• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menggugat Profesionalisme Media Online d

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Menggugat Profesionalisme Media Online d"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Menggugat Profesionalisme Media Online di Indonesia Dalam Memberitakan KonflikTimur Tengah

Ahmad Alwajih (12/342307/PSP/04592)

Abstract

Media plays important role in the middle east conflict, as an “eye” and “ears” for international society, especially Indonesia. There are no excuses to online media format, merely reported it as another media did. But, if we analyze deeply, news which is publicized by mostly Indonesia online media, has been summarized from western news agencies, or well known as The Big Four. The more often referred from Western news agencies, the inevitable ideological tendencies appeared. Thus, biased reporting also the element which is hard to avoid. So, Is still online media in Indonesia could be said in term professional journalism? Is this a new epistemology in line with the professional standards of journalism or declined it? Therefore, not only the conflict news, entertainment news was also processed in the same way, through sums it up. This article aims to reflect on the fact pieces of online media that related how online media from multiple news sources with the relevant literature.

Keywords: Middle East Conflict, Online Media, Proffessional Journalism, News Agencies

Abstrak

Di tengah-tengah konflik Timur Tengah, media berperan sebagai mata dan telinga bagi masyarakat internasional, khususnya di Indonesia. Tak terkecuali media berformat online yang turut memberitakannya. Namun, jika dicermati, berita-berita yang dipublikasikan di media-media

online di Indonesia tersebut ternyata merangkum dari news agencies Barat yang dikenal dengan istilah The Big Four. Semakin sering merujuk dari agensi berita Barat, kecenderungan ideologis tak terelakkan. Dengan demikian, bias pemberitaan juga elemen yang sulit dihindari. Maka, masihkah media-media online di Indonesia bisa dikatakan jurnalisme yang profesional? Apakah epistemologi baru ini sejalan dengan standar profesionalisme jurnalistik ataukah justru menegasikannya? Sebab, tidak hanya berita konflik, berita hiburan pun juga diproses dengan cara yang sama, yaitu merangkum. Artikel ini bertujuan untuk merefleksikan kepingan fakta di media online terkait bagaimana media online merangkum dari beberapa sumber berita dengan literatur yang relevan.

(2)

Pendahuluan

Konflik-konflik internasional yang terjadi di berbagai belahan dunia tentunya menjadi

topik di berbagai media, termasuk di Indonesia. Beberapa isu sentral yang kini disorot ialah

konflik berkepanjangan di Timur Tengah: perang saudara di Suriah, misalnya.

Pemerintah Suriah dituduh bertanggung jawab atas penggunaan senjata kimia oleh

Amerika Serikat dan sekutunya dengan membawa legitimasi draf resolusi PBB. Sebab, senjata

kimia tersebut diduga digunakan untuk memadamkan api pemberontakan dan telah memakan

korban ribuan pemberontak termasuk warga sipil. Akibatnya, ribuan warga Suriah terpaksa

mengungsi.1

Sebenarnya sudah santer terdengar kabar untuk mendamaikan Pemerintah Suriah dan

pihak oposisi agar menghentikan aksi saling serang, terutama untuk menghentikan penggunaan

senjata kimia. Memasuki bulan Oktober 2013, wacana ini bergema lagi. Presiden Suriah,

Bashara Al Assad, membantah bahwa pihaknya memiliki senjata kimia pemusnah massal.

Maka, di panggung PBB, Menteri Luar Negeri Suriah, Walid Al Muallem mengatakan,

Pemerintahan Suriah telah bersedia bekerja sama dengan tim investigasi PBB untuk menyelidiki

serangan 21 Agustus 2013 di pinggiran Damaskus yang menewaskan ratusan orang.2

Agar terkesan adil, suara dari pihak oposisi juga mendapatkan tempat. Menteri Luar

Negeri Rusia, Sergey Lavrov, melontarkan wacana yang memperbolehkan pihak oposisi Suriah

mengikuti konferensi perdamaian di Geneva, Swiss. Pihak oposisi Suriah datang dengan

kapasitasnya sebagai anggota konferensi, bukan teroris atau ekstremis. Meski demikian, Rusia

tetap melanjutkan investigasi terkait senjata kimia di Aleppo yang diduga basis persenjataan

pemusnah massal tersebut.3 Hingga kini, penyelesaian atas Suriah belum juga meredakan pertempuran antara pemerintah setempat dan pihak oposisi.

