• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEJARAH PERKEMBANGAN POLITIK HUKUM DI IN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "SEJARAH PERKEMBANGAN POLITIK HUKUM DI IN"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

SEJARAH PERKEMBANGAN POLITIK HUKUM DI INDONESIA MakalahDisusunSebagaiTugasPadaMata KuliahSejarahHukum

Disusunoleh: 1. Ahmad Kennedy 2. BrinnaListiyani 3. Mayezi Leo Handika 4. Ponto Tri Anggoro 5. Sidik

6. Teddy Wahyudi

PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

(2)

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ______________________________________ 3 A. Latar Belakang Masalah ______________________________________ 3 B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ______________________________________ 4 BAB II TINJAUAN UMUM SEJARAH HUKUM DAN

PENGARUHNYA TERHADAP SEJARAH

HUKUM INDONESIA ______________________________________ 5 A. Pengertian Sejarah Hukum ______________________________________ 5 B. Sejarah Hukum dan Pengaruhnya di

Nusantara ______________________________________ 6 C. Pengaruh Sejarah Hukum Romawi

terhadap Sejarah Hukum Indonesia ______________________________________ 8 BAB III PERKEMBANGAN SEJARAH HUKUM DI

INDONESIA _____________________________________ 10

A. Masa Kerajaan Nusantara _____________________________________ 10 B. Masa Penjajahan Belanda _____________________________________ 12 C. Zaman Penjajahan Jepang _____________________________________ 21 D. Periode Kemerdekaan sampai sekarang _____________________________________ 22 E. Perubahan Sistem Hukum Indonesia _____________________________________ 30

BAB IV PENUTUP _____________________________________ 30

A. Kesimpulan _____________________________________ 30

B. Saran _____________________________________ 30

DAFTAR PUSTAKA _____________________________________32

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

(3)

menjajah Indonesia. Hampir semua hukum yang berjalan di Belanda juga ikut diterapkan di Indonesia. Dengan kata lain, Hukum Indonesia adalah hukum yang masih mengacu kepada hukum yang dibuat oleh Belanda.

Sistem Hukum Eropa Kontinental adalah sistem hukum yang diterapkan di negara Belanda yang berasal dari Hukum Romawi Kuno. Sistem hukum ini muncul pada abad ke ke tigabelas di Jerman dan sejak saat itu senantiasa mengalami perkembangan, perubahan, atau menjalani suatu evolusi. Selama evolusi ini, system hukum Eropa Kontinental mengalami penyempurnaan yaitu menyesuaikan kepada tuntutan dan kebutuhan masyarakat yang berubah sehingga disebut juga sistem Hukum Romawi Jerman.

Sistem hukum ini mula-mula berlaku di daratan Eropa Barat yaitu di Jerman kemudian ke Prancis dan selanjutnya ke Belanda kemudian di negara-negara sekitarnya. Belanda yang pernah menjajah bangsa Indonesia membawa sistem hukum ini dan memberlakukannya di seluruh wilayah jajahannya.

Hukum Indonesia sendiri merupakan campuran dari sistem hukum Eropa Kontinental, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari'at Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum Adat yang diserap dalam perundang-undangan atau yurisprudensi, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara.

(4)

Dalam pembahasannya, makalah ini berusaha menemukan kontinuitas dan keterkaitan sejarah hukum dunia dengan sejarah hukum Indonesia, dan menjelaskan pula bagaimana pengaruh sejarah hukum Romawi yang dibawa melalui penjajahan Belanda berpengaruh pada pilihan sistem hukum di Indonesia.

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah

Sejarah hukum yang dimaksudkan dalam penulisan makalah ini adalah sebagaimana dimaksud Munir Fuady dalam bukunya Sejarah Hukum, maupun John Gilissen dan Frits Gorle dalam bukunya Sejarah Hukum; Suatu Pengantar. Jika kedua buku tersebut membahas sejarah hukum secara luas dan hanya menyasar sejarah-sejarah hukum “besar” dimulai dari Sejarah Hukum Babilonia, Mesir Kuno, India, Budha dan Cina Klasik, Yunani dan Romawi, maka penulisan makalah ini membatasi diri pada bahasan bagaimana pengaruh sejarah hukum: pertama, India (Hindu) dan China (Budha) terhadap sejarah hukum kerajaan-kerajaan di Nusantara sebelum masa penjajahan Belanda. Kedua, pengaruh sejarah hukum romawi yang dibawa penjajah Belanda terhadap perkembangan sejarah hukum di Hindia Belanda dan Indonesia pasca Kemerdekaan.

Melihat latar belakang dan pembatasan masalah diatas, maka rumusan yang akan diajukan penulis adalah :

1. Bagaimanakah kaitan sejarah hukum dunia tersebut khususnya sejarah hukum Romawi dengan Perkembangan Sejarah Hukum di Indonesia ?

2. Bagaimanakah sejarah hukum di Indonesia bisa menjadi landasan bagi terciptanya sistem hukum baru di Indonesia ?

BAB II

TINJAUAN UMUM SEJARAH HUKUM DAN PENGARUHNYA TERHADAP SEJARAH HUKUM INDONESIA

(5)

Sebelum masuk kepada pengertian Sejarah Hukum baiknya kita memahami terlebih dahulu yang dimaksud dengan Sejarah. Untuk memberikan definisi tentang sejarah ini sangat sulit, mengingat bahwa banyak sekali pendekatan dari segi etimologi yang digunakan. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa sejarah sebagai suatu pengungkapan fakta dari kejadian-kejadian masa lalu. Sedangkan yang dimaksud dengan Sejarah Hukum adalah suatu metode dan ilmu yang merupakan cabang dari dari ilmu sejarah yang mempelajari, menganalisis, memverifikasi, menginterpretasi, menyusun dalil dan kecenderungan dan menarik kesimpulan tertentu tentang setiap fakta, konsep, kaidah dan aturan yang berkenaan dengan hukum yang pernah berlaku baik secara kronologis dan sistematis, berikut sebab akibat dan ketersentuhannya dengan bidang lain dari hukum.1 Jadi sejarah hukum merupakan cabang dari ilmu sejarah dengan hukum sebagai objeknya.

Sementara itu, John Gilissen dan Frits Gorle menjelaskan bahwa sejarah hukum merupakan bagian dari penyelenggaraan sejarah secara integral dengan memfokuskan perhatian pada gejala-gejala hukum, dimana penulisan sejarah secara integral pula mempergunakan hasil-hasil sejarah hukum dan sekaligus meredam efek samping yang terpaksa ikut muncul ke permukaan sebagai akibat peletakan tekanan pada gejala-gejala hukum.2Oleh karena itu tujuan akhir sejarah hukum yang spesifik adalah menemukan dalil-dalil dan kecenderungan-kecenderungan perkembangan hukum.3

Menurut Lili Rasjidi, mempelajari hukum dari segi sejarahnya mulai dikenal setelah Friedrich Carl von Savigny, pelopor Mazhab Sejarah, menggunakannya dalam penyelidikan hukum yang dilakukannya. Dengan metode ini, dicari asa mula suatu system hukum dalam suatu Negara/masyarakat, perkembangannya dari dahulu hingga sekarang.4

Ada dua hal yang mempengaruhi munculnya Mazhab sejarah saat itu, pertama

pengaruh Montesquieu dalam bukunya L’espirit de Lois yang terlebih dahulu

1MunirFuady, SejarahHukum, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2013), Cet.II, hlm.1.

2 John Gilissendan Frits Gorle, SejarahHukum; SuatuPengantar, Terjemahan, (Bandung: PT. RefikaAditama, 2011), Cet. V, hlm. 12.

3Ibid.

(6)

mengemukakan tentang adanya hubungan jiwa suatu bangsa dengan hukumnya dan kedua, pengaruh paham nasionalisme yang mulai timbul diawal abad ke-19.5

Selanjutnya, pengaruh pandangan Savigny – menurutLiliRasjidi – terasasampai jauh keluar batas-batas negeri Jerman. Terhadap Indonesia misalnya terdapat pada pendapat para ahli hukum adat kita seperti Prof. Supomo, Prof. Sudirman, Prof Djojodiguno dan lain-lain. Berkat pandangan von Savigny hukum adat kita diperlakukan sebagai hukum yang berlaku bagi golongan Indonesia asli. Ini semua karena merupakan perjuangan orang-orang Belanda sendiri seperti van Vollenhoven, Ter Haar maupun Holleman dan lain-lain yang menganut pendapat von Savigny.6

B. Sejarah Hukum dan Pengaruhnya di Nusantara7

Sejarah hukum hanya dapat dipelajari sejak periode yang didalamnya dokumen-dokumen pertama ditulis. Pada umumnya semua bangsa-bangsa pernah mengalami evolusi hukum selama berabad-abad sebelum periode mereka menggunakan aksara. Oleh karena itu pembedaan antara pra-sejarah dan sejarah hukum pada hakikatnya terletak pada perbedaan antara bangsa-bangsa tuna aksara dan bangsa-bangsa beraksara. Dengan demikian aksara ini dapat dikatakan merupakan faktor kebudayaan penting pertama yang menentukan pengevolusian hukum. Periode peralihan dari pra-sejarah ke pra-sejarah hukum berbeda antara banagsa yang satu dengan bangsa yang lain. Bagi bangsa Mesir hal tersebut berada sekitar abad ke-28 dan 27 SM, bagi bangsa Romawi antara abad ke 6 dan 5 SM, sedangkan bagi bangsa Germania pada abad ke-5 sesudah Masehi dan bagi bangsa-bangsa Afrika tertentu, bangsa-bangsa yang mendiami daerah Amazon dan sebagainya baru pada abad ke-20 ini.8

Kedudukan dan peranan yang dimainkan oleh undang-undang zaman kuno sangat besar bagi masyarakatnya. Karena tidak seperti sekarang, dalam undang-undang zaman kuno tersebut, tidak pernah dibeda-bedakan antara hukum dengan moral, agama, dan aturan adat istiadat. Semua factor tersebut ditulis dalam suatu undang-undang dan

5Ibid., hlm.45.

6Ibid.,hlm 46-47.

7MenurutLuthfiAssyaukani, orang yang memperkenalkan kata “nusantara” iniadalah Ki HadjarDewantara (1889-1959), tokoknasionalpendiri Taman Siswa. LihatLuthfiAssyaukani, Pengantar, dalam Bernard H.M. Vlekke, Nusantara; Sejarah Indonesia, (Jakarta, KPG: 2008), hlm. xiv.

(7)

kitab undang-undang.9 Sekarang ini, dimana budaya tulis-menulis menjadi menu makanan sehari-hari, banyak sekali undang-undang tertulis di semua Negara di dunia. Hampir tidak ada aspek kehidupan manusia yang tidak diatur oleh undang-undang. Namun, sejarah mencatat, yang dapat terbilang spektakuler sebenarnya hanya beberapa undang-undang atau kitab undang-undang saja, yaitu Kitab Undang-Undang Manu (India), Code Hammurabi (Babilonia), Kitab Undang-Undang 12 Pasal (Romawi), Corpus Juris Civilis (Romawi), dan Code Napoleon (Prancis).10

Sebelum masa penjajahan Belanda dan kemerdekaan, dapat dikatakan bahwa kerajaan-kerajaan di Nusantara telah terpengaruh hukum Manu (India) atau Hukum Hindu dan Hukum Cina (Budha). Raja Dharmawangsa dari Jawa Timur, disekitar tahun 1000 menyuruh menyusun sebuah kitab undang-undang atau kitab hukum Ciwacasana. Patih Majapahit dari tahun 1331 sampai tahun 1364, yakni Gajahmada (Ganesha Mada) telah memberikan namanya kepada sebuah kitab undang-undang atau kitab hukum

Gajahmada yang juta tersimpan bagi kita dalam bentuk pegolahan yang lebih muda; penggantinya, patih Kanaka dari tahun 1413 sampai tahun 1430 menyuruh merancangkan kitab undang-undang atau kitab hukum Adigama, dan juga kitab undang-undang atau kitab hukum Kutaramanawa sebelum tahun 1350, yang ditemukan di Bali, menunjukkan keahlian orang pribumi kuno di bidang hukum.11

C. Pengaruh Sejarah Hukum Romawi terhadap Sejarah Hukum Indonesia

Salah satu sumbangan besar bangsa Romawi kepada dunia adalah sektor hukum yang masih berpengaruh hingga sekarang. Mesikipun selain itu masih ada sumbangsih bangsa Romawi kepada dunia diantaranya abjad romawi, system pemerintahan romawi, dan sebagainya.12

9MunirFuady, SejarahHukum, hlm. 16.

10Ibid., hlm. 27.

11 C. van Vollenhoven, PenemuanHukumAdat, Terjemahan, (Jakarta: Djambatan, 1987), cet.II, hlm. 3-4.

(8)

Diantarabeberapa faktor yang yang menjadikan hukum romawi sangat berkembang dalam sejarah hukum,13 termasuk sampai berpengaruh pada sejarah hukum Indonesia, salah satunya adalah pengembangan beberapa hukum nasional di Negara tertentu berdasarkan hukum romawi. Menurut Munir Fuady, perkembangan beberapa hukum nasional di Negara-negara tertentu sangat berpengaruh bagi dunia hukum dengan membuat berbagai kodifikasi, seperti pembuatan Code Napoleon di Prancis yang didasarkan pada Code Justinian, atau pembuatan Code Civil Jerman yang didasarkan pada hukum Romawi sebelum era Code Justinian. Setelah hukum Romawi dikembangkan oleh bangsa Romawi sendiri selama kurang lebih 2000 tahun, kemudian hukum tersebut dikembangkan lagi oleh bangsa-bangsa lain dalam bentuk tradisi hukum Eropa Kontitental, atau yang disebut juga dengan sebutan tradisi hukum Civil Law.14

Dapat dikatakan bahwa kegemilangan hukum romawi bermula dari munculnya undang-undang besar, yaitu Undang-Undang Dua Belas (the twelve tables) yang mulai berlaku pada tahun 450 SM dan diakhiri oleh kodifikasi terbesar sepajang sejarah hukum, yaitu Code Justinian yang disebut dengan Corpus Juris Civilis yang berlaku sejak tahun 529 M.15

Namun, pada abad ke-16 dan 17, pusat-pusat pendidikan hukum telah berpindah ke Perancis dan Belanda. Di Belanda, para ahli hukum mengembangkan sistem hukum secara sistematis sebagai suatu hukum alam yang berlaku universal. Disamping itu, pada abad pertengahan terdapat pula pengaruh hukum gereja (kanonik), sehingga berdasarkan hukum romawi dan ajaran-ajaran Kristen, di abad pertengahan pernah dibuat semacam kompilasi yang sistematis sehingga menjadi semacam kodifikasi hukum yang disebut Code of Canon Law (Corpus Iurist Canonic). Hukum Romawi yang berlandaskan ajaran-ajaran Kristen di zaman pertengahan, kemudian hukum Romawi versi Code Justinian atau bahkan versi sebelum Code Justinian terus berkembang ke seluruh dunia, yang banyak dari kaidah hukumnya terus berlaku sampai sampai sekarang.16

13Ibid.,hlm. 198-199.

14Ibid.,hlm. 203.

15Ibid.,hlm. 208.

(9)

BAB III

PERKEMBANGAN SEJARAH HUKUM DI INDONESIA

(10)

Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari’at Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum Adat yang diserap dalam perundang-undangan atau yurisprudensi, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara.

A. Masa Kerajaan Nusantara

Pada masa kerajaan nusantara banyak kerajaan yang sudah mempunyai perangkat aturan hukum. Aturan tersebut tertuang dalam keputusan para raja ataupun dengan kitab hukum yang dibuat oleh para ahli hukum. Tidak dipungkiri lagi bahwa adagium ubi societas ibi ius (dimana ada masyarakat ada hukum) sangatlah tepat. Karena dimanapun manusia hidup, selama terdapat komunitas dan kelompok maka akan ada hukum.17 Hukum pidana yang berlaku dahulu kala berbeda dengan hukum pidana modern. Hukum pada zaman dahulu kala belum memegang teguh prinsip kodifikasi. Aturan hukum lahir melalui proses interaksi dalam masyarakat tanpa ada campur tangan kerajaan. Hukum pidana adat berkembang sangat pesat dalam masyarakat.

Hukum pidana yang berlaku saat itu belum mengenal unifikasi. Di setiap daerah berlaku aturan hukum pidana yang berbeda-beda. Kerajaan besar macam Sriwijaya sampai dengan kerajaan Demak pun menerapkan aturan hukum pidana. Kitab peraturan seperti Undang-undang raja niscaya, Undang-undang-Undang-undang mataram, Jaya Lengkara, Kutaramanawa, dan kitab

adilullah berlaku dalam masyarakat pada masa itu. Hukum pidana adat juga menjadi perangkat aturan pidana yang dipatuhi dan ditaati oleh masyarakat nusantara.

Hukum pidana pada periode ini banyak dipengaruhi oleh agama dan kepercayaan masyarakat. Agama mempunyai peranan dalam pembentukan hukum pidana di masa itu. Pidana potong tangan yang merupakan penyerapan dari konsep pidana Islam serta konsep pembuktian yang harus lebih dari tiga orang menjadi bukti bahwa ajaran agam Islam mempengaruhi praktik hukum pidana tradisional pada masa itu.

(11)

Sebelum bangsa asing masuk ke Indonesia, terdapat hukum adat yang tumbuh dan berkembang serta diberlakukan dimasyarakat, antara lain sebagai berikut:18

1. Tahun 1000M, pada zaman Hindu, Raja Dharmawangsa dari Jawa Timur dengan Kitabnya yang disebut Civacasana.

2. Tahun 1331-1364M, Gajah Mada Patih Majapahit, membuat kitab Gajah Mada. 3. Tahun 1413-1430M, Kanaka Patih Majapahit, membuat kitab Adigama.

4. Tahun 1350, di Bali ditemukan Kitab Hukum Kutaramanava.

Disamping kitab-kitab hukum kuno tersebut yang mengatur kehidupan di lingkungan istana, ada juga kitab-kitab yang mengatur kehidupan masyarakat sebagai berikut:19

1. Daerah Tapanuli, Ruhut Parsaoran di Habatohan (Kehidupan Sosial di Tanah Batak),

Patik Dohot Uhum ni Halak Batak (Undang-Undang dan Ketentuan-Ketentuan Batak). 2. Daerah Jambi, terdapat peraturan berupa Undang-Undang Jambi.

3. Daerah Palembang, Undang-Undang Simbur Cahaya (Undang-Undang tentang Tanah di Dataran Tinggi Daerah Palembang)

Mengenai hukum Islam, maka Abad XIII-XVIII merupakan abad mulai tumbuh dan berkembangnya kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam. Di Aceh, untuk pertama kali, berdiri kerajaan Samudra Pasai. Kemudian berdiri kerajaan Demak, Pajang, dan Banten di Pu lau Jawa, Kerajaan Gowa di Sulawesi, dan di tempat-tempat lain.20 Berdirinya kerajaan-kerajaan Islam tersebut juga membawa pada pemberlakuan hukum Islam. MenurutRetno

18Ratna Artha Windari, Pengantar Hukum Indonesia, (Depok:Rajawali Pers, 2017) Cet.I, hlm. 48. Lihat juga C. van Vollenhoven, Penemuan Hukum Adat, terjemahan, (Jakarta: Djambatan, 1987), cet.II, hlm. 3-4.

19Ratna Artha Windari, Pengantar Hukum Indonesi, hlm. 49.

(12)

Lukito, Islam adalah “agama hukum”. Hukum dan teologi dalam Islam tidak pernah dipisahkan; dari teologilah institusi hukum itu dibangun dan dengan menaati hukum aspek teologi dapat dipertahankan. Dalam Islam, al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW menjadi dua sumber utama dari semua aturan hukum yang harus ditaati setiap Muslim.21

B. Masa PenjajahanBelanda

Masa kolonialisme ditandai dengan datangnya orang Belanda di Indonesia yakni pada tahun 1596. Menurut Prof .Mr. Dr. Cornelis van Vollenhoven yang mengatakan :

“Ketika pada tahun 1596 kapal Belanda yang pertama tiba di Nusantara Indonesia, maka terdapatlah suatu negeri yang - ditinjau dari sudut hukum Negara – bukan Negeri “tandus dan kosong”. Negeri tersebut penuh sesak dengan lembaga tata Negara dan tata kuasa. Adalah kekuasaan oleh dan atas suku, desa perserikatan, republik, kerajaan”.22

Memang, ketika orang Belanda datang ke Indonesia telah ada suatu tata hukum (rechtsorde) yaitu tata hukum asli, yang memang berlainan dengan tata hukum Belanda tetapi orang Belanda yang menduduki beberapa wilayah menggantikannya dengan suatu tata hukum barat (Belanda). Orang Belanda sendiri tidak menundukkan diri pada tata hukum Indonesia asli itu. orang Indonesia asli dan orang Belanda masing-masing hidup dibawah tata hukum sendiri sehingga ada dualisme dalam tata hukum pada saat itu. Disamping ada suatu tata hukum yang bercorak asli (hukum adat), ada juga suatu tata hukum bercorak asing (hukum Belanda).

Kemudian periode kolonialisme terbagi ke dalam tiga tahapan besar, yakni: periode VOC, Liberal Belanda dan Politik etis hingga penjajahan Jepang.

1. Periode VOC

Kongsi Dagang atau Perusahaan Hindia Timur Belanda (Vereenigde Oostindische Compagnie atau VOC) didirikan oleh para pedagang orang Belanda pada tanggal 20 Maret 1602dengan tujuan untuk menghindari terjadinya persaingan antara para pedagang yang membeli rempah-rempah dari orang-orang pribumi dan untuk

21 Retno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler; Studi Tentang Konflik dan Resolusi Dalam Sistem Hukum Indonesia, Terjemahan, (Tangerang: Pustaka Alfabet, 2008), Cet. I, hlm. 73-74.

(13)

memperoleh keuntungan yang besar di pasar Eropa. Pada masa berdagang di Indonesia, VOC diberi hak-hak istimewa oleh pemerintah Belanda. Hak istimewa tersebut adalah hak octrooi, yang meliputi monopoli pelayaran dan perdagangan, mengumumkan perang, mengadakan perdamaian, dan mencetak uang. Karena hak istimewa tersebut, VOC semakin menjadi dengan memaksakan aturan-aturan yang dibawanya dari Belanda kepada penduduk pribumi.23

Sedangkan hukum yang berlaku bagi orang Belanda di pusat – pusat dagang VOC yang pertama – tama di Indonesia ialah hukum yang dijalankan diatas kapal – kapal VOC. Hukum kapal tersebut terdiri atas dua bagian yaitu hukum Belanda yang kuno (oud Nederlands atau oudvaderlands recht) ditambah dengan asas-asas hukum Romawi. Bagian terbesar hukum yang dipakai di kapal itu berupa “tuchtrecht” (hukum disiplin). Sejak kedatangannya di Indonesia, maka yang merupakan dasar tata hukum bagi orang Belanda adalah asas Konkordansi itu.24

Lama kelamaan hukum kapal di tidak lagi dapat menyelesaikan persoalan di pusat – pusat dagang VOC, maka pada tahun 1609 Staten General di Negeri Belanda memberi kepada pengurus pusat VOC di Banten kekuasaan untuk membuat sendiri peraturan. Sebagai akibat penyerahan kekuasaan tersebut, maka di daerah – daerah yang dikuasai oleh VOC dibuat beberapa peraturan yang bermaksud menyelesaikan perkara khusus dan menyesuaikan keperluan hukum para pegawai VOC dengan keadaan di masing – masing daerah yang diduduki VOC tersebut. Peraturan – peraturan VOC itu diumumkan dalam bentuk plakat yang kemudian dihimpun menjadi “Statuta Batavia/Statuta Betawi”.25

Bagi beberapa daerah para penguasa VOC mencoba melakukan kodifikasi dari hukum adat untuk mengadili mereka yang tunduk dengan hukum adat:26

a. Kodifikasi hukum adat Tionghoa Compendium Haksteen, oleh penguasa VOC (1761) , yang berlaku untuk orang-orang Tionghoa di Betawi dan sekitarnya.

23Ratna Artha Windari, Pengantar Hukum Indonesia,hlm. 16. Bandingkan dengan Aqib Suminto,

Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1996), cet. III, hlm.100.

24 C.S.T Kansil, Sejarah Hukum di Indonesia,hlm. 216.

25Ibid.,hlm. 217.

(14)

b. Kodifikasi Pepakem Cirebon (1757) oleh penguasa VOC di Cirebon , yang dimaksud untuk penduduk Bumiputera di Cirebon dan sekitarnya.

c. Kodifikasi kitab Hukum Mogharraer (1750), oleh penguasa Voc di Serang, berlaku untuk penduduk Bumiputera di Serang dan sekitarnya.

d. Himpunan peraturan-peraturan hukum Islam Compendium Freijer (1760), dibuat oleh penguasa VOC Freijer, mengenai warisan, nikah dan talak (perceraian).

e. Kodifikasi hukum Bumiputera Bone dan Goa Compedium Van Clost Wijk (1759), oleh penguasa VOC di Makassar yang berlaku untuk penduduk Bumiputera di Makassar dan sekitarnya.

Dalam hubungannya dengan hukum adat dan hukum Islam, periode VOC ini oleh Ratna Lukito diklasifikasi sebagai “Periode Ketakmengertian”.27Pada tahun-tahun pertama kehadirannya di Nusantara, Belanda tidak terlalu ambil pusing dengan urusan keadilan dan hukum masyarakat pribumi. Keterbatasan jangkauan control dan ketidakmengertian mereka tentang hakikat dan keragaman tradisi hukum pribumi, mendorong mereka untuk berkeyakinan bahwa penerapan regulasi-regulasi VOC hanya dapat diharapkan berhasil di kota-kota besar taklukan dan wilayah-wilayah sekutunya. Karena itu, yurisdiksi pengadilan Belanda dan institusi hukumnya hanya menjangkau kota-kota yang sudah berada di bawah pengawasan langsung VOC.28

Ketidakpedulian VOC terhadap hukum-hukum masyarakat pribumi dengan jelas tergambar dalam upaya mereka memasukkan tradisi perundang-undangan sipil Eropa. Meskipun banyak hukum-hukum substantive Islam dan adat yang berlaku di tengah masyarakat pribumi tidak dimengerti oleh pejabat-pejabat VOC, penjajah mulai mengkodifikasi hukum-hukum ini setelah mereka berhasil merancang system peradilan bagi masyarakat pribumi (Landraad). Menurut Retno ketidakmengertian VOC terhadap hukum-hukum pribumi ini terbukti dari banyaknya kesalahan-kesalahan baik

27 Retno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler, hlm. 191.

(15)

substantive maupun formil dalam peng-kodifikasian dan hasil-hasil kodifikasi VOC atas hukum Islam dan hukum adat.29

Di zaman VOC penggunaan hukum Islam kepada warga pribumi tercatat dalam Statuta Batavia yang menyebutkan “sengketa warisan antara orang pribumi yang beragama Islam harus di selesaikan dengan menggunakan hukum Islam.” Pada saat yang sama seorang penulis bernama D.W. Freijer menulis buku tentang hukum perkawinan dan hukum Islam guna di berlakukan secara resmi oleh pemerintahan jaman VOC.30 Untuk menjamin pelaksaan hukum Islam, Belanda mengeluarkan peraturan Resolutie der Indische Regeering pada tanggal 25 Mei 1760 yang kemudian saat ini dikenal dengan Compendium Freijer.31

2. Masa Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda (1800-1811) dan Raffles (1811-1814)

Sebelum memasuki masa Besluiten Regering (1845-1855), terjadi dua kali pergantian kepemimpinan pada masa pemerintahan kolonial Belanda pasca diambilalihnya kekuasaan VOC (1 Januari 1800) oleh pemerintah Bataafsche Republiek

(selanjutnya menjadi Koninklijk Holand). Raja Belanda yang monarki absolut pada saat itu menunjuk Daendels sebagai Gubernur Jenderal yang bertugas mengurus daerah jajahan sekaligus mempertahankan tanah jajahan dari kemungkinan serangan Inggris. Dibidang pemerintahan, Daendels membagi Pulau Jawa menjadi sembilan Karesidenan (prefektur). Para Bupati diangkat dan digaji oleh pemerintah Belanda.32

Pada tahun 1811 Daendels digantikan oleh Jansens, namun tidak berlangsung lama akibat dikuasainya nusantara oleh Inggris. Selanjutnya pemerintah Inggris mengangkat Thomas Stamford Raffles menjadi Letnan Gubernur (1811-1814). Dalam bidang hukum Raffles mengutamakan pembaga pengadilan yang terdiri atas:33

29 Ibid., hlm. 195-196.

30 Idris Ramulyo, Asas-Asas Hukum Islam; Sejarah Timbul dan Berkembangnya Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia, (Jakarta : SinarGrafika, 1997) Cet II, hlm. 49.

31 Said Agil Husin Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, (Jakarta : Penamadani, 2004) hlm. 11.

32Ratna Artha Windari, Pengantar Hukum Indonesia,hlm. 17-18.

(16)

1. Division’s Court, berwenang mengadili perkara perdata kecil dengan pembatasan sampai 20 ropyen. Pelaksana terdiri atas beberapa pegawai pribumi yaitu Wedana atau Demang dan pegawai bawahannya. Naik Banding dalam perkara sipil dapat dilakukan melalui District’s Court.

2. District Court atau Bupati’s Court, berwenang mengadili perkara perdata pada umumnya (antara 20 sampai dengan kurang dari 50 ropyen). Terdiri dari Bupati sebagai Ketua, Penghulu, Jaksa dan beberapa pegawai Bumiputera dibawah perintah Bupati.Jika tidak menghasilkan kesepakatan, maka perkara diajukan kepada Resident’s Court.

3. Resident’s Court, berwenang mengadili perkara pidana dengan ancaman hukuman mati dan perkara-perkara perdata besar hingga melebihi 50 ropyen. Terdiri dari Residen, para Bupati, hooft Jaksa dan hooft Penghulu.

4. Court of Circuit, merupakan pengadilan keliling untuk menangani perkara pidana dengan ancaman hukuman mati. Terdiri dari seorang ketua dan seorang anggota. Dalam Pengadilan ini menganut sistem juri yang terdiri dari lima hingga sembilan orang bumiputera.

Era Raffles berakhir pada tahun 1814. Secara garis besar tidak ada perubahan dalam substansi hukum yang berlaku. Pada tahun 1816 Inggris menyerahkan Nusantara kepada Belanda sebagai hasil Konvensi London 1814.34

3. Masa Besluiten Regerings (1814-1855)

Pada tahun 1811-1814, negeri Belanda (dan negara-negara Eropa daratan/continental lainnya) mengalami aneksasi oleh Perancis dibawah kekaisaran Napoleon. Sejak saat itu mulai diterapkan prinsip Rechstaat (Negara Hukum). Pasca aneksasi Prancis tahun 1814, di Belanda mulai dibuat konstitusi dengan nama

Nederland Gronwet 1814. Pada masa Besluiten Regerings (BR) raja mempunyai kekuasaan mutlak dan tertinggi atas daerah-daerah jajahan termasuk kekuasaan mutlak terhadap harta milik negara bagian yang lain. Kekuasaan mutlak Raja tersebut diterapkan pula dalam membuat dan mengeluarkan peraturan yang

(17)

berlaku umum dengan nama Algemene Verordening atau peraturan pusat. Peraturan pusat berupa keputusan Raja maka dinamakan koninklijk belsuit. Ada dua macam keputusan raja sesuai dengan kebutuhannya :

1) Ketetapan Raja, yaitu belsuit sebagai tindakan eksekutif raja misalnya ketetapan penangakatan Gubernur Jenderal.

2) Ketetapan Raja sebagai tindakan legislative, misalnya berbentuk Algemene Verordening atau Algemene maatregel van bestuur di negeri Belanda.35

Tahun1848 menjadi tahun yang sangat penting dalam sejarah hukum Indonesia. Karena pada tahun itu hukum privat yang berlaku bagi golongan hukum Eropa di kodifikasi, dikumpulkan dan dicantumkan dalam beberapa kitab undang-undang berdasarkan suatu system tertentu. Didalam pembuatan kodifikasi tersebut dipertahankan pula asas Konkordansi, yang artinya sejak kedatangan orang Belanda ke Indonesia maka hukum yang berlaku bagi mereka adalah hukum Belanda sehingga hasil kodifikasi tahun 1848 di Indonesia adalah tiruan hasil kodifikasi yang telah dilakukan di Negeri Belanda tahun 1938 dengan beberapa pengecualian, agar dapat menyesuaikan hukum bagi golongan hukum Eropa di Indonesia dengan keadaan istimewa di sini.36

Pada tahun 1839, oleh Raja Belanda dibentuk sebuah panitia yang bertugas menyesuaikan Undang-Undang Belanda dengan keadaan istimewa Indonesia dengan Ketua Panitia adalah Mr. Scholten van Oud Haarlem. Beberapa peraturan yang berhasil ditangani oleh komisi itu dan disempurnakan oleh Mr.H.L.Whicher adalah sebagai berikut:37

1. “Algemeene Bepalingen van Wetgeving voor Nederlandsch Indie”

(disingkat A.B Indonesia) (ketentuan-ketentuan umum mengenai perundang-undangan di Indonesia) setelah diterima maka diundangkan dalam LNHB. 1847 No. 23.

35Ibid.,hlm. 19-20.

36CST.Kansil, Sejarah Hukum di Indonesia,hlm. 223-224.

(18)

2. “Burgerlijke Wetboek” (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata), LNHB 1847 No. 23.

3. “Wetboek van Koophandel voor Indonesie” (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang), LNHB 1847 No. 23.

4. “Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid de Justitie

(disingkatkan R.O) (Peraturan Susunan Pengadilan dan Kebijaksanaan Justisi) LNHB 1847 No. 23

5. “Enige Bepalingen betreffende de Misdrijven began tergelegenheid van Faillissement en bij Kennelijk Onvermogen, mitsgaders bij Surseance van Betailing”

(Beberapa ketentuan mengenai kejahatan yang dilakukan dalam keadaan Pailit (Kepailitan) dan dalam Keadaan Nyata tidak mampu membayar, juga dalam hal Surseansi Pembayaran), tidak berlaku lagi.

Semua peraturan tersebut diatas, berdasarkan pengumuman Gubernur Jenderal tanggal 3 Desember 1847 Staatsblad No. 57, mulai berlaku tanggal 1 Mei 1848. Kemudian atas ketentuan Firman Raja tanggal 10 Februari 1866 diperlukan sebuah kitab hukum pidana bagi orang Eropa, yang merupakan saduran dari Code Penal yang saat itu berlaku di negeri Belanda.38

4. Masa Regerings Reglement (1855-1926)

Pada tahun 1848 terjadi perubahan Grond Wet (UUD) di negeri Belanda. Perubahan UUD negeri Belanda ini mengakibatkan terjadinya pengurangan terhadap kekuasaan Raja, karena Staten Generaal (Parlemen) campur tangan dalam pemerintahan dan perundang-undangan jajahan Belanda di Indonesia. Peraturan-peraturan yang menata daerah jajahan tidak semata-mata ditetapkan oleh Raja dengan Koninklijk Belsuitnya, tetapi peraturan itu ditetapkan bersama oleh raja dan parlemen. Dengan demikian sistem pemerintahannya berubah dari monarki konstitusional menjadi monarki konstitusional parlemen. Peraturan tersebut adalah

(19)

Regerings Reglement (RR). Golongan penduduk ada tiga golongan, yaitu Golongan Eropa, Timur Asing dan Pribumi. Pada masa berlakunya RR telah berhasil diundangkan kitab hukum, yaitu sebagai berikut:39

1. Kitab Hukum Pidana untuk golongan Eropa melalui Staatsblad 1866:55;

2. Algemene Politie Strafeglement sebagai tambahan kitab hukum pidana untuk golongan Eropa;

3. Kitab Hukum Pidana bagi orang buka Eropa melalui S.1872:85; 4. Politie Strafelegement bagi orang bukan Eropa;

5. Wetboek van Strafrecht, yang berlaku bagi semua golongan penduduk melalui S.1915:732 mulai berlaku 1 Januari 1918.

5. Masa Indische Straatsregeling (1926-1942)

Indische Straatsregeling (IS) adalah RR yang sudah diperbaharui dan berlaku tanggal 1 Januari 1926 melalui S.1925:415. Pembaruan RR atau perubahan RR menjadi IS ini karena berubahnya pemerintahan Hindia Belanda yang berawal dari perubahan Grond Wet negeri Belanda pada 1922. Pada masa berlakunya IS ini, bangsa Indonesia sudah turut membentuk undang-undang dan turut menentukan nasib bangsanya karena mereka turut dalam volksraad.40

Pasal 131 IS menunjukkan hukum mana yang berlaku, apabila orang-orang yang termasuk sesama golongan rakyat mengadakan perhubungan-perhubungan hukum dengan seorang lainnya. Akan tetapi pasal itu sama sekali tidak memuat aturan untuk hal orang-orang yang termasuk golongan rakyat lainnya.41

Pada Pasal 131 IS dapat diketahui bahwa pemerintah Hindia Belanda membuka kemungkinan adanya unifikasi hukum bagi ketiga golongan penduduk Hindia

39Ratna Artha Windari, PengantarHukum Indonesia,hlm. 21-22.

40 Ibid.

(20)

Belanda yang waktu itu ditetapkan dalam Pasal 163 IS. Sistem hukum yang berlaku bagi masing-masing golongan adalah sebagai berikut :

1. Hukum yang berlaku bagi golongan Eropa adalah Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek dan Wetboek van Koophandel), Hukum Pidana Material (Wetboek van Strafrecht) dan Hukum Acara (Reglement op de Burgelijk Rechtsvodering dan Reglement op de Strafvodering).

2. Hukum yang berlaku bagi golongan pribumi adalah hukum adat dalam bentuk tidak tertulis. Namun jika pemerintah Hindia Belanda menghendaki lain, hukum dapat diganti dengan ordonansi yang dikeluarkan olehnya.

3. Hukum yang berlaku bagi golongan Timur Asing, hukum perdata dan pidana adat mereka, hukum perdata golongan Eropa hanya bagi golongan Timur Asing Cina untuk wilayah Hindia Belanda, WvS yang berlaku sejak 1 Januari 1918 untuk hukum pidana material.42

Berkenaan dengan hukum adat dan hukum Islam, maka pada peroiode penjajahan Belanda pasca VOC, digambarkan oleh Retno Lukito sebagai “Periode Pencampurtanganan”.43 Campurtangan ke dalam hukum pribumi selalu menjadi alat kepentingan Belanda dalam melancarkan misi kolonisasinya. Hal ini sangat terbaca dalam Pasal 75 Regerings Reglement (RR, konstitusi kolonial Belanda) tahun 1854, yang tujuan utamanya adalah menegaskan kembali regulasi yang telah dinyatakan dalam legislasi tahun 1848. RR memperkuat beberapa poin berikut: pertama,

prinsip dualism hukum khususnya terkait hukum Belanda yang efektif berlaku bagi para pendatang berkebangsaan Eropa; kedua, Gubernur Jendral diberik wewenang istimewa untuk menerapkan hukum Belanda bagi orang-orang non-Eropa yang berdiam di Hindia Belanda berdasarkan pertimbangan sendiri; ketiga, kecuali dalam kasus dimana orang-orang non-Eropa telah menyatakan diri patuh pada hukum Belanda, mereka ini diharapkan mau menaati hukum agama atau hukum adat asalkan tidak bertentangan dengan asas-asas keadilan dan kelayakan; dan keempat,

42Ratna Artha Windari, Pengantar Hukum Indonesia,hlm. 22-23.

(21)

dalam mengadili penduduk pribumi, hakim mesti selalu merujuk prinsip-prinsip hukum eropa ketika solusi kasus yang diperkirakan tidak ditemukan dalam hukum agama atau adat.44 Dengan demikian pemerintah colonial Belanda menjadikan hukum Islam dan hukum adat subordinat dihadapan hukum Belanda/eropa.

C. ZamanPenjajahan Jepang

PadamasapenjajahanJepangperaturan-peraturan yang

digunakanuntukmengaturpemerintahan di

wilayahHindiaBelandadibuatdengandasarGun Seireimelalui Osamu Seirei.Dari ketentuanPasal 3 Osamu Seirei No. 1/1942 dapatdiketahuibahwahukum yang

mengaturpemerintahandan lain-lain

tetapmenggunakanIndischeStaaregeling(IS).HanyasajapemerintahanJepangmelakuk anperubahanatasbeberapalembagaperadilansehinggalembagaperadilan yang adadiberlakukanbagisemuagolongan.Berdasarkanhaltersebut,

makalembagaperadilanmeliputi:45

1) HooggerrechtshofsebagaipengadilantertinggidengannamaSaikoHoin;

2) Raad van Justitie, berubahmenjadiKoto Hoy Hoin;

3) Landraad,berubahnamamenjadiTihoHoin(PengadilanNegeri);

4) Landgerecht,berubahmenjadiKeizaiHoin (Hakim Kepolisian);

5) Regentschapsgerecht, berubahmenjadiKen Hoin (PengadilanKabupaten);

6) Districtsgerecht, berubahmenjadiGun Hoi (PengadilanKewedanaan).

Kemudian, pemerintahJepangmengeluarkan Gun SeireiNomor Istimewa 1942 dan Osamu SeireiNomor 25 tahun 1944 yang memuataturan-aturanpidana yang umumdanpidana yang khusus. Dengan Gun Seirei No. 34 tahun 1942, Osamu Rei No. 3 tahun 1942 dinyatakanbahwaGunseiHooinditambahdenganSaikoHooin

44 Ibid., hlm. 204.

(22)

(PengadilanAgung) danKootooHooin (PengadilanTinggi). Semuaaturanhukumdan proses pengadilannyaselamazamanpenjajahanJepangberlakusampai Indonesia merdeka.46

D. Periode Kemerdekaan sampai sekarang

Keadaan hukum di Indonesia pada waktu bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan pada dasarnya masih sama dengan keadaaan pada waktu balatentara jepang mendarat di pulua Jawa. Hanya ada jasa dari Pemerintah pendudukan Jepang yang menghapuskan badan-badan peradilan untuk bangsa Eropa yaitu Raad van Justhie dan Hooggerechtshof. Untuk mencegah suatu kekosongan hukum, oleh UUD tahun 1945 dinyatakan pada pasal II aturan peralihan “segala badan Negara dan peraturan yang ada masih berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini”.

Dengan demikian maka keadaan hukum pada waktu proklamasi itu dapat digambarkan secara singkat sebagai berikut :

1. Dalam bidang kedinasan ada satu kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yaitu

Wetboek van Strafrecht dari tahun 1918, yang sudah berlaku untuk seluruh penduduk Indonesia. Namun karena beberapa daerah di luar Jawa masih saja mempunyai peradilan asli, Wetboek van Strafrecht tadi tidak berlaku.

2. Dalam bidang keperdataan masih saja demikian bahwa resmi berlaku beraneka warna kelompok hukum, sebagai peninggalan politik hukum pemerintah kolonial Belanda. Adapun berbagai kelompok hukum tersebut adalah :

a) Hukum yang berlaku bagi semua penduduk, misalnya UU Hak Pengarang dll.; b) Hukum Adat yang berlaku untuk semua orang Indonesia asli;

c) Hukum Islam, untuk semua orang Indonesia asli yang beragama Islam, mengenai beberapa bidang kehidupan;

d) Hukum yang khusus telah diciptakan untuk orang Indonesia asli, seperti UU tentang perkawinan orang Indonesia Kristen dsb.;

e) “Burgerlijke Wetboek” dan “Wetboek van Koophandel voor Indonesie”, yang diperuntukkan mula-mula bagi orang Eropa, kemudian dinyatakan berlaku

(23)

untuk orang Tionghoa, sedangkan beberapa bagian (terutama dari W.V.K) juga telah dinyatakan berlaku untuk orang Indonesia asli, misalnya hukum perkapalan (hukum laut).47

1) Periode Demokrasi Liberal

UUDS 1950 telah mengakui hak asasi manusia. Namun pada masa ini pembaharuan hukum dan tata peradilan tidak banyak terjadi, yang ada adalah dilema untuk mempertahankan hukum dan peradilan adat atau mengkodifikasi dan mengunifikasinya menjadi hukum nasional yang peka terhadap perkembangan ekonomi dan tata hubungan internasional. Kemudian yang berjalan hanyalah unifikasi peradilan dengan menghapuskan seluruh badan-badan dan mekanisme pengadilan atau penyelesaian sengketa di luar pengadilan negara, yang ditetapkan melalui UU No. 9 Tahun 1950 tentang Mahkamah Agung dan UU Darurat No. 1 Tahun 1951 tentang Susunan dan Kekuasaan Pengadilan.

2) Periode Demokrasi Terpimpin Sampai Orde Baru

Undang-undang Dasar yang menjadi pelaksanaan pemerintahan negara belum berhasil dibuat sedangkan Undang-undang Dasar Sementara (UUDS 1950) dengan sistem pemerintahan demokrasi liberal dianggap tidak sesuai dengan kondisi kehidupan masyarakat Indonesia. Kegagalan konstituante dalam menetapkan undang-undang dasar sehingga membawa Indonesia ke jurang kehancuran sebab Indonesia tidak mempunyai pijakan hukum yang mantap. Situasi politik yang kacau dan semakin buruk, dan Terjadinya sejumlah pemberontakan di dalam negeri yang semakin bertambah gawat bahkan menjurus menuju gerakan sparatisme. Konflik antar partai politik yang mengganggu stabilitas nasional, Banyaknya partai dalam parlemen yang saling berbeda pendapat sementara sulit sekali untuk mempertemukannya. Masing-masing partai politik selalu berusaha untuk menghalalkan segala cara agar tujuan partainya tercapai.Demi menyelamatkan negara maka presiden melakukan tindakan mengeluarkan keputusan Presiden RI

(24)

No. 75/1959 sebuah dekrit yang selanjutnya dikenal dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.48

Langkah-langkah pemerintahan Demokrasi Terpimpin yang dianggap sangat berpengaruh dalam dinamika hukum dan peradilan adalah:

1. Menghapuskan doktrin pemisahan kekuasaan dan mendudukan MA dan badan-badan pengadilan di bawah lembaga eksekutif;

2. Mengganti lambang hukum dewi keadilan menjadi pohon beringin yang berarti pengayoman;

3. Memberikan peluang kepada eksekutif untuk melakukan campur tangan secara langsung atas proses peradilan berdasarkan UU No.19 Tahun 1964 dan UU No.13 Tahun 1965;

4. Menyatakan bahwa hukum perdata pada masa kolonial tidak berlaku kecuali sebagai rujukan, sehingga hakim mesti mengembangkan putusan-putusan yang lebih situasional dan kontekstual.

Berkaitan dengan hukum Islam, pada masa Demokrasi Terpimpin dan lebih jauh pada masa awal kemerdekaan, para pemimpin Islam dalam berbagai kesempatan terbuka misalnya sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) saat melakukan persidangan untuk pesiapan kemerdekaan pada masa penjajahan Jepang berusaha untuk mendudukkan Hukum Islam dalam Negara Republik Indonesia. Sampai akhirnya lahir lah Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945. Yang berisikan tentang kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya-pemeluknya. 49

Dalam rangka pembicaraan kedudukan hukum Islam dalam system Hukum di Indonesia, pada tahun 1950 dalam konferensi Kementrian Kehakiman di Salatiga, Profesor Hazairin mengemukakan pendapatnya bahwa berlakunya hukum Islam untuk ornag Islam Indonesia tidak disandarkan pada hukum adat tetapi adanya

48Mengenai perubahan-perubahan kabinet Pemerintah sebagai juga dampak dari perundingan-perundingan dengan Belanda yang UUD RIS dan UUDS dapat dilihat juga pada Muhammad Yamin, Proklamasi dan Kostitusi Republik Indonesia, (Jakarta: Penerbit Djambatan, 1958), Cet. V, hlm. 45.

(25)

penunjukan peraturan perundang-undangan sendiri. Dengan menunjuk ketetapan MPRS 1960/II yang mengatakan bahwa dalam penyempurnaan undnag-undang perkawinan dan waris supaya diperhatikan adanya factor-faktor agama dan lain-lain.50

3) Periode Orde Baru

Perkembangan dan dinamika hukum dan tata peradilan di bawah Orde Baru justru diawali oleh penyingkiran hukum dalam proses politik dan pemerintahan. Di bidang perundang-undangan, rezim Orde Baru membekukan pelaksanaan UU Pokok Agraria, dan pada saat yang sama membentuk beberapa undang-undang yang memudahkan modal asing berinvestasi di Indonesia, di antaranya adalah UU Penanaman Modal Asing, UU Kehutanan, dan UU Pertambangan. Selain itu, orde baru juga melakukan:

1. Penundukan lembaga-lembaga hukum di bawah eksekutif;

2. Pengendalian sistem pendidikan dan penghancuran pemikiran kritis, termasuk dalam pemikiran hukum; Singkatnya, pada masa orde baru tak ada perkembangan yang baik dalam hukum Nasional.

Pada masa Orde Baru, tolak-tarik hukum Islam ke dalam hukum Positif mengalami pasang surut, bergantung pada kepentingan politik kekuasaan saat itu. Pada masa awal kemunculannya, Orde Baru seperti memberikan angin segar pada perubahan hukum, begitu juga dengan harapan kalangan Islam, terlebih dengan lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang bernafaskan Islam. Namun, setelah kekuasaan dirasa sudah stabil, pemerintah Orba mulai menunjukkan otoritarianismenya sehingga berdampak pula pada hukum Islam. Praktis tidak ada perubahan signifikan pasca diberlakukannya Undang-undang Perkawinan, sampai pada tahun 1989 Pemerintah Orba menerbitkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Hal itu pun dapat diduga terjadi setelah hubungan pemerintah Orba dan Islam memanas pasca peristiwa pembantaian umat Islam di Talangsari Lampung tahun 1984.

(26)

Kuatnya pengaruh intervensi presiden pada pemebentukan hukum, dalam hal ini hukum Islam di Indonesia pada masa Orde Lama dan Orde Baru, menurut Arskal Salim dan Azyumardi Azra, karena UUD 1945 memberikan kekuasaan yang besar sekali pada eksekutif. Sehingga “Almost all the implemented sharia in Indonesia could get a status national positive law after the President’s intervention into the legislature”.51

4) EraReformasi(1998 – Sekarang)

Sejak pucuk eksekutif di pegang Presiden Habibie hingga sekarang, sudah terjadi empat kali amandemen UUD RI. Di arah perundang-undangan dan kelembagaan negara, beberapa pembaruan formal yang mengemuka adalah:

1. Pembaruan sistem politik dan ketetanegaraan; 2. Pembaruan sistem hukum dan hak asasi manusia; 3. Pembaruan sistem ekonomi.

Penyakit lama orde baru, yaitu KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) masih kokoh mengakar pada masa pasca orde baru, bahkan kian luas jangkauannya. Selain itu, kemampuan perangkat hukum pun dinilai belum memadai untuk dapat menjerat para pelaku semacam itu. Aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim (kini ditambah advokat) dilihat masih belum mampu mengartikulasikan tuntutan pembaruan hukum, hal ini dapat dilihat dari ketidakmampuan Kejaksaan Agung meneruskan proses peradilan mantan Presiden Soeharto, peradilan pelanggaran HAM, serta peradilan para konglomerat hitam. Sisi baiknya, pemberdayaan rakyat untuk menuntut hak-haknya dan mengembangkan sumber daya hukumnya secara mandiri, semakin gencar dan luas dilaksanakan. Walaupun begitu, pembaruan hukum tetap terasa lambat dan masih tak tentu arahnya.

Adapun hukum Indonesia adalah hukum atau peraturan perundang-undangan yang didasarkan kepada landasan ideologi dan konstitusional negara, yaitu Pancasila dan Undang-Undang. Sehubungan dengan itu, hukum Indonesia

51 Arskal Salim dan Azyumardi Azra, The State and Sharia in the Perspective of Indonesian Legal Politics, Pendahuluan, dalam Arskal Salim dan Azyumardi Azra, Ed., Shari’a and Politics in Modern Indonesia,

(27)

sebenarnya tidak lain adalah sistem hukum yang bersumber dari nilai-nilai budaya bangsa yang sudah lama ada dan berkembang. Dengan kata lain, hukum Indonesia merupakan sistem hukum yang timbul sebagai buah usaha budaya rakyat Indonesia yang berjangkauan Nasional, yaitu sistem hukum yang meliputi seluruh rakyat sejauh batas-batas nasional negara Indonesia.

Perlu dijelaskan disini bahwa pengertian seperti itu tidak bisa dilepaskan dari konteks sejarah. Sebagaimana diketahui, setelah merdeka bangsa Indonesia belum memiliki hukum yang bersumber dari tradisinya sendiri tetapi masih memanfaatkan peraturan perundang-undangan peninggalan pemerintah kolonial Belanda. Kendati memang, atas dasar pertimbangan politik dan nasionalisme peraturan perundang-undangan itu mengalami proses nasionalisasi, seperti penggantian nama : Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan nasionalisasi dari Wetboek Van Straafrechts, dll. Selain penggantian nama, beberapa pasal tidak lagi sesuai dengan kebutuhan sebuah negara yang merdeka, berdaulat dan relegius turut pula diganti dan ditambahkan yang baru.

Pendekatan seperti diatas dalam jangka pendek sangat bermanfaat karena dapat menghindarkan terjadinya kekosongan hukum (Rechtsvacuum). Namun, dalam jangka panjang upaya “Tambal Sulam” atau Transplantasi itu sebenarnya kurang efektif dan cenderung kontra produktif bila terus menerus diberlakukan. Ini didasarkan fakta bahwa upaya “Tambal Sulam” atau transplantasi pada hakikatnya tidak mengubah watak dasar dari hukum warisan kolonial yang cenderung represif, feodal, diskriminatif dan individualistik, sebagai salah satu upaya pihak penjajah untuk menekan kaum inlender. Karakteristik hukum yang seperti itu jelas bertentangan dengan ciri khas masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi kolektivisme.

(28)

Pada tingkat undang-undang, setelah era reformasi, lahir pula beberapa undang-undang yang mengatur secara khusus pelaksanaan hokum Islam dalam arti fiqih atau syariat seperti Undang-undang Zakat, undang Haji, undang-undang produk halal, serta fatwa Majelis Ulama Indonesia dalam masalah-masalah tertentu.52

E. Perubahan Sistem Hukum Indonesia

Setelah mengalami penjajahan oleh negara Belanda, dimana Indonesia saat itu masih ikut menggunakan sistem hukum yang berasal dari negara Belanda tersebut yakni sistem hukum Eropa kontinental. Namun, seiring berjalannya waktu dan berkembangnya kehidupan masyarakat Indonesia, setelah itu terjadi perubahan dalam sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Awal sistem hukum yang diterapkan di Indonesia hanya sistem hukum Eropa Kontinental saja, setelah itu sistem hukum yang berlaku di Indonesia mengalami perpaduan antara sistem Eropa Kontinental dan sistem hukum Anglo Saxon.

Sistem Hukum Eropa Kontinental lebih mengedapankan hukum tertulis, peraturan undangan menduduki tempat penting. Peraturan perundang-undangan yang baik, selain menjamin adanya kepastian hukum, yang merupakan syarat mutlak bagi terwujudnya ketertiban, juga dapat diharapkan dapat mengakomodasi nilai-nilai keadilan dan kemanfaatan. Lembaga peradilan harus mengacu pada undang-undang. Sifat undang-undang tertulis yang statis diharapkan dapat lebih fleksibel dengan sistem bertingkat dari norma dasar sampai norma yang bersifat teknis, serta dengan menyediakan adanya mekanisme perubahan undang-undang.

Sistem Hukum Anglo Saxon cenderung lebih mengutamakan hukum kebiasaan, hukum yang berjalan dinamis sejalan dengan dinamika masyarakat. Pembentukan hukum melalui lembaga peradilan dengan sistem jurisprudensi dianggap lebih baik agar hukum selalu sejalan dengan rasa keadilan dan kemanfaatan yang dirasakan oleh masyarakat secara nyata.

(29)

Sistem hukum di Indonesia dewasa ini adalah sistem hukum yang unik, sistem hukum yang dibangun dari proses penemuan, pengembangan, adaptasi, bahkan kompromi dari beberapa sistem yang telah ada. Sistem hukum Indonesia tidak hanya mengedepankan ciri-ciri lokal, tetapi juga mengakomodasi prinsip-prinsip umum yang dianut oleh masyarakat internasional.

Apapun sistem hukum yang dianut, pada dasarnya tidak ada negara yang hanya didasarkan pada hukum tertulis atau hukum kebiasaan saja. Tidak ada negara yang sistem hukumnya menafikan pentingnya undang-undang dan pentingnya pengadilan.

BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan

Berdasarkanpembahasandiatas, dapatdisimpulkan:

1. Sejarahhukum Indonesia tidak terlepas dari sejarahhukumduniapadaumumnya, terutamasejarahhukumRomawi.

2. Bahwapadajamankerajaan-kerajaan Nusantara,

(30)

danadat-istiadat/budayamasyarakat. Padamasakerajaan-kerajaan Nusantara, tidakadapemisahan yang tegasantarahukum, moral dan agama;

3. SebagaidampakdaripenjajahanBelanda, hukum Indonesia jugamengadopsi sistem hukum Belanda (civil law), namunpadasaat yang bersamaanIndonesia jugamengakuikeberlakuanhukumadat (tidaktertulis).

4. Evolusihukum Indonesia, utamanyakitab-kitabhukumwarisanpenjajahan Belanda,

sudahsaatnyasegeradilakukanperubahansecaramendasarkarenasudahtidaksesu aidengancita-cita hukum(rechtidee) Indonesia sebagaimanadiamanatkan UUD 1945;

B. Saran

Berdasarkan pembahasandankesimpulandiatas, kami menyarankan:

1. KepadaPemerintah (Presidendan DPR) agar segeramenerbitkan Undang-Undangbarusebagaipenggantikitab-kitabundang-undangwarisan Kolonial seperti KUHP, KUHD danKUHPerdata yang berasal dari Belanda dimana di Belanda sendiri telah mengalami beberapa kali perubahan demi menjawab perkembangan hukum di Indonesia;

(31)

DAFTAR PUSTAKA

Agil Husin Al-Munawar, Said. Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, Jakarta : Penamadani, 2004.

ArthaWindari, Ratna. PengantarHukum Indonesia,Depok:Rajawali Pers, 2017, Cet.I.

Daud Ali,Mohammad. Hukum Islam; Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : Rajawali Pers, 2009.

Fuady, Munir.SejarahHukum, Bogor: Ghalia Indonesia, 2013, Cet.II.

Gilissen, John dan Frits Gorle.SejarahHukum; SuatuPengantar, Terjemahan, Bandung: PT. RefikaAditama, 2011, Cet. V.

(32)

Kansil, C.S.T. SejarahHukum Indonesia, Jakarta:SuaraHarapanBangsa,2014, Cet.I.

Lukito, Retno.Hukum Sakral dan Hukum Sekuler; Studi Tentang Konflik dan Resolusi Dalam Sistem Hukum Indonesia, Terjemahan, Tangerang: Pustaka Alfabet, 2008, Cet. I.

Mertokusumo, Sudikno.TeoriHukum, Yogyakarta: CahayaAtmaPustaka, 2012. Rasjidi, Lili.Dasar-dasarFilsafatHukum, Bandung: PT. Citra AdityaBakti: 1990, Cet.V.

Ramulyo, Idris.Asas-Asas Hukum Islam; Sejarah Timbul dan Berkembangnya Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia, Jakarta : SinarGrafika, 1997 Cet II. Salim, Arskal dan Azyumardi Azra, Ed., Shari’a and Politics in Modern Indonesia, Singapore:

Institute of Southeast Asian Studies, 2003.

Soepomo, R.SistemHukum di Indonesia SebelumPerangDunia II,Jakarta:Pradnya Paramita,1997, Cet XV.

Sukardja, Ahmad. Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945; Kajian Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama Dalam Masyarakat yang Majemuk, Jakarta: UI-PRESS, 1995, Cet. I.

Suminto, Aqib. Politik Islam HindiaBelanda, Jakarta: LP3ES, 1996, cet. III.

Usman, Rachmadi.Perkembangan Hukum Perdata Dalam Dimensi Sejarah dan Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2013.

Van Vollenhoven, C.PenemuanHukumAdat, terjemahan, Jakarta: Djambatan, 1987, cet.II. Wignjosoebroto, Soetandyo.Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional; Dinamika

Sosial-Politik dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, Cei. I.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian wawancara tersebut dapat di simpulkan bahwa dalam pemberian izin SPA di Makassar cukup optimal dalam meminimalisir tempat-tempat yang di

Judul Skripsi : Kajian Potensi Industri Kuliner Dalam Membentuk Lingkungan Kreatif (Studi Kasus : Kawasan Jalan Mojopahit Kecamatan Medan Petisah).. Nama Mahasiswa :

Sumber-sumber pembiayaan untuk pengadaan dan pembelian sarana prasarana di SMA Negeri 1 Boja terdapat tiga pintu yaitu diusulkan melalui dana BOS, Iuran komite

Badan merupakan salah satu subjek pajak yang menambah penerimaan negara sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 menyatakan bahwa

oleh kepala Perangkat Daerah/Unit Kerja pemberi rekomondasi sesuai bidang tugasnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), berdasarkan Peraturan Daerah tentang

Selanjutnya peserta yang dinyatakan memenuhi persyaratan dimaksud diatas, diundang untuk mengikuti pengukuran Kompetensi Bidang berupa penulisan makalah Seleksi Terbuka

The objectives of this research are to find out the elements and the patterns of nominal group structure found in the abstract of qualitative and quantitative Research in

Gedung H, Kampus Sekaran-Gunungpati, Semarang 50229 Telepon: (024) 8508081,