• Tidak ada hasil yang ditemukan

33 BAB II DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "33 BAB II DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN

II. 1. Kekuasaan Eksekutif

Sejak reformasi terjadi tahun 1998 yang berakibat berakhirnya masa pemerintahan orde baru, mulailah terjadi perubahan (Amandemen) konstitusi Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 sebanyak empat kali. Perubahan tersebut berimplikasi terhadap perubahan ketatanegaraan sekaligus susunan kelembagaan Negara Indonesia. salah satu dampak langsung perubahannya adalah perubahan supremasi MPR menjadi supermasi Konstitusi.

Susunan kelembagaan Negara Indonesia tidak lagi mengenal istilah “lembaga tertinggi Negara” untuk kedudukan MPR sehingga terjadi kesejajaran kedudukan dengan lembaga sejenis demi menciptakan sistem check and balances. Amandemen UUD 1945 itu juga memberikan perhatian Khusus tentang sistem presidensial. Ini merupakan implikasi dari terauma masa orde baru yang mana lembaga eksekutif sangat dominan. Sehingga masyarakat sipil dan organisasi masyarakat menginginkan penyempurnaan batasan kekusaan lembaga eksekutif.

Adapun kekuasan eksekutif menurut UUD 1945 yaitu:

(2)

Kekuasaan Presiden sebagai kepala negara hanyalah kekuasaan administratif, simbolis dan terbatas yang merupakan suatu kekuasaan disamping kekuasaan utamanya sebagai kepala pemerintahan.

Pasal 5 ayat (1) menyebutkan bahwa Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam kewenangan presiden tersebut hanya sebatas mengajukan rancangan undang-undang dan membahasnya bersaman. Akan tetapi pemegang kekuasaan membentuk undang-undang berada pada lembaga legislatif. Pada awalnya sebelum mengalami perubahan presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Dari perubahan tersebut terjadi pergeseran kekuasaan membentuk undang-undang yang semula berada pada presiden ke lembaga DPR. Presiden hanya berhak mengajukan undang-undang. Pasal 5 ayat (2) berbunyi Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Setelah rancangan undang-undang mendapat persetujuan bersama oleh eksekutif dan legislatif menjadi undang-undang, maka presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang tersebut.

(3)

perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain.27

Pasal 11 ayat (2), Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

Dalam hal ini kewenangan presiden masih terikat juga oleh kewenangan legislatif berupa bentuk persetujuan. Semua hal diatas tidak berlaku tanpa persetuajuan lembaga legislatif.

28

Pasal 13 ayat (1) Presiden mengangkat duta dan konsul dan ayat (2) dalam hal mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Serta ayat (3) Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan menperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam mekanisme pemberian pertimbangan DPR selama ini adalah melakukan pemanggilan satu perstau calon duta besar yang diajukan presiden. DPR melakukan semacam uji kelayakan dan menyampaikan hasil Tidak semua perjanjian internasional diharuskan mendapat persetujuan dari DPR. Jelas disebutkan bahwa perjanjian internasional yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat seperti kedaulatan Negara, keuangan Negara dan perjanjian yang mengharuskan pembentukan undang-undang baru seperti ratifikasi perjanian internasional. Pasal 12 berisis Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang. Kewenangan presiden dalam menyatakan keadaan bahaya tentu dengan alasan yang kuat seperti dalam menyataka darurat militer atau darurat sipil

27

Amandemen Keempat UUD 1945

28

(4)

uji kelayakan tersebut kepada presiden sebagai bahan pertimbangan presiden untuk mengambil keputusan tentang pengangkatan duta besar tersebut. Demikian halnya dengan penerimaan penempatan duta besar Negara lain. Presiden seyogianya memberikan pemberitahuan sebelumnya kepada DPR dalam penerimaan duta besar Negara lain sehingga DPR dapat memberikan pertimbangan.

Pasal 14 ayat (1) Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Dalam hal ini presiden memegang kekuasaan dalam hal kehakiman berupa pemberian grasi dan rehabilitasi. Pasal 14 ayat (2) Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam memberi amnesty dan abolisi memperhatikan pertimangan DPR karena ini bersifat politis. Pasal 15 menyatakan bahwa Presiden memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur dengan undang-undang.29

Pasal 16 berbunyi Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden, yang selanjutanya diatur dalam undang-undang.30

29

Amandemen Pertama UUD 1945

30

Amandemen Keempat UUD 1945

(5)

Pasal 17 yat (2) menyatakan bahwa Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Ini merupakan kewenangan mutlak yang dimiliki presiden. Pembentukan kabinet merupakan hak prerogatif dari presiden. Dalam pembentukan kabinet, presiden memiliki kekuasaan tunggal dalam menyususn kabinetnya. Presiden terbebas dari intervensi partai politik dan lebih mengedepankan profesionalisme dan kemampuan daripada akomodatif terhadapa kepentingan partai politik.

(6)

yang seharusnya diatur dalam UU. Apabila Perpu tersebut ditolak oleh DPR maka otomatis Perpu tersebut batal demi hukum.31

Pasal 23F ayat (1) Anggota Badan Pemeriksa Keuangan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah dan diresmikan oleh Presiden. Dalam hal ini presiden melalui amanat presiden memberikan wewenang kepada Menteri Keuangan dalam menyusun RAPBN dan membahasnya bersama DPR untuk mendapat persetujuan bersama menjadi undang-undang. Undang-undang RAPBN akan selalu datang dari presiden sebagai pelaksana anggaran. Pasal 24B ayat (3) Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Presiden membentuk panitia seleksi untuk memilih calon anggota BPK untuk diajukan ke DPR. DPR akan memilih calon yang telah ditentukan oleh presiden dan setelah itu diresmikan oleh presiden. Dalam pasal 24A ayat (3) presiden memiliki kewenangan untuk menetapkan Pasal 23 ayat (2) Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah. Dalam hal ini presiden melalui amanat presiden memberikan wewenang kepada Menteri Keuangan dalam menyusun RAPBN dan membahasnya bersama DPR untuk mendapat persetujuan bersama menjadi undang-undang. Undang-undang RAPBN akan selalu datang dari presiden sebagai pelaksana anggaran.

31

(7)

hakim agung dari calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetuju.

Dalam pasal 24C ayat (3) presiden memiliki kewenangan untuk menunjuk tiga orang calon hakim konstitusi dan menetapkan sembilan orang anggota hakim konstitusi. Sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden tersebut adalah yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden.32

Pasal 7B ayat (1) menyebutkan bahwa Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, II.2 Kekuasaan Legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat)

Perubahan Undang-undang Dasar 1945 pasca reformasi memberikan perhatian khusus terhadap penguatan tugas dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat. Ini dilakukan untuk memberikan kontrol yang kuat kepada lembaga eksekutif yang melaksanakan jalannya pemerintahan. Kekuasaan Dewan Perwakilan Rakyat menurut Undang-Undang Dasar 1945 adalah :

32

(8)

tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Dalam konteks ini Dewan Perwakilan Rakyat dengan kewenangannya dapat mengusulkan pemberhentian Presiden dan/atau wakil presiden.33

Dalam pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) disebutkan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat memiliki kewenangan untuk memberikan persetujuan dalam menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.34

Pasal 20 ayat (1) menyebutkan Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Pasal 20A ayat (1) menyebutkan Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan.

Pemberian pertimbangan kepada Presiden dalam pengangkatan duta (pasal 13 ayat 2), dalam menerima penempatan duta Negara lain (pasal 13 ayat 3) dan pertimbangan dalam pemberian amnesti dan abolisi (pasal 14 ayat 2).

35

33

Amandemen Ketiga UUD 1945

34

Amandemen Keempat UUD 1945

35

Amandemen Kedua UUD 1945

(9)

Dalam menjalankan fungsi legislasi tidak serta-merta hanya dijalankan oleh DPR akan tetapi bersama-sama dengan presiden. Dalam hal ini pula yang menyebabkan perlunya koalisi pendukung pemerintah untuk memuluskan proses legislasi berupa pembentukan Undang-undang. Dalam menjalankan fungsinya tersebut, dalam DPR juga sangat dinamis dan cair karena membawa berbagai macam kepentingan dari partai politik. Fungsi kontrol yang dijalankan badan legislatif untuk mencegah pemerintah menjalankan kekuasaannya secara sewenang-wenang. Badan legislatif menjalankan fungsi pengawasan terhadap pemerintah agar program-program yang dicanangkan pemerintah berjalan sesuai dengan harapan rakyat.

Fungsi Anggaran dapat kita lihat dalam penyusunan RAPBN. Legislatif turut serta dalam penuyusan Anggaran Pendapatan Belanja Negara untuk mencapai kemakmuran rakyat banyak. Pada umumnya anggota DPR membawa ususlan-usulan proyek dari daerah yang diwakilinya. Demikian juga untuk memastikan bahwa anggaran yang akan dilaksanakan tersebut sesuai dengan kebutuhan masyarakat banyak.

(2) Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.36

Hak Interpelasi merupaka hak untuk meminta keterangan kepada eksekutuf terkait dengan kebijakan yang dijalankannya. Hal ini dilaksanakan untuk memastikan kebijakan eksekutif tersebut tidak mencederai rasa keadilan rakyat banyak dan tetap

36

(10)

sesuai dengan undang-undang. Hak Angket merupakan hak untuk langsung melakukan penyelidikan terhadap kebijakan yang telah dilaksanakan oleh eksekutif. Hak ini digunakan sebelumnya karena ada kecurigaan legislatif terhadap kebijakan eksekutuif yang terindikasi tidak tepat dan melanggar undang-undang.

Hak menyatakan pendapat merupakan lanjutan dari hak angket. Apabila dalam penyelidikan legislatif memang ditemukan pelanggaran, maka legislative menggunakan hak tersebut. Hak menyatakan pendapat biasanya berujung kepada pemakzulan terhadap pemerintah yang melakukan pelanggaran tersebut.

(3) Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas.37

Pasal 21 menyebutkan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan usul rancangan undang-undang. Pasal 22 ayat (2) Dewan Perwakilan Rakyat berhak memberikan persetujuan atas peraturam pemerintah pengganti undang-undang.38

3.1Partai Politik Indonesia

Banyak sekali kekuasaan Dewan Perwakilan Rakyat yang tidak tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945.

II.3 Partai Politik Indonesia dan Sistem Kepartaian

37

Amandemen Kedua UUD 1945

38

(11)

Kehadiran partai politik dalam perjalanan republik Indonesia tidak bisa dilepaskan dari sejarah awal pergerakan nasional. Saat itu, beberapa anak bangsa terdidik berpikiran modern menggagas formulasi bau untuk melakukan perlawanan penjajahan secara modern. Hal itu ditujukkan dengan munculnya beberapa organisasi massa yang bermuatan politik dan bersifat nasional untuk melakukan konsilidasi kekuatan melawan rezim kolonial. Beberapa organisasi-organisasi yang lahir pada masa itu diantaranya adalah Indishe Partji tahun 1912, Indische Social Democratishe Vereninging (ISDV) tahun 1914, Indische Khatolic Partji tahun 1918, PKI tahun 1920, PNI tahun 1924, Partai Indonesia tahun 1931 dan masih banyak lagi, secara nyata mewarnai dominasi kekuatan politik penjajah. Pada zaman itu walaupun situasi darurat perang dan dalam keadaan tidak normal, kaum muda bangsa telah menaburkan embrio partai dari bermacam-macam ideology yang berbeda dan merancang strategi untuk merebut kemerdekaan dari penjajah colonial.39

Pasca kemerdekaan kepentingan mendirikan partai politik untuk merebut kemerdekaan telah mengalami pergeseran. Kebutuhan untuk berorganisasi secara modern dalam hal politik kepartaian adalah untuk menguatkan dan menjaga kedaulatan yang secara de jure telah kita rebut meski stabilitas Negara belum normal. Dalam situasi seperti itu, Badan Pekerja Komite Nasional Pusat, mengusulkan kepada Pemerintah untuk memberikan keleluasaan kepada rakyat untuk membentuk partai politik demi kepentingan menjaga dan memperkuat kemerdekaan. Menanggapi usulan tersebut, sesuai kondisi objektif saat itu, maka pada tanggal 3 november 1945

39

(12)

dikeluarkan Maklumat No X tentang keluasaan pendirian partai politik yang ditandatangani oleh Wakil Presiden RI, Mohammad Hatta.

Kebebasan mendirikan partai politik memunculkan banyaknya partai politik yang ikut serta dalam pemilihan umum tahun 1955. Pada fase inilah pertama kali politik Indonesia memiliki multi partai dalam penyelenggaraan pemilu dengan sistem parlemmenter. Hasil pemilu tahun 1955 itu menempatkan empat partai politik sebagai peraih electoral tertinggi, antara lain PNI, Masyumi, NU dan PKI. Akan tetapi, dalam proses menjalankan system pemerintahan, keempat partai besar yang berbeda ideology itu tidak pernah bertemu secara politik dalam menjaga milai pada Maklumat No X.40

Perkembangan berikutnya pada pemilu 1971, satu hal yang cukup memperihatinkan bagi demokrasi dan politik kepartaian adalah kebijakan peleburan partai politik atau fusi partai yang dibuat oleh rezim Orde Baru. Pengelompokan partai dengan terbentuknya Kelompok Demokrasi Pembangunan yang terdiri dari PNI, Partai Katholik, Parkindo, IPKI dan Murba. Kemudian tanggal 13 Maret 1970 terbentuk kelompok Persatuan Pembangunan yang terdiri atas NU, PARMUSI, PSII, dan Perti. Serta ada suatu kelompok fungsional yang dimasukkan dalam salah satu kelompok tersendiri yang kemudian disebut Golongan Karya. Dengan adanya pembinaan terhadap parpol-parpol dalam masa Orde Baru maka terjadilah perampingan parpol sebagai wadah aspirasi warga masyarakat kala itu, sehingga pada akhirnya dalam Pemilihan Umum 1977 terdapat 3 kontestan, yaitu Partai Persatuan

40

(13)

Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) serta satu Golongan Karya.41

Jika pada pemilu sebelumnya diikuti oleh banyak partai, maka sejak pemilu tahun 1971 sampai 1997 hanya diikuti oleh tiga partai saja, yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan Golongan Karya (Golkar). Pada masa itu, pemilihan umum hanya dapat diikuti oleh ketiga partai tersebut. Penguasa Orde baru berkeinginan untuk menjaga stabilitas perpolitikan dengan cara fusi partai tersebut. Seperti dalam salah satu konsideran UU No. 3/1975 mengenai Partai Politik dan Golkar disebutkan,”Dengan adanya tiga organisasi kekuatan sosial politik tersebut, diharapkan agar partai-partai politik dan Golkar benar-benar dapat menjamin terpeliharanya persatuan dan kesatuan bangsa, stabilitas nasional serta terlaksananya proses percepatan pembangunan. Dari hal itu jelas sekali pemerintah ingin mengkooptasi kebebasan yang seharusnya dimiliki partai politik dengan dalih stabilitas nasional.

42

Akan tetapi peranan partai politik dalam sistem politik di Indonesia kembali mencuat seiring dengan jatunya pemerintahan Orde Baru. Partai-partai politik di Indonesia semakin bebas untuk berekspresi dan berserikat. Ini akibat dari dikeluarkannya paket revisi undang politik salah satunya adalah undang-undang partai politik yang dirancang oleh tim tujuh Sampai pada pemilu tahun 2004, parati-partai politik semakin berperan sejalan dengan Undang-Undang Nomor 31

41

Sigit Pamungkas, Ibid, Hal; 153

42

(14)

Tahun 2002 serta Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Ada beberapa hal yang mempengaruhi keberlanjutan dari sebuah partai politik yaitu, pertama, massa anggota yang kelak diperkuat dengan massa pemilih meski keduanya tidak selalu sama, pemilih tidak dengan sendirinya anggota. Kedua, tingkat kompetensi pengurus. Perpecahan sendiri sudah merupakan pertanda jenis kepemimpinan partai yang bersangkutan. Sentralisasi kepemimpinan partai ke dalam tangan Dewan Pimpinan Pusat memberikan pengaruh yang tidak sedikit. Ketiga, tingkat kompetensi para anggota perwakilan sebagai anggota parlemen. Keempat, tingkat penguasaan sumber daya finansial. Kelima, kemampuan eksekutif dan potensi melakukan pekerjaan eksekutif dari sumber daya di dalam partai.43

43

Daniel Dhakidae. Partai-Partai Politik Indonesia, Ideologi dan Program 2004-2009. Jakarta, Kompas Media Nusantara, 2004, hal. 12

Untuk melihat bagaimana partai politik pada masa pemerintahan SBY-Bodiono kita dapat melihat hasil Pemilu Legislatif 2009 berhasil mengantarkan tujuh partai terbesar lolos parliamentary threshold ke parlemen. Selain itu, hasil Pemilu 2009 menunjukkan bahwa dua partai besar pemenang Pemilu 2004 (PDIP dan Golkar) mengalami penurunan suara yang cukup signifikan. Di kelompok partai papan tengah (Pemilu 2004), dua di antaranya, yaitu Partai Demokrat dan PKS mengalami kenaikan, meskipun dengan gradasi yang berbeda. Sementara tiga partai menengah lainnya, PAN, PPP, dan PKB mengalami penurunan.

(15)

Tabel 2.1 Partai Politik Peserta Pemilu Tahun 2009 dan Perolehan Suara

No Partai Politik Jumlah

Suara

%

1 Partai Demokrat (PD) 21.703.137 20,85%

2 Partai Golkar (PG) 15.037.757 14,45%

3 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) 14.600.091 14,03%

4 Partai Keadilan Sejahterah (PKS) 8.206.955 7,88%

5 Partai Amanat Nasional (PAN) 6.254.580 6,01%

6 Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 5.533.214 5,32%

7 Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 5.146.122 4,94%

8 Partai GERINDRA 4.646.406 4,46%

9 Partai Hati Nurani Rakyat (Partai Hanura) 3.922.870 3,77%

10 Partai Bulan Bintang (PBB) 1.864.752 1,79%

11 Partai Damai Sejahtera (PDS) 1.541.592 1,48%

12 Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) 1.527.593 1,47%

13 Partai Karya Pembangun Bangsa (PKPB) 1.461.182 1,40%

14 Partai Persatuan Bintang Reformasi (PPBR) 1.264.333 1,21%

(16)

16 Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia 934.892 0,90%

17 Partai Demokrasi Pembaharuan (PDP) 896.660 0.86%

18 Partai Barisan Nasional (Barnas) 761.086 0,73%

19 Partai Pengusahan dan Pekerja Indonesia 745.625 0.72%

20 Partai Demokrasi Kebangasaan (PDK) 671.244 0,64%

21 Partai Republik Nusantara (RepublikaN) 630.780 0,61%

22 Partai Persatuan Daerah (PPD) 550.581 0,53%

23 Partai Patriot 547.351 0.53%

24 Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia

(PNBKI)

468.496 0,45%

25 Parati Kedaultan 437.121 0,42

26 Partai Matahari Bangsa (PMB) 414.750 0,40%

27 Partai Pemuda Indonesia (PPI) 414.034 0,40%

28 Partai Karya Perjuangan (Partai Pangan) 351.550 0,34%

29 Partai Pelopor 342.914 0,33%

30 Partai Kasih Demokrasi Indonesia (PKDI) 324.553 0,31%

(17)

32 PNI-Mahaenisme 316.312 0,30%

33 Partai Buruh 265.203 0,25%

34 Partai Perjuangan Indonesia Baru (PPIB) 197.371 0,19%

35 Partai Persatuan Nahdatul Ummah Indonesia 142.841 0,14%

36 Partai Serikat Indonesia (PSI) 140.551 0,14%

37 Partai penegak Demokrasi Indonesia (PPDI) 137.727 0,13%

38 Partai Merdeka 111.623 0,11%

Total 104.095.847 100%

Sumber: www.kpu.go.id

Jika melihat pergeseran persentase perolehan suara partai-partai politik di Pemilu 2009, Partai Demokrat menunjukkan kenaikan sangat signifikan. Pada Pemilu 2004, partai yang didirikan SBY ini hanya memperoleh suara 7,45 persen melonjak menjadi 20,85 persen di Pemilu 2009. Kebalikan dari Demokrat, Golkar dan PDIP justru merupakan dua partai yang mengalami penurunan suara paling signifikan. Di Pemilu 2004 Golkar memperoleh suara 21,57 persen menurun drastis menjadi 14,45 persen di Pemilu 2009. Perolehan suara PDIP pada Pemilu 2004 18,53 persen, turun menjadi 14,03 persen di Pemilu 2009. Golkar dan PDIP berada di urutan kedua dan ketiga di Pemilu 2009.

(18)

menjadi 6,01 persen. PKB di Pemilu 2004 10,56 persen turun drastis menjadi 4,94 persen. Sedangkan PPP di Pemilu 2004 8,15 persen, turun menjadi 5,32 persen. Di urutan kedelapan dan sembilan, Gerindra dan Hanura sebagai pendatang baru di Pemilu 2009, masing-masing berhasil mendapatkan 4,46 persen dan 3,77 persen.

Hasil Pemilu 2009 ternyata secara kuantitas tidak memunculkan kekuatan politik dominan, karena tidak ada satupun parpol yang mampu memperoleh suara mayoritas (single majority), yaitu yang memperoleh suara lebih dari 50 persen. Hal ini merupakan realitas politik yang tidak bisa dihindari dalam sistem multipartai pluralisme ekstrem (38 partai peserta pemilu) seperti Indonesia saat ini. Namun, sistem kepartaian mengalami pergeseran ketika di parlemen, yang terbentuk adalah pluralisme terbatas, dengan hanya 9 partai yang memperoleh kursi di DPR.

Desain regulasi elektoral yang merupakan tradisi baru di di Pemilu 2009, sistem ambang batas perolehan kursi di parlemen atau parliamentary threshold (PT) 2,5 berhasil merampingkan jumlah partai di parlemen. Dibandingkan pengalaman di Pemilu 2004 dengan memberlakukan ambang batas suara pemilu atau electoral threshold (ET), penerapan PT terbukti lebih efektif untuk menyederhanakan jumlah partai di parlemen. Jika sebelumnya, konfigurasi DPR hasil Pemilu 1999 ada 19 partai politik, dan 16 partai di DPR hasil Pemilu 2004, maka di Pemilu 2009 hanya 9 partai partai, yaitu Partai Demokrat, Partai Golkar, PDI Perjuangan, PKS, PAN, PPP, PKB, Gerindra, dan Hanura.

(19)

No Partai Politik (Fraksi) Jumlah Kursi %

1 Partai Demokrat (PD) 148 26,40%

2 Partai Golkar (PG) 106 18,92%

3 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) 94 16,78%

4 Partai Keadilan Sejahterah (PKS) 57 10,17%

5 Partai Amanat Nasional (PAN) 46 8,21%

6 Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 38 6,78%

7 Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 28 5,00%

8 Partai GERINDRA 26 4,64%

9 Partai Hati Nurani Rakyat (Partai Hanura) 17 3,04%

Total 560 100%

(20)

Karena itu, meskipun peserta Pemilu 2009 lebih banyak dari Pemilu 2004, tetapi jumlah partai politik yang berhasil ke parlemen lebih sedikit. Itu artinya, secara bertahap sistem kepartaian akan mengalami penyederhanaan.

3.2Sistem Kepartaian Indonesia

Sistem kepartaian merupakan suatu mekanisme interaksi antar partai politik dalam sebuah sistem politik yang berjalan. Maksudnya, karena tujuan utama dari partai politik adalah mencari dan mempertahankan kekuasaan guna mewujudkan program-program disusun berdasarkan ideologi tertentu, maka untuk merelisasikan program-program tersebut partai-partai politik yang ada berinteraksi satu dengan yang lainnya dalam suatu sistem kepartaian.44

Banyak faktor yang mempengaruhi sistem kepartaian di suatu Negara. Untuk konteks politik Indonesia, ada tiga faktor penyebab sistem multi partai sulit dihindari. Terdapat beberapa sistem kepartaian yang dapat digunakan dalam merelasasikan interaksi antar partai daloam suatu sistem politik yakni one-party system ( Sistem satu partai ), two-party system ( sistem dua partai ) serta multiparty system ( sistem banyak partai ). Sebelum pemerintahan Orde Baru sebenarnya Negara kita telah menganut sistem multi partai. Dimulai tahun 1945 sampai tahun 1971. Namun sistem multi partai hilang akibat kebijakan fusi partai yang dibuat Rezim Soeharto. Sejak reformasi tahun 1999 dukungan terhadap keberadaan sistem multi partai datang dari berbagai lapisan masyarakat

44

(21)

Pertama, tingginya tingkat pluralitas masyarakat (faktor pembentuk). Faktor ini yang menyebabkan keharusan bagi penerapan sistem multi partai. Sementara kemajemukan masyarakat merupakan suatu yang bersifat harus diterima dalam struktur masyarakat indonesia. Kedua, dukungan sejarah sosio-kultural masyarakat (faktor pendorong). Ketiga, desain sistem pemilihan proporsional dalam beberapa sejarah pemilihan umum (faktor penopang).45

Partai-partai dianggap memainkan peranan menyeluruh sebelum, selama, dan sesudah pemilu. Berbeda dengan kelompok-kelompok kepentingan, partai-partai menjangkau suatu lingkup kepentingan manusia secara luas. Mereka mengidentifikasi, memilah, menentukan, dan mengarahkan pelbagai kepentingan tersebut menuju cara-cara bertindak yang dapat dipilih oleh para pemilih dan pemerintah. Partai-partai yang bersaing mengemukakan program-program lintas kebijakan didalam konteks persaingan memperebutkan pemerintahan. Program-program itu menstrukturkan pilihan para pemilih. Sekali telah duduk dipemerintahan, partai-partai merupakan lembaga pengorganisir utama yang membentuk, melaksanakan dan mengawasi proses penyusunan kebijakan, artinya, piilihan suatu kebijakan diperhitungkan atas dasar banyak criteria dan masing-masing criteria memiliki nilai bobot (weight) yang berbeda menurut kondisi, situasi dan posisi.46

Meskipun ia bukan merupakan pelaksana dari suatu pemerintahan, namun keberadaannya akan mempengaruhi bagaimana dan kearah mana pelaksanaan pemerintahan dijalankan. Terutama bagi partai pemenang pemilihan atau partai

45

Hanta Yuda. Op cit, hal 102

46

(22)

berkuasa dan partai oposisi yang berjalan efektif, partai politik merupakan pelaksana pemerintah yang tersembuyi. Keberadaannya mempengaruhi ragam kebijakan yang dikembangkan. Karena itu bisa dikatakan bahwa kegagalan sekaligus keberhasilan suatu pemerintahan dalam melayani dan memakmurkan masyarakatnya adalah kegagalan dan keberhasilan partai politik menjalankan fungsinya secara efektif.47

Sejarah sistem multi partai di Indonesia merupakan Implementasi tuntutan reformasi terhadap kebebasan berpartai atau mendirikan partai politik dimulai sejak pemilu 1999, Pemilu 1999 memang bukan satu-satunya penyelesaian segenap permasalahan sosial, politik dan ekonomi yang melanda negara kita saat ini, apalagi akhir dari proses reformasi itu sendiri. Namun, Pemilu 1999 merupakan pemilu pertama pasca reformasi. Kebebasan berpartai politik ini terekspresi dengan banyaknya jumlah partai politik, ada 180 partai baru berdiri, meskipun hanya 142 partai yang dapat didaftarkan, dan hanya 48 yang lolos ikut bertarung dalam pemilu 1999.48

Perkembangan penerapan sistem multipartai pada masa reformasi disertai dengan karakteristik rendahnya tingkat pelembagaan partai, terfragmentasinya kekuatan politik di parlemen, dan munculnya koalisi sebagai akibat dari sulitnyamencapai suara mayoritas di parlemen. Dan lebih jelasnya karakteristiristik yang menyertai perjalanan reformasi di Indonesia, pertama, konvergensi dan konflik internal partai yang ditandai dengan selalu berubahnya jumlah partai politik dan fenomena perpecahan atau konflik intenal partai. Kedua, suburnya oligarki elite dan

47

Koiruddin., Op.cit. Hal: 1-2

48

(23)

personalisasi figur (untuk beberapa kasus partai politik) dalam organisasi partai politik serta disloyalitas politisi dan sentralisasi struktur organisasi partai politik. Ketiga, konfigurasi kekuatan politik diparlemen terfragmentasi dengan jumlah kekuatan politik yang terpolarisasi sehingga menyebabkan sulitnya mencapai suara mayoritas. Keempat, munculnya koalisi partai dengan ikatan yang bersifat sementara, yang didasarkan oleh kepentingan segelintir elit partai bukan dikarenakan kesamaan ideologi dan tujuan partai.

II.4 Hubungan Presiden dan Partai Politik

Hubungan Kekuasaan Presiden dengan Partai Politik pada masa pemerintahan SBY-Boediono memiliki kekuatan yang cukup kuat terlihat dari dukungan yang diberikan dalam pencalonan SBY-Boediono sebagai pasangan capres dan cawapres Indonesia dalam Pemilu Presiden tahun 2009 hingga di dalam DPR sangat dipengaruhi oleh posisi tawar para Partai Politik yang tergabung dalam koalisi pemerintahan SBY-Boediono. Posisi tawar partai politik tersebut juga menjadi salah satu factor utama dalam mengakomodasi kepentingan partai politik oleh presiden dalam proses penyusunan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II.

(24)

Meskipun koalisi partai pengusung pasangan SBY-Boediono di atas kertas telah

menguasai mayoritas sederhana kekuatan parlemen – 314 kursi di DPR terdiri dari

Partai Demokrat 148 kursi, PKS 57, PAN 46, PPP 38, dan PKB 28 – sebesar 56,56

persen dari 560 kursi DPR. Ketika membentuk pemerintahan, sebenarnya

SBY-Boediono memiliki beberapa pilihan dalam berkoalisi. Di samping tetap

mempertahankan komposisi koalisi seperti di pilpres (Partai Demokrat, PKS, PAN,

PPP dan PKB).

Ada dua faktor yang mendorong SBY dan Partai Demokrat mengambil

strategi memperluas koalisi.49

Kedua, kuantitas kekuatan koalisi partai pendukung pemerintah sebesar 56

persen dipandang SBY dan Partai Demokrat masih belum cukup untuk mengamankan

posisi pemerintah. Kendatipun secara matematis 56 persen kursi di parlemen sudah

mencapai mayoritas sederhana atau koalisi kemenangan minimal (minimal winning

coalition), tetapi jumlah itu dipandang belum mampu mengamankan kebijakan

pemerintah di parlemen. Seandainya satu saja dari keempat partai mitra koalisi – PKS, Pertama, konfigurasi mitra koalisi pendukung

SBY-Boediono saat itu hanya didukung oleh partai Islam dan berbasis massa Islam – PKS,

PAN, PPP, dan PKB – tanpa menyertakan satupun partai nasionalis. Kondisi ini

menjadikan SBY dan Partai Demokrat kurang nyaman dalam koalisi yang dikelilingi

partai Islam. Karena itulah, SBY dan Partai Demokrat membutuhkan satu partai

nasionalis untuk bergabung di barisan koalisi pendukung pemerintah, pilihannya

Partai Golkar atau PDI Perjuangan.

49

(25)

PAN, PPP, PKB – keluar dari barisan koalisi, maka kekuatan pemerintah menjadi

minoritas (di bawah 50 persen).

Konsekuensi pemerintahan yang dibangun dengan koalisi partai-partai,

kabinet juga harus menyertakan partai politik. Konfigurasi Kabinet Indonesia Bersatu

(KIB) II yang dibentuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 22 Oktober 2009

merupakan cabinet koalisi partai-partai. Konfigurasi kabinet masih melanjutkan

tradisi kompromi parpol di KIB I. Komposisi kabinet terdiri atas 19 menteri dari

unsur partai politik dan 15 menteri dari nonpartai politik. Karena itu, kabinet masih

didominasi kalangan petinggi partai-partai mitra koalisi pemerintah.

Padahal kapital politik yang dimiliki SBY di periode kedua kepresidenannya

ini jauh lebih tangguh dibandingkan periode sebelumnya. Kekuatan Partai Demokrat

di parlemen hampir tiga kali lebih besar dari sebelumnya, dari 57 menjadi 148 kursi.

Koalisi pendukung pemerintahan SBY-Boediono juga telah menguasai mayoritas

kekuatan parlemen. Lebih kuat dari itu, SBY-Boediono juga telah mendapat

kepercayaan dan mandat politik langsung dari rakyat dengan memenangkan pilpres

lebih dari 60 persen dalam satu putaran. Namun, faktanya, kabinet masih didominasi

figur-figur dari parpol. Mandat rakyat dan dukungan politik yang kuat tersebut

ternyata belum mampu menjadikan SBY lebih bernyali untuk membentuk kabinet

yang mengedepankan profesionalisme ketimbang akomodasi dan kompromi.50

50

Jurnal Indonesia Report 2009, Ibid..hal: 93

(26)

pada 21 Oktober 2009 ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan

susunan menteri Kabinet Indonesia Bersatu II Periode 2009-2014.51

NO

Tabel 2.3 Susunan Kabinet Indonesia Bersatu II Periode 2009-2014

Kementerian Nama Catatan /

mantan

1 Menko Politik, Hukum, dan

Keamanan

Mars. TNI Purn Djoko

Suyanto

Independen

2 Menko Perekonomian Hatta Rajasa PAN /

Mensesneg

3 Menko Kesra Agung Laksono Golkar

4 Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi Ind./ Sek.

Kabinet

5 Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi Ind./Gub.

Sumbar

6 Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa Ind./ Mantan

Dubes RI PBB

7 Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro Ind./Men.

ESDM

8 Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar PAN

9 Menteri Keuangan Sri Mulyani Ind./Menkeu

10 Menteri Energi dan Sumber Darwin Zahedy Saleh Demokrat

51

(27)

Daya Mineral

11 Menteri Perindustrian MS Hidayat Golkar/Ketua

Kadin

12 Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu Ind./ Mendag

13 Menteri Pertanian Suswono PKS

14 Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan PAN

15 Menteri Perhubungan Freddy Numberi Demokrat

16 Menteri Kelautan dan

Perikanan

Fadel Muhammad Golkar / Gub.

Gorontalo

17 Menteri Tenaga Kerja dan

Transmigrasi

Muhaimin Iskandar PKB

18 Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto Ind. / Menteri

PU

19 Menteri Kesehatan Endang Rahayu

Sedyaningsih

Ind./ Dokter

20 Menteri Pendidikan Nasional M Nuh Ind./

Menkominfo

21 Menteri Sosial Salim Assegaf Aljufrie PKS / Dubes RI

Arab S

22 Menteri Agama Suryadharma Ali PPP

23 Menteri Kebudayaan dan

Pariwisata

Jero Wacik Demokrat /

(28)

24 Menteri Komunikasi dan

Informatika

Tifatul Sembiring PKS

25 Menneg Riset dan Teknologi Suharna Surapranata PKS

26 Menteri Negara Urusan

Koperasi dan UKM

Syarifudin Hasan Demokrat

27 Menneg Lingkungan Hidup Gusti Moh Hatta Ind./ Prof. Univ.

LM

32 Menneg BUMN Mustafa Abubakar Golkar/ Dirut

Bulog

33 Menneg Perumahan Rakyat Suharso Monoarfa PPP

34 Menneg Pemuda dan

Olahraga

Andi Mallarangeng Demokrat /

(29)

Dari 34 kementrian lebih dari 50% menteri berasal dari partai politik. Berikut ini komposisi Kabinet Indonesia Bersatu II dalam pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono.

Tabel 2.4 Kabinet Indonesia Bersatu II

No Unsur Jumlah

1 Profesional 15

2 Partai Demokrat 5

3 Partai Keadilan Sejahterah (PKS) 4

4 Partai Golkar 3

5 Partai Amanat nasional (PAN) 3 6 Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 2 7 Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 2

Total 34

Peta koalisi partai yang dibangun Pemerintahan Susilo Bambang

Yudhoyono-Boediono secara ideologis tidak jelas karena di dalam koalisi tidak menjadikan

kedekatan ideologi partai sebagai faktor pendukung, tetapi lebih didasarkan pada

kepentingan politik kekuasaan jangka pendek saja. Kondisi ini merupakan akibat dari

lemahnya pengakaran ideologi partai-partai dan kebutuhan politik sekuritas

pemerintahan. Karena itu, dampaknya koalisi parpol pendukung pemerintah tidak

(30)

secara kuantitas sangat besar, tetapi ikatan koalisi tersebut akan cair dan rapuh.

Partai-partai mitra koalisi pemerintah akan menjalankan politik dua kaki, berada di kabinet

sekaligus menjadi oposisi di parlemen.52

Salah satu prinsip pokok sistem pemerintahan presidensial adalah ketepisahan kekuasaan antara lembaga eksekutif dan lembaga legisalatif. Masalahnya, prinsip pemisahan kekuasaan eksekutif dan legislatif ini dapat menjad pisau bermata dua dalam sistem presidensial karena keterpisahan kekuasaan tersebut merupakan kelebihan sekaligus kelemahan sistem presidensial dibandingkan sistem parlementer. Disatu pihak, pemisahan kekuasaan eksektif dan legislatif dapat mendorong tegaknya hubungan kekuasaan yang bersifat check and balance antara presiden dan palemen, namun di lain pihak juga berpotensi menimbulkan situasi jalan buntu (deadlock) dalam hubungan keduanya jika kebijakan-kebijakan presiden tidak didukung kekuatan mayoritas di parlemen. Persoalannya tentu menjadi serius jika presiden yang berkuasa memiliki basis politik ysng relative kecil di parlemen.

II.5 Hubunngan Presiden dan DPR

53

Pola hubungan presiden dan parlemen (check and balance) akan dipengaruhi oleh peta konfigurasi dan pola ikatan koalisi di parlemen. Hubungan presiden dan DPR dalam pemerintahan Indonesia dapat dilihat dari bagaimana masalah-masalah

52

Jurnal Indonesia Report 2009, Op,cit,.hal: 95

53

(31)

yang dihadapi Indonesia pasca Orde Baru, terutama sesudah amandemen ke empat konstitusi pada tahun 2002. Persoalannya, pemilihan langsaung presiden oleh rakyat dalam konteks Multipartai hampir selalu mengahassilkan presiden minoritas, yaitu presiden dengan basis politik minoritas di parlemen. Hai itu sudah di alami oleh Presiden Abdurrahman Wahid (1999-2001) dan Presiden Megawati Soekarnoputri (2001-2004), ketika PKB yang menjadi Basis politik Abdurrahman Wahid hanya menguasai 51 kursi dari 500 kursi DPR, dan PDI-P yang menjadi basis politik Megawati Soekarnoputri, hanya memiliki 153 kursi, tidak sampai sepertiga dari total Kursi DPR. Kecenderungan yang sama dialami oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pasca amanden konstitusi, ketika Partai Demokrat yang menjadi basis politiknya hanya memperoleh 55 dari 550 kursi DPR pada pemilu 2004, dan 148 kursi dari 560 kursi DPR pada Pemilu 2009, padahal Partai Demokrat berhasil memenangankan pemilu legislatif tersebut. Realitas politik ini yang melatarbelakangi keputusan Predisen Adurrahman Wahid, Megawati dan Yudhoyono menbentuk kabinet yang bersifat koalisi partai partai politik.

(32)

presiden-presiden sebelumnya. Dalam hubungan ini Juan Linz mengatakan bahwa Presiden yang merasa dipiliha langsung oleh rakyat dari seluruh wilayah negara melalui prinsip “pemenang mengambil semua” (the winning takes all) bisa membuatnya tidak toleran terhadap oposisi dari parlemen yang terpilih dari daerah-daerah tertentu saja di dalam wilayah negara.54

54

Syamsudin Haris, Ibid,..Hal: 181

Gambar

Tabel 2.1 Partai Politik Peserta Pemilu Tahun 2009 dan Perolehan Suara
Tabel 2.3 Susunan Kabinet Indonesia Bersatu II Periode 2009-2014
Tabel 2.4 Kabinet Indonesia Bersatu II

Referensi

Dokumen terkait

Deskripsi Unit : Unit ini meliputi pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja yang diperlukan untuk menyusun dan memilih huruf menjadi susunan tulisan/ naskah (type

Saran yang dapat disampaikan berdasarkan kesimpulan adalah a) Bagi mahasiswa, Mahasiswa dalam memanfaatkan internet untuk kegiatan akademik sudah cukup baik, mereka

[r]

Berdasar- kan hasil rangkuman sidik ragam pada Tabel 1, perlakuan rasio tanaman induk jantan dan betina (r), serta interaksi antara rasio tanaman dengan pupuk boron

Menguraikan /menjelaskan /menyusun/ mengkalkulas i dengan benar hanya 1 dari 7 indikator penilaian pertemuan

Dengan tanggung jawab juga orang akan lebih memiliki simpati yang besar untuk kita, dengan sendirinya derajat dan kualitas kita dimata orang lain akan tinggi karena memiliki

Implementasi yang dilakukan pada responden 1 adalah dengan masalah kekurangan volume cairan pada tanggal 10-12 juni 2017 adalah melakukan manajemen nutrisi,

Berdasarkan data hasil pengkajian pada Ny “J” mengalami hiperemesis gravidarum dengan diagnosa keperawatan ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh,