• Tidak ada hasil yang ditemukan

TUGAS INDIVIDU FORENSIK id. doc

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "TUGAS INDIVIDU FORENSIK id. doc"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

TUGAS INDIVIDU

“AUDIT FORENSIK DAN PENELUSURAN ASET MELALUI INFORMASI PENYEMBUNYIAN DAN/ATAU PENGKONVERSIAN ASET”

Tugas Untuk Perbaikan Nilai Pemeriksaan Akuntansi Forensik

DISUSUN OLEH:

SELLIH SAPITRI (123130038)

MAGISTER AKUNTANSI UNIVERSITAS TRISAKTI

(2)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penelusuran aset pada umumnya berkaitan dengan pengembalian kembali aset yang dimiliki oleh suatu negara/organisasi atau suatu entitas yang diambil oleh pihak lain dengan cara melawan hukum seperti perbuatan tindak pidana korupsi dan atau tindak pidana pencucian uang. Aset yang diambil secara melawan hukum tersebut oleh pelaku disembunyikan sedemikian rupa misalnya dibelikan ke aset tetap seperti bangunan, tanah, kendaraan, atau disimpan dalam bentuk sertifikat deposito, diinvestasikan dalam surat berharga saham, obligasi atau cara lain yang dilakukan pelaku untuk dapat mengaburkan asal usul aset tersebut. Tujuan penelusuran aset adalah untuk mengetahui keberadaan dan jenis aset yang disembunyikan dari hasil tindak pidana, yang akan digunakan untuk penggantian kerugian negara. Penelusuran aset dilakukan oleh penegak hukum dan dapat dibantu oleh auditor forensik pada kegiatan berikut ini:

1. Pada saat penyelidik melakukan penyelidikan atas suatu perkara tindak pidana korupsi dan atau tindak pidana pencucian uang. Dalam hal ini auditor porensik dapat membantu penyelidik dengan pendekatan audit investigatif untuk memperoleh bukti-bukti yang kompeten, relevan dan cukup melalui keahlian di bidang akuntansi.

2. Pada saat penyidik melakukan penyidikan atas suatu perkara tindak pidana korupsi dan atau tindak pidana pencucian uang. Dalam hal ini auditor forensik dengan keahlian di bidang akuntansi dan auditing yang dimilikinya, dapat membantu penyidik dengan pendekatan teknik penghitungan kerugian keuangan Negara.

(3)

dapat membantu kejaksaaan (eksekutor) melalui analisis transaksi keuangan, transaksi aset lainnya yang berkaitan dengan harta kekayaan yang diperoleh terpidana secara melawan hukum, sehingga dapat diblokir/ditahan dan kemudian disita untuk memulihkan kerugian keuangan negara.

Penyelidik/penyidik dalam menelusuri aset/harta dibantu auditor forensik dengan cara mengumpulkan dan mengevaluasi bukti-bukti transaksi keuangan dan non keuangan yang berkaitan dengan aset hasil perbuatan tindak pidana korupsi dan atau tindak pidana pencucian uang yang disembunyikan oleh pelaku untuk dapat diidentifikasikan, dihitung jumlahnya, dan selanjutnya agar dapat dilakukan pemblokiran/pembekuan dan penyitaan untuk pemulihan kerugian akibat perbuatan pelaku tindak pidana korupsi dan atau tindak pidana pencucian uang tersebut”.

Biarpun penyelidik/penyidik berhasil menelusuri aset tersebut, namun tidak berarti bahwa kerugian negara dapat segera dipulihkan. Hal ini sangat tergantung dari keberadaan aset/harta yang disembunyikan, kalau harta yang disembunyikan berada di Indonesia masih perlu ada proses hukum seperti pembuktian mengenai hak kepemilikan atas aset tersebut. Kalau hartanya berada di luar Indonesia, masalahnya menjadi lebih kompleks, karena menyangkut masalah hukum (perundang-undangan) di negara yang bersangkutan, masalah perjanjian timbal balik atau traktat yang ada antar negara yang berkaitan.

(4)

Aset hasil tindak pidana korupsi yang diambil oleh para koruptor banyak yang dilarikan serta disembunyikan di luar negeri. Hasil korupsi disembunyikan di rekening bank di luar negeri melalui mekanisme pencucian uang sehingga upaya dalam melacak serta mengembalikan aset tersebut menjadi sulit. Tidak jarang teknik pencucian uang ini disempurnakan oleh akuntan, pengacara, dan bankir yang disewa oleh koruptor.

