• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUKUM DALAM MASYARAKAT MODERN (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "HUKUM DALAM MASYARAKAT MODERN (1)"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

HUKUM DALAM MASYARAKAT MODERN

Disusun dan Diajukan Guna memenuhi Tugas Kelompok

Mata Kuliah : Hukum Islam dan Masyarakat Indonesia

Dosen Pengampu : Agus Sunaryo S.H.I., M.S.I.

Oleh :

Anjar Setiarma 1617301002

Anwar Fauzi 1617301003

Arina Zulfah 1617301005

Asfi Anita Utami 1617301006

Ati Fitriani 1617301007

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAAH

FAKULTAS SYARIAAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PURWOKERTO

(2)

PENDAHULUAN

Istilah “hukum modern” muncul pada sekitar abad ke 18/19 M di mana masa itu tatanan kehidupan manusia mulai memasuki masa modern. Masa modern ini ditandai dengan berbagai perubahan sosial, terutama dari masyarakat urban menuju masyarakat industri. Ciri-ciri modernitas yang lain terutama pada dunia hukum, yaitu : 1) memiliki bentuk tertulis; 2) berlaju untuk seluruh warga negara; 3) merupakan instrumen yang dipakai secara sadar untuk mewujudkan keputusan-keputusan politik masyarakatnya.Hukum modern lahir bersamaan dengan lahirnya negara modern (nation-state).

Dilihat dari sisi historisitas-nya, perkembangan hukum kini telah mengalami fase yang sangat panjang. Fase-fase itu dimulai dari hukum alam, yang banyak mempertimbangkan pada pertimbangan moral, sampai terbentuknya berbagai aliran dan pemikiran hukum.

(3)

HUKUM DALAM MASYARAKAT MODERN

A. Pengertian Hukum dan Modernisasi

Istilah “hukum” di Indonesia berasal dari bahasa Arab qonun atau

ahkam atau hukum yang mempunyai arti “hukum”. Secara etimologis, istilah “hukum” (Indonesia) disebut law (Inggris) dan recht (Belanda dan Jerman) atau droit (Prancis). Istilah recht berasal dari bahasa latin rectum berarti tuntutan atau bimbingan, perintah atau pemerintahan. Rectum dalam bahasa Romawi adalah rex yang berarti raja atau perintah raja. Istilah law (Inggris) dari bahasa latin lex atau kata lesere yang berarti mengumpulkan atau mengundang orang-orang untuk diberi perintah. Lex juga dari istilah legi

berarti peraturan atau undang-undang. Istilah hokum dalam bahasa latin juga disebut ius dari kata iubere, artinya mengatur atau memerintah atau hukum1.

Definisi tentang hukum yang dikemukakan para ahli hukum sangat beragam, tergantung dari sudut mana mereka melihatnya :

1. J. Van Kan (ahli hukum Belanda) mendenifisikan hukum sebagai keseluruhan ketentuan-ketentuan kehidupan yang bersifat memaksa, yang melindungi kepentingan orang dalam bermasyarakat.

2. Wirjono Projodikoro (ahli hukum Indonesia) menyatakan hukum adalah rangkaian peraturan mengenai tingkah laku orang-orang sebagai anggota suatu masyarakat, sedangkan satu-satunya tujuan dari hukum ialah menjamin keselamatan, kebahagiaan dan tata tertib masyarakat itu. 3. O. Notohamidjojo berpendapa hukum adalah keseluruhan peraturan yang

tertulis dan tidak tertulis yang biasanya bersifat memaksa untuk kelakuan manusia dalam masyarakat negara yang berorentasi pada dua asas yaitu keadilan dan daya guna, demi tata tertib dan damai dalam masyarakat2.

Sedangkan modernisasi secara etimologis berasal dari kata modern, yang telah baku menjadi bahasa Indonesia dengan arti pembaruan. Pendek kata, modernisasi juga bisa disebut pembaruan. Dalam masyarakat Barat

1 Umar Said Sugiarto, Pengantar Hukum Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), hlm. 6.

(4)

“modernisme” mengandung arti pikiran, aliran, gerakan, dan usaha-usaha untuk mengubah paham-paham, adat istiadat, institusi-institusi lama dan lain sebagainya, agar semua itu menjadi sesuai dengan pendapat-pendapat dan keadaan baru yang ditimbulkan oleh ilmu pengetahuan dan tekhnologi modern. Lahirnya modernisasi atau pembaruan di sebuah tempat akan selalu beriringan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang berkembang saat itu. Artinya, tidak mungkin akan ada pembaruan tanpa ada dukungan perkembangan ilmun pengetahuan dan tekhnologi.

Era awal modernisasi ini ditandai dengan penemuan-penemuan ilmu pengetahuan pada banyak cabang, yang pada saat yang sama menopang perkembangan ekonomi dan industrialisasi yang sangat pesat. Perubahan ini bukannya tanpa konsekuensi, tentunya perubahan besar terjadi di dalam masyarakat, terutama ketika masyarakat feodal tradisional mulai digantikan oleh masyarakat industri.

Modernisasi sendiri diartikan sebagai suatu proses transformasi, yakni suatu perubahan masyarakat dalam segala aspeknya sebagai akibat dari modernisasi. International Encyclopedia of the social sciences mendefinisikan modernisasi sebagai perubahan sosial yang dibarengi dengan pembangunan aspek ekonomi. Sedangkan Selo Soemardjan memaknai modernisasi sebagai pergantian gaya lama menjadi gaya baru dan mirip dengan pembangunan3.

Kemiripan antara modernisasi dan pembangunan ini karena keduanya sama-sama melakukan pembaruan, dari bentuk yang lama ke gaya baru yang lebih memuaskan. Yang membedakan keduanya, demikian menurut Selo Soemardjan, jika modernisasi hanya perubahan pada bentuk menjadi lebih memuaskan sang pengguna, sedangkan dalam pembangunan perubahan dilakukan pada fungsi nyata, sehingga lebih mudah, efektif, dan bermanfaat dalam melayani kehidupan dan kebutuhan manusia.

Pada aspek budaya, terutama dalam aspek kepercayaan, system nilai dan norma terjadi perubahan. Dalam masyarakat modern ini, ada penghargaan positif terhadap perubahan dan ilmu pengetahuan, yang didasari pada rasa

(5)

optimism untuk kemajuan evolusi.Seperti bekerja sangat dihargai dan dipandang baik oleh masyarakat, kedua perubahan ini menandai perubahan dalam pandangan hidup masyarakat, termasuk kurang berperannya agama atau kepercayaan tersebut dalam (pandangan hidup) kehidupan sosial.

Menurut Nurkholis Majid, menyatakan bahwa modernisasi, sebagai rasionalisasi, yaitu proses perombakan pola berpikir dan tata kerja lama yang tidak rasional, dan menggantinya dengan pola berpikir dan tata kerja baru yang rasional.Merujuk dari berbagai pengertian tersebut, kelihatannya ada beberapa komponen yang menjadi ciri suatu aktivitas dikatakan sebagai aktivitas pembaruan, antara lain : pertama,baik pembaruan maupun modernisasi akan selalu mengarah kepada upaya perbaikan secara simultan,

kedua, dalam upaya melakukan suatu pembaruan di sana akan meniscayakan pengaruh yang kuat adanya ilmu pengetahuan dan teknologi, ketiga, upaya pembaruan biasanya juga dilakukan secara dinamis, inovatif, dan progresif sejalan dengan perubahan cara berpikir seseorang,4

B. Pandangan Tentang Hukum Pada Zaman Modern

Kemajuan yang terjadi di dunia Islam, ternyata memiliki daya tarik tersendiri bagi mereka orang-orang Barat. Maka pada masa seperti inilah banyak orang-orang Barat yang datang ke dunia Islam untuk mempelajari filsafat dan ilmu pengetahuan. Kemudian hal ini menjadi jembatan informasi antara Barat dan Islam. Dari pemikiran inilah, rasional, dan filosofis, atau bahkan sains Islam mulai ditransfer ke dataran Eropa. Kontak antara dunia Islam dan Barat pada lima abad berikutnya ternyata mampu mengantarkan Eropa pada masa kebangkitan kembali (renaissance) pada bidang ilmu pengetahuan dan filsafat. Selanjutnya berkembang pada era baru yaitu era modern.

1. Zaman Renaissance5

4Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana, 2015), hlm. 161.

(6)

Berkebalikan dengan apa yang dialami oleh para pelajar Barat dengan apa yang mereka dapatkan dari Islam, dimana gereja memiliki kekuasaan mutlak di Eropa (teokrasi), menimbulkan era baru renaissance (kelahiran kembali). Era ini merupakan manifestasi dari protes para ahli yang belajar dari Islam terhadap kekuasaan gereja yang mutlak tersebut.

Pada zaman ini kehidupan manusia banyak mengalami perubahan. Bila pada abad pertengahan perhatian orang diarahkan kepada dunia dan akhirat, maka pada zaman modern perhatiannya hanya pada kehidupan dunia saja. Hal ini dilatarbelakangi oleh keadaan Eropa yang saat itu pemahaman tentang akhirat dibajak oleh gereja. Masa kekuasaan gereja yang biasa disebut sebagai mesa kegelapan Eropa telah melahirkan sentimen anti gereja. Mereka menuduh gereja telah bersikap selama 1000 tahun layaknya polisi yang memeriksa keyakinan setiap orang.

Lantas lahirlah teori yang menempatkan manusia sebagai segala-galanya menggantikan Tuhan. Berdasarkan teori ini, manusialah yang menjadi tolak ukur kebaikan dan keburukan.Era baru ini telah melahirkan teori yang mengecam segala sesuatu yang membatasi kebebasan individu manusia. Akibatnya agama berubah peran dan menjadi sebatas masalah individu yang hanya dimanfaatkan kala seseorang memerlukan sandaran untuk mengusir kegelisahan batin dan kesendirian. Agama secara perlahan tergeser dari kehidupan masyarakat di Eropa. Burckhardt dalam menyebut era ini sebagai penemuan kembali dunia dan manusia.

