “teks” yang tidak cukup dipahami sebagai “tulisan (passage)” semata. Teks harus dipahami sebagai bahasa fungsional (bahasa yang sedang melaksanakan fungsinya).13 Memahami

teks dalam bahasa sumber sungguh merupakan pekerjaan yang tidak mudah, belum lagi mengemukakannya kembali dengan konteks bahasa sasaran. Terakhir, tolok ukur hasil terjemahan adalah: 1) terjemahan harus setia makna, artinya bahwa terjemahan harus menyampaikan kembali pesan yang tertuang dalam teks asli setepat-tepatnya; 2) terjemahan harus ditulis sewajar-wajarnya dalam bahasa sasaran, disesuaikan dengan struktur bahasa sasaran; dan 3) terjemahan harus mengandung padanan yang sedekat mungkin dengan teks aslinya.

11 Eugene A. Nida dan Charles R. Taber, The Theory and Practice of

Translation. (Leiden: E.J. Brill, 1974), p. 12.

12 Peter Newmark, Approaches …, p. 6.

13 MAK Halliday dan Ruqaiya Hassan, Language, Context, and Text: Aspects

of Language in A Social-Semiotics Perspective, (Victoria: Deakin University Press, 1985), p. 10. Istilah bahasa fungsional di sini, menurut mereka, mengacu pada bahasa yang sedang melaksanakan tugas dalam konteks situasi dan kultural tertentu, bukan sekedar kata-kata atau kalimat yang ada di papan tulis. Sedang wujudnya bisa lisan, tulisan, atau bentuk ekspresi apapun lainnya. Adapun istilah teks diartikan sebagai bahasa yang sedang digunakan untuk mengekspresikan proses sosial dengan fungsi dan tata cara khusus yang muncul pada konteks situasi dan kultural tertentu. Teks tidak ditentukan oleh panjang pendeknya jumlah kata, kalimat atau paragrafnya. Teks juga bukan sekedar perluasan (extension) dari bentuk-bentuk gramatikal: kata, kumpulan kata (frasa), kalimat, dan paragraf.

(5)

SOSIO-RELIGIA, Vol. 2, No. 1, November 2002

Bila ditinjau dari prosesnya penerjemahan pada dasarnya terdiri atas tiga tahap: analisis, transfer, dan restrukturisasi.14 Tahap analisis jelas

berurusan dengan teks bahasa sumber (umumnya bahasa asing). Pada tahap ini bentuk-bentuk ekspresi tertulis yang merealisasikan pesan bahasa sumber harus dianalisis berdasarkan struktur gramatikalnya, makna setiap kata, serta makna gabungan keduanya. Karena pesan selalu tertuang dalam bentuk teks, maka pemahaman tentang teks secara utuh juga diperlukan. Tahap kedua, transfer, hanya terjadi di pikiran atau kepala si penerjemah. Sedangkan tahap restrukturisasi adalah tahap dimana pesan yang sudah ditangkap dari teks bahasa sumber kemudian dikemas kembali dalam bahasa sasaran. Tahap ini berhubungan dengan pemilihan leksikon dan struktur gramatikal yang paling sesuai dengan bahasa sasaran (biasanya bahasa sendiri/pertama) berikut konteks kultural yang melingkupinya. Dengan kata lain, singkatnya mungkin, penerjemahan akan selalu melibatkan studi tentang leksikon, struktur gramatikal, situasi komunikasi atau situasi tuturan, dan konteks kultural teks bahasa sumber sebagai sarana menganalisis pesan.15

C. Pembelajaran Bahasa Asing

Belajar bahasa asing pada tataran tertentu memiliki kesamaan dengan belajar bahasa pertama atau bahasa ibu walaupun sesungguhnya keduanya jauh berbeda. Istilah yang lebih sering dipakai untuk mengacu pada “pembelajaran” bahasa pertama adalah “pemerolehan” (acquisition) yang lebih berkonotasi pasif atau tanpa sengaja (unconscious). Hal ini didasarkan pada pendapat bahwa karena bahasa merupakan fenomena perilaku, maka cara mempelajarinya pun adalah dengan “pembentukan kebiasaan” (habit formation) dan “meniru” (imitation).16

14 Asrudin B. Tou, “Some Insights from Linguistics into the Processes and Problems of Translation” dalam (TEFLIN Journal, Vol. 1/1989), p. 123-148. Pendapat senada juga dapat dillihat dalam M Rudolf Nababan, Teori Menerjemah Bahasa Inggris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), p. 24-5, juga dalam Zuchridin Suryawinata, Terjemahan: Teori dan Praktek, (Jakarta: Dirjen Dikti, 1989), p. 12.

