• Tidak ada hasil yang ditemukan

POTENSI TEKNIK NUKLIR DALAM PENGENDALIAN NYAMUK Aedes aegypti SEBAGAI VEKTOR PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "POTENSI TEKNIK NUKLIR DALAM PENGENDALIAN NYAMUK Aedes aegypti SEBAGAI VEKTOR PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

POTENSI TEKNIK NUKLIR DALAM PENGENDALIAN

NYAMUK

Aedes aegypti

SEBAGAI VEKTOR

PENYAKIT

DEMAM BERDARAH DENGUE

Siti Nurhayati

Pusat Teknologi Keselamatan dan Metrologi Radiasi – BATAN

Ali Rahayu

Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi – BATAN

ABSTRAK

POTENSI TEKNIK NUKLIR DALAM PENGENDALIAN NYAMUK Aedes aegypti SEBAGAI VEKTOR PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD). Pengendalian nyamuk A. aegypti sebagai vektor penyakit DBD dapat dilakukan dengan Teknik Serangga Mandul (TSM). Penelitian ini bertujuan untuk melakukan pengendalian vektor DBD menggunakan teknik nuklir dengan radiasi gamma. Irradiasi dilakukan dengan variasi dosis terhadap berbagai stadium perkembangan nyamuk. Sebanyak 200 telur umur sehari, 100 jentik instar tiga atau empat dan 100 pupa umur nol hari masing-masing diiradiasi sinar gamma 60Co dengan dosis 0, 65, 70, 75, 80 dan 85 Gy dengan laju dosis 1.369,77 Gy/jam. Semua stadium nyamuk tersebut kemudian dipelihara dan diamati perkembangannya di laboratorium. Dari hasil pengamatan diketahui bahwa pasca irradiasi stadium telur dan jentik tidak dapat berkembang ke stadium berikutnya, sedangkan stadium pupa dapat diamati perkembangannya lebih lanjut. Dosis 65 Gy pada stadium pupa dapat memandulkan 98,53% populasi nyamuk dan dosis 70 Gy kemandulannya mencapai 100%. Teknik penggunaan radiasi gamma sangat berpotensi untuk pengendalian nyamuk, namun demikian masih harus dilakukan penelitian lebih lanjut seperti daya saing kawin nyamuk pasca irradiasi dan bionomik vektor menggunakan senyawa bertanda.

ABSTRACT

POTENTION OF NUCLEAR TECHNIQUE FOR CONTROLLING Aedes aegypti MOSQUETO AS DENGUE HEMORRHAGIC FEVER (DHF) VECTOR. Controlling Aedes aegypti as vector of Dengue hemorrhagic fever (DHF) can be carried out by sterile insect technique. This research aimed to control DBD vector with nuclear technique using gamma radiation. Irradiation was done with dose variations to several stadiums of mosquito development. Each of a number of 200 eggs with the age of 1 day, 100 larvas of third or fourth instars and 100 of pupa with the age of 0 day was irradiated with gamma rays of 60Co at doses of 0, 65, 70, 75, 80 and 85 Gy with the dose rate of 1,369.77 Gy/hour. The development cycles of all stadiums were maintained and observed in laboratory. It was known that the egg and larva stadiums were failed to develop to the next stadium, whereas the pupa could develop to the next stadium. The dose of 65 Gy given to pupa could sterilize 98.0% of mosquito population and dose of 70 Gy could sterilize up to 100%. The utilization of nuclear technique with gamma radiation is very potential for controlling mosquito, but it needs a further research such as mating competition of post irradiated mosquito and the bionomic of vector using labeled compound.

