• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGUATAN SISTEM PRESIDENSIAL DALAM SIST

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENGUATAN SISTEM PRESIDENSIAL DALAM SIST"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Agustus 2015, Vol. 11, No. 22, Hal. 45 - 57

45

PENGUATAN SISTEM PRESIDENSIAL DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA

Syofyan Hadi1

Dosen Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya Email: syofyan@untag-sby.ac.id

Abstrak

Furifikasi sistem presidensial dalam perubahan UUD NRI Tahun 1945 telah memberikan penguatan terhadap kedudukan Presiden. Namun demikian, furifikasi tersebut belum sepenuhnya memberikan penguatan, karena kewenangan presiden yang terlalu besar dalam bidang legislasi, lemahnya kewenangan legislasi DPD dan dianutnya sistem multipartai. Oleh karena itu, dalam rangka penguatan sistem presidensial perlu dilakukan perubahan, yakni penghapusan kewenangan legislasi Presiden, penguatan legislasi DPD, penyederhanaan partai politik dan pemilihan umum serentak.

Kata kunci: sistem presidensial, furifikasi, fungsi legislasi, multi partai.

PENDAHULUAN

Perubahan UUD NRI Tahun 1945 mempunyai politik hukum untuk memperkuat sistem presidensial. Penguatan tersebut diwujudkan melalui

purifikasi atas kedudukan dan kewenangan yang diberikan kepada Presiden.

Purifikasi tersebut diimplementasikan melalui:

1. pengisian jabatan Presiden tidak lagi melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat, namun dipilih melalui Pemilu dengan prinsip langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sebagaimana diatur dalam Pasal 6A ayat (1) dan Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.

2. Presiden tidak lagi bertanggungjawab kepada lembaga perwakilan, namun langsung bertanggung jawab kepada rakyat.

3. Presiden mempunyai jabatan yang pasti yakni selama 5 tahun dan dapat dipilih kembali untuk masa jabatan yang sama untuk 1 kali masa jabatan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UUD NRI Tahun 1945.

4. lembaga perwakilan tidak dapat memberhentikan Presiden di tengah jalan, kecuali melalui prosedur impeachment sebagaimana diatur di dalam Pasal 7A dan 7B UUD NRI Tahun 1945.

5. Presiden membentuk kabinet yang mana anggota kabinet berkedudukan dan bertanggungjawab kepada Presiden sebagai single chief executive

sebagaimana diatur dalam Pasal 17 UUD NRI Tahun 1945.

Purifikasi di atas didasarkan pad ide dasar perubahan UUD NRI Tahun 1945 yang bertumpu pada prinsip sepa ration of power, sehingga akan

1

(2)

46

muncul cheks and balances antar lembaga negara. Kewenangan lembaga negara yang satu akan selalu dibatasi oleh kewenangan lembaga negara yang lain (power limits power). Politik hukum yang ingin ditunjukkan oleh UUD NRI Tahun 1945 adalah adanya pemisahan yang tegas antar lembaga negara, baik secara institusional maupun fungsional.

Namun, UUD NRI Tahun 1945 juga masih memberikan kewenangan legislasi yang sangat besar kepada Presiden, dimana suatu RUU dapat menjadi UU, apabila Presiden memberikan persetujuan, sebagaimana diatur di dalam Pasal 20 UUD NRI Tahun 1945. Purifikasi sistem presidensial tersebut, juga tidak menjamin penguatan sepenuhnya atas sistem presidensial itu sendiri, sehingga tidak jarang praktek ketatanegaraan tidak dapat berjalan secara efektif dan efisien. Hal tersebut disebabkan oleh karena dianutnya sistem multi partai dalam sistem kepartaian dewasa ini. Karenanya, tidak jarang juga Presiden di dalam menjalankan kekuasaannya tersandera oleh lembaga perwakilan yang terdiri dari berbagai partai politik yang mempunyai kewenangan masing-masing. Hal tersebut juga ditunjang oleh muncul

legislative heavy yang ditandai dengan besarnya kewenangan lembaga perwakilan dalam memberikan persetujuan atau pertimbangan atas pelaksanaan kewenangan Presiden. Sistem multi partai akan memaksa Presiden untuk melakukan koalisi taktis dan pragmatis, sehingga mempunyai kekuatan mayoritas di lembaga perwakilan. Hal tersebut perlu untuk mengamankan kebijakan-kebijakan Presiden di lembaga perwakilan. Namun di sisi yang lain, sistem multi partai tersebut akan menimbulkan banyak transaksi politik, bagi-bagi kekuasaan di dalam kabinet dan efek negatif lainnya.

RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: bagaimanakah penguatan sistem presidensial dalam sistem ketatanegaraan Indonesia?

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif di mana hukum dikonsepsikan sebagai peraturan yang mengikat umum dengan tujuan untuk memberikan keadilan. Sebagai ilmu normatif, sebagaimana dikemukakan oleh Philipus M Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati dalam buku

Argumentasi Hukum bahwa “Ilmu hukum memiliki karakteristik yang khas. Ciri khas ilmu hukum adalah sifatnya yang normatif”.2 Dengan demikian,” penelitian ini juga disebut dengan penelitian yuridis normatif dengan

2

(3)

47

pendekatan konseptual.”3

Peter Mahmud Marzuki menyatakan bahwa “ tiap-tiap bidang ilmu memiliki metode penelitiannya masing-masing. Dengan demikian tidak mungkin menyeragamkan metode penelitian” 4

Sebagai penelitian hukum normatif, maka jenis penelitian ini tergolong penelitian hukum doktrinal, dengan melakukan penelitian terhadap norma-norma hukum yang dikembangkan oleh doktrin dengan mengkaji kategori hukum, hubungan antara norma-norma hukum, penjelasan tentang objek penelitian dan juga prediksi yang akan datang tentang objek yang dijadikan tema penelitian.

Pendekatan utama dalam penelitian ini yakni pendekatan Perundang-undangan dan pendekatan Konseptual, hal ini sesuai dengan sifat penelitian hukum normatif yang bertumpu pada pendekatan doctrinal”.5Pendekatan perundang-undangan dimaksudkan undang-undang sebagai fokus penelitian dengan mengkaji asas-asas yang menjadi acuannya dan tujuan pembentukannya. Pendekatan konseptual yakni mengkaji konsep-konsep yang dikembangkan oleh doktrin ilmu hukum yang sudah dikenal.

“Pendekatan doktrinal maupun pendekatan konseptual tidak juga dapat dilepaskan dari pendekatan lain seperti pendekatan perbandingan, pendekatan sejarah, pendekatan kasus bahkan pendekatan filosofis”.6

Penelitian hukum normatif yang menggunakan bahan hukum sekunder berakibat kepada teknik analisis bahan hukum, dengan demikian analisis bahan hukum yang digunakan yakni analisis bahan hukum yang bersifat diskriptif, terhadap bahan-bahan hukum sekunder maupun primer. Semua bahan yang relevan dilakukan seleksi sehingga dapat mendukung tema penelitian dan menjawab permasalahan yang diajukan. Dengan demikian proses analisis yang digunakan adalah menggunakan metode deduktif yang berarti berangkat dari kasus-kasus yang bersifat umum untuk kemudian dilakukan abstraksi sehingga diperoleh beberapa kesimpulan atau pengertian yang bersifat khusus. Selanjutnya dari beberapa kesimpulan tersebut akan diajukan saran-saran sebagai suatu rekomendasi atau alternatif pemecahan masalah yang mungkin untuk dilaksanakan.

PEMBAHASAN

Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, sistem pemerintahan yang dianut oleh Indonesia adalah sistem pemerintahan

3

Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Bandung: Mandar Maju, 2008, h. 92.

4

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta:Kencana Prenada, 2005, h. 11.

5

Sulistyowati Irianto dan Shiddarta (Editor), Metode Penelitian Hukum, Konstelasi dan Refleksi, Jakarta: Obor dan JHMP-FHUI, 2009, h. 122.

6

(4)

48

presidensial. Jimly Asshiddiqie7 menyatakan bahwa sistem pemerintahan presidensial mempunyai ciri: a) presiden adalah kepala negara dan pemerintahan; b) kepala negara bertanggung jawab kepada rakyat; c) presiden tidak mempunyai wewenang membubarkan lembaga perwakilan; dan d) kabinet bertanggung jawab kepada presiden. Dari ciri-ciri di atas, Presiden memiliki peranan yang sangat strategis di dalam penyelenggaraan pemerintahan negara dan Presiden merupakan penanggungjawab tertinggi atas penyelenggaraan pemerintahan (responsibility upon the president).