15 Asrudin B. Tou, “Some Insights …, p. 130.

16 William T. Littlewood, Foreign and Second Language Learning, (Cambridge: Cambridge University Press, 1984), p. 5.

(6)

SOSIO-RELIGIA, Vol. 2, No. 1, November 2002

Kita tahu bahwa pemerolehan bahasa pertama memang dimulai sejak kecil, bahkan sejak bayi. Namun pada perkembangan selanjutnya, dengan munculnya teori baru yang mengatakan bahwa anak-anak mempelajari bahasa secara koginitif-kreatif, para ahli menemukan bahwa ternyata pada saat mempelajari bahasa pertama pun anak-anak mulai menciptakan struktur bahasa mereka sendiri yang tidak sama dengan struktur bahasa orang dewasa. Atau dengan kata lain ada semacam interaksi dan korelasi positif antara perkembangan kognisi anak dan penguasaan bahasa mereka.17

Berbeda dengan pemerolehan bahasa pertama pada anak-anak, belajar bahasa asing umumnya dilakukan ketika orang sudah beranjak dewasa. Bahasa pertama, atau bahasa kedua, yang sudah mereka kuasai sebelumnya sudah barang tentu akan berpengaruh dalam pembelajaran bahasa asing ini, baik dalam proses maupun—pada akhirnya—tingkat penguasaan mereka terhadap bahasa tersebut. Orang yang sedang mempelajari bahasa asing umumnya akan mengkomparasikannya (sadar atau tidak) dengan bahasa pertama, mulai dari ejaan dan pengucapan hingga struktur kalimat dan wacana.

Pada umumnya, semakin banyak persamaan antara bahasa asing yang ingin dipelajari dengan bahasa pertama akan semakin mempermudah seseorang mempelajari dan menguasai bahasa asing itu. Namun ini tidak berarti semakin banyak perbedaan akan semakin sulit, terkadang bahkan perbedaan juga dapat mempermudah penguasaan. Artinya, perbedaan dan persamaan sama-sama dapat membantu seseorang dalam mempelajari bahasa asing, tergantung tipe orang yang mempelajarinya. Ada orang yang lebih mudah mempelajari bahasa asing yang jauh berbeda dengan bahasa pertamanya, tetapi kebanyakan orang akan lebih mudah mempelajari bahasa asing yang memiliki banyak kesamaan dengan bahasa pertamanya.

Ditinjau dari sisi filosofis-ideologis, penguasaan bahasa asing di suatu negara memiliki tujuan dan penekanan yang berbeda-beda. Belajar bahasa asing pun terkadang dapat disamakan dengan pemerolehan bahasa pertama jika tujuannya adalah untuk komunikasi lisan. Ini didasarkan pada pemahaman bahwa komunikasi

(7)

SOSIO-RELIGIA, Vol. 2, No. 1, November 2002

lisan memang cenderung lebih memerlukan penguasaan bahasa pada tataran otak bawah sadar (subconscious/unconscious).18 Dengan demikian

pembentukan kebiasaan tampaknya merupakan metode yang paling tepat untuk tujuan khusus seperti ini.

Tetapi apabila tujuan penguasaan bahasa asing adalah untuk komunikasi tulis yang cenderung tidak langsung, maka otak sadar (conscious) tentu akan lebih banyak diaktifkan pemanfaatannya. Ini juga akan berimplikasi pada pemilihan metode dan sistem pembelajaran bahasa asing yang tidak sama dengan apabila tujuannya untuk berkomunikasi lisan. Oleh karena itu, tepat sekali apabila proses yang terjadi di sini dinamai ‘pembelajaran (learning)’ karena mahasiswa benar-benar mempelajari dengan penuh kesadaran serta melibatkan semacam

‘monitoring’ yang sangat ketat, bukan sekedar pemerolehan (acquisition) yang tanpa sadar.

Pembelajaran bahasa asing tulis dengan demikian diharapkan juga lebih menitikberatkan pada aspek tatabahasa (rules, structure, grammar) dimana makna diorganisasi, diproses dan dikemas sedemikian rupa sehingga dapat dipahami oleh pengguna bahasa tersebut. Karena itu tatabahasa sering pula disebut sebagai kunci untuk memahami bahasa tulis (the key to written language).19 Namun begitu harus pula

disadari bahwa tidak seluruh aspek tatabahasa dapat diajarkan dan dikuasai oleh seorang pembelajar (mahasiswa), bahkan yang terbaik sekalipun. Menurut Krashen, bila digambarkan proporsi tatabahasa yang ‘mungkin’ berhasil diajarkan adalah sebagai berikut (dia mengambil contoh kasus bahasa Inggris):20

18 Stephen D. Krashen, Principles and Practice in Second Language Acquisition, (London: Prentice Hall Macmillan, 1987), p. 83-85.

19 M.A.K. Halliday, Spoken and Written Language, (Victoria: Deakin University Press, 1985), p. 12.

(8)

SOSIO-RELIGIA, Vol. 2, No. 1, November 2002

Tatabahasa Inggris

Yang dikuasai linguis formal Yang dikuasai linguis terapan Yang dikuasai guru terbaik Yang berhasil diajarkan Yang dikuasai siswa terbaik

Bagan di atas menunjukkan bahwa memang sangat sedikit proporsi tatabahasa yang dapat dikuasai oleh siswa (terbaik) dibanding yang dikuasai oleh guru (terbaik), apalagi dibanding keseluruhan tatabahasa yang dikemukakan para linguis. Ini terkadang tidak disadari baik oleh guru maupun siswa dan pihak lain yang berkompeten dalam pendidikan bahasa (termasuk bahasa asing). Akibatnya, guru maupun siswa sering merasa yakin yang berlebihan (over-confident) bahwa dirinya telah menguasai seluruh tatabahasa yang ada. Ini dialami oleh guru dan siswa yang terlibat dalam pengajaran dan pembelajaran bahasa pertama, juga oleh mereka yang terlibat dalam upaya menguasai bahasa asing. D. Penerjemahan Sebagai Sebuah Alternatif Metode

Pembelajaran Bahasa Asing di Perguruan Tinggi

Perlu ditegaskan sekali lagi bahwa penerjemahan adalah penyampaian kembali ide, gagasan, atau pesan dari suatu bahasa (bahasa sumber) ke dalam bahasa lain (bahasa sasaran). Pada praktek di lapangan, umumnya bahasa sumber (bsu) berupa bahasa asing dan bahasa sasaran (bsa) adalah bahasa pertama; umpamanya saja dalam konteks pembicaraan kita ini, bsu-nya ialah bahasa Inggris dan bsa-nya bahasa Indonesia.

Selain itu, perlu pula kita pertegas bahwa penerjemahan dalam pembicaraan kita ini adalah penerjemahan yang sesungguhnya (in action) bukan metode pembelajaran bahasa asing yang disebut

(9)

grammar-SOSIO-RELIGIA, Vol. 2, No. 1, November 2002

translation method. Memang keduanya mengandung kata penerjemahan atau terjemahan (translation), namun dalam grammar-translation method

yang lebih diutamakan adalah pengajaran struktur atau tatabahasa bahasa asing dengan cara menerjemahkan atau mencari padanannya dalam bahasa sendiri, sementara dalam metode penerjemahan yang kami maksud dalam pembicaraan kita ini tidaklah demikian.

Penerjemahan in action di sini adalah ketika kita benar-benar menerjemahkan teks tertulis dalam bahasa asing kedalam bahasa Indonesia. Karena metode penerjemahan ini akan kita manfaatkan sebagai salah satu alternatif metode pembelajaran bahasa asing, maka mahasiswa atau pembelajar lah yang lebih aktif melakukannya.

Penerjemahan secara umum dilakukan melalui tiga proses utama, ialah: analisis, transfer, dan restrukturisasi.21 Secara singkat dapat

disampaikan bahwa pada tahap analisis penerjemah akan melakukan pembongkaran teks bsu dan segala yang melingkupinya demi untuk menangkap makna yang dimaksud oleh penulis asli. Pada tahap transfer, penerjemah akan mencari padanan (ungkapan dalam bsa yang mewakili makna bsu) dalam bsa yang paling dekat untuk setiap makna

bsu; bisa jadi proses ini hanya berlangsung di kepala si penerjemah. Sedangkan restrukturisasi merupakan tahap dimana penerjemah telah menuangkan kembali dalam bentuk teks terjemahan dalam bsa sesuai dengan kaidah bsa itu sendiri. Karenanya, dari sudut pandang pembelajaran bahasa asing, setiap tahap memiliki signifikansi masing-masing.

