• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRATEGI DAN KONSEPSI PENGEMBANGAN KAWAS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "STRATEGI DAN KONSEPSI PENGEMBANGAN KAWAS"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

STRATEGI DAN KONSEPSI PENGEMBANGAN

KAWASAN PERBATASAN NEGARA

Edisi Juli 2002

DEPARTEMEN PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH

DIREKTORAT JENDERAL PENATAAN RUANG

(2)

STRATEGI DAN KONSEPSI PENGEMBANGAN

KAWASAN PERBATASAN NEGARA

)

I.

PENDAHULUAN

Meskipun pengembangan wilayah perbatasan telah menjadi komitmen dan prioritas Pemerintah dalam dasawarsa terakhir sebagaimana dapat diamati dalam kebijakan pembangunan yang dituangkan dalam GBHN 1993 dan Repelita VI, namun hingga saat ini masih belum memperlihatkan hasil yang nyata. Komitmen Pemerintah dalam upaya pengembangan kawasan perbatasan masih konsisten, sebagaimana dinyatakan dalam GBHN 1999 – 2004 pada Bab IV Arah Kebijakan, butir G. Pembangunan Daerah, 1h, yaitu: “meningkatkan pembangunan di seluruh daerah, terutama di kawasan timur Indonesia, daerah perbatasan dan wilayah tertinggal lainnya dengan berlandaskan pada prinsip desentralisasi dan otonomi daerah”.

Dalam Program Pembangunan Nasional (Propenas) 2000 – 2004 dinyatakan “program pengembangan daerah perbatasan bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat, meningkatkan kapasitas pengelolaan potensi wilayah perbatasan, dan memantapkan ketertiban dan keamanan daerah yang berbatasan dengan negara lain”. Sasarannya adalah terwujudnya peningkatan kehidupan sosial-ekonomi dan ketahanan sosial masyarakat, terkelolanya potensi wilayah, dan ketertiban serta keamanan kawasan perbatasan. Komponen-komponen program prioritasnya antara lain:

 pengembangan pusat-pusat permukiman potensial termasuk permukiman transmigrasi di daerah perbatasan;

 peningkatan pelayanan prasarana transportasi dan komunikasi untuk membuka keterisolasian daerah dan pemasaran produksi;

 peningkatan pelayanan sosial dasar khususnya pendidikan dan kesehatan; penataan wilayah administratif dan tapal batas;

 pengembangan partisipasi swasta dalam pemanfaatan potensi wilayah khususnya pertambangan dan kehutanan; serta

 peningkatan kerjasama dan kesepakatan dengan negara tetangga di bidang keamanan, ekonomi, serta pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan daerah perbatasan.

Kebijakan pemerintah terkait dengan upaya peningkatan keserasian pertumbuhan antardaerah antara lain adalah dengan memacu pertumbuhan ekonomi dan mengurangi kesenjangan antardaerah dengan mengembangkan potensi sesuai dengan kondisi daerah. Keserasian antardaerah diciptakan dengan memacu pembangunan daerah yang tertinggal dan terisolasi, seperti kawasan timur Indonesia dan beberapa wilayah di kawasan barat Indonesia, serta mendukung pengembangan kawasan pertumbuhan lintas batas internasional, kawasan perbatasan antarnegara, dan kawasan yang mendukung kepentingan pertahanan keamanan nasional.

Secara fisik, Indonesia merupakan negara terbesar kelima di dunia yang batas negaranya ada di dua matra, yaitu di laut dengan 10 (sepuluh) negara tetangga, dan di darat dengan 3 (tiga) negara tetangga. Karakteristik batas laut dan darat sangat berbeda, namun

(3)

keduanya harus ditangani secara komprehensif yang meliputi aspek filosofis, yuridis, politis, sosial ekonomi, dan kultur historis, serta harus didukung dengan aspek teknis dan teknologi yang memadai.

Penanganan perbatasan negara selama ini belum dapat berjalan secara optimal dan kurang terpadu, serta timbulnya konflik antar berbagai pihak (baik secara horisontal, sektoral, maupun vertikal) tidak dapat dihindari. Persepsi bahwa penanganan kawasan perbatasan ini hanya menjadi domain pemerintah (pusat) saja sudah waktunya diperbaiki dalam era otonomi daerah, meskipun kawasan perbatasan ini merupakan kawasan strategis nasional. Nilai strategis kawasan perbatasan ditentukan antara lain oleh kegiatan yang berlangsung di dalam kawasan:

 mempunyai potensi sumberdaya yang berdampak ekonomi dan pemanfaatan ruang wilayah secara siginifikan;

 merupakan faktor pendorong bagi peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat di dalam ataupun di luar wilayah;

 mempunyai keterkaitan yang kuat dengan kegiatan di wilayah lainnya yang berbatasan baik dalam lingkup nasional maupun regional (antar negara);

 mempunyai dampak politis dan fungsi pertahanan keamanan nasional.

Nilai strategis kawasan perbatasan tersebut menuntut perhatian khusus dalam penataan ruang kawasan. Dalam penataan ruang nasional, kawasan perbatasan merupakan kawasan yang diprioritaskan untuk dikembangkan dengan mempertimbangkan:

 perlunya dilakukan pemantapan kawasan berfungsi lindung (Taman Nasional, Suaka Alam dan Hutan Lindung) maupun kawasan budidaya (termasuk kawasan fungsional seperti KAPET, Kawasan Andalan dan lainnya);

 perlunya dikembangkan keterkaitan sistem prasarana dan sarana transportasi hingga mencapai jalur perbatasan (lintas batas);

 perlunya dikembangkan pusat-pusat permukiman potensial baik sebagai pusat kegiatan ekonomi maupun sosial;

 perlunya dikembangkan prasarana-prasarana pendukung lainnya seperti irigasi, air bersih, listrik, telekomunikasi, dalam rangka peningkatan pelayanan kepada masyarakat setempat.

Kompleksitas penanganan kawasan perbatasan ini perlu didukung dengan:

 Komitmen politik yang kuat dari semua pihak di berbagai tingkatan pemerintahan dan pada stakeholders,

 Master plan yang komprehensif, dan

 Alokasi pembiayaan yang khusus sebagai stimulan dan atau perekat berbagai sumberdana yang ada.

Dengan demikian penanganan pembangunan di wilayah perbatasan dapat lebih holistik (baik perbatasan laut maupun darat) dan dilandasi konsep penataan ruang wilayah perbatasan (strategi pengembangan wilayah) dengan didukung data base potensi lokal dan wilayah sekitarnya termasuk pasar di negara tetangga yang akurat sehingga perumusan program pembangunan pada kawasan perbatasan ini dapat mengangkat kualitas kesejahteraan masyarakatnya dan kemajuan wilayah tanpa mengorbankan kelestarian lingkungan.

Keterlibatan multistakeholders dalam pengembangan wilayah perbatasan ini menjadi hal yang menarik dan sekaligus kompleks. Kekompleksitasan ini diharapkan dapat dipadu secara sinergis dalam bentuk strategi kebijakan dan konsepsi penanganan yang ditawarkan.

(4)

II.

KONDISI KAWASAN PERBATASAN

2.1. Kondisi Umum

Kondisi umum kawasan perbatasan dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu

1. Aspek Sosial Ekonomi

Merupakan daerah yang kurang berkembang (terbelakang) yang disebabkan antara lain oleh:

(a) lokasinya yang relatif terisolir/terpencil dengan tingkat aksesibilitas yang rendah, (b) rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan masyarakat,

(c) rendahnya tingkat kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat daerah perbatasan (jumlah penduduk miskin dan desa tertinggal),

(d) langkanya informasi tentang pemerintah dan pembangunan yang diterima oleh masyarakat di daerah perbatasan (blank spots).

2. Aspek Pertahanan Keamanan

Kawasan perbatasan merupakan wilayah pembinaan yang luas dengan pola penyebaran penduduk yang tidak merata, sehingga menyebabkan rentang kendali pemerintahan sulit dilaksanakan, serta pengawasan dan pembinaan teritorial sulit dilaksanakan dengan mantap dan efisien.

3. Aspek Politis

Kehidupan sosial ekonomi masyarakat di kawasan perbatasan umumnya dipengaruhi oleh kegiatan sosial ekonomi di negara tetangga. Kondisi tersebut berpotensi untuk mengundang kerawanan di bidang politik, karena meskipun orientasi masyarakat masih terbatas pada bidang ekonomi dan sosial, namun dimungkinkan adanya kecenderungan untuk bergeser ke soal politik, terutama apabila kehidupan ekonomi masyarakat daerah perbatasan mempunyai ketergantungan kepada perekonomian negara tetangga, maka hal inipun, selain dapat menimbulkan kerawanan di bidang politik juga dapat menurunkan harkat dan martabat bangsa.