Sistem presidensial merupakan sistem pemerintahan, dimana Presiden merupakan head of state dan chief of executive tertinggi di dalam negara. Presiden merupakan penanggungjawab tertinggi atas pemerintahan negara, baik dalam keadaan normal maupun tidak normal (emergency). Karenanya, memiliki Presiden memiliki kedudukan yang sangat penting di dalam pemerintahan negara. Abudl Ghoffar menyatakan bahwa Presiden setidak-tidaknya memiliki lima peranan yakni, a) Presiden sebagai kepala negara; b) Presiden sebagai kepala pemerintahan atau eksekutif; c) Presiden sebagai diplomat utama; d) Presiden sebagai legislator utama; dan e) Presiden sebagai penglima tertinggi angkatan bersenjata.8

Namun dalam prakteknya, sistem pemerintahan presidensial yang dianut dalam sistem ketatanegaraan Indonesia belum memberikan penguatan terhadap kedudukan Presiden dalam menjalankan pemerintahan negara. Oleh karena itu, dalam rangka untuk mewujudkan penguatan sistem pemerintahan presidensial, perlu dilakukan beberapa perubahan sistem yang selama ini dipraktekkan dalam sistem ketatanegaraan Indoneisa. Perubahan-perubahan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Penghapusan kewenangan legislasi Presiden dan penguatan fungsi legislasi DPD

Politik hukum yang dianut di dalam perubahan UUD NRI Tahun 1945 adalah adanya pemisahan kekuasaan (sepa ration of power) antar lembaga negara, baik legislatif, eksekutif, maupun yudisial serta lembaga negara lainnya. Kewenangan legislasi adalah kewenangan untuk membentuk undang-undang. Kewenangan ini merupakan fungsi utama lembaga perwakilan rakyat berupa fugsi pengaturan (regelende function). Fungsi pengaturan merupakan kewenanangan untuk menentukan peraturan yang mengikat warga negara dengan norma-norma hukum yang mengikat dan membatasi.9 Fungsi pengaturan tersebut lebih konkritnya

7

Jimly Asshiddiqie, Pengantar Hukum Tata Negara Jilid II, Cetakan kesatu, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, 2006, h. 60.

8

Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945 dengan Delapan Negara Maju, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009, h. 14-15.

9

(5)

49

diwujudkan dalam pembentukan undang-undang (wetgevende functie/la w making function).10

Dalam sistem presidensial, badan legislatif menentukan agendanya sendiri, membahas dan menyetujui rancangan undang-undang. Hal ini didasarkan pada prinsip kedaulatan rakyat sehingga merupakan wewenang eksklusif dari badan perwakilan yang berdaulat untuk menentukan suatu peraturan yang mengikat dan membatasi kebebasan setiap warga negara.11 Dalam perkembangannya, prinsip di atas tidak berjalan sebagaimana mestinya, karena kewenangan legislasi tidak hanya dipegang oleh kekuasaan legislatif, tetapi dipegang juga oleh kekuasaan eksekutif secara bersama-sama. Bahkan tidak jarang kekuasaan eksekutif lebih dominan dalam menjalankan kewenangan legislasi.

Dalam praktek ketatanegaraan Indonesia, fungsi legislasi tetap mengacu pada adanya pemisahan kekuasaan antara eksekutif dan legislatif, namun tidak diterapkan secara mutlak, karena Presiden memiliki kewenangan legislasi yang sangat besar. Hal tersebut dapat dilihat dari adanya wewenang Presiden untuk ikut serta dalam mengajukan suatu rancangan undang-undang, membahas bersama dengan DPR untuk mencapai persetujuan bersama, serta mengesahkannya menjadi undang-undang. Bahkan yang paling aneh, dianutnya hak veto Presiden dalam fungsi legislasi, walaupun bersifat veto relatif, sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 UUD NRI Tahun 1945.