Pada tahap analisis, penerjemah dituntut dapat menangkap makna, pesan, ide, atau gagasan yang tertuang dalam teks (berupa naskah tertulis) bsu dengan tatabahasa dan budaya yang melingkupinya secara tepat tanpa ada yang hilang ataupun adanya tambahan informasi (kecuali memang sangat diperlukan). Sekali lagi karena berhadapan dengan teks tertulis, maka tatabahasa (grammar termasuk kosakata) menjadi kunci utama untuk dapat menangkap maksud penulis.22

Dalam konteks pembelajaran bahasa asing, pembelajar dapat dibimbing untuk melakukan analisis makna teks bsu melalui bantuan

21 Eugene A. Nida dan Charles R. Taber, The Theory …, p. 33. 22 M.A.K. Halliday, Spoken …, p. 12.

(10)

SOSIO-RELIGIA, Vol. 2, No. 1, November 2002

kaidah tatabahasa yang sebelumnya sudah disampaikan, tentunya dimulai dari yang sederhana untuk kemudian meningkat ke yang lebih sulit dan kompleks. Langkah ini juga dapat dilakukan secara berkebalikan, artinya analisis teks bsu ini memang bertujuan untuk menguatkan pemahaman tentang kaidah tatabahasa yang pada saat itu sedang dihadapi oleh mahasiswa. Pada tingkat yang lebih tinggi lagi, analisis teks bsu dapat diperdalam hingga analisis gaya bahasa yang dipakai penulis, di samping analisis makna yang merupakan semangat utama penerjemahan. Contoh kasus penerjemahan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia berikut kiranya dapat kita cermati untuk memperjelas pernyataan di atas.

Dengan bekal pengetahuan bahasa Inggris yang telah diperoleh sebelumnya (pendidikan menengah, atau tingkat dasar), mahasiswa semestinya dapat menganalisis makna frasa nomina (1) an interestingly-decorated room yang memiliki pola sedikit berbeda dengan (2) a tall old building. Analisis makna kedua frasa nomina di atas juga dapat dijadikan pemantapan konsep mahasiswa tentang frasa nomina bahasa Inggris yang tidak sama dengan dalam bahasa Indonesia. Frasa (1) memiliki makna a room which is/was interestingly decorated (sebuah ruangan yang didekorasi dengan indah), sementara frasa (2) memiliki makna a building which is tall and old (sebuah gedung yang tinggi dan sudah tua). Dengan asumsi yang sama, mahasiswa diharapkan dapat membedakan makna frasa a full pressed body car (a car with the whole body pressed) dan a fully pressed body car (a car with the body heavily pressed); yang pertama bermakna ‘mobil yang seluruh bodinya di-pres’ sedangkan yang kedua bermakna ‘mobil yang bodinya di-pres dengan kekuatan penuh’.

Pada praktek yang sesungguhnya, pemilihan kosa kata dan kompleksitas struktur atau tatabahasa yang akan di’mantapkan’ dapat disesuaikan dengan tingkat kemampuan mahasiswa yang bersangkutan. Untuk mahasiswa dengan dasar pengetahuan bahasa Inggris yang lebih tinggi lagi, kita dapat memilihkan struktur yang juga lebih kompleks, misalnya kalimat atau klausa. Bagaimana menganalisis makna kalimat majemuk-kompleks:

The benefit to be had from this scinece to those not qualified to perform ijtihad is that, through their study of the classical schools of legal thought of the mujtahidun and the reasoning behind their rulings, the student of

(11)

SOSIO-RELIGIA, Vol. 2, No. 1, November 2002

source methodology in Islamic jurisprudence is enabled to understand various schools of thought, to analyze them, to choose from among their interpretations and assign preference, ….

