• Tidak ada hasil yang ditemukan

Petani dan Kemiskinan Kajian Konsep Kese

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Petani dan Kemiskinan Kajian Konsep Kese"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Petani dan Kemiskinan

(Kajian Konsep Kesejahteraan dalam Konteks Perubahan Sosial pada Komunitas Petani)

Paper Perubahan Sosial

Disusun untuk memenuhi Ujian Tengah Semester matakuliah Teori Perubahan Sosial dan Kesejahteraan yang diampu

Susetiawan, Prof. Dr., S.U.; Suharko, Dr., M.Si.

Mukhammad Fatkhullah 16/404184/PSP/05857

JURUSAN PEMBANGUNAN SOSIAL DAN KESEJAHTERAAN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA

(2)

1

1. Latar Belakang

Petani dan kemiskinan memiliki kaitan yang sangat erat. Dalam sejarahnya, fenomena

kemiskinan tidak hanya terjadi pada masyarakat Indonesia, namun juga di belahan asia timur

yang meliputi Burma, Indocina, dan Vietnam ketika Negara barat dan kapitalis mulai

melakukan ekspansi global pada abad 19 dan 20 yang kemudian menjadi salah satu kajian

James C. Scott dan dituangkan dalam bukunya yang berjudul The Moral Economy of The Peasant (King, 2011).

Kendati merupakan salah satu sektor utama saat itu, dan menjadi tulang punggung bagi

ketahanan nasional pada setiap bangsa-bangsa asia timur1. Praktik eksploitasi dan pencurian

nilai tambah2 kerap dilakukan guna memperbesar marjin keuntungan kapitalis. Hal ini,

kemudian dibuktikan dengan munculnya istilah tuan tanah, petani pemilik, pemilik alat

produksi, ataupun pemilik modal dalam sektor pertanian. Tidak heran, pada saat itu kemiskinan

kerap kali mengekor pada kehidupan masyarakat petani.

Di Indonesia sendiri, sektor pertanian merupakan sektor unggulan di masa pemerintahan

Orde Baru. Hal ini tercermin dari kebijakan revolusi hijau yang diterapkan oleh pemerintah

kala itu. Revolusi hijau dan segala usaha pertanian modern, yang dengan ataupun tanpa disadari

berdiri di atas ketimpangan pemilikan dan penguasaan sumber-sumber agraria. Meskipun

dalam praktknya merupakan penjelmaan kekuatan anti reforma agraria.3 Hasilnya, Indonesia

bisa memenuhi kebutuhan pangannya dengan bertumpu pada hasil pertanian yang mandiri.

Dalam laporan Indonesia Human Development Report 2001, kebijakan pemerintah dalam sektor pertanian pangan (padi) memiliki dampak panjang terhadap berkurangnya kemiskinan.

Pada Pelita I (1969-1974) pertanian menjadi prioritas utama pembangunan dengan sepertiga

anggaran belanja pemerintah ditujukan untuk kedua sektor itu. Upaya itu mulai memberikan

hasil pada tahun 1970-an ketika produksi beras mulai meningkat dari 23 juta ton menjadi 38

juta ton pada tahun 1984. Bila pada akhir tahun 1970-an Indonesia adalah pengimpor sepertiga

produk beras di pasar dunia, pada tahun 1985-1990 Indonesia tidak mengimpor beras sama

sekali. Namun, tidak bertahan lama ketika pemerintahan mulai goyah dan mulai memasuki

masa-masa krisis. Pada saat itu, sektor Industri mulai digalakkan gunak mempercepat proses

1 Jauh sebelum terjadi proses industrialisasi yang masif seperti sekarang ini

2 Nilai tambah merupakan sebuah teori yang dikonsepsikan oleh Marx untuk menggambarkan bahwa manusia

bisa menghasilkan nilai yang lebih dari apa yang dibutuhkannya sendiri. Selisih nilai tersebut kemudian diambil oleh seorang kapitalis, yakni dengan memberikan bayaran yang lebih rendah daripada nilai yang dihasilkan oleh karyawan itu. Melalui cara inilah seorang kapitalis mendapatkan laba (Ebbighausen, 2013).

