1
PERAN SEKTOR KEUANGAN DALAM MEMPERKECIL
KESENJANGAN EKONOMI DI DAERAH
Oleh : Prof. Dr. Ramli, SE, MS
Dekan FEB USU
A. Pendahuluan
Defenisi pembangunan berkelanjutan yang di kemukakan
Commission on Enviroment and Develompent (WCED), development that
meets the needs of the present, without compromising the ability of future
generations to meet their own need”. Defenisi ini dapat dimaknai bahwa pembangunan untuk memenuhi kebutuhan generasi yang sekrang tanpa
mengabaikan kemampuan generasi yang akan dating dalam memenuhi
kebutuhannya. Prinsip pembangunan berkelanjutan ada tiga pilar yang
saling mempengaruhi, yaitu : Pembangunan Ekonomi, Perlindungan
Lingkungan dan Pembangunan sosial (Lydgate E.B; 2012).
Pembangunan berkelanjutan sebagai sebuah prinsip, jangan
sampai ada interprestasi yang berbeda dan tergantung kepada
kepentingan tertentu sehingga proses pembangunan tidak berkelanjutan.
Pembangunan berkelanjutan jangan mementingkan pembangunan
ekonomi dengan mengeksploitasi sumber daya alam akan tanpa
mempertimbangkan aspek lingkungan dan aspek sosial.
Aspek pertumbuhan ekonomi yang tinggi yang mencapai target
tidak terselip kesenjangan ekonomi, kesenjangan pendapatan,
kesenjangan menikmati hasil pembangunan baik antar wilayah maupun
satu wilayah. Sebagai ilustrasi kesenjangan ini terjadi. Asumsi suatu
wilayah tinggal 5 orang. Si A berpenghasilan/aut put nya Rp. 2 juta rupiah.
Si B berpenghasilab 3 juta rupiah, si C berpenghasilan Rp. 2,5 juta rupiah,
si D berpenghasilan/out put nya 7,5 juta rupiah dan si E
berpenghasilan/out put nya 65 juta rupiah. Penghasilan/out put wilayah
tersebut Rp. 80 juta dan dapat di gunakan sebagai PDRB wilayah
2
16 juta rupiah, sebagai gambaran pertumbuhan ekonomi cukup baik, tapi
gambaran PDRB dan pertumbuhan ekonomi tersebut terselip
kesenjangan ekonomi dalam memiliki kekayaan sumber daya modal atau
asset, akses informasi, pemilikan modal dan asset teknologi.
Pembangunan yang beroeientasi pada pertumbuhan ekonomi yang
selama ini menyebabkan ketergantungan masyarakat pada birokrasi
sentralistik dan tidak memiliki kepekaan terhadap kebutuhan lokal dan
secara sistematis telah mematikan inisiatif masyarakat lokal untuk
memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi. Pembangunan yang
sentralistik, seragam dan hanya berpendapat pada pemerintah ternyata
tidak menghasilkan struktur equality social, akan tetapi cenderung
menghasilkan struktur ekonomi yang hanya di dominasi oleh usaha besar
(Malik. H. 2015).
Memajukan desa yang terus berkembang (progression) menurut
Mosher AT (1987) perlu adanya kegiatan penunjang di wilayah pedesaan
(lokalitas dan distrik) antara lain :
1) Pasar input (sarana produksi dan alat-alat pertanian)
2) Percobaan pengujian lokal yang berkaitan dengan budidaya
maupun penerimaan bibit unggul
3) Investasi teknologi budidaya perlu dilakukan pemberdayaan
dalam usaha pertanian
4) Produksi yang dihasilkan petani perlu penampungan pada pasar
wilayah atau adanya Kawasan Sentra Produksi (KSP)
5) Kredit produksi kondusif mendorong pelaku ekonomi daerah.
3
Gambar 1. Kegiatan Penunjang Pertanian
Salah satu unsur yang penting dalam pembangunan ekonbomi daerah
dalam memperkecil kesenjangan ekonomi daerah perlu penguatan akses
pelaku ekonomi di daerah terhadap lembaga keuangan. Lembaga
keuangan daerah dapat memberikan pelayan yang kondusif terhadap
pelaku usaha di daerah terutama daerah pedesaan dan pesisir pantai.
