• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kontribusi Faktor Resiko Kemiskinan Fakt

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kontribusi Faktor Resiko Kemiskinan Fakt"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

0

KONTRIBUSI FAKTOR RESIKO KEMISKINAN, FAKTOR

PROTEKTIF LINGKUNGAN DAN

INTERPERSONAL TRUST

TERHADAP KEKUATAN PERSONAL

RESILIENCE

REMAJA MISKIN DI SMK KOTA SUKABUMI

Oleh :

Nurjanni Astiyanti NPM. 190120120004

ARTIKEL ILMIAH

UNIVERSITAS PADJADJARAN

PROGRAM MAGISTER PSIKOLOGI SAINS

BANDUNG

(2)

1

KONTRIBUSI FAKTOR RESIKO KEMISKINAN, FAKTOR

PROTEKTIF LINGKUNGAN DAN

INTERPERSONAL TRUST

TERHADAP KEKUATAN PERSONAL

RESILIENCE

REMAJA MISKIN DI SMK KOTA SUKABUMI

Nurjanni Astiyanti, Hendriati Agustiani, Lenny Kendhawati

Universitas Padjadjaran

ABSTRAK

Inisiatif banyak SMK menentukan alur identifikasi remaja miskin menunjukkan bahwa ada segelintir remaja miskin yang dianggap memiliki pelbagai karakteristik dan kompetensi pribadi, akademik, sosial serta moral/spiritual yang amat baik kendati tumbuh dalam situasi keterbatasan sosioekonomi keluarga. Hal tersebut mendorong kebutuhan bagi SMK untuk mengembangkan model signifikan bagi pengembangan resilience-based intervention remaja miskin.

Penelitian ini ditujukan untuk menguji model compensatory berdasarkan proses proteksi faktor-faktor protektif bagi remaja miskin usia madya di SMK Kota Sukabumi. Di dalam model, diuji interaksi antara faktor resiko kemiskinan, faktor protektif lingkungan, dan interpersonal trust

terhadap kekuatan personal resilience. Rancangan penelitian didisain secara causal inferences

dalam SEM (structural equation modeling) dengan data kuantitatif yang diperoleh dari kuesioner 591 remaja miskin. Sampel diperoleh dengan pendekatan probability sampling teknik stratified random sampling pada cluster dua SMK Negeri dan dua SMK Swasta.

Hasil pengolahan data secara inferensial menunjukkan bahwa faktor protektif lingkungan bersama

interpersonal trust terbukti sebagai compensatory variables dalam model proses resilience. Berdasarkan hasil penelitian, dibahas juga implikasi dan rekomendasinya.

Kata kunci : remaja miskin usia madya, SMK, kemiskinan, resiko, faktor protektif lingkungan, interpersonal trust, kekuatan personal resilience, compensatory, model resilience

ABSTRACT

Many initiatives those SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) determines identification of adolescents living in poverty shows that there are some adolescents who a re considered to have various astounding personal, academic, social and moral/ spiritual competencies despite the limitations of the family’s socioeconomic situation. Those steps rise the need for SMK to develop significant model toward resilience-based intervention for adolescents living in poverty.

This study aimed to test the compensatory model based on protection process of protective factors for middle age adolescents living in poverty in SMKs around Kota Sukabumi. The interactions of poverty risk factors, environmental protective factors and interpersonal trust toward the personal resilience strengths are examined. The study wa s designed as a causal inferences in SEM (structural equation modeling) with quantitative data obtained from 591 questionnaires of poor adolescents. The samples obtained by probability sampling approach using stratified random sampling technique on two clusters both of public and private in four SMKs.

The results of data processing show that inferentialy, environmental protective factors and interpersonal trust a re compensatory function in resilience process. Some implications of the resea rch results discussed.

Keyword: middle age adolescent, poverty, vocational, risk factors, environmental protective

(3)

2

PENDAHULUAN

Individu menjadi miskin karena tidak punya kunci kapabilitas untuk memperoleh income yang lebih tinggi sebagai hak dasar untuk memperoleh, mempertahankan hingga mengembangkan kehidupan bermartabat (Sen,1999). Remaja miskin yang tidak memiliki kompetensi untuk menghadapi kemiskinan

secara baik, berpotensi menjadikan situasi kemiskinan sebagai sumber stress yang

mengandung faktor resiko tinggi (Pellino, 2005; Jensen, 2009).

Data menunjukan bahwa kesulitan ekonomi menjadi alasan bagi 58,71%

remaja miskin tidak mengenyam pendidikan (Susenas 2004, 2009). Balitbang Depdiknas mengestimasikan bahwa masyarakat masih harus menanggung 53,74-73,87% total biaya pendidikan di lembaga sekolah negeri apalagi swasta (Prasetyo, 2008). Padahal mulai tahun 2013 Pemerintah menggulirkan wajib belajar 12 tahun. Karena itu, Pemerintah gencar mengkampanyekan peningkatan partisipasi sekolah remaja usia madya melalui SMK. SMK dipromosikan sebagai

jawaban atas keresahan forgone earning orangtua miskin karena menyekolahkan remaja. Bentuk kampanye tersebut salah satunya dengan penunjukkan kota-kota

vokasi seperti Kota Sukabumi. Sesuai program Pemerintah tahun 2007 di

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional, Kota Vokasi ditujukan untuk

meningkatkan daya saing pelajar SMK agar memiliki kemampuan kompetitif di

lingkungan dunia usaha dan industri (http://uptvokasibloger.blogspot.com).

Salah satu efek domino program Kota Vokasi adalah terjadi proliferasi

SMK di Kota Sukabumi seiring animo peminat SMK yang makin meningkat. Ada

4 SMK Negeri, 26 SMK Swasta yang sudah beroperasi hingga tahun 2013 dan 3

SMK baru yang mulai beroperasi di tahun 2014. Secara faktual, distribusi peminat

SMK masih didominasi oleh remaja miskin. Dari studi pendahuluan (1-8 Februari

2014) diperoleh sebaran angka remaja miskin di SMK se-Kota Sukabumi pada

kisaran kurang dari 2% hingga 90%. Adapun besaran alokasi program-program

afirmasi pendidikan seperti perluasan akses SMK dan pembebasan/pengurangan

biaya pendidikan, ditentukan Peraturan Walikota pada kisaran 10-20% saja.

Namun demikian, identifikasi remaja miskin yang layak mendapatkan

(4)

3 pengelola SMK. Banyak guru dan pengelola sekolah sangsi terhadap kebenaran

data remaja miskin usia madya pada saat mendaftar ke SMK. Catatan-catatan

sekolah menunjukkan bahwa layanan responsif, indisipliner, bantuan kesehatan,

kenakalan, perilaku seksual beresiko dan kriminalitas SMK, justru lebih banyak

ditujukan pada kebanyakan remaja miskin. Pada beberapa kasus, tercatat pula

posisi remaja miskin sebagai korban dari pengabaian prioritas orangtua,

kesehatan, relasi keluarga juga gender. Ditemukan pula perangkat penunjang gaya

hidup seperti gadget dan busana branded yang tampak dikenakan remaja miskin dan keluarganya. Perangkat tersebut tentu lebih mahal daripada harga kebutuhan

dasar remaja, seperti tempat tinggal dan pakaian bersih, makanan bergizi,

perawatan kesehatan memadai, transportasi serta ongkos koordinasi.

Dari fenomena tersebut, muncul inisiatif banyak pengelola SMK di Kota

Sukabumi untuk mengembangkan mekanisme identifikasi remaja miskin di

sekolah masing-masing. Dari proses identifikasi mandiri inilah, dijumpai banyak

hal bersebrangan dengan fenomena di atas. Terdapat kelompok remaja miskin lain

yang menunjukkan disiplin yang baik, sosialisasi supel dengan sebaya/dewasa,

pemahaman, praktek keagamaan serta kesantunan yang menonjol, prestasi

akademik unggul, dan keaktifan dalam organisasi kesiswaan yang dapat dijadikan

referensi sebaya juga para guru. Kelompok lain ini rata-rata enggan dibantu

memperoleh peringanan/pembebasan biaya sekolah atas dasar ketidakmampuan

ekonomi, kecuali karena prestasi akademik/keorganisasian. Kwalitas remaja

miskin tersebut pun tampak menguat dan meningkat terus bahkan jauh setelah

lulus dari SMK. Para guru menemukan bahwa kwalitas-kwalitas tersebut tampak dapat „ditularkan‟ pada teman-teman sebayanya. Artinya, tampak potensi bahwa kwalitas-kwalitas positif remaja miskin dapat distimulasi agar terinternalisasi.

Identifikasi pribadi-pribadi remaja unik tersebut sudah mulai diinisiasi para

ilmuwan dari berbagai bidang termasuk psikologi. Salah satu inisiasi tersebut

adalah hasil riset longitudinal Werner (1993, 2005; Bartol, 2008; Benard, 2004)

bahwa ada 72 remaja dari 698 subjek penelitian tahun 1954-1986, yang berhasil

menjalani masa remaja penuh tantangan dan mencapai masa dewasa yang sukses.

(5)

4 psikopatologis orangtua dan stress masa bayi. Merekalah yang diberikan label

oleh para psikolog sebagai remaja dengan kwalitas resilience.

Dalam resilience, terkandung proses penanggulangan efek-efek negatif dari paparan resiko, coping terhadap pengalaman traumatik secara sukses dan

penghindaran dari trajectories negatif (Fergus & Zimmerman, 2005). Resilience

dikembangkan bukan karena individu/komunitas sudah mengalami adversity,

akan tetapi sebagai bentuk antisipasi terhadap berbagai adversity yang tidak dapat dielakkan. Remaja miskin berpotensi mengalami ketidakberdayaan dari hidup

yang morat-marit karena orangtuanya berincome rendah bahkan banyak yang tidak menghasilkan income. Remaja miskin juga banyak yang tinggal dalam lingkungan pemukiman yang tidak menguntungkan perkembangan. Lingkungan

demikian berpotensi menimbulkan efek internalisasi kekerasan, alkoholisme,

NAPZA, tawuran, kriminal hingga perilaku seksual beresiko bagi remaja miskin.

Dalam konteks kemiskinan, remaja miskin rentan berurusan dengan konflik

interpersonal dan kerepotan memenuhi kebutuhan harian. Dalam konteks proteksi,

remaja miskin mengambil manfaat dari dukungan sosial dan keterlibatan dengan

keluarga, teman, sekolah, pekerjaan dan lingkungan mikrosistemnya. Proses dan

fungsi psikososial dalam konteks kemiskinan, lebih kentara daripada keutuhan

struktur keluarga dan income yang rendah (Seidman & Pedersan dalam Luthar, 2003). Kendati tidak mendapatkan pengasuhan orangtua biologis, remaja miskin

dengan kwalitas positif tersebut mampu membangun kedekatan dilandasi trust

dengan anggota keluarga lain. Mereka juga mampu menjalin kelekatan dengan

mentor dewasa di luar keluarga, seperti tetangga, guru dan pemuka agama

(Werner, 1993; 2005; 1989 dalam Zimmerman & Brenner, 2010).

Mentor dewasa/sebaya yang berperan sebagai faktor protektif lingkungan,

dapat banyak membantu remaja, jika saja remaja tersebut memiliki kemampuan

trust dan terlibat dalam interaksi sosial yang produktif dan resiprokal (Yates, Egeland & Sroufe, 2003, Reich, et al, 2010; Benard, 2004; Rotenberg, 2005).

Meneropong resilience dari sudut interpersonal trust merupakan jalan penting menuju pemahaman pengaruh ekologis terhadap pencapaian outcome proses

(6)

5

KAJIAN LITERATUR

Resilience adalah “a dynamic process that encompassing positive adaptation within the context of significant adversity” (Luthar (2003; et al, 2000:543). Pada konteks kemiskinan, resilience secara spesifik adalah “a process

that relates positive adaptation to disadvantages origins” (Schoon, 2006).

Berdasarkan dua rujukan tersebut, dalam fenomena resilience, mesti hadir: 1)

paparan adversity/resiko (Luthar, 2003; Schoon, 2006); situasi sulit dan menekan, hambatan/ancaman berat atau stressor berupa disadvantages origins dalam taraf signifikan, dan 2) adaptasi positif individu terhadap situasi tersebut.

Faktor-faktor Resilience Remaja miskin

Faktor Resiko atau Adversity Kemiskinan

Resiko adalah any factor or situation that increases a youth’s chance of

developing negative health or behavioral outcomes. Adapun faktor resiko merupakan variabel yang berisi resiko. Dengan lain kata, faktor resiko adalah

konstruk yang terdiri dari dimensi-dimensi resiko (Zimmerman & Brenner, 2010).

Sebagai faktor resiko, kemiskinan didefinisikan sebagai a chronic and debilitating condition that results from multiple adverse synergistic risk factors affects the mind, body, and soul (Jensen, 2009). Definisi tersebut menampilkan kemiskinan sebagai adversity sekaligus faktor resiko yang signifikan bagi individu remaja pada penelitian ini. Faktor resiko kemiskinan meliputi rangkaian

resiko yang mempengaruhi remaja dengan buruk dalam berbagai cara yang

disingkat EACH, yakni: Emotional and social challenges, Acute and chronic

stressors, Cognitive lags dan Health and safety issues (Jensen, 2009:7).

Faktor emotional and social challenge meliputi instabilitas emosi dan sosial yang secara khas dilatari oleh perkembangan attachment masa bayi yang lemah dan penuh kecemasan. Faktor acute and chronic stressors terdiri dari pemicu

(7)

6 dibandingkan dengan otak teman sebaya lainnya, yaitu: 1) bagian prefrontal yang

menyusun dan mengatur sistem eksekutif, 2) bagianperisylvian kiri/sistem bahasa

pada area temporal dan frontal hemisfer kiri, 3) bagian medial temporal/sistem

memori pada area hippocampus, 4) bagian parietal/sistem kognisi spasial; secara

umum berada di korteks posterior parietal, dan 5) bagian occipito temporal/sistem

kognisi visual (Gardini, Cornoldi, De Beni, & Venneri, 2008; dalam Jensen,

2009). Terakhir, faktor health and safety issues meliputi isyu malnutrisi berdasarkan tipe konsumsi, ancaman lingkungan tempat tinggal secara fisik

maupun sosial yang memposisikan remaja miskin sebagai korban juga agen

pemilih gaya hidup beresiko berdasarkan keumuman gaya hidup remaja.

Faktor Outcome atau Adaptasi Positif

Penentuan-penentuan faktor outcome dalam studi resilience, terkait erat dengan kontroversi tiga pandangan standar tampilan perilaku resilience. Pandangan pertama terdiri dari para ahli perkembangan, mengembangkan konsep

faktor outcome sebagai kriteria kompetensi individu sesuai tugas perkembangan. Secara operasional, kelompok ini hanya mengangkat outcome positif dalam studi

resilience. Pandangan kedua dari bidang pencegahan penyimpangan dan psikopatologis, lebih fokus pada hilangnya psikopatologi dan rendahnya level

gejala dan penyakit. Secara operasional, kelompok pandangan ini berkonsentrasi

pada telaahan outcome negatif. Diantara kedua pandangan, ada pandangan ketiga

yang menginklusikan keduanya. Basis definisi outcome menurut pandangan ketiga ditentukan berdasarkan kriteria adaptasi eksternal atau internal (Masten,

2001). Pada hakikatnya, pandangan ketiga lebih sejalan dengan yang pertama.

Para ahli perkembangan mencatat rekam jejak manifestasi adaptasi positif

pada individu/komunitas yang resilient. Dari sanalah, dikembangkan daftar karakteristik/konstruk faktor outcome (Werner, 1993, 2005; Bartol, 2008). Ada empat kategori indikator yang dikonstruksi sebagai kekuatan-kekuatan personal

resilience, yaitu social competence, problem solving, autonomy, dan sense of

(8)

7

S O S I A L K O G N I T I F E M O S I M O R A L

Social Competence Problem Solving Autonomy Sense of Purpose

and Future

Zimmerman & Brenner ((2010; Zimmerman, 2013) mendefinisikan faktor

protektif sebagai resources and assets that represent positive aspects in youth

lives. Faktor protektif, terdiri dari dua jenis, yaitu resources dan assets. Resources

adalah aspek-aspek positif yang berada di luar individu, sedangkan assets adalah aspek-aspek positif yang berada di dalam diri individu.

Faktor Protektif Resources: Lingkungan

Faktor protektif remaja yang utama adalah keyakinan orang dewasa

terhadap kemampuan remaja untuk mencapai resilience (Benard, 2004).

Terangkum dari beragam studi resilience, para ahli dan praktisi perkembangan selalu mempertimbangkan signifikansi resources lingkungan bagi perwujudan adaptasi positif, baik dalam studi/intervensi berbasis sekolah maupun komunitas

tertentu (Benard, 2004, 2013; Zimmerman, 2009). Figur dewasa/sebaya yang

berperan sebagai faktor protektif lingkungan tersebut, tersituasikan di rumah,

sekolah dan komunitas sebaya/masyarakat luas (Benard, 1999, 2004).

Karakteristik faktor protektif lingkungan dirumuskan dari sisi kapabilitas 1)

caring relationship/hubungan yang saling peduli, 2) high expectations/ekspektasi yang tinggi, dan 3) opportunities for participation and contribution/membuka peluang partisipasi dan kontribusi. Ketiga kapabilitas faktor protektif lingkungan

tersebut mesti tampak sebagai paket yang saling melengkapi. Remaja yang

(9)

8

opportunities for participation and contribution, kemungkinan akan mengalami frustrasi, karena kebutuhan aktualisasi dirinya terhambat (Benard, 2004 : 44).

Faktor Protektif Assets : Interpersonal Trust

Assets adalah aspek-aspek positif yang berada di dalam diri individu, yang mendorong pencapaian outcome. Dalam penelitian ini, asset yang diuji adalah

interpersonal trust. Urgensi penelaahan interpersonal trust didasarkan oleh amat banyaknya proses belajar sosial yang dilakukan dalam bentuk pengajaran formal

maupun informal daripada melalui pengalaman langsung bagi remaja. Individu

mesti memiliki trust bahwa narasumber informasi betul-betul peduli akan kenyamanannya dan hanya menyampaikan kebenaran.

Trust is what individuals perceive it to be (Rotenberg, 2010:8). Secara komprehensif, Rotenberg (2010:9) mengemukakan kerangka kerja interpersonal

trust 3 (basis)×3 (domain)×2(target) disingkat BDT. Tiga bases interpersonal trust terdiri dari Reliability trust (kepercayaan reliabilitas), Emotional trust

(kepercayaan emosional) dan Honesty trust (kepercayaan akan kejujuran). Berdasarkan 3 basesinterpersonal trust ini, Rotenberg (2010 : 11) mendefiniskan

interpersonal trust sebagai a defined set of beliefs (expectacions) about persons reliability, emotional and honesty- which comprises (at the trusting end of continuum) positive expectation of their behavior.

Secara operasional psikologis, interpersonal trust diposisikan dalam 3

domain, yaitu: cognitive/affective, behavior-dependent dan behavior-enacting/ trusworthiness. Komponen terakhir kerangka interpersonal trust adalah dimensi target yang terdiri dari: specificity dan familiarity. Target trust dalam specificity

diidentifikasi mulai dari kategori orang secara umum hingga kategori individu

spesifik. Adapun target trust dalam familiarity, diidentifikasi mulai dari individu yang selintas kurang familiar hingga individu yang sangat familiar untuk

dijadikan target trust (Rotenberg, 2010).

Rotenberg (2001 dalam Rotenberg, 2010) menemukan bahwa basis,

domain dan target interpersonal trust berubah selama masa hidup. Basis honesty trust pada domain behavior-dependent berkembang selama masa bayi. Basis

(10)

behavior-9

dependent berkembang selama masa anak-anak madya. Manifestasi semua faset

trust terhadap target abstrak –seperti sahabat pena/kawan virtual- dan target yang amat beragam selama masa remaja (Rotenberg 2001 dalam Rotenberg, 2010).

Proses Resilience Remaja

Proses resilience adalah telaahan tentang cara-cara faktor protektif berfungsi

dalam menangkal trajectory perkembangan yang terpapar resiko hingga mengarah pada outcome negatif (Fergus & Zimmerman, 2005; Luthar, et al, 2007). Cara pandang resilience sebagai proses berangkat dari simpulan bahwa resilience

bukanlah trait kepribadian atau pun proses kebetulan yang acak (Luthar, 2003; Benard, 2004; Schoon, 2006:8). Pada dasarnya, riset resilience ditujukan untuk memahami proses proteksi menuju pencapaian outcome yang diharapkan.

Pada penelitian dengan pendekatan variable-focused, Masten dan Powell (2003) mensyaratkan dibentuknya variable-based model resilience, bukan saja untuk menguji hipotesis tentang proses proteksi yang dilakukan faktor-faktor

protektif, tapi juga karena model tersebutlah yang dijadikan referensi perumusan

intervensi. Suatu model proses resilience, sedapat mungkin mencakup empat hal, yaitu prediktor-prediktor negatif (faktor-faktor resiko), prediktor-prediktor positif

(faktor-faktor protektif), proses, dan outcome yang dicapai. Proses resilience

remaja dapat dimodelkan ke dalam tiga model utama, yaitu : compensatory atau

promotive, protective atau moderating dan challenge (Garmezy, et al., 1984 dalam Schoon, 2006; Masten, 2001; Masten & Powell, 2003 dan Fergus & Zimmerman,

2005). Di luar tiga model utama, ada tiga model tambahan, perluasan model

protective/moderating (Luthar et al, 2000; Luthar, 2003; Brook, et al, 1986, 1989; dalam Zolkoski & Bullock, 2012; Zimmerman & Brenner, 2010).

Meskipun ketiga model proses utama berbeda secara analitik, namun pada

dasarnya, secara konseptual, masing-masing tidak berdiri eksklusif satu sama lain.

(11)

10 operasional, model compensatory merupakan model pertama yang harus dibuktikan sebelum ditempuh pemodelan protective kemudian challenge, sesuai kebutuhan penelitian dan kriteria keterbuktian model.

METODE

Pendekatan yang digunakan adalah variable-focused. Kelebihan

variable-focused adalah diperolehnya daya statistika maksimal, yang cocok digunakan untuk menemukan keterkaitan spesifik dan berdaya diferensial antara

prediktor-prediktor dengan outcome resilience yang berimplikasi pada penentuan intervensi (Masten, 2001). Penelitian didisain secara kuantitatif non-eksperimen

menggunakan analisis causal inference (Hair, et al, 2006). Satu risk factor dan dua compensatory variable ditentukan sebagai variabel independen (eksogen), sedangkan satu outcome ditentukan sebagai variabel dependen (endogen).

Adapun karakteristik populasi adalah: 1) remaja madya, 2) bersekolah di

SMK Kota Sukabumi, dan 3) teridentifikasi sebagai siswa miskin oleh pihak

sekolah sesuai ketentuan Perwal persyaratan PPDB jalur miskin, dibuktikan

dengan kepemilikan dokumen SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu) dari

Lurah/Kades sesuai domisili, dan masuk dalam database siswa miskin sesuai verifikasi sekolah masing-masing. Pendekatan probability sampling digunakan dengan teknik stratified random sampling (Shaughnessy, et al., 2009). Pada strata

1, remaja madya hidup miskin tersebar dalam 4 SMK Negeri. Sementara pada

strata 2, remaja madya hidup miskin, tersebar dalam 26 SMK Swasta. Dari

masing-masing strata, ditentukan 2 cluster sekolah. Karena individu terbagi lagi dalam unit-unit cluster yang lebih kecil, yaitu tingkatan kelas, kelas XI dan XII dipilih sebagai cluster sampel remaja madya miskin. Dari 2327 subjek remaja madya pada cluster tersebut, terhimpun tabel respon sebanyak 643 remaja miskin dengan response rate sebesar 591 (91,91%), yang dapat dipandang representatif.

Pengumpulan data utama ditempuh dengan survey menggunakan kuesioner

tertutup yang telah memenuhi syarat validitas dan reliabilitas untuk alat ukur

(12)

19-11 30 September 2014. Untuk melengkapi data primer yang dihimpun melalui

kuesioner, digunakan juga teknik wawancara dan studi dokumen.

Kuesioner disusun berupa skala psikologi format rating scales dalam model

summated ratings (Likert) skala lima. Spesifikasi alat ukur dikembangkan dari definisi operasional variabel yang didalamnya terkandung aspek dan indikator

untuk dijabarkan dalam bentuk pernyataan/pertanyaan skala. Khusus untuk alat

ukur variabel interpersonal trust, pertanyaan skala dirumuskan melalui langkah-langkah modifikasi tes dari CGTB Scale (Rotenberg, 2005). Materi alat ukur diuji validitas contentnya agar layak untuk diuji coba. Hasil uji coba dianalisis reliabilitas dan validitas itemnya, sehingga dihasilkan format final untuk studi

utama. Data studi utama diuji validitas konstruknya dengan teknik CFA. Melalui

uji CFA, diperoleh model pengukuran sebagai pembentuk model struktural SEM

yang merupakan teknik analisis statistika untuk pembuktian hipotesis penelitian.

Faktor resiko kemiskinan (X1) adalah tinggi rendahnya skor nilai rata-rata

respons subjek terhadap kuesioner yang mengukur indikator pada kategori

Emotional and social challenges, Acute and chronic stressors, Cognitive lags,

dan Health and safety issues (Jensen, 2009). Keempat kategori dipandang sebagai

pengalaman subjek berada dalam kondisi kronis dan melemahkan yang dihasilkan

dari beberapa faktor kemiskinan yang dapat menghambat perkembangan sebagai

remaja secara sehat. Contoh butir pernyataan alat ukur faktor resiko kemiskinan: Saya bingung jika ditanya rencana sesudah lulus, kadang ingin kuliah tapi biaya tak ada, kadang ingin kerja tapi skill kurang” dengan alternatif respons: TP (tidak

pernah), J (jarang), N (netral), S (sering) dan SS (sangat sering). Setiap subjek

memiliki empat skor rata-rata kategori serta satu skor total dan rata-rata total.

Faktor protektif lingkungan (X2) adalah tinggi rendahnya skor respons

subjek terhadap kuesioner yang dirancang sebagai alat evaluasi subjek terhadap

kapabilitas mentor dewasa/sebaya di lingkungan rumah, sekolah dan komunitas.

Kapabilitas mentor di lingkungan ditinjau dari sudut peran mereka sebagai

sumberdaya interpersonal yang mampu menampilkan: caring relationship, high

(13)

12 2004, 2013). Contoh butir pernyataan alat ukur faktor protektif lingkungan: Orangtua atau orang dewasa lain dalam keluarga ... Mendukung atas pilihan-pilihan saya dengan alternatif respon TP, J, N, S dan SS. Setiap subjek memiliki satu skor total serta sembilan skor aspek sesuai level analisis.

Interpersonal trust (X3) adalah tinggi rendahnya skor respons subjek terhadap kuesioner yang dirancang untuk mengukur indikator kepercayaan

individu atas reliabilitas (reliability), emosional (emotional) dan kejujuran (honesty) ibu, ayah, guru dan temannya sesama jenis kelamin (Rotenberg, 2010). Kuesioner interpersonal trust dengan formula 3×1×4 BDT diadaptasi dari

Children’s Generalized Trust Belief (CGTB) Scale untuk remaja yang disajikan dalam butir pertantaan berupa soal cerita (Rotenberg, et al, 2005). Setelah

memperoleh experts judgement, dilakukan pilot study. Berdasarkan face validity

yang ditempuh dan pilot study alat ukur hasil adaptasi, ditemukan kebutuhan lain penyajian alat ukur yang dipandang lebih relevan bagi kelompok subjek. Banyak

butir soal cerita yang harus didrop sehingga representasi butir setiap indikator

kurang terpenuhi. Maka ditempuh modifikasi alat ukur dengan mempertahankan

bentuk soal cerita dan imajinasi dalam alat ukur. Tokoh dalam setiap soal cerita

yang asalnya berupa orang ketiga dan berjenis kelamin perempuan, diganti

dengan orang kedua, yaitu Anda (subjek sendiri). Beberapa penyesuaian content

dan konteks perkembangan remaja madya Indonesia pun dilakukan sebelum alat

ukur hasil modifikasi diuji coba untuk memperoleh evaluasi format akhir.

Contoh butir pertanyaan interpersonal trust untuk target Ibu: “Anda

memberitahu Ibu bahwa Anda bergandengan tangan dengan seorang teman lawan jenis di sekolah, dan meminta Ibu agar tidak memberitahu siapapun. Bagaimanakah kemungkinan Ibu Anda untuk merahasiakan hal tersebut?”. Lima

alternatif jawaban adalah 1 (sangat tidak mungkin), 2 (tidak mungkin), 3 (kadang

mungkin, kadang tidak mungkin), 4 (mungkin) dan 5 (mungkin sekali). Setiap

subjek memiliki satu skor total dan duabelas skor dimensi bases×target.

Kekuatan personal resilience (Y) adalah tinggi rendahnya skor respon subjek terhadap kuesioner yang dirancang sebagai alat evaluasi-diri tentang

(14)

13 kehidupan yang sukses bagi remaja dalam konteks keterbatasan sosioekonomi

keluarga. Terdapat empat kategori yang diukur, yakni : social competence,

problem solving, autonomy, sense of purpose and future (Benard, 1991, 2004, 2013). Contoh butir pernyataan kekuatan personal resilience: “Meskipun saya

berasal dari keluarga kurang beruntung ... Orang lain senang mendengarkan masukan saya” dengan alternatif jawaban: STS (Sangat Tidak Sesuai) TS (Tidak

Sesuai), TT (Tidak Tahu), S (Sesuai) dan SS (Sangat Sesuai). Setiap subjek

memiliki satu skor total dan empat skor kategori.

Data yang dihasilkan dari pengukuran adalah skala ordinal yang dapat

langsung diperlakukan sebagai skala interval (Brown, 2011; Suliyanto, 2011).

Hasil uji reliabilitas dan validitas butir alat ukur pada studi utama, sebagai berikut:

Tabel 1.1. Uji Reliabilitas dan Validitas Butir Alat Ukur Studi Utama

Alat Ukur Variabel Angka α Cronbach Kriteria Reliabilitas

Item discriminant

Ujicoba* Studi Utama

Faktor resiko kemiskinan 0,907 0,929 Tinggi sekali 0.225-0.512 Faktor protektif lingkungan 0,960 0,949 Tinggi sekali 0.229-0.562 Interpersonal trust 0,821 0,768 Tinggi 0.167-0.428 Kekuatan personal resilience 0,895 0,944 Tinggi sekali 0.113-0.710

*Ujicoba 1 untuk alat ukur Faktor Resiko Kemiskinan dan Kekuatan Personal Resilience. Ujicoba 2 untuk alat ukur Faktor Protektif Lingkungan dan Interpersonal Trust

Data yang dihasilkan tersebut diuji melalui pemodelan CFA yang dinyatakan fit,

valid dan layak dilibatkan dalam pemodelan struktural SEM.

HASIL PENELITIAN

Dari pemodelan struktural, diperoleh χ2/df = 721.14/359 (2.008), p sebesar 0.00000, dan RMSEA sebesar 0.041. Selain itu, nilai GFI dan CFI diperoleh pada

angka >0.90. Dengan demikian, model struktural secara keseluruhan dinyatakan

fit. Model struktural efek langsung faktor resiko kemiskinan, faktor protektif

(15)

0

*nilai T-value> 1.96 pada taraf signifikansi α 0.05 (daftar nilai T-value terlampir)

Gambar 4.1. Model Empirik Kontribusi Faktor Resiko Kemiskinan, Faktor Protektif Lingkungan dan

0.79* 0.45* 0.53*

(16)

15 Pada model struktural yang sudah dinyatakan fit di atas, didapatkan path

diagram berdasarkan estimasi parameter model yang dapat menjelaskan hubungan model struktural. Tiga koefisien jalur (path coefficient) secara empirik memiliki T-value > 1.96 seperti tampak berikut ini:

Tabel 1.2. Hasil Pengujian Path Analysis Model Struktural

Path Koefisien

Regresi

Nilai

t-value Kesimpulan

Faktor resiko kemiskinan → Kekuatan personal

resilience -0.17 -3.77 Signifikan Faktor protektif lingkungan → Kekuatan

personal resilience 0.55 9.87 Signifikan

Interpersonal trust → Kekuatan personal

resilience 0.15 3.01 Signifikan

Berdasarkan nilai estimasi model tersebut, diperoleh persamaan struktural:

Angka R2 sebesar 0.35 atau 35% menunjukkan bahwa secara simultan, hubungan

ketiga variabel independen terhadap variabel dependen adalah sebesar √0.35 =

0.592. Variabel faktor resiko kemiskinan, faktor protektif lingkungan dan

interpersonal trust mempunyai keterhubungan dengan variabel kekuatan personal

resilience pada taraf sedang. Nilai R2 sebesar 0.35 menunjukkan bahwa efek langsung simultan ketiga variabel independen tersebut berada pada taraf rendah.

Hal ini menandakan bahwa faktor resiko kemiskinan bersama faktor protektif

lingkungan dan interpersonal trust dapat memprediksikan terhadap kehadiran, kenaikan dan penurunan variabel kekuatan personal resilience sebesar 35% pada remaja miskin di SMK Kota Sukabumi. Sementara 65% lainnya diprediksikan

oleh efek lain semisal kesalahan pengukuran, perbedaan karakteristik demografis

juga variabel lain yang tidak ditelaah dalam penelitian.

Dengan sendirinya, terbukti bahwa faktor resiko kemiskinan, faktor

protektif lingkungan dan interpersonal trust, secara simultan berkontribusi positif signifikan terhadap kekuatan personal resilience. Dengan demikian, faktor protektif lingkungan bersama interpersonal trust terbukti berfungsi counteraction

terhadap faktor resiko kemiskinan. Faktor protektif lingkungan dan interpersonal Kekuatan Personal Resilience = -0.17*Faktor Resiko Kemiskinan + 0.55*Faktor Protektif

(17)

16

trust terbukti sebagai compensatory variables dalam model proses resilience

remaja miskin di SMK Kota Sukabumi. Penilaian remaja miskin di SMK Kota

Sukabumi terhadap kapabilitas mentor dewasa di keluarga dan sekolah serta

mentor sebaya dalam komunitasnya dapat mengimbangi pengalamannya terlibat

dalam faktor resiko kemiskinan dalam mencapai kekuatan personal resilience.

Daya imbang penghayatan terhadap kapabilitas mentor tersebut dikuatkan lagi

oleh keyakinan bahwa ibu, ayah, guru dan teman di sekitar remaja miskin

merupakan figur-figur yang dapat dipercaya.

Dalam hubungan kausal ini, indikator dominan untuk variabel faktor resiko

kemiskinan adalah acute and chronic stressors dan emotional and social challenges. Adapun indikator dominan untuk variabel kekuatan personal

resilience adalah autonomy. Indikator dominan untuk variabel faktor protektif lingkungan adalah high expectation keluarga dan teman, caring relationship

teman serta opportunities for participation and contribution keluarga. Terakhir, indikator dominan untuk variabel interpersonal trust adalah emotional trust ibu, ayah, guru dan honesty trust teman.

Acute stressors dialami remaja pada konteks keluarga berupa pengalaman sakit hati yang terakumulasi dari banyak kejadian dimarahi/dipukul oleh orang

yang dituakan dalam keluarga setiap kali dirinya mengajukan permintaan

keperluan sekolah. Pada konteks sekolah, acute stressors remaja miskin lebih

dominan terkait dengan penerbitan pengumuman tunggakan biaya sekolah secara

rutin maupun insidental. Adapun chronic stressors remaja miskin di SMK Kota

Sukabumi tampak dalam pengalaman trauma atas pelecehan di masa kecil dan

kekagetan saat mengalami menstruasi/mimpi basah pertama kali. Kedua

pengalaman tersebut terkait dengan ketidakhadiran orang dewasa yang kompeten

sebagai pendamping dan narasumber yang dapat diandalkan.

Pada pengalaman emotional and social challenges, remaja miskin secara kuat, bingung memaparkan rencana sesudah lulus karena di satu sisi banyak

mengkhawatirkan biaya studi lanjut dan di sisi lain banyak mengkhawatirkan

(18)

17 pencapaiannya. Instabilitas emosional berikutnya terkait dengan rumah tinggal.

Remaja miskin tinggal di pemukiman yang tidak aman, rawan pencurian, rentan

terkena efek perubahan cuaca dan lemahnya dokumen kepemilikan tempat tinggal

oleh orangtua remaja miskin. Karena itulah, remaja miskin menyimpan

kecenderungan menyalahkan pihak di luar keluarga intinya sebagai penyebab

kesulitan hidup yang dialaminya bersama keluarga inti.Adapun instabilitas sosial

remaja miskin di SMK Kota Sukabumi yang paling kuat tampak pada kesulitan

memahami penuturan cerita orang lain karena defisiensi pengalaman pribadi.

Kesulitan yang sama juga ditunjukkan dalam prosesnya memahami

respons-respons orang lain terhadap pengalaman ditinggal mati oleh orang-orang terdekat.

Sementara itu, manifestasi kekuatan personal resilience secara dominan ditandai oleh autonomy. Kebingungan merencanakan fokus cita-cita setelah lulus sebagai pengalaman resiko seperti terungkap di atas, tampak diatasi remaja miskin

dengan cara berjanji pada diri sendiri. Dirinya yakin bahwa setelah lulus nanti,

akan mendapatkan pekerjaan bergengsi atau pun beasiswa kuliah di perguruan

tinggi ternama yang dapat mengangkat martabat keluarganya. Mereka memilih

teman bergaul dan bertukar pikiran yang dapat membuatnya lebih banyak berpikir

dan melakukan hal-hal positif, sesuai perwujudan fokus cita-citanya tersebut.

Remaja miskin berupaya memperoleh penghasilan sendiri untuk dapat membeli

kebutuhan sekolah dan mengurangi beban orangtua. Remaja miskin juga tampak

belajar mengenali kebutuhan pribadinya dalam hal berbagi perasaan dan

pengalaman serta dicapainya rasa mantap terhadap keyakinan agama yang

dianutnya. Remaja miskin pun resisten terhadap pertengkaran keluarga,

aturan-aturan akademik dari guru yang banyak ditakuti juga pengaruh teman-teman

seusia yang banyak memilih putus sekolah.

Pencapaian kekuatan personal resilience remaja miskin di SMK Kota Sukabumi, didukung oleh proteksi lingkungan yang secara dominan ditandai high expectation teman dan keluarga. High expectation teman ditandai dengan pengalaman belajar bahwa setiap orang butuh waktu dan pemahaman untuk dapat

menjadi teman yang saling mengerti. Karena itu, perilaku yang menggambarkan

(19)

18 remaja yang terkelompok dalam clique dengan 2-5 anggota yang relatif intens. Ciri sosial ini, khas ditemui pada masa perkembangan remaja madya hingga

remaja akhir (Santrock, 2002).

Pada level keluarga, remaja miskin di SMK Kota Sukabumi menghayati

bahwa orangtua/orang dewasa lain di rumah tinggal menginginkannya betul-betul

nyaman menjadi diri sendiri dalam mewujudkan cita-cita dan kenginginannya.

Dukungan yang berpusat-pada-remaja dari keluarga tersebut diiringi oleh

kepercayaan keluarga bahwa dirinya dapat menyelesaikan permasalahan yang

dihadapi. Berbeda dengan teman yang sering mendorong perbaikan diri melalui

pengingatan kesalahan, keluarga mendorong perbaikan diri melalui pengingatan

prestasi yang pernah diraih sebelumnya.Remaja miskin juga memandang bahwa

orangtua/orang dewasa lain di rumah membagi tanggung jawab yang sesuai peran

masing-masing setiap penghuni rumah. Secara dominan terungkap bahwa

tanggung jawab yang dipercayakan kepadanya sebagai anak remaja lebih banyak

terkait dengan perannya sebagai siswa di SMK yang diharuskan belajar giat dan

berprestasi akademik dengan baik.

Dukungan manifestasi kompetensi tugas perkembangan remaja miskin di

SMK Kota Sukabumi pun disumbang oleh kuatnya keyakinan interpersonal trust

akan kejujuran teman yang terkait dengan keterbukaan perihal keuangan. Bila

teman remaja miskin terbuka mengenai tidak dimilikinya uang untuk pemenuhan

kebutuhan sehingga mendorong teman ybs untuk berusaha mencari pinjaman,

maka remaja miskin cenderung meyakini teman tersebut sebagai target trust yang

jujur. Selanjutnya, remaja miskin cenderung mengupayakan untuk memberikan

pinjaman walaupun dirinya harus berhutang sekalipun. Dalam upaya mencarikan

pinjaman uang untuk teman tersebut, remaja miskin menaruh harapan bahwa

dirinya juga akan diperlakukan sama pada saat menghadapi kondisi yang sama.

Adapun kekuatan emotional trust guru tampak pada kecenderungan remaja miskin di SMK Kota Sukabumi untuk menyimpan rahasia perihal konflik

orangtua/keluarga dan informasi penyimpangan perilaku teman kepada guru. Ada

juga remaja miskin yang berharap bahwa guru tersebut dapat mengambil inisiatif

(20)

19 dengan anggota keluarga lainnya. Tipikal guru yang sering dijadikan target trust

tersebut adalah guru BK, wali kelas atau pembimbing ekstrakurikuler.

Untuk emotional trust ayah, remaja miskin secara kuat mengandalkan ayah sebagai target trust yang diyakini dapat menjaga rahasia terkait dengan perasaan

senang/tidak senang, apresiasi/kekesalan, dan keinginan memberi hadiah/sikap

permusuhan kepada ibu. Ayah juga menjadi target trust andalan untuk rahasia

seputar kesulitan akademik baik yang terkait dengan kesulitan memahami content

maupun yang terkait dengan renggang/buruknya kwalitas relasi remaja miskin

dengan guru pengajar tertentu. Adapun emotional trust ibu remaja miskin ditunjukkan dengan menceritakan pengalamannya menjalin hubungan lawan jenis

dengan teman sebaya. Cerita tersebut diyakininya tersimpan aman pada ibu dan

tidak akan disebarluaskan kepada ayahnya sekalipun. Keterbukaan remaja miskin

mengungkap pengalaman menjalin hubungan lawan jenis kepada ibu, terkait

dengan kebutuhan informasi tentang hal baik/buruk, boleh/tidak boleh, hingga

halal/haram suatu aktivitas/perasaan dikembangkan dalam hubungan lawan jenis.

DISKUSI

Werner (1993) secara khas menandai bahwa anak dan remaja resilient yang ditelaahnya mendapat keuntungan dari hidup dalam keluarga kecil dan kualitas

kelekatan ibu yang di dalamnya terdapat pengandalan kepercayaan terhadap ibu.

Pada penelitian ini, pengandalan ibu terutama sebagai target emotional trust, tampak pada remaja miskin baik dari keluarga skala kecil maupun skala besar.

Rendahnya sumbangsih keyakinan interpersonal trust terhadap kekuatan personal resilience remaja miskin selain dapat dijelaskan dari sisi properti disain dan psikometrik konstruk, juga dapat ditinjau dari muatan pertanyaan alat ukur

interpersonal trust. Disamping itu, rendahnya sumbangsih faktor resiko kemiskinan terhadap kekuatan personal resilience pun dapat ditelusur pada kategori kemiskinan subjek. Kebanyakan penelitian sebelumnya mengungkap

bahwa subjek terbukti sebagai individu resilient dalam konteks kemiskinan kronis (Benard, 2004), yang amat jarang dijumpai pada kategori kemiskinan subjek

(21)

20 dengan keterbatasan daya ungkap pengumpulan data faktor resiko kemiskinan

secara self-report (Zimmerman, et al, 2002; Fergus & Zimmerman, 2005))

Jenis proses proteksi faktor protektif lingkungan beserta interpersonal trust

pada model compensatory, berimplikasi pada model pencegahan dan intervensi

yang hendak dikembangkan. Operasi proteksi faktor-faktor protektif dalam model

compensatory dipandang sama berlaku bagi remaja yang terpapar resiko taraf amat rendah hingga amat tinggi. Implikasinya, upaya perubahan atau penguatan

faktor protektif lingkungan maupun kemampuan interpersonal trust remaja miskin dipandang dapat diterapkan pada seluruh remaja miskin di SMK Kota

Sukabumi tanpa membedakan level keterpaparan resiko kemiskinan.

Rumusan perubahan kualitas faktor protektif lingkungan dilandaskan pada

asumsi bahwa mengubah trajectories kehidupan remaja dari cara pandang yang bertumpu pada faktor resiko kepada resilience dimulai dengan merubah keyakinan orang dewasa di lingkungan keluarga, sekolah, komunitas masyarakat

umum dan komunitas sebaya (Benard, 2004). Figur-figur signifikan yang dapat

memerankan faktor protektif lingkungan remaja miskin, didorong agar terlebih

dahulu mengupayakan dirinya menjadi individu yang resilient sebelum kemudian memfasilitasi proses pencapaian kekuatan personal resilience (Benard, 2013b). Dari hasil penelitian terungkap bahwa teman dan keluarga dipandang sebagai

faktor protektif lingkungan yang paling kuat memproteksi remaja miskin dalam

penyediaan kwalitas high expectation. Oleh karena itu, penguatan peran, pelibatan aktif dan penyemaian manfaat dari keterlibatan keluarga serta teman sebaya

remaja miskin, menjadi hal yang tidak dapat diabaikan.

Adapun untuk penguatan interpersonal trust, pencegahan dan intervensi dirumuskan bagi terciptanya kesempatan remaja miskin agar tidak rentan,

terutama bagi kelompok low trust dan high trust. Bantuan tersebut terbukti dapat meningkatkan level kemampuan remaja untuk trust terhadap target trust, dilihat dari kadar peningkatan level oxytocinnya (Rotenberg, 2010) dan peningkatan jam

(22)

21

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistika. 2009. Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi Indonesia Oktober 2009 : Trends Of The Selected Socio-Economic Indica tors Of Indonesia October 2009. Jakarta Indonesia : Badan Pusat Statitistika

Benard, Bonnie. 1991. Fostering Resiliency in Kids : Protective Fa ctors in the Fa mily, School and Community. Minnesota : National Resilience Resource Center

Benard, Bonnie. 2004. Resiliency : Wha t We Ha ve Lea rned. San Fransisco : WestEd

Benard, Bonnie. 2013a. Resilience, School Connectedness and Academic Achievement. California Departement of Education [on line] diunduh dari http://www.cde.ca.gov/ls/yd/tr/bbenard.asp 20 Mei 2013

Benard, Bonnie. 2013b. The Foundations of Resiliency Framework. Artikel [on line] diunduh dari

www.resiliency.com/free-articles-resources/the-foundations-of-the-resiliency-framework/ tanggal 13 November 2014

Brown, James Dean. 2011. Likert Items and Sca les of Measurement? 2011. SHIKEN: JALT Testing & Evaluation SIG Newsletter.March 2011. Vol. 15, No. 1, Hal. 10-14.

Fergus, S & Zimmerman, Marc A. 2005. Adolescent Resilience : A Fra mework for Understa nding Hea lthy Development in The Fa ce of The Risk. Annual Review of Publuic Health, Vol. 26, Hal : 399-419. [online] diunduh dari http://is.municz/el/1421/jaro2011/PSA_033/um/adolescent_resilience.pdf Hair, Joseph F, Black, William C, Babin, William C, Anderson, Rolph E, Tatham, Ronald L. 2006.

Multivaria te Da ta Analysis. Sixth Edition. New Jersey : Pearson International Edition

Jensen, Eric. 2009. Teaching with Poverty in Mind : What Being Poor Does to Kids’ Brains and What School

Ca n Do About It. USA : ASCD. [e-book] diunduh dari

http://www.ascd.org/publications/books/109074/chapters/how-poverty-affects-behavior-and-academic-performance.aspx

Luthar, Suniya. S. (ed.) 2003. Resilience and Vulnera bility : Adapta tion in the Context of Childhood Adversities. Cambridge : Cambridge University Press.

Masten, Ann. 2001. Ordina ry Ma gic: Resilience Processes in Development. American Psychologist, Maret 2001, Vol. 56, No.3, Hal 227-238.

Prasetyo, Eko. 2008. Pela ngga ra n Ata s Ha k Pendidikan. Makalah. Tidak diterbitkan. Yogyakarta : Pusham UII.

Resilience Institute. 2014. Building Trust, Building Community Resilience. Artikel. [on line] diunduh dari

www.resilientus.org/building-trust-building-community-resilience pada 2 September 2014.

Rotenberg, Ken J.; Fox, Claire; Green, Sarah; Ruderman, Louise; Slater, Kevin; Stevens, Kelly; and Carlo, Gustavo,. 2005. Construction and validation of a children’s interpersonal trust belief scale. Faculty Publications, Department of Psychology. Paper 2. 4/1/2005. University of Nebraska-Lincoln. [on line] diunduh dari http://digitalcommons.unl.edu/psychfacpub/2 Seminar Nasional Statistika, Sewindu Statistika, FMIPA Universitas Diponegoro.

Werner, Emmy E. 1993. Risk, Resilience, and Recovery : Perspective from The Ka ua i Longitudinal Study. Development and Psychopathology. Vol. 5 Tahun 1993 Hal. 503-515.

Zimmerman, Marc A; Bingenheimer, Jeffrey B & Notaro, Paul C. 2002. Natural Mentors and Adolescent Resiliency : A Study with Urba n Youth. American Journal of Community Psychology, Vol. 30, No.2, April 2002

Zimmerman, Marc A. 2009. Empowerment Theory a nd Adolescent Resilience : Application for Prevention. Paper. Disampaikan pada The Children, Youth, and Families At Risk 2009 Conference. Baltimore Maryland, May 18-21, 2009.

Zimmerman, Marc. A; Brenner, Allison. B. 2010. Resilience in Adolescence : Overcoming Neighborhood Disa dvanta ge. Chapter 14 dalam Reich, John W.; Alex. J. Zautra; John Stuart Hall. (ed.). 2010.

Ha ndbook of Adult Resilience. New York : The Guilford Press

Zimmerman, Marc A. 2013. Resiliency Theory : A Strength Ba sed Approa ch to Resea rch and Pra ctice for Adolescent Hea lth. Health Eduction and Behavior Vol. 40, No. 4, Hal : 381-383

Zolkoski, Staci M & Bullock, Lyndal M. 2012. Resilience in Children a nd Youth : A Review. Children and Youth Service Review, Vol. 34 Tahun 2012, hal : 2295-2303

Kemiskinan da n Resiliensi. Artikel Blog. 27 Februari 2012 [on line] diunduh dari

Gambar

Tabel 1.1. Uji Reliabilitas dan Validitas Butir Alat Ukur Studi Utama
Gambar 4.1. Model Empirik Kontribusi Faktor Resiko Kemiskinan, Faktor Protektif Lingkungan dan Gambar 1.1
Tabel 1.2. Hasil Pengujian Path Analysis Model Struktural

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu produk iCar ITS adalah Autonomous Electric Shuttle Bus yang akan digunakan sebagai transportasi kawasan perkotaan terutama Ibukota Indonesia yang baru

Dengan observasi lingkungan, siswa dengan bimbingan guru dapat mengidentifikasi pemanfatan sumber daya alam hayati bagi kesejahteraan masyarakat dengan tepata. Dengan observasi,

Alur pelayanan untuk pelayanan kesehatan khusus di Klinik Intan adalah pasien melakukan pendaftaran dan berobat ke BP Umum, jika pasien berasal dari komunitas berresiko maka

Berdasarkan penelitian yang dilakukan kepada karyawan Kantor Distribusi PLN Disjabar mengenai pengaruh faktor-faktor budaya organisasi yang terdiri dari struktur

Dalam setiap kalimat yang diberikan pada test ini, dituliskan suatu keadaan yang biasanya tidak terdapat atau tidak mungkin terjadi di sini bayangkanlah andai kata keadaan

Mesin-mesin yang ada pada PT Indonesia Power Unit Pembangkitan Semarang beroperasi dengan sistem start-stop sehingga dapat mengakibatakan terjadinya penurunan kehandalan

Manajer sebagai orang yang menjalankan kegiatan manajemen juga harus.. memahami fungsi-fungsi yang ada

Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa: adanya pengaruh secara bersama-sama dari variabel persepsi resiko, variabel kualitas, variabel harga dan variabel nilai terhadap