Dalam melakukan proses pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi ini, negara-negara di dunia saling melakukan kerja sama internasional dalam rangka mempermudah proses pengembalian aset ini. Tetapi dalam pelaksanaanya terdapat kendala-kendala yang disebabkan antara lain: sistem hukum yang berbeda, sistem perbankan dan finansial yang ketat dari negara di mana aset berada, praktek dalam menjalankan hukum, dan perlawanan dari pihak yang hendak diambil asetnya oleh pemerintah.

B. Permasalahan

Aset para koruptor yang didapat dari hasil tindak pidana banyak disembunyikan baik di bank-bank lokal maupun bank luar negeri dan asset tersebut juga dikoversi menjadi barang seperti dibelikan rumah, tanah, mobil dan lain-lain. Penelusuran asset dilakukan karena adanya pelanggaran hukum yang dilakukan pelaku dan telah menyebabkan kerugian Negara. Kerugian Negara harus dipulihkan atau dengan kata lain, asset-aset yang didapat pelaku dengan cara melanggar hukum tersebut harus dikembalikan ke pihak-pihak yang dirugikan dan/atau dikembalikan ke Negara. Oleh karena itu, dalam makalah ini mengulas bagaimana melakukan audit forensik dan penelusuran asset melalui informasi penyembunyian dan/atau pengkonversian asset.

II. PEMBAHASAN

(5)

Menurut UU NO.31/1999 jo UU No.20/2001 pasal 2 dan 3 menyebutkan bahwa pengertian korupsi mencakup perbuatan:

1. Melawan hukum, memperkaya diri orang/badan lain yang merugikan keuangan /perekonomian negara (pasal 2)

2. Menyalahgunakan kewenangan karena jabatan/kedudukan yang dapat merugikan

keuangan/kedudukan yang dapat merugikan keuangan/perekonomian negara (pasal 3

Pemberantasan korupsi tidak hanya terletak pada upaya pencegahan maupun pemidanaan para koruptor saja, tetapi juga meliputi tindakan yang dapat mengembalikan kerugian keuangan negara akibat dari kejahatan extraordinary tersebut. Kegagalan pengembalian aset hasil korupsi dapat mengurangi makna penghukuman terhadap para koruptor. Upaya pengembalian aset negara yang dicuri (stolen asset recovery) melalui tindak pidana korupsi (tipikor) cenderung tidak mudah untuk dilakukan. Para pelaku tipikor memiliki akses yang luar biasa luas dan sulit dijangkau dalam menyembunyikan maupun melakukan pencucian uang (money laundering) hasil tindak pidana korupsinya.

Permasalahan menjadi semakin sulit untuk upaya recovery dikarenakan tempat penyembunyian (safe haven) hasil kejahatan tersebut yang melampaui lintas batas wilayah negara dimana tindak pidana korupsi itu sendiri dilakukan. Dalam menentukan dasar hukum penyitaan, United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) menentukan agar negara-negara peserta harus membuat ketentuan untuk pelaksanaan penyitaan terhadap harta kekayaan dari pelanggaran konvensi. Indonesia sebagai negara yang telah menandatangani UNCAC berkewajiban untuk melaksanakan prinsip-prinsip dasar konvensi yaitu:

(6)

2. Perlunya melibatkan masyarakat; 3. Pentingnya kerjasama internasional.

Perjuangan menentang “penyakit” korupsi secara global berujung dengan terbentuknya konvensi-konvensi PBB. Pasal 2 huruf (a) United Nation Convention Against Transnational Crime (UNCATC) Tahun 2000 memasukkan tipikor sebagai salah

satu kejahatan lintas batas yang dilakukan oleh organized criminal group. Kesadaran tersebut kemudian dilanjutkan dengan terbentuknya United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) Tahun 2003 yang menyatakan bahwa korupsi tidak lagi merupakan masalah lokal di suatu negara tetapi juga dapat mempengaruhi perekomian global sehingga diperlukan kerjasama internasional untuk “mengatasinya”.

UNCAC telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No. 7 Tahun 2006. UNCAC juga memberikan peluang untuk memudahkan pengembalian aset curian yang dihalangi ketentuan kerahasian\bank, dengan syarat; negara tempat aset itu disimpan meratifikasi UNCAC. Pasa l 40 UNCAC menyatakan bahwa setiap negara pihak wajib memastikan terdapatnya mekanisme yang layak dalam sistem hukum nasionalnya untuk mengatasi halangan-halangan yang mungkin timbul dari UU kerahasian bank atas penyidikan terhadap kasus-kasus pidana yang ditentukan dalam UNCAC tersebut. Dalam hal upaya pembekuan, penyitaan dan perampasan asset negara yang dicuri melalui tipikor yang ditentukan Pasal 31 UNCAC (juga pasal-pasal lainnya) sesungguhnya hanyalah ketentuan pasif yang tidak dapat memaksa negara-negara safe haven untuk bekerjasama mengembalikan asset korupsi yang tersimpan di negaranya.