Di tengah-tengah konflik inilah, jurnalisme media online turut serta menjadi “mata” dan “telinga” bagi warga dunia. Terlebih dengan kehadiran teknologi informasi dan komunikasi yang

1 Berita dari BBC Indonesia, Sebanyak 5000 Orang Mengungsi Setiap Harinya, edisi 8 Februari 2013, Tanggal

akses 21 Oktober 2013, jam akses 6.32 WIB

2

Berita dilansir Tempo.co dari Al Jazeera, Di PBB, Suriah Tuding Oposisi Terima Senjata Kimia, edisi 1 Oktober 2013, Tanggal akses 3 Oktober 2013, jam akses 7.22 WIB

3 Berita dilansir Kompas.com dari Associated Press, Oposisi Suriah Boleh Ikut Konferensi Damai di Geneva, edisi 1

(3)

semakin handal meng-cover situasi Suriah agar sampai ke audiens secara cepat dan aktual. Jika kita membaca berita-berita di media online secara cermat, kita akan menyadari bahwa berita-berita itu tidak murni berdasarkan pelaporan obyektif jurnalis media itu sendiri, melainkan hasil

merangkum sebuah berita dari media lain. Sebut saja berita-berita dari Al Jazeera, Reuters, AFP,

dan sejenisnya. Beberapa media besar di Indonesia seperti kompas.com, tempo.co, dan detik.com

seringkali melakukan metode kerja ini, apalagi jika menyangkut wacana internasional yang

secara geografis jauh dari jangkauan.

Dari segi aturan tertulis, tentu saja metode kerja ini dibenarkan asal menyebut dengan

jelas media mana yang dirujuk. Selain itu, merangkum diperbolehkan jika subyek berita yang

harus dikonfirmasi tidak diketahui keberadaannya atau tidak dapat diwawancarai.4

Profesionalisme jurnalisme di sini dipertaruhkan: apakah sekedar menjadi perpanjangan

tangan media lain dengan mengalirkan informasi belaka, atau jangan-jangan di balik itu ada

proses panjang yang secara historis-ideologis ikut mempengaruhi legalnya metode jurnalisme “rangkum” media-media online di Indonesia? Artikel ini mencoba merefleksikan antara kepingan fakta seputar konflik Timur Tengah yang diberitakan oleh media online di Indonesia dengan berbagai literatur relevan untuk menjawab pertanyaan tersebut.

Media Online“Merangkum” Berita

Semasa Perang Dunia II, sebelum praktik jurnalisme memanfaatkan media online dan beberapa piranti pendukungnya, seorang jurnalis akan terjun langsung ke garis depan peperangan

atau area konflik. Melalui mata kepalanya, ia bercerita bagaimana situasi konflik yang tengah

dihadapinya berikut mara bahayanya. Cerita-cerita itu sangat “hidup” dan memukau para

pembaca, sehingga si jurnalis dan media tempatnya bernaung akan dibaca banyak orang.

Memasuki abad 19, pola ini berubah. Jurnalis tidak harus turun langsung ke medan pertempuran

untuk meliput berita karena sumber berita bisa diperoleh dari berita kawat, surat-surat para

4 Lihat pasal-pasal dalam Pedoman Pemberitaan Media Siber yang wajib dicantumkan di tiap situs media online

(4)

prajurit, saksi mata yang selamat, dan masih banyak cara lainnya. Pendek kata, kemajuan

teknologi informasi dan komunikasi mengubah pola peliputan, sampai hasil liputannya.5

Sayangnya, kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi tidak selalu berbanding

lurus dengan kualitas isi berita. Mantan Presiden Direktur St. Petersburg Times, Robert J.

Haiman pernah mengatakan, konvergensi media berakibat fatal bagi jurnalisme. Bagi Haiman,

perubahan format media seharusnya lahir dari jurnalisme yang bermutu, dan jurnalis yang baik

akan mempertahankannya. Namun, tren konvergensi media yang ada saat ini bukannya

memperbaiki kualitas jurnalisme (terutama di sisi konten), konvergensi media malah

merusaknya. “Konvergensi ialah musuh bagi jurnalisme,”kata Haiman.6

Argumen Haiman tentu tidak sepenuhnya salah. Terbitan online sejatinya adalah salah satu upaya jurnalisme untuk menghadapi tantangan-tantangan yang harus dihadapi industri

media di abad 21, yakni persoalan finansial, kredibilitas lembaga, kualitas produk jurnalistik, dan

perkembangan media baru. Seringkali jurnalisme dikalahkan oleh tantangan-tantangan ini.7

Sejalan dengan tuntutan kredibilitas lembaga, konten berita justru mengalami

kemerosotan. Jurnalisme online bekerja berdasarkan prinsip seaktual mungkin dengan kemasan berita seadanya. Mencari berita pun akhirnya sekedar rutinitas menemukan fakta, merangkai

fakta pendukung, mengutip sumber berita untuk memperkuat cerita, dan menyusun elemen-elemen berita ke dalam liputannya, tanpa mempedulikan “kedalaman” cerita. Alhasil, berita begitu saja disajikan tanpa menimbang sisi menarik, berharga untuk diketahui, atau bahkan

membosankan.8

Jika itu berita seputar konflik, bukan mustahil cerita lebih terasa seperti “rangkuman”

atas kumpulan reportase media lainnya. Bahkan di media sekaliber kompas.com dan detik.com

pun melakukan hal serupa.