I. PENDAHULUAN

enyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia yang belum dapat terpecahkan karena morbiditas yang tinggi dan penyebaran yang semakin luas. Pengobatan spesifik terhadap DBD sampai saat ini belum ada sehingga pemberantasan salah satunya dapat dilakukan dengan mengendalikan vektornya. Pemberantasan nyamuk vektor DBD dilakukan dengan menggunakan insektisida temefos 1% untuk stadium larva dan pengasapan (fogging) dengan malation 4% untuk

P

nyamuk dewasa. Selain cara tersebut, telah dilakukan program Pemberantasan sarang Nyamuk secara lebih intensif dengan 3M (menguras, menutup dan mengubur). Upaya ini belum memberikan hasil yang baik karena jumlah kasus DBD tetap tinggi dan wilayah yang terjangkit semakin luas. Berdasarkan penelitian, jenis nyamuk yang paling berperan sebagai vektor dalam penularan penyakit ini adalah

Aedes aegypti yang hidup di dalam dan sekitar

rumah [1].

Aedes aegypti adalah nyamuk dengan

ukuran tubuh kecil, berwarna hitam dan berbintik-bintik putih.Penyebaran nyamuk ini hampir di

(2)

seluruh wilayah Indonesia, kecuali di daerah dengan ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan laut. Nyamuk betina biasanya terinfeksi virus dengue pada saat menghisap darah orang yang sedang dalam fase demam akut. Setelah melalui periode inkubasi ekstrinsik selama 8 sampai 10 hari, kelenjar ludah nyamuk tersebut akan terinfeksi virus dengue yang akan ditularkan lagi ketika nyamuk tersebut menggigit dan mengeluarkan cairan ludahnya ke dalam luka gigitan ke tubuh orang lain. Setelah masa inkubasi dalam tubuh manusia selama 3-14 hari (rerata 4-6 hari) akan timbul gejala awal penyakit DBD berupa demam, pusing, nyeri otot, hilang nafsu makan, dan berbagai tanda atau gejala non spesifik seperti mual, muntah dan ruam pada kulit [2].

Di Indonesia, jumlah penderita DBD cenderung meningkat dan menyebar luas. Penyakit ini pertama kali berjangkit di Jakarta dan Surabaya pada tahun 1968. Dua puluh tahun kemudian, DBD telah berjangkit di 201 Dati II di seluruh Indonesia. Data terakhir menyebutkan bahwa tinggal seperempat bagian wilayah Indonesia yang belum terkena DBD. Peningkatan jumlah penderita terjadi secara periodik tiap lima tahun, bahkan beberapa kali menyebabkan Kejadian Luar Biasa (KLB) dimana jumlah pasien yang terkena sangat banyak, baik di perkotaan maupun pelosok pedesaan dengan angka kematian mencapai 2-4%. Meskipun saat ini angka kematian akibat DBD menunjukkan penurunan, namun angka kesakitan (morbiditas) dan sebarannya masih tinggi [3-5].

Pengendalian vektor dengan cara konvensional menggunakan insektisida diketahui kurang efektif karena dapat mengakibatkan matinya flora maupun fauna non target, serta timbulnya pencemaran lingkungan dan resistensi terhadap insektisida, bahkan sering terjadi resistensi silang

(cross resistance), yang mengurangi efektivitas

pengendalian. Karena upaya pengendalian DBD belum memberikan hasil yang memadai, maka diperlukan cara lain untuk membantu pemberantasan vektor DBD, antara lain dengan Teknik Serangga Mandul (TSM) [6-8].

Pelaksanaan TSM dapat dilakukan dengan 2 metoda yaitu metoda yang meliputi pembiakan massal di laboratorium, pemandulan dan pelepasan serangga mandul ke lapangan dan metoda pemandulan langsung terhadap serangga di lapangan. Pada metoda pertama, jika ke dalam suatu populasi serangga di lapangan dilepaskan serangga mandul, maka kemampuan populasi tersebut untuk berkembang biak akan menurun. Apabila nilai kemandulan serangga radiasi mencapai 100% dan daya saing kawinnya mencapai nilai 1,0 (sama dengan jantan normal) dan jumlah serangga radiasi yang dilepas sama dengan jumlah serangga normal