(7)

Kendala kerjasama dan belum diratifikasinya UNCAC oleh banyak negara-negara besar menjadi penghambat utama dalam mengembalikan aset-aset curian dari tipikor. Aset kekayaan yang dicuri tersebut sangat membantu pembangunan negara-negara dunia berkembang dan miskin. Berdasarkan pentingnya upaya pengembalian asset tersebut bagi negara berkembang, maka perlu diketahui sejauhmana peran dari konvensi PBB dan program inisiatif seperti StAR itu sendiri bagi pengembalian aset curian tipikor.

B. Audit Forensik

1. Pengertian Audit Forensik

Audit Forensik terdiri dari dua kata, yaitu audit dan forensik. Audit adalah tindakan untuk membandingkan kesesuaian antara kondisi dan kriteria. Sementara forensik adalah segala hal yang bisa diperdebatkan di muka hukum / pengadilan. Menurut D. Larry Crumbley, editor-in-chief dari Journal of Forensic Accounting (JFA) “Akuntansi forensik adalah akuntansi yang akurat (cocok) untuk tujuan hukum. Artinya, akuntansi yang dapat bertahan dalam kancah perseteruan selama proses pengadilan, atau dalam proses peninjauan judicial atau administratif”. Dengan demikian, Audit Forensik bisa didefinisikan sebagai tindakan menganalisa dan membandingkan antara kondisi di lapangan dengan criteria, untuk menghasilkan informasi atau bukti kuantitatif yang bisa digunakan di muka pengadilan.

(8)

reaktif. Proaktif artinya audit forensik digunakan untuk mendeteksi kemungkinan-kemungkinan risiko terjadinya fraud atau kecurangan. Sementara itu, reaktif artinya audit akan dilakukan ketika ada indikasi (bukti) awal terjadinya fraud. Audit tersebut akan menghasilkan “red flag” atau sinyal atas ketidakberesan. Dalam hal ini, audit forensik yang lebih mendalam dan investigatif akan dilakukan.

Perbedaan yang paling teknis antara Audit Forensik dan Audit Tradisional adalah pada masalah metodologi. Dalam Audit Tradisional, mungkin dikenal ada beberapa teknik audit yang digunakan. Teknik-teknik tersebut antara lain adalah prosedur analitis, analisa dokumen, observasi fisik, konfirmasi, review, dan sebagainya. Namun, dalam Audit Forensik, teknik yang digunakan sangatlah kompleks. Teknik-teknik yang digunakan dalam audit forensik sudah menjurus secara spesifik untuk menemukan adanya fraud. Teknik-teknik tersebut banyak yang bersifat mendeteksi fraud secara lebih mendalam dan bahkan hingga ke level mencari tahu siapa pelaku fraud. Oleh karena itu jangan heran bila teknik audit forensik mirip teknik yang digunakan detektif untuk menemukan pelaku tindak kriminal. Teknik-teknik yang digunakan antara lain adalah metode kekayaan bersih, penelusuran jejak uang / aset, deteksi pencucian uang, analisa tanda tangan, analisa kamera tersembunyi (surveillance), wawancara mendalam, digital forensic, dan sebagainya.

2. Tujuan Audit Forensik

(9)

relatif cepat, agar dapat diperhitungkan perkiraan potensi dampak yang ditimbulkan akibat perilaku jahat yang dilakukan oleh kriminal terhadap korbannya, sekaligus mengungkapkan alasan dan motivitasi tindakan tersebut sambil mencari pihak-pihak terkait yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dengan perbuatan tidak menyenangkan dimaksud.

Teknik-teknik yang digunakan dalam audit forensik sudah menjurus secara spesifik untuk menemukan adanya fraud. Teknik-teknik tersebut banyak yang bersifat mendeteksi fraud secara lebih mendalam dan bahkan hingga ke level mencari tahu siapa pelaku fraud. Oleh karena itu jangan heran bila teknik audit forensik mirip teknik yang digunakan detektif untuk menemukan pelaku tindak kriminal. Teknik-teknik yang digunakan antara lain adalah metode kekayaan bersih, penelusuran jejak uang / aset, deteksi pencucian uang, analisa tanda tangan, analisa kamera tersembunyi (surveillance), wawancara mendalam, digital forensic, dan sebagainya.

3. Praktik Ilmu Audit Forensik

a. Penilaian Risiko Fraud

Penilaian risiko terjadinya fraud atau kecurangan adalah penggunaan ilmu audit forensik yang paling luas. Dalam praktiknya, hal ini juga digunakan dalam perusahaan-perusahaan swasta untuk menyusun sistem pengendalian intern yang memadai. Dengan dinilainya risiko terjadinya fraud, maka perusahaan untuk selanjutnya bisa menyusun sistem yang bisa menutup celah-celah yang memungkinkan terjadinya fraud tersebut.