Kewenangan Presiden di dalam legislasi tersebut seharusnya dihapus, sehingga kewenangan legislasi hanya dijalankan oleh lembaga perwakilan, tanpa ikut campur Presiden sebagai kepala eksekutif. Perlu adanya pemisahan kekuasaan yang tegas antara eksekutif dan legislatif dalam menjalankan kewenangan legislasi, sehingga dapat terjamin checks and balances. Dalam kasus ini dapat dicontoh model Amerika Serikat, dimana Presiden Amerika Serikat tidak memiliki kewenangan legislasi, namun hanya diberikan hak veto atas rancangan UU yang telah disetujui oleh lembaga perwakilannya.

Dengan semangat checks and balances, setelah perubahan UUD 1945 dalam struktur parlemen dibentuklah kamar penyeimbang sebagai representatif daerah yang disebut dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). DPD diatur dalam ketentuan Pasal 22D UUD 1945. Kelahiran DPD merupakan sebagai kamar kedua (bicameral) dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, sehingga menyerupai keberadaan Senat di Amerika Serikat. Namun kewenangan legislasi DPD tidak terlalu kuat

10

Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009, h. 299.

11

(6)

50

bahkan sangat lemah, sehingga hanya sebagai lembaga supporting bagi DPR.12

Pasal 22D UUD NRI Tahun 1945 memberikan kewenangan legislasi yang sangat terbatas kepada DPD yakni berupa dapat mengajukan RUU dan ikut membahas RUU tentang otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaa sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah, serta memiliki wewenang untuk memberikan pertimbangan terhadap RUU tentang anggaran pendapatan dan belanja negara dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.

Putusan MK No. 92/PUU-X/2012 telah memberikan perubahan mengenai kedudukan dan posisi fungsi legislasi DPD, namun hanya terbatas pada kedudukan DPD dalam mengajukan RUU yang sesuai dengan kewenangannya setara dengan RUU dari DPR dan Presiden, sehingga RUU DPD tidak dipersamakan dengan RUU usulan dari anggota, komisi atau gabungan komisi DPR. Namun, terkait dengan persetujuan, DPD tidak memiliki kewenangan, karena persetujuan menjadi wewenang DPR dan Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.

Dari konstruksi hukum tersebut, kewenangan legislasi DPD hanya sebatas pada mengajukan RUU dan memberikan pertimbangan kepada DPR serta ikut membahas suatu RUU. DPD tidak ikut serta untuk menyetujui suatu RUU. Peranan DPR lebih dominan ketimbang DPD, sehingga Indonesia menganut soft bicameral. Sistem parlemen Indonesia tidak menciptakan double cheks di dalam pembentukan UU. Dalam rangka penguatan sistem presidensial dan checks and balances, MPR harus segera melakukan perubahan dengan cara memberikan kewenangan legislasi yang sama kepada DPD dan mencabut kewenangan Presiden dalam bidang legislasi.

2. Penyederhanaan partai politik

Pasal 28 UUD NRI Tahun 1945 memberikan hak kepada setiap warga negara untuk berkumpul dan berserikat. Hak tersebut diwujudkan dengan diberikannya hak kepada setiap warga negara untuk mendirikan partai politik dengan persyaratan tertentu. Melalui UU Partai Politik, Indonesia menganut sistem multi partai.

Sistem multi partai yang dianut oleh Indonesia, di satu sisi sebagai sebuah bukti penghormatan terhadap hak-hak warga negara. Namun di sisi yang lain, sistem multi partai tersebut dapat menimbulkan ketidakefektifan pemerintahan, mengingat sistem pemerintahan yang

12

(7)

51

dianut oleh Indonesia adalah sistem pemerintahan presidensial. Sistem presidensial multipartai akan menimbulkan berbagai macam masalah. Masalah tersebut adalah dengan terjadinya instabilitas pemerintahan, karena cenderung akan terjadi konflik antara lembaga perwakilan dan Presiden. Instabilitas pemerintahan tersebut disebabkan oleh sistem

presidensial yang menerapkan “winner takes all” yang berarti eksekutif

pemenang pemilu Presiden akan sepenuhnya memegang kendali

kebijakan dan tentunya terdapat “bargaining politics” terhadap partai

yang pernah mendukung Presiden tersebut.