(perbandingan 1:1), maka kemampuan berkembang biak populasi tersebut akan turun sebesar 50%. Jika perbandingan tersebut dinaikkan menjadi 9:1 (jumlah serangga radiasi yang dilepas 9 kali dari jumlah serangga lapangan), maka kemampuan populasi tersebut untuk berkembang biak akan turun sebesar 90%. Metoda kedua, yaitu metoda tanpa pelepasan serangga yang dimandulkan. Metoda ini dilaksanakan dengan prinsip pemandulan langsung terhadap serangga lapangan yang dapat dilakukan dengan menggunakan senyawa kemosterilan, baik pada jantan maupun betina. Dengan metoda kedua ini akan diperoleh dua macam pengaruh terhadap kemampuan kembangbiak populasi serangga. Kedua pengaruh tersebut adalah mandulnya sebagian serangga lapangan sebagai akibat langsung dari kemosterilan dan pengaruh berikutnya dari serangga yang telah mandul terhadap serangga sisanya yang masih fertil. Kemosterilan merupakan senyawa kimia yang bersifat mutagenik dan karsinogenik pada hewan maupun manusia sehingga teknologi ini tidak direkomendasikan untuk pengendalian vektor

[9,10].

Prinsip dasar TSM adalah penggunaan radiasi ionisasi untuk pengendalian serangga, baik secara langsung maupun tidak langsung. Cara langsung biasa disebut Teknik Disinfestasi Radiasi (TDR) yang sering digunakan untuk memberantas serangga gudang yang merusak komodite dalam penyimpanan di gudang, sedang cara tidak langsung yaitu radiasi digunakan untuk memandulkan baik serangga jantan maupun betina untuk kemudian dilepaskan ke lapangan agar kawin dengan serangga normal di lapangan, yang dikenal dengan TSM. Ini merupakan teknik pengendalian vektor yang potensial, ramah lingkungan, efektif, spesies spesifik dan kompartibel dengan teknik lain. Prinsip dasar TSM sangat sederhana, yaitu membunuh serangga dengan serangga itu sendiri (autocidal technique). Teknik ini meliputi iradiasi terhadap koloni nyamuk vektor pada berbagai stadium dan kemudian secara periodik dilepas ke lapangan sehingga tingkat kebolehjadian perkawinan antara serangga mandul dan serangga fertil menjadi makin besar dari generasi pertama ke generasi berikutnya. Hal ini berakibat makin menurunnya prosentase fertilitas populasi serangga di lapangan yang secara teoritis terjadi pada generasi ke-4 atau ke-5 yaitu titik terendah dimana populasi serangga menjadi nol. Gejala kemandulan akibat radiasi pada nyamuk jantan disebabkan karena terjadinya aspermia, inaktivasi sperma, mutasi letal dominan dan ketidakmampuan kawin [11].

Dalam makalah ini disajikan hasil penelitian mengenai pengaruh berbagai dosis iradiasi sinar gamma untuk memandulkan nyamuk Aedes aegypti

(3)

sebagai vektor penyakit DBD, sehingga rantai perkembangan penyakit ini dapat diputus.

TATA KERJA

Rearing (Pemeliharaan nyamuk)

Rearing nyamuk dilakukan di laboratorium

Bidang Biomedika, Pusat Teknologi Keselamatan dan Metrologi Radiasi – BATAN Pasar Jum’at. Nyamuk Aedes aegypti dalam perkembangbiakannya mengalami metamorfose sempurna, mulai dari stadium telur, jentik, pupa dan dewasa. Stadium telur, jentik dan pupa hidup di dalam air, sedangkan stadium dewasa hidup beterbangan. Sebelum dilakukan irradiasi, disiapkan setiap stadium perkembangan nyamuk dengan jumlah sesuai kebutuhan untuk diiradiasi.