(10)

Dalam hal ini, audit forensik digunakan untuk mendeteksi dan membuktikan adanya fraud dan mendeteksi pelakunya. Dengan demikian, pelaku bisa ditindak secara hukum yang berlaku. Jenis-jenis fraud yang biasanya ditangani adalah korupsi, pencucian uang, penghindaran pajak, illegal logging, dan sebagainya.

c. Deteksi kerugian keuangan

Audit forensik juga bisa digunakan untuk mendeteksi dan menghitung kerugian keuangan negara yang disebabkan tindakan fraud.

d. Kesaksian ahli (Litigation Support)

Seorang auditor forensik bisa menjadi saksi ahli di pengadilan. Auditor Forensik yang berperan sebagai saksi ahli bertugas memaparkan temuan-temuannya terkait kasus yang dihadapi. Tentunya hal ini dilakukan setelah auditor menganalisa kasus dan data-data pendukung untuk bisa memberikan penjelasan di muka pengadilan.

e. Uji Tuntas (Due diligence)

Uji tuntas atau Due diligence adalah istilah yang digunakan untuk penyelidikan guna penilaian kinerja perusahaan atau seseorang , ataupun kinerja dari suatu kegiatan guna memenuhi standar baku yang ditetapkan. Uji tuntas ini biasanya digunakan untuk menilai kepatuhan terhadap hukum atau peraturan.

(11)

(Certified Fraud Examiners). Sebab, hingga saat ini belum ada sertifikat legal untuk audit forensik dalam lingkungan publik. Oleh karena itu, ilmu audit forensik dalam penerapannya di Indonesia hanya digunakan untuk deteksi dan investigasi fraud, deteksi kerugian keuangan, serta untuk menjadi saksi ahli di pengadilan. Sementara itu, penggunaan ilmu audit forensik dalam mendeteksi risiko fraud dan uji tuntas dalam perusahaan swasta, belum dipraktikan di Indonesia.

Penggunaan audit forensik oleh BPK maupun KPK ini ternyata terbukti memberi hasil yang luar biasa positif. Terbukti banyaknya kasus korupsi yang terungkap oleh BPK maupun KPK. Tentunya kita masih ingat kasus BLBI yang diungkap BPK. BPK mampu mengungkap penyimpangan BLBI sebesar Rp84,8 Trilyun atau 59% dari total BLBI sebesar Rp144,5 Trilyun. Temuan tersebut berimbas pada diadilinya beberapa mantan petinggi bank swasta nasional. Selain itu juga ada audit investigatif dan forensik terhadap Bail out Bank Century yang dilakukan BPK meskipun memberikan hasil yang kurang maksimal karena faktor politis yang sedemikian kental dalam kasus tersebut.

C. Penelusuran Aset

(12)

pemblokiran/pembekuan dan penyitaan untuk pemulihan kerugian akibat perbuatan pelaku TPK dan atau tindak pidana pencucian uang tersebut.

Sedangkan menurut BPKP dalam Modul Audit Forensik (2007) yang dimaksud dengan penelusuran aset adalah merupakan suatu teknik yang digunakan oleh seorang investigator/auditor forensik dengan mengumpulkan dan mengevaluasi bukti-bukti transaksi keuangan dan non keuangan yang berkaitan dengan aset hasil perbuatan tindak pidana korupsi dan atau tindak pidana pencucian uang yang disembunyikan oleh pelaku untuk dapat diidentifikasikan, dihitung jumlahnya, dan selanjutnya agar dapat dilakukan pemblokiran/pembekuan dan penyitaan untuk pemulihan kerugian akibat perbuatan pelaku tindak pidana korupsi dan atau tindak pidana pencucian uang tersebut.

(13)

pidana umumnya hanya dapat dilaksanakan jika pelaku kejahatan oleh pengadilan telah dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana.

Kegiatan Pelacakan Aset adalah serangkaian kegiatan yang meliputi Penelaahan Data Awal, Penyusunan Rencana Kegiatan,Pengumpulan Informasi, Analisis dan Verifikasi, Pemeriksaan Fisik serta Penilaian Aset dalam rangka mendapatkan data aset yang dimiliki oleh Tersangka, Terdakwa, Terpidana dan pihak terkait.