Dalam sistem pemerintahan presidensial multi partai, stabilitas demokrasi dan pemerintahan bukan menjadi isu utama namun justru bagaimana membagi-bagikan kekuasaan kepada partai yang telah mendukung. Hal ini tentu berbeda pada sistem parlementer multi partai, karena parlemen memilih Perdana Menteri atas persetujuan partai yang berkoalisi dan tidak terbatas oleh waktu. Dengan kondisi tersebut, kestabilan pemerintahan akan terjaga yang disebabkan karena partai yang ada di parlemen bertanggung jawab terhadap kinerja pemerintahan eksekutif.

Scott Mainwaring menyatakan bahwa terdapat beberapa perbedaan mendasar mengenai sistem presidensial multi partai dan sistem parlementer multi partai serta efektiitasnya dalam mempertahankan stabilitas. Pertama, dalam sistem parlementer, partai yang ada membentuk pemerintahan dan menunjuk kabinet dan perdana menteri,

sedangkan dalam sistem presidensial tanggungjawab tersebut berada sepenuhnya pada Presiden yang kemudian Presiden dituntut untuk mengakomodir berbagai kepentingan dari parta-partai yang mendukungnya dan di lain pihak partai-partai tersebut tidak bertanggungjawab terhadap kinerja pemerintahan. Kedua, dalam sistem parlementer, individu atau anggota perwakilan rakyat harus mendukung dan mengakomodasi eksekutif dalam segala kebijakan, kecuali partai tersebut menarik dukungannya, sedangkan dalam sistem presidensial tidak seperti sistem parlementer. Ketiga, hal yang paling nyata membedakan antara sistem parlementer dan presidensial adalah bahwa pada sistem parlementer masalah tanggung jawab partai untuk mendukung eksekutif dalam setiap kebijakan, koalisi partai biasanya terjadi setelah pemilihan dan mereka terikat dalam suatu komitmen untuk mendukung pemerintahan. Adapun dalam sistem presidensial koalisi pemerintahan terjadi setelah pemilihan dan mereka tidak terikat untuk beratanggung jawab terhadap kinerja pemerintahan setelah pemilihan umum.13

13

(8)

52

Ada beberapa alasan mengapa sistem presidensial multi partai kurang berhasil di dalam menciptakan pemerintahan yang efektif dan stabil dibandingkan dengan sistem presidensial yang dikombinasikan dengan sistem dua partai:14 Pertama, karena pemilihan presiden dan parlemen diselenggarakan secara terpisah maka kemungkinan Presiden yang terpilih adalah presiden yang tidak mendapatkan dukungan mayoritas di parlemen. Kedua, personal Presiden yang tidak didukung oleh parlemen. Ketiga, di dalam sistem presidensial multi partai membangun koalisi partai politik untuk memenangkan pemilu adalah hal yang sangat wajar dan umum terjadi. Koalisi partai politik terjadi karena untuk mendapatkan dukungan mayoritas dari parlemen merupakan sesuatu yang sangat sulit. Namun masalahnya adalah koalisi yang dibangun di dalam sistem presidensial tidak bersifat mengikat dan permanen.

Dari penjelasan-penjelasan di atas, maka sistem multi partai kurang sesuai dengan sistem presidensial, bahkan cenderung menyebabkan ketidakefektifan pelaksanaan kewenangan Presiden. Karenanya, untuk menguatkan sistem pemerintahan presidensial di Indonesia, perlu dilakukan penyederhanaan terhadap jumlah partai politik. Namun penyederhanaan tersebut harus dilakukan dengan cara-cara yang tidak melanggar hak warga negara untuk berserikat dan mendirikan partai politik. Artinya bahwa penyederhanaan partai politik harus dilakukan secara alamiah, sehingga tidak melanggar hak warga negara dan di sisi yang lain dapat menjamin efektivitas penyelenggaraan pemerintahan. Cara-cara tersebut adalah sebagai berikut:

a. Penerapan parliamenta ry threshold yang tinggi

Parliamentary threshold merupakan ketentuan batas minimal yang harus dipenuhi partai politik (parpol) untuk bisa menempatkan calon legislatifnya di parlemen. Ketentuan mengenai Parliamentary threshold secara alamiah akan membatasi jumlah partai politik di parlemen. Dengan adanya Pa rliamentary threshold yang tinggi, maka secara otomatis, Fraksi di lembaga perwakilan juga sangat sedikit, sehingga akan memudahkan pengambilan keputusan. Semakin sedikit jumlah Fraksi di lembaga perwakilan, maka akan semakin memudahkan Presiden di dalam menjalankan pemerintahan.

