• Tidak ada hasil yang ditemukan

Stop Buang Air Besar Sembarangan. Commun

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Stop Buang Air Besar Sembarangan. Commun"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

Pembelajaran Dari Para Penggiat CLTS

COMMUNITY-LED TOTAL SANITATION

STOP

(2)
(3)
(4)

STOP BUANG AIR BESAR SEMBARANGAN

Pembelajaran Dari Para Penggiat Community-LED Total Sanitaion CLTS

ISBN 978-979-17944-6-6 xiii 81 hal

Tim Pengarah:

Nugroho Tri Utomo Oswar Mungkasa Zaenal Nampira Gary D Swisher

Editor:

Oswar Mungkasa Sofyan Iskandar

Dormaringan H. Saragih

Penulis : Nur Apriatman

Layout dan desain: Dormaringan H. Saragih Agus Santoso

Kontributor:

Owin Jamasy, Nugroho Tomo, Agus Priatna, Wano Iswantoro, Puntodewo, Raih Hafsari, Krisna, M Afrianto Kurniawan, Ekki Riswandiyah, Reza Hendrawan, Piet F. Djata, Suprapto, Asmi Burhan, Agusin Raintung, dan peserta Lokakarya Konsolidasi Pembelajaran CLTS Februari 2009.

(5)
(6)

Kata Pengantar

Penyakit berbasis lingkungan khususnya yang berkaitan dengan air (related- water borne diseases) seperi

Demam Berdarah Dengue (DBD), diare, kecacingan dan polio, masih mendominasi prevalensi penyakit di Indonesia. Salah satu penyebabnya adalah belum diterapkannya perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS); masyarakat masih berperilaku buruk dan idak sehat seperi buang air besar sembarangan (BABS/open defecaion) antara lain di kebun, sungai, dan lokasi sejenisnya. Data Susenas, 2007 menunjukkan bahwa rumah tangga idak menggunakan fasilitas BAB adalah 24,8% dan 58,9% punya sendiri, sisanya menggunakan fasilitas bersama dan atau fasilitas jamban umum. Hasil pembangunan sanitasi hingga lima tahun lalu menunjukkan bahwa penghenian perilaku buang air besar bukanlah merupakan pekerjaan mudah.

(7)

Pasca kunjungan Bangladesh, CLTS diujicobakan di enam lokasi di Indonesia. Kemudian, dalam waktu singkat ternyata hasilnya menggembirakan. Beberapa desa bahkan kecamatan dapat mencapai tahapan bebas dari BABS. Arinya idak satupun masyarakat dalam desa/kecamatan tersebut yang masih melakukan BABS, dan kemudian dikenallah isilah Stop BABS. Berjalannya waktu, ekspansi Stop BABS yang sangat cepat telah membawa dampak posiif bagi perubahan perilaku masyarakat dan peningkatan layanan sanitasi, tetapi di sisi lain terungkap juga kekhawairan terhadap keberlanjutan pendekatan ini, kualitas pelaksanaannya yang idak memadai, bahkan kecenderungan terjadinya upaya sekedar mengejar target pencapaian kondisi Stop BABS atau Open Defecaion Free ( ODF).

Kekhawairan ini kemudian mendorong Pokja AMPL Nasional dengan difasilitasi WASPOLA untuk mengadakan Lokakarya Nasional Konsolidasi Pembelajaran Pelaksanaan Pembangunan Sanitasi dengan Pendekatan Berbasis Masyarakat di Indonesia di Lido kabupaten Bogor Jawa Barat pada tanggal 17–19 Februari 2009. Lokakarya tersebut telah menjadi ajang saling berbagi pengalaman diantara penggiat Stop BABS sehingga didapatkan beragam pembelajaran dan praktek unggulan (best pracices). Melalui lokakarya ini, diharapkan dapat dihasilkan suatu kesepakatan tentang upaya-upaya menjamin keberlanjutan program CLTS ke depan.

Menyadari peningnya hasil lokakarya tersebut, kemudian mendorong Pokja AMPL Nasional, dengan

dukungan WASPOLA dan Sekretariat STBM untuk

(8)

Kami berhutang budi pada banyak pihak yang telah membantu sehingga buku ini dapat terwujud. Untuk itu, kami sampaikan penghargaan yang seinggi-ingginya dan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah menyumbangkan pemikiran, ikut terlibat dalam diskusi, dan membantu mematangkan buku ini. Semoga buku yang diterbitkan ini dapat bermanfaat terutama bagi para pembaca yang berminat mempelajari dan mengembangkan pendekatan Stop BABS. Amin.

Jakarta, Februari 2011

Nugroho Tri Utomo

(9)

Datar Isi

Kata pengantar v

Datar Isi viii

Datar Singkatan xi

Bab 1 Sekilas Community-Led Total Sanitaion (CLTS) di Indonesia 1

1.1 Umum ………...………....……… 1

1.2 Perkembangan CLTS ... 3

1.2.1 Pencapaian ………...……...……… 3

1.2.2 Beragam Pendekatan CLTS ………... 4

1.2.3 Penggiat CLTS ………... 5

1.3 Dari CLTS Menuju STBM... 6

1.4. Agenda... 8

Bab 2 Pembelajaran... 9

2.1 Kelembagaan... 9

2.1.1 Contoh nyata sebagai bahan diseminasi yang intensif mendorong imbulnya komitmen semua pihak ... 9

2.1.2 Pelaksanaan ‘Road Show’ sebagai pembuka jalan proses internalisasi program Stop BABS kedalam program pemerintah daerah ... 10

2.1.3 Internalisasi program Stop BABS kedalam program pemerintah daerah menjadi jaminan keberlanjutan ... 11

2.1.4 Kerjasama pemerintah daerah dengan berbagai pihak dalam perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan Stop BABS mempercepat pencapaian ODF ... 14

2.1.5 Pemicuan Stop BABS perlu dilakukan secara Terencana ... 15

2.1.6 Pendampingan intensif memberikan lebih banyak kesempatan bagi masyarakat untuk Berinteraksi ... 16

2.1.7 Dukungan aparat desa perlu digalang ... 17

(10)

2.1.9 Adopsi program Stop BABS dalam proyek AMPL mempercepat upaya pengutamaan

program Stop BABS ... 21 2.1.10 Mahasiswa berpotensi menjadi ujung tombak

pemicuan Stop BABS melalui program

KuliahKerja Mahasiswa ... 22 2.1.11 Format dan bentuk pemantauan yang sederhana

oleh kader di ingkat desa mendukung upaya pemantauan dan evaluasi program Stop BABS secara keseluruhan ... 23 2.1.12 Deklarasi Stop BABS (ODF) memicu

daerah lainnya ... 25 2.1.13 Peluang usaha penyediaan fasilitas sanitasi dasar

paska pemicuan Stop BABS ... 26

2.2 Pendanaan ... 27 2.2.1 Opimalisasi sumber daya yang ada dengan

mengadopsi program Stop BABS kedalam

program yang telah berjalan ... 27 2.2.2 Masyarakat mempunyai inisiaif sendiri dalam

menyelesaikan keterbatasan Pendanaan ... 28 2.2.3 Perubahan skema dana bergulir menjadi

non subsidi lebih menjanjikan ... 30

2.3 Sosial dan Budaya... 31 2.3.1 Kampiun sebagai penggerak utama program

Stop BABS... 31 2.3.2 Kaum perempuan sebagai kampiun program

Stop BABS dan pendorong utama perubahan perilaku masyarakat ... 33 2.3.3 Pemilihan waktu pemicuan menentukan

keberhasilan... 35 2.3.4 Karakterisik sosial budaya daerah mempengaruhi

teknik pemicuan ... 36

2.3.5 Anak dapat berperan dalam pemantauan

praktek BABS... 38 2.3.6 Menciptakan persaingan antar komunitas

mendorong percepatan pencapaian Stop BABS .... 39

2.4 Teknologi ... 40 2.4.1 Teknologi sederhana menunjang pencapaian

(11)

2.4.2 Pemanfaatan pengetahuan masyarakat dalam

mengatasi kendala ... 41

2.4.3 Keberadaan bengkel sanitasi membantu menghasilkan jamban yang terjangkau ... 42

2.4.4 Penerapan konsep jenjang sanitasi dapat terwujud melalui pendampingan ruin ... 43

Bab 3 Rangkuman Pembelajaran ... 47

3.1 Kelembagaan ... 47

3.2 Pendanaan ... 48

3.3 Sosial dan Budaya ... 48

3.4 Teknologi ... 49

Datar Pustaka ...... 50

Datar Lampiran Lampiran 1 Kabupaten Sumedang menuju Kabupaten Stop BABS Tahun 2012 ... 54

Lampiran 2 Paduan Promosi dan Internalisasi Program Mendorong Percepatan Program Stop BABS di Kabupaten Trenggalek ... 59

Lampiran 3 Dipicu, Terpicu, dan Memicu. Pengalaman PCI Indonesia Mengimplementasikan Program Stop BABS ... 61

Lampiran 4 Keterlibatan Semua Lapisan Masyarakat: Kunci Kesuksesan Program Sanitasi “CLTS” Desa Panimbo ... 66

Lampiran 5 Desa Sawe Kabupaten Dompu: Desa Pertama yang Menjawab Tantangan Menteri Kesehatan di NTB... 72

(12)

Datar Singkatan

Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Buang Air Besar

Buang Air Besar Sembarangan

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Community-Led Total Sanitaion

Cuci Tangan Pakai Sabun

Community Water Services and Health Project Demam Berdarah Dengue

Indonesia Sanitaion Sector Development Project Infeksi Saluran Pernapasan Akut

Kepala Keluarga Kuliah Kerja Mahasiswa Kejadian Luar Biasa

Lembaga Peneliian dan Pengabdian Masyarakat Lokakarya Nasional

Pengelolaan Air Minum Rumah Tangga

Program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat

Project Concern Internasional Pemerintah Daerah

(13)

PPK

Program Pengembangan Kompetensi–Indeks Pembangunan Manusia

Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Pengelolaan Sampah Rumah Tangga