Dalam rangka pengembalian kerugian negara kegiatan penelusuran aset ini adalah salah satu tahap kegiatan yang sangat penting untuk mendapatkan pembuktian ada atau tidaknya tindak pidana pencucian uang terkait dengan tindak pidana asa

Selain untuk membuktikan ada atau tidaknya tindak pidana pencucian uang, penelusuran aset dalam kegiatan penyidikan berfungsi sebagai berikut:

 Mendukung pembuktian unsur-unsur pasal yang dipersangkakan seperti unsur “memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu kooperasi“ dan unsur “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”;

 Mengamankan aset tersangka sedini mungkin dalam proses penyidikan untuk kepentingan pembayaran uang pengganti atau denda, dalam rangka pengembalian kerugian negara yang diakibatkan oleh terjadinya tindak pidana asal atau TPPU;

 Memperkuat keyakinan hakim terhadap pemenuhan unsur, perbuatan tersangka dan akibat yang ditimbulkan dalam rangka pengambilan putusan hukum;

 Mendukung pengembangan perkara dan pengungkapan tindak pidana asal dan TPPU lainnya.

Kegiatan pelacakan aset meliputi beberapa tahap, yaitu:

(14)

2. Penyusunan Rencana Kegiatan: adalah rancangan kegiatan pelacakan aset yang disusun sebelum melakukan kegiatan pelacakan aset.

3. Pengumpulan Informasi: adalah kegiatan atau cara mencari, mengumpulkan, mendapatkan informasi dari sumber internal maupun eksternal. Pengumpulan informasi terdiri dari empat jenis yaitu:

a. Permintaan Data Resmi adalah upaya untuk mendapatkan data atau informasi dari instansi pemerintah dan pihak swasta;

b. Pengumpulan data atau informasi yang dilakukan secara mandiri yaitu upaya pencarian atau pengumpulan data dari berbagai sumber;

c. Penggeledahan, yaitu adalah tindakan Penyidik untuk memasuki rumah tinggal dan tempat tertutup lainnya untuk melakukan tindakanpemeriksaan dan/ataupenyitaan dan/atau penangkapan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang no 8 Tahun 1981 tentang KUHAP;

d. Pengumpulan informasi lainnya.

4. Analisis dan Verifikasi: adalah serangkaian kegiatan meliputi pemeriksaan, pengecekan, pengklasifikasian, dan pemilihan informasi untuk mendapatkan data yang valid dan relevan;

5. Pemeriksaan Fisik: adalah kegiatan mengidentifikasikan secara visual terhadap aset yang dilacak untuk memastikan keberadaan dan/atau penguasaan aset;

6. Penilaian Aset: adalah kegiatan menentukan, memperkirakan nilai ekonomis suatu aset berdasarkan nilai jual, harga pasar, nilai jual objek pajak atau kombinasinya.

(15)

Penelusuran Aset dilakukan karena adanya tindak pidana korupsi atau pencucian uang yang mengakibatkan adanya kerugian Negara. Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara, memberikan definisi tentang kerugian negara/ daerah yaitu dalam Pasal 1 ayat (22) Undang-undang ini berbunyi: Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. Sedangkan pengertian kerugian negara (BPK RI:1983) adalah berkurangnnya kekayaan negara yang disebabkan oleh sesuatu tindakan melanggar hukum/ kelalaian seseorang dan/atau disebabkan suatu keadaan di luar dugaan dan di luar kemampuan manusia (force majeure).

Kerugian Keuangan Negara menurut Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terdapat dalam pasal 2-3 sebagai berikut:

Pasal 2

1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidanakan dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

(16)

tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Dalam keadaan tertentu, kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan atau perekonomian negara” menunjukan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu ada tidaknya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.

Pasal 2 ayat (2) yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi, yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan penanggulangan tindak pidana korupsi.

Pasal 3

Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1(satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Undang-undang memberikan penjelasan sebagai berikut:.

(17)

2. Pemulihan Kerugian Negara

Tuanakotta dalam bukunya Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif (2007) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan pemulihan kerugian adalah merupakan proses untuk mengubah aset yang sudah ditemukan lewat penelusuran aset, menjadi aset untuk diserahkan kepada pihak yang dimenangkan dalam penyelesaian sengketa. Proses ini bisa terjadi di dalam maupun di luar negeri, antara lain meliputi penyelidikan atas bukti-bukti mengenai kepemilikan harta, pembekuan atau pemblokiran rekening di perbankan dan lembaga keuangan lainnya serta pemblokiran. Dengan demikian dapat disimpulkan apabila terjadi tindak pidana pencucian uang ataupun tindak pidana korupsi dalam hal ini yang dirugikan negara, maka pemulihan kerugian akan diserahkan kepada negara.

