• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH TENTANG Hukum Pidana Pertanggung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MAKALAH TENTANG Hukum Pidana Pertanggung"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH

TENTANG

Hukum Pidana (Pertanggung jawaban Pidana Anak)

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Bahasa Indonesia

Disusun Oleh : Nursyifa Maudina Hasanah

Tingkat/Kelas : I/Akuntansi B

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS KUNINGAN

(2)

Kata Pengantar

Alhamdulillah hirobbil’alamin, puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah

SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya kepada penyusun,

sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan pada waktu

yang telah ditentukan. Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi

besar Muhammad SAW, yang membimbing umatnya dari zaman jahiliyah menuju

zaman Islamiyah yakni ajaran agama Islam.

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah “Hukum Pidana”.

Penyusun berharap makalah ini dapat menambah pengetahuan pembaca tentang

konsep yang ada didalamnya.

Akhirnya penyusun menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna. Untuk itu

penyusun mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca,

sehingga makalah ini bisa mencapai kesempurnaan.

(3)

BAB I

Pendahuluan

A.Latar Belakang

Anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 18 tahun dan belum pernah

menikah. Anak tidak dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana secara penuh, karena

seorang anak masih mempunyai keterbatasan kemampuan berpikir dan berada dalam

pengawasan orang tua atau walinya.

Menurut UU No.3 Tahun 1997 pengertian anak yang dapat dimasukkan dalam sistem

peradilan pidana adalah anak yang telah mencapai usia 8 tahun dan belum mencapai 18 tahun

dan belum pernah menikah.

Arus Globalisasi yang diikuti oleh perkembangan ekonomi, ilmu pengetahuan dan

teknologi dapat menimbulkan dampak positif dan negative terutama bagi anak.

Dampak positif pesatnya antara lain terciptanya berbagai macam produk yang

berkualitas dan berteknologi, terbukanya informasi yang diperoleh melalui satelit dan

meningkatnya pendapat masyarakat. Sedang dampak negative nya antara lain semakin

meningkatnya krisis moral dimasyarakat yang berpotensi meningkatnya jumlah orang yang

melawan hokum pidana dalam berbagai bentuk. Hal ini sangat mempengaruhi kehidupan

anak-anak.

Sejak dahulu sampai sekarang , permasalahan pidana telah menyerap banyak energy

para anak bangsa untuk membangun rekontruksi sosial. Peningkatan aktivitas kriminal dalam

berbagai bentuk menuntut kerja keras dalam membangun pemikiran-pemikiran baru mengenai

arah kebijakan hokum dimasa depan.

Arah kebijakan hokum brtujuan menjadikan hokum sebagai aturan yang memberikan

perlindungan bagi hak-hak WN dan menjamin kehidupan generasi dimasa depan. Oleh karena

itu, sistem hokum tiap negara dalam praktiknya terus mengalami modernisasi dan tidak ada

satu negara pun yang dapat menolaknya. Contohnya negara Indonesia yang menuntut

dilakukannya perubahan disegala bidang, diantaranya perubahan bidang hokum dengan

(4)

B.Rumusan Masalah

A. Pemahaman Pertanggungjawaban Pidana Anak.

B. Bagaimana Pembinaan Anak Yang Bermasalah Dengan Hukum.

C. Upaya Penanggulangan Permasalahan Anak Diluar Hukum Positif

D. Contoh Tindak Pidana Yang di Lakukan Oleh Anak

BAB II

Pembahasan

A.Pemahaman Pertanggungjawaban Pidana Anak

Menurut Roeslan Saleh dipidana atau tidaknya seseorang yang melakukan perbuatan

pidana tergantung apakah pada saat melakukan perbuatan ada kesalahan atau tidak, apakah

seseorang yang melakukan perbuatan pidana itu memang punya kesalahan maka tentu ia

dapat dikenakan sanksi pidana, akan tetapi bila ia telah melakukan perbuatan yang terlarang

dan tercela, tetapi tidak mempunyai kesalahan ia tentu tidak dipidana.

Mengenai asas kesalahan, Moeljatno dan Roeslan Saleh, memisahkan perbuatan

pidana dengan pertanggungjawaban pidana yang disebut dengan ajaran dualisme.

Ajaran dualisme memandang bahwa untuk menjatuhkan pidana ada dua tahap yang perlu

dilakukan, yaitu :

1. Hakim harus menanyakan, apakah terdakwa telah melakukan yang dilarang oleh aturan

undang-undang dengan disertai ancaman pidana bagi barang siapa yang melangar aturan ini.

2. Apakah pertanyaan di atas menghasilkan suatu kesimpulan bahwa terdakwa telah melakukan

perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan undang-undang, maka ditanyakan lebih lanjut,

apakah terdakwa dapat dipertanggungjawabkan atau tidak mengenai perbuatan itu.

Pertanggungjawaban pidana mengsyaratkan pelaku mampu bertanggungjawab.

(5)

pertanggungjawaban pidana. Berikut yang menjadi pertanyaan adalah kapan seseorang itu

dikatakan mampu bertanggungjawab dan apakah ukurannya untuk menyatakan adanya

kemampuan bertanggungjawab itu.

KUHP menentukan masalah kemampuan bertanggungjawab dihubungkan dengan pasal

44 KUHP. Pasal 44 KUHP menentukan “barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat

dipertanggungjawabkan kepadanya, karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau jiwa yang

terganggu karena penyakit”.

Berdasarkan pasal 44 Moeljatno menyimpulkan bahwa untuk adanya kemapuan

bertanggungjawab harus adanya kemampuan untuk membedakan antara perbuatan baik dan

perbuatan buruk, sesuai hokum dan yang melawan hokum, dan kemampuan untuk menentukan

kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.

Syarat pertama faktor akal, yaitu dapat membedakan antara perbuatan yang

diperbolehkan dan yang tidak. Syarat yang kedua adalah faktor perasaan atau kehendak, yaitu

dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas nama yang diperbolehkan dan

yang tidak. Sebagai konsekuensinya, tentunya orang tidak mampu menetukan kehendaknya,

menurut kehendaknya, menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi, dia tidak

mempunyai kesalahan. Orang yang demikian itu tidak dapat dipertanggungjawabkan, menurut

pasal 44, ketidakmampuan tersebut harus disebabkan alat batinnya cacat atau sakit dalam

tubuhnya.

Selanjutnya, mengenai kesengajaan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana

(Criminee Wetboek) tahun 1809 dicantumkan “sengaja ialah kemauan untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau yang diperintahkan oleh

undang-undang”. Memorie van Toeliching (MvT) Menteri kehakiman sewaktu pengajuan Criminiel wetboek 1881 (yang menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia tahun 1915) dijelaskan sengaja diartikan dengan sadar dan kehendak melakukan suatu kejahatan tertentu.

Beberapa sarjana merumuskan de will sebagai keinginan, kemauan, kehendak dan perbuatan merupakan pelaksanaan dari kehendak. De will (kehendak) dapat ditujukan terhadap perbuatan yang dilarang dan akibat yang dilarang. Ada dua teori yang berkaitan dengan

(6)

Menurut teori kehendak, sengaja adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik

dalam rumusan undang-undang,sedangkan menurut teori pengetahuan atau teori

membayangkan, manusia tidak mungkin dapat menghendaki suatu akibat karena manusia

hanya dapat mengingini , mengharapkan atau membayangkan adanya suatu akibat, adanya

“sengaja” apabila suatu akibat yang ditimbulkan karena suatu tindakan dibayangkan sebagai

maksud tindakan itu dan karena itu tindakan yang bersangkutan dilakukan sesuai dengan

bayangan yang terlebih dahulu telah dibuat.

Kedua teori Moeljatno tersebut lebih cenderung kepada teori pengetahuan dan

membayangkan,alasannya adalah :

Karena dalam kehendak dengan sendirinya diliputi pengetahuan. Sebab untuk

menghendaki sesuatu, orang terlebih dahulu sudah harus mempunyai pengetahuan (gambaran)

tentang sesuatu itu. Tapi apa yang diketahui seseorang belum tentu juga dikehendaki olehnya.