Irradiasi

Masing-masing sampel ditempatkan dalam wadah plastik berukuran tinggi 7 cm dan diameter 4 cm yang berisi 20 ml air. Secara terpisah, irradiasi dilakukan terhadap 200 butir telur berumur kurang lebih satu hari, 100 ekor jentik instar tiga atau empat, dan 100 ekor pupa umur nol hari menggunakan irradiator Gamma Cell-220 dosis 0, 65, 70, 75, 80 dan 85 Gy dengan laju dosis 1.369,77 Gy/jam.

Pengamatan

Pengamatan dilakukan terhadap setiap stadium nyamuk sampai 25 hari pasca iradiasi yakni perkembangan, persentase penetasan telur dan pemeriksaan embrio telur. Sebanyak 10 ekor nyamuk jantan dan betina yang terbentuk pada awal pasca irradiasi dikawinkan dengan nyamuk normal (tidak diiradiasi) yang berasal dari stok untuk diamati jumlah telur yang dihasilkan, persentase penetasan telur menjadi jentik/tingkat sterilitas akibat radiasi dan pemeriksaan embrio terhadap telur yang tidak menetas.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam penelitian ini telah dikembangkan metoda pemandulan vektor DBD menggunakan teknik nuklir. Pemandulan ini dapat dilakukan dengan sinar gamma, sinar X atau berkas neutron, namun dari ketiga sinar tersebut yang umum digunakan adalah sinar gamma seperti yang dilakukan dalam penelitian ini [6]. Untuk

mendapatkan vektor mandul, iradiasi dapat dilakukan pada stadium telur, larva, pupa atau

dewasa. Namun demikian untuk lebih praktis dan efektif, harus dipilih stadium yang paling tepat untuk diiradiasi. Radiasi yang paling umum dilakukan adalah pada stadium pupa yang merupakan stadium perkembangan dimana terjadi transformasi/perkembangan organ muda menjadi organ dewasa [7]. Pada stadium ini umumnya

spermatogenesis dan oogenesis sedang berlangsung, sehingga dengan radiasi dosis rendah sudah dapat menimbulkan kemandulan. Umur pupa pada saat diradiasi memiliki kepekaan terhadap radiasi yang berbeda-beda, semakin tua, kepekaannya terhadap radiasi semakin menurun

Pada penelitian ini ternyata irradiasi pada stadium pupa juga diperoleh data yang paling baik. Dari hasil pengamatan diketahui bahwa paparan radiasi pada stadium telur dan jentik tidak memberikan data yang baik karena tidak ada yang berkembang ke stadium lebih lanjut pasca irradiasi. Pada stadium pupa hasil yang diperoleh cukup baik, karena bisa diamati perkembangannya. Dilakukan juga pengamatan ada tidaknya embrio dalam telur yang tidak menetas dengan cara membelah telur untuk mengetahui prosentase kemandulan. Jika didalam telur terdapat embrio maka telur dianggap fertil dan jika kosong telur dianggap steril

Sepuluh ekor nyamuk yang terbentuk paling awal setelah irradiasi pada pupa dikawinkan dengan nyamuk stok yang tidak diiradiasi. Dilakukan pengamatan F1 terhadap jumlah telur, jentik, pupa dan nyamuk dewasa yang terbentuk (Tabel 1).

Tabel 1. Persentase jentik yang terbentuk dari hasil perkawinan antara nyamuk jantan yang berasal dari pupa diiradiasi dengan betina normal (tidak diiradiasi) Dosis (Gy) Jenis Kelamin Jumlah Telur Jentik (%) 0 Jantan 1880 89,71 0 Betina 684 77,94 65 Jantan 2067 1,47 65 Betina 0 0 70 Jantan 332 0 70 Betina 0 0 75 Jantan 268 0 75 Betina 0 0 80 Jantan 203 0 80 Betina 0 0 85 Jantan 0 0 85 Betina 0 0

Pada penelitian ini tidak dilakukan pengamatan terhadap perkembangan semua pupa yang diiradiasi menjadi nyamuk dewasa.

(4)

Pengamatan hanya dilakukan terhadap 10 ekor nyamuk yang pertama kali terbentuk dari semua pupa yang diiradiasi dengan variasi dosis. Ternyata semua nyamuk yang muncul pertama hanya berjenis kelamin jantan kecuali kontrol, sedangkan nyamuk betina tidak muncul, sehingga perkawinan hanya dilakukan terhadap nyamuk jantan irradiasi dengan nyamuk betina kontrol. Data tersebut menunjukkan bahwa jantan dan betina dapat terseleksi akibat paparan radiasi. Sehingga bisa dianggap teknik pemandulan ini menjadi Teknil Jantan Mandul.

Pada telur yang tidak menetas, dilakukan pengamatan ada tidakya embrio dengan cara membelah telur untuk mengetahui persentase kemandulan. Jika di dalam telur terdapat embrio maka telur dianggap fertil dan jika kosong maka telur dianggap steril. Hasil pengamatan terhadap telur yang setelah 7 hari tidak menetas, diketahui bahwa jumlah embrio yang ditemukan berturut-turut adalah 7, 16, 6 dan 6 embrio masing-masing untuk dosis 65, 70, 75 dan 80 Gy. Hasil selengkapnya disajikan dalam Tabel 2. Namun demikian embrio ini belum tentu dapat berkembang ke stadium berikutnya.

Tabel 2. Persentase embrio dalam telur telah 7 hari tidak menetas

Dosis

(Gy) Terdapatembrio Tidak terdapatembrio

65 5,15% 91,18%

70 11,76% 76,47%

75 4,41% 87,50%

80 4,41% 84,56%

Pada awalnya TSM disebut Teknik Jantan Mandul (TJM) yakni teknik pemberantasan serangga dengan jalan memandulkan serangga jantan. Namun untuk memisahkan nyamuk jantan dan betina yang akan diradiasi tidak mudah, sehingga serangga mandul yang diradiasi dan dilepas di lapangan tidak hanya jantan tetapi juga betina. Dengan pelepasan serangga betina mandul bersama-sama jantan mandul, maka diharapkan terjadinya perkawinan antara jantan fertil dengan betina fertil juga berkurang. Bila serangga betina hanya kawin satu kali dengan serangga jantan yang mandul, maka keturunan tidak akan terbentuk [8]. Serangga jantan

mandul dilepas di lapangan dengan harapan bisa bersaing dengan jantan normal alam dalam berkopulasi dengan serangga betina. Serangga betina yang telah berkopulasi dengan jantan mandul masih dapat bertelur, tetapi telurnya tidak dapat menetas. Apabila pelepasan serangga jantan mandul dilakukan secara terus menerus, maka populasi serangga dilokasi pelepasan menjadi sangat rendah.

Kelebihan dari teknik TSM adalah selektif, artinya yang menjadi sasaran pengendalian hanya spesies target, tidak merusak lingkungan, tidak menimbulkan resistensi dan syarat-syarat yang biasa diperlukan pada pemberantasan secara biologi dengan menggunakan musuh alami tidak diperlukan lagi [10]. Namun demikian radiasi ionisasi secara

umum dapat menimbulkan berbagai efek pada vektor, baik kelainan morfologis maupun kerusakan genetis. Derajat kelainan atau kerusakan yang terjadi akibat radiasi ionisasi bergantung kepada berbagai faktor radiasi (macam sinar, cara pemberian dosis dan laju dosis), faktor lingkungan (suhu, atmosfir) dan faktor biologi (perbedaan spesies dan variasi sel/jaringan) [11]. Gejala-gejala kemandulan akibat

radiasi pada vektor jantan disebabkan karena terjadinya aspermia, inaktivasi sperma, mutasi letal dominan dan ketidakmampuan kawin.