B. Kondisi dan Kemiskinan dan Gini Rasio
Kondisi kemiskinan pada tahun 2010 mencapai sebesar 31 juta
orang atau 13.3%. Tahun 2016 tingkat kemiskinan menurun 28 juta atau
menjadi 10.9%. Gambaran kemiskinan absolut ini mengurangi
kesenjangan kemiskinan, namun pada gini rasio pada tahun 2010 tingkat
gini rasio sebesar 0.38 semakin meratanya distribusi pendapatan. Pada
tahun 2016 gini rasio menggambarkan 0.40, yang berarti kesenjangan
makin tinggi dibanidngkan pada pada tahun 2010. Kondisi ini dapat dilihat
4
Tabel 1. Statistik Kemiskinan, Ketidaksetaraan dan Gini Rasio di Indonesia
Tahun Kemiskinan (%)
Kemiskinan
Absolut (Juta) Gini Rasio
2010
Sumber : Bank Dunia dan Badan Pusat Statistik (BPS)
C. Kerangka Pokok-Pokok Pikiran
Tidak semua pelaku ekonomi pada suatu wilayah memiliki asset
dan modal yang kuat untuk mengembangkan usahanya, terutama usaha
kecil di pedesaan dan daerah pesisir. Modal usaha menjadi hambatan
bagi pelaku ekonomi daerah dalam pengembangan ekonomi daerah dari
berbagao potensi yang dimiliki.
1. Peran Sektor Keuangan
Peran sektor keuangan pelaku usahadi daerah pedesaan yang
holistic equal dan bersaing. OJK dapat menstimulasi sumber pembiayaan
dengan cara kondusif dalam pengembangan usaha (perusahaan, UMKM,
sampai ke Nelayan) yang meningkatkan berbagai produksi baik untuk
lokal maupun ekspor. Peran sektor keuangan dapat merealisasi
perkembangan produksi dan akan mencerminkan perkembangan kegiatan
5
Gambar 2. Peran Sektor Keuangan Dalam Mendorong Perekonomian Daerah
2. Penerbitan Obligasi
Pemerintah daerah untuk membangun proyek yang bersifat profit,
sangat terbatas pembiayaan oleh pemerintah, bak bersumber APBDN
maupun APBD. Mengingat keterbatasan kemampuan sumber pembiayaan
pemerintah dan pembangunan infrastruktur harus dibangun, maka
pemerintah dapat melakukan penjaminan kepada masyarakat berbentuk
obligasi.
OJK dapat mendorong Implementasi Undang-Undang No. 32
Tahun 2004 dan Undang-Undang No 33 Tahun 2004 memicu pemerintah
daerah untuk membangun perekonomian secara otonom mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat berdasarkan prakarsa daerah yang
sesuai dengan Undang-Undang. Kecenderungan masing-masing
pemerintah daerah untuk merespon kegiatan perekonomian melalui
pembangunan prasarana transportasi, namun terbatas kepada sumber
pembiayaan. Kesenjangan sumber pembiayaan pembangunan prasarana
transportasi dapat dibiayai dengan penerbitan obligasi daerah
6
Pola pembiayaan proyek-proyek pembangunan dengan paradigma
baru atas kesenjangan pembiayaan pembangunan karena sumber dana
pemerintah terbatas dapat dilakukan sumber dana baru bagi investor,
masyarakat dan kemitraan dan salah satunya dengan penerbitan obligasi
daerah.
Gambar 3 : Pola Pembiayaan Proyek Pembangunan dengan Paradigma Baru.
Prosedur penerbitan obligasi daerah di atur dalam Undang-Undang No. 33 Tahun 2004. secara bagan dapat disajikan pada gambar berikut ini.
