BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1Dukungan Keluarga
2.1.1 Defenisi Keluarga
Menurut WHO (1996) Keluarga adalah anggota rumah tangga yang saling
berhubungan melalui pertalian darah, adopsi atau perkawinan. Menurut Departemen
Kesehatan (1998), Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas
kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal di suatu tempat di
bawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan. Adapun pendapat oleh
Sayekti (1994) mengatakan bahwa keluarga adalah suatu ikatan atau persekutuan
hidup atas dasar perkawinan antara orang dewasa yang berlainan jenis yang hidup
bersama atau seseorang laki-laki atau seorang perempuan yang sudah sendirian
dengan atau tanpa anak, baik anaknya sendiri atau adopsi, dan tinggal dalam sebuah
rumah tangga (Setiadi, 2008).
2.1.2 Konsep Dukungan keluarga
Dukungan keluarga merupakan suatu proses hubungan antara keluarga dengan
lingkungan sosialnya (Friedman, 1998). Dukungan sosial adalah suatu keadaan yang
bermanfaat bagi individu yang diperoleh dari orang lain yang dapat dipercaya, sehingga
seseorang akan tahu bahwa ada orang lain yang memperhatikan, menghargai dan
mencintainya (Cohen & Syme, 1996 dalam Setiadi, 2008). Anggota keluarga sangat
tersebut merasa dihargai dan anggota keluarga siap memberikan dukungan untuk
menyediakan bantuan dan tujuan hidup yang ingin dicapai individu (Friedman, 1988).
Menurut Cohen dan Mc Kay (1984 dalam Niven, 2000) bahwa
komponen-komponen dukungan keluarga adalah sebagai berikut :
1. Dukungan Emosional
Dukungan emosional memberikan pasien perasaan nyaman, merasa dicintai
meskipun saat mengalami suatu masalah, bantuan dalam bentuk semangat,
empati, rasa percaya, perhatian sehingga individu yang menerimanya merasa
berharga. Pada dukungan emosional ini keluarga menyediakan tempat
istirahat dan memberikan semangat kepada pasien yang dirawat di rumah atau
di panti. Jenis dukungan bersifat emosional atau menjaga keadaan emosi atau
ekspresi.
Jika stres mengurangi perasaan seseorang akan hal yang dimiliki dan dicintai
maka dukungan dapat menggantikannya sehingga akan dapat menguatkan
kembali perasaan dicintai tersebut. Apabila dibiarkan terus menerus dan tidak
terkontrol maka akan berakibat hilangnya harga diri.
2. Dukungan Informasi
Dukungan ini meliputi komunikasi dan tanggung jawab bersama, termasuk
didalamnya memberikan solusi dari masalah yang dihadapi pasien baik di
rumah atau rumah sakit jiwa, memberikan nasehat, pengarahan, saran atau
umpan balik tentang apa yang dilakukan oleh seseorang. Keluarga dapat
menyediakan informasi dengan menyarankan tempat, dokter, dan terapi
stressor. Pada dukungan informasi, keluarga sebagai penghimpun informasi
dan pemberi informasi
3. Dukungan Nyata
Dukungan ini meliputi penyediaan dukungan jasmaniah seperti pelayanan,
bantuan finansial dengan menyediakan dana untuk biaya pengobatan, dan
material berupa bantuan nyata (Instrumental Support/ Material Support),
suatu kondisi dimana benda atau jasa akan membantu memecahkan masalah
kritis, termasuk didalamnya bantuan langsung seperti saat seseorang
membantu pekerjaan sehari-hari, menyediakan informasi dan fasilitas,
menjaga dan merawat saat sakit serta dapat membantu menyelesaikan
masalah. Pada dukungan nyata, keluarga sebagai sumber untuk mencapai
tujuan praktis. Meskipun sebenarnya, setiap orang dengan sumber-sumber
yang tercukupi dapat memberi dukungan dalam bentuk uang atau perhatian
yang bertujuan untuk proses pengobatan. Akan tetapi, dukungan nyata akan
lebih efektif bila dihargai oleh penerima dengan tepat. Pemberian dukungan
nyata yang berakibat pada perasaan ketidakadekuatan dan perasaan berhutang,
malah akan menambah stress individu.
4. Dukungan Pengharapan
Dukungan pengharapan merupakan dukungan berupa dorongan dan
motivasi yang diberikan keluarga kepada pasien. Dukungan ini merupakan
dukungan yang terjadi bila ada ekspresi penilaian yang positif terhadap
masalah mereka, terjadi melalui ekspresi penghargaan positif keluarga
kepada pasien, penyemangat, persetujuan terhadap ide-ide atau perasaan
pasien. Dukungan keluarga ini dapat membantu meningkatkan strategi
koping pasien dengan strategi-strategi alternatif berdasarkan pengalaman
yang berfokus pada aspek-aspek positif. Dalam dukungan pengharapan,
kelompok dukungan dapat mempengaruhi persepsi pasien akan ancaman.
Dukungan keluarga dapat membantu pasien mengatasi masalah dan
mendefinisikan kembali situasi tersebut sebagai ancaman kecil dan
keluarga bertindak sebagai pembimbing dengan memberikan umpan balik
dan mampu membangun harga diri pasien.
2.1.3 Manfaat Dukungan Keluarga
Smet (1994 dalam Sukoco, 2011) mengemukakan bahwa ada dua model
peranan dukungan keluarga dalam kehidupan, yaitu model efek langsung (direct
effect) dan model efek penyangga (buffer effect). Dalam efek langsung tetap
berpendapat bahwa dukungan sosial atau keluarga itu bermanfaat bagi kesehatan dan
kesejahteraan tidak perduli banyaknya stres yang dialami seseorang. Menurut efek
dukungan sosial yang positif sebanding di bawah intensitas-intensitas stres tinggi dan
rendah. Contohnya, orang-orang dengan dukungan keluarga yang tinggi dapat
memiliki penghargaan diri yang lebih tinggi yang membuat mereka tidak begitu
mudah diserang stres. Sedangkan efek penyangga, dukungan keluarga mempengaruhi
kesehatan dengan melindungi orang tersebut terhadap efek negatif dari stres berat.
menjumpai stres yang kuat. Efek penyangga bekerja paling sedikit dengan dua cara.
Orang-orang dengan dukungan sosial atau keluarga yang tinggi mungkin akan kurang
menilai situasi penuh stres (mereka tahu bahwa mungkin akan ada seorang yang
dapat membantu mereka). Orang-orang dengan dukungan sosial atau keluarga akan
mengubah respon mereka terhadap sumber stres (contohnya seorang teman pergi ke
sahabatnya untuk membicarakan masalah tersebut). Wills (1985) dalam Friedman
(1998) menambahkan bahwa baik efek-efek penyangga (dukungan sosial menahan
efek-efek negatif dari stres terhadap kesehatan) dan efek-efek utama (dukungan sosial
secara langsung mempengaruhi akibat-akibat dari kesehatan) pun ditemukan.
Sesungguhnya efek-efek penyangga dan utama dari dukungan sosial terhadap
kesehatan dan kesejahteraan boleh jadi berfungsi bersamaan. Secara lebih spesifik,
keberadaan dukungan sosial yang adekuat terbukti berhubungan dengan menurunnya
mortalitas, lebih mudah sembuh dari sakit dan dikalangan kaum tua, fungsi kognitif,
fisik dan kesehatan emosi (Akhmadi, 2010).Kedua sudut pandang ini mempengaruhi
dampak sumber stres.
2.1.4 Sumber dukungan keluarga
Dukungan sosial keluarga mengacu kepada dukungan sosial yang dipandang oleh
keluarga sebagai sesuatu yang dapat diadakan untuk keluarga, tetapi anggota keluarga
memandang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap memberikan pertolongan
dan bantuan jika diperlukan. Dukungan keluarga dapat berupa dukungan sosial kelurga
internal, seperti dukungan dari suami/istri atau dukungan dari saudara kandung atau
2.1.5 Faktor yang mempengaruhi dukungan keluarga
Menurut Feiring dan Lewis (1984 dalam Friedman 1998), ada bukti kuat dari
hasil penelitian yang menyatakan bahwa keluarga besar dan keluarga kecil secara
kualitatif menggambarkan pengalaman-pengalaman perkembangan. Anak-anak yang
berasal dari keluarga kecil menerima lebih banyak perhatian daripada anak-anak dari
keluarga yang besar. Selain itu, dukungan yang diberikan orangtua (khususnya ibu) juga
dipengaruhi oleh usia (Akhmadi, 2010).
Faktor-faktor yang mempengaruhi dukungan keluarga lainnya adalah kelas
sosial ekonomi orangtua. Kelas sosial ekonomi disini meliputi tingkat pendapatan,
pekerjaan orang tua dan tingkat pendidikan. Dalam keluarga kelas menengah, suatu
hubungan yang lebih adil mungkin ada, sementara dalam keluarga kelas bawah,
hubungan yang ada lebih otoritas atau otokrasi. Selain itu orang tua dengan kelas
sosial menengah mempunyai tingkat dukungan, afeksi dan keterlibatan yang lebih
tinggi daripada orang tua dengan kelas sosial rendah (Akhmadi, 2010).
2.2 NAPZA
2.2.1 Pengertian NAPZA
NAPZA adalah singkatan untuk narkotika, alkohol, psikotropika dan zat
adiktif lain. Menurut UU RI Nomor 35 tahun 2009, narkotika adalah zat atau obat
yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis,
yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa,
ketergantungan. Penyalahgunaan zat adalah penggunaan secara terus menerus bahkan
sampai setelah terjadi masalah. Ketergantungan zat menunjukkan kondisi yang parah
dan sering dianggap sebagai penyakit (Stuart & Sundeen, 1998, dikutip dari Purba,
dkk. 2010)
2.2.2 Jenis-Jenis NAPZA
NAPZA dapat dibagi ke dalam beberapa golongan yaitu:
a. Narkotika, merupakan zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman
baik sintetis maupun semisintetis yang menyebabkan penurunan atau perubahan
kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat
menimbulkan ketergantungan (Undang-Undang No. 35 tahun 2009).
b. Psikotropika, Menurut Kepmenkes RI No. 996/MENKES/SK/VIII/2002,
psikotropika adalah zat atau obat, baik sintesis maupun semisintesis yang berkhasiat
psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan
perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Zat yang tergolong dalam
psikotropika (Hawari, 2006) adalah stimulansia yang membuat pusat syaraf menjadi
sangat aktif karena merangsang syaraf simpatis (Purba, dkk. 2010).
c. Zat Adiktif Lainnya, merupakan zat, bahan kimia, dan biologi dalam bentuk tunggal
maupun campuran yang dapat membahayakan kesehatan lingkungan hidup secara
langsung dan tidak langsung yang mempunyai sifat karsinogenik, teratogenik,
mutagenik, korosif dan iritasi. Bahan-bahan berbahaya ini adalah zat adiktif yang
bukan termasuk ke dalam narkotika dan psikotropika, tetapi mempunyai pengaruh
dan efek merusak fisik seseorang jika disalahgunakan (Wresniwiro dkk. 1999).
beralkohol) yang meliputi minuman keras golongan A (kadar ethanol 1 % sampai 5
%) seperti bir, green sand; minuman keras golongan B (kadar ethanol lebih dari 5%
sampai 20%) seperti anggur malaga; dan minuman keras golongan C (kadar ethanol
lebih dari 20% sampai 55%) seperti brandy, wine, whisky. Zat dalam alkohol dapat
mengganggu aktivitas sehari-hari bila kadarnya dalam darah mencapai 0,5% dan
hampir semua akan mengalami gangguan koordinasi bila kadarnya dalam darah 0,10
% (Marviana dkk. 2000). Zat adiktif lainnya adalah nikotin, votaile, dan
solvent/inhalasia. (Purba, dkk. 2010)
2.2.3 Faktor Penyebab Penyalahgunaan NAPZA
Harboenangin (dikutip dari Purba, dkk. 2010) mengemukakan ada beberapa
faktor yang menyebabkan seseorang menjadi pecandu narkoba yaitu faktor eksternal
dan faktor internal.
a. Faktor Internal
1) Faktor Kepribadian
Kepribadian seseorang turut berperan dalam prilaku ini. Hal ini lebih
cenderung terjadi pada usia remaja. Remaja yang menjadi pecandu biasanya memiliki
konsep diri yang negatif dan harga diri yang rendah. Perkembangan emosi yang
terhambat, dengan ditandai oleh ketidakmampuan mengekspresikan emosinya secara
wajar, mudah cemas, pasif, agresif, dan cenderung depresi, juga turut mempengaruhi.
Selain itu, kemampuan untuk memecahkan masalah secara adekuat berpengaruh
terhadap bagaimana ia mudah mencari pemecahan masalah dengan cara melarikan
2) Intelegensia
Hasil penelitian menunjukkan bahwa intelegensia pecandu yang datang
untuk konseling di klinik rehabilitasi pada umumnya berada pada taraf di bawah
rata-rata dari kelompok usianya.
3) Usia
Mayoritas pecandu narkoba adalah remaja. Usia pertama kali menggunakan
NAPZA rata-rata 19 tahun. Menurut Rahmah (2008) bahwa usia remaja merupakan
periode yang paling rawan terhadap penyalahgunaan NAPZA, karena masa remaja
merupakan masa pencarian identitas diri, saat di mana remaja mulai muncul rasa
penasaran, ingin tahu, serta ingin mencoba berbagai hal yang baru berisiko tinggi.
Alasan remaja menggunakan narkoba karena kondisi sosial, psikologis yang
membutuhkan pengakuan, dan identitas dan kelabilan emosi; sementara pada usia
yang lebih tua, narkoba digunakan sebagai obat penenang. Oleh karena itu, sangat
mungkin jika semakin hari akan semakin bertambah jumlah pengedar dan pengguna
NAPZA di kalangan anak-anak dan remaja.
4) Dorongan Kenikmatan dan Perasaan Ingin Tahu
Narkoba dapat memberikan kenikmatan yang unik dan tersendiri. Mulanya
merasa enak yang diperoleh dari coba-coba dan ingin tahu atau ingin merasakan
seperti yang diceritakan oleh teman-teman sebayanya. Lama kelamaan akan menjadi
5) Pemecahan Masalah
Pada umumnya para pecandu narkoba menggunakan narkoba untuk
menyelesaikan persoalan. Hal ini disebabkan karena pengaruh narkoba dapat
menurunkan tingkat kesadaran dan membuatnya lupa pada permasalahan yang ada.
b. Faktor Eksternal
1) Keluarga
Keluarga merupakan faktor yang paling sering menjadi penyebab seseorang
menjadi pengguna narkoba. Rahmah (2008) mengemukakan bahwa gambaran pola
asuh orang pada remaja pengguna NAPZA adalah kurangnya upaya kedua orang tua
dalam menerapkan disiplin pada remaja sesuai dengan standar tingkah laku yang
sudah dibuat sebelumnya, kurangnya kejelasan komunikasi antara orang tua dan
remaja, tidak adanya dukungan dalam remaja anak.
2) Faktor Kelompok Teman Sebaya (Peer Group)
Kelompok teman sebaya dapat menimbulkan tekanan kelompok, yaitu cara
teman-teman atau orang-orang seusia untuk mempengaruhi seseorang agar berprilaku
seperti kelompok itu. Sinaga (2007) melaporkan bahwa faktor penyebab
penyalahgunaan NAPZA pada remaja adalah teman sebaya (78,1 %). Hal ini
menunjukkan betapa besarnya pengaruh teman kelompoknya sehingga remaja
3) Faktor Kesempatan
Ketersediaan narkoba dan kemudahan memperolehnya juga dapat disebut
sebagai pemicu seseorang menjadi pecandu. Indonesia yang sudah menjadi tujuan
pasar narkoba internasional, menyebabkan obat-obatan ini mudah diperoleh.
Pengalaman feel good saat mencoba drugs akan semakin memperkuat keinginan
untuk memanfaatkan kesempatan dan akhirnya menjadi pecandu.
4) Faktor Lingkungan Sekolah
Lingkungan sekolah turut mendorong terjadinya penyalahgunaan NAPZA.
Sekolah yang kurang disiplin dan tidak tertib, sering tidak ada pelajaran pada waktu
jam sekolah, pelajaran yang diberikan secara membosankan, guru yang kurang pandai
mengajar dan kurang mampu berkomunikasi dengan siswa, serta sekolah tidak
mempunyai fasilitas untuk menyalurkan kreatifitas siswa, merupakan ciri-ciri sekolah
yang berisiko tinggi terhadap adanya penyalahgunaan NAPZA pada murid-muridnya.
2.2.4 Dampak Penyalahgunaan NAPZA
Penyalahgunaan NAPZA mempunyai dampak yang sangat luas baik bagi
pemakainya (diri sendiri), keluarga, pihak sekolah (pendidikan), serta masyarakat,
bangsa dan negara (Martono, 2006).
Bagi diri sendiri; Penyalahgunaan NAPZA dapat mengakibatkan terganggunya fungsi otak dan perkembangan moral pemakainya, intoksikasi (keracunan), overdosis
pendarahan otak, kekambuhan, gangguan perilaku (mental sosial), gangguan
kesehatan, menurunnya nilai-nilai, dan masalah ekonomi dan hukum.
Bagi keluarga; Penyalahgunaan NAPZA dalam keluarga dapat mengakibatkan suasana nyaman dan tentram dalam keluarga terganggu. Di mana orang tua akan
merasa malu karena memiliki anak pecandu, merasa bersalah, dan berusaha menutupi
perbuatan anak mereka. Stress keluarga meningkat, merasa putus asa karena
pengeluaran yang meningkat akibat pemakaian narkoba atau melihat anak yang harus
berulang kali dirawat bahkan mendekam di penjara.
Bagi pendidikkan atau sekolah; NAPZA akan merusak disiplin dan motivasi yang sangat tinggi untuk proses belajar. Penyalahgunaan NAPZA berhubungan dengan
kejahatan dan perilaku asosial lain yang mengganggu suasana tertib dan aman,
rusaknya barang-barang sekolah dan meningkatnya perkelahian.
Bagi masyarakat, bangsa dan negara; Penyalahgunaan NAPZA mengakibatkan terciptanya hubungan pengedar narkoba dengan korbannya sehingga terbentuk pasar
gelap perdagangan NAPZA yang sangat sulit diputuskan mata rantainya. Masyarakat
yang rawan narkoba tidak memiliki daya tahan dan kesinambungan pembangunan
terancam. Akibatnya negara mengalami kerugian karena masyarakatnya tidak
produktif, kejahatan meningkat serta sarana dan prasarana yang harus disediakan
2.2.5 Tingkat Pemakaian Zat NAPZA
Terdapat beberapa tingkat-tingkat pemakaian zat NAPZA terbagi menjadi 5
bagian, yaitu:
a) Pemakaian coba-coba (experimental use) yang bertujuan hanya ingin mencoba
memenuhi rasa ingin tahu. Sebagian pemakai erhenti menggunakannya dann sebagian
lagi meneruskannya.
b) Pemakaian sosial (social use) yang bertujuan hanya untuk bersenang-senang (saat
rekreasi atau santai). Sebagian pemakai tetap bertahan pada tahap ini, namun
sebagian lagi meningkat ke tahap selanjutnya.
c) Pemakaian situasional (situasional use), pemakaian pada saat mengalami keadaan
tertentu (ketegangan, kesedihan, kekecewaan).
d) Penyalahgunaan (abuse), pemakaian ini sebagai suatu pola penggunaan yang
bersifat patologis/klinis (menyimpang), minimal satu bulan lamanya, dan telah terjadi
gangguan fungsi sosial atau pekerjaannya.
e) Ketergantungan (dependence), telah terjadi toleransi dan gejala putus zat, bila
pemakaian zat dihentikan atau dikurangi atau tidak ditambah dosisnya (Depkes,
2.3 Rehabilitasi
Menurut Depkes (2001), rehabilitasi adalah upaya kesehatan yang dilakukan
secara utuh dan terpadu melalui pendekatan nonmedis, psikologis, sosial dan religi
agar pengguna NAPZA yang menderita sindroma ketergantungan dapat mencapai
kemampuan fungsional seoptimal mungkin. Tujuannya pemulihan dan
pengembangan pasien baik fisik, mental, sosial, dan spiritual. Sarana rehabilitasi yang
disediakan harus memiliki tenaga kesehatan sesuai dengan kebutuhan (Purba,dkk.
2010).
Menurut Hawari (2004) bahwa sesudah klien penyalahgunaan/
ketergantungan NAPZA menjalani program terapi (detoksifikasi) dan konsultasi
medik selama satu minggu dan dilanjutkan dengan program pemantapan
(pascadetoksifikasi) selama dua minggu maka yang bersangkutan dapat melanjutkan
ke program berikutnya yaitu rehabilitasi. Lama rawat di unit rehabilitasi untuk setiap
rumah sakit tidak sama karena tergantung pada jumlah dan kemampuan sumber daya,
fasilitas, dan sarana penunjang kegiatan yang tersedia di rumah sakit (Purba, dkk.
2010).
Depkes (2001) menyatakan bahwa kenyataan menunjukkan bahwa mereka
yang telah selesai menjalani detoksifikasi sebagai besar akan mengulangi kebiasaan
menggunakan NAPZA, oleh karena rasa rindu (craving) terhadap NAPZA yang
selalu terjadi. Dengan rehabilitasi diharapkan pengguna NAPZA dapat mempunyai
motivasi kuat untuk tidak menyalahgunakan NAPZA lagi, mampu menolak tawaran
penyalahgunaan NAPZA, pulih kepercayaan dirinya, hilang rasa rendah dirinya,
berkonsentrasi untuk belajar atau bekerja dan dapat diterima dan dapat membawa diri
dengan baik dalam pergaulan dengan lingkungannya (Purba, dkk. 2010).
2.4 Gambaran Dukungan Keluarga pada Pengguna NAPZA
Pengguna NAPZA atau penyalahguna NAPZA adalah individu yang
menggunakan narkotika atau psikotropika tanpa indikasi medis dan tidak dalam
pengawasan dokter (BNN, 2003). Korban penyalahguna NAPZA atau pengguna
NAPZA adalah orang yang menderita ketergantungan terhadap NAPZA yang
disebabkan oleh penyalahgunaan NAPZA, baik atas kemauan sendiri maupun
paksaan dari orang lain.
Berdasarkan penelitian Adisukarto (dalam Poerwandari, 2001) menunjukkan
bahwa 47,7 % korban penyalahgunaan narkoba adalah remaja dan yang tidak bisa
berkomunikasi dengan orang tua, memiliki kepercayaan dan harga diri yang rendah,
suka mencari sensasi, control diri yang rendah serta sulit menyesuaikan diri dengan
lingkungan dan bergaul di lingkungan yang menyalahgunakan narkoba.
Alasan pertama individu menggunakan narkoba karena ingin mencoba, tergiur
dengan tawaran teman dan lain sebagainya. Penyalahgunaan narkoba pada individu
erat kaitanya dengan perasaan diterima sebagai anggota suatu kelompok, untuk
mendapatkan pengalaman baru, untuk memelihara hubungan dengan kelompok,
untuk menenangkan diri dari kecemasan dan untuk melarikan diri dari kegagalan.
Akibat adanya perubahan psikologis tersebut, maka terjadi goncangan emosional dan
Pada saat individu mengalami problem kehidupan yang mengakibatkan
dirinya mengalami stres karena tidak menemukan jalan keluar dan tidak ada seorang
pun yang bisa dipercaya untuk menyelesaikan masalah mereka. Maka, individu sering
“melarikan diri” dengan cara menggunakan narkoba. Individu beranggapan bahwa
dengan melarikan diri ke narkoba akan menyelesaikan masalah yang dihadapinya.
Dengan keadaan diri individu yang lemah dan rentan terhadap stres maka
diperlukan suatu cara yang dapat membantu mereka agar tidak terjerumus dalam
penggunaan narkoba. Apabila mereka telah terjerumus maka diperlukan suatu
tindakan yang dapat mengarahkan mereka keluar dari masalah. Dalam hal ini dapat
dilakukan dengan cara memberikan pengarahan yaitu dengan dukungan keluarga.
Oleh sebab itu, dukungan keluarga pada individu yang mengalami stres akan efektif
karena pada saat ini individu tersebut sangat membutuhkan dukungan (seperti
dukungan emosional) dan sangat berperan dalam kehidupan individu yang