2.2. Kondisi Kawasan Perbatasan Pulau Kalimantan

Kawasan perbatasan dengan negara tetangga di Propinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur merupakan perbatasan wilayah darat dan laut yang mempunyai pola keterkaitan pada daerah perbatasan darat antara wilayah Propinsi Kalimantan Barat dengan Negeri Sarawak dan antara Propinsi Kalimantan Timur dengan Negeri Sabah. Kedua kawasan tersebut relatif berhubungan langsung satu sama lain karena merupakan perbatasan darat. Kondisi yang berbeda satu sama lain, dimana wilayah Malaysia relatif lebih maju dibandingkan dengan wilayah Indonesia, maka terjadi kecenderungan perubahan orientasi kegiatan sosial ekonomi penduduk di wilayah Indonesia ke wilayah Malaysia. Pos lintas batas darat yang telah diresmikan meliputi dua titik, yaitu Entikong (Singkawang – Kalimantan Barat) – Tebedu (Negeri Sarawak), dan Nanga Badau (Kapuas Hulu – Kalimantan Barat) – Lubuk Antu (Negeri Sarawak), keduanya dalam rangka mendukung IMS – GT dan BIMP – EAGA.

Adapun lintas batas melalui laut ataupun udara mempunyai permasalahan yang berbeda dengan lintas batas melalui daratan. Adapun pelabuhan laut yang dapat dimanfaatkan untuk sarana lintas batas di Pulau Kalimantan terdiri dari:

 Pelabuhan Pontianak di Propinsi Kalimantan Barat (mendukung IMS – GT dan BIMP -EAGA),

 Pelabuhan Sampit di Propinsi Kalimantan Tengah (mendukung BIMP – EAGA),

(5)

 Pelabuhan Tarakan di Propinsi Kalimantan Timur (mendukung BIMP – EAGA),

 Pelabuhan Nunukan di Propinsi Kalimantan Timur (mendukung BIMP – EAGA),

 Pelabuhan Samarinda di Propinsi Kalimantan Timur (mendukung BIMP – EAGA),

 Pelabuhan Banjarmasin di Propinsi Kalimantan Selatan (mendukung BIMP – EAGA).

Sedangkan bandar udara yang dapat dimanfaatkan untuk sarana lintas batas di Pulau Kalimantan terdiri dari:

 Bandar udara Supadio – Pontianak di Propinsi Kalimantan Barat (mendukung IMS – GT dan BIMP - EAGA),

 Bandar udara Sepinggan – Balikpapan di Propinsi Kalimantan Timur (mendukung BIMP – EAGA),

 Bandar udara Tarakan di Propinsi Kalimantan Timur (mendukung BIMP – EAGA).

2.3. Kondisi Kawasan Perbatasan Propinsi Papua

Pos lintas batas darat di Propinsi Papua belum ada yang telah diresmikan. Lintas batas melalui laut ataupun udara mempunyai permasalahan yang berbeda dengan lintas batas darat. Pelabuhan laut yang dapat dimanfaatkan untuk sarana lintas batas di Propinsi Papua untuk mendukung kerjasama regional BIMP – EAGA meliputi 3 pelabuhan, yaitu: (1) pelabuhan Jayapura, (2) Sorong, dan (3) Biak. Sedangkan bandar udara yang dapat dimanfaatkan untuk sarana lintas batas di Propinsi Papua belum tersedia.

2.4. Kondisi Kawasan Perbatasan Propinsi Nusa Tenggara Timur

Tapal batas darat antara Indonesia dan Timor Leste membentang sepanjang 150 km meliputi Kabupaten Belu dan Timor Tengah Utara yang berbatasan langsung dengan tiga disrik: Maliana, Kovalima, dan Oecusse. Wilayah Timor Leste, yakni distrik Oecusse, menjadi daerah enclave yang terjepit antara Kabupaten Belu dan Timor Tengah Utara di Indonesia.

Pembahasan transportasi darat dari Oecusse ke Dilli masih belum dicapai kesepakatan, nota kesepahaman (MoU) yang ditandatangani pada 26 Februari 2002 di Nusa Dua, Bali hanya menyepakati untuk mengatur masalah transportasi komersial antara Pemerintah Propinsi Nusa Tenggara Timur menyangkut lintas perbatasan antara Oecusse dan Timor Leste dan mengatur lintas batas secara tradisional tanpa menggunakan paspor dan visa.

Saat ini, ada dua pintu perbatasan resmi, lengkap dengan petugas bea cukai dan imigrasi, yaitu di Matoain dan Metamau. Kedua pintu itu menghubungkan daerah Kabupaten Belu di NTT dengan sektor timur negara Timor Leste. Selain itu sedang diupayakan penambahan satu pintu lagi di Napan yang merupakan pintu masuk dari Kabupaten Timor Timur Utara (TTU) dengan enklave Oecusse.

Sementara itu, kesepakatan antar kedua negara untuk membuka lima pasar tradisional secara resmi, yaitu: di Memo (Bobobnaro), Salele (Kovalima), Wini (NTT), Turiskai (NTT), dan Haikesak (NTT), perlu segera diantisipasi terutama oleh Indonesia mengingat mata uang yang digunakan oleh Tiomor Leste adalah Dolar Amerika. Perbedaan harga jual beberapa komoditas akan dapat menarik masyarakat Indonesia untuk bertransaksi di Timor Leste.

2.5. Kondisi Kawasan Perbatasan Pulau Sulawesi

Pulau Sulawesi tidak mempunyai kawasan perbatasan darat, namun hanya mempunyai kawasan perbatasan laut. Lintas batas laut dilakukan melalui pelabuhan laut ataupun

(6)

bandar udara. Terdapat empat pelabuhan laut di Pulau Sulawesi yang dapat memberikan fasilitas lintas batas terutama dalam mendukung kerjasama regional BIMP – EAGA, yaitu:

 Pelabuhan Bitung di Propinsi Sulawesi Utara;

 Pelabuhan Pantoloan di Propinsi Sulawesi Tengah;

 Pelabuhan Makasar di Propinsi Sulawesi Selatan; dan

 Pelabuhan Kendari di Propinsi Sulawesi Tenggara.

Sedangkan lintas batas melalui Bandar udara di Pulau Sulawesi hanya dilayani oleh dua bandar udara, yaitu: bandar udara Hasanuddin – Makasar di Propinsi Sulawesi Selatan dan bandar udara Sam Ratulangi – Manado di Propinsi Sulawesi Utara.

2.6. Kondisi Kawasan Perbatasan Pulau Sumatera

Kawasan perbatasan negara di Pulau Sumatera seluruhnya terletak di laut. Kegiatan lintas batas melalui laut lebih intensif terjadi di Propinsi Riau, hal ini dapat diperhatikan dari jumlah pelabuhan laut yang dapat memfasilitasi lintas batas terutama dalam mendukung kerjasama regional IMS – GT dan IMT – GT yang meliputi pelabuhan sebagai berikut:

 Pelabuhan Malahayati – Banda Aceh dan Pelabuhan Lhokseumawe di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam;

 Pelabuhan Tanjung Balai Asahan/Kuala Tanjung – Kisaran dan Pelabuhan Belawan – Medan di Propinsi Sumatra Utara;

 Pelabuhan Sekupang – Batam, Pelabuhan Batu Ampar, Pelabuhan Tanjung Balai Karimun, Pelabuhan Tanjung Pinang, Pelabuhan Dumai, Pelabuhan Selat Kijang – Kijang, Pelabuhan Nongsa, Pelabuhan Telaga Pungkur, Pelabuhan Bandar Banten Telani, Pelabuhan Bandar Seri Udana;

 Pelabuhan Teluk Bayur di Propinsi Sumatera Barat;

 Pelabuhan Palembang di Propinsi Sumatera Selatan;

 Pelabuhan Panjang di Propinsi Lampung;

 Pelabuhan Jambi di Propinsi Jambi; dan

 Pelabuhan Pulau Baai di Propinsi Bengkulu.

Sedangkan bandar udara yang dapat memberikan pelayanan lintas batas negara di Pulau Sumatera meliputi bandar udara:

 Sultan Iskandar Muda – Banda Aceh di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam;

 Polonia – Medan dan Binaka – di Propinsi Sumatera Utara;

 Hang Nadim – Pekanbaru dan Simpang Tiga – di Propinsi Riau;

 Tabing – Padang di Propinsi Sumatera Barat; dan

 Sultan Machmud Badaruddin II – Palembang di Propinsi Sumatera Selatan;

III.

KELEMBAGAAN KERJASAMA PENANGANAN KAWASAN

PERBATASAN

3.1. Kelembagaan Penanganan Wilayah Perbatasan RI – Malaysia

(7)

General Border Committee (GBC), diketuai oleh Menteri Pertahanan dilengkapi dengan 5 sub Komite, yaitu:

1. Staff Planning Committee (SPC), diketuai oleh Kasum TNI 2. Sub Komite Keamanan Perbatasan, diketuai oleh Mabes TNI 3. Sub Komite Sosio Ekonomi (SOSEK), diketuai oleh Depdagri

4. Sub Komite Penegasan Batas Wilayah, diketuai oleh Depdagri atau Dephan; 5. Sub Komite Penanggulangan Bencana dan Kecelakaan, diketuai oleh Badan

Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanggulangan Pengungsi yang dibentuk dengan KEPPRES No.3 Tahun 2001

Permasalahan perbatasan yang ada saat ini terjadi pada 9 titik permasalahan sangat kompleks dan menyangkut kepastian hukum tentang wilayah NKRI atau Malaysia, yaitu masalah: (1) Tanjung Datu, (2) Batu Aum, (3) Semilau, (4) Sungai Sinapad, (5) Sungai Semantipal, (6) Nanga Badau, (7) Sungai Buan, (8) Gunung Raya, dan (9) Pulau Sebatik.