Kegiatan Pembangunan Ekonomi Daerah
Meningkatkan Kebutuhan Prasarana Transportasi
Sumber Dana Pemerintah Terbatas
Kesenjangan Biaya Pembangunan
Sember Dana Baru - Investor
7
Gambar 4. Mekanisme Penerbitan Obligasi Daerah
Potensi penerbitan obligasi daerah sangat tergantung kepada sektor
ekonomi daerah yang perlu mendapatkan biaya untuk merespon kegiatan
pembangunan dalam upaya meningkatkan pelayanan publik yang terlepas
dari pencaturan ekonomi global yang masih minim. Sedangkan
masyarakat maupun dunia usaha memerlukan dalam menjalankan
aktivitas ekonominya. Upaya pembangunan dan pengembangan
pelayanan publik prasarana transportasi bagi pemerintah provinsi
Sumatera Utara menjadi potensi penerbitan obligasi daerah. Seperti
prasarana transportasi jalan tol, jalan riel, pelabuhan dan Air Port dan
sarana transportasi.
3. Perlunya Perlindungan Konsumen
UU No. 23 tahun 2011 : wewenang OJK pasal 9. OJK berwenang
untuk melakukan pemeriksaan, pengawasan, penyelidikan perlindungan
terhadap konsumen serta tindakan lain terhadap lembaga keuangan.
Kesenjangan Biaya
Persetujuan Persetujuan
DPRD TK II dan Pemerintah Pusat
Pengajuan Obligasi Pengajuan Obligasi
8
Sebagaimana salah satu visi OJK “melindungi kepentingan konsumen dan
masyarakat, perlu dilakukan pengetahuan lapangan untuk mengetahui
bagaimana perilaku lembaga pembiayaan terhadap kredit sepeda motor
bekas, yang hasil pengamatan beban biaya penjaminan antara 24%
sampai dengan 42% per tahun (Ramli. 2002).
Kondisi beban biaya penjaminan seperti ini perku dilakukan regulasi
yang memberi perlindungan keadilan. Secara umum yang mengambil
kredit sepeda motor bekas adalah pegawai/buruh yang digunakan untuk
transportasi kerja. Kalau beban harga kredit tertentu besar akan
mengganggu terhadap pola konsumsi yang wajar, sedangkan mereka
merupakan bagian aktivitas kegiatan ekonomi dan pembangunan yang
dilindungi.
4. Kredit Usaha Rakyat (KUR)
Pada dasarnya KUR di peruntukkan kegiatan produksi,
kenyataannya sektor perdagangan lebih dominan memperoleh KUR.
Menjelang tahun 2016 KUR sudah yang teralisasi sudah Rp. 85 triliun,
yang dapat disalurkan ke sector mikro Rp. 65 triliun, dari sector mikro ini
Rp. 47 triliun tersalur ke sector perdagangan dan sector produksi (petani
sawah, hortikultura, peternak dan nelayan). Menko Pertanian hanya
menikmati Rp. 18 triliun. (Darmin NST D, 28 November 2011). Para
petani yang mendapatkan KUR membayar cicilan pada bulan berikutnya,
pada hal petani dalam menghasilkan produksinya untuk komodiri semusim
paling tidak 4 bulan kemudian. Bagi petani tidak tertarik dengan sistem
KUR atau skim KUR ini tidak menarik karena belum panen sudah
membayar cicilan. Bagi nelayan yang hasil tangkapnya tidak dapat di
prediksi ini perlu juga menentukan skim KUR yang khusus.
Dengan keadaan seperti ini perlu dilakukan regulasi skim KUR
yang disesuaikan dengan keadaan petani maupun dengan keadaan
nelayan, sehingga dapat melindungi petani dan nelayan dari beban
9 D. Kesimpulan
1. Bahwa perlunya peran OJK mendorong penerbitan obligasi daerah
2. Perlunya perlindungan bagi kredit jasa finance
3. Perlu adanya regulasi skim KUR
E. Saran
1. OJK Perlunya membuka peluang riset sehubungan dengan masalah
kondisi yang dihadapi industry perbankan dan pengguna jasa industry
perbankan terutama yang berkaitan dengan kesimpulan diatas.
DAFTAR PUSTAKA
Malik H. 2015. “Bangun Industri Desa. Selamatkan Bangsa, Strategi Pembangunan Industri Desa di Kabupaten Kaur, Bengkuli. Edisi Pertama. IPB Press. Bogor.
Mosher. 1987. Menggerakkan dan Membangun Pertanian. Yasguna. Jakarta.
Lydgate “Sustainable Development in the WTO : From Manual Supportiveeness to Balancing Vol. II world T.R.