• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keluarga Sadar Gizi (KADARZI) - Gambaran Perilaku Sadar Gizi Pada Keluarga Yang Memiliki Balita Gizi Kurang dan Gizi Buruk Yang Ada Di Wilayah Kerja Puskesmas Desa Lalang Tahun 2014.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keluarga Sadar Gizi (KADARZI) - Gambaran Perilaku Sadar Gizi Pada Keluarga Yang Memiliki Balita Gizi Kurang dan Gizi Buruk Yang Ada Di Wilayah Kerja Puskesmas Desa Lalang Tahun 2014."

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Keluarga Sadar Gizi (KADARZI)

Keluarga Sadar Gizi (KADARZI) adalah keluarga yang semua anggota keluarganya mampu mengenal, mencegah dan mengatasi masalah kesehatan dan gizi bagi setiap anggota keluarganya (Depkes, 2007). Sasaran dari program KADARZI adalah seluruh anggota keluarga karena pengambilan keputusan dalam bidang pangan, gizi dan kesehatan dilaksanakan terutama di tingkat keluarga, sumber daya dimiliki dan dimanfaatkan di tingkat keluarga dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, masalah gizi seperti gizi kurang, gizi buruk, dan sebagainya yang terjadi di tingkat keluarga sangat erat kaitannya dengan perilaku keluarga, tidak semata-mata disebabkan oleh kemiskinan dan ketidaktersediaan pangan. Kebersamaan antar keluarga dapat memobilisasi masyarakat unuk memperbaiki keadaan gizi dan kesehatan (Depkes RI, 2004). Sebagaimana hasil dari penelitian Sugimah (2009), Zahraini (2009), Karolina, dkk. (2012) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara tingkat Keluarga Sadar Gizi dengan status gizi balita.

(2)

2.1.1 Perilaku Sadar Gizi

Umumnya keluarga telah memiliki pengetahuan dasar mengenai gizi. Namun demikian, sikap dan keterampilan serta kemauan untuk bertindak memperbaiki gizi keluarga masih rendah. Sebagian keluarga menganggap asupan makanannya selama ini cukup memadai karena tidak ada dampak buruk yang mereka rasakan. Sebagian keluarga juga mengetahui bahwa ada jenis makanan yang lebih berkualitas, namun mereka tidak ada kemauan dan tidak mempunyai keterampilan untuk penyiapannya (Depkes RI, 2007).

Menurut Depkes RI (2007), suatu keluarga dikatakan berperilaku sadar gizi, apabila keluarga telah berperilaku gizi yang baik secara terus menerus minimal adalah:

1. Menimbang berat badan secara teratur,

2. Memberikan Air Susu Ibu (ASI) saja kepada bayi sejak lahir sampai umur enam bulan (ASI eksklusif),

3. Makan beraneka ragam,

4. Menggunakan garam beryodium, 5. Minum suplemen gizi sesuai anjuran.

(3)

agama/masyarakat, LSM, ormas, media massa, sektor swasta dan donor; 3) tingkat pelayanan kesehatan mencakup pelayanan preventif dan promotif, dan; 4) tingkat pemerintah mencakup adanya kebijakan pemerintah yang mendukung dan pelaksanaan kebijakan yang dapat dipertanggungjawabkan.

Sebagaimana hasil penelitian Nazaruddin (2013) bahwa pemberdayaan masyarakat berhubungan secara signifikan dengan praktek Kadarzi. Kepedulian kepala puskesmas dalam pemberdayaan masyarakat melalui pemantauan secara langsung ke masyarakat baik pada waktu tugas maupun diluar tugas akan terjalin hubungan sosial antara kepala puskesmas dengan tokoh-tokoh masyarakat dan tokoh agama serta ibu PKK yang sangat menunjang tenaga kesehatan dalam melakukan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan peningkatan partisipasi masyarakat terutama dalam hal penerapan praktek Keluarga Sadar Gizi.

2.1.2 Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Perilaku KADARZI

(4)

1. Umur Orang Tua

Orang tua muda terutama ibu, cenderung kurang memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam mengasuh anak sehingga umumnya mereka mengasuh dan merawat anak didasarkan pada pengalaman orang tua terdahulu. Faktor usia muda juga cenderung menjadikan seorang ibu akan lebih memperhatikan kepentingannya sendiri daripada kepentingan anaknya sehingga kuantitas dan kualitas pengasuhan kurang terpenuhi. Sebaliknya, ibu yang lebih berumur cenderung akan menerima dengan senang hati tugasnya sebagai ibu sehingga akan memengaruhi pula terhadap kualitas dan kuantitas pengasuhan anak (Hurlock, 1999 dalam Nazaruddin 2013).

2. Pendidikan Orang Tua

(5)

3. Pengetahuan Orang Tua

Tingkat pengetahuan menentukan perilaku konsumsi pangan, salah satunya melalui pendidikan gizi sehingga akan memperbaiki kebiasaan konsumsi pangan dirinya dan keluarganya. Tingkat pengetahuan ibu bermakna dengan sikap positif terhadap perencanaan dan persiapan makan. Semakin tinggi pengetahuan ibu, maka semakin positif sikap ibu terhadap gizi makanan. Kurangnya pengetahuan tentang gizi atau kemampuan untuk menerapkan dalam kehidupan sehari-hari merupakan sebab penting gangguan gizi (Suhardjo, 2003 dalam Ridwan, 2010). Sebagaimana hasil penelitian Nazaruddin (2010) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara pengetahuan gizi dan perilaku kadarzi pada keluarga balita. Tingkat pengetahuan ibu bermakna dengan sikap positif terhadap perencanaan dan persiapan makan. Semakin tinggi pengetahuan ibu, maka semakin positif sikap ibu terhadap gizi makanan.

Masalah gizi selain merupakan sindroma kemiskinan yang erat kaitannya dengan ketahanan pangan ditingkat rumah tangga juga menyangkut aspek pengetahuan dan perilaku yang kurang mendukung perilaku hidup sehat. Pengetahuan sangat penting dalam menentukan bertindak atau tidaknya seseorang yang pada akhirnya sangat akan mempengaruhi status kesehatan anggota keluarganya (Depkes RI, 2007).

(6)

tersebut rajin mendengarkan informasi tentang gizi bukan mustahil pengetahuan gizinya akan lebih baik (Ridwan, 2010).

4. Pekerjaan Orang Tua

Menurut Gabriel (2008) seorang ibu yang tidak bekerja di luar rumah akan memiliki waktu lebih banyak dalam mengasuh serta merawat anak dibandingkan ibu yang bekerja di luar rumah. Pekerjaan memiliki hubungan dengan pendidikan dan pendapatan serta berperan penting dalam kehidupan sosial ekonomi dan memiliki keterkaitan dengan faktor lain seperti kesehatan (Sukarni, 1994).

Salah satu penyebab terjadinya gizi kurang adalah karena status pekerjaan ibu sehingga ibu yang bekerja di luar rumah cenderung menelantarkan pola makan keluarganya sehingga mengakibatkan menurunnya keadaan gizi keluarga, hal ini akan berakibat pada keadaan status gizi anggota keluarga terutama anak-anaknya (Apriadji, 1996 dalam Nazaruddin, 2013).

5. Pendapatan Orang Tua

(7)

6. Besar Keluarga

Pada keluarga yang sangat miskin, pemenuhan kebutuhan makanan akan lebih mudah jika yang harus diberi makan jumlahnya sedikit. Anak-anak yang sedang tumbuh dari suatu keluarga miskin adalah yang paling rawan terhadap gizi kurang diantara semua anggota keluarga, anak yang paling kecil biasanya yang paling terpengaruh oleh kekurangan pangan. Situasi semacam ini sering terjadi sebab seandainya besar keluarga bertambah, maka pangan untuk setiap anak berkurang dan banyak orang tua tidak menyadari bahwa anak-anak yang sedang tumbuh memerlukan pangan relatif lebih tinggi daripada golongan yang lebih tua. Tahun-tahun awal masa kanak-kanak yaitu pada umur 1-6 Tahun-tahun berada dalam situasi yang rawan (Suhardjo, 1989 dalam Gabriel, 2008).

7. Keaktifan Kader

Masih banyaknya kasus gizi kurang menunjukkan asuhan gizi ditingkat keluarga belum memadai. Oleh sebab itu perlunya peran kader dalam upaya pemberdayaan yaitu dengan melakukan pendampingan pada keluarga yang bermasalah dengan gizi teruatama keluarga yang mempunyai balita dan ibu hamil. Pendampingan keluarga KADARZI adalah proses mendorong, menyemangati, membimbing dan memberikan kemudahan oleh kader pendamping kepada keluarga guna mengatasi masalah gizi yang dialami (Depkes RI, 2007).

2.1.3 Indikator Keluarga Sadar Gizi (KADARZI)

(8)

sampai umur enam bulan (ASI eksklusif), makan beraneka ragam, menggunakan garam beryodium, memberikan suplemen gizi (kapsul vitamin A pada balita) sesuai anjuran.

1. Menimbang berat badan secara teratur

Tujuan dari penimbangan secara teratur yaitu untuk mengetahui perubahan berat badan dalam menggambarkan perubahan konsumsi makanan atau gangguan kesehatan, dengan mengetahui perubahan berat badan yang terjadi keluarga dapat mengenali masalah kesehatan dan gizi anggota keluarganya serta mampu mengatasi masalahnya baik oleh sendiri atau dengan bantuan petugas.

Cara memantau berat badan anak:

a. Anak dapat ditimbang di rumah atau di posyandu atau di tempat lain, b. Berat badan anak dimasukkan ke dalam KMS,

c. Bila grafik berat badan KMS Naik (sesuai garis pertumbuhnnya), berarti anak sehat, bila tidak naik berarti ada penurunan konsumsi makanan atau gangguan kesehatan dan perlu ditindak lanjuti oleh keluarga atau meminta bantuan petugas kesehatan.

(9)

bayi yang masih berumur 0-1 bulan, baik jika pernah ditimbang dan belum baik jika tidak pernah ditimbang (Depkes RI, 2008).

Menurut penelitian Sihotang (2009) menunjukkan bahwa dari 66 keluarga responden yang diteliti kesadaran keluarga terhadap gizi berdasarkan indikator penimbangan yang dikategorikan baik hanya sekitar 40,90% dan kategori tidak baik sebesar 59,10%. Ada beberapa alasan keluarga tidak menimbangkan balitanya antara lain: anak sudah mendapat imunisasi lengkap sehingga ibu merasa tidak perlu membawa anaknya ke posyandu dan alasan bekerja bagi keluarga petani juga sangat mempengaruhi responden mengikuti penimbangan. Kemungkinan hal tersebut di atas dipengaruhi oleh kurang pengetahuan masyarakat tentang manfaat penimbangan.

2. Memberikan ASI saja kepada bayi sejak lahir sampai umur 6 bulan (ASI Eksklusif)

ASI adalah suatu emulsi lemak dalam larutan protein, laktosa dan garam-garam organik yang disekresi oleh kedua belah kelenjar mamae ibu, yang berguna sebagai makanan bagi bayi atau anak (Winarno 1995 dalam Syafli 2011). Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan yang ideal untuk bayi terutama pada bulan-bulan pertama, sebab memenuhi syarat-syarat kesehatan. ASI mengandung semua nutrient untuk membangun dan penyediaan energi dalam susunan yang diperlukan (Adriani dan Wirjatmadi, 2012).

(10)

Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa bayi yang diberi ASI eksklusif menunjukkan perkembangan sosial dan kognitif yang lebih baik dari bayi yang diberi susu formula (Michael S. Kramer, et al, 2003 dalam BAPPENAS, 2011). Begitu juga hasil penelitian Karolina,dkk (2009) menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara memberikan ASI Eksklusif dengan status gizi balita.

Pemberian ASI juga memberi manfaat yang besar bagi ibu yaitu mengurangi perdarahan setelah melahirkan, mencegah/mengurangi terjadinya anemia, menunda kembalinya kesuburan ibu sesudah melahirkan sehingga dapat menjaga waktu hingga kehamilan berikutnya, membantu rahim kembali ke ukuran semula, mempercepat penurunan berat badan seperti sebelum hamil, mengurangi kemungkinan menderita kanker ovarium dan payudara, lebih ekonomis, serta tidak merepotkan (Zahraini, 2009).

Saat pemberian ASI, ibu sangat memerlukan dorangan secara aktif dan dukungan emosional dari praktisi pelayanan kesehatan dan anggota keluarga agar berhasil memberikan ASI pada bayinya. Pemberian ASI merupakan praktik yang unik dan bukan hanya memberikan asupan nutrient dan energi yang memadai, tetapi juga asuhan psikososial melalui pembentukan ikatan kasih sayang dengan ibu dan kesehatan melalui unsur imunulogik pada ASI (Gibney, dkk., 2009).

(11)

spesifik dan nonspesifik. Responsi imunitas spesifik pada umumnya memerlukan kerja sama dengan zat non spesifik untuk menyingkirkan kuman atau virus dari tubuh (Adriani dan Wirjatmadi, 2012).

Program ASI ekslusif merupakan salah satu dari pelayanan kesehatan dasar cakupan program desa siaga aktif pada subbidang promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat yang termuat dalam standar pelayanan minimal, bahwa bayi usia 0-6 bulan hanya memperoleh ASI saja tanpa makanan pendamping ASI. Target pemerintah untuk program ASI ekslusif yaitu pada tahun 2015 jumlah bayi 0-6 bulan yang hanya mendapat ASI saja tanpa ada makanan pendamping yang lain yaitu sebesar 80% (Depkes RI, 2008). Hasil penelitian yag dilakukan oleh Sihotang (2009) bahwa dari 66 responden yang diteliti diketahui bahwa kesadaran keluarga terhadap gizi berdasarkan indikator pemberian ASI eksklusif yang dikategorikan baik hanya 3,03%, hal ini menunjukkan hampir seluruh responden tidak memberikan ASI eksklusif kepada bayinya.

Cara menyusui secara eksklusif: 1. Mulai memberikan ASI segera setelah lahir,

2. Jangan diberikan makanan/minuman lain sampai bayi berumur enam bulan, 3. Berikan ASI melalui payudara kiri dan kanan bergantian setiap kali menyususi, 4. Ibu menyusui perlu minum dan makan lebih banyak dengan menu seimbang.

3. Makan Beraneka Ragam

(12)

lemak), sumber zat pembangun (protein) dan sumber zat pengatur (vitamin dan mineral).

Makanan beraneka ragam adalah mengkonsumsi makanan 2-3 kali sehari yang terdiri dari empat macam kelompok bahan makanan yaitu makanan pokok, lauk pauk, sayuran dan buah-buahan. Pangan sumber tenaga terdiri dari makanan pokok yaitu padi-padian (beras, jagung dan gandum), pangan sumber zat pembangun terdiri dari lauk pauk yaitu yang berasal dari bahan nabati (kacang-kacangan, tempe, dan tahu) dan pangan yang berasal dari sumber hewani (telur, ayam, daging, dan susu serta hasil olahannya), pangan sumber zat pengatur berasal dari sayuran seperti sawi, kangkung, bayam, daun singkong, dan buah-buahan seperti apel, papaya, jeruk, jambu dll (Khosman dan Anwar, 2008).

Makanan yang beraneka ragam dapat memberikan manfaaat yang besar terhadap kesehatan. Hal itu karena zat gizi tertentu, yang tidak terkandung dalam suatu jenis bahan makanan, akan di lengkapi oleh zat gizi serupa dari bahan makanan lain, demikian juga sebaliknya. Masing-masing bahan makanan dalam susunan aneka ragam menu seimbang akan saling melengkapi, sehingga akan memenuhi zat-zat gizi yang diperlukan oleh tubuh (Khosman dan Anwar, 2008). Selain itu, mengkonsumsi makanan beraneka ragam dalam jumlah yang sesuai dengan kebutuhan juga dapat menurunkan risiko untuk terkena masalah gizi dan penyakit infeksi, sebagaimana hasil penelitian Sugimah (2009) yang menyatakan bahwa makan beraneka ragam memiliki hubungan yang signifikan dengan status gizi balita.

(13)

responden, diketahui bahwa kesadaran keluarga terhadap gizi berdasarkan indikator keanekaragaman makanan sebahagian besar dikategorikan tidak baik yaitu 90,90% dan yang dikategorikan baik hanya 9,10%.

4. Menggunakan Garam Beryodium

Garam beryodium adalah garam yang telah diperkaya dengan KIO3 (kalium

iodat) sebanyak 30-80 ppm. Sesuai dengan Keppres No.69 tahun 1994, semua garam yang beredar di Indonesia harus mengandung iodium (Sari, dkk 2008). Fungsi Iodium dalam tubuh manusia yaitu untuk membentuk hormon tiroksin yang diperlukan oleh tubuh yang bermanfaat dalam mengatur pertumbuhan dan perkembangan mulai dari janin sampai dewasa (Gabriel, 2008).

Gejala kekurangan iodium adalah malas dan lamban, kelenjar tiroid membesar (gondok), pada ibu hamil dapat menganggu pertumbuhan dan perkembangan janin, dan dalam keadaan berat bayi lahir dalam keadaan cacat mental yang permanen serta hambatan dalam pertumbuhan atau yang sering dikenal sebagai kretinisme. Kekurangan iodium pada anak-anak dapat menyebabkan kemampuan belajar yang rendah (Almatsier, 2009).

(14)

Menurut BPS-UNICEF dalam Sihotang (2009) yodium merupakan salah satu mineral esensial hingga keadaan kekurangan akan menggangu kesehatan dan pertumbuhan, walaupun garam yang dibeli mengandung yodium yang cukup. Penanganan dan cara penyimpanan oleh rumah tangga yang kurang baik dapat menyebabkan kandungan yodium dalam garam berkurang bahkan bisa hilang. Hasil penelitian Sihotang (2009) terhadap garam yang digunakan oleh 66 keluarga responden dengan menggunakan test yodina dapat diketahui bahwa seluruh responden menggunakan garam beryodium. Namun pengetahuan responden tentang cara menggunakan garam beryodium masih kurang. Masih banyak responden yang menggunakan garam pada awal/saat proses pemasakan, menyimpan garam beryodium dengan meletakan pada wadah terbuka atau tetap pada plastik kemasan dengan kondisi terbuka.

Menurut Zahraini (2009), yodium dalam garam dapat dipertahankan kualitasnya dengan penyimpanan dan penggunaan yang baik dan benar, seperti berikut:

a. Disimpan pada wadah yang tertutup rapat dan tidak terkena sinar matahari.

b. Apabila garam disimpan dalam kemasan plastik pada kelembaban nisbi 70-80% maka dapat bertahan selama enam bulan, tetapi kandungan yodiumnya akan hilang sebanyak 7% tergantung dari ketinggian suatu daerah dari permukaan laut.

c. Garam disimpan di tempat yang kering dan jauh dari sumber panas seperti kompor, karena garam bersifat higroskopis (mudah menyerap air).

(15)

dan terasi. Selain itu juga agar kerusakan yodium sebanyak 20% selama proses memasak bila dikurangi.

5. Memberikan Suplemen Gizi (Kapsul Vitamin A Pada Balita)

Suplemen adalah kombinasi dua atau lebih vitamin dan zat mineral yang dibutuhkan oleh tubuh. Suplemen dapat berupa gabungan dari berbagai macam vitamin atau zat lain seperti asam amino. Jenis suplemen tunggal bisa terdiri dari kalsium, zinc, vitamin, asam folat, dan lain-lain. Suplemen tidak diperlukan selama pengolahan makanan menerapkan pola gizi seimbang. Asupan gizi paling bagus adalah dari makanan (Yokozu, 2009 dalam Damanik, 2011).

Vitamin A merupakan zat gizi yang penting (essensial) bagi manusia, karena zat gizi ini tidak dapat dibuat oleh tubuh, sehingga harus dipenuhi dari luar. Sumber vitamin A yang berasal dari bahan pangan adalah hati, kuning telur, susu (di dalam lemaknya), mentega, sayuran berwarna hijau tua dan buah-buahan yang berwarna kuning jingga, seperti daun singkong, daun kacang, bayam, kacang panjang, wortel, tomat, jagung kuning, pepaya, mangga, dan jeruk (Almatsier, 2009).

Kurang Vitamin A (KVA) pada bayi dan anak balita dapat menurunkan daya tahan tubuh, meningkatkan resiko kebutaan, meningkatkan resiko kesakitan dan meningkatkan resiko anak terhadap penyakit infeksi seperti saluran pernafasan dan diare, meningkatkan angka kematian karena campak, serta menyebabkan keterlambatan pertumbuhan (Almatsier, 2009).

(16)

6-11 bulan dan vitamin A dosis tinggi 200.000 SI (kapsul merah) untuk balita umur 12-59 bulan yang dapat diperoleh di posyandu maupun di puskesmas (Depkes RI, 2007).

2.1.4 Strategi KADARZI

Strategi untuk mencapai sasaran KADARZI menurut Depkes RI (2007) adalah sebagai berikut:

1. Meningkatkan fungsi dan peran posyandu sebagai wahana masyarakat dalam memantau dan mencegah secara dini gangguan pertumbuhan balita.

2. Menyelenggarakan pendidikan/promosi gizi secara sistematis melalui advokasi, sosialisasi, Komunikasi Informasi Edukasi (KIE) dan pendampingan keluarga. 3. Menggalang kerjasama dengan lintas sektor dan kemitraan dengan swasta dan

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) serta pihak lainnya dalam mobilisasi sumber daya untuk penyediaan pangan rumah tangga, peningkatan daya beli keluarga dan perbaikan asuhan gizi.

4. Mengupayakan terpenuhinya kebutuhan suplementasi gizi terutama zat gizi mikro dan MP-ASI bagi balita GAKIN.

5. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petugas puskesmas dan jaringannya dalam pengelolaan dan tatalaksana pelayanan gizi.

6. Mengupayakan dukungan sarana dan prasarana pelayanan untuk meningkatkan cakupan dan kualitas pelayanan gizi di puskesmas dan jaringannya.

(17)

2.1.5 Penilaian KADARZI

Menurut Depkes RI, 2004 cara menilai apakah suatu keluarga sudah Sadar Gizi adalah dengan melihat sebagai berikut:

1. Status gizi seluruh anggota keluarga khususnya ibu dan anak baik 2. Tidak ada lagi bayi berat badan lahir rendah pada keluarga

3. Semua anggota keluarga mengkonsumsi garam beryodium

4. Semua ibu memberikan hanya Asi saja pada bayi sampai umur enam bulan

5. Semua balita dalam keluarga yang ditimbangkan naik berat badannya sesuai umur 6. Tidak ada masalah gizi lebih dalam keluarga

2.2 Balita

Menurut Adriani dan Wirjatmadi (2012), balita adalah individu atau sekelompok individu dari suatu penduduk yang berada dalam rentang usia tertentu. Usia balita dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan yaitu golongan usia bayi (0-2 tahun), golongan balita (2-3 tahun), dan golongan prasekolah (> 3-5 tahun). Adapun menurut WHO, kelompok usia balita adalah 0-60 bulan, sumber lain mengatakan bahwa usia balita adalah 1-5 tahun.

2.2.1 Tumbuh Kembang Balita

Jenis tumbuh kembang balita menurut Adriani dan Wirjatmadi (2012) dibedakan menjadi tiga, yaitu:

(18)

2. Tumbuh kembang intelektual berkaitan dengan kepandaian berkomunikasi dan kemampuan menangani materi yang bersifat abstrak dan simbolik, seperti berbicara, bermain, berhitung, dan membaca.

3. Tumbuh kembang sosial emosional bergantung pada kemampuan bayi untuk membentuk ikatan batin, berkasih sayang, menangani kegelisahan akibat suatu frustasi dan mengelola rangsangan agresif.

Balita pada usia kurang dari enam bulan perkembangan otak bayi mengalami masa yang kritis, sehingga sangat diperlukan adanya perlakuan-perlakuan khusus untuk perkembangan otak secara maksimal. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan ASI eksklusif mulai dari awal kelahiran sampai usia enam bulan, yang bertujuan untuk menghindari terjadinya infeksi dan sakit. Pemberian ASI tidak hanya sampai usia enam bulan saja, tetapi sampai usia dua tahun. Setelah bayi berusia lebih dari enam bulan, maka diberikan Makan Pendamping ASI (MP-ASI) untuk menambah asupan gizi yang tidak terpenuhi oleh ASI saja mengingat kebutuhan zat gizi balita meningkat di setiap pertumbuhannya (usianya). Perlakuan terhadap anak paling baik dilakukan sampai balita berusia lima tahun, karena masa ini merupakan masa yang menentukan pertumbuhan dan perkembangannya kelak (Adriani dan Wirjatmadi, 2012).

2.2.2 Kebutuhan Gizi Balita

(19)

Yodium, Fosfor, Zn). Untuk mencegah terjadinya gangguan gizi dan masalah psikososial, diperlukan adanya perilaku penunjang dari para orang tua, ibu atau pengasuh dalam keluarganya untuk selalu memberikan makanan dengan gizi seimbang kepada balitanya dan makanan yang diberikan kepada anak harus bisa meningkatkan selera makan anak. Yang dimaksud dengan gizi seimbang adalah makanan yang yang dikonsumsi balita dalam suatu hari yang beraneka ragam dan mengandung zat tenaga (Karbohidrat dan lemak), zat pembangun (protein), dan zat pengatur (Vitamin dan mineral) sesuai dengan kebutuhan tubuhnya (Adriani dan Wirjatmadi, 2012).

Untuk mendukung pertumbuhan fisik balita, perlu petunjuk praktis makanan dengan gizi seimbang sebagai berikut:

1. Makanlah aneka ragam makanan.

2. Makanlah makanan untuk memenuhi kecukupan energi.

3. Makanlah makanan sumber karbohidrat setengah dari kebutuhan energi. 4. Batasi konsumsi lemak dan minyak sampai seperempat dari kecukupan energi. 5. Gunakan garam beryodium.

6. Makanlah makanan sumber zat besi.

7. Berikan ASI saja kepada bayi sampai umur enam bulan. 8. Biasakan sarapan pagi.

9. Minumlah air bersih, aman yang cukup jumlahnya. 10.Lakukan kegiatan fisik dan olahraga secara teratur. 11.Hindari minum minuman berakohol.

(20)

13.Bacalah label pada makanan yang dikemas.

Pada masa ini balita perlu memperoleh zat gizi dari makanan sehari-hari dalam jumlah yang tepat dan kualitas yang baik. Oleh karena itu “keterlambatan

investasi kesehatan, gizi dan psikososial mengakibatkan kerugian yang tidak dapat diperbaiki atau digantikan di kemudian hari” (Adriani dan Wirjatmadi, 2012).

Menurut Gabriel (2008) ada beberapa kondisi dan anggapan orang tua dan masyarakat yang justru merugikan penyediaan makanan bagi kelompok balita ini: 1. Anak balita masih dalam periode transisi dari makanan bayi ke makanan orang

dewasa, sehingga masih memerlukan adaptasi.

2. Anak balita dianggap kelompok umur yang paling belum berguna bagi keluarga, baik tenaga maupun kesanggupan kerja penambah keuangan. Anak sudah tidak begitu diperhatikan dan pengurusannya sering diserahkan kepada saudara yang lebih tua, tetapi sering belum cukup umur untuk mempunyai pengalaman dan keterampilan untuk mengurus anak dengan baik.

3. Ibu sering sudah mempunyai anak lagi atau sudah bekerja penuh, sehingga balita kurang mendapat perhatian dari sang ibu.

4. Anak balita masih belum dapat mengurus sendiri dengan baik dan belum dapat berusaha mendapatkan sendiri apa yang diperlukannya untuk makanan. Apabila makan bersama dalam keluarga, anak balita masih diberi jatah makanan dan jika tidak mencukupi sering tidak diberi kesempatan untuk minta lagi atau mengambil sendiri tambahannya

(21)

mempunyai imunitas atau daya tahan untuk melawan penyakit atau menghindarkan kondisi lain yang memberikan bahaya kepada dirinya.

2.2.3 Balita Gizi Kurang dan Gizi Buruk

Balita gizi kurang adalah balita yang mengalami gangguan kesehatan akibat keadaan kurang zat gizi sedang yang disebabkan oleh rendahnya asupan energi dan protein dalam waktu cukup lama (Depkes RI, 2006). Yang ditandai dengan berat badan menurut umur (BB/U) atau berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) yang berada pada -3 SD sampai dengan <-2 SD baku Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak (Kemenkes, 2010).

Balita gizi buruk adalah balita yang mengalami gangguan kesehatan akibat keadaan kurang zat gizi tingkat berat yang disebabkan oleh rendahnya asupan energi dan protein dalam waktu cukup lama (Depkes RI, 2006). Yang ditandai dengan berat badan menurut umur (BB/U) atau berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) yang berada pada <-3 SD baku Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak (Kemenkes, 2010).

Gizi buruk berdasarkan gejala klinisnya dapat dibagi menjadi 3: 1. Marasmus

(22)

tidak ada, (baggy pants) sering disertai penyakit infeksi (umumnya kronis berulang) dan diare (Depkes RI, 2004). Marasmus juga sering disertai defisiensi vitamin D dan vitamin A (Almatsier, 2009).

2. Kwarshiorkor

Kwarshiorkor adalah suatu bentuk malnutrisi protein yang berat disebabkan oleh asupan karbohidrat yang normal atau tinggi dan asupan protein yang inadekuat. Tanda-tanda klisnis seperti edema di seluruh tubuh terutama perut, kaki dan tangan, rambut tipis, wajah membulat dan sembab, anak apatis, tidak nafsu makan, rambut kusam dan mudah rontok (rambut jagung), kulit kering, bersisik, pecah-pecah, dan sermatosisis (Almatsier, 2009).

3. Marasmik-Kwarshiorkor

Marasmik Kwarshiorkor merupakan gabungan dari gejala marasmus dan kwashiorkor.

(23)

Faktor makanan yaitu mengkonsumsi makanan yang tidak memenuhi jumlah dan komposisi zat gizi yang memenuhi syarat makanan beragam, bergizi seimbang, dan aman. Ketersediaan pangan beragam sepanjang waktu dalam jumlah yang cukup dan harga terjangkau oleh semua rumah tangga sangat menentukan ketahanan pangan di tingkat rumah tangga dan tingkat konsumsi makanan keluarga. Khusus untuk bayi dan anak telah dikembangkan standar emas makanan bayi yaitu: 1) Inisiasi Menyusu Dini (IMD); 2) memberikan ASI eksklusif sampai bayi berusia 6 bulan; 3) pemberian makanan pendamping ASI yang berasal dari makanan keluarga, diberikan tepat waktu mulai bayi berusia > 6 bulan; dan 4) ASI terus diberikan sampai anak berusia dua tahun.

Faktor infeksi yaitu berkaitan dengan tingginya kejadian penyakit menular dan buruknya kesehatan lingkungan. Untuk itu, cakupan universal untuk imunisasi lengkap pada anak sangat mempengaruhi kejadian kesakitan yang perlu ditunjang dengan tersedianya air minum bersih dan higienis sanitasi yang merupakan salah satu faktor penyebab tidak langsung.

(24)

2.3 Landasan Teori

Konsep sehat secara holistik bukan saja kondisi sehat secara fisik melainkan juga spiritual dan sosial dalam bermasyarakat. Untuk menciptakan kondisi ini diperlukan keharmonisan dalam menjaga kesehatan. H.L Blum menjelaskan terdapat empat faktor utama yang mempengaruhi derajat kesehatan yaitu faktor perilaku/gaya hidup (life style), faktor lingkungan (sosial, ekonomi, politik, budaya), faktor pelayanan kesehatan (jenis cakupan dan kualitasnya) dan faktor genetik (keturunan). Keempat faktor tersebut saling berinteraksi yang mempengaruhi kesehatan perorangan dan derajat kesehatan masyarakat. Secara umum dapat dikatakan bahwa faktor genetik dan lingkungan merupakan penentu dari perilaku makhluk hidup termasuk perilaku manusia. Blum menyimpulkan bahwa dari hasil penelitiannya di negara maju, lingkungan mempunyai andil yang paling besar terhadap kesehatan, sedangkan di negara berkembang terutama di Indonesia apabila dilakukan penelitian mungkin perilaku mempunyai kontribusi yang lebih besar (Notoatmodjo, 2007).

Selanjutnya Lawrence Green (1980) dalam Notoatmodjo (2010) menjelaskan bahwa perilaku dilatarbelakangi atau dipengaruhi oleh oleh tiga faktor utama yaitu 1)

predisposing factors yaitu faktor-faktor yang dapat mempermudah atau

mempredisposisi terjadinya perilaku pada diri seseorang atau masyarakat; 2) enabling

factors yaitu faktor pemungkin atau pendukung (enabling) perilaku berupa fasilitas,

(25)

Dalam perilaku gizi dikeluarga terdapat beberapa faktor yang berpengaruh yaitu pendapatan, pendidikan, lingkungan hidup (tempat tinggal, faktor fisiologis (umur), pekerjaan, suku bangsa, kepercayaan dan agama (budaya), sikap tentang kesehatan, pengetahuan gizi (Sediaoetama, 2008).

Berdasarkan teori-teori di atas, maka dapat dibuat kerangka teori tentang perilaku sadar gizi pada gambar berikut:

(26)

2.4 Kerangka Konsep

Untuk mengetahui perilaku sadar gizi pada keluarga yang memiliki balita gizi kurang dan gizi buruk diukur dengan menggunakan lima indikator Keluarga Sadar Gizi (KADARZI) yang dapat dilihat pada gambar dibawah ini:

Keterangan :

= = Variabel yang diteliti

= Variabel yang tidak diteliti

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian

Gambar diatas menjelaskan bahwa perilaku sadar gizi keluarga yang terdiri dari lima indikator yaitu menimbang berat badan balita, memberikan ASI eksklusif, makan beraneka ragam pada anggota keluarga, menggunakan garam beryodium, dan memberikan kapsul vitamin A pada balita akan berdampak pada perubahan asupan makanan yang kemudian akan mempengaruhi status gizi balita.

Status Gizi Balita

Perilaku Sadar Gizi

1. Menimbang berat badan balita 2. Memberikan ASI eksklusif 3. Makan beraneka ragam pada

anggota keluarga

4. Menggunakan garam beryodium 5. Memberikan suplemen kapsul

vitamin A pada balita.

Gambar

Gambar 2.1 Kerangka Teori Perilaku Sadar Gizi
Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Hubungan Status Gizi, Berat Badan Lahir (BBL), Imunisasi Dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “ POLA PEMBERIAN MAKAN DAN STATUS GIZI ANAK BALITA PENDERITA INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT (ISPA) DI WILAYAH KERJA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “ POLA PEMBERIAN MAKAN DAN STATUS GIZI ANAK BALITA PENDERITA INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT (ISPA) DI WILAYAH KERJA

,Hubungan Status Gizi terhadap Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sosial Palembang.. (Jurnal Pembangunan Manusia)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan status gizi dan status imunisasi dengan kejadian infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) pada Balita di Wilayah Kerja

Hubungan antara Status Gizi dan Tingkat Konsumsi Energi, Protein dan Frekuensi Kejadian Infeksi Saluran pernafasan Akut ( ISPA ) pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas

Setelah dilakukan analisa terhadap 180 sampel, disimpulkan bahwa status gizi mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap kejadian infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) pada

Distribusi Keluarga Menurut Jenis Garam Yang Digunakan Pada Keluarga Yang Memiliki Balita Gizi Kurang dan Gizi Buruk Di Wilayah Kerja Puskesmas Desa Lalang Tahun