Pola dasar kalimat di atas adalah The benefit … is that …the student …, yang lain adalah tambahan keterangan (keterangan subjek ataupun keterangan untuk kalimat itu secara keseluruhan). Contoh lainnya adalah: According to him, it is because of the idealistic scheme of procedure and evidence and the self-imposed limitations of the Shari’ah as a practical system of law that there have existed in Islam since early medieval times Jurisdictions other than that of the qadi’s court23 yang memiliki pola dasar it is because of … that

there have existed in Islam … Jurisdictions …. Permasalahan seperti ini ‘baru’ terjadi pada proses analisis makna, atau mungkin sudah memasuki tahap transfer, tetapi belum sampai tahap restrukturisasi dalam bahasa sasaran (dalam hal ini bahasa Indonesia).

Apabila fokus perhatian kita adalah proses restrukturisasi, maka kita akan dapat memantapkan pemahaman mahasiswa tentang struktur atau tatabahasa bahasa Indonesia sekaligus menghindarkan diri dari pengaruh tatabahasa bahasa sumber (Inggris). Contoh berikut ini kiranya dapat kita jadikan ilustrasi bagaimana mengungkapkan kembali makna teks bsu ke dalam bahasa Indonesia sesuai struktur bahasa Indonesia yang baik

… the background against which modern movements sometimes described, whether rightly or wrongly, as fundamentalist, have developed.

Jika analisis makna dan pengungkapannya kembali dalam bahasa Indonesia tidak tepat, mahasiswa mungkin akan menerjemahkannya menjadi latar belakang yang melawannya gerakan-gerakan modern kadang-kadang dilukiskan, entah benar atau salah, sebagai kaum fondamentalis, telah berkembang.

Penggalan kalimat di atas mengandung adjective clause yang menerangkan the background. Yang membuat rumit adalah karena

adjective clause itu ternyata berupa anak kalimat (sub clause) yang kompleks, dalam sub clause ada sub clause lagi. Bahasa Indonesia tidak banyak mengenal kalimat seperti ini. Hal ini menyebabkan mahasiswa

23 Diambil dari buku M. Muslehuddin, Philosophy of Islamic Law and the

(12)

SOSIO-RELIGIA, Vol. 2, No. 1, November 2002

Indonesia agak kesulitan menangkap pesan teks asli. Sesungguhnya langkah pertama yang mungkin bisa dilakukan adalah menentukan induk kalimat (main clause) dari adjective clause tersebut, ialah modern movements (main subject) dan have developed (main predicate), sementara

sometimes described, whether rightly or wrongly, as fundamentalist merupakan

sub-predicate dari modern movements. Dalam bahasa Indonesia adjective clause

perlu diterjemahkan dengan kata hubung yang, namun untuk tetap menjaga kewajaran, susunannya perlu dibalik sehingga terjemahan yang lebih baik mungkin adalah latar belakang di balik telah berkembangnya gerakan-gerakan modern yang terkadang dilukiskan, entah benar atau salah, sebagai kaum fundamentalis.

Contoh lainnya ialah frasa nomina conflicting interpretations of statutes bisa saja salah diterjemahkan menjadi interpretasi-interpretasi yang memperdebatkan undang-undang (interpretations which conflict statutes).

Penerjemahan seperti ini tidak tepat karena hubungan antara Head dan

Modifier dalam noun phrase tersebut tidak dipahami secara baik. Frasa

conflicting interpretations of statutes sesungguhnya berarti the interpretations of statutes which are conflicting one another sehingga harus diterjemahkan menjadi interpretasi-interpretasi (beberapa interpretasi) tentang undang-undang yang saling bertentangan.

Kalimat dan ekspresi lain, yang lebih sederhana atau yang lebih rumit lagi, dapat kita kreasikan sendiri sesuai dengan kebutuhan. Proses analisis makna teks bahasa sumber, transfer, dan restrukturisasi dalam bahasa sasaran bisa saja merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan secara tegas, tetapi ketiganya jelas terjadi dalam setiap proses penerjemahan. Yang terpenting adalah bahwa metode penerjemahan ini kita gunakan semata-mata untuk membantu mahasiswa lebih memahami bahasa asing dengan baik, disamping kita juga dapat membekali mereka dengan kemampuan teknik dan prinsip dasar penerjemahan itu sendiri.