KESIMPULAN

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa teknik nuklir sangat bermanfaat dalam proses pemandulan nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor penyakit DBD. Irradiasi yang dilakukan pada stadium telur dan jentik tidak menunjukkan hasil yang baik karena tidak terjadi perkembangan lebih lanjut pasca radiasi. Irradiasi gamma dosis 65 Gy pada stadium pupa dapat memandulkan 98,0% populasi dan dosis 70 Gy menyebabkan kemandulan 100%. Teknik pengendalian vektor dengan TSM sangat spesifik, ramah lingkungan, tidak menimbulkan resistensi dan hanya berpengaruh pada spesies target saja. Hal ini sangat berlainan dengan pemberantasan vektor konvensional menggunakan pestisida yang dapat menimbulkan efek pencemaran lingkungan, timbulnya resistensi terhadap pestisida tertentu dan matinya hewan non target. TSM merupakan teknik pilihan yang sangat efektif dan efisien baik secara tersendiri maupun terintegrasi dengan teknik lain dan dalam pelaksanaannya akan lebih baik bila dikombinasikan dengan pengendalian vektor lain secara terpadu. Data yang diperoleh ini akan lebih lengkap dan informatif jika dilanjutkan dengan pemeriksaan bionomik (jarak terbang, pola pencar, lama hidup di alam dll) dan daya saing kawin nyamuk Aedes aegypti.

DAFTAR PUSTAKA

1. DEPARTEMEN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA. Petunjuk Pemberantasan Nyamuk Penular Penyakit Demam Berdarah Dengue, Dirjen PPM dan PLP,1992.

(5)

2. WHO, Prevention and Control of Dengue Haemorrhagic Fever, WHO Regional Publication. SEARO, No. 29, 2003.

3. SUB DIREKTORAT ARBOVIROSIS. Direktorat P3M, Depatemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta, 1983.

4. DEPARTEMEN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA. Petunjuk Teknis Penemuan, Pertolongan dan Pelaporan Penderita Penyakit Demam Berdarah Dengue, Dirjen PPM & PLP, 1992.

5. SUROSO, T., Demam Berdarah Dengue: Situasi, Masalah dan Program Pemberantasannya. Laporan Seminar Demam Berdarah Dengue, Jakarta, 8 Juni 1991, hal 9. Sub. Din Pencegahan Penyakit Dinkes Prop Dati I Jateng, 1995. 6. WHITE, R.D., KAMASKI, H., RALSTON,

D.F., HUTT, R.B and PETERSON, H.D.V. Longevity and Reproduction of Codling Moth Irradiated with Cobalt-60 or Cesium 137. J. Econ. Entomol. 65, 692 – 697, 1972.

7. HOPER, G.H.S., Competitiveness of Gamma Sterilized Males of the Mediteranean Fruit Fly : Effect of Irradiating Pupae or Adult Stage and of Irradiating Pupae in Nitrogen. J. Econ. Entomol., 64, 464 – 368, 1976.

8. La-CHANGE, L.E., SCHMITH, C.H. and BUSHLAND, R.C., Radiation Induced Sterilization. Dalam: Kilgore, W.W. and Dout R.L. Pest Control : Biological, Physical and Selected Chemical Methods, Academic Press, New York & London, 1967, hal 146-196. 9. KNIPLING, E.F., Possibilities of Insect Control

or Eradication Through the Use of Sexuality Sterile, J. Econ. Entomol. 48, 459 – 462, 1955. 10. WEIDHASS D.E., SCHMIDT C.H. and

SEABROOK E.L., Field Studies on the Release of Sterile Males for Control of Cx. p. fatigans. Mosquito News. 22, 283-291, 1962.

11. O’BRIENT R.D. and WOLF L.S., Radiation, radioactivity and Insect. Academic Press. New York – London, 1976.

TANYA JAWAB

Sugili Putra

−Lebih efektif manakah teknik pemandulan jantan/betina?

Siti Nurhayati

Sama saj, namun demikian ternyata nyamuk

betina lebih sensitive terhadap radiasi, sehingga walaupun radiasi dilakukan terhadap kedua jenis nyamuk(jantan dan betina) ternyata jantan lebih survive. las yang telah ditetapkan berdasar

produk/ manufaktur yang ada.

H. Muryono

−Bagaimana membedakan nyamuk jantan dan nyamuk betina?

−Bagaimana mengetahui bahwa nyamuk itu mandul?

−Bagaimana implementasi jaminan mutu pada penelitian ini?

Siti Nurhayati

Secara anatomis sangat mudah dibedakan dari

ukuran tubuh dan bentuk proboksisnya (moncongnya).

Dengan cara membedah tubuh nyamuk dan

telurnya dibuka ada/tidakada embrio didalamnya.

Belum dilakukan/diterapkan,karena masih

memerlukan data pendukung seperti biotonik, pola pencar, jarak terbang, dll.

Eddy Sumadi

−Metode merubah betina jadi jantan dan sebaliknya dengan metode apa?

−Ap abukan sifat nya saja yang berubah?

Siti Nurhayati

Tidak bias merubah jenis nyamuk jantan menjadi

betina atau sebaliknay, tetapi yang dimaksud adalah dengan perlakuan “temperature sensitivitas lethal”, maka stadium nyamuk

dengan perlakuan tersebut akan

mematikannyamuk betina, sehingga yang hidup terus adalah nyamuk jantan.

Nyamuk yang masih hidup benar-benar nyamuk

jantan.

Ir. Pudjianto

−Apakah ada cara/metode, bagaimana membuat nyamuk menjadi jenis kelamin jantan semua/betina semua?

(6)

Ada, yaitu dengan teknik dengan perlakuan “temperature sensitivitas lethal”, maka stadium nyamuk dengan perlakuan tersebut akan mematikannyamuk betina, sehingga yang hidup terus adalah nyamuk jantan.

Utaya

−Berapa kali nyamuk jantan membuahi nyamuk betina?

Siti Nurhayati

Hanya satu kali seumur hidupnya, dan dia

Gambar

Tabel  1.  Persentase  jentik yang  terbentuk dari  hasil   perkawinan   antara   nyamuk  jantan   yang   berasal   dari   pupa  diiradiasi dengan betina normal (tidak  diiradiasi) Dosis (Gy) Jenis  Kelamin JumlahTelur Jentik(%) 0 Jantan 1880 89,71 0 Betina  684 77,94 65 Jantan 2067 1,47 65 Betina 0 0 70 Jantan 332 0 70 Betina 0 0 75 Jantan 268 0 75 Betina 0 0 80 Jantan 203 0 80 Betina 0 0 85 Jantan 0 0 85 Betina 0 0

Referensi

Dokumen terkait

Private allele yang merupakan allele spesifik pada masing-masing varietas dapat membedakan jenis jati Sungu dan jati lokal asal Jember. Analisa dendrogram memperjelas bahwa jati

Heterokedastisitas adalah keadaan dimana terjadi ketidaksamaan varian dari residual pada model regresi. Persyaratan yang harus dipenuhi dalam model regresi adalah tidak

( libur, adalah, cuaca, cerah, ban, bocor, paku, matematika, bahasa, sains, bermain, baris, rajin, tentang, kalimat, tentang, kalimat) Bagus, siapa tahu arti kata dari; libur

[r]

Pemotongan Ternak Sapi Perah di Luar RPH (Tercatat) Provinsi Kalimantan Timur

Berdasarkan latar belakang diatas maka masalah yang akan diselesaikan yaitu membuat sebuah model penilaian indeks kinerja dosen dengan menggunakan metode FMADM (fuzzy

Untuk menjalankan amanah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasionaln dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Sebagian besar ibu bersalin di RSUD Panembahan Senopati Bantul mengalami preeklamsia ringan sebanyak 28 orang (56%)., Sebagian besar ibu bersalin di RSUD Panembahan Senopati