3 Reforma agraria, merupakan salah satu usaha atau program pemerintah yang dibuat untuk menghadapi ataupun

(3)

2

transformasi. Akibatnya, Indonesia sebagai Negara agraris terpaksa harus memenuhi

kebutuhan pangannya melalui impor beras dari Negara-negara tetangga yang jika dibandingkan

memiliki sumberdaya pertanian yang lebih minim. Setelah itu sekitar 10 persen kebutuhan

beras harus diimpor (Stalker, et al., 2001).

Dalam prosesnya kemudian, pembangunan di fokuskan untuk meningkatkan hasil

produksi pada sektor industri ketimbang pembangunan pada sektor pertanian. Padahal, sektor

pertanian saat itu4 menjadi sektor yang memiliki pengaruh yang cukup besar meskipun kurang

menjadi prioritas. Akibatnya, mimpi Indonesia sebagai Negara agraris untuk mewujudkan

swa-sembada beras dan komoditas pertanian lainnya harus pupus di tengah jalan.

Perbaikan demi perbaikan dalam bidang sosial dan infrastruktur pun kerap dilakukan.

Namun, yang menjadi pertanyaan apakah hal tersebut berpengaruh terhadap sektor pertanian

dan masyarakat petani. Investor yang lebih tertarik pada sektor industri dan pembangunan yang

difokuskan pada persoalan infrastruktur telah menyebabkan jurang kesenjangan pada

masyarakat kian melebar. Jurang tersebut, merupakan jurang yang memisahkan antara si kaya

dan si miskin; nntara mereka yang berada dalam lingkaran perputaran modal dan mereka yang

terjebak dalam jeratan lingkaran setan kemiskinan; nntara mereka yang mempersoalkan

optimasi produksi apa yang bisa dilakukan dan mereka yang setiap harinya berpikir tentang

komoditas apa yang sanggup mereka dapatkan untuk memenuhi konsumsi esok harinya.

Kesenjangan, secara sederhana merupakan ketimpangan pada distribusi sumberdaya dan

kesejahteraan antara si kaya yang terlibat dalam sektor-sektor industri, dan si miskin yang

dalam hal ini didominasi oleh masyarakat pedesaan yang kerap menggantungkan dirinya pada

sektor pertanian. Dalam sensus Penduduk yang dicatat oleh BPS pada tahun 2013, penduduk

yang tergolong dalam kategori miskin dan berada di bawah garis kemiskinan sebagian besar

adalah mereka yang berprofesi sebagai petani. Pertanian sendiri, merupakan sektor yang paling

banyak menyerap tenaga kerja, yaitu sekitar 34,6% dengan jumlah rumah tangga pertanian

sebanyak 26,14 juta (Ariyanti, 2014). Pada level ini, berbagai proses pembangunan seolah

menyisihkan masyarakat dan sektor pertanian pada level dimana sektor ini tidak lagi menjadi

sektor unggulan pada perekonomian Indonesia sebagai Negara agraris.5 Padahal, sektor

4 Bahkan saat ini, sekor pertanian masih menjadi sektor yang memiliki kontribusi yang cukup signifikan pada

pembangunan di Indonesia.

5 Pada tahun 2013, sektor Unggulan atau sektor kunci perekonomian di Indonesia dipetakan ke dalam 12 sektor

(4)

3

pertanian dinilai sebagai salah satu sektor yang dapat menyerap tenaga kerja terbanyak jika

dibandingkan dengan sektor industri yang mulai menggerus tenaga manusia dengan tenaga

mesin.

2. Rumusan Masalah

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah:

1. Bagaimana kondisi kemiskinan masyarakat petani dari masa ke-masa?

2. Bagaimana dimensi perubahan sosial berpengaruh terhadap kemiskinan pada

masyarakat petani?

3. Apakah pembangunan yang ada telah berhasil menuntun masyarakat petani pada

kesejahteraan? Atau justru sebaliknya?

3. Sektor Pertanian dan Pembangunan di Indonesia

Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto atau lebih dikenal sebagai orde baru orientasi

pembangunan bertumpu pada penguatan tatanan kapitalisme. Tatanan masyarakat ini dibangun

di atas pondasi eksploitasi, akumulasi dan ekspansimodal. Menurut Orde Baru, ketimpangan

pemilikan alat-alat produksi termasuk agraria serta pendapatantidak perlu dipermasalahkan.

Kelak, pertumbuhan ekonomi yang baik akan memakmurkan negara. Setelah kemakmuran

tercapai, baru berpikir untuk mendistribusikannya. Singkatnya, orde baru lebih mengutamakan

pertumbuhan ekonomi ketimbang menata ulang ketimpangan pemilikan sumber-sumber

agraria. Untuk mewujudkan tekadnya itu orde baru melakukan dua hal yaitu membuka keran

bagi investasi (termasuk asing) dan mengganti kebijakan-kebijakan lama yang dianggap

menghambat gerak pertumbuhan, termasuk landreform yang di kambing hitamkan sebagai bagian dari kebijakan yang dibuat komunis. Juga sistempolitik yang otoriter bahkan totaliter

dijadikan pilihan sebagai jaminan untuk stabilitas politik.

Semenjak lengsernya Presiden Soeharto, Indonesia seakan mengalami disorientasi

(kehilangan arah). Pada Tanggal 28 September 2006, Menteri Pertanian Anton Apriantono dan

Menteri Kehutanan MS Kaban mengumumkan hasil rapat kabinet terbatas untuk

mendistribusikan lahan seluas 8,15 juta hektar, denganhitungan 60 persen untuk petani dan 40

persen untuk investor-investor domestik. Program tersebutmerupakan tindak lanjut dari

revitalisasi pertanian, perikanan dan kehutanan yang sudah dicanangkansetahun sebelumnya.

Lahan-lahan tersebut berada si Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Di atas tanah tersebut akan

ditanami tanaman yang mendukung program bio energi (sawit, jarak, dan lain-lain)

(5)

4

Namun pada kenyataannya yang dilakukan sangat jauh dari esensi reforma agraria. Secara

konseptualhal ini justru lebih mirip corporate farming (pertanian korporasi) yang menjadikan sektor pertanian sebagaisubordinasi sektor industri. Yang dilakukan hanyalah sebatas pelibatan

petani dalam program yang dikemasdalam bentuk PHBM (Pengelolaan Hutan Berbasis

Masyarakat). Secara prinsip, dalam hal ini Departemen Kehutanan hanya berkepentingan untuk

memobilisasi tenaga kerja pedesaan (petani) untuk mau menggaraplahan terlantar di areal

kehutanan secara murah dan cepat. Akibatnya maka tidak salah bila sebagian masyarakat

memandang bahwa kebijakan tersebut belum menunjukan komitmen terhadap pembaruan

agraria. Bahkan pemerintah terkesan setengah hati terkait dengan pelaksanaan pembaruan

agraria. Selain ilusi, tidak ada lagi yang diberikan pemerintah dalam kebijakan-kebijakannya

terkait agrarian.

4. Petani, Kemiskinan, dan Kebijakan Sosial

Masyarakat miskin lebih banyak berasal dari daerah pedesaan yang menggantungkan

kehidupannya pada sektor pertanian. Hal ini, tentu menjadi suatu gambaran umum bahwasanya

saat ini kemiskinan masih menjadi bagian dari kehidupan masyarakat petani. Apalagi, melihat

bagaimana perubahan lingkungan6 akhir-akhir ini dapat menjadi salah satu penyebab

meningkatnya kerentanan dan resiko pada masyarakat petani. Salah satu contohnya terjadi pada

masyarakat HSU (hulu sungai utara). Pada tahun 2013 saja, kegagalan panen yang disebabkan

karena anomaly cuaca memiliki kenaikan sebanyak 5,54%. Sedangkan kontribusi pertanian

mengalami penurunan drastic dari 32,6 menjadi 29,75 yang dalam prosesnya berdampak pada

penurunan pertumbuhan ekonomi menjadi hanya sekitar 3,78% (Kadri, 2015). Anomali cuaca

tersebut, bagaimanapun juga meningkatkan resiko kerentanan pada masyarakat petani.

Ditambah lagi, kondisi ekonomi nasional yang tak menentu membuat masyarakat petani

semakin tercekik. Kendati pemerintah telah menyiapkan kebijakan pupuk bersubsidi, namun

ketersediaan pupuk yang ada tidak bisa memenuhi kebutuhan petani dalam mengolah lahannya.

Bahkan tidak jarang ditemukan praktik-praktik curang untuk memaksimalkan pendapatan

dengan menjual kembali pupuk bersubsidi kepada petani kecil yang tidak memiliki relasi

khsusus kelompok tani yang diberi hak untuk mendistribusikan pupuk bersubsidi sepertihalnya

yang terjadi di Desa Ajung Kecamatan Ajung (Syah, et al., 2015). Akibatnya, lagi-lagi petani

6Cuaca yang tidak menentu, musim kemarau basah dan musim hujan panas menjadi salah satu penyebab

(6)

5

kecil yang tidak mampu bermain dalam skala besar dan memiliki relasi yang sempit menjadi

korban dan kurang bisa menikmati hasil kebijakan yang “katanya” pro petani itu.

Pada pengertian ini, kondisi kemiskinan pada masyarakat petani menjadi sangat

memperihatinkan. Sedikit saja guncangan sosial ekonomi yang terjadi sepertihalnya gagal

panen, bencana alam, musibah kekeringan, penyakit dan hama baik yang menyerang petani

maupun hasil tani dapat menyeret masyarakat petani khususnya petani kecil ke dalam lingkaran

setan kemiskinan yang akan terus menjerat mereka.

Oleh karennya, beberapa bantuan dan kebijakan untuk menunjang dan menstabilkan

kemampuan masyarakat miskin dalam memenuhi kebutuhan konsumsi sehari-hari

sepertihalnya BLT atau BLSM pun dirumuskan oleh pemerintah. Namun, pendekatan

kebijakan yang melihat bahwasanya kemiskinan merupakan masalah personal7 cenderung

menawarkan solusi pemberantasan kemiskinan melalui kebijakan yang personal pula dan

bukan komunal.8 Belum lagi, pada tingkat pelaksanaan dan pembagian yang dirasa mencederai

aspek-aspek “keadilan dan kemerataan”9 berakibat pada munculnya kecemburuan dan konflik

sosial terselubung yang dalam prosesnya dapat merenggangkan hubungan sosial—solidaritas

sosial— (Rosfadhila, et al., 2013) yang selama ini diyakini menjadi katup penyelamat

kemiskinan pada masyarakat pedesaan.

5. Kemiskinan Sebagai Suatu Kesenjangan Budaya

Jika dikaitkan pada salah satu teori perubahan sosial, bagaimanapun juga banyak teori

yang bisa menjelaskannya. Namun, dalam konteks ini teori yang paling relevan untuk

menjelaskan pertanyaan terkait bagaimana kemiskinan terus hadir dan mengekor pada

kehidupan masyarakat petani ialah teori cultural lag yang lahir dari pemikiran dan prespektif fungsionalis.

Konsep kesejangan budaya digunakan untuk menjelaskan bahwa perubahan sosial tidak

lepas dari hubungan antara unsur-unsur kebudayaan dalam masyarakat. Menurut teori ini,

beberapa unsur kebudayaan bisa saja berubah dengan sangat cepat sementara unsur yang

lainnya tidak dapat mengikuti kecepatan perubahan unsur tersebut. Sehingga, apa yang terjadi

kemudian adalah fenomena ketertinggalan budaya.

7 Sebagian masalah sosial kemiskinan merupakan masalah yang bersumber dari permasalahan structural seperti

budaya dan dominasi elit politik atau kemiskinan yang disengaja.

8 Hal ini dapat dilihat dari realitas masyarakat miskin merupakan masyarakat pedesaan yang bekerja di sektor

pertanian. Dan oleh karena itu kebijakan yang ada pun seharusnya diterapkan pada level komunal atau pada komunitas petani dengan akses terhadap teknologi dan modal yang lebih sedikit.