Pada edisi 23 Oktober 2013, kompas.com memuat berita mengenai serangan mematikan

yang terjadi di kota Rutba, yang berjarak 110 kilometer dari perbatasan Suriah. Dalam serangan

5 Lihat Karin Wahl Jorgensen dan Thomas Hanitszh,2009,The Handbook of Journalism Studies,London: Routledge 6 Robert J.Haiman dalam Edgar Huang, Facing Challenges of Convergence,The International Journal of Research

into New Media Technologies Vol.12 (1) 2006, hlm 86, London:Sage Publications

7 Mahfud Anshori, Jurnalistik Media Online Indonesia: Analisis Framing Tiga Portal Berita Online di

Indonesia,Jurnal Komunikasi Universitas Islam Indonesia, Vol.5,No.2,April 2011,hlm.129-131.

(5)

terkoordinasi di beberapa area, diketahui puluhan polisi dan belasan warga setempat tewas akibat

bom bunuh diri dan tembakan kelompok bersenjata. Di akhir tulisan, kompas.com menyebutkan

sumber berita ini diperoleh dari breaking news kantor berita AFP yang berjudul “Suicide Bombers, Gunmen Kill 28 in Iraq.”9

Kompas.com menambahkan fakta lain terkait hal ini dan judul berita asli diubah menjadi “Serangan Terkoordinasi di Provinsi Anbar, 25 Polisi Tewas.”10

Sama-sama merujuk ke AFP, detik.com menuliskan lead peristiwa di atas dengan kalimat yang heboh: “Lagi-lagi! Para pengebom bunuh diri dan pria-pria bersenjata melancarkan serangan beruntun di Irak. Akibatnya 25 polisi dan 3 warga sipil tewas.”11

Penyusunan laporan tersebut terkadang hasil campur-aduk dengan foto-foto berita.

Laporan tertulis diperoleh dari Al-Jazeera atau Al-Arabiyya, sementara foto berita dari AP atau

AFP. Pola ini bisa dibolak-balik sesuai dengan kebutuhan redaksional. Misalnya, berita yang

diturunkan tempo.co pada tanggal 23 September 2013 berjudul “Suriah Tolak Tuduhan

Penggunaan Senjata Kimia,” nampak foto berita menggunakan gambar Presiden Bashara Al Assad dari kantor berita AP, sedangkan sumber laporan tertulisnya dari Al Arabiyya.12

Lebih hebat lagi adalah bagaimana membuat cerita itu seakan-akan ditulis berdasarkan

laporan pandangan mata. Contohnya ketika helikopter Suriah ditembak jatuh oleh Turki.

Captions di bawah foto tertulis: asap terlihat dari perbatasan Suriah setelah pesawat tempur Turki menembak jatuh helikopter milik Suriah di perbatasan Turki-Suriah dekat Halay, Turki.

Tidak hanya captions, tetapi diikuti oleh laporan tertulis yang naratif. Jika berita bukan hasil laporan sendiri, bagaimana mungkin membuat keterangan foto bisa sedetail itu?13

Detik.com nampaknya ahli dalam mendramatisir pemberitaan Suriah. Lagi-lagi judul

berita dibuat fantastis untuk memberikan keterangan mengenai Sarin, yang diduga senjata kimia

Suriah: Sarin, Senjata Kimia Mematikan Perusak Saraf yang Legendaris.14 Bukannya

9 Suicide Bombers, Gunmen Kill 28 in Iraq, dipublikasikan di situs AFP.com,edisi 23 Oktober 2013.

10 Serangan Terkoordinasi di Provinsi Anbar, 25 Polisi Tewas, dilansir kompas.com edisi 23 Oktober 2013 dari

afp.com di tanggal yang sama

11

Serangan Beruntun di Irak Tewaskan 25 Polisi dan 3 Warga Sipil,dilansir detik.com edisi 23 Oktober 2013 dari afp.com di tanggal yang sama

12 Suriah Tolak Tuduhan Penggunaan Senjata Kimia, dilansir tempo.co edisi 23 September 2013 dari Al Arabiyya

dan foto berita dari Associated Press,

13 Turki Tembak Jatuh Helikopter Suriah, tempo.co edisi Selasa, 17 September 2013, dilansir dari Al Jazeera,

sumber foto Associated Press

(6)

mengkonfirmasi ke para pakar atau referensi ilmiah, acuan detik.com justru dari berbagai situs

berita dan sejarah penggunaannya sebagai senjata kimia.

Meminjam teori Peter L.Berger dan Thomas Luckmann, bahwa realita yang kita hadapi

sesungguhnya ialah kumpulan pengetahuan hasil konstruksi sosial.15 Mengikuti teori ini, tentunya produk berita seperti penggalan fakta di atas juga merupakan hasil konstruksi media,

dimana media sendiri sebagai agen konstruksi, yakni menggabungkan fakta dari sana-sini

menjadi satu cerita utuh.16 Namun, jurnalisme media online tidak sekedar mengkonstruksi realitas, tetapi sudah berbuat sedemikian jauh.