Perguruan Tinggi Pekerjaan Umum

Pusat Kesehatan Masyarakat Riset Kesehatan Dasar

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Rukun Tetangga

Rencana Tindak Lanjut Sanitasi oleh Masyarakat

Stop Buang Air Besar Sembarangan Sekolah Dasar

Sumber Daya Air

Sanitaion Health Behaviour Change Surat Keputusan

Sanitasi Total Berbasis Masyarakat Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Masyarakat Sanitasi Total dan Pemasaran Sanitasi Survei Sosial Ekonomi Nasional

Total Sanitaion and Sanitaion Markeing Universitas Gajah Mada

United Naions Children’s Fund

Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Serang, Banten) United State Agency for Internaional Development Village Educaion Resource Centre

Warga Akif - Hidup Anak Sehat

Water Supply and Sanitaion Policy Formulaion and Acion Planning

Water and Sanitaion Policy and Acion Planning-Facility Water and Environmental Sanitaion

World Health Organizaion

(14)
(15)

BAB 1

SEKILAS COMMUNITY-LED TOTAL

SANITATION (CLTS) DI INDONESIA

1.1 Umum

Berbagai macam pendekatan pembangunan sanitasi telah dilaksanakan di Indonesia baik pendekatan dari atas (top-down) maupun pendekatan dari bawah (botom-up). Pendekatan dari atas dicirikan oleh pandangan bahwa masyarakat sasaran idak memiliki kapasitas dan kemampuan dalam seiap tahapan pembangunan sarana. Pendekatan ini memandang masyarakat sasaran lemah dan idak berdaya, karenanya masyarakat hanya layak sebagai obyek penerima saja. Sedangkan rancangan dan pelaksanaan pembangunan sarana dilakukan oleh pihak yang berada di luar masyarakat atau kontraktor, sedangkan masyarakat sendiri hanya sebagai ”penonton” saja. Oleh karenanya, masyarakat sebagai penerima manfaat sarana yang dibangun merasa bahwa pembangunan bukanlah miliknya. Pendekatan semacam ini terbuki kurang berhasil mempertahankan keberlanjutan fasilitas yang telah dibangun, fasilitas banyak yang idak terpelihara bahkan rusak. Buki-buki dapat dilihat di lapangan seperi jamban dan MCK yang telah dibangun namun idak dipergunakan dan dipelihara dengan baik. Sehingga kemudian hanya layak dilihat sebagai monumen belaka.

(16)

sarana, walaupun belum secara total danterpadu. Arinya campur tangan pihak luar, seperi pemberian dana subsidi dan bantuan-bantuan lain masih relaif besar.

Sementara hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Tahun 2007 menunjukkan bahwa 24,8% rumah tangga idak menggunakan fasilitas BAB di desa dan di kota. Masih sekitar 70 juta penduduk Indonesia yang BABS, dengan jumlah terbesar berada di perdesaan. Kondisi tersebut di atas, membawa kita semua pada kesadaran bahwa upaya untuk mengurangi perilaku BABS sampai pada awal tahun 2000 masih belum sepenuhnya berhasil. Penanganan perilaku BABS lebih difokuskan pada pembangunan fasilitas dan pemberian subsidi pembangunan jamban yang ternyata idak sepenuhnya dapat merubah perilaku masyarakat, bahkan hanya menambah jumlah “monumen” jamban/ toilet yang ada. Analisis kriis kemudian membawa kita pada kesimpulan bahwa pendekatan selama ini kurang tepat. Kesadaran ini mendorong kita mulai menggunakan pendekatan baru yang seperi pendekatan

Community-Led Total Sanitaion (CLTS). Sejak itu, pendidikan PHBS mulai memasuki era baru. Fokus perubahan perilaku dikedepankan sehingga pemberian subsidi untuk mendorong pembangunan jamban idak lagi menjadi pilihan.

(17)

yang dikendalikan oleh masyarakat sendiri untuk mengatasi permasalahan sanitasi yang dihadapi secara menyeluruh. Prinsip yang dianut dalam CLTS adalah tanpa subsidi, idak menggurui, idak memaksa, dan idak mempromosikan jamban. Salah satu indikator keberhasilan pendekatan CLTS adalah tercapainya kondisi open defecaion free (ODF)/Stop BABS, yang ditandai dengan (i) keseluruhan masyarakat telah BAB hanya di jamban dan membuang inja/kotoran bayi hanya ke jamban, (ii) idak terlihat inja manusia di lingkungan sekitar, (iii) upaya peningkatan kualitas jamban yang ada supaya semua menuju jamban aman, kuat, sehat, dan nyaman, (iv) penerapan sanksi, peraturan atau upaya lain oleh masyarakat untuk mencegah kejadian BAB di sembarang tempat, (v) pemantauan mandiri oleh komunitas.

1.2 Perkembangan CLTS

1.2.1 Pencapaian

Menurut data per September 2008, pelaksanaan CLTS di Indonesia telah mencakup 2.312 desa, 213 kabupaten/kota, dan 30 provinsi di Indonesia. Diantaranya yang telah mendeklarasikan sebagai desa ODF, yaitu desa yang seluruh penduduknya idak lagi mempraktekkan BABS, mencapai 123 desa. Tercatat berbagai lembaga, terdiri dari 1 LSM lokal dan 4 LSM/

1 Data yang diperoleh dari bahan yang dipresentasikan pada Pertemuan Stakeholder

STBM di Hotel Grand Jaya Raya, Cipayung, Bogor, tanggal 9 – 10 Januari 2009.

(18)

organisasi internasional, 8 dinas/instansi pemerintah daerah, 4 proyek, dan perguruan inggi/universitas yang menggunakan pendekatan CLTS ini.

1.2.2 Beragam Pendekatan CLTS

Pendekatan CLTS dilaksanakan oleh beragam penggiat mulai dari pemerintah, LSM, perguruan inggi, dan beragam sumber dana. Keberagaman ini kemudian tercermin pula dalam pendekatan CLTS, sehingga paling idak terdapat 5 (lima) variasi pendekatan, yaitu:

a. Model Pemerintah-Masyarakat.

Contoh penerapan-nya di kabupaten Sumedang. Biaya pelaihan dan pendampingan masyarakat menggunakan dana Dinas Kesehatan Kabupaten Sumedang, pemantauan perubahan perilaku dilakukan kader desa dengan bimbingan sanitarian memanfaatkan kartu.

b. Model Proyek-Pemerintah-Masyarakat.

Contoh penerapannya adalah Water and Sanitaion for Low Income Communiies 2, Community Water Sanitaion and Health Project, ProAir. CLTS diadopsi kedalam skema proyek di tengah perjalanan proyek. Sedikit berbeda adalah Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS) atau WES Unicef di Indonesia Timur, yakni CLTS diadopsi sejak awal, pada saat perencanaan proyek.

c. Model LSM-Masyarakat.

(19)

Tabel 1.1 Penggiat CLTS di Indonesia per Februari 2009

No. Lembaga Kategori Mulai

Kegiatan

3. Yayasan HARFA LSM 2006 1 10 0 4. LPPM Unirta Perguruan

Tinggi 2007 1 - 0

5. LPPM UGM Perguruan Tinggi 2008 1 1 0 6. WSLIC 2 Proyek 2005 37 396 37

7. ProAir Proyek 5 26 0

8. PAMSIMAS Proyek 2008 111 1017 5 9. UNICEF ESA 2008 29 70 1 10. TSSM-WSP EAP ESA 2005 29 315 62

11. ESP Proyek 1 1 0

12. CWSHP Proyek 27 137 8

13. ISSDP Proyek 1 2 0

14. Pemerintah Daerah Pemerintah 10 75 6 15. Pemerintah Pusat Pemerintah 2005 tad tad Tad 16. Yayasan Sehat Papua LSM 2008 1 3 0

Pelaku tambahan, belum ada data :

17. Balifokus LSM tad tad tad 18. Dian Desa LSM tad tad tad 19. Mercy Corp LSM tad tad tad

20 CARE Internaional LSM tad tad tad

Total 264 2.103 126

Sumber: Lokakarya Konsolidasi Pembelajaran CLTS, 2009.

1.2.3 Penggiat CLTS

Sejak pertama kali diperkenalkan di Indonesia, terdapat paling idak 20 lembaga menjadi penggiat CLTS mulai dari LSM, perguruan inggi, proyek AMPL, dan pemerintah daerah. Berikut ini datar penggiat CLTS yang terideniikasi sampai dengan Februari 2009.

d. Model Donor-Pemerintah-Masyarakat.

Contoh penerapannya adalah Unicef dengan PCI di Aceh, WSP Bank Dunia di Jawa Timur melalui TSSM.

e. Model perguruan inggi.

(20)

Inisiaif Indonesia untuk melaksanakan CLTS, diilhami oleh keberhasilan Bangladesh dalam menerapkan pendekatan CLTS ini yang dimulai pada tahun 1999. Pada bulan Mei 2005, pendekatan CTLS mulai diujicobakan di enam kabupaten yaitu Sumbawa (Nusa Tenggara Barat), Lumajang (Jawa Timur), Sambas (Kalimantan Barat), Muaro Bungo (Jambi), Muara Enim (Sumatera Selatan) dan Bogor (Jawa Barat). Pada pertengahan tahun 2006, dilakukan evaluasi terhadap hasil uji coba dan ternyata di kabupaten Muara Enim, Bogor, Sambas dan Muara Bungo hanya dalam waktu kurang lebih iga sampai empat bulan, masyarakat telah berhasil bebas dari kebiasaan BAB di tempat terbuka. Mereka telah BAB di tempat yang selayaknya, yaitu di jamban yang mereka bangun sendiri, dan semua perubahan tersebut terjadi tanpa pemberian subsidi.

Melihat keberhasilan tersebut, WSP-EAP pada tahun 2006 kemudian mengembangkan lebih lanjut CLTS menjadi TSSM (Total Sanitaion and Sanitaion Markeing) atau yang kemudian kita kenal dengan

Sanitasi Total dan Pemasaran Sanitasi (SToPS), suatu upaya program yang memfokuskan pada peningkatan akses terhadap sarana sanitasi sebagai kebutuhan masyarakat melalui pemberdayaan dan pemasaran produk sanitasi dengan meningkatkan variasi jenis dan harga yang ada di pasar sehingga terjangkau oleh semua lapisan masyarakat serta mencukupi kebutuhan permintaan pasar. Program ini sedang berlangsung di Jawa Timur pada 29 kabupaten. Pada TSSM mulai ada pembagian peran diantara masyarakat, aparat desa, kecamatan maupun kabupaten; termasuk meningkatkan perhaian pada bagaimana menciptakan kebutuhan, memberikan perhaian pada sisi penawaran dan ramah lingkungan.