(7)

Bila pengertian hukum zaman klasik lebih bersifat klasik, maka pengertian hukum pada zaman modern lebih bersifat empiris. Menurut Huiijbers hal ini berarti bahwa: (1) Tekanan tidak lagi pada hukum sebagai tatanan yang ideal (hukum alam), melainkan pada hukum yang dibentuk manusia sendiri,baik oleh raja maupun rakyat yaitu hukum positif atau tata hukum negara, dimana hukum terjalin dengan politik negara; (2) Tata hukum negara diolah oleh para sarjana hukum secara ilmiah; (3) Dalam membentuk tata negara makin banyak dipikirkan tentang fakta-fakta empiris, yaitu kebudayaan bangsa dan situasi sosio-ekonomis masyarakat yang bersangkutan.6 Percikan pemikiran tentang

hukum pada zaman ini adalah:

a. Hukum merupakan bagian dari kebijakan manusia;

b. Tertib hukum diwujudkan dalam bentuk negara, dimana di dalamnya memuat peraturan perundang-undangan yang harus ditaati oleh warga negara dan memuat peraturan hukum dalam hubungannya dengan negara lain;

c. Pencipta hukum adalah raja.

Filsuf-filsuf yang memunculkan pemikiran tersebut adalah Machiavelli (1469-1527), Jean Bodin (1530-1596), Hugo Grotius (1583-1645), dan Thomas Hobbes (1588-1679). Dengan semangat ini pula Eropa kemudian menemukan sebuah wilayah pada tahun 1492 yang disebut Amerika.

2. Zaman Aufklarung

Zaman Aufklarung yang lahir kurang lebih pada abad ke-17 merupakan awal kemenangan supermasi rasionalisme, empirisme, dan positivisme dari dogmatis agama.Kenyataan ini dapat dipahami karena abad modern Barat ditandai dengan adanya upaya pemisahan antara lain ilmu pengetahuan dan filsafat dari pengaruh Agama(sekulerisme).

(8)

Perpaduan antara rasionalisme, empirisme, positivisme dalam satu paket epistimologi melahirkan apa yang T.H Huaxley disebut dengan Metode Ilmiah (Scientific Method).

Munculnya aliran-aliran tersebut sangat berpengaruh pada peradaban Barat selanjutnya. Dengan metode ilmiah itu, kebenaran sesuatu hanya mereka perhitungkan dari fisiologis-lahiriah yang sangat bersifat profanik. Atau dengan istilah lain, kebenaran ilmu pengetahuan hanya diukur dari sudut pandang koherensi dan korespondensi.7

Percikan pemikiran pada zaman ini adalah pertama, hukum dimengerti sebagai bagian suatu sistem pikiran yang lengkap yang bersifat rsional, an sich. Kedua, telah muncul ide dasar konsepsi mengenai negara yang ideal. Pada zaman ini negara yang ideal adalah negara hukum.

Negara modern adalah suatu istilah yang menunjuk pada institusi yang memiliki arsitektur rasional melalui pembentukan struktur penataan yang rasional. Perkembangan penting pertama adalah terjadinya sentralisasi kekuasaan dengan tidak meniadakan otonomi dari komunitas-komunitas lokal pada masa pra-modernisasi.Konsep kedaulatan negara yang mengendalikan tidak adanya kekuatan lain dalam negara, yang muncul bersamaan denga perkembangan tersebut tidak menghendaki adanya toleransi terhadap komunitas lokal yang asli.

(9)

ke-17. Amerika mulai mengganti bentuk-bentuk organisasi polituik yang pada abad pertengahan di Eropa ketika aktor kunci, menanggapi beragam rangkaian insiden politik dan ekonomi, membentuk koalisi yang mempengaruhi satu set peraturan politik, feodalisme, dan secara bertahap diganti dengan yang lain yakni negara berdaulat. Pada tahun 1648, Perdamaian Westphalia menciptakan satu set prinsip yang disepakati sebagai peraturan yang sah yang memberikan satu dasar normatif pertama untuk sistem negara modern. Terjadinya Revolusi Perancis (1789). Revolusi Perancis dijiwai oleh semboyan : liberte, egalite, fraternite, yang menuntut suatu tata hukum baru atas dasar kedaulatan rakyat. Tata hukum baru tersebut kemudian dibentuk oleh para sarjana Perancis atas perintah Kaisar Napoleon. Tata hukum baru tersebut mencapai keberhasilannya setelah dirumuskan Code Civil (1804). Code Civil tersebut pada era berikutnya merupakan sumber kodeks negara-negara modern antara lain Belanda.

Berdasarkan sejarah dan latar belakang munculnya sistem negara modern yang telah dijelaskan sebelumnya, ciri-ciri sistem negara modern tidak lain adalah ciri-ciri negara bangsa (nation-state), yakni 8:

1. Kehadiran negara modern menjadi sorotan penting bagi sosiologi hukum karena sejak batas-batas wilayah yang jelas dan tetap.

2. Struktur kekuasaan impersonal.

3. Legitimasi diambil dan disepakati oleh rakyat. 4. Memonopoli penggunaan kekuatan.

Beberapa pemikiran berkaitan dengan ide tersebut diantaranya John Locke yang menyatakan tentang pembelaan hak warga negara terhadap pemerintah yang berkuasa. Immanuel Kant menyatakan bahwa pembentukan hukum merupakan inisiatif manusia guna mengembangka kehidupan bersama yang bermoral.

3. Pengertian Hukum Abad XIX

(10)

a. Pandangan Ilmiah Atas Hukum

Pada zaman ini Empirisme yang menekankan perlunya basis empiris bagi semua pengertian berkembang menjadi Positivisme yang menggunakan metode pengolahan ilmiah. Dasar dari aliran ini digagas oleh August Comte (1789-1857), seorang filusuf Perancis, yang menyatakan bahwa sejarah kebudayaan manusia dibagi ke dalam tiga tahap : tahap pertama adalah tahap teologis yaitu tahap dimana orang mencari kebenaran dalam agama, tahap kedua adalah tahap metafisis yaitu tahap dimana orang mencari kebenaran melalui filsafat. Tahap ketiga adalah tahap positif yaitu tahap dimana kebenaran dicari melalui ilmu-ilmu pengetahuan. Menurut Comte yang terakhir inilah merupakan ikon zaman modern.9

b. Pandangan Historis atas Hukum

Abad XIX ditandai perubahan besar di segala bidang, terutama akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perubahan yang dimulai dari perkembangan ilmu pengetahuan, penemuan alat-alat teknologi, hingga revolusi industri, dan terjadinya perubahan-perubahan sosial beserta masalah-masalah sosial yang muncul kemudian memberi ruang kepada para sarjana untuk berpikir tentang gejala perkembangan itu sendiri. Pada abad-abad sebelumnya, orang merasa kehidupan manusia sebagai sesuatu yang knstan yang hampir tidak berbeda kehidupan masa lalu. Pada abad ini perasaan itu hilang, orang telah sadar tentang segi historis kehidupannya, tentang kemungkinan terjadinya perubahan-perubahan yang memberikan nilai baru dalam kehidupannya.

(11)

(1779-1861), dan Karl Marx (1818-1883). Hegel menempatkan hukum dalam keseluruhan perwujudan roh yang objektif dalam kehidupan manusia. F.Von Savigny menentukan hukum sebagai unsur kebudayaan suatu bangsa yang berubah dalam lintasan sejarah. Terakhir, Karl Marx memandang hukum sebagai cermin suatu ekonomis masyarakat.

4. Pengertian Hukum Abad XX

Meskipun terdapat persamaan tentang pembentukan sistem hukum yang berlaku, namun pada abad XX ini ada perbedaan tentang pengertian hukum yang hakiki. Ada dua arus besar pandangan tentang pengertian hukum yang hakiki10 :

a. Hukum sebaiknya dipandang dalam hubungannya dengan pemerintah negara, yaitu sebagai norma hukum yang de facto

berlaku. Tolak ukurnya adalah kepentingan umum dilihat sebagai bagian kebudayaan dan sejarah suatu bangsa. Pandangan ini bersumber dari sosiologi hukum dan resalisme hukum.

b. Hukum seharusnya dipandang sebagai bagian kehidupan etis manusia di dunia. Oleh karena itu disini diakui adanya hubungan antara hukum positif dengan pribadi manusia, yang berpegang pada norma-norma keadilan.

C. Karakteristik Hukum Modern

Negara-negara berkembang pada umumnya sedang melaksanakan proses pembangunan terencana atau modernisasi. Ada yang melaksanakan pembangunan terhadap salah satu bidang kehidupan saja (misalnya erkonomi) dan ada pula yang mengandalkan pembangunan yang menyeluruh yang konsekunsinya adalah bahwa bidang hukum juga terkena. Ciri-ciri hukum yang modern menurut Marc Galanter adalah :

(12)

1. Sistem hukum tersebut terdiri dari peraturan-peraturan yang seragam baik dari segi isi maupun dari segi pelaksanaannya.

2. Sistem hukum bersifat transaksional. 3. Sistem hukum modern bersifat universal. 4. Adanya hirarti peradilan yang tegas. 5. Birokratis

6. Rasional.

7. Pelaksanaan sistem hukum tersebut terdiri dari orang-orang yang sudah berpengalaman.

8. Dengan berkembangnya spesialisai dalam masyarakat yang kompeleks. 9. Sistem ini mudah diubah untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan

kebutuhan masyarakat.

10. Lembaga-lembaga pelaksana dan penegak hukum.

11. Pembedaan yang tegas antara tugas-tugas eksekutif, legislatif, yudikatif.11

Sedangkan Roberto Unger menyebut bahwa hukum modern adalah sistem hukum yang sebenarnya. Beberapa karakteristik menurut Unger adalah:

1. Bersifat publik, dalam arti dikaitkan pada kekuasaan terpusat.

2. Bersifat positif, yakni merupakan kaidah yang disahkan oleh penguasa pusat.

3. Bersifat umum, yakni berlaku untuk semua golongan dalam masyarakat. 4. Bersifat otonom, baik secara substantif, institusional, metodologis,

okupasional.12

Karakteristik di atas, kelompok masyarakat yang paling berkepentingan dengan lahirnya hukum modern adalah kaum borjuis. Dalam sistem lama yang feodalis, kaum borjuis tidak mendapat tempat yang cukup karena struktur masyarakat didominasi kelompok ningrat yang dekat dengan kekuasaan raja dan juga gereja. Sistem feodal ini dianggap menghambat kepent ingan kaum borjuis dalam mengembangkan industrialisasi. Ahar kelompok ini dapat masuk dan mendapat tempat sebagai subjek dalam sistem hukum maka sistem hukum yang lama fragmentaris (terkotak-kotak) harus dirubah terlebih dahulu. Maka dari sejak saat itu hukum dibuat umum, abstrak dan formal yang kemudian dikenal asas equality before the law (asas kesamaan di muka hukum).13

11Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Soiologi Hukum (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999), hlm.190.

12Zulfatun Ni’mah, Sosiologi Hukum Sebuah Pengantar ., hlm.136.

(13)

D. Peranan dan Fungsi Hukum dalam Masyarakat

Kita mengetahui bahwa hukum sangat mempunyai peranan yang sangat berarti, jadi sangatlah tepat bila tahun-tahun mendatang pembangunan dibidang hukum sangat diprioritaskan sepeti yang telah digariskan oleh pemerintah. Dan yang sangat penting adalah cara penyampaiannya kepada masyarakat luas, sehingga masyarakat dapat memahami produk-produk hokum tersebut, tanpa arus memikirkan sesulit mungkin.

Apa yang dikisahkan berturut-turut dimuka tentang rasionalisasi hukum itu sebenarnya secara ringkas boleh pula disebut sebagai terwujudnya hukum yang dituliskan secara eksplisit dan eksak dengan pembentukan dan pelaksanannya yang amat prosedural. Hukum baru macam ini, yang tumbuh kembang dalam pemikiran dan dalam praktik, berseiring tumbuh kembangnya negara-negara nasional, kian hari kian nyata menggantikan cara penyelesaian perkara hukum dalam masyarakat dan menggantikan pula norma dan aturan yang dipakai.

Dengan kepastian, penyelesaian perkara akan dan harus diberikan lewat putusan yang lebih “pas” menurut bunyi aturan hukum undang-undang atau bunyi kontrak yang telah selesai disepakati. Maka disini yangberhak menurut bunyi kesepakatan akan memperoleh semuanya sedangkan yang tidak berhak tidak akan memperoleh apapun.

(14)

Berseiring dengan perubahan dan perkembangan evolusional organisasi-organisasi kehidupan itu, berkembang pula kesadaran baru yang mendasari perkembangan hukum yang bergerak dari hukum lokal kehukum nasional. Kesadaran itu ialah kesadaran baru yang humanistik tentang pentingnya manusia individu sebagai subjek pencipta hukum, hak dan sekaligus kewajiban. 14

Hubungan anatara teori hukum dan terori sosiologi dapat menjadi bahan penelitian untuk berbagai tujuan yang berbeda-beda, tetapi suatu penelitian terhadap teori sosiologi yang dilakukan oleh seorang ahli hukum, memerlukan suatu perhatian khusus. Yang patut mendapat perhatian juga adanya suatu “ kesalahan konepsi” tentang hukum yang tumbuh dikalangan masyarakat, yaitu pandangan bahwa hukum itu adalah sesuatu yang bersifat normatif, bahwa hukum adalah suatu keharusan atau perintah, dan bahwa metodologi kebanyakan sosiologi tradisional dianggap sesuai bagi suatu penelitian terhadap ilmu-ilmu yang bersifat normatif dan terhadap ilmu-ilmu yang merupakan fenomena institusional.

Dasar dari suatu undang-undang atau aturan-aturan hukum adalah asumsi bahwa ada hubungan antara berbagai pola perilaku yang menjelma kedalam bentuk hukum dengan perilaku nyata. Sudah tentu tidak aneh kalau banyak orang yang mempermsalahkan asumsi tersebut dengan demikan perlukah dipertanyakan bahwa hukum itu akan mempengaruhi perilaku manusia dan perlu pulakah kita untuk mempermasalahkan bahwa apakah cukup efektif dialam mengubah perilaku manusia? Akan tetapi walaupun kita tidak perlu mempermasalahkan tentang peranan hukum dalam mempengaruhi manusia, ada dua ketidakpastian dalam hubuungan antara hukum dan perilaku manusia yang menjadi masalah, yaitu bagaimana mekanisme hukum dalam mempengaruhi perilaku manusia dan bagaimana kita dapat mengukur pengaruh itu.

Di dalam Race Relations Acts tahun 1965, 1968, dan 1976 terlihat bahwa ketentuan-ketentuan tentang perilaku diskriminatif sulit untuk

(15)

dipahami, demikian juga hanya dengan hubungan antara diskriminasi bagi orang taat terhadap orang yang patuh kepada hukum dengan orang-orang yang tidak patuh serta hubungan antara diskriminasi rasional dan non rasional; yang semuanya itu sulit dipahami karena apa yang dikatakan dalam undang-undang itu (Race Relations Acts) ternyata berbeda dengan perilaku nyata.15

Secara umum hukum dalam masyarakat memiliki fungsi untuk mentertibkan dan mengatur pergaulan dalam masyarakat serta menyelesaikan masalah-masalah yang timbul. Bagaimanapun, fungsi hukum dalam masyarakat sangat beraneka ragam, bergantung pada berbagai faktor dan keadaan masyarakat. Dalam pembahasan lebih rinci, hukum memiliki banyak fungsi antara lain16 :

1. Fungsi memfasilitasi, yaitu memfasilitasi terciptanya ketertiban masyarakat.

2. Fungsi represif, yaitu menjadi alat bagi penguasa untuk mencapai tujuan-tujuannya.

3. Fungsi ideologis, yaitu menjamin pencapaian legitimasi, hegemoni, dominasi, kebebasan, kemerdekaan, keadilan, dan lain-lain.

4. Fungsi reflektif, yakni merefleksikan keinginan bersama dalam masyarakat sehingga mestinya hukum bersifat netral.

Pendapat lain mengemukakan bahwa fungsi hukum dalam masyarakat adalah sebagai berikut :

1. Seb agai alat kontrol social

Kontrol sosial adalah suatu proses yang dilakyukan untuk mempengaruhi orang-orang berperilaku sesuai dengan nilai-nilai yang disepakati bersama. Hukum sebagai alat kontrol sosial bertugas untuk mempertahankan suatu tertib atau pola kehidupan yang telah ada.

2. Sebagai alat rekayasa sosial

Suatu proses yang dilakukan untuk mengubah perilaku masyarakat, bukan memecahkan masalah sosial. Dalam hal ini, hukum

15Adam Podgroecki dan Christopher J. Wlelan, Pendekatan Sosiologi terhadap Hukum

(Jakarta : Bina Aksara, 1987), hlm 252-254.

(16)

tidak sekedar meneguhkan pola-pola yang memang telah ada dalam masyarakat, melainkan ia berusaha menciptakan hal-hal atau hubungan baru.17

3. Sebagai alat melakukan perubahan social

Suatu kaidah hukum yang menetapkan bahwa janda dan anak-anak tanpa memperhatikan jenisnya dapat menjadi ahli waris mempunyai pengaruh langsung terhadap terjadinya perubahan-perubahan sosial, sebab tujuan utamanya adalah untuk mengubah pola-pola perikelakuan dan hubungan-hubungan antara warga masyarakat.18

KESIMPULAN

Hukum di Indonesia berasal dari bahasa Arab qonun atau ahkam atau hukum yang mempunyai arti “hukum”. Secara etimologis, istilah “hukum” (Indonesia) disebut law (Inggris) dan recht (Belanda dan Jerman) atau droit

(Prancis). Istilah recht berasal dari bahasa latin rectum berarti tuntutan atau bimbingan, perintah atau pemerintahan. Rectum dalam bahasa Romawi adalah rex yang berarti raja atau perintah raja. Istilah law (Inggris) dari bahasa latin lex atau kata lesere yang berarti mengumpulkan atau mengundang orang-orang untuk diberiperintah. Lex juga dari istilah legi berarti peraturan atau undang-undang.

17Ibid., hlm. 75.

(17)

Sedangkan modernisasi secara etimologis berasal dari kata modern, yang telah baku menjadi bahasa Indonesia dengan arti pembaruan. Pendek kata, modernisasi juga bisa disebut pembaruan. Dalam masyarakat Barat “modernisme” mengandung arti pikiran, aliran, gerakan, dan usaha-usaha untuk mengubah paham-paham, adat istiadat, institusi-institusi lama dan lain sebagainya.

DAFTAR PUSTAKA

Anshori, Abdul Ghofur. Filsafat Hukum. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2009.

Kharlie, Tholabi Ahmad. Hukum Keluarga Indonesia. Jakarta: SinarGrafika, 2015.

(18)

Podgroeckidan, Adam dan Christopher J. Wlelan. Pendekatan Sosiologi terhadap Hukum. Jakarta: BinaAksara, 1987.

Soekanto, Soerjono. Pokok-Pokok

Sosiologi Hukum. Jakarta:

PT Raja Grafindo

Persada, 1999.

Suwito. Sejarah Sosial

Pendidikan Islam. Jakarta:

Kencana, 2015.

Wignjosoebroto, Soetandyo. Hukum dalam Masyarakat. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013.

Zugiarto, Umar Zaid. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2014.

(19)

Disusun dan Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Islam dan Masyarakat Indonesia

Dosen Pengampu : Agus Sunaryo, M.Si.

DISUSUN OLEH :

Barep Maulana Farkhan 1617301008

Desi Mega Cahyani 1617301009

Dini Anastasya 1617301010

Dini Ayu Arumningtyas 1617301011

Muhamad Affif Zaini 161730102

PROGRAM STUDI MUAMALAH

JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PURWOKERTO

2017

(20)

Keanekaragaman suku, adat, bahasa dan bangsa Indonesia dengan karakteristik budaya masyarakat, aturan dan norma hukum yang berlaku ialah merupakan salah satu fenomena yang sangat penting untuk dikaji dari berbagai sisi balik dan kepentingan. Banyaknya aturan dan sistem mengenai hukum yang berlaku di Indonesia. Yang dimulai dari bangsa Belanda pernah menjajah Indonesia membawa dampak besar dalam politik pemberlakuan hukum Eropa. Alhasil keadaan ini pula ditentang oleh masyarakat yang menganut sistem Hukum Adat dan mengakibatkan banyaknya ulama yang memperbincangkan Hukum Adat, Hukum Islam dan Hukum Perdata.

Di Indonesia yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam. Sejalan dengan pemikiran fikih di Indonesia menjadi pertentangan antara hukum islam yang bersumber dari Quran dan hadis sedangkan hukum adat sudah berlaku lama dan menempel pada susunan aturan di Masyarakat. Yang akhirnya para Mujtahid

membuat sebuah aturan Hukum Islam atau Fikih yang berlandaskan pada Urf’

(21)

Reaktualisasi Hukum Islam dalam Dinamika Masyarakat

Indonesia

A. Pola Pemikiran Mujtahid 1. Hasbi Ash Shidiedy

Pemikiran fikih Indonesia pertama kali dikemukakan oleh Hasbi Ash Shidieqy pada tahun 1940. Menurut Hasbi, supaya fikih dapat dipakai dan dipraktikan oleh masyarakat Indonesia, maka bukan saja itu harus mampu memecahkan persoalan-persoalan yang timbul dalam masyarakat dengan adil, tetapi juga harus mudah dipahami dan tidak terasa asing bagi mereka. Jika tidak demikian, masyarakat akan meninggalkan fikih dan mencari hukum lain.19

Adanya fikih di Indonesia, menurutnya, sangat mungkin untuk diwujudkan. Jika adat kebiasaan (urf’) Arab dapat menjadi sumber fikih yang berlaku di Arab, mengapa di Indonesia tidak pula diberlakukan hukum tersebut yang berasal dari adat kebiasaan masyarakat yang ada di Indonesia. Oleh karena itu, adat kebiasaan Indonesia juga dapat menjadi sumber fikih yang diterapkan di Indonesia. Dengan memaksakan ‘urf Arab atau India diberlakukan untuk Umat Islam Indonesia, menurutnya bukan saja bertentangan azas persamaan yang dianut oleh ajaran Islam, tetapi juga fikih akan terasa asing, sehingga menimbulkan sikap mendua dari masyarakat apabila ada perbedaan antara fikih dengan adat. Oleh karena itu, menurut Hasbi, adanya fikih Indonesia merupakan sebuah keniscayaan.20

Dalam kaitan nya dengan istilah fikih Indonesia ini, Hasbi pada dasarnya membedakan antara fikih dengan Syariah dan Hukum Islam. Syariah berarti aturan dan ketetapan Allah yang disampaikan melalui perantaraan Rasul-Nya, baik aturan yang berkaitan dengan amalan praktis, akidah, maupun akhlak.21

19 Nourazzaman Shiddiqi, Lima Tokoh Pengembangan IAIN Sunan Kalijaga

(Yogyakarta: Pusat Penelitian IAIN Sunan Kalijaga, 1998), hlm. 156.

(22)

Adanya gagasan fikih Indonesia ini meniscayakan adanya ijtihad dengan memperhatikan konteks masyarakat Indonesia. Hasbi memang berpendapat bahwa hukum melaksanakan ijtihad adalah fardhu kifayah

dan harus dilakukan sepanjang masa, walaupun ijtihad tersebut bersifat

juz’i, yaitu ijtihad yang dilakukan hanya pada permasalahan-permasalahan hukum tertentu.22 Dalam upaya nya, menurut Hasbi ‘urf menjadi

pertimbangan yang sangat penting, karena menurut nya dengan mengutip pandangan para ulama klasik, bahwa sesuatu yang ditetapkan oleh ‘urf sama dengan yang ditetapkan oleh nash (ats-tsabit bi al-‘urf ka ats-tsabit bi an-nashsh).23 Hasbi dalam berijtihad berpegang erat dengan mashlahah

sehingga ia menyatakan bahwa penetapan hukum bergantung pada kemashlahatan manusia, dan dimana ada kemaslahatan, maka disitulah sesungguhnya hukum Allah itu berada (al-ahkam taduru ma’a mashalih al-ibad fa haitsu ma wujidat al-mashlahah fa tsamma hukm Allah).24 Atas

dasar itu kemudian Hasbi pun berpendapat bahwa sebuah ketetapan hukum dapat berubah sesuai dengan adanya perubahan keadaan masyarakat (tagayyur al-ahkam wa al-ijtihad bi tagayyur al-ahwal). Namun, pandangan Hasbi tentang ‘urf, mashlahah, dan perubahan hukum ini, sesuai dengan pandangannya tentang ijtihad, adalah hanya berkaitan dengan masalah-masalah muamalah yang masih zhanni.

Dalam upaya menetapkan hukum Islam yang dilakukan oleh lembaga tasyri’ yang kemudian dapat disahkan oleh ahl al-halli wa al-‘aqdli, Hasbi menyarankan tiga macam ijtihad, yaitu: pertama, upaya mengklasifikan hukum-hukum yang telah dihasilkan oleh para ulama terdahulu antara yang didasarkan pada nash yang qath’i dan yang didasarkan pada nash yang zhanni, supaya dapat diketahui mana ijtihad mereka yang dapat iubah untuk disesuaikan dengan zaman dan mana yang

21 Agus Moh. Najib, Pengembangan Metodologi Fikih Indonesia dan Kontribusinya bagi Pembentukan Hukum Nasional (Jakarta: Kementerian Agama RI, 2011), hlm. 58.

22 T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hlm. 229-230.

23Ibid., hlm. 213-214.

(23)

tidak. Kedua, upaya mengklasifikan hukum-hukum yang didasarkan kepada ‘urf masyarakat ketika hukum itu ditetapkan, sehingga hukum tersebut dapat diubah sesuai dengan perkembangan masyarakat sekarang.

Ketiga, upaya menetapkan hukum bagi masalah-masalah baru yang muncul seiring dengan perkembangan masa dan paham modern.25

2. Munawir Syadjali

Munawir Sjadzali menggagas perlunya reaktualisasi ajaran Islam, yang ia sebut juga dengan istilah dinamika hukum Islam, di Indonesia. Menurutnya bagi umat Islam di Indonesia perlu adanya aturan dan pola hukum yang sesuai dengan keadaan, lingkungan, dan latar belakang Indonesia. Hal ini sangat mungkin dilakukan, bahkan sudah seharusnya, karena hukum Islam pada dasarnya bersifat dinamis dan sangat fleksibel.26

Kontekstualisasi hukum Islam di Indonesia menurut Munawir Sjadzali merupakan hal yang niscaya, disamping karena melihat realitas praktik keberagaman umat Islam di Indonesia, juga karena didasarkan pada fakta-fakta sejarah tentang pemikiran dan praktik ulama dahulu serta dasar-dasar tekstual sendiri yang menganjurkan untuk itu.27 Menurutnya

umat Islam di Indonesia banyak yang bersikap munafik dalam beragama. Misalnya banyak umat Islam yang berpendirian bahwa bunga bank itu riba sehingga keduanya sama-sama haram dan terkutuk, dan dengan demikian harus ditinggalkan. Namun, dalam waktu yang sama banyak diantara mereka yang menggunakan jasa bank, baik berupa tabungan, deposito, maupun jasa bank lainnya yang tentu saja berkaitan dengan bunga (interest). Mereka beralasan bahwa penggunaan jasa bank tersebut adalah karena darurat. Padahal, kelonggaran yang diberikan dalam keadaan darurat itu, sebagaimana dikemukakan dalam Q.S. Al-Baqarah (2) ayat 173, adalah dengan syarat tidak ada unsur kesengajaan dan tidak lebih dari pemenuhan kebutuhan finansial yang primer.

25 T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Dinamia dan Elastisitas Hukum Islam, (Jakarta: Tintamas, 1982), hlm. 47.

26 Munawir Sjadzali, Islam, Realitas Baru, dan Orientasi Masa Depan Bangsa (Jakarta: UI Press, 1993), hlm. 16 dan 52.

(24)

Sikap mendua ini menurut Munawir juga terjadi dalam masalah pembagian harta warisan. Dalam Q.S. An-Nisa (4) ayat 11 secara jelas dinyatakan bahwa hak anak laki-laki adalah dua kali lebih besar daripada hak anak perempuan. Namun, ketentuan ini menurutnya sudah banyak ditinggalkan oleh masyarakat Islam Indonesia, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dari kunjungannya ke berbagai daerah dan informasi dari Peradilan Agama, ia mendapati bahwa banyak umat Islam yang menyelesaikan masalah harta warisannya ke Pengadilan Negeri, tidak ke Pengadilan Agama. Hal tersebut tidak hanya dilakukan oleh orang awam, tetapi juga banyak dilakukan oleh tokoh organisasi Islam yang cukup memahami hukum Islam. Disamping itu, menurutnya telah membudaya juga penyimpangan tidak langsung dari ketentuan Al-Qur'an tersebut. Banyak kepala keluarga di Indonesia yang mengambil kebijakan

pre-emptive; semasa masih hidup mereka telah membagikan sebagian besar kekayaannya sebagai hibah kepada anak-anaknya, dengan bagian yang sama besar tanpa membedakan jenis kelamin. Dengan demikian, pada waktu meninggal, kekayaan yang harus dibagi tinggal sedikit atau bahkan hampir habis sama sekali. Walaupun secara formal hal itu tidak bertentangan dengan ketentuan Al-Qur'an, namun tindakan tersebut pada dasarnya termasuk hilah untuk menghindari ketentuan ilmu waris Islam (fara'idl).28

Sikap mendua masyarakat Islam Indonesia tersebut menurut Munawir tidak selalu disebabkan oleh tipisnya keimanan, tetapi pada sasarannya dapat juga disebabkan oleh pertimbangan bahwa budaya dan struktur sosial serta konteks masyarakat Indonesia sekarang telah sedemikian rupa sehingga pelaksanaan hukum Islam secara apa adanya kurang dapat diterima oleh rasa keadilan dan kemashlahatan. Oleh karena itu, menurut Munawir perlu adanya kodifikasi Dan kontekstualisasi hukum Islam, termasuk terhadap ketentuan-ketentuan yang telah jelas digariskan secara tekstual dalam al-Qur'an. Namun, menurut-Nya kontekstualisasi

(25)

hukum Islam ini hanya berkaitan dengan soal kemasyarakatan (Mu'amalah), dan bukan yang berkaitan dengan peribadatan murni (ibadah mahdhah). Ia berargumen bahwa kontekstualisasi hukum Islam semacam ini sebenernya telah dipraktikkan dalam sejarah oleh para ulama. Para penguasa, hakim, dan ilmuwan dalam sejarah sering Kali menempuh kebijaksanaan hukum, yaitu menetapkan keputusan hukum atau fatwa hukum yang secara tekstual tidak sepenuhnya sekalian dengan Nash, baik Al-Qur'an maupun hadits Nabi, bahkan tidak jarang berbeda sama sekali dengan bunyi Nash itu. Untuk Menerbitkan sehagiannya adalah ijtihad-ijtihad 'Umar Ibn al-Khathab, 'Umar Ibn 'Abd al-'aziz, Abu Yusuf, 'Izzuddin Ibn 'Abd As-Salam, Najmudfin ath-Thufi, dan Muhammad Abduh.29

Kebutuhan dalam kontekstualisasi hukum Islam ini, menurut Munawir, disamping karena alasan sikap beragama umat Islam di Indonesia dan contoh dari para ulama terdahulu sebagaimana dikemukakan diatas, juga karena secara tekstual memiliki landasan. Landasan tekstual tersebut terutama adalah hadis yang menyatukan bahwa pada setiap 100 tahun akan ada seorang yang akan memperbarui pemahaman agama Islam.30 Dari hadis ini dapat disimpulkan bahwa terlepas dari siapa yang

telah dan akan menjadi pembaru dan terlepasds juga apakah pembaharuan tersebut dilakukan oleh seorang atau banyak orang secara kolektif, yang jelas hadis tersebut menyatakan perlunya pembaharuan atau penyegaran berkala ajaran Islam supaya sesuai dengan perkembangan zaman dan pertumbuhan peradaban. Dengan demikian, ajaran islam, menurut Munawir, di satu sisi memang memiliki tata nilai yang universal dan abadi, namun disisi lain dalam pelaksanaan dan aplikasi tata nilai tersebut memungkinkan adanya kebhinekaan dan pertumbuhan secara terus-menerus seiring dengan laju peradaban. Dengan demikian, para ahli fikih Indonesia juga memiliki ruang gerak yang luas untuk menyusun suatu fiqh

29 Munawir Sjadzali, Ijtihad Kemanusiaan (Jakarta: Penerbit Paramadina, 1997), hlm. 37-46.

(26)

yang cocok dengan lingkungan dan perkembangan yang ada di Indonesia, dengan tanpa membahayakan integritas hukum Islam itu sendiri.31

Kontekstualisasi hukum Islam di Indonesia menurut Munawir seharusnya dilakukan secara kolektif dan bukan secara perorangan. Karena itu, menurutnya perlu ada lembaga musyawarah para ahli di suatu negara atau wilayah untuk merumuskan hukum Islam yang sesuai dengan konteks masyarakatnya, begitu pula dengan di Indonesia.32 Hasil dari

kontekstualisasi tersebut supaya dapat ditetapkan dan diberlakukan di Indonesia yang berazaskan Pancasila ini, maka harus melalui cara dan jalan konstitusional serta seiring dengan aspirasi Nasional. Upaya konstitusional ini menurut nya harus ditempuh karena apabila berusaha menerapkan hukum Islam dengan mengambil jalan pintas dan bertindak secara eksklusif, maka tidak hanya akan mengalami kegagalan total, tetapi juga umat Islam yang merupakan mayoritas di Indonesia ini harus membayar kegagalan itu dengan sangat mahal karena menurut pengamatannya setiap prakarsa yang bersifat Islam sering kali dicurigai sebagai upaya yang menjurus ke arah pembentukkan negara Islam.33

Indonesia yang berlandaskan Pancasila bukan merupakan negara agama tetapi juga bukan negara sekuler, sehingga aspirasi umat Islam hanya dapat terpenuhi apabila ditempuh melalui jalur yang konstitusional. Bahkan menurut Munawir, pengalaman menunjukkan bahwa pemberlakuan hukum Islam di Indonesia justru dapat tersalurkan ketika tidak ada partai Islam. Ia mencontohkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang lahir sebagai realisasi dan amanat dari Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman. UU Kekuasaan Kehakiman tersebut mengakui Peradilan

31 Munawir Sjadzali, Islam,Realitas Baru, dan Orientasi Masa Depan Bangsa (Jakarta: UI Press, 1993), hlm. 58-60.

32 Haidar Bagir dan Syafiq Basri, Ijtihad dalam Sorotan (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 125.

(27)

Agama sebagai peradilan yang mandiri dan sederajat dengan tiga peradilan yang lain, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer. Kemandirian Peradilan Agama ini pada tahun 1948 pernah diusulkan oleh salah satu partai Islam kepada Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang merupakan Parlemen sementara, tetapi kemudian ditolak oleh seluruh partai atau fraksi lain. Menurutnya, ini menunjukkan bahwa adanya partai Islam justru tidak menguntungkan bagi perjuangan aspirasi umat Islam Indonesia. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 dapat diundangkan adalah karena diajukan oleh pemerintah (eksekutif), dan apabila yang mengajukan adalah kelompok Islam hampir pasti akan langsung ditolak sejak awal.34

Atas dasar tersebut, menurut Munawir, untuk memperjuangkan aspirasi umat Islam di Indonesia, termasuk dalam bidang hukumnya, tidak perlu ada partai Islam. Hanya saja Umat Islam harus terlibat dan terjun secara langsung dalam kehidupan bernegara, dan tidak boleh hanya berpangku tangan menjadi penonton. Dengan kata lain, perjuangan permberlakuan hukum Islam harus melalui jalur yang konstitusional dengan cara menaati aturan main dan memanfaatkan mekanisme demokrasi yang ada. Menurut pengalaman, justru perjuangan secara konstitusional tanpa partai Islam inilah aspirasi umat Islam banyak yang terpenuhi.35

3. Gus Mus

Fatwa mempunyai kedudukan yang cukup penting dalam konteks perkembangan hukum islam dari masa ke masa, dan fatwa itu sendiri bersifat dinamis karena munculnya fatwa mengindikasikan adanya kasus-kasus hukum islam yang berkembang dalam masyarakat yang membutuhkan pemecahan dalam kaca mata hukum islam dalam kurun tertentu. Mengingat fatwa adalah salah satu bagian dari ijtihad, maka

34 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1990), hlm. 77-79.

(28)

kedudukan fatwa dalam hukum islam sangat penting sebagai salah satu instrument dalam memproduk hukum islam. Oleh karenanya, perlu adanya pengembangan metodologi yang berorientasi pada kemaslahatan umat.

Hal inilah yang telah dilakukan K.H. Mustofa Bisri dalam menjawab persoalan-persoalan hukum islam yang diajukan kepadanya sebenarnya mempunyai kedudukan yang sama dengan seorang mufti. Kontribusi penting yang diberikan K.H. Mustofa Bisri adalah sikapnya dengan berfatwa yang tidak terikat oleh suatu madzhab tertentu, sikap ini menjadi penting ditengang digalakannya pengembangan pemikiran hukum islam yang mensyaratkannya adanya kebebasan berfikir dan tidak terikat pada suatu madzhab tertentu. Tentu saja kebebasan berfikir versi K.H. Mustofa Bisri adalah kebebasan ter terukur dan berbingkai dengan maqashid al-syari’ah yang menjadi tujuan diturunkannya syariat islam.

Apa yang dilakukan K.H. Mustofa Bisri sebenarnya dalam rangka untuk mengawal hukum islam agar tetap dinamis, responsif dan punya adaptabilitas yang tinggi terhadap tuntutan perubahan. Dalam konteks ini beliau menyadari sepenuhnya habwa sumber-sumber hukum normatif tekstual sangatlah terbatas jumlahnya, sementara kasus-kasus baru di bidang hukum tidak terbatas jumlahnya. Kiranya apa yang dilakukan K.H. Mustafa Bisri secara tidak langsung beliau telah merespon pernyataan Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayah al-Mujtahid. Persoalan kehidupan masyarakat tidaklah terbatas jumlahnya, sementara jumlah nash (baik al-Qur’an dan al-Hadits) jumlahnya terbatas. Oleh karena itu, mustahil sesuatu yang terbatas jumlahnya bisa menghadapi sesuatu yang tidak terbatas.

(29)

dengan hasil ijtihadnya yang lama tidak batal, karena hasil ijtihad tidak dapat dibatalkan oleh hasil ijtihad yang lain.

Dalam kaitan ini, Muhammad Atho’ Mudhar menegaskan bahwa karena fatwa adalah bersifat kasuistik yakni merupakan jawaban atau respon terhadap pertanyaan yang diajukan peminta fatwa, maka fatwa tidak mempunyai daya ikat dalam arti bahwa si peminta fatwa tidak harus mengikuti isi hukum fatwa yang diberikan kepanya. Akan tetapi fatwa biasanya bersifat dinamis karena merupakan respon terhadap perkembangan baru yang sedang dialami oleh masyarakat peminta fatwa. Isi fatwa itu sendiri belum tentu dinamis, tetapi sifat responsifnya itu yang sekurang-kurangnya dapat dikatakan dinamis.

K.H. Mustafa Bisri sebagai salah seorang ulama yang budayawan dan salah seorang pengurus organisasi NU telah cukup lama mewarnai sekaligus mempengaruhi corak dan dinamika perkembangan hukum islam di Indonesia, terutama mengenal berbagai aspek yang berkembang dalam bidang kemasyarakatan dan kebangsaan dalam perspektif hukum islam.36

4. Mahmud Syaltut

Dalam pembaruan pemikiran hukumnya, Syaltut melakukan penafsiran ulang terhadap ayat nas Al-Qur’an. Syaltut berusaha merombak argument-argumen tafsir atas ayat sosiologis yang telah dipatenkan menjadi ayat-ayat teologis yang bersifat absolut (memuat kandungan aqidah dan ibadah) itu menjadi ayat-ayat sosiologis yang bersifat kontekstual.

Pemikiran Syaltut yang cukup signifikan yang dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan dan pembaruan hukum Islam adalah prinsip mengedepankan persamaan hak di hadapan hukum demi keadilan dan nilai kemanusiaan di atas sekat-sekat sosial agama, sosial kemasyarakatan, dan perbedaan gender. Hal ini dapat dilihat dalam pemikirannya mengenai beberapa masalah pidana (jinayah).

(30)

Dalam masalah pidana, secara konsisten Syaltut berpegang kepada supremasi hukum atas dasar keadilan bersifat universal, kemanusiaan yang luhur, dan persamaan hak di hadapan hukum. Dengan prinsip tersebut, Syaltut menolak diskriminasi dalam penerapan hukum. Berdasarkan prinsip yang dipegang yaitu berlandaskan kepada supremasi hukum, Syaltut telah memberikan kontribusinya dalam mencairkan sekat-sekat sosial kemasyarakatan, sosial keagamaan, dan atribut-atribut lain yang selama ini masih kokoh dipegang oleh kalangan jumruh.

Dalam bidang muamalah, Syaltut bersifat fleksibel. Menurutnya prinsip syari’at Islam dalam bidang muamalah adalah terpenuhinya maslahah dan terlindungi hak-hak serta meningkatkan taraf hidup.37

Apalagi jika suatu masalah tidak ada larangan dalam nas, maka hal itu menurutnya diperbolehkan. Pemikirannya dalam bidang muamalah memberikan keluasan kepada umat untuk mengembangkan potensinya, selama hal itu tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip umum dalam bermuamalah. Dengan demikian, mempunyai manfaat ganda, yaitu terpenuhinya maslahah fardiyyah (individu) dan maslahah jam’iyyah

(masyarakat) termasuk negara.

Syaltut dalam ijtihadnya mengenai pemikiran pembaruan hukum Islam, ia banyak menggunakan al-ra’yu dari pada menggunakan sumber hukum yang lain. Lebih spesifik dapat dikemukakan, bahwa ia lebih banyak menggunakan pendekatan maslahah. Sedangkan Al-Qur’an terlihat menduduki tingkat kedua sebagai sumber hukumnya. Dalam pembaruan pemikiran hukum Islam, maslahah merupakan metod paling banyak digunakan. Sedangkan dari ijtihad, Syaltut dalam pembarua hukum Islam kiranya dapat dilakukan krestalisasi sebagai butir-butir yang dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan hukum Islam. 5. Pemikiran Al-Gorafi tentang Ijtihad

Pada masa generasi awal Islam, ijtihad telah dipraktekan tanpa teori dan aturan formal yang mengikatnya. Setelah Rosululloh wafat, bentuk ijtihad dikembangkan dan dimodifikasikan oleh para sahabat dan

(31)

diteruskan oleh Tabi’in dan generasi berikutnya. Pengembangan tersebut dilakukan sebagai tuntutan realitas zaman yang menuntut adanya perubahan dan pembaruan pemahaman. Disinilah peranan penting ijtihad dalam menyelesaikan problematika hukum yang dihadapi umat Islam. melalui ijtihad, hukum islamakan menjawab tantangan zamannya dan cocok dengan pergantian ruang serta perjalanan waktu.

Berkaitan dengan ruang lingkup ijtihad, banyak ulama ushul fiqih membuat pemilahan antara hukum-hukum yang menjadi wilayah ijtihad dan yang bukan menjadi wilayahnya. Secara garis besar wilayah ijtihad meliputi dua hal. Pertama, hukum yang tidak ada petunjuk nashnya sama sekali. Kedua, hukum yang ditunjuk oleh nas yang zanni.38

Dalam hal pembatasan wilayah ijtihad ini, al-Qarafi tidak terlalu memperdulikannya. Yang penting bagi al-Qarafi, ijtihad adalah dimaksudkan sebagai suatu pemikiran yang sungguh-sungguh yang dilakukan secara optimal dalam rangka untuk menemukan hukum-hukum

syar’i.39 Dengan demikian wilayah ijtihad bagi al-Qarafi sangat luas.

Ketentuan nas yang qot’I maupun yang zanni itu pun masih terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama ushul fiqih, sebagaimana diakui oleh al-Qarafi.

Para ahli usul fikih telah limitasi syarat-syarat yang diperbolehkannya melakukan ijtihad mereka hanyalah yang mempunyai kriteria dan klasifikasi tertentu, dan para ulama usul fikih pun berbeda-beda dalam menentukan syarat-syarat berijtihad. Al-qarafi juga menentukan beberapa syarat bagi seseorang yang akan melakukan ijtihad. Syarat-syarat dalam berijtihad menurut al-Qarafi adalah berkaitan dengan akumulasi keahlian dalam beberapa bidang. Yaitu ia hendaknya

Alim (mengetahui dam memahami) makna-makna alfaz dan seluk beluknya, serta berbagai ilmu dalam usul fikih. Ia juga hendaknya alim

dalam kitab Allah (al-Qur’an) khususnya yang berkenaan dengan ayat-ayat al-Qur’an tentang masalah hukum, namun tidak disyaratkan untuk

38 Abd al-Wahhab Khallaf, ‘Ilm Usul al-Fiqh (Kuwait: Dar al-Qalam, 1978), hlm. 35.

(32)

hafal, tetapi mengetahui letak ayat-ayat tersebut dan bisa melihat atau mengeluarkannya pada waktu ia membutuhkannya. Ia juga disyaratkan memiliki pengetahuan tentang sebagian sunah terutama yang berkenaan degan hadis-hadis ahkam dan tidak harus hafal hadis-hadis tersebut. Kemudian ia hendaknya memilikipengetahuan tentang letak masalah-masalah yang telah menjadi ijmak dan masalah-masalah-masalah-masalah ikhtilaf. Ia memiliki pengetahuan tentang al-bara’ah al-asliyyah, syarat-syarat al-hadd, al-burhan, mengetahui ilmu an-Nahwu, al-lugah, at-tasrif, dan juga memiliki pengetahuan tentang hal-ihwal para rawi (periwayat hadis).40

Syarat-syarat ijtihad yang dikemukakan oleh al-Qarafi diatas sebenarnya tidak jauh berbeda dengan syarat-syarat yang dikemukakan oleh para ulama usul fikih klasik, terutama para pendahulunya. Syarat-syarat yang dikemukakan oleh al-Qarafi tampaknya tidak terlalu berat bagi yang mau menekuninya, namun para ulama yang sudah memenuhi syarat-syarat untuk berijtihadpun masih banyak yang merasa tidak percaya diri untuk melakukanbijtihad dan mengeluarkan fatwa secara mandiri.

Seiring dengan terjadinya perubahan dan perkembangan sosial dari waktu ke waktu, serta munculnya masalah-masalah hukum yang sangat komplek, diantaranya sebagai dampak perkembangan ilmu pengetahuandan teknologi dewasa ini, agaknya persyaratan ijtihad yang dikemukakan oleh para ulama usul fiqih termasuk al-Qarafi dapat dipandang sebagai persyaratan minimal bagi orang yang ingin melakukan ijtihad. Diluar dari persyaratan tersebut mujtahid harus memahami masalah-masalah yang sedang dihadapinya secara komprehensif agar ia tidak keliru dalam mendudukan suatu hukum. Pengetahuan masalah yang sedang dihadapi ini mungkin dapat ditempatkan sebagai salah satu syarat ijtihad, selain syarat-syarat ijtihad yang telah digariskan oleh para ulama usul fikih.

(33)

B. Penerapan Hukum Islam Konteks Sosial menurut K. H. Sahal Mahfudz

Syariat islam merupakan manifestaasi dari aqidah islamiyah. Akidah mengajarkan keyakinan akan adanya jaminan hidup dan kehidupan, termasuk kesejahteraan bagi setiap manusia.jaminan itu pada umumnya mengatur secara rinci cara berikhtiar dalam mengelolanya. Pada prinsipnya tujuan syariat islam yang dijabarkan secara rinci oleh para ulama’ dalam ajaran fiqih sosial ialah penataan keadaan ihwal manusia dalam kehidupan duniawi dan ukhrawi, kehidupan individual, bermasyarakat dan bernegara.

Syariat islam mengatur hubungan antara manusia dengan Allah yang dalam fiqih sosial menjadi komponen ibadah. Baik sosial maupun individual, terikat syarat dan rukun, maupun teknik operasionalnya tidak terikat oleh syarat dan rukun tertentu. Ia juga mengatur hubungan antara sesama manusia dalam bentuk pergaulan maupun hubungan transaksi untuk memenuhi kebutuhan hidup. Disamping itu juga mengatur hubungan dan tatacara berkeluarga. Untuk menata pergaulan yang menjamin ketentraman dan keadilan,ia juga punya aturan yang dijabarkan dalam komponen jinayah, jihad, qadha’.41

Beberapa komponen fiqih diatas merupakan teknis operasional dari lima tujuan prinsip dalam syariat islam, yaitu memelihara-dalam arti luas agama, akal, jiwa, nasab dan harta benda. Komponen – komponen itu secara bulat dan terpadu menata bidang – bidang pokok dari kehidupan manusia, dalam rangka berikhtiar untuk mencapai kesejahteraan duniawi dan ukhrawi sebagai tujuan hidupnya.

Unsur – unsur kesejahteraan dalam kehidupan duniawi dan ukhrawi, bersifat saling mempengaruhi. Apabila hal itu dikaitkan dengan syari’at islam yang dijabarkan fiqih sosial dengan bertitik tolak dari lima prinsip dalam tujuan syari’ah, maka akan jelas, syari’at islam mempunyai sasaran yang mendasar, yakni kesejahteraan lahir batin bagi setiap, manusia. Berarti bahwa manusia merupakan sasaran, sekaligus menempati posisi kunci dalam keberhasilan mencapai kesejahteraan yang dimaksud.

Satu diantara masalah manusia adalah masalah kependudukan. Hampir semua aspek dan faktor kehidupan berkaitan erat dan saling mempengaruhi

(34)

dengan masalah ini. Masalah kependudukan, seperti tingginya laju perkembangan penduduk, persebarannya tidak merata dan struktur penduduk yang relatif muda dan saling berkaitan.

Kuantitas penduduk yang tidak terkendalikan, yang tidak diimbangi dengan peningkatan sumberdaya alam,kemampuan dan keterampilan ikhtiar yang memadai akan mengakibatkan kerusakan umum dari dimensi duniawi maupun ukhrowi ,dengan timbulnya nilai- nilai islam.Kependudukan menjadi msalah karena ada kesenjangan antara tujuan yang ingin dicapai pembangunan manusia seutuhnya ,dengan keadaan nyata yang dihadapi.Pembangunan merupakan proses perubahan yang secara sadar direncanakan melalui berbagai campurtangan pemerintah dan masayrakat.Tidak dapat dipungkiri bahwa kegiatan pembangunan yang berlangsung selama ini telah membawa kemajuan besar dalam kehidupan bangsa. Akan tetapi, disamping itu pembangunan yang semakin kompleks menciptakan berbagai masalh pula. Permasalahan itu menjadi beragam dan yang paling luas implikasinya adalah masalah kependudukan, karena keterkaitan erat dengan aspek – aspek kehidupan.

Masalah pendidikan anak misalnya, memerlukan fasilitas dan sarana yang luas. Beban untuk orang tua untuk itu makin teras. Tuntutan kesehatan anak agar menjadi manusia produktif, sehat jasmani dan rohani cukup menarik perhatian. Pengetahuan dan pengalaman agama serta akhlak cenderung melemah, hingga perlu pengawasan ketat.

Sumber daya semakin menyusut, sementara sumber pengembangan sumber daya manusia untuk mengelola potensi berada dalam posisi persaingan yang sering menimbulkan kesulitan tertentu, seperti problem pengangguran dan ketenagakerjaan yang tidak seimbang dan penciptaan lapangan kerja yang masih sangat lambat diupayakan.

(35)

berkembang adalah nilai ekonomi, dinilai dengan memperhitungkan untung rugi secara materiil pada hampir semua aktivitas hidup.42

KESIMPULAN

Penjelasan di atas dapat di ambil kesimpulan, bahwa hukum islam dalam reaktualisasi dan dinamika masyarakat masih diperlukan pemikiran – pemikiran yang rasional yang mendalam seperti dalam masalah ijtihad untuk lebih memahami nilai – nilai fiqih yang ada dalam masyarakat . Yang mana pengembalian dapat dilakukan kembali dengan mengajak kembali kepada ajaran-ajaran agama yang benar dan membuang jauh-jauh segala rujukan yang tidak pasti atau masih samar- samar. Maka ,perlu kita untuk lebih memahami nilai – nilai fiqih dalam sebuah kehidupan masyarakat ,sebagai tolak ukur dalam penelitian dan keragaman dalam fiqih terhadap hukum islam di masyarakat.

(36)

Daftar Pustaka

Al-Qarafi.. Syarh Tanqih al-Fusul fi Ikhtisar al-Mahsul fii al -Usul. Bairyt: Dar al-Fikr, 1973.

Arief, Abd. Salam. Pembaruan Pemikiran Hukum Islam. Yogyakarta: Lesfi, 2003.

Khallaf, Abd al-Wahhab. Ilm Usul al-Fiqh. Kuwait: Dar al-Qalam, 1978.

Mahfudz, Asmawi. Pembaruan Hukum Islam. Yogyakarta: Teras, 2010.

Mahfudh, Sahal. Nuansa Fiqh Sosial. Yogyakarta: LKiS Group, 2012.

(37)

Sjadzali, Munawir. Islam,Realitas Baru, dan Orientasi Masa Depan Bangsa.

Jakarta:UI Press, 1993.

__________. Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran. Jakarta:UI Press, 1990.

Suraji, Muhammad. Pluralitas Fatwa Dalam Hukum Islam (Telaah Pemikiran Syihab ad-Din al-Qarafi). Purwokerto: STAIN Press, 2014.

Sutrisno. Nalar Fiqh Gus Mus. Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2012.

PENDAHULUAN

(38)

Selain itu ketulusan dan kedisiplinan pemerintah dan hakim-hakim zaman belanda dalam menerapkan kaedah-kaedah hukum tersebut membuat penegakan hukum pada zaman itu relatif cukup baik, jauh lebih baik dari penegakan hukum pada zaman kemerdekaan, baik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno maupun pada masa Presiden Soeharto. Bahkan pada masa reformasi ditengarai bahwa penegakan hukum di Indonesia dapat dikatakan terpuruk, sudah sampai pada titik nadir. Dalam hubungannya dengan keterpurukan hukum di Indonesia ini, ada majalah internasional yang menyebutkan bahwa kasus korupsi di Indonesia menempati urutan pertama terparah di Asia.

(39)

PARADIGMA HUKUM INDONESIA SEBAGAI PENGANTAR MEMAHAMI PERILAKU MANUSIA TERHADAP HUKUM

A. Pengertian dan Pendapat para Ahli tentang Paradigma Hukum

Secara etimologis, paradigma berasal dari kata dalam bahasa Yunani,

para yang artinya di samping atau berdampingan dan diegma yang artinya contoh. Sedangkan secara sosiologis istilah ini banyak dipakai sebagai cara pandang, pola, model, anutan dan sebagainya.43 Dalam kamus besar Bahasa

Indonesia paradigma juga diartikan sebagai model dalam ilmu pengetahuan juga kerangka berpikir.

Liek Wilaryo mendefinisikan paradigma sebagai model yang dipakai ilmuan dalam kegiatan keilmunnya untuk menentukan jenis-jenis persoalan yang perlu digarap, dan dengan metode apa serta melalui prosedur yang bagaimana penggarapan itu harus dilakukan.

Konsep paradigma muncul karena kegundahan Thomas S. Khun ketika melikat terkotak-kotaknya ilmuan sosial sebagai akibat dari perselisihan pendapat yang menyangkut sifat masalah dan metode ilmiah yang diakui valid. Khun melihat sumber perselisihan tersebut terletak dari perbedaan paradigma yang dianut masing-masing ilmuan tersebut. Meskipun Khun dapat disebut sebagai pencetus konsep paradigma, tetapi dia lebih memilih menggunakan istilah disciplinary matrixs dan exemplar

dibandingkan kata 'paradigma' itu sendiri.44

Hukum mempunyai paradigma, yang oleh Satjipto Raharjo diartikan sebagai perspektif dasar. Dengan adanya paradigma tersebut membawa kita kepada kebutuhan untuk melihat hukum sebagai institusi yang mengekspresikan paradigma tersebut. Dengan mengetahui paradigma yang ada di belakang hukum, kita dapat memahami hukum lebih baik daripada jika kita tidak dapat mengetahunya.

43Saifullah, Refleksi Sosiologi Hukum (Bandung : Refika Aditama, 2007), hlm. 83-84.

(40)

Lebih lanjut Satjipto Raharjo juga mengemukakan adanya paradigma hukum yang bermacam-macam. Sebagai akibatnya, maka hukum juga mengekspresikan bermacam-macam hal sesuai dengan perspektif dasarnya.45

Menurut Otje Salman yang dikutip oleh Zainuddin Ali, Paradigma Sosiologi hukum merupakan pengaruh timbal balik antara hukum dengan gejala sosial lainnya.46

B. Positivisme dalam Ilmu Hukum dan Fungsi Politisnya dalam Kehidupan Bernegara

Positivisme merupakan salah satu aliran dalam paham filsafat yang berkembang di Eropa kontinental, khususnya di Prancis. Positivisme adalah suatu paham yang menuntut agar setiap metodologi yang dipikirkan untuk menemukan kebenaran hendaklah memperlakukan realitas sebagai sesuatu yang eksis, suatu obyek yang harus dilepaskan dari sembarang macam para konsepsi metafisis yang subyektif sifatnya.47 Diaplikasikan kedalam

pemikiran tentang hukum positiv menghendaki dilepaskannya pemikiran meta yuridis mengenai hukum sebagimana dianut oleh para eksponen aliran hukum kodrat. Karena itu setiap norma hukum haruslah eksis pada alamnya yang obyektif sebagai norma-norma yang positif, ditegaskan sebagai wujud kesepakatan kontraktual yang konkrit sebagai kesepakatan antara warga masyarakat (atau wakil-wakilnya).

Hukum tidak lagi harus dikonsepsi sebagai asas-asas moral meta yuridis yang niskala (abstrak) tentang hakekat keadilan melainkan ius yang telah mengalami positivisasi sebagai lege atau lex, guna menjamin kepastian mengenai apa yang dibilang hukum dan apapula yang sekalipun normatif harus dinyatakan sebagai hal-hal yang terbilang hukum.48

Paham positivisme dan pengaruhnya dalam kehidupan bernegara untuk segera mengupayakan positivisasi norma-norma keadilan (ialah hukum

45Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum, Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah

(Yogyakarta : Genta Publishing, 2010), hlm. 65-66.

46Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), hlm. 10.

47Soetandyo Wignyosoebroto, Hukum, Paradigma, Metode, dan Dinamika Masalahnya

(Jakarta : Elsam, 2002), hlm. 96.

(41)

yang dikonsepkan sebagai ius) agar segera menjadi norma perundang-undangan (ialah hukum yang dikonsepkan sebagai lege) sesungguhnya fungsional untuk mempercepat terwujudnya negara bangsa yang diidealkan punya struktur yang terintegrasi kukuh secara sentral yang tak pula banyak bisa dijabarkan secara meluas. Tak pelak lagi, dalam pengalaman, positivisasi hukum selalu memperoleh prioritas utama dalam setiap upaya pembangunan hukum dinegara-negera yng tengah tumbuh modern dan menghendaki kesatuan dan atau penyatuan, tak hanya yang menuju ke nation state melainkan juga yang dulu menuju ke colonial state. Tak ayal pula, positivisasi hukum selalu berakibat sebagai proses nasionalisasi dan etatisasi hukum, dalam rangka penyempurnaan kemampuan negara dan pemerintah untuk memonopoli kontrak sosial yang formal, melalui pemberlakuan atau pendayagunaan hukum positif.

Produk positivisasi yang disebut dengan hukum positif itu sekalipun terbilang positif, dalam arti obyektifitasnya di akui dan di “ya” kan dengan tegas pada hakekatnya adalah tetap merupakan sesuatu yang terbilang fenomena normatif. Proses positivisasi pada hakekatnya adalah suatu proses obyektivitas sejumlah norma meta yuridis menjadi sejumlah norma yang positif, sehingga ilmu hukum yang terbangun daripadanya adalah tetap saja berdasarkan logika normologi, dan tidak berlogika normologis yang induktif untuk menemukan berjumlah nomos yang eksis sebagai fenomena empiris yang signifikan dalam kehidupan sosial dan kultural bagimanapun juga hubungan kausal antara fakta hukum dan akibat hukum dalam ilmu hukum aliran positivisme ini adalah hasil normatif judgemen, bukan hasil observasi-observasi yang mendayagunakan metode sain guna menjamin obyektifitas dan realibilitas.49 Indonesia sebagai salah satu negara yang menganut

positivisme dalam paradigma pembentukan hukumnya. Tentunya banyak hal yang dapat menjadi satu kelemahan dalam penerapan hukumnya, dalam pandangan positivisme, yang dikatakan hukum adalah satu norma-norma

(42)

yang telah dipositifkan, sedangkan norma-norma yang tidak tertulis sekalipun itu baik dan bagus bukan disebut sebagai hukum. Hal inilah yang sering kali indonesia mengalami persoalan ketika harus menghadapi kejahatan-kejahatan internasional, seperti kejahatan terorisme misalnya. Kasus-kasus terorisme yang menjadi satu kejahatan dunia telah masuk keindonesia yang mau-tidak mau dengan tekanan Internasional mengharuskan negara Indonesia terlibat dalam pemberantasan kejahatan terorisme tersebut, namun yang menjadi masalah adalah kejahatan terorisme yang telah melanda indonesia, ternyata indonesia dalam hukum positifnya belum mampu mengakomodir kejahatan tersebut. Sehingga mengharuskannya dalam waktu singkat membuat aturan hukumnya. Walaupun harus melanggar asas-asas umum dalam hukum indonesia.

C. Fungsi dan Peran Hukum

1. Hukum Sebagai Sistem Nilai

Menurut Satjipto Rahardjo, nilai merupakan salah satu paradigma hukum, sehingga nilai dapat dilihat sebagai sosok hukum juga. Nilai sebagai perwujudan nilai-nilai mengandung arti, bahwa kehadirannya adalah untuk melindungi dan memajukan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat.50 Hukum dipandang sebagai suatu sistem nilai

yang secara keseluruhan dipayungi oleh sebuah norma dasar atau basic norm.

Norma dasar inilah yang dipakai sebagai dasar dan sekaligus penuntun penegakan hukum. Sebagai sistem nilai, norma dasar tersebut merupakan sumber nilai dan juga pembatas dalam penerapan hukum.51

2. Hukum Sebagai Ideologi

Sebagai paradigma, ideologi tidak membiarkan hukum sebagai suatu lembaga yang netral. Ideologi merupakan suatu sistem gagasan yang menyetujui seperangkat norma.Jika norma menetapkan bagaimana

50Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum, Perkembangan Metode, dan Pilihan Masalah

(Yogyakarta : Genta Publishing, 2010), hlm. 66.

(43)

cara orang berperilaku, maka tugas ideologi adalah untuk menjelaskan mengapa harus bertindak demikian dan mengapa mereka seringkali gagal bertindak bagaimana semestinya.

Newman berpendapat bahwa ideologi merupakan seperangkat gagasan yang menjelaskan atau yang melegalisasikan tatanan sosial, struktur kekuasaan atau cara hidup dilihat dari segi tujuan, kepentingan atau kolektifitas di mana ideologi itu muncul.

3. Hukum Sebagai Institusi

Salah satu fungsi hukum yaitu sebagai institusi sosial dimana hukum menjadi suatu kebutuhan bagi masyarakat agar tercipta keadilan dan ketentraman. Sehingga masyarakat dapat hidup dengan damai tanpa ada konflik. Institusi merupakan suatu sistem hubungan sosial yang menciptakan keteraturan dengan mendefinisikan dan membagikan peran-peran yang saling berhubungan didalam institusi.52

Institusi sosial merupakan himpunan nilai-nilai, kaidah-kaidah, dan pola-pola perikelakuan yang berkisar pada kebutuhan-kebutuhan pokok manusia. Hukum sebagai suatu lembaga atau institusi sosial, hidup berdampingan dengan lembaga kemasyarakatan lainnya dan saling mempengaruhi dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan tadi.53

4. Hukum Sebagai Rekayasa Sosial

Pound mengatakan bahwa tugas pokok pemikiran modern mengenai hukum adalah tugas rekayasa sosial. Dalam banyak karangan pound berusaha memudahkan dan menguatkan tugas rekayas sosial ini dengan merumuskan dan menggolongkan kepentingan-kepentingan sosial, yang keseimbangannya menyebabkan hukum berkembang. Pound menggolongkan kepentingan-kepentingan yang secara sah dilindungi, dalam tiga golongan, yakni kepentingan umum, sosial dan pribadi.54

52Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum, Perkembangan Metode, dan Pilihan Masalah

(Yogyakarta : Genta Publishing, 2010), hlm. 82.

53Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 4.

(44)

Satjipto Raharjo mengemukakan bahwa hukum sebagai sarana rekayasa sosial adalah penggunaan hukum secara sadar untuk mencapai suatu tertib atau keadaan masyarakat sebagaimana dicita-citakan atau untuk melakukan perubhan-perubahan yang diinginkan. Setiap peraturan hukum tentulah mempunyai tujuannya sendiri, rekayasa sosial merupakan suatu usaha yang lebih sistematis dan cendekia tentang bagaimana cara mencapai tujun tersebut.55

Hukum sebagai rekayasa sosial, menurut Chairuddin, berfungsi sebagai independent variebel, dimana masyarakat berfungsi sebagai

variebel yang dipengaruhi oleh hukum. Jika demikian halnya maka perlu ada perencanaan tentang bentuk masyarakat yang diinginkan itu diwujudkan melalu arah kebijaksanaan yang ditetapkan.56 Podgorecki,

yang dikutip oleh Satjipto Raharjo, mengembangkan empat asas pokok rekayasa sosial sebagai berikut :

1. Suatu penggambaran yang baik mengenai situasi yang dihadapi. 2. Membuat suatu analisa mengenai penilaian-penilaian yang ada dan

menempatkannya dm suatu urutan hirarki. Analisa di sini meliputi pula pemikiran mengenai apakah cara-cara yang akan dipakai tidak akan lebih menimbulkan suatu efek yang malah memperburuk keadaan.

3. Melakukan verifikasi hipotesa-hipotesa, seperti apakah suatu cara yang dipikirkan untuk dilakukan pada akhirnya nanti memang akan membawa kepada tujuan sebagaimana dikehendaki.

4. Pengukuran terhadap efek peraturan-peraturan yang ada.57

Untuk menjamin agar tercapainya fungsi hukum sebagai rekayasa sosial ke arah kehidupan yang lebih baik, maka bukan hanya dibutuhkan ketersediaan hukum dalam arti kaidah atau perturan, melainkan juga adanya jaminan atas perwujudan kaidah hukum tersebut dalam praktek

55Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial (Bandung : Penerbit Alumni, 1979), hlm. 142.

56Chaeruddin, Sosiologi Hukum (Jakarta : Sinar Grafika, 1989), hlm. 144.

Referensi

Dokumen terkait

pada kadar air minyak dan FFA tidak efektif untuk memperbaiki kualitas minyak, namun untuk angka peroksida dan angka yodium sedikit menyumbangkan perbaikan dibandingkan

Terdapat perbedaan kadar trigliserida antara kelompok diet standar ad libitum dengan kelompok diet tinggi minyak sawit maupun kelompok diet tinggi minyak sawit +

Pada sisi lain, pemupukan nitrogen kedua berbeda dosis memberikan pengaruh yang nyata pada variabel jumlah polong total per tanaman, jumlah polong berisi per

Dari hasil pengamatan diperoleh kondisi kelas yang akan diteliti sebelum diberi tindakan dengan model pembelajaran Project Based Learning, yaitu keaktifan belajar siswa

merupakan garis besar tentang hal-hal yang akan ditanyakan selanjutnya pertanyaan tersebut diperdalam [8]. Melakukan observasi penelitian dilakukan secara langsung dengan

- Kerjasama produksi dan siaran dengan radio Arab Saudi, radio Nederland, BBC, anggota ABU dalam penanganan bencana dan Green Radio. -

Pendekatan simulasi neraca massa dibantu perangkat lunak HYSYS® yang dikombinasikan dengan standar API BRD 581 untuk menghitung laju korosi memiliki potensi yang besar

Demi membangun ilmu pengetahuan, khususnya pada bidang Desain Komunikasi Visual, dengan ini saya memberikan tugas akhir perancangan ulang yang berjudul PERANCANGAN ULANG