Sementara sumber-sumber yang banyak dikutip adalah “The Big Four” News Agencies,

yaitu AFP, Associated Press, Reuters, dan UPI. Keempatnya menjamin, berita yang mereka

distribusikan untuk dipublikasikan ulang di berbagai media negara lain bebas dari bias dan bertujuan “menegakkan” doktrin “free flow of informations” yang didukung PBB setelah Perang Dunia II. Padahal, keempat agen berita besar ini juga tidak luput dari bias barat (westernism). Seandainya bersih sama sekali dari ideologi barat, tentunya negara-negara komunis pada masa

itu tidak akan mencegah keempatnya merasuki media-media mereka.17

Di sisi lain, media-media online di Indonesia nampaknya meyakini kebenaran berita dari

news agencies itu. Terbukti dengan apa yang dilakukan kompas.com dan detik.com seperti berita-berita dalam paragraf sebelumnya. Tidak sebatas menerima begitu saja (taken for

granted), tetapi mereka juga melakukan konstruksi atas konstruksi realitas yang dilakukan news agencies. Artinya, fakta mengalami konstruksi dua kali. Bila fakta dikonstruksi berkali-kali, masihkah itu layak dinilai sebagai sebuah “berita”? Lebih lanjut, kita bisa mempertanyakan,

tugas jurnalisme ialah mencari kebenaran, maka, kebenaran yang bagaimana yang dicari

jurnalisme dengan metode kerja seperti ini, selain menjadi perpanjangan tangan ideologi barat.

Bila kesimpulan ini terlalu simplisistis, maka butuh jejak-jejak historis yang akan

menghubungkan relasi antara kecenderungan ideologi dengan ketergantungan terhadap sumber

berita.

15 Lihat Peter L.Berger dan Thomas Luckmann,1996,The Social Construction of Reality,London:Penguin Books,

hlm.13

16 Eriyanto,2012,Analisis Framing,Yogyakarta: LKiS,hlm.15

17 Oliver Boyd dan Terhi Rantanen, 2004, McQuail’s Reader In Mass Communication Theory,London: Sage

(7)

Dominasi News Agencies

Selama peperangan Anglo-Zulu di Afrika Selatan di tahun 1899-1902, hampir seluruh

pemberitaan koran-koran di Inggris mengacu pada Reuters. Sementara di New Zealand, United

Press Association (UPA) menyediakan berbagai berita yang disalin dari beberapa surat kabar Afrika Selatan seperti Cape Argus dan Cape Times. Jadi, tugas UPA mengelola dan

menghubungkan berita-berita dari koran-koran Afrika Selatan ke daratan Inggris. Uniknya,

selain mengolah informasi dari koran-koran Afrika Selatan, UPA juga menggabungkannya

dengan berita yang diperoleh dari Reuters. Padahal, apa yang dilakukan Reuters lebih dari

sekedar mendistribusikan berita. Posisi Reuters saat itu sekaligus sebagai pendukung supremasi

kerajaan Inggris atas berbagai koloni-koloninya dengan menempatkan kepentingan imperium di

atas hasil penjualan beritanya.18

Pola ini berkembang ketika teknologi pemberitaan semakin maju. Ketika Perang Dunia II

berlangsung, pihak Amerika dan sekutu menggunakan kanal-kanalnya seperti Associated Press,

Reuters, United Press, serta berbagai agensi berita miliknya untuk menyebarkan propaganda

terhadap negara-negara lain. Amerika dan sekutu sadar, selain kekuatan militer, kekuatan Blok

Timur Uni Soviet sukar dilawan kecuali mengandalkan informasi yang kuat dan berpengaruh

besar. Oleh karenanya, Amerika dan sekutu menekan berbagai media di dunia (terutama negara

koloni) untuk mengalirkan informasi hanya dari news agencies mereka, dan jangan sampai berkiblat ke Uni Soviet.19

Memasuki abad ke 20 pasca Perang Dunia II, isu free flow of information yang digulirkan

news agencies dengan segera muncul sebagai doktrin jurnalisme yang diadopsi berbagai media di seluruh dunia. Terlebih PBB merespon isu ini dengan sambutan positif. Free flow of

information memegang teguh prinsip: “no barriers should prevent the flow of information among nations”. Kalimat ini mengandung arti yang mendalam bagi hak asasi manusia dan kebebasan jurnalisme untuk mandiri dari berbagai kooptasi.20

18 Simon J Potter, 2007, Web, Networks, and Systems: Globalization and The Mass Media in The Nineteenth and

Twentieth Century British Empire, Journal of British Studies Vol.46 No.3, London: Cambridge University Press, hlm.636

(8)

Kebebasan ini diwujudkan oleh Associated Press dan United Press dengan keluar dari

segala bentuk cengkeraman Pemerintah Amerika Serikat setelah disubsidi sekian lama dan

menjadi alat propaganda. Associated Press memutuskan sebagai agensi berita independen pada

tanggal 4 Januari 1946, disusul kemudian oleh UP tanggal 16 Februari di tahun yang sama. Baik

AP maupun UP sama-sama berkomitmen terhadap kebebasan akses terhadap berita dan

mengalirkannya ke seluruh penjuru dunia. Gelombang informasi bebas akhirnya ikut melanda

