BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Masalah kesehatan anak merupakan salah satu masalah utama dalam bidang
kesehatan yang saat ini terjadi di negara Indonesia. Derajat kesehatan anak
mencerminkan derajat kesehatan bangsa, sebab anak sebagai generasi penerus bangsa
memiliki kemampuan yang dapat dikembangkan dalam meneruskan pembangunan
bangsa. Berdasarkan alasan tersebut, masalah kesehatan anak diprioritaskan dalam
perencanaan atau penataan pembangunan bangsa.1
Anak terutama bayi baru lahir merupakan salah satu kelompok masyarakat yang
rentan dan perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah dan masyarakat karena
masih tingginya Angka Kematian Bayi (AKB). Angka kematian bayi menjadi
indikator pertama dalam menentukan derajat kesehatan anak karena merupakan
cerminan dari status kesehatan anak saat ini.1
Menurut “CIA World Factbook” AKB di dunia pada tahun 2012 sebesar 39 per
1.000 kelahiran hidup. Afganistan merupakan negara dengan tingkat AKB tertinggi
dibandingkan dengan 221 negara lainnya di dunia yaitu sebesar 121 per 1.000
kelahiran hidup. Negara dengan tingkat AKB terendah adalah Monaco yaitu sebesar 2
per 1.000 kelahiran hidup. Sementara Indonesia berada pada urutan ke-73 dengan
AKB sebesar 27 per 1.000 kelahiran hidup. Apabila dibandingkan dengan
negara-negara di kawasan Asia Tenggara (ASEAN), Indonesia menduduki peringkat ke-7
setelah Singapura (3 per 1.000 kelahiran hidup), Brunei Darussalam (8 per 1.000
kelahiran hidup), Filipina (19 per 1.000 kelahiran hidup), dan Vietnam (20 per
1.000).2
Hasil Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia tahun 2012 menunjukkan
adanya penurunan AKB dibandingkan dengan tahun 2007 yaitu sebesar 34 per 1.000
kelahiran hidup menjadi 32 per 1 000 kelahiran hidup. Angka tersebut masih jauh
dari target Millenium Development Goals (MDGs) pada tahun 2015 yaitu sebesar 23
per 1.000 kelahiran hidup. Provinsi Sumatera Utara merupakan salah satu provinsi
dengan laju AKB yang cukup tinggi. Berdasarkan SDKI tahun 2012, tercatat AKB di
Provinsi Sumatera Utara sebesar 40 per 1.000 kelahiran hidup menurun apabila
dibandingkan dengan tahun 2007 sebesar 46 per 1.000 kelahiran hidup. 3
Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) Sumatera Utara pada tahun 2008,
Kabupaten Mandailing Natal, Labuhan Batu, dan Asahan merupakan tiga daerah di
Provinsi Sumatera Utara dengan AKB tertinggi yaitu masing-masing sebesar 34,8 per
1.000 kelahiran hidup, 30,7 per 1.000 kelahiran hidup, dan 30,5 per 1.000 kelahiran
hidup.4
Tingginya angka kematian bayi di Indonesia disebabkan oleh berbagai faktor,
diantaranya adalah faktor penyakit infeksi dan kekurangan gizi. Beberapa penyakit
yang saat ini masih menjadi penyebab kematian terbesar dari bayi, diantaranya
penyakit diare, tetanus, gangguan perinatal, dan radang saluran napas bagian bawah.
Kematian pada bayi juga dapat disebabkan oleh adanya trauma persalinan dan
kelainan bawaan yang kemungkinan besar dapat disebabkan oleh rendahnya status
gizi ibu pada saat kehamilan serta kurangnya jangkauan pelayanan kesehatan dan
WHO (2010) memperkirakan bahwa sekitar 7% dari seluruh kematian bayi di
dunia disebabkan oleh kelainan kongenital. Di Eropa, sekitar 25% kematian neonatal
disebabkan oleh kelainan kongenital.5Di Asia Tenggara kejadian kelainan kongenital
mencapai 5% dari jumlah bayi yang lahir, sementara di Indonesia prevalansi kelainan
kongenital mencapai 5 per 1.000 kelahiran hidup.6 Riset Kesehatan Dasar tahun 2007
mencatat salah satu penyebab kematian bayi adalah kelainan kongenital pada usia 0-6
hari sebesar 1% dan pada usia 7-28 hari sebesar 19%. 3
Menurut Depkes RI, kelainan kongenital adalah kelainan yang terlihat pada saat
lahir, bukan akibat proses persalinan.7 Sekitar 3% bayi baru lahir mempunyai
kelainan bawaan (kongenital). Meskipun angka ini termasuk rendah, akan tetapi
kelainan ini dapat mengakibatkan angka kematian dan kesakitan yang tinggi. Angka
kejadian kelainan kongenital akan menjadi 4-5% bila bayi diikuti terus sampai
berumur 1 tahun.8,9
Penyakit Hirschsprung adalah salah satu kelainan kongenital berupa
aganglionik usus yaitu tidak dijumpainya sel-sel ganglion yang pada usus besar yang
dimulai dari sfingter ani internal ke arah proksimal dengan panjang yang bervariasi.
Penyakit Hirschsprung dapat pula dikatakan sebagai suatu kelainan kongenital
dimana tidak terdapat sel ganglion parasimpatik pada pleksus Auerbach di usus besar
(kolon). Keadaan abnormal tersebut dapat menimbulkan tidak adanya peristaltik dan
evakuasi usus secara spontan sehingga dapat menyebabkan dilatasi usus proksimal.10
Penyakit Hirschsprung pertama kali dilaporkan oleh Herald Hirschsprung pada
tahun 1886. Hirschsprung mengemukakan dua kasus obstipasi sejak lahir yang
penyakit Hirschsprung belum jelas diketahui. Penyebab sindrom tersebut dapat
diketahui dengan jelas setelah Robertson dan Kernohan (1938) serta Tiffin, Chandler,
dan Feber (1940) mengemukakan bahwa megakolon pada penyakit Hirschsprung
disebabkan oleh gangguan peristaltik usus dengan defisiensi ganglion usus pada usus
bagian distal. 11,12
Insidens penyakit Hirschsprung di dunia adalah 1 : 5.000 kelahiran hidup. Di
Amerika dan Afrika dilaporkan penyakit Hirschsprung terjadi pada satu kasus setiap
5.400-7.200 kelahiran hidup.11 Di Eropa Utara, insidens penyakit ini adalah 1,5 dari
10.000 kelahiran hidup sedangkan di Asia tercatat sebesar 2,8 per 10.000 kelahiran
hidup.13
Angka kematian untuk penyakit Hirschsprung berkisar antara 1-10%. Penelitian
Pini dkk. pada tahun 1993-2010 di Genoa, Italia mencatat ada 8 orang dari 313
penderita penyakit Hirschsprung yang meninggal (CFR= 2,56%).14 Penyakit
Hirschsprung yang tidak segera ditangani atau diobati dapat menyebabkan kematian
sebesar 80% yang terutama akibat terjadinya enterokolitis dan perforasi usus.
Penanganan penyakit Hirschsprung yang dilakukan lebih dini efektif menurunkan
kejadian enterokolitis menjadi 30%.15
Hasil penelitian Sarioqlu dkk. pada tahun 1976-1993 di Ankara, Turki
menunjukkan ada sebanyak 302 penderita penyakit Hirschsprung.16 Kartono mencatat
ada sekitar 40-60 pasien dengan penyakit Hirschsprung yang di rawat di RS Cipto
Mangunkusumo, Jakarta setiap tahunnya.11 Sementara di RS Dr. Sardjito Yogyakarta
oleh Rohadi dicatat rata-rata 50 pasien menderita penyakit Hirschsprung setiap
Irwan (2003) mencatat ada 163 kasus penyakit Hirschsprung dari enam provinsi
yang diteliti yaitu Sumatera Utara, Aceh, Riau, Sumatera Barat, Jambi dan Bengkulu
pada kurun waktu Januari 1997 sampai dengan Desember 2002 .18
Dari hasil survei pendahuluan di RSUP H. Adam Malik Medan, terdapat 110
bayi yang menderita penyakit Hirschsprung pada tahun 2010-2012. Rincian setiap
tahunnya yaitu pada tahun 2010 ada sebanyak 35 bayi, tahun 2011 sebanyak 25 bayi,
dan tahun 2012 sebanyak 50 bayi.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka perlu dilakukan
penelitian untuk mengetahui karakteristik bayi yang menderita penyakit Hirschsprung
di RSUP H. Adam Malik tahun 2010-2012.
1.2. Perumusan Masalah
Belum diketahuinya karakteristik bayi yang menderita penyakit Hirschsprung
di RSUP H. Adam Malik tahun 2010-2012.
1.3. Tujuan
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui karakteristik bayi yang menderita penyakit Hirschsprung di
1.3.2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui karakteristik bayi yang menderita penyakit Hirschsprung
menurut sosiodemografi meliputi umur, jenis kelamin, daerah asal, dan asal
rujukan.
b. Untuk mengetahui distribusi proporsi balita yang menderita penyakit
Hirschsprung berdasarkan status rawatan yang meliputi keluhan utama,
gambaran klinis, pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan medis, komplikasi,
sumber biaya, lama rawatan rata-rata, dan keadaan sewaktu pulang
c. Untuk mengetahui distribusi proporsi umur bayi yang menderita penyakit
Hirschsprung berdasarkan jenis kelamin
d. Untuk mengetahui distribusi proporsi umur bayi yang menderita penyakit
Hirschsprung berdasarkan penatalaksanaan medis
e. Untuk mengetahui distribusi proporsi lama rawatan rata-rata bayi yang menderita
penyakit Hirschsprung berdasarkan penatalaksanaan medis
f. Untuk mengetahui distribusi proporsi komplikasi pada bayi yang menderita
penyakit Hirschsprung berdasarkan penatalaksanaan medis
g. Untuk mengetahui lama rawatan rata-rata bayi yang menderita penyakit
Hirschsprung berdasarkan komplikasi.
h. Untuk mengetahui distribusi proporsi penatalaksanaan medis pada bayi yang
menderita penyakit Hirschsprung berdasarkan keadaan sewaktu pulang
i. Untuk mengetahui distribusi proporsi keadaan sewaktu pulang bayi yang
j. Untuk mengetahui distribusi proporsi lama rawatan rata-rata bayi yang menderita
penyakit Hirschsprung berdasarkan keadaan sewaktu pulang
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Sebagai masukan bagi pihak RSUP H. Adam Malik Medan dalam upaya
meningkatkan pelayanannya, khususnya pada penanggulangan bayi yang
menderita penyakit Hirschsprung.
1.4.2. Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat
dan untuk menambah wawasan dan penerapan ilmu yang telah didapat selama
mengikuti perkuliahan di FKM USU Medan.