Lagi pula kehendak merupakan arah, maksud dan tujuan perbuatannya. Konsekuensinya ialah,

bahwa untuk menentuksn suatu perbuatan yang dikehendaki oleh teKonsekuensinya ialah,

bahwa untuk menentuksn suatu perbuatan yang dikehendaki oleh terdakwa, (1)harus dibuktikan

bahwa perbuatan itu sesuai dengan motifnya untuk berbuat dan bertujuan yang hendak dicapai

(2)antara motif, perbuatan dan tujuan harus ada hubunga kausal dalam batin terdakwa.

Secara umum ilmu hokum pidana membedakan 3 (tiga) macam kesengajaan, yaitu:

1. Kesengajaan sebagai maksud (opzet alsoggmerk) adalah suatu perbuatan yang merupakan

tindak pidana yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan. Menurut Jonkers kesengajaan ini

merupakan bentuk yang paling murni dan sederhana.

2. Kesengajaan dengan kesadaran akan kepastian, yakni seseorang yang melakukan suatu

perbuatan yang merupakan suatu tindak pidana, dan menyadari bahwa apabila perbuatan itu

dilakukan, maka perbuatan lain yang juga merupakan pelanggaran pasti terjadi.

3. Kesengajaan melakukan suatu perbuatan dengan keinsyafan bahwa ada kemungkinan

timbulnya suatu perbuatan lain yang merupakan tindak pidana. Kesengajaan ini dikenal pula

dengan sebutan voorwardelijk opzet atau dolus eventualis.

Mengenai kelalaian, Moeljatno mengutip pendapat Smint yang merupakan keterangan

(7)

Pada umumnya kejahatan wet mengharuskan bahwa kehendak terdakwa ditujukan pada perbuatan yang dilarang dan diancam pidana. Kecuali itu keadaan yang dilarang itu

mungkin sebagian besar berbahaya terhadap keamanan umum mengenai orang atau barang

dan jika terjadi menimbulkan banyak kerugian, sehingga wet harus bertindak terhadap mereka yang tidak berhati-hati, yang toledor. Dengan pendek, yang menimbulkan keadaan itu karena

kealpaannya. Di sini sikap batin orang yang menimbulkan keadaan dilarang itu bukanlah

menentang larang tersebut. Dia tidak menghendaki atau menyetujui timbulnya hal yang

dilarang, tetapi kesalahannya, kekeliruannya dalam batin sewaktu ia berbuat sehingga

menimbulkan hal yang dilarang, lelah bahwa ia kurang mengindahkan larangan itu.

Dari apa yang diutarakan oleh Smint tersebut di atas, Moeljatno menyimpukan bahwa

kesengajaan adalah kesalahan yang berlainan jenis dari kealpaan. Akan tetapi dasarnya

sama,yaitu adanya perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana adanya kemampuan

bertanggung jawab, dan tidak adanya alasannya pemaaf, tetapi bentuknya lain. Dalam

kesengajaan, sikap batin orang menentang larangan. Dalam kealpaan, kurang mengindahkan

larangan sehingga tidak berhati-hati dalam melakukan sesuatu yang objektif klausal yang

menimbulkan keadaan yang dilarang.

Dengan terpenuhinya syarat-syarat adanya pertanggungjawaban pidana seorang anak,

hal ini berarti bahwa terhadap anak tersebut dapat dikenakanpemidanaan Pemidanaan

terhadap anak hendaknya harus memperhatikan perkembangan seorang anak. Hal ii

disebabkan bahwa anak tidak dapat/kurang perpikir dan kurangnya pertimbangan atas

perbuatan yang dilakukannya. Disamping itu, anak yang melakukan perbuatan pidana tidak

mempunyai motif pidana dalam melakukan tindakannya yang sangat berbeda dengan orang

dewasa yang melakukan tindak pidana karena memang ada motif pidananya.

Pemberian pertanggungjawaban terhadap anak harus mempertimbangkan

perkembangan dan kepentingan terbaik anak di masa yang akan datang. Penanganan yang

salah menyebabkan rusak bahkan musnahnya bangsa di masa depan, karena anak adalah

generasi penerus bangsa dan cita-cita negara.

Undang-undang No.3 tahun 1997 Bab III memuat sanksi pidana dan tindakan yang

dapat dijatuhkan kepada anak. Sebagaimana ditentukan dalam pasal23 UU No.3 Tahun 1997

(8)

Pidana pokok berupa (a) Pidana penjara, (b) Pidana kurungan (c) Pidana denda (d)

pidana pengawasan. Sedangkan pidana tambahan berupa permpasan barang-barang tertentu

dan ataupembayaran ganti rugi.

Sesuai dengan UU No.3 Tahun 1997 batas usia anak yang dapat diajukan ke sidang

anak adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan

belum pernah kawin (4). Sedangkan mengenai penjatuhan sanksi, diberikan batasan umur

terhadap anak yang masih berumur 8 sampai dengan 12 tahun, akan diberi tindakan; (1)

dikembalikan kepada orang tuanya, (2) ditempatkan pada organisasi sosial atau (3) diserahkan

kepada negara.

Setiap anak pelaku tindak pidana yang masuk sistem peradilan pidana harus

diperlakukan secara manusiawi sebagaimana termuat dalam UU No.3 tahun 2003 tentang

perlindungan anak, yaitu nondiskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, hak untuk hidup,

kelangsungan hidup dan perkembangannya, serta penghargaan terhadap anak.

Pada pasal 64 UU No.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak juga mengatur

perlindungan terhadap anak yaitu:

1. Perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak

2. Penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini

3. Penyediaan sarana dan prasarana khusus

4. Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang tebaik bagi anak

5. Pemantauan dan pencatatan terus-menerus terhadap perkembangan anak yang

berhadapan dengan hukum. Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan

orang tua atau keluarga.

6. Perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari

labelisasi.

Anak yang melakukan tindak pidana atau anak yang melakukan perbuatan yang

dinyatakan terlarang bagi anak dapat dilakukan penahanan. UU nasional memberikan peluang

(9)

Contohnya pasal 43 ayat 2 UU No.3 tahun 1997 menyatakan bahwa “Penangkapan

anak nakal dilakukan guna kepentingan pemeriksaan untuk paling lama 1 (satu) hari”. Dalam

pasal 44 ayat 2menyebutkan bahwa “Penahanan hanya berlaku utuk paling lama 20 hari.

Dalam ayat 3 menyebutkan bahwa “Apabila diperlukan guna kepentinan pemeriksaan yang

belum selesai, atas permintaan penyidik dapat diperpanjang oleh penuntut umum yang

berwenang, untuk paling lama 10 hari”. Selanjutnya dalam ayat 4 menyatakan bahwa “Dalam

jangka waktu 30 hari penyidik sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 3 sudah harus

menyerahkan berkas perkara pada pihak penuntut umum. Jika dalam jangka waktu 30 hari

polisi belum menyerahkan berkas perkara pada pihak penuntut umum, maka tersangka harus

dikeluarkan dari tahanan demi hokum”. Selama anak ditahan, anak harus berada ditempat

khusus dengan kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial anak harus tetap dipenuhi.

B. Bagaimana Pembinaan Anak Yang Bermasalah Dengan Hukum.

Pembinaan terhadap anak yang terlanjur melakukan tindak pidana merupakan tanggung jawab semua pihak. Orang tua mempunyai kewajiban dan tanggung jawab

memperbaiki kondisi anak yang sudah terlanjur masuk ke dalam proses hokum. Masyarakat

berkewajiban mengontrol perbaikan anak sehingga tidak mengulangi tindakan kriminal lagi atau

menjadi kriminal kambuhan. Lembaga-lembaga sosial dan kemasyarakatan yang sudah

berpengalaman dalam menangani permasalahan sosial cukup efektif untuk menjadi tempat

pemidanaan dan pemulihan anak setelah terlanjur terjerumus kedalam perilaku kriminal

sebelumnya. Lembaga-lembaga sosial dan kemasyarakatan tersebut dapat menjadi pembinaan

dan pendidikan serta bimbingan semua pihak diharapkan agar anak tersebut dapat terus

berkembang kearah yang baik dan tidak mengulangi tindakannya kembali.

Lembaga pemasyarakatan anak sebagai tempat pembinaan narapidana anak, lembaga

tersebut diharapkan dapat memberikan proses pembinaan yang baik agar anak dapat menjadi

anggota masyarakat yang baik setelah selesai menjalankan pembinaan. Pembentukan dan

pengembangan keikut sertaan lembaga-lembaga tersebut dalam upaya memberikan

(10)

Lembaga-lembaga tersebut diharapkan dapat memberikan perlindungan, pembinaan,

perawatandan pendidikan. Selanjutnya dalam upaya perlindungan terhadap anak diperlukan

adanya kerjasama antara lembaga sosial dan lembaga pemerintah lainnya yang mempunyai

kepedulian terhadap anak. Dalam pasal 5 UU No.12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan yang

menyatakan bahwa pelaksanaan sistem pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan atas:

1. Pengayoman

2. Persamaan perlakuan dan pelayanan

3. Pendidikan

4. Pembimbingan

5. Penghormatan harkat dan martabat manusia

6. Kehilangan Kemerdekaan

7. Terjamin hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu.

Sesuai dengan tugas dan fungsi lembaga melaksanakan pembinaan terhadap para

terpidana agar siap untuk dapat berintegrasi kembali dengan masyarakat dan menjadi

masyarakat yang baik dan taat hokum. Program pemasyarakatan bagi narapidana anak

bertujuan agar anak dapat terhindar dari mengulangi perbuatan pidana yang pernah

dilakukannya dan tetap dapat menjalani kehiduan secara normal. Program yang dibuat dalam

lembaga pemasyarakatan lebih mengutamakan kerja sosial dan aktivitas yang dapat

mengembangkan kemampuan anak dimasa depan.

Para pelaku anak yang melakukan tindak pidana serius yang berada dilembaga

pemasyarakatan anak tetap disediakan fasilitas pengembangan kemampuan seperti hobi,

pelatihan keterampilan, bimbingan/konseling dan kegiatan mental lainnya semaksimal sesuai

dengan kemampuan lembaga. Untuk pendidikan disediakan sekolah khusus didalam lembaga.

Tujuannya agar anak tetap dapat melanjutkan sekolahnya dan mempersiapkan keterampilan

kerja untuk bekal selesai menjalani pembinaan.

Di Indonesia anak yang dibina dilembaga khusus, anak dapat dibagi menjadi 3 golongan

(11)

a. Anak pidana, yakni anak yang dinyatakan bersalah oleh pengadilan dan dijatuhi pidana

perampasan kemerdekaan

b. Anak negara, yakni seorang anak yang diputus bersalah oleh pengadilan yang diserahkan

pada negara untuk dididik sampai dengan usia 18 tahun.

c. Anak sipil, yakni anak yang berdasarkan permintaan orang tua/walinya memperoleh

penetapan dari pengadilan negeri, dititipkan ke lembaga pemasyarakatan khusus anak.

Pembinaan terhadap anak sesuai dengan keputusan menteri kehakiman n0.2-PK04.10

tahun 1990 tentang pola pembinaan narapidana atau tahanan anak dilakukan dalam 4 tahap

yaitu:

1. Tahap Pertama

Tahap ini merupakan tahap maximum security yaitu 0-1/3 masa pidana. Pengawasan

pada tahap ini cukup ketat dikarenakan pembina belum mengetahui akan sifat, watak dan

perilaku dari narapidana tersebut. Tahap ini diawali dengan tahap admisi dan orientasi. Tahap

admisi dan orientasi dimulai sejak seorang anak memasuki lembaga yang dilengkapi dengan

surat lengkap (vonis), lama pidananya dan untuk penentuan tanggal bebasnya. Kegiatan yang

dilakukan dalam tahapan ini adalah pengenalan lembaga, pengenalan petugas lembaga,

penjelasan mengenai hak dan kewajiban anak didik dilembaga dan penyidikan mengenai

identitas pribadi narapidana, pendidikan narapidana yang terakhir, pekerjaan, keadaan

lingkungan rumah tempat tinggal, lingkungan masyarakat, lingkungan keluarga dan lingkungan

sekolah dan motif pidana (sebs-sebab mengapa melakukan tindakan pidana yang diancam oleh

UU).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh pihak pembina tersebut penting dalam upaya

penyusunan program pembinaan dan pekerjaan apa yang sesuai dengan diri narapidana anak

tersebut. Waktu tahap admisi untuk anak tahanan 1(satu) minggu sedangkan untuk anak

negara, anak didik, dan anak sipil adalah 1(satu) bulan.

Pada pelaksanaan tahap ini sangat diperlukan social inquiry reports yang dibuat oleh

Bapas sehingga tidak perlu penelitian ulang. Namun dalam kenyataannya terkadang ada

narapidana yang pada saat putusan pengadilan tidak melampirkan penelitian dari bapas dan

(12)

2. Tahap Kedua

Tahap ini dilaksanakan pada saat 6 bulan pertama untuk anak negara dan sipil dan

untuk anak narapidana anak dilakukan antara 1/3 sampai ½ masa hukuman. Tahapan ini

merupakan tahap medium security, karena pengawasan pada tahap kedua ini tidak seketat

pada tahap pertama.

Pada tahap kedua ini pengawasan dilakukan hanya untuk mengetahui bagaimana

narapidana anak menyesuaikan dirinya dengan lingkungan dan peraturan yang berlakudalam

lembaga. Untuk itu dalam tahapan ini telah diadakan evaluasi terhadap program tahap pertama.

Tahap kedua ini narapidana telah memperoleh pendidikan umum, pendidikan mental,

pendidikan sosbud, pendidikan kepribadian, pendidikan kepribadian, pendidikan keterampilan,

dan bekerja dalam lapas.

3. Tahap Ketiga

Tahap ketiga dikenal dengan tahap asimilasi yaitu narapidana mendapatkan pembinaan

dengan kesempatan untuk melakukan kerja pada tempat latihan milik lapas diluar lingkungan

lapas seperti kegiatan perkebunan diluar lapas.

Usia anak negara dan anak sipil yang berada pada tahap ketiga ini adalah dimulai 6

(enam) bulan kedua, sedangkan untuk anak narapidana saat menjalani ½ sampai 2/3 masa

hukuman.

Pada tahap ini anak dididik diperkenalkan dengan jati diri anak itu sendiri secara lebih

mendalam meliputi kecerdasan mental dan iman. Mulai diperkenalkan dengan masyarakat

sekeliling lembaga melalui jalan olah raga, pramuka dan sebagainya.

4. Tahap Keempat

Tahap ini disebut tahap integrasi, dilaksanakan terhadap anak negara dan anak sipil

pada 6 (enam) bulan keempat, sedangkan pada anak narapidana dlaksanakan setelah

menjalani 2/3 masa hukumannya sampai habis masa pidananya. Pada tahap ini pengawasan

sangat kurang (minimum security) dan bagi anak didik yang betul-betul telah sadar dan

berkelakuan baik berdasarkan pengamatan tim pengamat pemasyarakatan, mereka dapat

(13)

a. Cuti Biasa

Yaitu cuti yang diberikan kepada anak didik, baik anak narapidana maupun anak negara

selama 2 (dua) minggu atau permohonan dari orang tua/wali didik anak, setelah waktu

tersebut , mereka harus kembali masuk lembaga.

b. Cuti Menjelang Bebas

Yaitu cuti yang diberikan pada anak sipil atau anak negara menjelang anak tersebut

berusia 17 tahun enam bulan sampai dengan 18 tahun, sedangkan pada anak pidana setelah

2/3 ke atas masa hukumannya sampai habis pidananya.

c. Pelepasan Bersyarat

Diperuntukkan bagi anak narapidana dilaksanakan dengan ketentuan pasal 15 sampai

dengan pasal 17 KUHP. Bagi anak didik yang memperoleh cuti menjelang lepas ataupun

pelepasan bersyarat, berada dibawah pengawasan ketat dari Bispa disamping pernyataan

orang tua/wali untuk benar-benar mendidik dan mengawasi mereka. Hal ini dilakukan untuk

menghindari anak didik kembali ke lembaga sebagai residivis, inilah pentingnya pembinaan

sesuai pasal 277 dan 280 KUHAP.

Lamanya pembinaan anak didikdi lembaga ditentukan anak didik dengan status anak

negara paling lama sampai usia 18 (delapan belas) tahun dan anak didik dengan status

narapidana 21 (dua puluh satu) tahun. Bagi anak narapidana yang belum selesai menjalani

masa hukumannyadi lembaga mengingat saat melakukan hukuman usia 12 (dua belas) sampai

usia 18 (delapan belas) tahun atau dijatuhkan hukuman 4-15 tahun. Setelah anak berusia 21

tahun, harus menghabiskan sisa masa hukuman di LP dewasa.

Aparat penegak hokum yang terkait dalam sistem peradilan anak, memikirkan kembali

untuk tidak menghukum akan tetapi mengambil tindakan lainnya. Hukuman terbaik bagi anak

dalam peradilan pidana bukan hukuman penjara, melainkan tindakan ganti rugi menurut tingkat

keseriusan tindak pidananya. Ganti rugi yang dimaksud adalah sebuah sanksi yang diberikan

oleh sistem peradilan pidana/pengadilan yang mengharuskan pelaku membayar sejumlah uang

(14)

Ganti rugi yang paling sesuai untuk anak adalah kerja proyek masyarakat dibandingkan

dalam bentuk ganti rugi uang. Seorang anak yang diputus untuk ganti rugi oleh pengadilan

dapat dimasukkan kedalam program kerja secara berkelompok dengan teman-teman yang lain.

Ganti rugi dengan kerja proyek akan melatih anak untuk bersikap jujur dan bertanggung jawab

atas hukuman yang diberikan kepadanya. Bentuk dari hukuman berupa sanksi ganti rugi ini

sangat diperlukan dalam pelaksanaan hokum pidana untuk anak dalam rangka perlindungan

anak yang berkonflik dengan hukum.

C. Upaya Penanggulangan Permasalahan Anak Diluar Hukum Positif

Upaya penanggulangan kejahatan dengan pendekatan nonpenal merupakan bentuk upaya penanggulangan berupa pencegahan tanpa menggunakan hokum pidana dengan

mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap kejahatan dan pemidanaan melalui media

massa. Konsep “Diversi dan Restorative Justice” merupakan bentuk alternative penyelesaian

tindak pidana yang diarahkan kepada penyelesaian secara informal dengan melibatkan semua

pihak yang terkait dalam tindak pidana yang terjadi. Penyelesaian dengan konsep “Diversi dan

Restoratif Justice” merupakan suatu bentuk penyelesaian tindak pidana yang telah berkembang

dibeberapa negara dalam menanggulangi kejahatan.

Adanya beberapa persoalan pelaksanaan sistem peradilan pidana anak di Indonesia,

menuntut pentingnya dikaji pengembangan konsep diversi dan restorative justice dalam

pelaksanaan sistem peradilan pidana anak di Indonesia.

1.DIVERSI

Diversi adalah sebuah tindakan atau perlakuan untuk mengalihkan atau menempatkan

keluar pelaku pidana anak dari sistem peradilan pidana anak. Diversi dilakukan untuk

memberikan perlindungan dan rehabilitasi kepada pelaku sebagai upaya untuk mencegah anak

menjadi pelaku kriminal dewasa.

Prinsip utama pelaksanaan konsep diversi yaitu tindakan persuasif atau pendekatan

atau pemberiaan kesempatan kepada pelaku untuk berubah. Petugas harus menunjukkan

(15)

penangkapan dengan menggunakan tindakan kekerasan dan pemaksaan untuk melaksanakan

diversi. Penggunaan kekerasan akan membawa kepada sifat keterpaksaan sebagai hasil dari

penegak hukum.

Diversi sebagai usaha mengajak masyarakat untuk taat dan menegakkan hukum

dengan tetap mempertimbangkan rasa keadilan sebagai prioritas utama disamping pemberian

kesempatan kepada pelaku memperbaiki diri. Diversi tidak bertujuan mengabaikan hukum dan

keadilan, akan tetapi diversi merupakan cara baru menegakkan keadilan dalam masyarakat.

2.Pelaksanaan Diversi di Indonesia (Studi Kasus di Kota Bandung)

Konsep diversi merupakan konsep yang baru di Indonesia, awalnya konsep diversi ini

muncul dalam sebuah wacana-wacana seminar yang sering diadakan. Berawal dari pengertian

dan pemahaman dari wacana seminar yang diadakan tentang konsep diversi menumbuhkan

semangat dan keinginan untuk mengkaji dan memahami konsep diversi tersebut.

Konsep diversi adalah konsep untuk mengalihkan suatu kasus dari proses formal ke

proses informal. Proses pengalihan ditujukan untuk memberikan perlindungan terhadap anak

yang berkonflik dengan hukum. Selanjutnya secara intern kelembagaan masing-masing

membicarakan kembali tentang konsep diversi dalam memberikan perlindungan terhadap anak

pelaku tindak pidana. Dari diskusi-diskusi intern yang dilakukan masing-masing lembaga

berkeinginan untuk membicarakan konsep diversi secara luas sesama aparat penegak

hukumyang terlibat dalam peradilan pidana terhadap anak.

Selanjutnya pada tahun 2004 di Jakarta diadakan diskusi diantara aparat penegak

hukum yang terkait dalam sistem peradilan pidana anak untuk membicarakan mengenai

langkah terbaik dalam upaya penanganan terhadap anak pelaku tindak pidana anak. Diskusi

yang dilakukan diantara aparat penegak hukum bertujuan mencari solusi yang terbaik dalam

rangka memberikan perlindungan terhadap anak. Setelah adanya diskusi tersebut para hakim

di Bandung secara intern membicarakan tentang langkah awal yang dapat dilakukan untuk

memberikan perlindungan tehadap anak yang bermasalah dengan hukum yaitu dengan

mendirikan ruang sidang khusus anak dan ruang tunggu khusus anak. Munculnya ide

(16)

terhadap anak agar selama menunggu proses pengadilan dilangsungkan dan proses

penahanan anak terpisah dengan tahanan dewasa.

Untuk mewujudkan ruang sidang anak dan ruang tunggu anak tersebut ketua

Pengadilan Negeri Bandung mengadakab diskusi dengan pemerintah kota bandung dan

pemerhati masalah anak di Bandung. Diskusi tersebut dilakukan untuk mendapatkan tanggapan

mengenai keinginan Pengadilan negeri Bandung untuk mendirikan ruang tunggu tahanan

khusus anak dan ruang tunggu anak. Diskusi yang dilakukan menghasilkan kesepakatan dan

keinginan serta dorongan untuk mewujudkan cita-cita besar Pengadilan Negeri Bandung untuk

memiliki ruang tahanan khusus anak dan ruang tunggu anak. Akhirnya pada tanggal 13 Agustus

2004 kedua ruang tersebut telah berhasil dibangun di Pengadilan Negeri Bandung.

Perhatian terhadap perlindungan anak yang berkonflik dengan hukum terus dilakukan.

Secara continue dalam setiap kesempatan diskusi, hakim Pengadilan Negeri Bandung

membicarakan tentang perkembangan konsep diversi dan restorative justice. Melihat adeanya

perhatian yang serius aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana di Bandung, maka

UNICEF menetapkan kota Bandung sebagai Pilot Project dalam pelaksanaan konsep diversi

dan restorative justice di Indonesia.Berikut pelaksanaan peradilan pidana anak di Kota

Bandung.

a. Lembaga Kepolisian

Pasal 59 UU No.23 Tahun 2002 mewajibkan pemerintah dan lembaga negara lainnya

untuk memberikan perlindungan khusus terhadap anak dalam situasi darurat, termasuk anak

yang berhadapan dengan hukum. Selanjutnya dalam pasal 64 mengatakan bahwa

perlindungan bagi anak yang berhadapan dengan hukum meliputi anak yang berkonflik dengan

hukum dan anak korban tindak pidana.

Kepolisian kota Bandung dalam melaksanakan tugas dan fungsinya melakukan

penyidikan terhadap dugaan terjadinya suatu tindak pidana yang dilakukan oleh seorang anak.