Reuters di Inggris dan berbagai agensi berita negara lainnya yang pernah berperan dalam

propagandis selama masa peperangan.21

Kisah kebebasan tersebut rupanya diikuti oleh kesuksesan finansial. Studi yang dilakukan

oleh Stephen Shmanske di tahun 1985 mengungkapkan, setelah secara resmi independen,

Associated Press bahkan berani menyatakan dirinya agensi berita non profit. Semua informasi

dari Associated Press boleh dikutip siapa saja dengan cuma-cuma. Sama-sama mendistribusikan

berita dengan UPI, misalnya, AP justru meraup keuntungan yang bahkan lebih besar. Bila

media-media lain membayar ke UPI untuk berita, AP tidak menarik biaya. Kalaupun ada biaya yang harus dikeluarkan, keuntungannya dibagi dengan media yang “membeli” berita tersebut. Ketika itu, nilai penjualan berita AP mencapai 14.000 dollar per pekan, suatu prestasi yang belum

pernah diraup agensi berita lainnya.22

Keuntungan yang diraih agensi berita seperti AP bukan sekedar dari “setoran”

media-media nasional di barat belaka. Melainkan juga dari penetrasi besar-besaran news agencies ke seluruh negara di dunia, khususnya negara berkembang. Hasil penelitian yang dilakukan oleh

Berverly Horvit di tahun 2005 mengenai penetrasi news agencies sangat mengejutkan.

Sampai tahun 2005, Associated Press merajai tatanan komunikasi dunia dengan

memiliki 3700 personil yang tersebar di 242 biro di seluruh dunia, melayani kebutuhan informasi

121 negara, termasuk 1700 koran di Amerika dan 8500 pelanggan internasional. AFP mengklaim

2000 personil di seluruh belahan dunia termasuk para jurnalis yang bekerja di 165 negara.

21 Burton Paulu, 1951, The Voice of America and Wire Service News, The Quarterly of Film Radio and Television

Vol.6 No.1, University of California Press, hlm.30-31

22 Stephen Shmanske, 1986, News as Public Good: Cooperative Ownership, Price Commitments, and The Success

(9)

Sementara agensi berita Inggris, Reuters, diawaki oleh 2300 staf editorial yang bekerja di 196

negara di seluruh dunia.23

Akibatnya, bukan tidak mungkin terjadinya bias pemberitaan karena sumber berita,

khususnya peristiwa internasional, berasal dari satu kanal yang menyebar ke seluruh dunia.

Misalnya dalam berita seputar konflik Timur Tengah yang menjadi lingkup artikel ini, bias Barat

mencapai puncaknya pasca kejadian 9/11 yang meruntuhkan gedung World Trade Center

Amerika Serikat. Sejak saat itu, berita-berita dari news agencies mengalami pergeseran dalam penggunaan bahasa menjadi lebih emosional, seperti pemakaian kata terrorist/terrorism/terror

atau guerilla bagi sekelompok pejuang kebebasan yang notabene dari Timur Tengah. Pemilihan kosa kata dan gaya bahasa tersebut menyebabkan memanasnya sentimen politik bahkan sampai

tingkat personal di kalangan pembaca.24

Di samping itu, negara-negara berkembang (termasuk Indonesia) membutuhkan suatu

keyakinan untuk sejajar dengan negara-negara maju setelah lepas dari penjajahan, tak terkecuali

di ranah informasi. Adanya relasi ini semakin memudahkan news agencies untuk “menguasai” negara-negara berkembang melalui berbagai materi informasi: kultur, hiburan, ekonomi, dan

sebagainya.25

Indonesia sebagai negara demokratis yang sedang berkembang, memiliki undang-undang

jaminan kebebasan untuk mencari, mengolah, dan mendistribusikan informasi bagi warganya,

terutama para awak media dan dunia siber. Selaras dengan asas free flow of information,

tentunya media juga berhak untuk mengutip (bahkan merangkum?) dari sumber berita manapun.

Namun ada satu lagi fakta menarik, kalaupun jurnalisme rangkum itu memang dilindungi

undang-undang, mengapa selalu merujuk pada the big four? Padahal, news agencies Asia juga ada, Xin Hua misalnya yang bermarkas di China, atau ITARR-TASS milik Rusia?

Jawaban pertanyaan di atas bisa diasumsikan sebagai berikut. Ideologi

sosialisme-komunis XinHua dan ITARR-TASS bertolak belakang dengan The Big Four yang jelas

23 Sumber data dari Berverly Horvit, 2006, International News Agencies and The War Debate of 2003, International

Communication Gazette, London: Sage Publications, hlm.430

24

Michael Palmer, 2011, Press on The Appropriate Button in The Reader’s Mind: News Agencies Cover Teorrism, Global Media Communication, London: Sage Publications, hlm. 257

25 K.Nageswar, 1989, Political and Economic Dimensions of The Global Information Imbalance, Social Scientist

(10)

mencerminkan liberalisme. Sosialisme-komunis relatif tidak memberi keuntungan sebesar

pencapaian The Big Four di pasar informasi karena peran negara lebih dominan daripada sistem media bersangkutan. Sementara berideologi liberalisme menjanjikan sikap obyektif dan standar

profesional yang dianut mayoritas negara maju untuk kepentingan tatanan ekonomi global.

Meskipun bias, tetapi media bercorak liberal akan jauh diminati daripada model partisan atau

propaganda.

Kehadiran media online di tengah riuhnya lalu lintas informasi akhirnya menjembatani kepentingan bisnis di samping yang ideologis. Penetrasi berita-berita dari news agencies akan

semakin tak terbendung dan mengukuhkan dominasi mereka. Kecenderungan ideologis media

online akhirnya tidak bisa dihindari karena kuatnya pengaruh para agensi berita, sehingga berdampak cukup serius terhadap isu profesionalisme jurnalistik yang nampaknya perlu dikaji

sekali lagi.

Profesionalisme Media Online Dalam Melansir Berita Konflik

Anthony Collings, dalam bukunya berjudul “Capturing The News: Three Decades of Reporting Crisis and Conflict” menulis, banyak perubahan yang dialami jurnalisme sejak ia

bekerja sebagai jurnalis di daerah konflik Timur Tengah pada tahun 1981 hingga kini. Hal-hal

yang membuatnya senang adalah ketika menyadari banyak profesional di bidang ini. Akan tetapi,

ia menulis dengan nada muram tentang “kematian” media cetak dan liarnya perkembangan

media online.26

Bukan semata sentimen terhadap adanya konvergensi, tetapi ia mengeluhkan persoalan

kerja profesional jurnalisme dalam meliput zona konflik. Menurutnya, pola pelaporan jurnalisme

media online saat ini adalah upaya institusi berita untuk menghemat biaya yang tidak perlu dilakukan, dengan memperbanyak volume penggunaan tak berbayar alias gratis, hingga

penugasan jurnalis-jurnalis amatiran (merangkap perangkum berita) menggantikan jurnalis

profesional.27

26 Anthony Collings,2010, Capturing The News: Three Decades of Reporting Crisis and Conflict, Missouri Press

,hlm 174.

(11)

Berkaitan dengan persoalan ini, setidaknya kita bisa menduga beberapa hal. Pertama,

merangkum sumber berita dari media lainnya andai berbayar sekalipun, tetap saja

pengeluarannya lebih minim daripada menerjunkan jurnalis ke zona konflik. Kedua, dari segi keamanan, jurnalis tak harus mempertaruhkan nyawa ke zona konflik. Ketiga, kesalahan pengutipan berita bisa selekasnya diverifikasi dengan mempublikasikan berita yang benar.

Dewasa ini, tidak hanya berita konflik di Timur Tengah, hampir semua berita tentang

sepak bola sampai kisah selebriti papan atas di Korea atau Hollywood yang digandrungi para

remaja, juga disajikan oleh media online di Indonesia dengan cara mengutip sumber asing.

Lantas, apa bedanya teknik jurnalisme konflik dengan produk infotainment bila sama-sama

mengandalkan media lain sebagai sumber berita?

Refleksi dari Collings menandakan adanya persoalan “cukup serius” dalam epistemologi

peliputan konflik. Perbedaan cara bercerita saja antara peristiwa konflik internasional dan produk

hiburan tidak akan cukup jelas untuk membedakan epistemologi keduanya sebagai indikator

profesionalisme kerja jurnalisme di media online.

Konsep profesionalisme memang sangat subyektif dan masih diperdebatkan. Tak

terkecuali bagi jurnalisme. Tipisnya cara kerja jurnalisme dalam meliput berita konflik yang

sudah kabur batasannya dengan produk hiburan itu termasuk kategori profesional atau tidak,

Daniel C.Hallin dan Paolo Mancini menyarankan untuk memahami kembali secara praktis.

Makna profesional itu sendiri bisa dipahami sebagai seseorang yang memiliki

pengetahuan sistematis dan diperoleh melalui panjangnya jam terbang pelatihan khusus. Tidak

seperti profesi dokter atau pengacara, jurnalisme tidak terpaku pada kategori formal tertentu.

Menurut Hallin dan Mancini, penilaian atas profesionalisme kerja jurnalistik setidaknya dilihat

dari tiga dimensi: (1) otonom (autonomy) mulai dari tingkat organisasi hingga praktik seorang jurnalis saat memproduksi konten media, (2) memiliki norma-norma profesi (proffession norms) yang meliputi kode etik, cara hidup, hingga kesadaran diri akan identitasnya sebagai seorang

(12)

(public service orientation). Di samping itu, Hallin dan Mancini menyertakan kontrol atas media dari luar dirinya, yaitu partai politik, kelompok-kelompok atau gerakan sosial.28

Sementara makna profesional jika dilihat dari segi konten berita berarti obyektifitas

dalam kebenaran berita itu sendiri. Dennis McQuail mengemukakan, berita dikatakan obyektif

jika memenuhi beberapa hal: (1) Laporan tersebut mempunyai tingkat faktualitas yang tinggi; (2)

Pembedaan yang jelas antara fakta dan interpretasi jurnalis; (3) Menyebutkan sumber-sumber

informasi yang dapat dipercaya; (4) Berita harus tepat waktu dengan menyajikan versi terbaru;

(5) Menyajikan berita secara netral, terlebih dalam situasi konflik. Menurut karakteristik ini,

obyektifitas dalam pemberitaan berarti mengesampingkan bias personal, kepentingan pribadi,

dan orientasi iklan belaka.29

Nampaknya konsep umum tentang jurnalisme profesional yang ada sudah tidak berdaya

menghadapi format new media. Kekaburan batasan antara proses penyusunan berita konflik internasional dan produk hiburan membutuhkan reartikulasi baru apabila jurnalisme

menginginkan pembatasan konsep yang tegas dan ingin membedakan diri dari infotainment

misalnya. Selain mengikuti kaidah-kaidah lama yang nyata-nyata kontradiktif dengan praktik

jurnalisme saat ini, jurnalisme media online ternyata belum memiliki epistemologi yang cukup kuat terkait persoalan dalam tulisan ini.

Penutup

Melalui refleksi di atas, penulis menarik beberapa kesimpulan mendasar. Pertama, bukan persoalan boleh atau tidaknya mengutip dari sumber berita lainnya, melainkan kita harus jujur

mengatakan, bahwa fakta yang ada di media online terkait konflik Timur Tengah telah mengalami konstruksi berkali-kali. Sayangnya, jurnalis terkadang menerima realita ini sebagai

metode yang lumrah di kalangan jurnalisme, tanpa mau merumuskan sendiri epistemologi

pemberitaan konflik yang sesuai dengan format new media.

28

Daniel C.Hallin dan Paolo Mancini,2004,Comparing Media Systems: Three Models of Media and Politics, New York: Cambrigde Universtiy Press

29 Dennis McQuail dalam Puji Rianto,Kegagalan Jurnalisme Profesional dan Kemunculan Jurnalisme Publik,Jurnal

(13)

Kedua, dominasi news agencies atau agensi berita juga patut diperhitungkan. Sebab, sejarah membuktikan kuatnya penetrasi informasi mereka sekaligus janji-janji manis dalam hal

keuntungan materi. Kebebasan arus informasi ternyata berbanding lurus dengan kebebasan

ekonomi (liberalisme) karena berpihak pada ekonomi pasar bebas, sehingga bisa diasumsikan

news agencies dari Barat lebih dominan dibanding news agencies milik Rusia atau China. Semakin sering media-media online merujuk ke sumber berita yang beraliran liberalisme tersebut, dampaknya juga terasa sampai pemberitaan yang bias.

Ketiga, ternyata tidak melulu berita konflik, berita-berita lain seperti hiburan juga dipublikasikan melalui teknik serupa. Maka, epistemologi pemberitaan konflik di media online

menjadi kabur dengan berita lain yang sifatnya hiburan belaka.

Merumuskan solusi bagi persoalan di atas mungkin tidak cukup terjawab dalam tulisan

ini. Namun, kita bisa menengok berbagai peristiwa yang membentuk cara kerja jurnalisme.

Barangkali sama halnya dengan Joseph Pulitzer yang membangun cara kerja jurnalisme

sensasional bermotifkan materi, tiap teknik peliputan berita konflik media onlise bisa juga lahir dari dorongan normatif.

Bill Kovach dalam bukunya Sembilan Elemen Jurnalisme mencontohkan ilustrasi

menarik: Katakanlah, siapa saja saat ini bisa mengatasnamakan dirinya jurnalis dengan berbekal

koneksi internet dan komputer. Cukup menelusuri situs berita dan rangkum, lalu publikasikan,

dan selesai. Lain persoalan dengan produk hiburan, kini beranjak apa bedanya kinerja jurnalisme dengan orang biasa, jika semua bisa melakukan kerja jurnalisme “lansir” seperti ini? Perbedaan mendasar adalah, jurnalisme berorientasi pada kebenaran. Selain itu, kemajuan teknologi

seharusnya mendorong jurnalisme memenuhi fungsi ini.30Bill Kovach hanya mencoba mengingatkan, konvergensi media tidak berarti mengubah segalanya. Format boleh saja berubah,

tetapi nilai-nilai moralitas jurnalisme harus tetap dipegang teguh, terlebih jika berita itu memuat

konflik yang sangat sensitif.

Di samping itu, banyak asumsi-asumsi kritis yang perlu ditelusuri melalui penelitian lebih

jauh. Sebab, artikel ini disusun berdasarkan refleksi fakta dengan keterbatasan beberapa literatur

ilmiah sejauh yang bisa terakses saja tanpa melewati suatu disiplin metodologis.