Memang di sisi yang lain, Parliamentary threshold tersebut akan menyebabkan banyak suara partai politik yang hangus, karena tidak mencapai ambang batas dan berpotensi untuk melanggar hak warga negara untuk berserikat sebagaimana diatur di dalam Pasal 28 UUD NRI Tahun 1945. Namun demikian, hak tersebut dapat dibatasi oleh ketentuan UU sebagaimana diatur dalam Pasal 28J UUD NRI Tahun 1945. Selain itu, dengan adanya Pa rliamentary threshold, maka akan

14

(9)

53

tercipta polarisasi sederhana di lembaga perwakilan, sehingga akan muncul efektivitas pemerintahan yang dijalankan oleh Presiden.

b. Penerapan presidential threshold yang tinggi

Presidential threshold merupakan ketentuan batas minimal bagi partai politik atau gabungan partai politik untuk mengajukan calon Presiden dan Wakil Presiden. Ketentuan mengenai presidential threshold, secara alami akan membuat partai politik yang ada di lembaga perwakilan untuk berkoaliasi dengan partai politik yang lain. Dengan adanya koalisi yang kuat di parlemen, maka akan menyebabkan polarisasi parlemen yang semakin sederhana, yakni ada partai pemerintah dan opisisi. Hal tersebut sesuai dengan prinsip

“winner takes all”, dimana partai politik atau gabungan partai politik

yang calonnya terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden akan menjadi partai pemerintah, sedangkan partai politik atau gabungan partai politik yang calonnya tidak terpilih menjadi partai oposisi. Dengan kondisi tersebut, maka Presiden dapat menjalankan kewenangannya dengan cepat, karena pengambilan kebijakannya hanya melibatkan 2 pihak di parlemen.

Walaupun pada tahun 2019 akan diadakan Pemilu serantak, maka ketentuan mengenai presidential threshold masih sangat relevan untuk dipertahankan, sebagai upaya untuk menyederhanakan proses pengambilan kebijakan. Hal tersebut juga tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 sebagaimana ditentukan dalam Putusan MK No. Nomor 14/PUU-XI/2013. Ratio Decidendi Putusan MK No. Nomor 14/PUU-XI/2013 menentukan bahwa: “Adapun mengenai pengujian konstitusionalitas Pasal 9 UU 42/2008, Mahkamah mempertimbangkan bahwa dengan penyelenggaraan Pilpres dan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan dalam pemilihan umum secara serentak maka ketentuan pa sal persya ratan perolehan suara pa rtai politik sebagai syarat untuk mengajukan pa sangan calon presiden dan wakil presiden merupa kan kewenangan pembentuk Undang-Undang dengan tetap mendasarkan pada ketentuan UUD 1945”.

3. Pemilu Serentak

(10)

54

kebijakan publik. Pasal 22E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menentukan bahwa pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Lebih lanjut berdasarkan Pasal 22E ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 ditentukan bahwa Pemilu tersebut dilaksanakan untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Dalam praktek ketatanegaraan, Pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD selalu dilakukan terlebih dahulu daripada pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

Dalam putusan MK No. Nomor 14/PUU-XI/2013 dinyatakan bahwa Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Dengan dasar tersebut, maka pada tahun 2019 akan diadakan Pemilu serentak untuk Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Pemilu serentak tersebut akan memungkinkan Presiden yang terpilih adalah presiden yang mendapatkan dukungan mayoritas di lembaga perwakilan. Dengan adanya dukungan mayoritas tersebut, maka akan meningkatkan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan oleh Presiden. Segala kebijakan yang dibuat oleh Presiden akan mudah mendapatkan persetujuan lembaga perwakilan. Karenanya, Pemilu serentak tersebut dapat menguatkan sistem presidensial dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

Pemilu serentak perlu didukung oleh sistem partai politik sederhana, sehingga menghasilkan kepemimpinan yang akuntabel dan berkualitas serta kompatibel di dalam menjalankan pemerintahan. Presiden yang didukung oleh rakyat dalam pemilu serentak dan soliditas anggota parlemen di DPR sebagai mitra koalisi pemerintahan akan berimplikasi kepada pelaksanaan pemerintahan yang efektif dan efisien.

Pada tulisan ini, penulis menyarankan beberapa hal, diantaranya dalam rangka penguatan sistem presidensial dan untuk menciptakan penyelenggaraan pemerintahan yang efektif, MPR sebagai lembaga yang berwenang untuk mengubah UUD NRI Tahun 1945 sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, perlu untuk melakukan perubahan UUD NRI Tahun 1945 yang terkait dengan:

1. Penghapusan kewenangan Presiden dalam bidang legilasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 UUD NRI Tahun 1945, sehingga pemisahan kekuasaan dilaksanakan secara tegas dengan tujuan untuk mewujudkan

checks and balances.

(11)

55

3. UUD harus mengatur mengenai pembatasan jumlah partai politik, sehingga muncul efektivitas penyelenggaraan pemerintahan.

KESIMPULAN

Perubahan UUD NRI Tahun 1945 berkehendak untuk menciptakan sistem presidensial yang kuat. Karenanya, di dalam perubahan UUD NRI Tahun 1945 dilakukan purifikasi sebagai dasar penguatan sistem presidensial. Namun demikian, purifikasi yang dilakukan tidak menyeluruh, sehiningga tidak menyebabkan penguatan sepenuhnya atas sistem presidensial itu sendiri, sehingga tidak jarang praktek ketatanegaraan tidak dapat berjalan secara efektif dan efisien. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa hal, diantaranya Presiden mempunyai kewenangan legislasi yang begitu besar dan Indonesia memakai sistem multi partai, sehingga tidak jarang Presiden disandera oleh kepentingan partai politik di lembaga perwakilan. Untuk itu, maka perlu dilakukan perubahan sistem ketetanegaraan sebagai upaya untuk menciptakan sistem presidensial yang kuat dan murni. Perubahan-perubahan tersebut adalah perubahan atas kewenangan legislasi Presiden dan penguatan fungsi legislasi DPD; penyederhanaan partai politik melalui penerapan

(12)

56

DAFTAR BACAAN

Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945 dengan Delapan Negara Maju, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009.

Jimly Asshiddiqie, Pengantar Hukum Tata Nega ra Jilid II, Cetakan kesatu, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, 2006.

Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolida si Lembaga Negara Pa sca Reformasi, Jakarta: Sekertariat Jendral Mahkamah Konstitusi, 2006. Jimly Asshidiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca

Reformasi, Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2007.

Jimly Asshiddiqie, Penganta r Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009

Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010.

Scott Mainwaring, Presidentialism, Multiparty Sistems, and Democracy: The Difficult Equation, Working Paper, Kellog Institute Notere Dame University, 1990.

Tentang Penulis:

(13)

Referensi

Dokumen terkait

Tanaman Sutra Bombay poliploid memiliki jumlah kromosom 2n=4x=36, panjang dan lebar stomata yang lebih tinggi, kerapatan stomata yang lebih rendah, serta morfologi yang lebih besar

boulardii, menghasilkan tempe dengan aroma harum-manis yang menutupi aroma kedelai pada umumnya karena yeast mempunyai aktivitas proteolitik dan lipolitik yang sangat

Tujuan penulisan skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat kelulusan untuk dapat menyelesaikan proses pembelajaran dalam jenjang Strata I pada Program Studi Manajemen di

Microsoft Visual Basic 6.0 merupakan bahasa pemrograman visual yang digunakan secara umum untuk membuat program aplikasi yang bekerja... menggunakan Operating System (OS)

Dengan demikian, apa yang dimaksud dengan imaji tentang “Indonesia” sebagai sebuah makna dalam kedua teks edisi khusus kebangkitan nasional majalah TEMPO dan

Berdasarkan dari hasi penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa hubungan motivasi terhadap penggunaan situs Islami di SMA Al Muayyad tahun ajaran 2011-2013

Berangkat dari latar belakang yang telah peneliti tuliskan, peneliti ingin membuat sebuah rancangan produksi film dokumenter mengenai seluk beluk kegiatan sabung

Pada Gambar sinyal yang berwarna hijau, menujukkan bahwa 2x(n) mengalami penguatan atau pengalian amplitudo sinyal x[n], hal ini mebuktikab bahwa sinyal x[n] mengalami