Untuk memberikan perlindungan kepada anak, penyidik yang melakukan penyidikan adalah

penyidik polisi wanita yang memiliki minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak.

Penyidikan oleh polisi wanita dimaksudkan untuk memeriksa tersangka dalam suasana

(17)

kemasyarakatan, ahli pendidikan, ahli kesehatan jiwa, dan sebagainya. Pemeriksaan anak

pelaku tindak pidana dilakukan diruang khusus dan bersifat rahasia.

Terhadap kasus berat seperti perkelahian yang menyebabkan lukanya seseorang, polisi

melakukan penangkapan terhadap anak pelaku tindak pidana. Saat penangkapan polisi segera

memberitahukan orang tua atau wali atau orang terdekat dengan anak tentang penangkapan

tersebut. Pemberitahuan tersebut penting untuk memberikan perlindungan terhadap anak.

Sedang terhadap tindak pidana ringan seperti pencurian ringan dan penganiayaan ringan, polisi

berhak memberikan peringatan dan tindakan diversi.

Upaya penghindaraan penahanan dilakukan untuk mengurangi akibat negatif yang lebih

besar lagi. Tindakan untuk tidak menahan dikarenakan menurut penilaian bahwa anak tersebut

baru pertama kali melakukan tindak pidana, dan anak tersebut masih dapat diperbaiki.

b. Lembaga Kejaksaan

Anak pelaku tindak pidana yang menurut penilaian sangat serius tindak pidananya

selanjutnya akan diproses oleh pihak penuntut umum untuk dilanjutkan ke proses persidangan.

Jaksa penuntut umum setelah mendapat laporan dari penyidik tentang kasusnya maka

penuntut umum membuat rencana penuntutan tterhadap kasus tersebut. Keputusan tuntutan

yang telah disetujui inilah yang akan diajukan ke lembaga pengadilan sebagai proses

pelimpahan perkara dari penuntut umum ke pihak pengadilan.

Konsep ini dilakukan dengan hati-hati agar dalam penerapannya tidak menimbulkan

kesalahan pandangan sesama aparat penegak hukum yang terlibat dalam peradilan pidana

anak. Untuk itu dalam memahami dan melaksanakan kedua konsep tersebut dilakukan dengan

memberikan pemahaman dan pengertian secara continue agar tumbuh pemahaman tentang

perlindungan terhadap anak.

c. Lembaga Pengadilan

Berdasarkan UU Republik indonesia No.4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman

dalam pasal 10 Ayat 2 yang berbunyi “Badan peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung

meliputi badan peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan

Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara”, dan dalam pasal 15 ayat 1 disebutkan “Yang

(18)

Pengadilan Hak Azasi Manusia, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Hubungan

Industrial yang berada di Lingkungan Peradilan Umum, dan Pengadilan Pajak di lingkungan

Peradilan Tata Usaha Negara”, dengan demikian Pengadilan Anak berada dalam lingkungan

Peradilan Umum.

Pengadilan anak mempunyai fungsi khusus, ke khususan itu secara normatif

dicerminkan dengan ketentuan hakim yang menyidangkan perkara anak secara khusus, artinya

tidak semua hakim dapat mengadili perkara anak, kemudian kekhususan itu juga terletak pada

acara persidangannya.

3. Restorative Justice

Restorative Justice adalah proses penyelesaian terhadap tindak pidana yang terjadi

dengan cara bersama-sama bermusyawarah antara korban, pelaku, keluarga korban, keluarga

pelaku dan masyarakat untuk mencari bentuk penyelesaian yang terbaik guna memulihkan

semua kerugian yang diderita oleh semua pihak.

Konsep Restorative Justice mempunyai pengertian dasar bahwa kejahatan merupakan

sebuah tindakan melawan orang atau masyarakat dan berhubungan dengan pelanggaran

sebagai suatu pengrusakan norma hokum. Menurut pandangan konsep ini, penanganan

kejahatan yang terjadi tidak hanya menjadi tanggung jawab Negara akan tetapi merupakan

tanggung jawab masyarakat. Pelaksanaan konsep ini member banyak kesempatan kepada

masyarakat untuk berperan aktif dalam penyelesaian masalah tindak pidana. Konsep ini juga

mempunyai suatu kerangka pikir dalam upaya mencari alternatif penyelesaian terhadap kasus

tindak pidana yang dilakukan oleh anak tanpa hukuman pidana.

Konsep Restorative Justice ini bertujuan untuk mencari jalan keluar dari model keadilan

tradisional yang berpusat pada penghukuman menuju kepada keadilan masyarakat yang

berpusat pada pemulihan. Dalam penyelesaian suatu kasus menurut konsep ini peran dan

keterlibatan anggota masyarakat sangat berguna dan penting untuk membantu memperbaiki

kesalahan dan penyimpangan yang terjadi di sekitar lingkungan yang bersangkutan.

Penyelesaian dengan system ini diharapkan agar semua pihak yang merasa dirugikan akan

terpulihkan kembali dan adanya penghargaan dan penghormatan terhadap korban dari suatu

(19)

Dalam pelaksanaannya konsep ini memberikan kesempatan yang lebih besar kepada

korban untuk menyampaikan tentang kerugian yang dideritanya, baik kerugian materiil maupun

moril sebagai akibat tindak pidana yang telah dilakukan pelaku padanya. Konsep ini juga

memberikan kesempatan kepada pelaku untuk menyampaikan sebab-sebab dan alasan

kenapa dirinya melakukan tindak pidana yang menyebabkan kerugian pada korban dan

masyarakat.

Konsep ini dilaksanakan secara langsung terhadap tindak pidana yang terjadi sebelum

pelaku masuk system peradilan pidana dan kasus yang masuk system peradilan pidana.

Konsep Restorative justice ini di beberapa Negara secara terus-menerus berproses secara

berlanjut dalam usaha melakukan peningkatan dan perkembangan kearah yang lebih baik

seperti halnya mengembangkan proses yang berlandaskan prinsip dan penerapan konsep

dalam praktiknya.

4.Pelaksanaan Konsep Restorative Justice di Indonesia

Di Indonesia pengembangan konsep Restorative Justice merupakan suatu yang baru,

yang mana kota Bandung menjadi salah satu tempat pelaksanaan Pilot Project UNICEF tentang

pengembangan konsep Restorative Justice pada tahun 2004.

Restorative justice adalah suatu proses pengalihan dari proses pidana formal ke

informal sbagai alternative terbaik penanganan terhadap anak yang berhadapan dengan hokum

dngan cara semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama

memecahkan masalah untuk menangani akibat perbuatan anak dimasa yang akan datang.

Restorative justice merupakan upaya untuk mendukung dan melaksanakan ketentuan yang diatur dalam pasal 16 ayat 3 UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yaitu

bahwa “Penangkapan, penahanan atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila

sesuai dengan hokum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir”.

Sejalan dengan tujan Restorative justice, Pengadilan Negeri Bandung telah membuat ruang sidang dan ruang tunggu khusus anak dan memisahkan terdakwa anak yang ditahan dari

(20)

Terdakwa anak yang menunggu waktu persidangan ditempatkan di ruang tunggu khusu

dengan didampingi oleh orang tua atau keluarganya dan atau petugas Bapas dan di ruangan itu

di sediakan pula buku-buku bacaan anak-anak dan remaja yang merupakan sumbangan dari

UNICEF.

Ruang sidang anak itu sendiri, tempat bagi terdakwa anak,sengaja tidak diberi tulisan

“terdakwa” dengan pertimbangan psikologis si anak agar merasa aman, bebas dan tidak

merasa dipermalukan selama menjalankan persidangan.

Selanjutnya dalam hal penuntutan pidana dari jaksa penuntut umum, jarang sekali

ditemukan adanya tuntutan pidana melankan tindakan agar apabila terdakwa anak tersebut

terbukti bersalah, dijauhi tindakan dikembalikan kepada orang tua atau setidak-tidaknya

sesuai/pas dengan lamanya terdakwa anak tersebut berada dalam tahanan sementara.

Upaya melaksanakan perintah UU agar penjatuhan pidana penjara terhadap anak

merupakan upaya terakhir maka putusan yang terbaik berupa tindakan untuk mengembalikan

terdakwa anak kepada orangtuanya untuk dididik dan dibina sebagaimana mestinya.

Adanya upaya pelaksanaan restorative justice tidak berarti semua perkara anak harus dijatuhkan putusan berupa putusan dikembalikan kepada orangtua,karena hakim tentunya

harus memperhatikan kriteria-kriteria tertentu antara lain:

1. Anak tersebut baru pertama kali melakukan kenakalan

2. Anak tersebut masih sekolah

3. Tindak pidana yang dilakukan bukan tindak pidana kesusilaan yang serius, tindak pidana

yang menghilangkan nyawa, luka berat atau cacat seumur hidup, atau tindak pidana yang

mengganggumerugikan kepentingan umum

4. Orang tua/wali anak tersebut masih sanggup untuk mendidik dan mengawasi anak tersebut

secara lebih baik.

Hambatan pelaksanaan restorative justice di Bandung. Pertama aturan yang berlaku dalam sistem hokum yang ada mewajibkan polisi dan jaksa penuntut umum untuk

(21)

Hambatan kedua yang dihadapi oleh penuntut umum, bahwa berdasarkan aturan yang

berlaku jaksa penuntut umum wajib mengajukan rencana tuntutan kepada atasannya dan

atasan itulah yang berwenang memutuskan pidana atau tindakan apa yang akan dituntut

kepada terdakwa, sehingga dalam melaksanakan konsep restorative justice tersebut harus ada pemahaman secara menyeluruh bagi semua komponen pelaksana peradilan anak.

Karakteristik pelaksanaan restorative justice di Bandung.

1. Pelaksanaan restorative justice di Bandung ditujukan untuk membuat pelanggar

bertanggung jawab untuk memperbaiki kerugian yang ditimbulkan oleh kesalahannya.

2. Memberikan kesempatan kedua kepada pelanggar untuk membuktikan kemampuan dan

kualitasnya dalam bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkannya, disamping itu untuk

mengatasi rasa bersalah secara konstruktif.

3. Penyelesaian kasus tindak pidana yang dilakukan melibatkan korban atau para korban,

orang tua dan keluarga pelaku, orang tua dan keluarga korban, dan teman sebaya.

4. Penyelesaian dengan konsep resrorative justice ditujukan untuk menciptakan forum untuk

bekerja sama untuk menyelesaikan masalah yang terjadi.

5. Menetapkan hubungan langsung dan nyata antara kesalahan dan reaksi sosial.

Berdasarkan karakteristik restorative justice tersebut diatas maka ada prasyarat yang harus

dipenuhi untuk dapat terlaksananya restorative justice, yaitu:

1. Harus ada pengakuan atau pernyataan bersalah dari pelaku

2. Harus ada persetujuan dai pihak korban untuk melaksanakan penyelesaian di luar sistem

peradilan pidana anak yang berlaku

3. Persetujuan dari kepolisian atau dari kejaksaan sebagai institusi yang memiliki kewenangan

diskresionerdukungan komunitas setempat untuk melaksanakan penyelesaian di luar sistem

peradilan pidana anak

Adapun kasus yang bisa dilaksanakan penyelesaiannya dengan konsep restorative

(22)

1. Kasus tersebut bukan kasus kenakalan anak yang mengorbankan kepentingan orang

banyak dan bukan pelanggar lalu lintas jalan

2. Kenakalan anak tersebut tidak mengakibatkan hilang nyawa manusia, luka berat, atau cacat

seumur hidup

3. Kenakalan anak tersebut bukan kejahatan terhadap kesusilaanyang serius yang

menyangkut dengan kehormatan.

Kasus yang dapat diselesaikan dengan restorative justice adalah kasus yang telah

masuk dalam sistem peradilan pidana atau kasus yang belum masuk dam sistem peradilan

pidana (belum bersentuhan dengan sistem peradilan pidana)

Metode penyelesaian yang dilakukan dalam restorative justice di Bandung adalah

sesuai dengan kebiasaan bermusyawarah yang telah melembaga dalam masyarakat, dapat

mengakomodasi keterlibatan masyarakat atau pihak ketiga lainnya dalam proses penyelesaian

(bukan hanya korban dan pelaku) dan tujuan hendak dicapai melalui proses musyawarah

adalah untuk memulihkan segala kerugian dan “luka” yang telah diakibatkan oleh peristiwa

kenakalan anak tersebut.

Pihak-pihak yang dilibatkan dalam restorative justice (musyawarah pemulihan) di Bandung

adalah:

1. Korban dan keluaraga korban. Keterlibatan korban keluarga korban dalam penyelesaian

secara restorative justice tersebut penting sekali. Hal ini dikarenakan selama ini dalam sistem

peradilan pidana, korban kurang dilibatkan padahal korban adalah pihak yang terlibat langsung

dalam konflik (pihak yang menderita kerugian)

2. Pelaku dan keluarganya. Pelaku adalah pihak yang mutlak dilibatkan, karena keluarga

pelaku dipandang perlu untuk dilibatkan lebih disebabkan karena usia pelaku yang belum

dewasa (anak).

3. Wakil masyarakat. Wakil masyarakat ini penting untuk mewakili kepentingan dari lingkungan

di mana peristiwa tersebut terjadi.

Adapun tempat pelaksanaan musyawarah pemulihan yaitu pada tingkat rukun warga

(23)

perkara/TKP) atau di sekolah, khusunya dalam hal kenakalan yang terjadi di sekolah, baik

pelaku maupun korban berasal dari sekolah yang sama.

Unsur pendukung pelaksanaan restorative justice membutuhkan keterlibatan lembaga

swadaya masyarakat (LSM) untuk berperan pada tahap awal sebagai inisiator mendorong

penggunaan musyawarah pemulihan sebagai alternative penyelesaian. Pada tahap awal LSM

juga dibutuhkan sebagai konsultan dan fasilitator dalam tahap pelaksanaan musyawarah

pemulihan.

Syarat-syarat Keputusan Hasil Musyawarah Restorative Justice yang diambil adalah:

1. Dapat dilaksanakan oleh pihak sendiri tanpa memerlukan bantuan instansi penegak hokum

dalam sistem peradilan pidana

2. Putusan tidak bersifat punitf, tetapi lebih merupakann solusi dengan memperhatikan

kepentingan terbaik dari anak, korban dan masyarakat seperti restitusi (ganti rugi) atau

community service order berupa kewajiba kerja sosial

3. Putusan didasarkan pada adanya kesepakatan semua pihak yang terlibat dan dapat

dilaksanakan

4. Pelaksanaan putusan dilakukan sendiri oleh masyarakat dan atau dengan bantuan LSM

sebagai fasilitator.

Penanganan terhadap anak yang berhadapan dengan hokum harus dilakukan secara khusus.

Pasal 64 ayat 3, dilaksanakan melalui:

1. Upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga

2. Upaya perlindungan dan pemberitaan adentitas melalui media dan untuk menghindari

labelisasi

3. Pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental maupun

sosial

(24)

Peranan Mahkamah Agung dalam pelaksanaan diversi dan restorative justice, yaitu:

1. Mahkamah agung adalah pengadilan negara tertinggi dari empat lingkungan peradilan yakni

peradilan umum, peradilan agama, peradilan mliter, dan peradilan tata usaha negara

2. Pasal 15 ayat 1 UU No.4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman menyatakan bahwa

pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan sebagaimana

dimaksud dalam pasal 10 yang diatur dengan UU. Karena itu, pengadilan anak yang bertugas

dan berwenang memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan perkara, berada di lingkungan

peradilan umum

3. Pengadilan anak sebagai pengadilan khusus bagi anak nakal yang berusia

sekurang-kurangnya 8 tahun dan belum genap 18 tahun serta belum pernah kawin, melakukan tindakan

pidana atau melakukan tindakan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan

perundang-undangan maupun menurut peraturan yang hidap dan berlaku bagi masyarakat

yang bersangkutan

4. Penanganan anak yang berhadapan dengan hokum harus dilakukan secara khusus. Pasal

64 ayat 2 UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak.

Mahkamah Agung dalam berbagai penataan/pelatihan selalu mengingatkan para hakim

agar lebih mengutamakan tindakan sebagaimana yang dimaksud oleh pasal 24 UU No. 3

tahun1997 yang dijatuhkan kepada anak nakal,. Namun permasalahan utamanya orang tua

ataupun wali anak tersebut tidak mampu memberikan pendidikan dan pembinaan lebih baik

oleh karena ketidakmampuan secara ekonomim dan kurangnya pengetahuan untuk berbuat

yang terbaik bagi anak.

D. Beberapa Contoh kasus tindak pidana yang dilakukan oleh anak

1. Kasus Pencurian Sandal Yang Dilakukan Oleh AAL

Anjar Andreas Lagaronda atau biasa disebut dengan AAL, remaja 15 tahun yang

merupakan siswa kelas 1 SMK 3 di Palu yang dihadapkan oleh dakwaan pencurian sandal jepit

(25)

Hanya karena masalah sandal jepit yang sederhana dan sebenarnya dapat diselesaikan secara

kekeluargaan, AAL harus menerima konsekuensi yang membawanya ke meja hijau.

Pada saat interogasi pun, AAL mengaku mendapat penganiayaan yaitu berupa

pemukulan yang dilakukan Briptu Anwar Rusdi dan temannya Briptu Simson J. Dalam kasus

AAL, tidak seharusnya seorang aparat menginterogasi dengan kekerasan karena seharusnya

mereka lebih tahu prosedur interogasi apalagi terhadap anak di bawah umur. Kontroversi kasus

ini menyebabkan banyak protes dan kritikan tajam dilontarkan oleh segenap masyarakat

Indonesia yang ditujukan kepada lembaga – lembaga yang memproses perkara tersebut.

Setidaknya terdapat dua versi kronologis kasus pencurian sandal jepit oleh anak di

bawah umur tersebut. Versi yang diceritakan oleh tersangka Aal (15 tahun) seorang pelajar

SMK 3 Palu Sulawesi Tengah, dan versi yang diceritakan oleh Mabes Polri.

Berikut versi yang diceritakan oleh Aal. Kasus ini berawal dan terjadi di Sulawesi

Tengah pada November 2010 saat itu Aal dan teman-temannya menemukan sepasang sandal

di Jalan Zebra di luar pagar kos Briptu Rusdi Harahap seorang anggota Polri. Karena mengira

sandal tersebut tak bertuan maka Aal membawanya pulang. Kemudian pada Mei 2011, Briptu

Rusdi memanggil Aal dan teman – temannya yang saat itu sedang melintas di depan kos

anggota Polri tersebut.

Dengan membentak dan berkata kasar Briptu Rusdi menanyakan prihal sandal yang

sudah diambil oleh Aal. Kemudian Aal berkilah bahwa dia tidak tahu kalau sandal itu ada yang

punya karena pada saat diambil sandal tersebut berada di wilayah umum (berada di jalan dan

jauh di luar kos). Mendengar alasan itu Briptu Rusdi melayangkan pukulan kepada Aal dan

teman – temannya. Tidak hanya itu, Aal dan teman – temannya juga disekap di kos serta

dipukuli oleh Briptu Rusdi dan memaksa Aal dan teman – temannya untuk mengakui pencurian

– pencurian sandal sebelumnya yang telah dituturkan oleh Briptu Rusdi bahwa sudah terjadi

sebanyak 3 (tiga) kali. Penyekapan dan penganiayaan tersebut berlangsung dari pukul 20.00

WITA hingga lewat pukul 22.30 WITA (yaitu pada saat Aal dipanggil pulang oleh orang tuanya).

Setelah peristiwa tersebut Aal dipanggil ke Polda dan di BAP setelah itu divisum.

Setelah divisum Aal dijanjikan akan ditangani dan diproses perihal pemukulan dan

(26)

dan penganiayaan tersebut tidak diangkat dan malahan Aal dimeja-hijaukan atas tuduhan

pencurian sandal dan terkena pasal 362 KUHP yang berbunyi:

“Barangsiapa mengambil barang secara menyeluruh atau sebagian kepunyaan orang lain,

dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan

pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah”.

Adapun versi yang didapat dari Mabes Polri adalah hampir serupa dengan versi yang

diceritakan oleh tersangka. Perbedaannya adalah :

 Adanya perbedaan usia terlapor yaitu disebutkan oleh versi Mabes bahwa terlapor

berusia 17 tahun sedangkan menurut versi yang diceritakan pihak tersangka, terlapor

pada saat itu masih berusia 15 tahun;

 Pada versi Mabes tidak disinggung telah terjadi perkara pemukulan dan penganiayaan

terhadap terlapor yang dilakukan oleh pihak korban (Briptu Rusdi);

 Pada versi Mabes yang bersikeras mengajukan kasus tersebut ke meja hijau adalah

pihak terlapor dan pengacaranya. Pada 28 Mei 2011 pihak terlapor melaporkan korban

(Briptu Rusdi) ke Propam. Kemudian atas hal tersebut pihak korban (Briptu Rusdi)

membuat laporan. Pihak terlapor dan pengacaranya kemudian meminta agar kasus

tersebut dibawa ke pengadilan sehingga ditetapkan JPU dan masuk ke pengadilan.

Proses kasus pencurian sandal jepit tersebut tidak bisa dikatakan suatu proses peradilan

yang layak dan adil karena pelaku adalah bukan orang yang memiliki profesi sebagai pencuri

dan usianya masih dibawah umur. Ketentuan pemrosesan hukum bagi anak yang dibawah

umur diatur :

 Dalam KUHP pasal 45 disebutkan dalam hal penuntutan pidana terhadap anak yang

belum berusia 16 (enam belas) tahun maka hakim dapat memerintahkan supaya anak

tersebut dikembalikan kepada orang tuanya, walinya, pemeliharanya, atau pemerintah,

tanpa pidana apapun. Sedangkan menurut Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang

peradilan anak bahwa usia 18 tahun baru bisa di proses tuntutan pidananya, ini tentang

(27)

 Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor 1/PUU-VIII/2010 menyebutkan dan

menetapkan bahwa:

1. Anak dapat dikategorikan sebagai “Anak Nakal” melalui proses peradilan dan dapat

dibenarkan dan/atau dicek kebenarannya oleh siapapun dan dibuktikan di muka hukum;

2. Batasan usia minimal pertanggung-jawaban hukum bagi anak adalah 12 (dua belas) tahun

agar tidak bertentangan dengan UUD 1945;

3. Batas usia minimal tersebut berimplikasi hukum terhadap batas umur minimum bagi “Anak

Nakal” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 3 tahun 1997

tentang peradilan anak yang menyatakan “Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal

telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun

dan belum pernah kawin”.

 Selain itu, Pasal 23 ayat (2) huruf a Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang peradilan

anak telah menyebutkan alternatif-alternatif pidana bagi “Anak Nakal” selain pidana

penjara yaitu pidana kurungan, pidana denda atau pidana pengawasan. Kemudian,

Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang peradilan anak merupakan

penegasan keberadaan Lembaga Pemasyarakatan Anak dan keharusan aparat

penegak hukum untuk tidak menempatkan “Anak Nakal” yang dinyatakan bersalah di

Lembaga Pemasyarakatan bagi orang dewasa. Dengan demikian mempertegas

keberadaan Lembaga Pemasyarakatan Anak sebagai wadah pendidikan, pembinaan,

dan latihan kerja bagi “Anak Nakal” yang diputus menjalani pidana di Lembaga

Pemasyarakatan Anak.

Tujuan dari hukuman adalah untuk membina dan memperbaiki sehingga terciptalah

kehidupan yang harmonis dan stabil. Proses hukum haruslah mengedepankan aspek

kemanusiaan terlebih lagi masalah pidana anak. Hakim, jaksa, dan polisi diharapkan lebih bisa

menggunakan hati nurani ketimbang hanya berdasarkan pada landasan hukum formil semata.

Kita sebagai warga negara Indonesia bertanggung jawab dalam perlindungan hak-hak

setiap anak karena anak adalah generasi penerus bangsa Indonesia. Hak-hak tersebut

termasuk hak memperoleh perlindungan secara fisik, mental atau sosial dan juga hak anak

(28)

tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan

Anak, serta Keputusan Bersama 4 Kementerian, Mahkamah Agung RI, Jaksa Agung RI dan

Kepolisian Negara Republik Indonesia, menyatakan bahwa penahanan/pemenjaraan terhadap

anak adalah upaya terakhir, dengan mengedepankan pendekatan Keadilan Restoratif sebagai

landasan penyelesaian pidana bagi anak yang berhadapan dengan hukum.

2.Kasus Sengatan Lebah Yang Dilakukan Oleh DYD

Kenakalan anak-anak seperti menganggu teman sebaya, melempar mangga tetangga

atau menakut-nakuti temannya. Semua itu merupakan kenakalan anak-anak yang lumrah dan

wajar.

Semua orang bisa membedakan antara kenakalan anak dengan kejahatan

anak-anak. Seorang anak yang sengaja melukai temannya dengan cara menusuk dengan senjata

tajam, mencelakakan orang lain hingga luka -luka, bahkan ada anak yang sengaja membunuh

teman sebayanya. Semua itu bukan dikatagorikan sebagai kenakalan tetapi sudah merupakan

kejahatan atau kriminal.

Di Surabaya DYD seorang anak usia 9 tahun harus duduk di kursi pesakitan

Pengadilan Negeri karena didakwa melakukan perbuatan kriminal terhadap DNS temannya

satu sekolah yang juga berusia 9 tahun. Persoalannya bermula dari kenakalan DYD

menakut-nakuti DNS dengan mengacung-acungkan lebah madu. Cilakanya lebah madu itu menyengat

pipi DNS yang menyebabkan rasa sakit dan bekas sengatan. Pihak sekolah sudah

mendamaikan kasus tersebut untuk tidak diperpanjang oleh keluarga sebab perbuatan DYD

adalah berupa kenakalan. Tetapi entah bagaimana kisahnya, sampai ulah DYD menjadi kasus

berkelanjuta yang diusut Polisi, dan ia ditetapkan sebagai tersangka, lalu dilimpahkan ke

Kejaksaan. Seperti halnya Penyidik Polisi, Kejaksaan juga memproses kasus tersebut hingga

DYD ditetapkan sebagai terdakwa didalam sidang Pengadilan Negeri Surabaya.

Kendati banyak kalangan yang mendesak agar perkara itu tidak dilanjutkan ke

Pengadilan Negeri sebab hanya perkara kenakalan anak-anak. Tetapi Kejaksaan Negeri

Surabaya tetap bersikukuh melanjutkan perkara itu. Jaksa mengatakan pengajuan DYD tidak

perlu dihawatirkan sebab semua sudah diatur Undang-Undang. Sebenarnya Hakim Pengadilan

(29)

tepat diselesaikan secara kekeluargaan. Namun, Pengadilan masih terus menyidangkannya

karena menurut Ketua Majelis Hakim Sutriadi Yahya mengatakan Pengadilan hanya bisa

menerima pelimpahan perkara tetapi tidak bisa menghentikan persidangan, walau perkara DYD

tidak layak untuk disidangkan.

Hakim menjatuhkan vonis DYD bersalah, tetapi dibebaskan dari hukuman dan

dikembalikan kepada orang tuanya. Bebasnya DYD dari hukuman tidak menyebabkan Komnas

Perlindungan Anak bernafas lega. Sebab walaupun ia dibebaskan tetap saja pengaruh

persidangan membekas pada kejiwaan anak itu. Bahkan Komnas Perlindungan anak hawatir

DYD akan menjadi anak yang rendah diri, walaupun di persidangan ia terlihat ceria. Mungkin

para penegak hukum seperti polisi dan Jaksa perlu menelaah apa yang diucapkan Hakim

Sutriadi Yahya dan Ketua Komnas Perlindungan Anak Seto Mulyadi bahwa perkara DYD tidak

pantas masuk ke ranah hukum, sebab tidak ada unsur kriminal didalamnya.

BAB III

Penutup

A.Kesimpulan

1. Seorang anak tidak seutuhnya dapat mempertanggung jawabkan semua perbuatannya

karena lingkungan dan masyarakat merupakan suatu kontrol dalam menilai tindakan yang

dilakukannya.

2. Ada beberapa faktor yang menyebabkan seorang anak berurusan dengan aparat penegak

hukum antara lain kurangnya perhatian keluarga, faktor pergaulan/lingkungan, kemajuan ilmu

pengetahuan dan teknologi, arus globalisasi dibidang informasi dan komunikasi serta

perubahan gaya hidup sebagian orang tua.

3. Hukuman yang terbaik bagi anak dalam peradilan pidana bukanlah hukuman penjara,

melainkan tindakan ganti rugi. Ganti rugi yang sesuai untuk anak adalah kerja proyek.

4. Pelaksanaan konsep Diversi dan Restorative Justice memberikan dukungan terhadap proses

(30)

Diversi dan Restorative Justice yang mempunyai kesamaan yaitu menghindarkan pelaku tindak

pidana dari sistem peradilan pidana formal dan memberikan kesempatan anak pelaku untuk

menjalankan sanksi alternatif tanpa pidana penjara.

5. Tujuan dari hukuman adalah untuk membina dan memperbaiki sehingga terciptalah

kehidupan yang harmonis dan stabil. Proses hukum haruslah mengedepankan aspek

kemanusiaan terlebih lagi masalah pidana anak. Hakim, jaksa, dan polisi diharapkan lebih bisa

menggunakan hati nurani ketimbang hanya berdasarkan pada landasan hukum formil semata.

B.Saran

1. Masa anak-anak adalah masa yang sangat rawan melakukan tindakan, hal ini karena masa

anak-anak suatu masa yang sangat rentan dengan berbagai keinginan dan harapan untuk

mencapai sesuatu ataupun melakukan sesuatu. Seorang anak dalam melakukan sesuatu

tidak /kurang menilai akibat akhir dari tindakan yang di ambilnya. Oleh karena itu orang tua

mempunyai kewajiban untuk membantu anak baik secara fisik, ekonomi maupun psikis dalam

perkembangan kejiwaan anak.

2. Anak yang telah melakukan tindakan pidana harus segera diperbaiki melalui tindakan yang

benar-benar memperhatikan kesejahteraan dan masa depan yang baik untuk anak. Tindakan

yang diberikan kepada anak adalah tindakan yang bersifat mendidik, guna memulihkan kembali

kondisi anak tersebut menjadi anak yang baik, bukan dengan hukuman pembalasan terhadap

(31)

Daftar Pustaka

Dr.Marlina SH.M.HUM.2009.Peradilan Pidana Anak di Indonesia. Bandung: PT. Refika

Aditama.

http://aviandry.blog.esaunggul.ac.id/2012/03/12/kasus-pemidanaan-anak-di-bawah-umur/

http://www.ykai.net/index.php?option=com_content&view=article&id=884:pasca-kasus-sandal-jepit-aal&catid=89:artikel&Itemid=121

Referensi

Dokumen terkait

yang menjadi bagian tindakan sosial dan bukan sekedar pelanggaran hukum pidana; Kedua , restorative justice adalah teori peradilan pidana yang fokusnya pada pandangan yang melihat

Bab II : Bab ini membahas tentang definisi anak dan anak yang berkonflik dengan hukum serta wacana konsep retributive versus restorative justice dan konsep

Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak... Keadilan Restoratif

Sementara itu, Marlina menyebutkan dalam bukunya bahwa konsep Restorative Justice merupakan suatu proses penyelesaian tindakan pelanggaran hukum yang terjadi

Kedududukan anak selaku pelaku tindak pidana ditinjau dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak adalah Penerapan konsep Restorative

Kedududukan anak selaku pelaku tindak pidana ditinjau dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak adalah Penerapan konsep Restorative

Restorative justice adalah hanya sebagai upaya untuk mendukung dan melaksanakan ketentuan yang diatur dalam Pasal 16 ayat (3) Undang-Undang Undang-Undang Nomor 35

Perkembangan dari pemahaman mengenai fungsi hukum dapat ditampilkan dengan adanya konsep negara hukum yaitu tanggung jawab pemerintah yang memiliki maksud yaitu kewajiban bagi seluruh