(14)

Referensi

Anshori, Mahfud.Jurnalistik Media Online Indonesia: Analisis Framing Tiga Portal Berita Online di Indonesia,Jurnal Komunikasi Universitas Islam Indonesia, Vol.5,No.2,April 2011

Berger, Peter L.Berger dan Thomas Luckmann,1996,The Social Construction of Reality,London:Penguin Books

Boyd, Oliver dan Terhi Rantanen, 2004, McQuail’s Reader In Mass Communication Theory,London: Sage Publications,

Collings, Anthony.2010.Capturing The News: Three Decades of Reporting Crisis and Conflict. Missouri Press

Eriyanto,2012,Analisis Framing,Yogyakarta: LKiS

Gauhar ,Altaf.1979.Free Flow of Information: Myths and Shibboltes, Thirld World Quarterly Vol.1 No.3

Hallin, Daniel C dan Paolo Mancini,2004,Comparing Media Systems: Three Models of Media and Politics.New York: Cambrigde Universtiy Press

Horvit,Berverly. 2006. International News Agencies and The War Debate of 2003, International Communication Gazette, London: Sage Publications

Huang, Edgar.Facing Challenges of Convergence.The International Journal of Research into New Media Technologies Vol.12 (1) 2006.London:Sage Publications

Jorgensen, Karin Wahl dan Thomas Hanitszh.2009.The Handbook of Journalism Studies,London: Routledge

Kovach, Bill dan Tim Rosenstiel, 2006,Sembilan Elemen Jurnalisme, Jakarta: Yayasan Pantau

Nageswar, K.1989.Political and Economic Dimensions of The Global Information Imbalance.

Social Scientist Vol.17 No.11

Rianto, Puji,Kegagalan Jurnalisme Profesional dan Kemunculan Jurnalisme Publik,Jurnal Komunikasi UII Vol.1 No.2, April, 2007

Palmer, Michael.2011.Press on The Appropriate Button in The Reader’s Mind: News Agencies Cover Teorrism, Global Media Communication, London: Sage Publications

Paulu,Burton.1951, The Voice of America and Wire Service News.The Quarterly of Film Radio and Television Vol.6 No.1, University of California Press

(15)

Shmanske, Stephen.1986. News as Public Good: Cooperative Ownership, Price Commitments, and The Success of Associated Press.The Bussinness History Review Vol.60 No.1, The Presidents and Fellows of Harvard College

Sumber Online

Sebanyak 5000 Orang Mengungsi Setiap Harinya, edisi 8 Februari 2013, BBC Indonesia Tanggal akses 21 Oktober 2013, jam akses 6.32 WIB

Berita dilansir Tempo.co dari Al Jazeera, Di PBB, Suriah Tuding Oposisi Terima Senjata Kimia,Tempo.co edisi 1 Oktober 2013, Tanggal akses 21 Oktober 2013, jam akses 7.22 WIB

Oposisi Suriah Boleh Ikut Konferensi Damai di Geneva, Kompas.com edisi 1 Oktober 2013, Tanggal akses 21 Oktober 2013, jam akses 8.00 WIB

Sarin, Senjata Kimia Mematikan Perusak Saraf yang Legendaris,detik.com edisi 12/13/2012, Tanggal akses 21 Oktober 2013, jam akses 8.00 WIB

Suicide Bombers, Gunmen Kill 28 in Iraq, dipublikasikan di situs AFP.com,edisi 23 Oktober 2013. Tanggal akses 21 Oktober 2013, jam akses 8.00 WIB

Serangan Terkoordinasi di Provinsi Anbar, 25 Polisi Tewas, dilansir kompas.com edisi 23 Oktober 2013 dari afp.com di tanggal yang sama. Tanggal akses 21 Oktober 2013, jam akses 8.00 WIB

Serangan Beruntun di Irak Tewaskan 25 Polisi dan 3 Warga Sipil,dilansir detik.com edisi 23 Oktober 2013 dari afp.com di tanggal yang sama. Tanggal akses 21 Oktober 2013, jam akses 8.00 WIB

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini mengindikasikan adanya kandungan oksida besi yang mengakibatkan penambahan ion besi yang cukup signifikan, sedangkan untuk kedalaman 3 meter mengalami

meningkatkan laba ditahan perusahaan dan dividen yang akan dibayarkan menjadi rendah.Di sisi lain kepemilikan manajerial yang tinggi juga dapat mengurangi konflik agensi karena

Hasil analisis hubungan pola konsumsi makanan cepat saji (fast food) terhadap kenaikan berat badan pada mahasiswa Fakultas Ilmu Kesehatan dapat dilihat pada tabel 7.. Sampel

Pengujian Tidak Merusak (Non Destructive Test), Jika hasil Evaluasi terhadap mutu beton yang disyaratkan ternyata tidak dapat dipenuhi, maka jika diminta

Saran yang ingin dikemukakan peneliti dalam skripsi ini adalah sebagai berikut; (1) kepada guru yang mengajar mata pelajaran IPA kelas VI di Sekolah Dasar

digunakan dalam penelitian ini adalah variabel yang dihasilkan dari sintesa tinjauan pustaka antara lain variabel penentuan karakteristik kawasan Pecinan

Manfaat lain dari penggunaan media sistem informasi berbasis Web bagi masyarakat, konsumen dan pelanggan adalah website sangat bermanfaat yaitu memudahkan konsumen