E. Penutup

Ukuran ‘kesesuaian’ memang bersifat relatif. Setiap orang memiliki ukurannya sendiri yang mungkin tidak sesuai untuk yang lain, namun ada kriteria umum yang disepakati oleh orang kebanyakan, termasuk dalam konteks pembicaraan kita ini. Ketika seseorang telah

(13)

SOSIO-RELIGIA, Vol. 2, No. 1, November 2002

memfokuskan dirinya pada pembelajaran bahasa asing, maka ia akan memanfaatkan segala sesuatu untuk tujuan tersebut. Metode penerjemahan dengan prinsipnya yang harus masuk akal, setia makna dan gaya, mudah dipahami karena struktur bahasanya wajar, serta menghasilkan respons yang sama dengan teks asli,24 bila digali lebih

dalam lagi, akan dapat dimanfaatkan untuk tujuan pembelajaran bahasa asing, bahkan mungkin lebih kaya warna dan manfaat bagi mahasiswa perguruan tinggi.

Wa Allahu a’lam.

24 Basil Hatim dan Ian Mason, Discourse and The Translator, (New York: Longman, 1990), p. 16.

(14)

SOSIO-RELIGIA, Vol. 2, No. 1, November 2002

Daftar Pustaka

Anderson, Wallace L. (Ed.), Introductory Readings on Language, New York: Holt, Rinehart and Winston Inc., 1966.

Baker, Mona, In Other Words: a Coursebook on Translation, London & New York: Routledge, 1994.

Bassnett-McGuire, Susan, Translation Studies (New Accents), London & New York: Routledge, 1991.

Brislin, Richard W. (Ed.), Translation: Application and Research, New York: Gardner Press, 1976.

Catford, J.C., A Linguistic Theory of Translation. London: Oxford University Press, 1965.

Corder, S. Pit, Introducing Applied Linguistics, Virginia: Penguin Group, 1973.

Dinneen, Francis P., An Introduction to General Linguistics. New York: Holt, Rinehart and Winston, Inc, 1967.

Duff, Allan, Translation, London: Oxford University Press, 1989.

Halliday, M.A.K., Spoken and Written Language, Victoria: Deakin University Press, 1985.

Halliday, MAK dan Ruqaiya Hassan, Language, Context, and Text: Aspects of Language in A Social-Semiotics Perspective, Victoria: Deakin University Press, 1985.

Hariyono, P., Pemahaman Kontekstual Tentang Ilmu Budaya Dasar,

Yogyakarta: Kanisius, 1996.

Hatim, Basil dan Ian Mason, Discourse and The Translator. New York: Longman, 1990.

Krashen, Stephen D., Principles and Practice in Second Language Acquisition, London: Prentice Hall Macmillan, 1987.

Larson, Mildred L., Meaning-Based Translation: Guide to Cross-Language Equivalence. Lanham: University Press of America, 1984.

(15)

SOSIO-RELIGIA, Vol. 2, No. 1, November 2002

Littlewood, William T., Foreign and Second Language Learning, Cambridge: Cambridge University Press, 1984.

Nababan, M Rudolf, Teori Menerjemah Bahasa Inggris, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.

Nida, Eugene A dan Charles R Taber. The Theory and Practice of Translation. Leiden: E.J. Brill, 1974.

Suryawinata, Zuchridin, Terjemahan: Teori dan Praktek, Jakarta: Dirjen Dikti, 1989.

Tou, Asrudin B., “Some Insights from Linguistics into the Processes and Problems of Translation” TEFLIN Journal, Vol. 1/1989. Wardhaugh, Ronald, An Introduction to Sociolinguistics, London: Basil

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan peneliti dalam penelitian ini tentang pengaruh penggunaan media film pendek terhadap pemahaman siswa pada mata

Dari uraian judul yang dijabarkan pada latar belakang dan berdasarkan pengamatan serta pengalaman yang di alami, maka penulis mencoba merumuskan

Tujuan utama pembibitan adalah mempersiapkan bibit yang baik dan seragam, karena hal tersebut merupakan faktor penentu keberhasilan penanaman dilapangan dan untuk

Hasil yang diperoleh penulis dalam penelitian ini adalah: (1)Kehidupan anak- anak di Desa Lomaya Kabupaten Bone Bolango masih tergolong dalam strata sosial

Salah satu alat pengeringan yaitu rotary dryer (pengering putar) yang terdiri dari sebuah selongsong berbentuk silinder yang berputar, horisontal, atau agak miring ke bawah ke

Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39

[r]

Selain itu, dilakukan pula evaluasi geokimia bawah permukaan lebih detail pada Formasi Belumai dan membandingkan potensi batuan induk pada Formasi Belumai tersebut dengan