(21)

Selain itu juga, berbagai pihak kemudian juga mulai mencoba mengadopsi pendekatan CLTS ke dalam kegiatan mereka, diantaranya proyek Second Water and Sanitaion for Low Income Communiies (WSLIC2), Community Water Supply and Health (CWSH), ProAIR, Water and Environmental Sanitaion (WES) UNICEF; beberapa LSM seperi Plan Indonesia, Project Concern Internaional (PCI), Harfa; pemerintah daerah, perguruan inggi seperi Universitas Tirtayasa Banten.

Belajar dari berbagai pengalaman pelaksanaan CLTS dan program lainnya, pelaksanaan CLTS di Indonesia kemudian mengalami berbagai penyesuaian diantaranya dengan menggabungkan CLTS ke dalam suatu wadah program yang disebut Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM), yang terdiri dari lima pilar, yaitu Stop BABS (dahulu dikenal sebagai CLTS), Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS), Pengelolaan Air Minum Rumah Tangga (PAM-RT), Pengelolaan Sampah Rumah Tangga (PSRT) dan Pengelolaan Limbah Rumah Tangga (PLRT). Departemen Kesehatan memperkenalkan STBM sebagai suatu program nasional pada tahun 2009.

(22)

Dalam perspekif STBM, saat ini CLTS telah berubah nama menjadi Stop Buang Air Besar Sembarangan (Stop BABS). Pelaksanaan Stop BABS idak lagi hanya didominasi pemerintah pusat, bahkan telah melibatkan pemerintah daerah, perguruan inggi, LSM, dan proyek AMPL lainnya.

1.4 Agenda

Berangkat dari implementasi CLTS, TSSM maupun STBM dengan cakupan yang telah tercapai hingga saat ini, kemudian pertanyaan yang muncul, dan perlu mendapat jawaban diantaranya:

• Bagaimana pola penerapan dan perkembangan Stop BABS/CLTS yang telah dilaksanakan oleh masing-masing pelaku?

• Sejauh manakah para pelaku mengacu kepada model baku?

• Adakah inovasi-inovasi yang terjadi dalam praktek?

• Bagaimanakah keberlanjutan pelayanan di ingkat masyarakat?

• Bagaimanakah mekanisme bantuan teknis dan pemantauan serta evaluasi ?

• Bagaimanakah peran pemerintah daerah dalam tahapan perencanaan, pelaksanaan, dan pasca pemicuan?

• Adakah pengalaman/pembelajaran spesiik dari masing-masing pelaku berkaitan dengan pelaksanaan di lapangan?

(23)

BAB 2

PEMBELAJARAN

Pembelajaran Stop BABS diklasiikasikan dalam lima aspek keberlanjutan, yaitu kelembagaan, pendanaan, sosial, teknologi dan lingkungan.

2.1 Kelembagaan

2.1.1 Contoh nyata sebagai bahan diseminasi yang

intensif mendorong imbulnya komitmen

semua pihak

Tahun 2004, WSP-EAP dan WASPOLA sebagai pihak yang membawa CLTS ke Indonesia, memfasilitasi kunjungan Pokja AMPL Nasional ke Bangladesh dan India untuk mempelajari pendekatan CLTS, yang dilanjutkan dengan Pelaihan CLTS bagi 6 daerah percontohan lokasi proyek WSLIC-2 bertempat di kabupaten Lumajang, Jawa Timur pada bulan Mei 2005. Beberapa bulan kemudian, setelah terbuki tercapainya desa ODF/Stop BABS di beberapa lokasi daerah percontohan, kemudian Pokja AMPL Nasional menjadikannya sebagai bahan promosi. Pokja AMPL Nasional bersama WASPOLA melakukan diseminasi ke berbagai penggiat pembangunan AMPL, termasuk proyek AMPL, maupun organisasi yang mempunyai kepedulian terhadap sanitasi. Hanya dalam waktu yang idak terlalu lama kemudian beberapa daerah, LSM dan proyek AMPL tertarik mengadopsi pendekatan ini.

(24)

Menyebar ke seluruh Indonesia

Hasil uji coba di 6 lokasi ini kemudian mendorong banyak pihak untuk mulai melaksanakan pendekatan CLTS di berbagai lokasi seperi: (i) WSLIC-2,yang mencakup Jawa Barat di 3 kabupaten: Bogor, Cirebon dan Ciamis; Sumatera Selatan di 4 Kabupaten: Lahat, Muara Enim, Musi Banyuasin dan Banyuasin; Kepulauan Bangka Belitung di kabupaten Belitung; Sumatera Barat di 4 kabupaten: Pesisir Selatan, Solok, Sawahlunto Sijunjung dan Pasaman; Jawa Timur di 14 Kabupaten: Ponorogo, Blitar, Kediri, Malang, Lumajang, Jember, Bondowoso, Probolinggo, Mojokerto, Bojonegoro, Lamongan dan Sampang; Nusa Tenggara Barat di 6 kabupaten: Lombok Barat, Lombok Tengah, Lombok Timur, Sumbawa, Dompu dan Bima; Sulawesi Selatan di 3 kabupaten: Bone, Enrekang dan Jeneponto; Sulawesi Barat di 2 kabupaten: Polewali Mandar dan Mamasa; (ii) PCIdi kabupaten Pandeglang, Banten dan Nabire, Papua; (iii) PAMSIMAS di 13 propinsi, (iv) TSSM di propinsi Jawa Timur; (v) UNICEF di 7 propinsi (NAD, NTB, NTT, Sulawesi Selatan, Maluku, Papua dan Papua Barat); (vi) Plan Internasional Indonesia di beberapa kabupaten propinsi Jawa Tengah, NTT dan NTB; dan (vii)CWSHP di 20 kabupaten pada 4 propinsi (Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Jambi dan Bengkulu)

2.1.2 Pelaksanaan ‘Road Show’ sebagai pembuka jalan proses internalisasi program Stop BABS

ke dalam program pemerintah daerah.

Disadari sepenuhnya bahwa program Stop BABS diinisiasi oleh pemerintah pusat, walaupun pada kenyataannya penyelenggaraan sanitasi telah menjadi kewajiban pemerintah daerah. Untuk itu, upaya advokasi kepada pemerintah daerah termasuk kalangan legislaif dianggap pening untuk dilakukan sebagai upaya menjadikan Stop BABS bagian dari program pemerintah daerah. Dengan demikian pelaksanaan program Stop BABS dimulai dengan upaya penyamaan persepsi diantara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Diharapkan dengan demikian pelaksanaan program Stop BABS menjadi satu kesatuan dengan program pembangunan sanitasi di daerah. Upaya advokasi ini yang kemudian dikenal sebagai ‘road show’.

(25)

legislaif, LSM, perguruan inggi dan tokoh masyarakat. Diupayakan agar pertemuan dibuka oleh Bupai/ Walikota dengan harapan akan menghadirkan seluruh pihak terkait. Setelah sesi pembukaan dan penjelasan program, dilanjutkan dengan sesi penyusunan rencana indak lanjut. Jika di daerah bersangkutan belum terbentuk Pokja AMPL, lokakarya tersebut juga sekaligus merupakan lokakarya pembentukan Pokja AMPL. Diharapkan Pokja AMPL akan berperan sebagai

focal point pelaksanaan pembangunan AMPL termasuk

Stop BABS di daerah tersebut. Selanjutnya dilakukan pendampingan agar program Stop BABS dapat tertuang dalam strategi pembangunan daerah baik berupa rencana strategi AMPL, maupun RPJMD.

Contoh pelaksanaan program Stop BABS yang dimulai dengan road show adalah di daerah binaan Plan Internaional Indonesia seperi di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah; Kabupaten Dompu, NTB; dan daerah kerja proyek TSSM/SToPS di propinsi Jawa Timur. Hal yang sama di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, salah satu daerah Pamsimas yang dianggap sukses. Ciri khas dari keberhasilan upaya road show ini ditandai dengan komitmen dari Bupai termasuk legislaif dalam menjadikan program Stop BABS sebagai program daerahnya. Tidak hanya itu, sebagai contoh Kabupaten Sumedang, bahkan secara signiikan meningkatkan anggaran sanitasi dalam APBDnya.

2.1.3 Internalisasi program Stop BABS kedalam program pemerintah daerah menjadi jaminan keberlanjutan

(26)

bahwa program Stop BABS hanya dilaksanakan pada lokasi atau daerah yang menunjukkan adanya kebutuhan yang ditandai dengan adanya minat dan komitmen terhadap program ini.

Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan upaya untuk mendorong imbulnya kebutuhan tersebut melalui diseminasi dan advokasi yang merupakan upaya awal. Langkah tersebut perlu diindaklanjui melalui upaya internalisasi program Stop BABS kedalam program pemerintah daerah. Keberadaan Pokja AMPL dapat menjadi pintu masuk. Namun jika belum terbentuk, pembentukan Pokja AMPL merupakan salah satu prioritas. Pokja AMPL dapat menjadi kelompok penggerak perubahan paradigma pengambil keputusan di daerah dan sekaligus pengawal proses internalisasi program Stop BABS.

Walaupun demikian, terdapat contoh keika Pokja AMPL belum terbentuk, namun pemerintah daerah terpicu untuk melaksanakan program Stop BABS, yaitu di Kabupaten Trenggalek melalui proyek TSSM. Proses internalisasi program Stop BABS terlihat dari indikator dikeluarkannya Surat Keputusan Bupai Nomor 15 Tahun 2009 tentang Pelaksanaan STBM, tersedianya

Dukungan Pemerintah Daerah sebagai Faktor Utama Keberhasilan Kabupaten Trenggalek

(27)

alokasi dana APBD, berkembangnya kegiatan promosi STBM oleh pemerintah daerah, serta pemantauan ruin.