Kerjasama di bidang sosial ekonomi daerah perbatasan Malaysia (Sarawak dan Sabah) dengan Indonesia (Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur) yang disebut Sosek Malindo telah dilengkapi dengan kelompok kerja (KK) Sosek Malindo di tingkat propinsi/negeri (struktur organisasi Sosek Malindo pada Gambar 1) yang ditujukan untuk: (a) menentukan proyek-proyek pembangunan sosial ekonomi yang digunakan bersama, (b) merumuskan hal-hal yang berhubungan dengan pelaksanaan pembangunan sosial ekonomi di wilayah perbatasan, (c) melaksanakan pertukaran informasi mengenai proyek-proyek pembangunan sosial ekonomi di wilayah perbatasan bersama, dan (d) menyampaikan laporan kepada KK Sosek Malindo tingkat pusat mengenai pelaksanaan kerjasama pembangunan sosial ekonomi di daerah perbatasan.

Gambar 1 Struktur Organisasi

Kerjasama Pembangunan Sosio – Ekonomi

Wilayah Perbatasan Malaysia – Indonesia (KK SOSEK MALINDO)

6 Kelompok Kerja/Jawatankuasa Kerja

Sosek Malindo Tingkat Daerah KALBAR – SARAWAK

Tim Teknis Ketua: Bappeda Kalbar

Tim Teknis

Kelompok Kerja/Jawatankuasa Kerja Sosek Malindo Tingkat Daerah

KALTIM – SABAH

Tim Teknis General Border Committee (GBC)

Ketua: Panglima TNI

(8)

Selain dari hasil kerjasama dalam bidang sosial ekonomi yang dilandasi oleh latar belakang politis di atas, telah dirintis dan dikembangkan pula beberapa kerjasama ekonomi bilateral dan multilateral antara Indonesia dengan negara-negara tetangga, yang antara lain ditunjukkan oleh:

 kerjasama segitiga pertumbuhan IMS-GT (Indonesia, Malaysia, Singapura Growth Triangle) atau yang juga dikenal dengan kerjasama segitiga pertumbuhan SIJORI (Singapore-Johor-Riau);

 kerjasama segitiga pertumbuhan utara IMT-GT (Indonesia, Malaysia, Thailand Growth Triangle);

 kerjasama kawasan pertumbuhan ASEAN timur, BIMP-EAGA (Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Philippines East Asean Growth Area), yang meliputi Propinsi Sulawesi Utara (Manado dan Bitung), Propinsi Kalimantan Timur, Mindanao (Davao) di Filipina, Sabah (Kota Kinibalu), dan Brunei Darussalam.

3.2. Kelembagaan Penanganan Wilayah Perbatasan RI – Papua New Guinea

Kelembagaan yang dibentuk untuk menangani masalah perbatasan RI – Papua New Guinea berupa Joint Border Comitte (JBC) yang dibentuk oleh Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Papua New Guinea yang tertuang dalam MOU on the Establishment of the Joint Border Committee dan ditandatangani di Port Moresby – PNG pada tanggal 4 Agustus 1982 dan diratifikasi pada tanggal 15 November 1993 di Rabaul – PNG.

Joint Border Committe (JBC) atau Komite Bersama Perbatasan merupakan forum antar pemerintah untuk menampung dan menyelesaikan seluruh masalah yang belum terselesaikan dalam forum Sub Komite, mengadakan pertemuan sekali dalam setahun dengan tempat saling bergantian. Adapun Sub-Komite yang berada di bawah JBC meliputi:

a. Border Liaison Meeting (BLM) atau Penghubung Perbatasan diketuai oleh wakil Gubernur Papua dan mengadakan pertemuan dua kali dalam setahun dengan tempat saling bergantian, yang berfungsi menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi dan diperkirakan akan timbul di wilayah perbatasan terutama mengenai pelintas batas dan gejala sosial lainnya.

b. Joint Technical Sub Committee on Survey, Demarcation and Mapping (JTSC) atau Sub Komite Teknis tentang Demarkasi dan Pemetaan diketuai Kepala Pusat Survei dan Pemetaan (PUSSURTA) Mabes TNI dan mengadakan pertemuan sekali dalam setahun dengan tempat saling bergantian, yang berfungsi menyelesaikan masalah penetapan batas wilayah phisik kedua negara

c. Joint Technical Sub Committee on Security Matters along to the Common Border Area (JSCS) atau Sub Komite Teknis tentang Keamanan di sepanjang perbatasan diketuai oleh wakil asisten Operasi kasum TNI dan mengadakan pertemuan setahun sekali dengan tempat saling bergantian dengan fungsi untuk menyelesaikan masalah-masalah keamanan di wilayah perbatasan kedua negara

Sidang Perundingan Joint Border Comitte ke-20 di kota Alotau, propinsi Milne Bay-Papua New Guinea (6-8 November 2001) membahas permasalahan yang dihadapi dan diperkirakan akan timbul berdasarkan perjanjian Saling Menghormati, Persahabatan dan

Coordinated Operation Control

Committee (COCC) Ketua: Asops

Kasum TNI

Jawatan Kuasa Latihan Bersama

(JKLB) Ketua: Asops

Kasum TNI

Kelompok Kerja Sosek Malindo

Ketua: Aster Kaster TNI

Kelompok Kerja SAR

Ketua: Kabasarnas Staff Planning Committee (SPC)

(9)

Kerjasama (Treaty of Mutual Respect, Friendship and Co-operation) yang ditandatangani pada tanggal 27 Oktober 1980 di Papua New Guinea dengan hasil:

Dari seluruh materi yang dibahas dalam sidang perundingan JBC ke-20 tersebut, masih terdapat beberapa hal yang memerlukan perhatian dan tindak lanjut bagi kedua belah pihak, yaitu:

MOU mengenai pembentukan Sub Committee Teknis on SAR dan Standard Operating Procedures (SOP) masih memerlukan penyempurnaan, sehingga kedua belah pihak dapat segera mempercepat proses penyelesaiannya agar segera ditandatangani.

 Direncanakan untuk membuka secara resmi Pos Perbatasan di Wutung – Skou serta jalan penghubung antara Jayapura – Vanimo.

MOU on Illegal Movement of the Third Country Along the Border.

(Memorandum Saling Pengertian tentang Pergerakan Orang dari Negara Ketiga) Indonesia telah menyampaikan naskah working group ini sebagai bahan yang perlu dipelajari oleh pihak PNG.

Transportasi darat dan Asuransi.

PNG menyarankan agar para pihak bidang teknis yang menyangkut dengan masalah asuransi segera mengadakan pertemuannya untuk merealisir kerjasama di bidang perasuransian guna mengurangi resiko kerugian.

Kasus Wara Smol

Dalam rangka menindaklanjuti hasil JBC ke-20 RI-PNG, pada tanggal 20-21 Desember 2001 telah dilaksanakan peninjauan bersama ke lokasi Wara Smol oleh 4 orang (2 orang dari RI dan 2 orang dari PNG) dengan hasil:

- Desa yang ada di Wara Smol secara pasti terletak di wilayah Indonesia. - Mengaku Warga Negara PNG dan mengibarkan bendera PNG.

- Belum pernah ada pejabat dari Indonesia mengunjungi daerah tersebut - Ada perintah Gubernur Propinsi Sandaun (PNG) untuk membangun airstrip

di desa Iksikin.

Hasil tinjauan ini akan dibahas pada saat sidang JBC ke-21 RI-PNG, di Surabaya.

Pembentukan jasa komunikasi perbatasan

Traktat Ekstradisi.

Saat ini Indonesia masih mempelajari naskah yang pernah disampaikan pihak PNG.

Pencemaran Lingkungan akibat Perusahaan Pertambangan OK Tedi

PNG memohon izin pesawatnya untuk melintasi batas wilayah Indonesia guna melakukan penilaian kerusakan lingkungan sebagai akibat Pertambangan OK Tedi Mining yang mendapat respon persetujuannya dari delegasi RI dengan mengharapkan agar laporan hasil pelaksanaan penilaian tersebut dapat disampaikan kepada Indonesia secepatnya melalui saluran diplomatik

Basic Agreement on Border Arrangement.

(Persetujuan Dasar tentang Pengaturan-pengaturan Perbatasan)

Diadakan perpanjangan masa berlakunya Basic Agreement on Border Arrangement melalui pertukaran nota diplomatik, hal ini dilakukan pihak Indonesia pada tanggal 1 November 2001 yang menyampaikannya kepada pihak PNG melalui saluran diplomatik.

3.3. Kelembagaan Penanganan Wilayah Perbatasan RI – Timor Leste

Joint Border Committee (JBC) RI-UNTAET dibentuk pada tanggal 14 September 2000 di Bali dengan telah ditandatangani arrangementnya yang merupakan forum tingkat pusat untuk menampung seluruh masalah perbatasan RI-Timor Leste.

Pertemuan pertama JBC RI- UNTAET (Denpasar, Bali tanggal 30 Januari 2001) dengan hasil:

(10)

 Kesepakatan pembentukan Komite Perbatasan, susunan keanggotaan dari masing-masing Komite Perbatasan Nasional dan 5 (lima) sub Komite Teknis (Sub Komite Teknik Manajemen Perbatasan, Lintas Perbatasan Orang dan Barang, Kerjasama Polisi Lintas Perbatasan. Keamanan Perbatasan dan Para Pelintas Perbatasan) disertai prosedur operasional dan mekanisme koordinasinya.

 Pejabat Perantara Perbatasan (Border Liaison) untuk Komite Perbatasan akan diketuai oleh Wakil Gubernur Propinsi NTT yang beranggotakan perwakilan dari Pemerintah Pusat dan Daerah.

 Komite Bersama Perbatasan akan mengadakan pertemuan dua kali setahun, masing-masing Sub Komite Teknis bertemu tiga kali dalam setahun dan kemungkinan diadakan pertemuan tambahan sesuai dengan kebutuhan.

 Kesepakatan penggabungan Sub Komite Teknis Lintas Perbatasan Orang dan Barang dan Sub Komite Teknis Para Pelintas Perbatasan menjadi satu Sub Komite Teknis.

Pertemuan kedua JBC RI-UNTAET (Jakarta, 19-20 Juli 2001) dengan agenda pertemuan:

 Delegasi RI menolak usulan UNTAET untuk membentuk Sub Komite Teknis mengenai Oecussi, dan menawarkan jalur lewat laut bagi penduduk Oecussi yang akan melakukan perjalanan dari dan ke Dili.

 Kedua belah pihak sepakat untuk membentuk Komite Penghubung Perbatasan. Komite tersebut dapat bertemu setiap saat bila diperlukan.

 Kedua belah pihak sepakat untuk membentuk Sub Komite Teknis Demarkasi dan Peraturan Perbatasan guna membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan garis batas.

 UNTAET mengusulkan untuk membuat kerangka peraturan perdagangan pantai bagi perahu-perahu tradisional untuk keselamatan pelayaran. Pihak Indonesia meminta tenggang waktu untuk mempertimbangkan hal tersebut.

Pertemuan ketiga JBC RI-UNTAET (Dili, Timor Leste, 19-21 November 2001) dengan hasil:

 Pihak UNTAET mangajukan non paper tentang Normalisasi Hubungan Perbatasan, sebagai pedoman kegiatan kerja JBC yang natinya dapat ditindaklanjuti menjadi deklarasi bersama dalam Pertemuan Tingkat Tinggi RI – Timor Leste mendatang.

 Pihak UNTAET menyampaikan draft “Arrangement on the Right of Passage between Oecussi and the Other District of East Timor” dan Delegasi RI mencatat dan menyatakan bahwa dokumen tersebut perlu dikaji terlebih dahulu.

 Kedua belah pihak sepakat untuk lebih mengaktifkan peran dan fungsi BLC serta bertindak sebagai forum utama dimana setiap informasi mengenai perkembangan di wilayah perbatasan yang menjadi kepentingan kedua belah pihak dapat dipertukarkan.

 Kesepakatan untuk mendirikan regulated market di Haekesak, Turishkain, Memo dan Salele serta pasar ternak di Wini.

 Kedua belah pihak mencapai kesepahaman mengenai prinsip-prinsip pelaksanaan langkah teknis untuk demarkasi batas.

 Kedua belah pihak sepakat untuk menyusun dasar pedoman bagi demarkasi batas darat dan ajudikasi lapangan.

3.4. Kelembagaan Penanganan Perbatasan RI – FILIPINA

(11)

a. Kawasan sebelah Barat Laut Sulawesi di daerah sekitar P. Sipadan dan Ligitan

b. Kawasan tengah Laut Sulawesi

c. Bagian sebelah Timur kawasan tersebut yang terletak antara P. Miangas dan Cape San Agustin.

Perundingan ketiga kawasan maritim tersebut telah dilakukan pada Tingkat Pejabat Tinggi yang diselenggarakan di Manado pada bulan Juni 1994. Hasilnya adalah disepakatinya prinsip-prinsip yang dapat digunakan bagi pembahasan atau penyelesaian masalah selanjutnya yang diantaranya meliputi:

a. Perundingan didasarkan pada hukum internasional, termasuk Hukum laut internasional;

b. Batas maritim ditentukan berdasarkan prinsip garis tengah atau “median line”; c. Terbuka kemungkinan penggunaan cara penyelesaian politik.

Hingga kini masih belum diperoleh penyelesaian masalah ini dan masih memerlukan waktu yang cukup lama, terutama bagi Pemerintah Filipina yang harus menyempurnakan perundang-undangan mengenai garis dasar wilayah maritim sesuai dengan Konvensi Hukum Laut 1982, mengingat posisi Filipina mengenai garis laut wilayahnya masih didasarkan pada Traktat Paris 1898.

Kedua negara sepakat membahas permasalahan perbatasan negara dalam forum bilateral, yaitu Joint Border Committee (JBC) RI-Filipina. Indonesia diketuai oleh Pangdam VII Wirabuana dan Filipina diketuai oleh Philippines South Commander. Forum ini melakukan pertemuan setiap tahun guna membahas dan menyelesaikan masalah-masalah yang timbul di perbatasan kedua negara.

IV.

ISU PENANGANAN KAWASAN PERBATASAN

Dalam kenyataan di lapangan banyak ditemui kebijakan yang tidak saling mendukung dan/atau kurang sinkron satu sama lain. Dalam hal ini, masalah koordinasi yang kurang mantap dan terpadu menjadi sangat perlu untuk ditelaah lebih lanjut. Koordinasi dalam pengelolaan kawasan perbatasan, sebagaimana dikemukakan di atas, melibatkan banyak instansi (departemen/LPND), baik antarinstansi terkait di tingkat pusat maupun antara instansi pusat dengan pemerintah daerah. Misalnya, belum terkoordinasinya pengembangan kawasan perbatasan antarnegara dengan kerjasama ekonomi sub-regional, seperti yang ditemui pada wilayah perbatasan antara Malaysia Timur dengan Kalimantan dengan KK Sosek Malindo dan BIMP-EAGAnya, serta dengan rencana pengembangan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sanggau di Kalimantan Barat dan KAPET SASAMBA di Kalimantan Timur yang secara konseptual dan operasional perlu diarahkan dan dirancang untuk menumbuhkan daya saing, kompatibilitas dan komplementaritas dengan wilayah mitranya yang ada di negara tetangganya.

Selain isu koordinasi dalam pengembangan kawasan perbatasan, komitmen dan kebijakan Pemerintah untuk memberikan prioritas lebih tinggi dalam pembangunan wilayah perbatasan telah mengalami reorientasi yaitu dari orientasi keamanan (security approach) menjadi orientasi pembangunan (prosperity/ development approach).

Reorientasi ini, pada kasus kawasan perbatasan di Kalimantan, dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa hal berikut:

 Pendekatan keamanan (security approach) yang diterapkan Mabes ABRI di dalam penanganan KK Sosek Malindo, walaupun berbeda namun diharapkan dapat saling menunjang dengan pendekatan pembangunan (prosperity/ development approach).

(12)

 Penanganan KK Sosek Malindo selama ini ternyata tidak tercipta suatu keterkaitan/'interface' dengan program pengembangan kawasan dan kerjasama ekonomi regional seperti BIMP-EAGA, yang sebenarnya sangat relevan untuk dikembangkan secara integratif dan komplementatif dengan KK Sosek Malindo.

 Terkait dengan beberapa upaya yang telah disepakati di dalam pengembangan kawasan perbatasan antar negara, khususnya di Kalimantan dengan KK Sosek Malindonya, diperlukan pertimbangan terhadap upaya percepatan pengembangan kawasan perbataan tersebut melalui penanganan yang bersifat lintas sektor dan lintas pendanaan.

Isu pengembangan kawasan perbatasan lainnya secara umum diilustrasikan sebagai berikut:

a. Kaburnya garis perbatasan wilayah negara akibat rusaknya patok-patok di perbatasan Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur menyebabkan sekitar 200 hektare hutan wilayah Republik Indonesia (RI) berpindah masuk menjadi wilayah Negara Malaysia (Media Indonesia, 21 Juni 2001). Ancaman hilangnya sebagian wilayah RI di perbatasan Kalimantan Barat (Kalbar) dengan Malaysia Timur akibat rusaknya patok batas negara yang sedikitnya kini telah mencapai 21 patok yang terdapat di Kecamatan Seluas, Kabupaten Bengkayang, memerlukan perhatian yang serius bagi pihak terkait. Selain itu di Kabupaten Bengkayang, kerusakan patok-patok batas ini juga terjadi di wilayah Kabupaten Sintang dan Kapuas Hulu, masing-masing berjumlah tiga dan lima patok (Media Indonesia, 23 Juni 2001).

b. Pengelolaan sumberdaya alam belum terkordinasi antar pelaku sehingga memungkinkan eksploitasi sumber daya alam yang kurang baik untuk pengembangan daerah dan masyarakat. Misalnya, kasus illegal logging yang juga terkait dengan kerusakan patok-patok batas yang dilakukan untuk meraih keuntungan dalam penjualan kayu. Departemen Kehutanan pernah menaksir setiap bulannya sekitar 80.000 –100.000 m3 kayu ilegal dari Kalimantan Timur dan sekitar 150.000 m3 kayu ilegal dari Kalimantan Barat masuk ke Malaysia (Kompas, 20 Mei 2001).

c. Kepastian hukum bagi suatu instansi dalam operasionalisasi pembangunan di wilayah perbatasan sangat diperlukan agar peran dan fungsi instansi tersebut dapat lebih efektif. Contohnya, Perum Perhutani yang ditugasi Pemerintah untuk mengelola HPH eks PT Yamaker di perbatasan Kalimantan-Malaysia baru didasari oleh SK Menhut No.3766/Kpts-II/1999 tanggal 27 Mei 1999, namun tugas yang dipikul Perhutani meliputi menata kembali wilayah perbatasan dalam rangka pelestarian Sumber Daya Alam, perlindungan dan pengamaman wilayah perbatasan, dan pengelolaan hutan dengan sistim Tebang Pilih. Tugas ini bersifat lintas sektoral dan lintas wilayah sehingga diperlukan dasar hukum yang lebih tinggi.

d. Pengelolaan kawasan lindung lintas negara belum terintegrasi dalam program kerjasama bilateral antar kedua negara, misalnya keberadaan Taman Nasional Kayan Mentarang yang terletak di Kabupaten Malinau dan Nunukan, di sebelah utara Kalimantan Timur, sepanjang perbatasan dengan Sabah Malaysia, seluas 1,35 juta hektar. Taman ini merupakan tempat tinggal lebih dari 70 spesies mamalia, 315 spesies unggas dan ratusan spesies lainnya.

e. Kawasan perbatasan mempunyai posisi strategis yang berdampak terhadap hankam dan politis mengingat fungsinya sebagai outlet terdepan Indonesia yang mana terjadi banyaknya pelintas batas baik dari dan ke Indonesia maupun Malaysia. Ancaman di bidang hankam dan politis ini perlu diperhatikan mengingat kurangnya pos lintas batas legal yang disepakati oleh kedua belah pihak, misalnya di Kalimantan Barat dengan Sarawak/Sabah hanya ada 2 pos lintas batas legal dari 16 pos lintas batas yang ada. f. Kemiskinan akibat keterisolasian kawasan perbatasan menjadi pemicu tingginya

(13)

g. Kesenjangan sarana dan prasarana wilayah antar kedua wilayah negara menjadi pemicu orientasi perekonomian masyarakat, seperti di Kalimantan, akses keluar (ke Malaysia) lebih mudah dibandingkan ke ibukota kecamatan/kabupaten di wilayah Kalimantan.

h. Tidak tercipta keterkaitan antar kluster sosial ekonomi baik kluster penduduk setempat maupun kluster binaan pengelolaan sumberdaya alam di kawasan perbatasan, baik keterkaitan ke dalam maupun dengan kluster pertumbuhan di negara tetangga.

i. Adanya masalah atau gangguan hubungan bilateral antar negara yang berbatasan akibat adanya peristiwa-peristiwa baik yang terkait dengan aspek keamanan dan politis, maupun pelanggaran dalam pengelolaan dan eksploitasi sumberdaya alam yang lintas batas negara, baik sumberdaya alam darat maupun laut.

Adapun permasalahan hubungan bilateral yang perlu diprioritaskan penyelesaiannya meliputi hal-hal sebagai berikut:

1. Hubungan bilateral Indonesia – Malaysia:

 Kasus pelemparan granat di halaman Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta,

 Demontrasi yang disertai perusakkan kantor Konsulat Malaysia di Pontianak,

 Kasus penangkapan warganegara Malaysia di perbatasan Serawak dengan Kalimantan Barat yang dituduh melakukan penebangan hutan di wilayah Indonesia,

 Kasus kasus yang berhubungan dengan perbatasan dan ZEE kedua negara seperti kasus penangkapan dan penahanan ABK Kapal Semesta Pahala Sakti, dan insiden KRI Teuku Umar dengan Kapal Nelayan Malaysia.

 Penyelesaian sengketa P. Sipadan dan Ligitan yang telah memasuki tahap akhir yaitu pelaksanaan oral hearings di International Court of Justice.

2. Hubungan bilateral Indonesia – Filipina:

 Perundingan batas wilayah perairan kedua negara sebagai tindaklanjut telah ditandatanganani 4 persetujuan bilateral yang mengatur kerjasama di bidang perikanan, pariwisata, investasi dan energi.

 Banyaknya nelayan-nelayan Filipina yang masuk secara ilegal ke perairan RI sehingga dilakukan penangkapan atas nelayan-nelayan tersebut yang disebabkan oleh belum adanya batas maritim kedua negara merupakan faktor penyebab adanya pelanggaran wilayah oleh nelayan-nelayan Filipina.

 Peningkatan kerjasama keamanan perbatasan dan memerangi kejahatan transnasional (transnational crimes) termasuk terorisme.

3. Hubungan Diplomatik Indonesia – Australia:

 Kasus imigran gelap di tahun 2001. Optimalisasi Joint Press Statement yang telah dibuat antar 3 menteri kedua negara di Indonesia tanggal 6-7 September 2001 yang intinya kedua negara bertekad untuk bersama-sama mengatasi masalah imigran gelap tersebut.

 Optimalisasi Joint Communique yang menekankan pentingnya dialog (primacy of dialogue) dalam setiap isu yang timbul serta penekanan bahwa hubungan kedua negara harus dibangun atas dasar mutual trust dan mutual understanding.

 Pembukaan kembali hubungan pertahanan, penanganan bersama masalah imigran gelap termasuk rencana pelaksanaan konferensi regional mengenai penyelundupan dan perdagangan manusia, rencana trilateral consultation antara Indonesia - Timor Leste – Australia, serta South West Pacific Dialogue.

4. Hubungan bilateral Indonesia – PNG:

 Adanya kegiatan kelompok separatis Papua dan para pelintas batas ilegal.

 Optimalisasi Joint Border Committee (JBC) pada tingkat pejabat tinggi dan beberapa forum yang khusus menanganani aspek-aspek perbatasan, yaitu Border Liaison Meeting, Joint Committe on Security (JSCC) dan Joint Technical Sub-Committee (JTSC).

5. Hubungan bilateral Indonesia – Timor Leste:

(14)

 Perbedaan garis batas wilayah RI (NTT) – Timor Leste

 Maraknya penyeludupan bahan-bahan pokok gelap dan muncul pasar-pasar gelap (pasar tradisional) di wilayah perbatasan akibat perbedaan harga jual Timor Leste yang menggunakan standar dolar.

 Pemantauan pendirian pasar regular (regulated markets) di Haekesak, Turiskain, Memo dan Salele serta pasar ternak di Wini agar tidak berlokasi di sepanjang garis koordinasi taktis namun berlokasi baik di wilayah Indonesia maupun Timor Leste.

(15)

V.

TANTANGAN PENGEMBANGAN KAWASAN PERBATASAN

Kepentingan percepatan pembangunan wilayah perbatasan ditujukan untuk melindungi segenap penduduk dan kedaulatan seluruh wilayah negara, mengamankan pembangunan wilayah dan memelihara kerjasama dengan negara tetangga guna mewujudkan prinsip hidup berdampingan secara damai, aman, dan sejahtera.

Kebutuhan dan kepentingan percepatan pembangunan daerah perbatasan menghadapi tantangan antara lain yang mencakup delapan aspek sebagai berikut:

a. ASPEK GEOGRAFIS, yang meliputi kebutuhan jalan penghubung, landasan pacu (airstrip), dan sarana komunikasi serta sarana perhubungan lainnya yang memadai untuk keperluan pembangunan daerah perbatasan antar negara;

b. ASPEK DEMOGRAFIS, yang meliputi pengisian dan pemerataan penduduk untuk keperluan sistem hankamrata termasuk kekuatan cadangannya melalui kegiatan transmigrasi dan permukiman kembali (resettlement) penduduk setempat;

c. ASPEK SUMBER DAYA ALAM, yang meliputi survei dan pemetaan sumber daya alam guna menunjang pembangunan dan sebagai obyek yang perlu dilindungi pelestarian dan keamanannya;

d. ASPEK POLITIK, yang meliputi pemahaman sistem politik nasional, terselenggaranya aparat pemerintahan yang berkualitas sebagai mitra aparat hankam dalam pembinaan teritorial setempat;

e. ASPEK EKONOMI, yang meliputi pembangunan kesatuan wilayah ekonomi yang dapat sinkron dengan kegiatan ekonomi wilayah sekitarnya;

f. ASPEK SOSIAL BUDAYA, yang meliputi peningkatan pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan yang memadai untuk mengurangi kerawanan di bidang keamanan, serta nilai sosial budaya setempat yang tangguh terhadap penetrasi budaya asing;

g. ASPEK HANKAM, yang meliputi pembangunan pos-pos perbatasan, pembentukan sabuk pengamanan (security belt), dan pembentukan kekuatan pembinaan teritorial yang memadai.

VI. KENDALA PENGEMBANGAN KAWASAN PERBATASAN

Beberapa kendala dan hambatan yang dihadapi dalam upaya pembangunan daerah perbatasan antar negara ini antara lain:

a. SUMBER DAYA MANUSIA, yang ditunjukkan antara lain oleh rendahnya jumlah dan kualitas kesejahteraan penduduk dengan penyebaran yang tidak merata dibandingkan dengan luas wilayah dan garis perbatasan yang panjang, yang berimplikasi pada kegiatan pelintas batas yang ilegal; selain itu banyaknya TKI yang bekerja di negara tetangga sebagai pekerja kasar seperti buruh perkebunan, bangunan, dan pembantu rumah tangga, juga turut menurunkan harkat bangsa;

b. SUMBER DAYA BUATAN (PRASARANA), yang tingkat pelayanannya masih sangat terbatas, seperti sistem perhubungan dan telekomunikasi, pelayanan listrik dan air bersih, serta fasilitas lainnya seperti kesehatan, pendidikan, dan pasar, sehingga penduduk daerah perbatasan masih cenderung untuk berorientasi kepada negara tetangga yang tingkat aksesibilitas fisik dan informasinya relatif lebih tinggi;

c. PENATAAN RUANG DAN PEMANFAATAN SUMBER DAYA ALAM, yang ditunjukkan antara lain oleh terjadinya konflik ataupun tumpang tindih pemanfaatan ruang (lahan) baik antara kawasan budidaya dengan kawasan lindung, maupun antar kawasan budidaya seperti antara kegiatan pertambangan dan kehutanan yang berkaitan dengan ekonomi daerah dan masyarakat.

d. PENEGASAN STATUS DAERAH PERBATASAN, yang berupa penetapan wilayah kecamatan yang berbatasan langsung dengan negara tetangga, persetujuan lintas batas kedua negara (terutama berkaitan dengan larangan untuk mengelola dan mengembangkan kawasan penyangga sepanjang garis perbatasan);

(16)

e. KETERBATASAN SUMBER PENDANAAN, dimana pembangunan daerah perbatasan kurang diberikan prioritas dibandingkan dengan daerah lainnya, sehingga semakin memperlebar tingkat kesenjangan antardaerah;

f. TERBATASNYA KELEMBAGAAN DAN APARAT yang ditugaskan di daerah perbatasan, dengan fasilitas yang kurang mencukupi, sehingga fungsi pelayanan kepada masyarakat setempat relatif kurang memadai.

VII. PELUANG PENGEMBANGAN KAWASAN PERBATASAN

Beberapa peluang pengembangan kawasan perbatasan antara lain:

a. KEKAKAYAAN SUMBERDAYA ALAM. Pada umumnya daerah perbatasan memiliki kandungan sumber daya alam yang potensial untuk dikembangkan dalam rangka memperkuat daya ketahanan masyarakat, serta merupakan modal dasar dan peluang untuk percepatan pembangunan daerah masing-masing.

b. KEDUDUKAN SEBAGAI OUTLET (BERBATASAN LANGSUNG DENGAN NEGARA TETANGGA). Potensi daerah perbatasan lainnya yang dapat dijadikan peluang bagi percepatan pembangunan daerah adalah letaknya yang memungkinkan hubungan langsung dengan negara tetangga yang merupakan pasar potensial yang dapat dimanfaatkan tidak saja bagi produsen internal di daerah masing-masing, tetapi juga secara nasional.

c. MENJADI PENGGERAK KEGIATAN EKONOMI WILAYAH. Dengan potensi sumber daya alam dan letak geografis di atas, maka kegiatan apapun yang dilakukan di daerah perbatasan akan mencerminkan keseluruhan kepentingan bagian wilayah tanah air lainnya, yang selanjutnya akan dapat menciptakan keterkaitan fungsional yang lebih luas antara negara tetangga dengan bagian wilayah tanah air lainnya.

d. BAROMETER KEBERHASILAN PEMBANGUNAN NASIONAL, termasuk aspek pertahanan keamanan wilayah yang sangat penting untuk menjamin keberlanjutan pembangunan nasional.

VIII. STRATEGI DAN KONSEPSI PENANGANAN KAWASAN PERBATASAN

Kawasan perbatasan negara mempunyai dua bentuk fisik yaitu berupa kawasan darat dan kawasan laut. Strategi penanganan kedua bentuk kawasan perbatasan tersebut masih dapat dituangkan dalam langkah-langkah strategis yang mengacu pada prinsip-prinsip (kebijakan) yang bersifat makro, namun konsepsi penanganan kawasan perbatasan untuk darat dan laut akan berbeda mengingat isu, permasalahan, dan dampak yang ditimbulkan memperlihatkan karakteristik yang berbeda.

8.1. Strategi Penanganan Kawasan Perbatasan

Wilayah perbatasan pada dasarnya termasuk dalam kategori daerah rawan tetapi bersifat strategis. Adanya kesenjangan sosial ekonomi dan sosial budaya antar kedua negara akan mudah menimbulkan kerawanan, dan selanjutnya dapat menjadi ancaman terhadap berbagai aspek kepentingan nasional, terlebih bila dikaitkan dengan adanya potensi sumber daya alam yang besar di kawasan perbatasan dan sekitarnya.

(17)

Republik Indonesia, sehingga daerah dan masyarakatnya mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam hal menerima pelayanan dari Pemerintah dalam arti luas, melalui upaya pemerataan pembangunan.

Kebijakan pembangunan daerah perbatasan mencakup dua aspek pembangunan, yaitu aspek kesejahteraan (prosperity) dan aspek keamanan (security), yang dirinci dalam tiga kebijakan yang meliputi:

a. Kebijakan mendukung upaya

memperbaiki kondisi kehidupan sosial ekonomi masyarakat agar mampu meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat,

b. Kebijakan mendukung upaya

peningkatan kemampuan dan kapasitas pengelolaan potensi wilayah yang ada, dan

c. Kebijakan mendukung

pemantapan keamanan dalam rangka pembinaan serta peningkatan ketahanan wilayah menuju terciptanya ketahanan nasional.

Bertitik tolak dari kebijakan membangun daerah perbatasan tersebut, maka grand strategy penanganan kawasan perbatasan ditempuh melalui: “peningkatan taraf hidup masyarakat melalui penyediaan sarana dan prasarana dasar (terutama perhubungan) secara optimal dengan memanfaatkan potensi wilayah, meningkatkan kuantitas dan kualitas aparatur pemerintahan di daerah perbatasan, serta mewujudkan sabuk pengamanan (security belt) di sepanjang wilayah perbatasan sebagai penangkal terhadap kemungkinan terjadinya ancaman langsung bagi kedaulatan negara, keamanan, dan ketertiban masyarakat”.

Grand strategy tersebut dapat dirinci dalam tiga strategi meliputi:

Memperbaiki Kondisi Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat agar Mampu Meningkatkan Taraf Hidup dan Kesejahteraan Masyarakat

Meningkatkan Kemampuan dan Kapasitas Pengelolaan Potensi Wilayah yang Ada

Memantapkan Keamanan dalam rangka Pembinaan serta Peningkatan Ketahanan Wilayah Menuju Terciptanya Ketahanan Nasional

Aplikasi strategi tersebut memerlukan keterpaduan baik menyangkut perencanaan maupun pelaksanaan pembangunan yang terpadu dan komprehensif antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat serta pihak swasta. Oleh karena itu strategi penanganan kawasan perbatasan untuk meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan daerah perbatasan secara optimal berdasarkan penataan ruang kawasan perbatasan adalah perlu didukung dengan 12 (dua belas) langkah strategis sebagai berikut:

1. Penanggulangan kemiskinan yang dicapai melalui pemenuhan kebutuhan mendesak dan melalui redistribusi manfaat yang diperoleh dari pertumbuhan ekonomi khususnya dari sektor-sektor produksi seperti pertambangan dan kehutanan antara lain melalui hph bina desa;

2. Pengembangan kegiatan ekonomi setempat yang didasarkan pada potensi sumber daya alam yang prospektif dikembangkan;

3. Peningkatan perdagangan lintas batas (kegiatan ekspor dan impor) melalui jalur darat maupun laut secara lebih berdayaguna dan berhasilguna;

4. Pengembangan prasarana dan sarana dasar pembangunan yang menciptakan iklim yang kondusif bagi pertumbuhan kegiatan sosial ekonomi dan peranserta pihak swasta;

5. Peningkatan partisipasi masyarakat dan swasta dalam pembangunan daerah perbatasan;

6. Penetapan sistem perhubungan yang dapat mendukung pola produksi dan perubahan orientasi dari subsisten kepada pasar;

7. Peningkatan pembangunan prasarana transportasi dalam rangka membuka isolasi daerah, serta pengembangan potensi wilayah;

(18)

8. Penetapan pusat-pusat pertumbuhan dan pengembangan pusat-pusat permukiman potensial yang tetap berorientasi pada sistem atau pola pengembangan wilayah propinsi

9. Peningkatan pelayanan pendidikan, kesehatan, serta penyuluhan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan kesadaran masyarakat berbangsa dan bernegara; 10. Peningkatan penataan lingkungan permukiman yang dilakukan secara terpadu

dengan program penataan kembali wilayah administratif (desa, kecamatan, dan kabupaten);

11. Peningkatan pelayanan telekomunikasi seperti penambahan dan peningkatan daya pancar relay tvri dan rri.

12. Pengembangan sistem informasi dan komunikasi baik oleh pemerintah maupun swasta dalam menumbuhkan dan meningkatkan rasa kebangsaan masyarakat di perbatasan.

8.2. Konsepsi Penanganan Kawasan Perbatasan

Konsepsi penanganan kawasan perbatasan disusun sebagai upaya untuk: a. Mengantisipasi isu-isu kawasan perbatasan darat yang berkembang, b. Meminimasi permasalahan/konflik yang ada,

c. Merealisasikan tantangan yang ada sehingga menjadi faktor penguat sendi-sendi pengembangan wilayah,

d. Mengatasi kendala dan hambatan yang ada sehingga menjadi pendorong pengembangan wilayah,

e. Mengoptimalkan peluang pengembangan wilayah yang ada.

Dengan mempertimbangkan kelima upaya di atas, maka konsepsi penanganan kawasan perbatasan sesuai dengan ketiga strategi pengembangan kawasan perbatasan adalah sebagai berikut:

1. Memperbaiki Kondisi Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat agar Mampu Meningkatkan Taraf Hidup dan Kesejahteraan Masyarakat

 Menciptakan keterkaitan fungsional antar kluster sosial ekonomi (kluster penduduk

setempat dan kluster binaan pengelolaan sumberdaya alam) sehingga terwujud pembangunan kesatuan wilayah ekonomi yang sinkron antar wilayah berdasarkan potensi dan kekayaan sumberdaya wilayah setempat, serta dengan mengoptimalkan peran sebagai outlet menuju negara tetangga

 Meningkatkan tingkat pelayanan sarana dan prasarana wilayah serta membuka

keterisolasian kawasan secara komprehensif dilandasi dengan pengaturan sistem produksi, sistem pemasaran dan sistem pelayanan jasa (kota desa).

 Meningkatkan kualitas sumberdaya manusia (pendidikan, kesehatan, dan

ketrampilan) yang merata antar wilayah guna mencapai kesejahteraan masyarakat yang memadai dengan mempertahankan nilai sosial budaya setempat yang tangguh terhadap penetrasi budaya asing

 Menciptakan peluang dan promosi investasi pembangunan kawasan didukung

komitmen kelembagaan dan pendanaan yang memadai berdasarkan kekakayaan sumberdaya alam setempat, serta partisipasi swasta dan masyarakat.

2. Meningkatkan Kemampuan dan Kapasitas Pengelolaan Potensi Wilayah yang Ada

 Meningkatkan koordinasi antar pelaku dalam pengelolaan sumberdaya alam, pengisian dan pemerataan penduduk, peningkatan sarana dan prasarana wilayah (perhubungan, komunikasi, listrik, air bersih, kesehatan, pendidikan, dan pasar) dalam rangka meminimasi konflik sektoral (pemanfaatan ruang dan sumberdaya alam), serta optimalisasi peran outlet untuk menjalin hubungan dengan pasar potensial baik bagi produsen internal (setempat) maupun nasional.

 Menjalin kerjasama bilateral antar kedua negara dalam pengelolaan kawasan

(19)

 Membangun basis data pembangunan yang memadai melalui survei dan

pemetaan sumberdaya alam mendukung peningkatan kemampuan dan kapasitas pengelolaan potensi wilayah.

3. Memantapkan Keamanan dalam rangka Pembinaan serta Peningkatan Ketahanan Wilayah Menuju Terciptanya Ketahanan Nasional

 Merumuskan konsep dan kesepakatan untuk penyelesaian masalah perbatasan

terkait dengan aspek hankam dan politis antara lain: penetapan garis perbatasan negara, pembangunan pos lintas batas legal, eksploitasi sumberdaya alam (darat dan laut) yang lintas batas negara, pemanfaatan kawasan penyangga dan pembentukan sabuk pengamanan (security belt).

 Mendorong terciptanya kepastian hukum dalam operasionalisasi pembangunan

wilayah perbatasan sebagai barometer keberhasilan dan menjamin keberlanjutan pembangunan nasional.

 Melakukan sosialisasi sistem politik nasional dalam berbagai media dan

mendorong tersedianya mitra aparat hankam dalam pembinaan teritorial setempat

 Membangun rasa kebangsaan masyarakat dengan cara penyampaian informasi

melalui berbagai media masa (TVRI, RRI, Internet, dan lainnya).

Adapun pemikiran awal (draft) matriks perumusan konsepsi penanganan kawasan perbatasan disajikan terlampir.

IX. PROGRAM PENANGANAN KAWASAN PERBATASAN

Pelaksanaan pembangunan di wilayah perbatasan di Pulau Kalimantan diserahkan kembali kepada instansi Pemerintah sesuai dengan tugas dan fungsi yang terkait, mengingat Badan yang pernah dibentuk (Keppres 44 th 1994 dan dicabut dengan Keppres 63 th 1999) ternyata tidak berjalan secara efektif dan tidak dapat mencapai hasil yang optimal.

Program penanganan kawasan perbatasan dirumuskan untuk mewujudkan konsepsi penanganan kawasan perbatasan dan disinkronkan dengan Propenas 2000 – 2004 yang merupakan acuan pembangunan nasional sehingga program yang dirumuskan bersifat komprehensif dan terarah.

Dalam Propenas 2000 – 2004 ada dua program nasional yang terkait langsung dengan penanganan kawasan perbatasan yaitu:

a. Program Pengembangan Daerah Perbatasan, dalam rangka mempercepat pengembangan wilayah yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat, meningkatkan kapasitas pengelolaan potensi wilayah perbatasan, dan memantapkan ketertiban dan keamanan daerah yang berbatasan dengan negara lain, sehingga dapat terwujudnya peningkatan kehidupan sosial-ekonomi dan ketahanan sosial masyarakat, terkelolanya potensi wilayah, dan ketertiban serta keamanan kawasan perbatasan. Program prioritasnya adalah:

 pengembangan pusat-pusat permukiman potensial termasuk permukiman transmigrasi di daerah perbatasan;

 peningkatan pelayanan prasarana transportasi dan komunikasi untuk membuka keterisolasian daerah dan pemasaran produksi;

 peningkatan pelayanan sosial dasar khususnya pendidikan dan kesehatan; penataan wilayah administratif dan tapal batas;

 pengembangan partisipasi swasta dalam pemanfaatan potensi wilayah khususnya pertambangan dan kehutanan; dan

(20)

 peningkatan kerjasama dan kesepakatan dengan negara tetangga di bidang keamanan, ekonomi, serta pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan daerah perbatasan.

b. Program Pembangunan Peningkatan Aksesibilitas Masyarakat terhadap Jasa Pelayanan Prasarana dalam rangka pembangunan ekonomi khususnya sebagai upaya untuk Menyediakan Sarana dan Prasarana Penunjang Pembangunan Ekonomi yang bertujuan memperluas jangkauan jasa pelayanan sarana dan prasarana sampai ke daerah-daerah terpencil, pedalaman dan perbatasan dengan memprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, termasuk telekomunikasi, tenaga listrik dan irigasi. Kegiatan pokoknya:

 melaksanakan usaha perintisan di daerah-daerah terisolasi, terpencil dan kawasan tertingga;

 memperluas jangkauan pelayanan prasarana ke seluruh lapisan masyarakat; dan

 memperkuat dan menyempurnakan peraturan perundang-undangan.

(21)

Matriks Perumusan Konsepsi Penanganan Kawasan Perbatasan (

draft

)

Berdasarkan Tujuan Pengembangan Kawasan Perbatasan

NO. ISU DAN

PERMASALAHAN TANTANGAN KENDALA PELUANG STRATEGI

KONSEPSI PENANGANAN

I. Memperbaiki Kondisi Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat agar Mampu Meningkatkan Taraf Hidup dan Kesejahteraan Masyarakat

 Kemiskinan akibat

 Kesenjangan sarana dan prasarana wilayah menjadi pemicu orientasi

perekonomian masyarakat

(22)

(pendidikan, kesehatan,

NO. ISU DAN

PERMASALAHAN TANTANGAN KENDALA PELUANG STRATEGI

KONSEPSI

II. Meningkatkan Kemampuan dan Kapasitas Pengelolaan Potensi Wilayah yang Ada

(23)

termasuk kekuatan secara nasional. wilayah;

NO. ISU DAN

PERMASALAHAN TANTANGAN KENDALA PELUANG STRATEGI

KONSEPSI pada sistem atau pola pengembangan

 Membangun basis data pembangunan yang

III. Memantapkan Keamanan dalam rangka Pembinaan serta Peningkatan Ketahanan Wilayah Menuju Terciptanya Ketahanan Nasional

 Posisi strategis yang rawan di bidang hankam dan politis karena

(24)

batas (kehilangan wilayah

negara) pembinaan teritorial setempat; batas kedua negara sangat penting kecamatan, dan batas legal, eksploitasi

NO. ISU DAN

PERMASALAHAN TANTANGAN KENDALA PELUANG STRATEGI

KONSEPSI PENANGANAN

 Kepastian hukum suatu instansi dalam mengelola HPH eks PT Yamaker baru didasari oleh SK Menhut

 Adanya masalah atau gangguan hubungan bilateral antar negara yang berbatasan akibat adanya peristiwa-peristiwa baik yang terkait dengan aspek keamanan dan politis, maupun pelanggaran dalam pengelolaan dan eksploitasi sumberdaya alam yang lintas batas negara, baik sumberdaya alam darat dan laut) yang lintas batas negara, pemanfaatan

(25)
(26)

Matriks Keterkaitan Antara Strategi, Konsepsi, Program dan Instansi Terkait dalam Penanganan Kawasan Perbatasan

KEBIJAKAN & STRATEGI KONSEPSI PENANGANAN PROGRAM NASIONAL

TERKAIT*)

(27)

Memperbaiki Kondisi Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat agar Mampu Meningkatkan Taraf Hidup dan Kesejahteraan Masyarakat

 Penanggulangan kemiskinan yang dicapai melalui pemenuhan kebutuhan mendesak dan melalui redistribusi manfaat yang diperoleh dari pertumbuhan ekonomi khususnya dari sektor-sektor produksi seperti pertambangan dan kehutanan antara lain melalui HPH Bina Desa;

 Pengembangan kegiatan ekonomi setempat yang didasarkan pada potensi sumber daya alam yang prospektif dikembangkan;

 Peningkatan perdagangan lintas batas (kegiatan ekspor dan impor) melalui jalur darat maupun laut secara lebih berdayaguna dan berhasilguna;

 Peningkatan partisipasi masyarakat dan swasta dalam pembangunan daerah perbatasan

 Pengembangan prasarana dan sarana dasar pembangunan yang menciptakan iklim yang kondusif bagi pertumbuhan kegiatan sosial ekonomi dan peranserta pihak swasta;

 Menciptakan keterkaitan fungsional antar kluster sosial ekonomi (kluster penduduk setempat dan kluster binaan pengelolaan sumberdaya alam) sehingga terwujud

pembangunan kesatuan wilayah ekonomi yang sinkron antar wilayah berdasarkan potensi dan kekayaan sumberdaya wilayah setempat, serta dengan mengoptimalkan peran sebagai outlet menuju negara tetangga

 Meningkatkan tingkat pelayanan sarana dan prasarana wilayah serta membuka keterisolasian kawasan secara komprehensif dilandasi dengan pengaturan sistem produksi, sistem pemasaran dan sistem pelayanan jasa (kota desa).

 Meningkatkan kualitas sumberdaya manusia (pendidikan, kesehatan, dan ketrampilan) yang merata antar wilayah guna mencapai

kesejahteraan masyarakat yang memadai dengan mempertahankan nilai sosial budaya setempat yang tangguh terhadap penetrasi budaya asing

 Menciptakan peluang dan promosi investasi pembangunan kawasan didukung komitmen kelembagaan dan pendanaan yang memadai berdasarkan kekakayaan sumberdaya alam setempat, serta partisipasi swasta dan masyarakat.

 Pengembangan Daerah Perbatasan

 Pengembangan Pengairan

 Pembangunan Sarana dan Prasarana Transportasi

 Peningkatan Ekonomi Wilayah

 Pengembangan Wilayah Strategis dan Cepat Tumbuh

 Penataan Ruang

 Pembangunan Perdesaan

 Pengembangan Perumahan

 Pembangunan Perkotaan

 Pengembangan Prasarana dan Sarana Permukiman

 Pembangunan Wilayah Tertinggal

 Meningkatkan Aksesibilitas Masyarakat terhadap Jasa Pelayanan Sarana dan Prasarana

 Penataan dan Penguatan Basis Produksi dan Distribusi

 Pengembangan Kelautan

 Pengembangan Pariwisata

(28)

KEBIJAKAN & STRATEGI KONSEPSI PENANGANAN PROGRAM NASIONAL

TERKAIT*)

INSTANSI TERKAIT

Peningkatan Kemampuan dan Kapasitas Pengelolaan Potensi Wilayah yang Ada

 Penetapan sistem perhubungan yang dapat mendukung pola produksi dan perubahan orientasi dari subsisten kepada pasar;

 Peningkatan pembangunan prasarana transportasi dalam rangka membuka isolasi daerah, serta pengembangan potensi wilayah;

 Penetapan pusat-pusat pertumbuhan dan pengembangan pusat-pusat permukiman potensial yang tetap berorientasi pada sistem atau pola pengembangan wilayah propinsi

 Peningkatan pelayanan pendidikan, kesehatan, serta penyuluhan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan kesadaran masyarakat berbangsa dan bernegara;

 Meningkatkan koordinasi antar pelaku dalam pengelolaan sumberdaya alam, pengisian dan pemerataan penduduk, peningkatan sarana dan prasarana wilayah (perhubungan, komunikasi, listrik, air bersih, kesehatan, pendidikan, dan pasar) dalam rangka meminimasi konflik sektoral (pemanfaatan ruang dan sumberdaya alam), serta optimalisasi peran outlet untuk menjalin hubungan dengan pasar potensial baik bagi produsen internal (setempat) maupun nasional.

 Menjalin kerjasama bilateral antar kedua negara dalam pengelolaan kawasan lindung lintas negara dan bidang ekonomi lainnya.

 Membangun basis data pembangunan yang memadai melalui survei dan pemetaan sumberdaya alam mendukung peningkatan kemampuan dan kapasitas pengelolaan potensi wilayah.

 Pengembangan Daerah Perbatasan

 Pengembangan dan Keserasian Kebijakan Kependudukan

 Peningkatan Kapasitas Sumberdaya Manusia

 Pemberdayaan Masyarakat Miskin

 Pengembangan Budaya Usaha Masyarakat Miskin

 Lingkungan Sehat, Perilaku Sehat dan Pemberdayaan

Pemantapan Keamanan dalam rangka Pembinaan serta Peningkatan Ketahanan Wilayah Menuju Terciptanya Ketahanan Nasional

 Peningkatan penataan lingkungan permukiman yang dilakukan secara terpadu dengan program penataan kembali wilayah administratif (desa, kecamatan, dan kabupaten);

 Peningkatan pelayanan telekomunikasi seperti penambahan dan peningkatan daya pancar relay TVRI dan RRI.

(29)

KEBIJAKAN & STRATEGI KONSEPSI PENANGANAN PROGRAM NASIONAL

TERKAIT*)

INSTANSI TERKAIT

 Pengembangan sistem informasi dan komunikasi baik oleh pemerintah maupun swasta dalam menumbuhkan dan

meningkatkan rasa di perbatasan.

 Mendorong terciptanya kepastian hukum dalam operasionalisasi pembangunan wilayah perbatasan sebagai barometer keberhasilan dan menjamin keberlanjutan pembangunan nasional.

 Melakukan sosialisasi sistem politik nasional dalam berbagai media dan mendorong

tersedianya mitra aparat hankam dalam pembinaan teritorial setempat

 Membangun rasa kebangsaan masyarakat dengan cara penyampaian informasi melalui berbagai media masa (TVRI, RRI, Internet, dan lainnya).

 Peningkatan Prasarana

Penyiaran, Informatika dan Media Masa

Keterangan:

*)

Propenas 2000 – 2004

Gambar

Gambar 1Struktur Organisasi

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Thomas Ari (2017), konsep green port memiliki tujuan pengelolaan pelabuhan yang lebih baik, berdasarkan Standard Operating Procedure (SOP), dalam hal ini

Masing-masing artikel dalam buletin tersebut diinventarisasi berdasarkan kontribusi artikel per kelompok peneliti, komoditas, dan subjek artikel, pola kepengarangan, tingkat

Endang Dewi Lestari, Sp.A(K), MPH selaku Kepala Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNS/RSDM, dan selaku pembimbing substansi, yang bersedia meluangkan waktu untuk membimbing penulis

cultivated and utilized by farmers in Nganjuk region for alternative food sources v iz. Exploration study subjected to Dioscorea spp. has been conducted in Nganjuk

Pedoman wawancara dalam penelitian ini bersifat semi terstruktur, berupa pertanyaan-pertanyaan yang disusun untuk melakukan tanya jawab terhadap kemampuan

Hasil dari perancangan ini adalah Sistem Informasi Pengelolaann Data Pemohon NUPTK Pada UPT Pendidikan Gebog Kudus yang berguna bagi admin untuk mengelola data sekolah,

budidaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: indikasi program untuk perwujudan kawasan lindung yang terdiri dari: kawasan yang memberikan perlindungan terhadap

Mengingat masalah pendanaan merupakan masalah yang sangat penting dan menentukan bertahan atau tidaknya suatu perusahaan, serta beberapa penelitian terdahulu yang pernah dilakukan,