Banyak pihak yang sependapat bahwa Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (PPTPPU) lebih efektif untuk memulihkan keuangan negara dalam hal pengembalian aset (asset recovery), jika dibandingkan dengan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi (UU TIPIKOR). Alasannya karena UU PPTPPU menggunakan paradigma baru dalam penanganan tindak pidana, yaitu dengan pendekatan follow the money (menelusuri aliran uang) untuk mendeteksi TPPU dan tindak pidana lainnya. Dasar hukum pemulihan kerugian negara dari hasil penelusuran aset antara lain terdapat dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (PPTPPU) dan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU No.31 Tahun 1999 jo. UU No 20 Tahun 2001).

Dalam UU PPTPPU masalah pemulihan kerugian negara antara lain terdapat dalam pasal 3 dan 4 sebagai berikut:

(18)

Setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Pasal 4

Setiap orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(19)

transaksi tertentu kepada otoritas sebagai bahan analisis dan untuk selanjutnya disampaikan kepada penyidik. Berdasarkan data tersebut penyidik akan menindaklanjuti data tersebut secara hukum sampai dengan aset tersebut jelas nilainya dan keberadaannya yang pada akhirnya dapat digunakan untuk penggantian kerugian kepada yang berhak.

Sedangkan dasar hukum penggantian kerugian negara dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU No.31 Tahun 1999 jo. UU No 20 Tahun 2001) yang diuraikan dalam Pasal 17 dan Pasal 18 sebagai berikut:

Pasal 17

Selain dapat dijatuhi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14, terdakwa dapat dijatuhi pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18.

Pasal 18 ayat (1) huruf b

Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.

Maksud diterapkan pidana tambahan pembayaran uang pengganti adalah untuk mengembalikan kerugian uang negara yang dikorupsi oleh pelakunya, sehingga dengan demikian keuangan negara diharapkan dapat dipulihkan, diselamatkan atau dikembalikan nilainya seperti dalam keadaan semula.

Pasal 18 ayat (2)

(20)

maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.

Pasal 18 ayat (3)

Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksirnum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.

E. Audit Forensik dan Penelusuran Aset Melalui Informasi Penyembunyian dan/atau Pengkonversian Aset

Penelusuran aset adalah prosedur pelacakan aset atau dana untuk mencari asal usul maupun keberadaannya baik itu yang berada di dalam negeri maupun di luar negeri Penelusuran aset biasanya terjadi ketika ada kecurigaan atau tindakan penipuan, pencucian uang, dan penggelapan, dan lain-lain.

Penyembunyian aset oleh pelaku kejahatan tindak pidana korupsi dan atau tindak pidana pencucian uang, dapat menggunakan sarana perbankan yang mana uang hasil tindak pidana tersebut disembunyikan ke bank-bank lokal maupun bank luar negeri dan bisa juga uang dari hasil tindak pidana tersebut dikonversi dalam bentuk barang, jadi tersangka melakukan pembelian barang dagangan, membuka restaurant, usaha hiburan atau pembelian aset tetap lainnya seperti; mesin-mesin, kendaraan, bangunan, tanah dll.

Untuk mengetahui tempat persembunyian tersebut, pihak penegak hukum yang dibantu oleh auditor forensik akan dapat memperoleh informasi penyembunyian tersebut dari sumber-sumber berikut ini:

(21)

Laporan Transaksi Keuangan yang mencurigakan (Suspicius transaction report) dan transaksi keuangan tunai (Cash transaction report) yang dikirim Penyedia

Jasa Keuangan kepada PPATK. Laporan ini mencantumkan detail dari jumlah yang ditransfer, nama bank, dan nomor rekening bank pengirim (kalau transfer bukan berasal dari setoran tunai) dan penerima. Informasi ini bermanfaat untuk pembekuan rekening bank dan penelusuran lebih lanjut dari arus dana berikutnya.

2. Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK)

PPATK juga mempunyai jaringan kerjasama dengan lembaga serupa di luar negeri seperti Financial Inteligence Service (FIS) di Inggris, yang menjadi counterpart-nya maupun pihak interpol. Informasi dari dalam dan luar negeri dapat

digunakan untuk maksud penelusuran aset sesuai dengan peraturan perundang-undangan tindak pidana pencucian uang, misalnya oleh Tim Pemburu Koruptor. 3. Hasil Penelitian Akademisi dan LSM

Informasi lain adalah dari hasil penelitian dari orang-orang yang mengkhususkan diri dalam ”perburuan harta haram”,. Biasanya ada beberapa sumber dari LSM yang melakukaan wawancara terhadap mereka yang mengetahui pelanggaran yang telah terjadi, tetapi lebih suka identitas diri mereka tidak diungkapkan. Dengan kondisi semacam ini, mereka lebih bebas berbicara tanpa perlu khawatir dengan tuntutan pencemaran nama baik.

4. Persengketaan di Pengadilan

Informasi penyembunyian aset juga dapat diperoleh dari sangketa-sangketa yang sedang disidangkan di pengadilan baik dalam negeri mapun luar negeri. Sangketa bisa terjadi antara keluarga maupun antar perusahaan atau organisasi yang bisa diikuti, mungkin harta yang dipersengketakan diduga berasal dari tindakan pidana.

5. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

(22)

ke KPK. LHKPN dapat memberikan informasi kepada KPK tentang harta kakayaan dan KPK akan menelusuri harta kekayaan yang telah dilaporkan dan jika ditemukan kejanggalan makan akan dilakukan pemeriksaan dan penyedikan,

6. Kantor Pelayanan Informasi Untuk Publik

Di banyak negara dan macam-macam kantor pendaftaran (registrasi) yang informasinya terbuka untuk umum karena memang dimaksudkan untuk melindungi kepentingan umum. Contoh di Indonesia, Badan Pertanahan Nasional, Bapepam dan Bursa Efek merupakan sumber informasi mengenai perusahaan yang menjual surat berharga (efek-efek) di pasar modal. Kelemahannya adalah untuk pemegang saham yang tercatat di negara-negara yang disebut tax haven countries, tidak jelas siapa pemegang saham sesungguhnya. Departemen Perdagangan mempunyai Direktorat Bina Usaha dan Pendaftaran Perusahaan (Kantor Pendaftaran Perusahaan Tingkat Pusat) kemana laporan keuangan perusahaan yang diaudit (baik perusahaan tertutup maupun perusahaan TBK), dikirimkan. Ada kantor pengacara yang mengkatalog anggaran dasar perseroan terbatas yang sudah mendapat pengesahan Departemen Kehakiman. Kantor polisi yang mengelola pendaftaran kendaraan bermotor juga merupakan sumber informasi penting (apakah ada mobil mewah atas nama pejabat negara atau keluarganya).

7. Pembocoran informasi oleh orang dalam.

Alasannya bermacam-macam ,mulai dari kekecewaan atau sakit hati dengan partner dagangannya, sampai harapan untuk memperoleh keringanan hukum karena bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar suatu kasus. Dalam beberapa kasus,usia yang lanjut juga membawa dampak terhadap keinginan ” mengaku dosa”.

8. Kerjasama International

(23)

peradilan. Prasyarat perjanjian tsb tidak bersifat mutlak karena tanpa ada perjanjian itupun kerjasama penegakan hukum dapat dilaksanakan berlandaskan asas yang dikenal dan diakui oleh masyarakat internasional yang dikenal dengan asas resiprositas (timbal balik) .

Kerjasama penegakan hukum tersebut secara lengkap diatur dalam Konvensi PBB Anti Korupsi (UN Convention Against Corruption) tahun 2003 telah diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 7 tahun 2006 tentang Pengesahan UN Convention Against Corruption; dan Konvensi PBB Anti Kejahatan Transnasional Terorganisasi (UN Convention Against Transnational Organized Crime) tahun 2000, sudah ditandatangani Pemerintah Indonesia pada bulan Desember tahun 2000.

UN Model Treaty on Mutual Assistance in Criminal Matters (1990) menegaskan antara lain, dalam Pasal 1 angka 3, Ketentuan Pasal 2 Asean Treaty on Mutual Legal Assistance (2004) juga memuat ketentuan tsb sehingga secara a contrario, perjanjian ekstradisi juga tidak dapat memuat ketentuan mengenai pembekuan,penyitaan dan pengembalian aset.

UN Model (1990) tsb juga dilengkapi dengan Optional Protocol yang antara lain menegaskan kewajiban negara diminta (requested state) untuk memenuhi permintaan penelusuran, penetapan lokasi aset yang disembunyikan, melakukan penyidikan ransaksi keuangan dari pemilik aset dimaksud, dan melakukan upaya untuk memperoleh informasi atau bukti untuk “mengamankan” aset tersebut. Selain hal tersebut, optional protocol juga mewajibkan negara diminta untuk membolehkan putusan pengadilan di negara peminta (requesting state) dapat dilaksanakan di negara diminta untuk membekukan dan menyita aset hasil kejahatan dimaksud.

(24)

sehingga tidak semua Negara yang dapat di ajak kerja sama dalam pemberantasan tindak pidana, bahkan ada beberapa Negara yang membantu pelaku tindak pidana dalam menyembunyikan asset pelaku karena bagi Negara tersebut, asset pelaku dapat mereka gunakan untuk membangun Negara mereka. Contohnya, seperti antara Inonesia dengan Singapura yang tidak memiliki kerjasama extradisi dengan Singapura sehingga banyak koruptor Indonesia yang menyembunyikan harta kekayaanya di Singapura.

9. Lain-lain

a. Mengetahui kebiasaan etnik tertentu akan sangat membantu dalam penelusuran aset. Pada umumnya ,etnik perantau akan mengembalikan hasil jerih payah mereka ke kampung halaman. Hasil korupsi atau kejahatan lain yang menghasilkan uang dalam jumlah besar, akan dikonversikan dalam bentuk tanah-tanah yang serba luas, bangunan yang serba megah dan mewah, resort yang serba wah. Etnis lain membangun pabrik, bank, universitas, dan macam-macam proyek mercu suar ditanah leluhur. Ini adalah cara manusia menyatakan kepada masyarakat di kampung halamannya. Tingkah lakunya ini diamati penyidik dengan dugaan bahwa ia membenahi dokumen kepemilikan tanah.

(25)

disembunyikan, semua orang sudah mengetahuinya. Karena itu di negara maju, lembaga-lembaga seperti PPATK kita membuat kaitan antara uang hasil kejahatan dengan pembelian mobil, intan-berlian, tanah dan bangunan melalui teknik data mining.

c. Advertensi mengenai perusahaan-perusahaan dalam iklan kematian.

(26)

III. KESIMPULAN

A. KESIMPULAN

Penelusuran aset pada umumnya berkaitan dengan pengembalian kembali aset yang dimiliki oleh suatu negara/organisasi atau suatu entitas yang diambil oleh pihak lain dengan cara melawan hukum seperti perbuatan tindak pidana korupsi dan atau tindak pidana pencucian uang. Tujuan penelusuran aset adalah untuk mengetahui keberadaan dan jenis aset yang disembunyikan dan/atau yang telah dikonversi menjadi barang dari hasil tindak pidana, yang akan digunakan untuk penggantian kerugian negara.

Sumber informasi tentang penyembunyian dan/atau pengkonversian asset yang dilakukan tersangka didapat dari Penyedia Jasa Keuangan untuk mengetahui informasi secara detail transaksi keuangan pelaku fraud, Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) untuk menelusuri asset sampai dengan ke luar negeri, Hasil Penelitian Akademisi dan LSM, Persengketaan di Pengadilan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kantor Pelayanan Informasi Untuk Publik, Pembocoran Informasi Oleh Orang Dalam (Whistelblower), dan Dengan Kerjasama International untuk mendapatkan informasi mendetail tentang pelaku kecurangan yang menyembunyikan asset di LN dan melakukan kerjasama untuk menegakkan keadilan dengan cara penegakan dalam bidang hukum.

(27)

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU No.31 Tahun 1999 jo. UU No 20 Tahun 2001).

B. SARAN

1. Pemerintah harus mempunyai suatu politic will Negara dalam memerangi korupsi termasuk didalamnya political will parlemen yang terkesan menutupi menyembunyikan informasi tentang kasus korupsi jika tersangka yang melakukan tindakan korupsi mempunyai hubungan dengan parlemen, atau lembaganya dan yang terakhir adalah political will dari aparat penegak hukum yang merupakan pelaksana dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.

Referensi

Dokumen terkait

3. Melaksanakan monitoring tentang pernyataan sikap dari pedagang minuman keras;.. Implementasi Peraturan Daerah Nomor 14 tahun 2008 tentang Larangan Penjualan

Uveitis anterior kronis jarang terjadi dibandingkan dengan uveitis anterior akut dengan peradangan yang menetap, dalam waktu kurang dari 3 bulan, setelah

Jadi periode ayunan (T) adalah waktu yang diperlukan benda untuk melakukan satu Jadi periode ayunan (T) adalah waktu yang diperlukan benda untuk melakukan

Informasi dalam dokumen ini didasarkan pada pengetahuan terkini kami dan berlaku untuk produk yang berkaitan dengan tindakan pencegahan dan keselamatan. Itu tidak mewakili

Selain itu, saat ini pembekalan kompetensi fiskus dalam bidang tertentu, misalnya bidang industri pertambangan, otomotif, telekomunikasi, atau jenis industri lain tidak diimbangi

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa dari 50 sampel darah sapi bali yang sehat secara klinis yang dipotong di Rumah Potong Hewan Pesanggaran Denpasar diperoleh

Spesimen Aschersonia AY 10 memiliki stroma superfisial, berwarna oranye pada bagian tengah, memutih pada bagian tepi, dan kuning pada perbatasan antara tengah dan tepi,

Bila pemerintah ingin menaikkan daya beli masyarakat dengan menaikkan jumlah penghasilan tidak kena pajak (PTKP) maka pemerintah wajib juga mengontrol keadaan lainnya termasuk