Hingga 2008, di Kabupaten Trenggalek telah dilakukan pemicuan di 157 desa/kelurahan, dengan hasil sebanyak 29 desa dan 67 dusun telah mencapai Stop BABS, serta terus dilakukan pemantauan perkembangan program di lapangan dengan target selain terus menambah desa Stop BABS juga akan mengembangkan pilar STBM lainnya. Hal ini terjadi karena ihak pemerintah kabupaten telah menetapkan TSSM sebagai prioritas program.

Hal yang sama terjadi di Kabupaten Muaro Jambi, melalui dukungan dana APBD dan proyek CWSHP, desa Muaro Pijoan dan Mendaro Laut berhasil mencapai stop BABS. Bahkan 5 desa lainnya juga sudah stop BABS, yang salah satu diantaranya adalah Desa Marasebo tempat pencanangan PHBS oleh Bupai Muaro Jambi, pada tahun 2008.

Langkah pemerintah Kabupaten Sumedang bahkan lebih jauh. Misalnya, Stop BABS dimasukkan sebagai salah satu kegiatan dari PPK–IPM (Program Pengembangan Kompetensi–Indeks Prestasi Manusia). Demikian juga dengan Program Desa Siaga yang salah satu indikatornya adalah Stop BABs dan pengelolaan sampah.

(28)

Program Stop BABS juga masuk dalam musrenbang di ingkat kecamatan dan kabupaten. Disamping itu, kegiatan di Klinik Sanitasi diarahkan untuk melakukan pelaihan Stop BABS bagi kader-kader Posyandu.

2.1.4 Kerjasama pemerintah daerah dengan berbagai pihak dalam perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan program mempercepat

pencapaian Stop BABS.

Untuk keberhasilan dan kesinambungan program Stop BABS di suatu daerah seyogyanya dilakukan penyusunan rencana secara bersama antara pemerintah dan para pemangku kepeningan lain di ingkat lapangan. Pemerintah diposisikan sebagai pihak pemilik program, dan pihak luar berperan sebagai pendukung pemerintah dalam melaksanakan tugas pelayanan dasar bagi masyarakat. Walaupun pada tataran praktek, porsi besar pekerjaan pihak luar/ LSM terlihat lebih besar, namun hal ini idak merubah tanggung jawab pemerintah dalam pelayanan dasar.

(29)

dengan pelaihan pelaih (Training of the Trainer/TOT) CLTS yang diikui oleh tokoh warga/relawan.

2.1.5 Pemicuan Stop BABS perlu dilakukan secara terencana

Terdapat kesalahkaprahan bahwa pemicuan dapat dilakukan dimana saja dengan tanpa persiapan. Pada dasarnya idak ada panacea atau obat untuk segala penyakit. Perlu disadari juga bahwa program Stop BABS yang mengharamkan subsidi idak selamanya dapat dilaksanakan dengan mudah bahkan idak mungkin dilaksanakan pada kondisi ekstrim. Prinsip tanpa subsidi ini hanya dapat terlaksana keika biaya pembangunan jamban terjangkau oleh masyarakat. Namun pada beberapa lokasi dengan kondisi seperi ingkat kepadatan sangat inggi di perkotaan, kondisi isik yang berupa rawa, tepi pantai, daerah cadas, dan daerah air tanah inggi, mempunyai konsekuensi biaya pembangunan jamban idak terjangkau masyarakat. Selain itu, lokasi desa yang telah dimasuki proyek yang memberikan subsidi jamban akan sulit dimasuki program Stop BABS. Kondisi ini perlu diketahui sebelum dilakukan pemicuan, sehingga fasilitator telah menyiapkan strategi terkait kendala yang akan dihadapi.

(30)

2.1.6 Pendampingan intensif memberikan lebih banyak kesempatan bagi masyarakat untuk berinteraksi

Pelaksanaan pemicuan yang disertai pendampingan secara intensif merupakan salah satu kunci keberhasilan perubahan perilaku masyarakat. Keberadaan fasilitator yang seiap saat berada di tengah masyarakat memungkinkan masyarakat mempunyai banyak waktu dan kesempatan untuk bertanya langsung. Kondisi ini biasanya hanya dapat dipenuhi oleh LSM baik internasional maupun lokal. Mereka dapat mengerahkan tenaga fasilitator untuk mendampingi masyarakat sepanjang waktu karena mempunyai sumber daya yang memadaibaik dalam jumlah maupun jenis keahlian.

LSM internasional dan LSM lokal tersebut mengerahkan tenaga pendamping masyarakat, yang mendampingi masyarakat sejak pemicuan, pendampingan pembangunan sarana jamban, mela-kukan pemantauan dan evaluasi, sehingga tercapainya Stop BABS secara bertahap sejak ingkat kampung atau dusun, berlanjut ke ingkat desa dan menyebar ke desa lainnya di kecamatan tersebut.

(31)

Pada tahap awal pelaksanaan CLTS di Indonesia, PCI dan Plan Internasional Indonesia merupakan LSM internasional yang berkiprah menggunakan pendekatan CLTS sebagai bagian dari program layanannya di beberapa daerah di Indonesia. PCI memulai program CLTS sebagai salah satu sub program

WAHANA Sehat (Warga Akif Hidup Anak Sehat) di 5 kecamatan (Sakei, Pagelaran, Paia, Sukaresmi dan Angsana) pada 29 desa. Dimulai dengan pelaihan CLTS pada pertengahan Desember 2005, pada bulan September 2006 telah menunjukkan hasil yang baik seperi dapat dilihat pada graik di atas. Menyadari bahwa angka cakupan belum mencapai seluruh desa pada lokasi tersebut, PCI menyerahkan pengelolaan program CLTS tersebut kepada LSM lokal, Lembaga Amil Zakat Harfa yang meneruskan program di 2 kecamatan bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Pandeglang. Selanjutnya pemerintah daerah yang meneruskan di 6 kecamatan lain. Sementara Plan Internasional Indonesia melaksanakan program CLTS di kabupaten Dompu dengan cara melakukan intervensi langsung kepada aparatur pemerintahan di kecamatan dan desa serta kader di kecamatan Hu’u pada 3 desa, serta di kabupaten Grobogan dengan cara melakukan intervensi melalui roadshow kepada pimpinan daerah sehingga memungkinkan terbentuknya Tim CLTS sejak kabupaten sampai ke desa. Sedangkan Yayasan Pancur Kasih, yang merupakan LSM lokal, melaksanakan CLTS pada desa percontohan di masing-masing 2 desa di kabupaten Landak dan kabupaten Kubu Raya, melalui program pendidikan kriis kesehatan.

Pendampingan Intensif Menuju Stop BABS

2.1.7 Dukungan aparat desa perlu digalang

Aparat desa seyogyanya merupa-kan petugas yang berhubungan erat dengan keseharian masyarakat. Sehingga keterlibatan aparat desa dalam pelaksanaan program Stop BABS dapat mempercepat penerimaan masyarakat. Namun terlebih dahulu perlu dilakukan upaya memberi pemahaman tentang program Stop BABS, baik mengenai maksud dan tujuan program, bagaimana cara melakukannya, dan dukungan apa yang diperlukan dari aparat pemerintah.

(32)

Bone, Sulawesi Selatan yang merupakan lokasi proyek WSLIC-2. Kepala Desa berikut perangkat desa, tokoh masyarakat dan kader kesehatan desa tergabung dalam wadah Tim CLTS, ikut terlibat dalam pemicuan. Keterlibatan kepala desa berikut perangkatnya merupakan bantuan yang sangat berharga dalam mempercepat pencapaian stop BABS. Walaupun disadari juga bahwa faktor lain turut mempengaruhi keberhasilan seperi pengetahuan masyarakat tentang dampak negaif dari membuang kotoran di sembarang tempat, ketersediaan air, dan ketersediaan material lokal atau material pendukung dari toko.

Sementara di Desa Babat, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, keterlibatan pemerintah desa dalam Tim Gerakan Pemberantasan Tai yang dibentuk bersama masyarakat, sehingga dalam jangka 4 minggu desa tersebut mampu mencapai Stop BABS.

Bentuk lain keterlibatan aparat pemerintahan desa berupa pemberian legiimasi dari kepala desa/lurah kepada pelaksana program Stop BABS di desa, yang dapat mempercepat proses pemicuan di ingkat masyarakat.

(33)

Di desa Sindanglaya, kecamatan Pagelaran kabupaten Pandeglang, Banten, legiimasi diberikan kepada Tim Kesehatan Desa melalui SK Kepala Desa, yang kemudian membentuk Tim Pemberantas Tai/ Waduk (TPT/TPW) di seiap dusun. Perubahan yang terjadi di desa tersebut berdampak pada perkampungan idak bau kotoran manusia, padahal sampai awal tahun 2005, bau kotoran manusia sangat terasa karena kotoran ada dimana-mana (pinggir jalan, kebun, sawah, kali dan lapangan bola). BABS menjadi hal memalukan dan dipandang idak baik.

Namun mendapatkan dukungan kepala desa idak selamanya mudah dilakukan. Pengalaman PCI di kabupaten Pandeglang, Banten keika praktek pemicuan dilakukan di desa Kertasana, kecamatan Pagelaran, Kepala Desanya idak yakin masyarakatnya mampu berubah, serta mampu membangun sendiri jamban sesuai dengan kemampuannya. Alasannya adalah masyarakat akan bergerak setelah mendapatkan subsidi, misalnya untuk membangun jamban diberi subsidi 1 zak semen. Tapi setelah Kepala Desa diajak berkeliling melakukan pengamatan lapangan, dengan mata kepalanya sendiri melihat sebaran inja ada dimana mana, serta melihat sendiri

masyarakatnya mau berubah, barulah kemudian Kepala Desa mendukung pelaksanaan Stop BABS. Kemudian desa ini menjadi salah satu desa yang berkontribusi terhadap jumlah jamban yang terbangun tanpa subsidi sehingga Kabupaten

Pandeglang, Banten

mendapatkan Penghargaan MURI pada tahun 2007 sebagai

(34)

kabupaten dengan jumlah jamban terbangun tanpa subsidi terbanyak dalam setahun.

2.1.8 Menjadikan Puskesmas dan Posyandu berikut jajaran petugas kesehatannya sebagai ujung tombak mempercepat penerimaan masyarakat

Jajaran dinas kesehatan, mulai dari kabupaten, kecamatan, sampai di desa merupakan para penggiat Stop BABS yang potensial, disamping merubah perilaku hidup bersih merupakan tugas pokok dan fungsi mereka, kapasitas sumber daya manusianya pun relaif memenuhi syarat. Petugas sanitarian, bidan desa, termasuk kader posyandu yang berasal dari masyarakat merupakan ujung tombak pelaksanaan Stob BABS yang dapat diandalkan.

Keterlibatan sanitarian sudah jelas, karena memang bidang tugasnya, sehingga peran supervisi melekat pada dirinya. Sedangkan peran bidan, dilakukan seiring dengan tugasnya melayani kesehatan ibu dan anak, termasuk dalam proses persalinan, sehingga peran memberikan moivasi lebih menonjol. Beberapa contoh sukses atas peran jajaran dinas kesehatan adalah di Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan yang bertumpu pada igur kepala puskesmas dan bidan desa. Sementara di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat keterlibatan akif kepala Dinas Kesehatan beserta jajarannya dalam upaya menjadikan program Stop BABS sebagai program prioritas pemerintah daerah.

(35)

kegiatan pemicuan dilakukan di seiap dusun. Pemicuan dilakukan oleh kader Posyandu dengan dikoordinasikan oleh sanitarian Puskesmas.

2.1.9 Adopsi program Stop BABS dalam proyek AMPL mempercepat upaya pengarusutamaan program Stop BABS

Kemampuan pemerintah daerah dalam pembangunan AMPL masih relaif terbatas. Untuk itu, pemerintah pusat melalui sumber dana hibah dan pinjaman banyak melakukan intervensi pembangunan AMPL di daerah. Pembangunan AMPL diserahkan pelaksanaannya melalui proyek AMPL yang tersebar di seluruh Indonesia.

Seluruh proyek AMPL telah mengadopsi program Stop BABS. Keberadaannya di hampir seluruh Indonesia membantu pemerintah pusat dalam memperkenalkan program Stop BABS kepada pemerintah daerah maupun pelaku pembangunan AMPL lainnya. Keterlibatan proyek AMPL dalam pelaksanaan program Stop BABS akan membantu mempercepat pengarusutamaan program di daerah.

(36)

2.1.10 Mahasiswa berpotensi menjadi ujung tombak pemicuan Stop BABS melalui program Kuliah Kerja Mahasiswa

Program kuliah kerja mahasiswa yang mengerahkan mahasiswa dalam jumlah banyak ke desa-desa, merupakan ajang yang potensial dalam melibatkan mahasiswa dalam pelaksanaan Stop BABS. Dengan pembekalan yang memadai, mahasiswa dapat berperan menjadi fasilitator pemicu perubahan di ingkat masyarakat. Melalui kerja sama antara pemerintah daerah dan perguruan inggi, dapat dibangun suatu sinergi untuk membantu masyarakat desa dalam memperbaiki kualitas hidupnya.

Keterlibatan perguruan inggi pertama kali oleh Universitas Tirtayasa pada tahun 2007, melalui pelaihan yang diikui 108 orang, terdiri dari 26 dosen, 5 sanitarian dari 5 Puskesmas lokasi KKM serta 7 orang peserta tambahan dari P2KP Banten, yang dilanjutkan dengan pemicuan CLTS di 14 desa. Program kemudian berjalan dengan lebih baik pada tahun 2008, masih di 5 Kecamatan, Carenang, Curug, Pontang, Tirtayasa, Tunjung Teja di kabupaten Serang. Pada tahap awal dilaih sebanyak 75 orang terdiri dari 34 dosen, 14 mahasiswa, sisanya berasal dari PKK, Sanitarian, Bidan,

(37)

2.1.11 Format dan bentuk pemantauan yang sederhana

oleh kader di ingkat desa mendukung upaya

pemantauan dan evaluasi program Stop BABS secara keseluruhan

Salah satu kendala dalam pelaks-anaan program AMPL selama ini adalah kesulitan memperoleh data yang dapat diandalkan. Sebagian besar disebabkan bentuk format pelaporan yang rumit dan sulit dipahami. Melalui pelaksanaan program Stop BABS kemudian ditemui beberapa upaya pencatatan kemajuan pelaksanaan kegiatan yang sederhana dan dilaksanakan langsung oleh kader di lapangan.

Dari format yang tersusun dari daerah inilah kemudian diharapkan data yang didapatkan dapat serta tokoh masyarakat; dilanjutkan dengan 5 dosen dan 1 mahasiswa mengikui pelaihan Keterampilan Dasar Fasilitasi. Melalui koordinasi dengan Pokja AMPL Banten serta Pokja AMPL Kabupaten Serang, hasilnya lebih baik, sehingga sudah ada beberapa kampung yang mencapai Stop BABS.

Sedangkan di Universitas Gajah Mada telah dilaih 22 mahasiswa yang tergabung dalam komunitas

Waterplan Community terkait Teknis Pemicuan

(38)

berkembang menjadi data nasional. Sementara format pemantauan dan evaluasi dapat menjadi embrio bagi upaya mendapatkan format pemantauan dan evaluasi yang mudah, dan dapat dilaksanakan.

Sebagai contoh, PCI melalui programnya di kabupaten Pandeglang, Banten mengembangkan format pemantauan dan evaluasi yang sederhana. Kader atau Tim CLTS desa melakukan pemantauan, kemudian petugas lapangan PCI melakukan rekap perkembangan seiap desa, dan digabungkan di ingkat kecamatan. Format pemantauan dan evaluasi tersebut terus dikembangkan PCI melalui programnya di Kabupaten Nabire, Papua; Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Aceh Selatan, Aceh Barat Daya, NAD.

Sementara di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, pemantauan dilakukan melalui kunjungan rumah oleh Kader Dasa Wisma. Pencatatan atas perubahan perilaku menggunakan formulir yang disiapkan oleh Dinas Kesehatan. Selain itu dipergunakan Siker STBM melalui

(39)

Program Lingkungan Sehat Dinas Kesehatan Kabupaten Sumedang, maupun Pamsimas. Hasil pemantauan kader tersebut kemudian dicatat dalam format laporan yang disiapkan Dinas Kesehatan

Sumedang, untuk kemudian direkap oleh Puskesmas dan Dinas Kesehatan sehingga akhirnya tersedia laporan perkembangan program Stop BABS bulanan.

Siker STBM ditempel di seiap rumah.

Foto : Dinas Kesehatan Kabupaten Sumedang

2.1.12 Deklarasi Stop BABS (ODF) memicu daerah lainnya

Deklarasi ODF di Desa Sawe Kecamatan Huu di Kabupaten Dompu oleh Bupai Dompu, deklarasi ODF di Desa Sukawening Kecamatan Ganeas oleh Bupai Sumedang, serta pemberian Penghargaan Museum Rekor Indonesia (Muri) kepada kabupaten Pandeglang untuk Pembuatan Jamban Terbanyak Tanpa Subsidi Selama Satu Tahun (sekitar 2.000 jamban), adalah contoh deklarasi yang kemudian memicu, desa lain di wilayah kabupatennya masing masing; bahkan memicu kabupaten lainnya.

(40)

2.1.13 Peluang usaha penyediaan fasilitas sanitasi

dasar paska pemicuan Stop BABS .

Sesuai dengan judul programnya, Sanitasi Total dan Pemasaran Sanitasi, maka yang menjadi perhaian adalah bagaimana menjawab permintaan masyarakat akan sarana sanitasi dasar, yang murah, sehat dan ramah lingkungan. Adalah Sumadi yang menunjukkan, pengabdian dan totalitas dalam menggauli profesinya menuju kesuksesan, bukan hanya sebagai sanitarian, namun, juga sebagai pengusaha

yang berurusan dengan sanitasi dasar ini. Berurusan dengan inja sudah pasi menjijikkan. Tetapi, idak bagi Sumadi yang berprofesi sebagai sanitarian Dinas Kesehatan Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur.

Persoalan seputar inja bagi sanitarian adalah persoalan pening yang bila idak ditangani dengan benar bisa menjadi malapetaka. ”Kalau mereka sakit-sakitan, uangnya habis dipakai berobat, ya miskin terus,” kata Sumadi. Prihain dengan rendahnya kesadaran masyarakat menggunakan jamban, Sumadi melakukan survei di Desa Begendeng, Kecamatan Jaikalen, kabupaten Nganjuk. Begendeng dipilih sebagai sasaran survei karena pola sanitasi masyarakatnya yang buruk. Desa ini terletak di muara Sungai Brantas dan Sungai Widas. ”Di dua sungai itulah masyarakat melakukan MCK (mandi, cuci, kakus) sehari-hari,” kata Sumadi. Hasil survei tak jauh dari dugaan. Dari 267 rumah di Begendeng, tercatat hanya empat rumah yang memiliki jamban dengan desain

(41)

tangki sepik berbentuk kotak. Saat itu biaya membuat jamban sangat mahal bagi warga yang umumnya bekerja sebagai petani dan buruh. Sumadi berinisiaif membuat desain tangki sepik dengan model silindris. Model silindris lebih cocok digunakan di daerah seperi Jaikalen yang memiliki kontur tanah yang selalu bergerak. ”Model silindris jauh lebih kuat karena iik tekannya hanya satu, yaitu di tengah, sedangkan model kotak lebih gampang roboh,” jelas Sumadi. Dengan model tersebut, Sumadi mampu menekan harga pembuatan jamban hingga Rp 440.000. Meski harganya jauh lebih murah, saat diperkenalkan banyak warga yang masih ragu. Saat itu baru 10 keluarga yang tertarik memesan jamban kepada Sumadi. ”Waktu itu saya beri jaminan, kalau dalam waktu lima tahun jambannya amblek, uang mereka kembali,” kata Sumadi. Jaminan dan harga murah yang ditawarkan Sumadi menarik minat warga untuk mendatar. Selain itu, disediakan juga fasilitas penyedotan inja.

2.2

Pendanaan

2.2.1 Opimalisasi sumber daya yang ada dengan mengadopsi program Stop BABS kedalam program yang telah berjalan

Salah satu upaya daerah dalam membiayai program Stop BABS adalah dengan cara mengadopsi kegiatan Stop BABS kedalam program yang telah berjalan. Tentunya hal ini dengan mudah dapat dilakukan karena pada dasarnya kegiatan Stop BABS adalah bagian dari kegiatan PHBS.

(42)

Pengembangan Kompetensi-Indeks Prestasi manusia (PPK-IPM), dan Program Desa Siaga. Bentuk opimalisasi pembiayaan diantaranya pembiayaan kegiatan pelaihan Stop BABS dibiayai dari dana PPK-IPM dan Desa Siaga yang dilakukan di desa. Sedangkan kegiatan pemicuan dibiayai dari anggaran Klinik Sanitasi. Sehingga kebutuhan dana ekstra bagi pelaksanaan program Stop BABS dapat diminimalkan.

Dinas Kesehatan Kabupaten Sumedang juga bekerjasama dengan Bank Jabar dalam memanfaatkan dana Corporate Social Responsibility (CSR) melalui program Desa Binaan. Program Stop BABS merupakan salah satu kegiatannya, yang akan dimulai tahun 2010 di 10 desa.

2.2.2 Masyarakat mempunyai inisiaif sendiri dalam menyelesaikan keterbatasan pendanaan

Pada dasarnya masyarakat yang sudah terpicu dapat membangun sarana jamban sesuai dengan kemampuannya. Tidak ada alasan bagi masyarakat miskin untuk idak mampu membangun sarana jamban yang paling sederhana (lihat Boks Contoh Mbok Supi di Kabupaten Trenggalek). Namun demikian,

Rumah dan Jamban mbok Supi di Desa Tumpuk, Kecamatan Tugu, Trenggalek, bangga dengan jambannya seharga 4,5 juta rupiah, hasil menabung dari penghasilannya sebagai pemijat, selama setahunan.

(43)

pada beberapa kasus, khususnya daerah sulit perlu diperimbangkan pendanaan alternaif untuk membantu masyarakat yang idak mampu. Apabila dimungkinkan dapat didorong pembentukan unit kredit masyarakat untuk pembangunan jamban.

Sebagai contoh Lembaga Keswadayaan Masyarakat (LKM) desa Sungai Rangas Hambu Kecamatan Martapura Barat, Kabupaten Banjar Baru mengembangkan jamban melalui arisan jamban. Terobosan ini dilakukan karena harga per-unit jamban relaif mahal. Dengan anggota 38 orang, mereka melakukan arisan jamban Rp 25.000,-/orang /bulan. Perlahan tapi pasi jumlah keluarga yang memiliki jamban meningkat. Begitu juga dengan Jorong Parang Doto, Kecamatan Sijunjung, Kabupaten Sawahlunto Sijunjung, yang memanfaatkan keberadaan Kelompok Tani Perempuan. Seiap pertemuan kelompok mereka melakukan arisan kloset, dan seiap pertemuan terdapat dua orang yang mendapat giliran memperoleh kloset.

Beberapa wanita Kelompok Arisan Jamban desa Rorurangga Pulau Ende, NTT juga memprakarsai hal yang sama. Sii Sarifah, seorang ibu muda dua anak, bersama dengan beberapa ibu rumah tangga mendirikan kelompok ini di desanya. “Dalam waktu dekat, saya akan memiliki jamban rumah tanggasaya sendiri,” kata Sii antusias. Pelaksanaan ini didukung oleh sebuah peraturan desa di masing-masing 7 desa di Pulau Ende.

(44)

Masyarakat Desa Salam Harjo salah satu desa CWSHP di Kabupaten Bengkulu Utara, telah mendapat kemudahan dari toko material terdekat untuk menyicil kebutuhan membuat jamban seperi semen, PVC, bahkan kloset. Cicilan dilakukan seiap minggu dari hasil kebun penduduk berupa kopi dan kelapa sawit. Masyarakat Desa Salam Harjo yang awalnya hanya memiliki 16 jamban, selama berselang 2 bulan semua kepala keluarga yang mencapai 118 KK di desa itu telah memiliki jamban keluarga.

2.2.3 Perubahan skema dana bergulir menjadi non subsidi lebih menjanjikan

Jauh sebelum program Stob BABS diperkenalkan, pembangunan sanitasi khususanya di perdesaan banyak mempergunakan skema dana bergulir. Dana bergulir tersebut berupa dana stimulan yang diberikan oleh proyek kepada kelompok masyarakat. Anggota kelompok kemudian menentukan urutan penerima bantuan. Secara teoritis hal ini cukup baik, tetapi dalam praktek banyak ditemui kegagalan, terlihat dari kenyataan bahwa dana hanya bergulir satu kali pada penerima gelombang pertama. Masyarakat miskin juga hampir tidak dapat mengakses dana tersebut, karena tidak memiliki kemampuan untuk menyicilnya.

(45)

Sementara perubahan dana bergulir sanitasi menjadi tanpa subsidi melalui program Stop BABS, terbuki menunjukkan kinerja yang lebih baik. Lebih banyak masyarakat yang terpicu membangun sarana jamban, walaupun tanpa dana simulan. Hasilnya ini terlihat di berbagai lokasi proyek WSLIC-2, diantaranya Kabupaten Ciamis (Jawa Barat), Muara Enim (Sumatera Selatan), Trenggalek (Jawa Tengah), Bone (Sulawsi Selatan), Sawahlunto Sijunjung (Sumatera Barat). Sedangkan di lokasi proyek CWSH hasilnya terlihat di Kabupaten Sambas (Kalimantan Barat).

2.3

Sosial dan Budaya

2.3.1 Kampiun sebagai penggerak utama program Stop BABS

Keberhasilan pencapaian stop buang air sembarangan, sebagai hasil dari pemicuan, tergantung banyak hal, tetapi yang utama adalah keberadaan kampiun. Kampiun adalah orang yang terpicu, termoivasi dan memiliki komitmen dalam pelaksanaan program. Dalam beberapa hal, kiprah kampiun ini idak selalu mendapatkan dukungan dari sistem yang ada, namun demikian kampiun tetap melakukan kegiatan sesuai dengan kapasitasnya. Seorang kampiun dapat berasal dari berbagai golongan, baik pegawai pemerintah, swasta, pemuka masyarakat, tokoh agama, guru sekolah, ibu rumah tangga, bahkan pemuda.

(46)

telah berhasil membebaskan Kecamatan Lembak, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan dari perilaku buang air bebas sembarangan. Kecamatan Lembak merupakan kecamatan Stop BABS (ODF) yang pertama di Indonesia. Muhamad Sholeh dari Dinas Kesehatan dan Sudarto dari Bappeda berkiprah dalam pengawalan program Stop BABS yang dilakukan oleh Plan Internaional Indonesia di kabupaten Grobogan. Ekki Riswandiyah dari Dinas Kesehatan Kabupaten Sumedang, Jawa Barat berhasil memanfaatkan semua sumber daya yang ada untuk penyelenggaraan Stop BABS yang juga didukung oleh Bupai Sumedang yang terlibat dalam pencanangan desa Stop BABS (ODF).

Selain itu, Abdul Sikin, pegawai pemerintah Kecamatan Huu di Kabupaten Dompu, NTB akif melakukan pelaihan pemicuan, mengatur strategi pemicuan, dan pemantauan pelaksanaan Stop BABS di Kecamatan Huu. Encep Mahmud, Kepala Desa Sindanglaya, Kabupaten Pandeglang membuat SK Kepala Desa tentang Tim Pemberantas Tai. Saefudin Juhri sebagai Kepala Desa/Kuwu Marga Jaya turun langsung melakukan pemicuan. Sulastri, dari Desa Kenongo, dan Masduki dari Desa Tanggung, Kecamatan Gucialit, Kabupaten Lumajang, serta Cicih Sukaesih Kader Desa

Drg. Agusin, Kepala Puskesmas Kec. Lembak, Kab. Muara Enim, Sumatera Selatan.

Foto : WASPOLA

(47)

Sukawening, Kecamatan Ganeas, Kabupaten Sumedang, misalnya, merekalah yang menjelaskan peningnya perubahan kebiasaan dan rencana kerja kepada warga masyarakat di desanya masing masing, sehingga desanya mencapai Stop BABS (ODF).

Pada kondisi tertentu, bahkan kampiun sendiri masih melakukan praktek BABS. Untuk itu, kampiun tersebut yang terlebih dahulu membangun jamban, supaya menjadi contoh yang nyata bagi masyarakatnya. Misalnya, hal ini terjadi dengan Lukman – kader Desa Meunasah, Kecamatan Susoh, Kabupaten Aceh Barat Daya. Segera setelah menyelesaikan pelaihan pembuatan jamban oleh Fasilitator Teknik Program WES Unicef yang dilaksanakan oleh PCI di Tapaktuan dan sekitarnya, Lukman membangun sendiri jambannya dan kemudian masyarakat mengikuinya.

2.3.2 Kaum perempuan sebagai kampiun program Stop BABS dan pendorong utama perubahan

perilaku masyarakat.

Keseharian kita menunjukkan bahwa kaum perempuanlah yang akiitasnya paling banyak berhubungan dengan sanitasi, sehingga melibatkan perempuan menjadi relaif lebih mudah Ternyata

(48)

kemudian hal ini terbuki dalam pelaksanaan program Stop BABS, baik sebagai kampiun dalam pelaksanaan program maupun sebagai pendorong utama perubahan perilaku di ingkat masyarakat.

Di ingkat Kabupaten, kita patut mencatat Ekki Riswandiyah dari Dinas Kesehatan Kabupaten Sumedang, Jawa Barat lewat program Lingkungan Sehatnya telah berhasil membawa sebanyak 55 dusun dan 16 desa mencapai ODF dalam dua tahun, bahkan mulai memperkenalkan pilar lain STBM, yaitu pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat. Joice Irmawai dari Bappeda Kabupaten Pandeglang, Banten yang sedang mengembangkan program Stop BABS di 6 kecamatan bersama Pokja AMPL serta 2 kecamatan dengan LSM LAZ Harfa. Begitu juga dengan Dian Mardiani dari Bappeda Kabupaten Serang, melalui Pokja AMPL bekerja sama dengan Universitas Tirtayasa, Serang serta ihak lainnya sedang gencar mendorong perubahan perilaku masyarakat agar BAB pada jamban yang dibangun sendiri.

Di tingkat kecamatan atau Puskesmas, Drg, P Agusine Siahaan, Mkes yang secara Fenomenal pada tahun 2008 berhasil membawa Kecamatan Lembak Muara Enim di wilayah Puskesmas yang

(49)

dipimpinnya, melipui 18 desa mencapai ODF dan saat ini sedang mengembangkan hal yang sama di tempat kerjanya yang baru di Puskesmas Batu Aji, Batam, Riau.

Sedangkan di Nagari Jorong Padang Doto, Kecamatan Sijunjung, Kabupaten Sawahlunto Sijunjung, kelompok tani wanita berhasil membawa perubahan, sekaligus membukikan mereka mampu mempengaruhi ibu-ibu atau perempuan lainnya di jorongnya, dari perempuan untuk perempuan dalam menciptakan lingkungan yang sehat melalui pencapaian Stop BABS. Sementara di Kabupaten Sumedang, kader Dasa Wisma seperi Cicih Sukaesih dari Desa Sukawening, Kecamatan Ganeas, Kabupaten Sumedang, memulai kegiatan pemicuan pada tahun 2007, dan menjelang akhir tahun 2008 mencapai Stop BABS, dan mendapatkan seriikat Stop BABS/ODF dari Bupai Sumedang.

2.3.3 Pemilihan waktu pemicuan menentukan keberhasilan

Waktu pemicuan harus disesuaikan dengan kebiasaan masyarakat. Pada umumnya masyarakat akan dapat dikerahkan untuk pertemuan seiap saat, namun demikian perlu dicermai kegiatan utama masyarakat, yang berkaitan dengan mata pencaharian mereka seperi pertanian, peternakan, dan sebagainya. Pada daerah pertanian, pemicuan akan lebih baik apabila dilakukan setelah panen. Selain kegiatan produkif relaif idak ada, masyarakat juga dalam kondisi memiliki uang, sehingga dapat segera membangun sarana jambannya apabila terpicu.

(50)

adalah di Nagari Jorong Padang Doto, Kecamatan Sijunjung, Kabupaten Sawahlunto Sijunjung. Karena berkaitan dengan kalender musim pertanian, di jorong ini yang berperan sekaligus dalam program Stop BABS adalah Kelompok Tani Wanita Jorong Padang Doto.

Selain itu, pemicuan perlu memperimbangkan musim. Pada musim hujan, menggali lubang—yang merupakan aksi spontan pertama setelah terpicu---relaif sulit dilakukan, disamping itu lubang yang dibangun bisa tergenang air hujan. Kondisi ini mempengaruhi semangat masyarakat dalam menyelesaikan sarana jamban. Hal ini dapat dilihat di Desa Sukadame, Kecamatan Pagelaran di Kabupaten Pandeglang, yang kondisi tanahnya mudah longsor dan cepat berair (kedalaman 1 meter) jika musim hujan.

2.3.4 K a r a k t e r i s t i k s o s i a l b u d a y a d a e r a h

mempengaruhi teknik pemicuan.

Teknik pemicuan untuk iap daerah dapat berbeda. Pada satu daerah masyarakat terpicu untuk merubah cara BAB karena rasa malu. Pada daerah lain, masyarakat terpicu karena kejadian khusus, misalnya adanya kecelakaan saat BAB, misalnya ada yang terbawa arus sungai saat BAB, ada yang digigit ular saat BAB di kebun. Di daerah lainnya lagi, masyarakat idak terpicu dengan rasa malu, idak terpicu dengan kejadian-kejadian khusus, tetapi mereka terpicu dengan pendekatan pemahaman keagamaan bahwa air yang

Pengurus Kelompok Tani Jorong Padang Doto, ikut andil dalam men-Stop BABS-kan Jorongnya.

(51)

mengandung kotoran manusia idak pantas digunakan untuk bersuci.

Sebagai contoh, Desa Cimande, Kabupaten Bogor. Setelah pemicuan, masyarakat belum bergerak. Karena belum bergerak, Kepala Desa berinisiaif untuk mencari bantuan, sampai datanglah bantuan 12 zak semen dari Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor. Hanya saja yang terjadi kemudian, hanya 12 jamban itulah yang terbangun. Menyadari kesalahan tersebut, Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor idak mau melakukan kesalahan tersebut lagi, karena bantuan akan memaikan upaya pencapaian Stop BABS. Akhirnya, melalui perjuangan yang panjang dan lama, sampai menemukan cara yang tepat yaitu meminta bantuan Ustadz Desa Cimande yang menyampaikan air yang mengandung kotoran manusia idak pantas digunakan untuk bersuci. Selain itu disampaikan juga bahwa letak desa berada di hulu, sehingga membuang inja di sungai akan mendzolimi masyarakat di hilir. Akhirnya Desa Cimande mencapai juga tahapan Stop BABS. Kasus yang sama juga terjadi di Desa Mama, Kabupaten Sumbawa (lihat Boks)

(52)

Pendekatan keagamaan juga berhasil di pulau Ende, NTT. Abu Bakar, Imam Masjid Baiturahman, Desa Padarape, memasukkan masalah kebersihan dan sanitasi pada seiap khotbah Jumat. “Saya mendorong orang untuk mengubah kebiasaan mereka dan menghenikan prakik buang air besar terbuka,” kata Abu Bakar. Akibatnya, ada sekitar 233 rumah tangga yang telah mendeklarasikan keinginan mereka untuk membangun jamban.

2.3.5 Anak dapat berperan dalam pemantauan praktek BABS

Pelibatan anak-anak dalam proses pemicuan Stop BABS sampai dengan pemantauan paska pemicuan memberikan kontribusi yang besar dalam pencapaian kondisi Stop BABS. Pelibatan anak dilakukan dapat melalui jalur sekolah yang berada di desa bersangkutan, dengan melibatkan dalam proses pemicuan. Seperi di Kabupaten Grobogan, murid sekolah berperan menjadi polisi tai, yang bertugas mencari jejak BAB pada daerah yang biasa dipakai praktek BAB sembarangan. Selain

Di Desa Taktakan, Kabupaten Serang, Program KKN-Temaik AMPL Universitas Tirtayasa berhasil mengupayakan agar anak-anak menjadi salah satu pendukung gerakan Stop BABS. Terlihat anak anak sedang belajar menyanyikan lagu bertema Stop BABS dalam bahasa Sunda: Ulah Ngising Sembarangan (Jangan BABS) yang akan dinyanyikan berkeliling kampung mengingatkan seluruh warga agar Stop BABS.

(53)

itu, mereka melakukan pengawasan di lingkungan rumahnya sendiri, melaporkan kepada guru di sekolah. Sedangkan di Nagari Jorong Padang Doto, Kecamatan Sijunjung, Kabupaten Sawahlunto Sijunjung, Sumatera Barat, keberhasilan pemicuan dipicu oleh lagu-lagu yang diteriakkan anak-anak sekolah dasar. Isi lagunya mengandung himbauan dan sindiran. Hal ini tentu ada kaitannya dengan budaya lokal yakni kesenangan bernyanyi dan mendengarkan nyanyian atau syair. Kondisi ini juga terjadi di Desa Taktakan, Kabupaten Serang, Banten (lihat Boks)

2.3.6 Menciptakan persaingan antarkomunitas mendorong percepatan pencapaian Stop BABS

Hal yang tersulit dilakukan adalah meyakinkan suatu komunitas bahwa Stop BABS pening dan dapat dicapai tanpa bantuan subsidi pemerintah. Keika kemudian masyarakat terpicu untuk melakukan perubahan, kendala berikutnya adalah bagaimana menularkan semangat ini ke komunitas di sekitarnya. Hal ini kemudian mendorong fasilitator untuk menciptakan suasana persaingan di antara komunitas bertetangga.

Sebagaimana yang dilakukan di Desa Panimbo, Kecamatan Kedungjai. Setelah selesai pelaihan, Tim CLTS Kecamatan Kedungjai segera melakukan pemicuan pertama

di Dusun Plosorejo, yang dianggap relaif mudah ditangani. Hasilnya sangat menakjubkan yaitu

warga dengan

kesadarannya mau

(54)

Sebagaimana dipahami selama ini bahwa ‘seeing is believing’, yaitu keika terdapat contoh yang dapat dilihat langsung maka masyarakat akan mempercayainya. Berbekal kondisi inilah kemudian dilakukan pemicuan di dusun sebelahnya dan seterusnya. Secara bergilir pemicuan dilakukan ke dusun yang lain sehingga genap 9 dusun selesai dipicu. Kemajuan dusun tetangga menjadi pemicu desa lainnya untuk lebih baik lagi. Kesan persaingan untuk penyelesaian pembangunan jamban terbangun antardusun. Alhasil hanya dalam 2 minggu, pembangunan jamban swadaya berhasil diselesaikan di seluruh desa.

2.4

Teknologi

2.4.1 Teknologi sederhana menunjang pencapaian Stop BABS

Terdapat kesalahkaprah-an selama ini bahwa biaya pembangunan jamban besar sehingga menjadi salah satu kendala pencapaian Stop BABS. Pada kenyataannya, jamban dapat dibangun dengan menggunakan teknologi yang sederhana, memanfaatkan material lokal, dilaksanakan sendiri oleh masyarakat, sehingga biayanya terjangkau oleh masyarakat. Sebagaimana pengalaman di Desa Sukadame, Kecamatan Pagelaran di kabupaten Pandeglang, dengan kondisi tanah yang mudah longsor dan cepat berair (kedalaman 1 meter) jika musim

hujan. Tetapi kondisi ini juga lalu menimbulkan semangat warga masyarakat mencari cara untuk menyelesaikan masalah tersebut, salah satu diantaranya dengan membuat anyaman

(55)

jamban idak cepat longsor. Biayanya murah, dan mudah membuatnya.

