• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. antara tingkat Keluarga Sadar Gizi dengan status gizi balita.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. antara tingkat Keluarga Sadar Gizi dengan status gizi balita."

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keluarga Sadar Gizi (KADARZI)

Keluarga Sadar Gizi (KADARZI) adalah keluarga yang semua anggota keluarganya mampu mengenal, mencegah dan mengatasi masalah kesehatan dan gizi bagi setiap anggota keluarganya (Depkes, 2007). Sasaran dari program KADARZI adalah seluruh anggota keluarga karena pengambilan keputusan dalam bidang pangan, gizi dan kesehatan dilaksanakan terutama di tingkat keluarga, sumber daya dimiliki dan dimanfaatkan di tingkat keluarga dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, masalah gizi seperti gizi kurang, gizi buruk, dan sebagainya yang terjadi di tingkat keluarga sangat erat kaitannya dengan perilaku keluarga, tidak semata-mata disebabkan oleh kemiskinan dan ketidaktersediaan pangan. Kebersamaan antar keluarga dapat memobilisasi masyarakat unuk memperbaiki keadaan gizi dan kesehatan (Depkes RI, 2004). Sebagaimana hasil dari penelitian Sugimah (2009), Zahraini (2009), Karolina, dkk. (2012) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara tingkat Keluarga Sadar Gizi dengan status gizi balita.

Secara umum tujuan Keluarga Sadar Gizi adalah tercapainya keadaan gizi yang optimal untuk seluruh anggota keluarga, yaitu dengan meningkatnya pengetahuan dan perilaku anggota keluarga untuk mengatasi masalah gizi, meningkatnya kepedulian masyarakat dalam menanggulangi masalah gizi keluarga, meningkatnya kemampuan dan ketrampilan petugas dalam memberdayakan masyarakat/keluarga dalam mencegah dan mengatasi masalah gizi (Hesti, 2008 dalam Sugimah, 2009).

(2)

2.1.1 Perilaku Sadar Gizi

Umumnya keluarga telah memiliki pengetahuan dasar mengenai gizi. Namun demikian, sikap dan keterampilan serta kemauan untuk bertindak memperbaiki gizi keluarga masih rendah. Sebagian keluarga menganggap asupan makanannya selama ini cukup memadai karena tidak ada dampak buruk yang mereka rasakan. Sebagian keluarga juga mengetahui bahwa ada jenis makanan yang lebih berkualitas, namun mereka tidak ada kemauan dan tidak mempunyai keterampilan untuk penyiapannya (Depkes RI, 2007).

Menurut Depkes RI (2007), suatu keluarga dikatakan berperilaku sadar gizi, apabila keluarga telah berperilaku gizi yang baik secara terus menerus minimal adalah:

1. Menimbang berat badan secara teratur,

2. Memberikan Air Susu Ibu (ASI) saja kepada bayi sejak lahir sampai umur enam bulan (ASI eksklusif),

3. Makan beraneka ragam,

4. Menggunakan garam beryodium, 5. Minum suplemen gizi sesuai anjuran.

Untuk mewujudkan perilaku KADARZI, sejumlah aspek perlu dicermati. Aspek ini berada di semua tingkatan yang mencakup: 1) tingkat keluarga yaitu pengetahuan dan keterampilan keluarga, kepercayaan, nilai dan norma yang berlaku; 2) tingkat masyarakat yang perlu diperhatikan sebagai faktor pendukung perubahan perilaku keluarga adalah norma yang berkembang di masyarakat dan dukungan pemangku kepentingan (stakeholders) yang mencakup eksekutif, legislatif, tokoh

(3)

agama/masyarakat, LSM, ormas, media massa, sektor swasta dan donor; 3) tingkat pelayanan kesehatan mencakup pelayanan preventif dan promotif, dan; 4) tingkat pemerintah mencakup adanya kebijakan pemerintah yang mendukung dan pelaksanaan kebijakan yang dapat dipertanggungjawabkan.

Sebagaimana hasil penelitian Nazaruddin (2013) bahwa pemberdayaan masyarakat berhubungan secara signifikan dengan praktek Kadarzi. Kepedulian kepala puskesmas dalam pemberdayaan masyarakat melalui pemantauan secara langsung ke masyarakat baik pada waktu tugas maupun diluar tugas akan terjalin hubungan sosial antara kepala puskesmas dengan tokoh-tokoh masyarakat dan tokoh agama serta ibu PKK yang sangat menunjang tenaga kesehatan dalam melakukan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan peningkatan partisipasi masyarakat terutama dalam hal penerapan praktek Keluarga Sadar Gizi.

2.1.2 Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Perilaku KADARZI

Perilaku gizi ditingkat keluarga merupakan salah satu manifestasi gaya hidup keluarga yang dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perilaku gizi dikeluarga adalah faktor fisiologis (umur), pendidikan pengetahuan gizi, pekerjaan, pendapatan, lingkungan hidup (tempat tinggal dan besar keluarga), suku bangsa, kepercayaan dan agama (budaya), sikap tentang kesehatan. Pada umunya dalam penerapan perilaku gizi keluarga di Indonesia ibu mempunyai peran dominan karena ibu bertanggung jawab penuh dalam penyediaan makanan bagi keluarga dan pola pengasuhan anak sehingga masing-masing individu dalam keluarga mengikuti perilaku gizi yang diterapkan oleh ibu terutama dalam konsumsi makanan dan pengasuhan anak (Sediaoetama, 2008).

(4)

1. Umur Orang Tua

Orang tua muda terutama ibu, cenderung kurang memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam mengasuh anak sehingga umumnya mereka mengasuh dan merawat anak didasarkan pada pengalaman orang tua terdahulu. Faktor usia muda juga cenderung menjadikan seorang ibu akan lebih memperhatikan kepentingannya sendiri daripada kepentingan anaknya sehingga kuantitas dan kualitas pengasuhan kurang terpenuhi. Sebaliknya, ibu yang lebih berumur cenderung akan menerima dengan senang hati tugasnya sebagai ibu sehingga akan memengaruhi pula terhadap kualitas dan kuantitas pengasuhan anak (Hurlock, 1999 dalam Nazaruddin 2013).

2. Pendidikan Orang Tua

Pendidikan merupakan salah satu faktor penting dalam proses tumbuh kembang anak. Menurut Suhardjo (1989) dalam Syafli (2011), keadaan tingkat pendidikan orang tua yang rendah terutama ibu berpengaruh terhadap perilaku ibu dalam mengelola rumah tangga terutama pola konsumsi pangan sehari-hari. Sedangkan menurut Gabriel (2008) Ibu yang memiliki tingkat pendidikan tinggi akan lebih mudah menerima pesan dan informasi gizi dan kesehatan anak. Sehingga orang tua yang berpendidikan tinggi akan lebih mengerti dan memperhatikan tentang pemilihan pengolahan pangan serta pemberian makan yang sehat dan bergizi bagi anggota keluarganya. Hal ini juga didukung dari hasil penelitian Nazaruddin (2013) yang menjelaskan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pendidikan dengan praktek KADARZI.

(5)

3. Pengetahuan Orang Tua

Tingkat pengetahuan menentukan perilaku konsumsi pangan, salah satunya melalui pendidikan gizi sehingga akan memperbaiki kebiasaan konsumsi pangan dirinya dan keluarganya. Tingkat pengetahuan ibu bermakna dengan sikap positif terhadap perencanaan dan persiapan makan. Semakin tinggi pengetahuan ibu, maka semakin positif sikap ibu terhadap gizi makanan. Kurangnya pengetahuan tentang gizi atau kemampuan untuk menerapkan dalam kehidupan sehari-hari merupakan sebab penting gangguan gizi (Suhardjo, 2003 dalam Ridwan, 2010). Sebagaimana hasil penelitian Nazaruddin (2010) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara pengetahuan gizi dan perilaku kadarzi pada keluarga balita. Tingkat pengetahuan ibu bermakna dengan sikap positif terhadap perencanaan dan persiapan makan. Semakin tinggi pengetahuan ibu, maka semakin positif sikap ibu terhadap gizi makanan.

Masalah gizi selain merupakan sindroma kemiskinan yang erat kaitannya dengan ketahanan pangan ditingkat rumah tangga juga menyangkut aspek pengetahuan dan perilaku yang kurang mendukung perilaku hidup sehat. Pengetahuan sangat penting dalam menentukan bertindak atau tidaknya seseorang yang pada akhirnya sangat akan mempengaruhi status kesehatan anggota keluarganya (Depkes RI, 2007).

Seseorang yang mempunyai pendidikan rendah belum tentu kurang mampu menyusun makanan yang memenuhi persyaratan gizi dibandingkan dengan orang lain yang berpendidikan lebih tinggi. Karena sekalipun berpendidikan rendah kalau orang

(6)

tersebut rajin mendengarkan informasi tentang gizi bukan mustahil pengetahuan gizinya akan lebih baik (Ridwan, 2010).

4. Pekerjaan Orang Tua

Menurut Gabriel (2008) seorang ibu yang tidak bekerja di luar rumah akan memiliki waktu lebih banyak dalam mengasuh serta merawat anak dibandingkan ibu yang bekerja di luar rumah. Pekerjaan memiliki hubungan dengan pendidikan dan pendapatan serta berperan penting dalam kehidupan sosial ekonomi dan memiliki keterkaitan dengan faktor lain seperti kesehatan (Sukarni, 1994).

Salah satu penyebab terjadinya gizi kurang adalah karena status pekerjaan ibu sehingga ibu yang bekerja di luar rumah cenderung menelantarkan pola makan keluarganya sehingga mengakibatkan menurunnya keadaan gizi keluarga, hal ini akan berakibat pada keadaan status gizi anggota keluarga terutama anak-anaknya (Apriadji, 1996 dalam Nazaruddin, 2013).

5. Pendapatan Orang Tua

Pendapatan merupakan faktor yang terpenting menentukan kualitas dan kuantitas hidangan keluarga. Semakin tinggi penghasilan, semakin besar pula persentase dari penghasilan tersebut untuk membeli buah, sayur dan beberapa jenis bahan makanan lainnya (Berg, 1986 dalam Nazaruddin, 2013). Menurut Madihah (2002) dalam Nazaruddin (2013) pada umumnya bila pendapatan keluarga meningkat maka kecukupan gizi keluarga akan meningkat. Namun, pendapatan tinggi tidak menjamin untuk mendapatkan gizi yang cukup, jadi kemampuan membeli makanan tidak menjamin untuk dapat memilih makanan yang baik.

(7)

6. Besar Keluarga

Pada keluarga yang sangat miskin, pemenuhan kebutuhan makanan akan lebih mudah jika yang harus diberi makan jumlahnya sedikit. Anak-anak yang sedang tumbuh dari suatu keluarga miskin adalah yang paling rawan terhadap gizi kurang diantara semua anggota keluarga, anak yang paling kecil biasanya yang paling terpengaruh oleh kekurangan pangan. Situasi semacam ini sering terjadi sebab seandainya besar keluarga bertambah, maka pangan untuk setiap anak berkurang dan banyak orang tua tidak menyadari bahwa anak-anak yang sedang tumbuh memerlukan pangan relatif lebih tinggi daripada golongan yang lebih tua. Tahun-tahun awal masa kanak-kanak yaitu pada umur 1-6 Tahun-tahun berada dalam situasi yang rawan (Suhardjo, 1989 dalam Gabriel, 2008).

7. Keaktifan Kader

Masih banyaknya kasus gizi kurang menunjukkan asuhan gizi ditingkat keluarga belum memadai. Oleh sebab itu perlunya peran kader dalam upaya pemberdayaan yaitu dengan melakukan pendampingan pada keluarga yang bermasalah dengan gizi teruatama keluarga yang mempunyai balita dan ibu hamil. Pendampingan keluarga KADARZI adalah proses mendorong, menyemangati, membimbing dan memberikan kemudahan oleh kader pendamping kepada keluarga guna mengatasi masalah gizi yang dialami (Depkes RI, 2007).

2.1.3 Indikator Keluarga Sadar Gizi (KADARZI)

Indikator Keluarga Sadar Gizi digunakan untuk mengukur tingkat sadar gizi keluarga. Menurut Depkes (2007), ada lima indikator KADARZI yang meliputi: Menimbang berat badan secara teratur, memberikan ASI saja kepada bayi sejak lahir

(8)

sampai umur enam bulan (ASI eksklusif), makan beraneka ragam, menggunakan garam beryodium, memberikan suplemen gizi (kapsul vitamin A pada balita) sesuai anjuran.

1. Menimbang berat badan secara teratur

Tujuan dari penimbangan secara teratur yaitu untuk mengetahui perubahan berat badan dalam menggambarkan perubahan konsumsi makanan atau gangguan kesehatan, dengan mengetahui perubahan berat badan yang terjadi keluarga dapat mengenali masalah kesehatan dan gizi anggota keluarganya serta mampu mengatasi masalahnya baik oleh sendiri atau dengan bantuan petugas.

Cara memantau berat badan anak:

a. Anak dapat ditimbang di rumah atau di posyandu atau di tempat lain, b. Berat badan anak dimasukkan ke dalam KMS,

c. Bila grafik berat badan KMS Naik (sesuai garis pertumbuhnnya), berarti anak sehat, bila tidak naik berarti ada penurunan konsumsi makanan atau gangguan kesehatan dan perlu ditindak lanjuti oleh keluarga atau meminta bantuan petugas kesehatan.

Berat badan balita dapat dipantau dengan melihat catatan penimbangan pada KMS selama enam bulan terakhir yaitu bila bayi berusia > 6 bulan ditimbang empat kali atau lebih berturut-turut dinilai baik dan jika kurang dari empat kali dianggap belum baik. Bila bayi 4-5 bulan ditimbang tiga kali atau lebih dinilai baik dan jika kurang dari tiga kali dinilai belum baik. Bila bayi berusia 2-3 bulan ditimbang dua kali atau lebih berturut-turut dinilai baik dan jika kurang dinilai belum baik, dan pada

(9)

bayi yang masih berumur 0-1 bulan, baik jika pernah ditimbang dan belum baik jika tidak pernah ditimbang (Depkes RI, 2008).

Menurut penelitian Sihotang (2009) menunjukkan bahwa dari 66 keluarga responden yang diteliti kesadaran keluarga terhadap gizi berdasarkan indikator penimbangan yang dikategorikan baik hanya sekitar 40,90% dan kategori tidak baik sebesar 59,10%. Ada beberapa alasan keluarga tidak menimbangkan balitanya antara lain: anak sudah mendapat imunisasi lengkap sehingga ibu merasa tidak perlu membawa anaknya ke posyandu dan alasan bekerja bagi keluarga petani juga sangat mempengaruhi responden mengikuti penimbangan. Kemungkinan hal tersebut di atas dipengaruhi oleh kurang pengetahuan masyarakat tentang manfaat penimbangan.

2. Memberikan ASI saja kepada bayi sejak lahir sampai umur 6 bulan (ASI Eksklusif)

ASI adalah suatu emulsi lemak dalam larutan protein, laktosa dan garam-garam organik yang disekresi oleh kedua belah kelenjar mamae ibu, yang berguna sebagai makanan bagi bayi atau anak (Winarno 1995 dalam Syafli 2011). Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan yang ideal untuk bayi terutama pada bulan-bulan pertama, sebab memenuhi syarat-syarat kesehatan. ASI mengandung semua nutrient untuk membangun dan penyediaan energi dalam susunan yang diperlukan (Adriani dan Wirjatmadi, 2012).

ASI eksklusif merupakan ASI yang diberikan kepada bayi, sejak lahir sampai bayi berusia enam bulan tanpa minuman dan makanan lain selain ASI. Pentingnya memberikan ASI secara eksklusif pada bayi baru lahir sampai usia enam bulan dan terus memberikan ASI sampai anak berusia 24 bulan telah memiliki bukti yang kuat.

(10)

Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa bayi yang diberi ASI eksklusif menunjukkan perkembangan sosial dan kognitif yang lebih baik dari bayi yang diberi susu formula (Michael S. Kramer, et al, 2003 dalam BAPPENAS, 2011). Begitu juga hasil penelitian Karolina,dkk (2009) menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara memberikan ASI Eksklusif dengan status gizi balita.

Pemberian ASI juga memberi manfaat yang besar bagi ibu yaitu mengurangi perdarahan setelah melahirkan, mencegah/mengurangi terjadinya anemia, menunda kembalinya kesuburan ibu sesudah melahirkan sehingga dapat menjaga waktu hingga kehamilan berikutnya, membantu rahim kembali ke ukuran semula, mempercepat penurunan berat badan seperti sebelum hamil, mengurangi kemungkinan menderita kanker ovarium dan payudara, lebih ekonomis, serta tidak merepotkan (Zahraini, 2009).

Saat pemberian ASI, ibu sangat memerlukan dorangan secara aktif dan dukungan emosional dari praktisi pelayanan kesehatan dan anggota keluarga agar berhasil memberikan ASI pada bayinya. Pemberian ASI merupakan praktik yang unik dan bukan hanya memberikan asupan nutrient dan energi yang memadai, tetapi juga asuhan psikososial melalui pembentukan ikatan kasih sayang dengan ibu dan kesehatan melalui unsur imunulogik pada ASI (Gibney, dkk., 2009).

Morbiditas bayi akibat infeksi saluran pernafasan dan pencernaan pada bayi yang mendapat ASI eksklusif lebih jarang dibandingkan dengan bayi yang tidak mendapatkan ASI eksklusif. Karena ASI mengandung macam-macam substansi anti-infeksi yang melindungi bayi terhadap anti-infeksi, terutama apabila kebersihan lingkungan yang tidak baik. Zat-zat anti infeksi dapat digolongkan dalam golongan

(11)

spesifik dan nonspesifik. Responsi imunitas spesifik pada umumnya memerlukan kerja sama dengan zat non spesifik untuk menyingkirkan kuman atau virus dari tubuh (Adriani dan Wirjatmadi, 2012).

Program ASI ekslusif merupakan salah satu dari pelayanan kesehatan dasar cakupan program desa siaga aktif pada subbidang promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat yang termuat dalam standar pelayanan minimal, bahwa bayi usia 0-6 bulan hanya memperoleh ASI saja tanpa makanan pendamping ASI. Target pemerintah untuk program ASI ekslusif yaitu pada tahun 2015 jumlah bayi 0-6 bulan yang hanya mendapat ASI saja tanpa ada makanan pendamping yang lain yaitu sebesar 80% (Depkes RI, 2008). Hasil penelitian yag dilakukan oleh Sihotang (2009) bahwa dari 66 responden yang diteliti diketahui bahwa kesadaran keluarga terhadap gizi berdasarkan indikator pemberian ASI eksklusif yang dikategorikan baik hanya 3,03%, hal ini menunjukkan hampir seluruh responden tidak memberikan ASI eksklusif kepada bayinya.

Cara menyusui secara eksklusif: 1. Mulai memberikan ASI segera setelah lahir,

2. Jangan diberikan makanan/minuman lain sampai bayi berumur enam bulan, 3. Berikan ASI melalui payudara kiri dan kanan bergantian setiap kali menyususi, 4. Ibu menyusui perlu minum dan makan lebih banyak dengan menu seimbang.

3. Makan Beraneka Ragam

Makan beraneka ragam berarti pangan yang dikonsumsi memenuhi tiga guna makanan yang diperlukan oleh tubuh yaitu sebagai sumber tenaga (karbohidrat dan

(12)

lemak), sumber zat pembangun (protein) dan sumber zat pengatur (vitamin dan mineral).

Makanan beraneka ragam adalah mengkonsumsi makanan 2-3 kali sehari yang terdiri dari empat macam kelompok bahan makanan yaitu makanan pokok, lauk pauk, sayuran dan buah-buahan. Pangan sumber tenaga terdiri dari makanan pokok yaitu padi-padian (beras, jagung dan gandum), pangan sumber zat pembangun terdiri dari lauk pauk yaitu yang berasal dari bahan nabati (kacang-kacangan, tempe, dan tahu) dan pangan yang berasal dari sumber hewani (telur, ayam, daging, dan susu serta hasil olahannya), pangan sumber zat pengatur berasal dari sayuran seperti sawi, kangkung, bayam, daun singkong, dan buah-buahan seperti apel, papaya, jeruk, jambu dll (Khosman dan Anwar, 2008).

Makanan yang beraneka ragam dapat memberikan manfaaat yang besar terhadap kesehatan. Hal itu karena zat gizi tertentu, yang tidak terkandung dalam suatu jenis bahan makanan, akan di lengkapi oleh zat gizi serupa dari bahan makanan lain, demikian juga sebaliknya. Masing-masing bahan makanan dalam susunan aneka ragam menu seimbang akan saling melengkapi, sehingga akan memenuhi zat-zat gizi yang diperlukan oleh tubuh (Khosman dan Anwar, 2008). Selain itu, mengkonsumsi makanan beraneka ragam dalam jumlah yang sesuai dengan kebutuhan juga dapat menurunkan risiko untuk terkena masalah gizi dan penyakit infeksi, sebagaimana hasil penelitian Sugimah (2009) yang menyatakan bahwa makan beraneka ragam memiliki hubungan yang signifikan dengan status gizi balita.

Saat ini penerapan makan beraneka ragam dimasyarakat belum begitu baik, sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan Sihotang (2009) bahwa dari 66 keluarga

(13)

responden, diketahui bahwa kesadaran keluarga terhadap gizi berdasarkan indikator keanekaragaman makanan sebahagian besar dikategorikan tidak baik yaitu 90,90% dan yang dikategorikan baik hanya 9,10%.

4. Menggunakan Garam Beryodium

Garam beryodium adalah garam yang telah diperkaya dengan KIO3 (kalium

iodat) sebanyak 30-80 ppm. Sesuai dengan Keppres No.69 tahun 1994, semua garam yang beredar di Indonesia harus mengandung iodium (Sari, dkk 2008). Fungsi Iodium dalam tubuh manusia yaitu untuk membentuk hormon tiroksin yang diperlukan oleh tubuh yang bermanfaat dalam mengatur pertumbuhan dan perkembangan mulai dari janin sampai dewasa (Gabriel, 2008).

Gejala kekurangan iodium adalah malas dan lamban, kelenjar tiroid membesar (gondok), pada ibu hamil dapat menganggu pertumbuhan dan perkembangan janin, dan dalam keadaan berat bayi lahir dalam keadaan cacat mental yang permanen serta hambatan dalam pertumbuhan atau yang sering dikenal sebagai kretinisme. Kekurangan iodium pada anak-anak dapat menyebabkan kemampuan belajar yang rendah (Almatsier, 2009).

Untuk mengetahui garam yang digunakan oleh keluarga mengandung yodium atau tidak secara umum dapat dilakukan dengan dua cara yaitu melihat ada tidaknya label garam beryodium atau melakukan test yodina. Disebut baik jika berlabel yodium dan bila ditest dengan yodina berwarna ungu, tidak baik jika tidak berlabel dan bila ditest dengan yodina warna tidak berubah (Depkes RI, 2007 dalam Sihotang, 2009).

(14)

Menurut BPS-UNICEF dalam Sihotang (2009) yodium merupakan salah satu mineral esensial hingga keadaan kekurangan akan menggangu kesehatan dan pertumbuhan, walaupun garam yang dibeli mengandung yodium yang cukup. Penanganan dan cara penyimpanan oleh rumah tangga yang kurang baik dapat menyebabkan kandungan yodium dalam garam berkurang bahkan bisa hilang. Hasil penelitian Sihotang (2009) terhadap garam yang digunakan oleh 66 keluarga responden dengan menggunakan test yodina dapat diketahui bahwa seluruh responden menggunakan garam beryodium. Namun pengetahuan responden tentang cara menggunakan garam beryodium masih kurang. Masih banyak responden yang menggunakan garam pada awal/saat proses pemasakan, menyimpan garam beryodium dengan meletakan pada wadah terbuka atau tetap pada plastik kemasan dengan kondisi terbuka.

Menurut Zahraini (2009), yodium dalam garam dapat dipertahankan kualitasnya dengan penyimpanan dan penggunaan yang baik dan benar, seperti berikut:

a. Disimpan pada wadah yang tertutup rapat dan tidak terkena sinar matahari.

b. Apabila garam disimpan dalam kemasan plastik pada kelembaban nisbi 70-80% maka dapat bertahan selama enam bulan, tetapi kandungan yodiumnya akan hilang sebanyak 7% tergantung dari ketinggian suatu daerah dari permukaan laut.

c. Garam disimpan di tempat yang kering dan jauh dari sumber panas seperti kompor, karena garam bersifat higroskopis (mudah menyerap air).

d. Sebaiknya garam ditambahkan setelah selesai memasak karena yodium akan merosot drastis hingga 0 ppm ketika bercampur dengan cabai, merica, ketumbar

(15)

dan terasi. Selain itu juga agar kerusakan yodium sebanyak 20% selama proses memasak bila dikurangi.

5. Memberikan Suplemen Gizi (Kapsul Vitamin A Pada Balita)

Suplemen adalah kombinasi dua atau lebih vitamin dan zat mineral yang dibutuhkan oleh tubuh. Suplemen dapat berupa gabungan dari berbagai macam vitamin atau zat lain seperti asam amino. Jenis suplemen tunggal bisa terdiri dari kalsium, zinc, vitamin, asam folat, dan lain-lain. Suplemen tidak diperlukan selama pengolahan makanan menerapkan pola gizi seimbang. Asupan gizi paling bagus adalah dari makanan (Yokozu, 2009 dalam Damanik, 2011).

Vitamin A merupakan zat gizi yang penting (essensial) bagi manusia, karena zat gizi ini tidak dapat dibuat oleh tubuh, sehingga harus dipenuhi dari luar. Sumber vitamin A yang berasal dari bahan pangan adalah hati, kuning telur, susu (di dalam lemaknya), mentega, sayuran berwarna hijau tua dan buah-buahan yang berwarna kuning jingga, seperti daun singkong, daun kacang, bayam, kacang panjang, wortel, tomat, jagung kuning, pepaya, mangga, dan jeruk (Almatsier, 2009).

Kurang Vitamin A (KVA) pada bayi dan anak balita dapat menurunkan daya tahan tubuh, meningkatkan resiko kebutaan, meningkatkan resiko kesakitan dan meningkatkan resiko anak terhadap penyakit infeksi seperti saluran pernafasan dan diare, meningkatkan angka kematian karena campak, serta menyebabkan keterlambatan pertumbuhan (Almatsier, 2009).

Untuk memenuhi kebutuhan vitamin A pada bayi dan balita diperlukan penambahan kapsul vitamin A yang diberikan pada bulan Februari dan Agustus yaitu dengan pemberian vitamin A dosis tinggi 100.000 SI (kapsul biru) untuk balita umur

(16)

6-11 bulan dan vitamin A dosis tinggi 200.000 SI (kapsul merah) untuk balita umur 12-59 bulan yang dapat diperoleh di posyandu maupun di puskesmas (Depkes RI, 2007).

2.1.4 Strategi KADARZI

Strategi untuk mencapai sasaran KADARZI menurut Depkes RI (2007) adalah sebagai berikut:

1. Meningkatkan fungsi dan peran posyandu sebagai wahana masyarakat dalam memantau dan mencegah secara dini gangguan pertumbuhan balita.

2. Menyelenggarakan pendidikan/promosi gizi secara sistematis melalui advokasi, sosialisasi, Komunikasi Informasi Edukasi (KIE) dan pendampingan keluarga. 3. Menggalang kerjasama dengan lintas sektor dan kemitraan dengan swasta dan

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) serta pihak lainnya dalam mobilisasi sumber daya untuk penyediaan pangan rumah tangga, peningkatan daya beli keluarga dan perbaikan asuhan gizi.

4. Mengupayakan terpenuhinya kebutuhan suplementasi gizi terutama zat gizi mikro dan MP-ASI bagi balita GAKIN.

5. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petugas puskesmas dan jaringannya dalam pengelolaan dan tatalaksana pelayanan gizi.

6. Mengupayakan dukungan sarana dan prasarana pelayanan untuk meningkatkan cakupan dan kualitas pelayanan gizi di puskesmas dan jaringannya.

7. Mengoptimalkan surveilans berbasis masyarakat melalui Pemantauan Wilayah Setempat Gizi, Sistem Kewaspadaan Dini Kejadian Luar Biasa Gizi Buruk dan Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi.

(17)

2.1.5 Penilaian KADARZI

Menurut Depkes RI, 2004 cara menilai apakah suatu keluarga sudah Sadar Gizi adalah dengan melihat sebagai berikut:

1. Status gizi seluruh anggota keluarga khususnya ibu dan anak baik 2. Tidak ada lagi bayi berat badan lahir rendah pada keluarga

3. Semua anggota keluarga mengkonsumsi garam beryodium

4. Semua ibu memberikan hanya Asi saja pada bayi sampai umur enam bulan

5. Semua balita dalam keluarga yang ditimbangkan naik berat badannya sesuai umur 6. Tidak ada masalah gizi lebih dalam keluarga

2.2 Balita

Menurut Adriani dan Wirjatmadi (2012), balita adalah individu atau sekelompok individu dari suatu penduduk yang berada dalam rentang usia tertentu. Usia balita dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan yaitu golongan usia bayi (0-2 tahun), golongan balita (2-3 tahun), dan golongan prasekolah (> 3-5 tahun). Adapun menurut WHO, kelompok usia balita adalah 0-60 bulan, sumber lain mengatakan bahwa usia balita adalah 1-5 tahun.

2.2.1 Tumbuh Kembang Balita

Jenis tumbuh kembang balita menurut Adriani dan Wirjatmadi (2012) dibedakan menjadi tiga, yaitu:

1. Tumbuh kembang fisik yang meliputi perubahan dalam bentuk dasar dan fungsi organisme atau individu.

(18)

2. Tumbuh kembang intelektual berkaitan dengan kepandaian berkomunikasi dan kemampuan menangani materi yang bersifat abstrak dan simbolik, seperti berbicara, bermain, berhitung, dan membaca.

3. Tumbuh kembang sosial emosional bergantung pada kemampuan bayi untuk membentuk ikatan batin, berkasih sayang, menangani kegelisahan akibat suatu frustasi dan mengelola rangsangan agresif.

Balita pada usia kurang dari enam bulan perkembangan otak bayi mengalami masa yang kritis, sehingga sangat diperlukan adanya perlakuan-perlakuan khusus untuk perkembangan otak secara maksimal. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan ASI eksklusif mulai dari awal kelahiran sampai usia enam bulan, yang bertujuan untuk menghindari terjadinya infeksi dan sakit. Pemberian ASI tidak hanya sampai usia enam bulan saja, tetapi sampai usia dua tahun. Setelah bayi berusia lebih dari enam bulan, maka diberikan Makan Pendamping ASI (MP-ASI) untuk menambah asupan gizi yang tidak terpenuhi oleh ASI saja mengingat kebutuhan zat gizi balita meningkat di setiap pertumbuhannya (usianya). Perlakuan terhadap anak paling baik dilakukan sampai balita berusia lima tahun, karena masa ini merupakan masa yang menentukan pertumbuhan dan perkembangannya kelak (Adriani dan Wirjatmadi, 2012).

2.2.2 Kebutuhan Gizi Balita

Masa balita merupakan masa kehidupan yang sangat penting dan perlu perhatian yang serius. Oleh karena itu, peran makanan yang bernilai gizi tinggi sangat penting seperti pada makanan yang mengandung energi, protein (terutama protein hewani), vitamin (Vitamin B kompleks, Vitamin C, Vitamin A), dan mineral (Ca, Fe,

(19)

Yodium, Fosfor, Zn). Untuk mencegah terjadinya gangguan gizi dan masalah psikososial, diperlukan adanya perilaku penunjang dari para orang tua, ibu atau pengasuh dalam keluarganya untuk selalu memberikan makanan dengan gizi seimbang kepada balitanya dan makanan yang diberikan kepada anak harus bisa meningkatkan selera makan anak. Yang dimaksud dengan gizi seimbang adalah makanan yang yang dikonsumsi balita dalam suatu hari yang beraneka ragam dan mengandung zat tenaga (Karbohidrat dan lemak), zat pembangun (protein), dan zat pengatur (Vitamin dan mineral) sesuai dengan kebutuhan tubuhnya (Adriani dan Wirjatmadi, 2012).

Untuk mendukung pertumbuhan fisik balita, perlu petunjuk praktis makanan dengan gizi seimbang sebagai berikut:

1. Makanlah aneka ragam makanan.

2. Makanlah makanan untuk memenuhi kecukupan energi.

3. Makanlah makanan sumber karbohidrat setengah dari kebutuhan energi. 4. Batasi konsumsi lemak dan minyak sampai seperempat dari kecukupan energi. 5. Gunakan garam beryodium.

6. Makanlah makanan sumber zat besi.

7. Berikan ASI saja kepada bayi sampai umur enam bulan. 8. Biasakan sarapan pagi.

9. Minumlah air bersih, aman yang cukup jumlahnya. 10. Lakukan kegiatan fisik dan olahraga secara teratur. 11. Hindari minum minuman berakohol.

(20)

13. Bacalah label pada makanan yang dikemas.

Pada masa ini balita perlu memperoleh zat gizi dari makanan sehari-hari dalam jumlah yang tepat dan kualitas yang baik. Oleh karena itu “keterlambatan investasi kesehatan, gizi dan psikososial mengakibatkan kerugian yang tidak dapat diperbaiki atau digantikan di kemudian hari” (Adriani dan Wirjatmadi, 2012).

Menurut Gabriel (2008) ada beberapa kondisi dan anggapan orang tua dan masyarakat yang justru merugikan penyediaan makanan bagi kelompok balita ini: 1. Anak balita masih dalam periode transisi dari makanan bayi ke makanan orang

dewasa, sehingga masih memerlukan adaptasi.

2. Anak balita dianggap kelompok umur yang paling belum berguna bagi keluarga, baik tenaga maupun kesanggupan kerja penambah keuangan. Anak sudah tidak begitu diperhatikan dan pengurusannya sering diserahkan kepada saudara yang lebih tua, tetapi sering belum cukup umur untuk mempunyai pengalaman dan keterampilan untuk mengurus anak dengan baik.

3. Ibu sering sudah mempunyai anak lagi atau sudah bekerja penuh, sehingga balita kurang mendapat perhatian dari sang ibu.

4. Anak balita masih belum dapat mengurus sendiri dengan baik dan belum dapat berusaha mendapatkan sendiri apa yang diperlukannya untuk makanan. Apabila makan bersama dalam keluarga, anak balita masih diberi jatah makanan dan jika tidak mencukupi sering tidak diberi kesempatan untuk minta lagi atau mengambil sendiri tambahannya

5. Anak balita mulai turun ke tanah dan berkenalan dengan berbagai kondisi yang menyebabkan terkena infeksi atau penyakit lain, padahal tubuhnya belum cukup

(21)

mempunyai imunitas atau daya tahan untuk melawan penyakit atau menghindarkan kondisi lain yang memberikan bahaya kepada dirinya.

2.2.3 Balita Gizi Kurang dan Gizi Buruk

Balita gizi kurang adalah balita yang mengalami gangguan kesehatan akibat keadaan kurang zat gizi sedang yang disebabkan oleh rendahnya asupan energi dan protein dalam waktu cukup lama (Depkes RI, 2006). Yang ditandai dengan berat badan menurut umur (BB/U) atau berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) yang berada pada -3 SD sampai dengan <-2 SD baku Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak (Kemenkes, 2010).

Balita gizi buruk adalah balita yang mengalami gangguan kesehatan akibat keadaan kurang zat gizi tingkat berat yang disebabkan oleh rendahnya asupan energi dan protein dalam waktu cukup lama (Depkes RI, 2006). Yang ditandai dengan berat badan menurut umur (BB/U) atau berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) yang berada pada <-3 SD baku Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak (Kemenkes, 2010).

Gizi buruk berdasarkan gejala klinisnya dapat dibagi menjadi 3: 1. Marasmus

Marasmus merupakan salah satu bentuk gizi buruk yang paling sering ditemukan pada balita. Hal ini merupakan hasil akhir dari tingkat keparahan gizi buruk. Tanda-tanda marasmus yaitu badan sangat kurus (kulit membungkus tulang), wajah seperti orang tua (pipi kempot, mata terlihat cekung), cengeng dan rewel, iga gambang, perut cekung, tulang belakang terlihat menonjol, kulit keriput, jaringan lemak subkutis sangat sedikit sampai

(22)

tidak ada, (baggy pants) sering disertai penyakit infeksi (umumnya kronis berulang) dan diare (Depkes RI, 2004). Marasmus juga sering disertai defisiensi vitamin D dan vitamin A (Almatsier, 2009).

2. Kwarshiorkor

Kwarshiorkor adalah suatu bentuk malnutrisi protein yang berat disebabkan oleh asupan karbohidrat yang normal atau tinggi dan asupan protein yang inadekuat. Tanda-tanda klisnis seperti edema di seluruh tubuh terutama perut, kaki dan tangan, rambut tipis, wajah membulat dan sembab, anak apatis, tidak nafsu makan, rambut kusam dan mudah rontok (rambut jagung), kulit kering, bersisik, pecah-pecah, dan sermatosisis (Almatsier, 2009).

3. Marasmik-Kwarshiorkor

Marasmik Kwarshiorkor merupakan gabungan dari gejala marasmus dan kwashiorkor.

Menurut UNICEF (1990) yang disesuaikan dengan kondisi Indonesia dalam BAPPENAS (2011), terdapat dua faktor langsung yang mempengaruhi status gizi individu, yaitu faktor makanan dan penyakit infeksi dan keduanya saling mendorong (berpengaruh). Sebagai contoh, bayi dan anak yang tidak mendapat air susu ibu (ASI) dan makanan pendamping ASI yang tepat memiliki daya tahan yang rendah sehingga mudah terserang infeksi. Sebaliknya penyakit infeksi seperti diare dan Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) mengakibatkan asupan zat gizi tidak dapat diserap tubuh dengan baik.

(23)

Faktor makanan yaitu mengkonsumsi makanan yang tidak memenuhi jumlah dan komposisi zat gizi yang memenuhi syarat makanan beragam, bergizi seimbang, dan aman. Ketersediaan pangan beragam sepanjang waktu dalam jumlah yang cukup dan harga terjangkau oleh semua rumah tangga sangat menentukan ketahanan pangan di tingkat rumah tangga dan tingkat konsumsi makanan keluarga. Khusus untuk bayi dan anak telah dikembangkan standar emas makanan bayi yaitu: 1) Inisiasi Menyusu Dini (IMD); 2) memberikan ASI eksklusif sampai bayi berusia 6 bulan; 3) pemberian makanan pendamping ASI yang berasal dari makanan keluarga, diberikan tepat waktu mulai bayi berusia > 6 bulan; dan 4) ASI terus diberikan sampai anak berusia dua tahun.

Faktor infeksi yaitu berkaitan dengan tingginya kejadian penyakit menular dan buruknya kesehatan lingkungan. Untuk itu, cakupan universal untuk imunisasi lengkap pada anak sangat mempengaruhi kejadian kesakitan yang perlu ditunjang dengan tersedianya air minum bersih dan higienis sanitasi yang merupakan salah satu faktor penyebab tidak langsung.

Faktor penyebab tidak langsung, selain sanitasi dan penyediaan air bersih, kebiasaan cuci tangan dengan sabun, buang air besar di jamban, tidak merokok dan memasak di dalam rumah, sirkulasi udara dalam rumah yang baik, ruangan dalam rumah terkena sinar matahari dan lingkungan rumah yang bersih. Faktor lain yang juga berpengaruh yaitu ketersediaan pangan. Selanjutnya, pola asuh bayi dan anak serta jangkauan dan kualitas pelayanan kesehatan masyarakat. Pola asuh, sanitasi lingkungan dan pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, akses informasi dan tingkat pendapatan keluarga.

(24)

2.3 Landasan Teori

Konsep sehat secara holistik bukan saja kondisi sehat secara fisik melainkan juga spiritual dan sosial dalam bermasyarakat. Untuk menciptakan kondisi ini diperlukan keharmonisan dalam menjaga kesehatan. H.L Blum menjelaskan terdapat empat faktor utama yang mempengaruhi derajat kesehatan yaitu faktor perilaku/gaya hidup (life style), faktor lingkungan (sosial, ekonomi, politik, budaya), faktor pelayanan kesehatan (jenis cakupan dan kualitasnya) dan faktor genetik (keturunan). Keempat faktor tersebut saling berinteraksi yang mempengaruhi kesehatan perorangan dan derajat kesehatan masyarakat. Secara umum dapat dikatakan bahwa faktor genetik dan lingkungan merupakan penentu dari perilaku makhluk hidup termasuk perilaku manusia. Blum menyimpulkan bahwa dari hasil penelitiannya di negara maju, lingkungan mempunyai andil yang paling besar terhadap kesehatan, sedangkan di negara berkembang terutama di Indonesia apabila dilakukan penelitian mungkin perilaku mempunyai kontribusi yang lebih besar (Notoatmodjo, 2007).

Selanjutnya Lawrence Green (1980) dalam Notoatmodjo (2010) menjelaskan bahwa perilaku dilatarbelakangi atau dipengaruhi oleh oleh tiga faktor utama yaitu 1) predisposing factors yaitu faktor-faktor yang dapat mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku pada diri seseorang atau masyarakat; 2) enabling factors yaitu faktor pemungkin atau pendukung (enabling) perilaku berupa fasilitas, sarana, atau prasarana yang mendukung atau yang memfasilitasi terjadinya perilaku seseorang atau masyarakat, 3) reinforcing factors yaitu faktor penguat perilaku sebagai contoh atau panutan bagi masyarakat.

(25)

Dalam perilaku gizi dikeluarga terdapat beberapa faktor yang berpengaruh yaitu pendapatan, pendidikan, lingkungan hidup (tempat tinggal, faktor fisiologis (umur), pekerjaan, suku bangsa, kepercayaan dan agama (budaya), sikap tentang kesehatan, pengetahuan gizi (Sediaoetama, 2008).

Berdasarkan teori-teori di atas, maka dapat dibuat kerangka teori tentang perilaku sadar gizi pada gambar berikut:

Gambar 2.1 Kerangka Teori Perilaku Sadar Gizi Sumber:Modifikasi Teori Blum dan Green (1980)

Keturunan n Status Kesehtan Pelayanan Kesehatan Lingkungan Perilaku Reinforcing Factors

- Sikap dan Perilaku Tokoh Masyarakat - Keaktifan Kader

Enabling Factors

- Sarana dan Prasarana Kesehatan - Pelayanan Kesehatan Predisposing Factors - Umur - Pendidikan - Pengetahuan - Pekerjaan - Pendapatan - Besar Keluarga

(26)

2.4 Kerangka Konsep

Untuk mengetahui perilaku sadar gizi pada keluarga yang memiliki balita gizi kurang dan gizi buruk diukur dengan menggunakan lima indikator Keluarga Sadar Gizi (KADARZI) yang dapat dilihat pada gambar dibawah ini:

Keterangan :

= = Variabel yang diteliti

= Variabel yang tidak diteliti

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian

Gambar diatas menjelaskan bahwa perilaku sadar gizi keluarga yang terdiri dari lima indikator yaitu menimbang berat badan balita, memberikan ASI eksklusif, makan beraneka ragam pada anggota keluarga, menggunakan garam beryodium, dan memberikan kapsul vitamin A pada balita akan berdampak pada perubahan asupan makanan yang kemudian akan mempengaruhi status gizi balita.

Status Gizi Balita

Perilaku Sadar Gizi

1. Menimbang berat badan balita 2. Memberikan ASI eksklusif 3. Makan beraneka ragam pada

anggota keluarga

4. Menggunakan garam beryodium 5. Memberikan suplemen kapsul

vitamin A pada balita.

Gambar

Gambar 2.1 Kerangka Teori Perilaku Sadar Gizi  Sumber:Modifikasi Teori Blum dan Green (1980)

Referensi

Dokumen terkait

Universitas Sumatera

For other rows, transform Pivot Column to leaving basic variable column... Divide Right Side value by

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan model Group Investigation berbantu permainan ular tangga dapat meningkatkan keterampilan guru dan hasil belajar siswa pada mata

Keseimbangan ini digambarkan sebagai suatu Persamaan Akuntansi yaitu suatu persamaan yang menunjukkan bahwa semua jumlah asset atau sumber-sumber yang tercantum pada sisi kiri

From the tight audit and control and mechanism compliance on the financial man- agement based on the special autonomy regu- lation, it is expected to achieve

Moeslem Millionair, Life is changeable that we have to improve every time, Life is competition so we have to fight every moment not for our self but also for our family and

Peta-peta yang dikumpulkan adalah peta distribusi gajah di Tesso Nilo terutama hasil penggunaan GPS collar di dua tempat yaitu di wilayah Taman Nasional yang definitif dan wilayah

Himpunan Peraturan Gubernur Tahun 2014 1... Himpunan Peraturan Gubernur Tahun 2014