9 Pembagian bantuan yang ada biasanya kurang tepat sasaran, selain itu banyak masyarakat yang merasa bantuan

(7)

6

Meskipun pembangunan sedemikian pesat dilakukan, ketika unsur-unsur budaya dalam

suatu masyarakat kurang bisa responsif terhadap berbagai rangsangan dan perubahan yang

terjadi di luar sistem yang ada, maka yang terjadi adalah ketertinggalan budaya. Dalam konteks

kemiskinan pada masyarakat petani, etika subsistensi menjadi salah satu unsur yang dapat

memperlampat proses peresapan dan responsifitas masyarakat petani terhadap proses

pembangunan dan industrialisasi. Sehingga, tidak heran masyarakat justru lebih cenderung

menggunakan cara-cara yang lebih tradisional dan konservatif untuk setiap kegiatan

ekonominya karena mengutamakan keselamatan dibandingkan potensi ekonomi super besar

yang bisa dicapainya (safety-first).

Para penganut Teori Fungsionalis lebih menerima perubahan sosial sebagai sesuatu yang

konstan dan tidak memerlukan penjelasan. Perubahan dianggap sebagai suatu hal yang

mengacaukan keseimbangan masyarakat. Proses pengacauan ini berhenti pada saat perubahan

itu telah diintegrasikan dalam kebudayaan. Apabila perubahan itu ternyata bermanfaat, maka

perubahan itu bersifat fungsional dan akhirnya diterima oleh masyarakat, tetapi apabila terbukti

disfungsional atau tidak bermanfaat, perubahan akan ditolak. Apa yang kemudian disebut

sebagai “kemajuan, kekayaan, kesejahteraan” dan berbagai terminologi lain yang mewakili kondisi kesejahteraan agaknya berbeda dari konsep “kesejahteraan” yang dianut dan dipercayai

oleh masyarakat petani. Dan mungkin, hal inilah yang kemudian menjadi salah satu sebab

mengapa masyarakat petani cenderung fatalis alih-alih progresif dalam melihat setiap

kesempatan. Konstruksi “kesejahteraan” pada masyarakat petani yang menganut etika subsisten ialah bagaimana mereka bisa hidup dengan meminimalkan segala resiko (safety-first) dan hidup berdampingan dengan saling memberi dan menerima—hubungan resiprokal antara

patron dan kliennya.

Sehingga, tidak heran jika masyarakat petani tidak pernah berada jauh dari masalah

kemiskinan. Karena, konsep dan konstruksi kesejahteraan yang diyakini pada masyarakat ini

bukanlah pada suatu kondisi kemapanan, kemandirian, ataupun penghapusan kemiskinan itu

sendiri. Apa yang menjadi keyakinan terhadap kesejahteraan sejati sesungguhnya ialah terletak

pada bagaimana mereka bisa saling memberi dan menerima dalam suatu kondisi yang serba

(8)

7

6. Kesejahteraan Masyarakat Petani

Secara historis, kemiskinan pada masyarakat petani sebenarnya merupakan sebuah

fenomena yang tidak asing lagi. Hal tersebut bagi Scott dikarenakan ketimpangan distribusi

alat-alat produksi pada sektor pertanian. Buruh tani dan tuan tanah memiliki status yang

berbeda, dan oleh karenanya pun pembagian peran yang ada dalam masyarakat petani kala itu

berbeda. Dalam konteks kekinian, hal tersebut masih terlihat nyata pada masyarakat kita.

Dimana mereka yang memiliki alat-alat produksi berupa tanah, teknologi dan mesin, serta

relasi akan lebih memiliki kuasa terhadap mereka petani kecil atau petani buruh yang kurang

bisa memiliki bargaining position. Akibatnya, hasil-hasil yang didapatkan oleh petani kecil ataupun petani buruh secara dramatis dapat dikatakan lebih kecil jika dibandingkan dengan

mereka yang menguasai alat-alat produksi ataupun akumulasi modal yang melimpah.

Selain itu, etika yang dianut oleh masyarakat petani atau yang kemudian disebut sebagai

etika subsistensi juga menjadi salah satu penyebab kemiskinan pada masyarakat petani. Dalam

pandangan penganut etika subsistensi, masyarakat hanya akan memproduksi barang-barang

atau hasil pertanian untuk kebutuhannya pangannya sendiri dan sebagian digunakan untuk

memenuhi kebutuhannya di esok hari. Kendati dalam konteks kekinian hal tersebut tidak lagi

terjadi, namun masih dapat memberikan sedikit gambaran bahwa masyarakat petani kurang

bisa melihat jauh kedepan terkait apa yang akan dilaluinya. Selain itu, etika ini juga

memandang bahwasanya kehidupan bisa terus berlangsung dengan kondisi seminimal

mungkin. Dalam kondisi-kondisi kritis karena bencana, gagal panen, ataupun kondisi lain yang

menyebabkan mereka tidak bisa mendapatkan hasil-hasil panen, mereka mengenal istilah

“mengencangkan ikat pinggang” atau meminimalisir konsumsi agar bisa bertahan hidup. Kendati kehidupan yang serba susah dan kemiskinan teramat parah bisa dilihat melalui

gambaran etika subsistensi yang seolah tidak memberi harapan bagi masyarakat petani pada

masa itu untuk bisa mendapatkan hidup yang berkecukupan. Kendati demikian, pada

masyarakat tersebut dalam sudut pandang etika subsistensi yang digagas oleh Scott,

kemiskinan bukan menjadi suatu masalah utama dan urgen dalam masyarakat petani. Pasalnya,

selalu ada jaminan sosial berbasis komunitas yang membuat mereka akan terus bisa

melangsungkan hidupnya. Konstruksi kesejahteraan dalam konteks ini kemudian tidak

dimaknai sebagai hidup yang berkecukupan dan bergelimang harta, namun lebih pada

bagaimana masyarakat petani mendapatkan jaminan untuk terus hidup baik sekarang maupun

(9)

8

Itulah sebabnya, di masa lalu kemiskinan pada masyarakat petani merupakan suatu hal

yang biasa dan bukan menjadi masalah yang begitu urgennya sampai harus ditemukan

solusinya. Kemiskinan, pada masa itu menjadi bagian dari kehidupan yang justru dapat

menjamin keberlangsungan masyarakat petani di masa mendatang. Dengan tidak mengambil

lebih banyak dari alam, dan dengan hidup seminimalis mungkin, masyarakat percaya mereka

dapat terus hidup dan bergantung melalui alam ini. Selain itu, ketergantungan dan jaminan

tersebut tidak hanya pada alam saja, Scott juga menggambarkan bagaimana hubungan dalam

komunitas atau masyarakat petani bisa menjadi sebuah katup penyelamat kemiskinan. Apa yan

dimaksud Scott disini adalah hubungan resiprokal yang terjalin antara tuan tanah dan buruh

tani, antara majikan dan hamba, antara patron dan kliennya.

Oleh karena itu, pada dasarnya kemiskinan pada masyarakat di era Scott tidak jauh berbeda

dengan apa yang dialami masyarakat petani oleh saat ini. Hanya saja moralitas petani yang

berbentuk kehendak petani untuk menyediakan jaminan bagi anggota komunitasnya

dikendalikan oleh jagad moral yakni “hasrat untuk selalu berbuat baik” perlahan-lahan mulai tergerus atau bahkan hilang pada masyarakat petani. Pada pengertian ini, kondisi kemiskinan

pada masyarakat petani justru bisa dikatakan lebih memperihatinkan jika dibandingkan dengan

kondisi kemiskinan dan kemelaratan petani seperti yang di gambarkan Scott pada masanya.

Karena, di masa itu jaminan-jaminan sosial pada tingkat komunitas dapat diusahakan melalui

hubungan patron-klien.10

7. Kesimpulan

Masyarakat petani memilik keterkaitan yang erat dengan kemiskinan. Bahkan, keterkaitan

tersebut telah digambarkan oleh James C. Scott berpuluh-puluh tahun yang lalu. Kendati

demikian, keterkaitan yang erat antara petani dan kemiskinan kerap bisa ditemukan bahkan

hingga saat ini. Meskipun, dunia telah mengalami perubahan yang amat signifikan jika

dibandingkan dengan periode dimana Scott mendeskripsikan masyarakat petani di Asia Timur

melalui proses pembangunan dalam skala besar khususnya di Indonesia. Perubahan tersebut

tentu dapat dilihat dari teknologi yang digunakan, sistem penjualan, pengupahan, perairan, dan

hubungan-hubungan sosial serta moralitas/etika yang dijunjung oleh masyarakat petani.

10 Tergerusnya nilai-nilai hubungan dalam relasi patron-klien sendiri sebenarnya sudah ditandai Scott pada

(10)

9

Jika merujuk pada salah satu teori perubahan sosial, kemiskinan pada masyarakat petani

merupakan salah satu bentuk resistensi terhadap perubahan melalui nilai-nilai moral yang

dianut oleh masyarakat petani. Teori perubahan dalam prespektif fungsional menganggap

beberapa unsur kebudayaan bisa saja berubah dengan sangat cepat sementara unsur yang

lainnya tidak dapat mengikuti kecepatan perubahan unsur tersebut. Sehingga, apa yang terjadi

kemudian adalah fenomena ketertinggalan budaya. Dalam konteks ini, perubahan diidentikkan

dengan pembangunan. Pada masyarakat petani, perubahan atau pembangunan dianggap

sebagai suatu hal yang mengacaukan keseimbangan masyarakat. Proses pengacauan ini

berhenti pada saat perubahan itu telah diintegrasikan dalam kebudayaan. Apabila perubahan

itu ternyata bermanfaat, maka perubahan itu bersifat fungsional dan akhirnya diterima oleh

masyarakat, tetapi apabila terbukti disfungsional atau tidak bermanfaat, perubahan akan

ditolak.

Dalam masyarakat petani yang menganut etika subsisten seperti yang digambarkan oleh

Scott, konstruksi “hidup sejahtera” kemudian diartikan pada suatu kondisi dimana mereka bisa

hidup dengan meminimalkan segala resiko (safety-first) dan hidup berdampingan dengan

saling memberi dan menerima—hubungan resiprokal antara patron dan kliennya. Tidak heran,

kemiskinan kemudian seolah bukan menjadi suatu masalah yang begitu nyata dan urgen untuk

diselesaikan pada masa itu. Justru, perubahan sosial melalui pembangunan dan berbagai

kebijakan pengentasan kemiskinan itu sendirilah yang menggerus nilai-nilai dan moralitas

yang selama ini dipercaya oleh masyarakat petani. Ditambah lagi, perubahan dan anomali

linkungan membuat masyarakat petani semakin tidak terhindarkan dari resiko-resiko yang ada.

Pada akhirnya, masyarakat petani hidup dalam kondisi kemiskinan yang lebih memilukan dan

ketidakberdayaan yang teramat sangat bahkan jika dibandingkan dengan periode Scott, yang

digambarkan hidup tanpa teknologi modern dan serba kesusahan dalam melakukan

kegiatan-kegiatan produktif dalam pertanian.

8. Daftar Pustaka

Ariyanti, F., 2014. Sensus BPS: Penduduk Miskin RI Sebagian Besar Petani. [Online] Available at: http://bisnis.liputan6.com/read/2089809/sensus-bps-penduduk-miskin-ri-sebagian-besar-petani [Accessed 5 Oct. 2016].

Ebbighausen, R., 2013. Marx dan Perjalanan Sebuah Ide. [Online]

Available at: http://www.dw.com/id/marx-dan-perjalanan-sebuah-ide/a-16671165 [Accessed 2 Oct. 2016].

(11)

10

Indriani, L. & Mukhyi, M. A., 2013. Sektor Unggulan Perekonomian Indonesia: Pendekatan Input-Output. Proceeding PESAT, 5(5), pp. 341-349. Available at:

http://download.portalgaruda.org/article.php?article=356362&val=1450&title=SEKTO R%20UNGGULAN%20PEREKONOMIAN%20INDONESIA:%20PENDEKATAN% 20INPUT-OUTPUT [Accessed 2 Oct. 2016].

Kadri, A., 2015. Perubahan Cuaca Picu Penurunan Produksi Pertanian. [Online] Available at: http://www.antarakalsel.com/berita/25699/perubahan-cuaca-picu-penurunan-produksi-pertanian [Accessed 3 Oct. 2016].

King, V. T., 2011. Ulasan Buku: Moral Ekonomi Petani: Antara Subsistensi dan Resistensi.

[Online] Available at: http://etnohistori.org/moral-ekonomi-petani-antara-subsistensi-dan-resistensi.html [Accessed 4 Oct. 2016].

Pratama, A. I., n.d. Sekilas Pandang Reforma Agraria di Indonesia. [Online] Available at:

https://www.academia.edu/2359239/Sekilas_Pandang_Reforma_Agraria_di_Indonesia [Accessed 3 Oct. 2016].

Rosfadhila, M. et al., 2013. Kajian Cepat Pelaksanaan Program Bantuan Langsung Tunai (BLT) 2008 dan Evaluasi Penerima Program BLT 2005 di Indonesia, Jakarta: Lembaga Penelitian Smeru. Available at:

http://www.smeru.or.id/sites/default/files/publication/blt.pdf [Accessed 3 Oct. 2016]

Stalker, P. et al., 2001. Towards a New Consensus: Democracy and Human Development in Indonesia, Jakarta: BPS-Statistics Indonesia, Bappenas and UNDP Indonesia. Available at: http://hdr.undp.org/sites/default/files/indonesia_2001_en.pdf [Accessed 4 Oct. 2016]

Syah, K., Wasiati, I. & Makmur, M. H., 2015. Pelaksanaan Penyaluran Pupuk Bersubsidi di Desa Ajung Kecamatan Ajung. Jurnal Ilmu Administrasi Negara Universitas Jember,

1(1), pp. 1-14. Available at:

http://dspace.unej.ac.id/bitstream/handle/123456789/71628/Kaharudin%20Syah%20Kri shardiyanto.pdf [Accessed 7 Oct. 2016]

Wahyu, D., 2015. Laju Ketimpangan Orang Kaya-Miskin Indonesia Tercepat di Asia.

[Online] Available at: http://katadata.co.id/telaah/2015/12/10/laju-ketimpangan-orang-kaya-miskin-indonesia-tercepat-di-asia [Accessed 5 Oct. 2016].

Sunarto, Kamanto. 2012. Sosiologi Perubahan Sosial: Perspektif Klasik, Modern, Posmodern, dan Poskolonial. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Suseno, Djoko & Suyatna, Hempri., 2007. Mewujudkan Kebijakan Pertanian yang

Pro-Petani. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 10(3), pp. 267-294. Available at: https://journal.ugm.ac.id/jsp/article/view/11008/8249 [Accessed 2 Oct. 2016].

Scott, James C., 1972. The Erosion of Patron-Client Bonds and Social Change in Rural Southeast Asia. The Journal of Asian Studies, 32(1), pp. 5-37. Available at: https://www.jstor.org/stable/2053176 (read only)[Accessed 3 Oct. 2016].

Referensi

Dokumen terkait

Bogdan dan Taylor (1975) dalam Moleong (2003:3) mendefenisikan penelitian kualitatif sebagai berikut: “Metode Kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan

Serta pihak lain yang tidak mungkin kami sebutkan satu-persatu atas bantuannya secara langsung maupun tidak langsung sehingga Karya Tulis ini dapat terselesaikan

Ayam broiler berbeda dengan jenis ayam peliharaan yang terdapat dalam klasifikasinya, karena ayam broiler memiliki pertumbuhan yang sangat cepat hanya dalam waktu 6-8 minggu ayam

Fenomena budaya pop game online dewasa ini memberikan sebuah gambaran tentang hubungan praktik sosial yang muncul dari hasil kuasa industri teknologi dengan

“Mempercayakan salah satu instansi untuk membantu sekolah dalam pengadaan laboratorium komputer multimedia, laboratorium bahasa, software sekolah sampai software

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, dapat penulis simpulkan bahwa rumusan masalah yang akan dibahas mengenai Potensi Buah Api-api Sebagai Sumber Pangan Alternatif

Tidak adanya hubungan antara konsumsi bahan makanan sumber serat dengan keluhan menopause dapat disebabkan karena kurangnya responden mengkonsumsi bahan makanan yang mengandung

Pada tugas akhir ini sudah merancang bangun antena microstrip array 2x2 untuk radar cuaca, frekuensi X-Band yaitu 9,4 GHz dan digunakan karena memiliki keunggulan dimensi yang