2.4.2 Pemanfaatan pengetahuan masyarakat dalam

mengatasi kendala isik lahan

Salah satu hal yang menjadi kendala pembangunan sarana jamban adalah kondisi isik lahan yang membutuhkan upaya tertentu seperi daerah cadas, air tanah inggi, rawa, dan pantai. Dibutuhkan biaya inggi untuk membangun jamban terkecuali ditemukan cara mengatasinya. Pada beberapa lokasi, ternyata kondisi ini dapat diatasi dengan memanfaatkan pengetahuan masyarakat sendiri.

Masyarakat di daerah berbatu, walaupun sulit menggali lubang, tapi dengan memanfaatkan cuka dan urea, ternyata kekerasan batu tersebut dapat dilunakkan sehingga dapat dipahat sedikit demi sedikit. Menggunakan bibit cuka yang dapat dibeli di apoik, hasilnya lebih cepat dengan cara membuat lubang di daerah berbatuan, dibiarkan semalam, setelah itu lahan

Masyarakat sedang menggali lubang di daerah berbatuan, disebelahnya jamban yang sudah terbangun.

(56)

berbatuan menjadi lebih lunak, dan lebih mudah digali. Sedangkan jika memakai urea, memerlukan waktu lebih lama, dengan cara urea ditabur di lahan berbatuan, lalu dibiarkan selama sebulan, baru setelah lebih lunak, masyarakat melakukan penggalian. Kondisi ini dapat ditemukan di Dusun Karangsempu, Desa Cemeng, Kecamatan Donorejo, Kabupaten Pacitan.

Contoh lainnya adalah daerah pantai yaitu Desa Kore, Kecamatan Sungai Ambawang, Kalimantan Barat. Masyarakat desamenggunakan gentong atau tempayan yang diletakkan terbalik, sebagai tempat menampung inja. Kondisi yang sama ditemui di Desa Segarau, Kecamatan Tebas, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, yang bahkan sudah lebih banyak menggunakan gentong atau tempayan tadi. Sekitar 60% dari 537 jamban yang terbangun pasca pemicuan di Desa tersebut menggunakan konstruksi tersebut, karena biayanya murah, hanya sekitar Rp 75.000 sampai Rp 100.000 untuk yang berdiameter 1 meter.

2.4.3 Keberadaan bengkel sanitasi membantu menghasilkan jamban yang terjangkau

(57)

K e g i a t a n penyediaan jamban dengan skema seperi ini biasa disebut bengkel sanitasi. Terdapat contoh di Kabupaten K e b u m e n s e b a g a i m a n a gambar diatas, ataupun contoh program Stop BABS

oleh PCI, baik di Kabupaten Pandeglang ataupun Aceh. Selain itu, proyek StoPS di Jawa Timur juga menerapkan skema yang sama.

2.4.4 Penerapan konsep jenjang sanitasi (sanitaion

ladder) dapat terwujud melalui pendampingan ruin

Setelah masyarakat terpicu, maka langkah berikutnya adalah bagaimana mendampingi masyarakat dalam membangun jamban sesuai dengan kemampuannya. Namun kualitas jamban tetap harus memenuhi persyaratan. Untuk itu, dikenal konsep jenjang sanitasi, yaitu masyarakat dapat membangun jamban dari bentuk jamban yang paling sederhana, kemudian meningkat kualitasnya disesuaikan dengan peningkatan kemampuan masyarakat.

Kesalahkaprahan yang terjadi adalah keika pendampingan hanya sampai pada tahap masyarakat Stop BABS. Padahal terdapat kemungkinan bahwa masyarakat akan kembali pada perilaku BABS, atau jamban yang terbangun idak terpelihara kondisinya. Untuk itu, pendampingan dilakukan secara ruin untuk

(58)

memasikan kedua hal tersebut idak terjadi. Bahkan kualitas jambannya meningkat.

Sebagai contoh adalah desa binaan PCI yang kemudian dilanjutkan oleh LAZ Harfa di Kabupaten Pandeglang, seperi Desa Sindanglaya, Kecamatan Pagelaran. Setelah membangun jamban yang sederhana, mereka kemudian menyisihkan sebagian penghasilan dari produksi emping melinjo untuk meningkatkan kualitas jambannya. Masyarakat menyisihkan dananya untuk membeli semen, kloset, sehingga jambannya meningkat menjadi jamban yang kuat, aman, nyaman dan sehat. Dari jamban yang sederhana menjadi jamban berkloset.

Pilihan masyarakat sangat bervariasi sebagai-mana terlihat dari penelusuran lapangan di 9 desa di Kabupaten Sawahlunto Sijunjung, Pandeglang serta Ciamis. Terdapat beberapa ipologi jamban sederhana yang dibangun masyarakat paska pemicuan, dengan biaya mulai dari Rp. 100 ribu sampai Rp. 1,2, (lihat gambar 2.1).

(59)

Gambar 2.1 Variasi Tipe dan Biaya Jamban Sederhana

Tipe I, Rp 111,500

Tipe V, Rp 315,000

Tipe II, Rp 106,000

Tipe VI, Rp 507,000

Tipe III, Rp 124,500

Tipe VII, Rp 677,600

Tipe IV, Rp 176,500

(60)
(61)

3.1 Kelembagaan

Selama ini sanitasi masih belum menjadi prioritas bagi semua pelaku pembangunan. Upaya penyadaran melalui diseminasi yang intensif yang diharapkan akan membangun komitmen semua pihak, khususnya pemerintah daerah dan masyarakat, sebagai sasaran utama dari upaya penyadaran ini. Road Show, yaitu berupa kegiatan advokasi yang merupakan ajang peningkatan pemahaman pengambil keputusan di ingkat pemerintahan kabupaten/kota, baik legislaif maupun eksekuif. Selain sebagai pembuka jalan bagi proses internalisasi program Stop BABS kedalam program pemerintah daerah, Road Show juga menjadi media pening untuk menentukan adanya dukungan poliik maupun kegiatan lanjutan yang perlu di fasilitasi oleh pemerintah pusat maupun pemangku kepeningan lainnya. Selain itu, upaya lain untuk mempercepat pengarusutamaan program Stop BABS adalah melalui adopsi program Stop BABS kedalam proyek AMPL.

Pelaksanaan program Stop BABS akan lebih opimal keika terjadi kerjasama antara pemerintah daerah dengan berbagai pihak dalam perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan. Termasuk diantaranya mahasiswa, melalui program Kuliah Kerja Mahasiswa. Pemantapan internal pemerintah daerah juga menjadi suatu keniscayaan, dengan menjadikan Puskesmas dan Posyandu berikut jajaran petugas kesehatannya sebagai ujung tombak mempercepat penerimaan masyarakat. Termasuk dukungan aparat desa dan kader desa untuk melakukan pemantauan dan evaluasi program Stop BABS dengan format pemantauan yang sederhana.

BAB 3

(62)

Intensitas pendampingan masyarakat akan sangat membantu percepatan pencapaian Stop BABS. Pemicuan perlu dilakukan secara terencana dengan memperhaikan kekhasan masing-masing lokasi. Peningkatan permintaan fasilitas jamban sebagai konsekuensi meningkatnya kesadaran masyarakat perlu disikapi dengan meningkatkan ketersediaan fasilitas jamban yang memenuhi syarat dan terjangkau. Ini membuka suatu peluang usaha penyediaan fasilitas sanitasi dasar, dan membuka potensi lapangan kerja.

Upaya menjadikan kegiatan Stop BABS melembaga dilakukan melalui Deklarasi Stop BABS, yaitu kegiatan pendeklarasian oleh Bupai/Walikota keika suatu komunitas mencapai tahap Stop BABS. Pendeklarasian ini juga sekaligus sebagai ajang kampanye bagi desa tetangga bahkan kabupaten tetangga tentang Stop BABS.

3.2 Pendanaan

Keterbatasan dana dapat disikapi dengan memanfaatkan keberadaan program yang ada baik program pemerintah pusat maupun daerah dengan cara mengadopsi atau menjadikan program Stop BABS sebagai bagian dari program yang sedang berjalan. Selain itu, terbuki bahwa skema non subsidi lebih menjanjikan dari skema dana bergulir. Keika menghadapi kendala biaya, masyarakat akan mengupayakan mengatasinya dengan cara mereka sendiri.

3.3 Sosial Budaya

Gambar

Tabel 1.1 Penggiat CLTS di Indonesia per Februari 2009
Gambar 1.1 Perkembangan CLTS di Indonesia
gambar ataupun program Stop BABS
Gambar 2.1  Variasi Tipe dan Biaya Jamban Sederhana
+2

Referensi

Dokumen terkait

Apakah penggunaan faktor produksi pada industri dodol nanas dan wajit nanas di Kabupaten Subang dengan menggunakan metode Data Envelopment Analysis(DEA) sudah mencapai

Berdasarkan data penduduk dengan akses terhadap fasilitas sanitasi layak (jamban sehat) menurut kecamatan dan puskesmas di Dinas Kesehatan Kabupaten OKI tiga tahun terakhir

Dari pernyataan diatas dapat diketahui bahwa sarana dan prasarana dalam pelaksanaan program STBM pilar pertama stop buang air besar sembarangan di Desa Pangguruan berupa

temuan tentang hikmah naskh &l-'uran dalam menafsirkan &l-'uran pekerjaan indi*idu maupun kelompok tentang wawanara tokoh tentang naskh &l-'uran dalam

Tugas (task) utama yang diperhatian adalah fungsi login dan searching. Tetapi, dalam situs ini tidak diberikan keterangan mengenai kategori pengguna yang

Lingkup dalam penelitian ini adalah seberapa besar efektivitas program pemicuan pada Stop BABS dalam mengurangi perilaku masyarakat Buang Air Besar Sembarangan di wilayah

Dua permasalahan yang dihadapi pada budi daya ikan bandeng secara intensif, yaitu ketergantungan usaha pembenihan pada pakan alami, akibat rendahnya kemampuan larva ikan

Pendidikan Anak Usia Dini merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakkan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik