• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makalah Hukum Jual Beli dalam Fiqih

N/A
N/A
patim

Academic year: 2025

Membagikan "Makalah Hukum Jual Beli dalam Fiqih"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH HUKUM JUAL BELI

Dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah fiqih Dosen Pengampu:

Khaeron Sirin, MA

Disusun Oleh:

Sultana Nazkilah NIM : 12405041060030 Fatimah Azzahra NIM: 12405041020016 Gendis Ayu Lestari NIM: 12405041020035

FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI MANAJEMEN DAKWAH 1A

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2024

(2)

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum, Wr. Wb.

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT Atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah penugasan mata kuliah FIQIH ini, Sholawat serta salam terus terlimpahkan kepada baginda Rasulullah SAW yang telah membawa umat manusia pada zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan seperti saat ini.

Tujuan dari pembuatan makalah ini kami susun untuk memenuhi penugasan kami, juga untuk menambah ilmu pengetahuan kami sebagai mahasiswa. Harapan kami kepada para pembaca yang sudah membaca makalah ini yaitu dapat meningkatkan pengetahuan pembaca dengan adanya makalah yang telah kami buat. Kekurangan yang terdapat dalam makalah ini merupakan salah satu kelemahan kami sebagai penulis dan akan kami jadikan bahan evaluasi serta motivasi agar terus memperbaiki dan meningkatkan kemampuan menulis kami.

Pada kesempatan ini juga kami ingin mengucapkan terima kasih sebesar besarnya kepada pihak-pihak yang sudah mendukung kami dalam pembuatan makalah ini, dan juga kepada para pembaca yang telah meluangkan waktunya untuk membaca dan memahami makalah ini. Dengan itu kami juga menerima kritik serta saran dari teman teman semua.

Tangerang, 11 November 2024

(3)

Penyusun

(4)

DAFTAR ISI

BAB I...1

PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Rumusan Masalah... 2

1.3 Tujuan Penelitian...2

BAB 2... 3

PEMBAHASAN...3

2.1 Pengertian Jual Beli...3

2.2 Dasar Hukum... 3

2.3 Syarat Jual Beli...4

2.4 Rukun Jual Beli...6

2. 5 Macam- Macam Jual Beli...8

BAB III...10

PENUTUP...10

3.1 Kesimpulan... 10

3.2 Saran...10

DAFTAR PUSTAKA...12

(5)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Jual beli merupakan salah satu bentuk transaksi yang sangat umum dalam kehidupan manusia, baik dalam konteks ekonomi, sosial, maupun budaya. Dalam Islam, jual beli bukan hanya sebuah aktivitas ekonomi, melainkan juga bagian dari syariat yang memiliki nilai-nilai moral dan etika tertentu. Islam mengajarkan bahwa jual beli yang sah dan adil adalah salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan hidup serta memperoleh keberkahan dari Allah SWT. Prinsip-prinsip yang mengatur jual beli dalam Islam tidak hanya mencakup mekanisme transaksi, tetapi juga menekankan kejujuran, keadilan, dan penghindaran dari praktik-praktik yang merugikan.

Hukum jual beli dalam Islam diatur dalam Al-Qur'an, Hadis, dan pendapat para ulama, yang menyatakan bahwa jual beli adalah suatu perjanjian yang sah selama tidak ada unsur-unsur yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam, seperti riba (bunga yang diharamkan), penipuan, atau praktik gharar (ketidakjelasan). Selain itu, hukum jual beli dalam Islam juga mencakup aspek moral dan etika, yang menekankan pentingnya kejujuran dan transparansi dalam transaksi antara penjual dan pembeli.

Dalam konteks ini, makalah ini bertujuan untuk menggali lebih dalam mengenai hukum jual beli dalam Islam, meliputi dasar-dasar hukum, prinsip-prinsip yang harus dipenuhi dalam transaksi jual beli, pengertian jual beli dalam Islam, jenis-jenis transaksi yang diperbolehkan, syarat-syarat sahnya jual beli, serta etika dan moralitas yang harus dijunjung tinggi dalam setiap transaksi jual beli.

(6)

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan jual beli?

2. Apa saja dasar hukum jual beli dalam Al-Quran dan Hadits?

3. Apa saja syarat-syarat jual beli?

4. Apa saja rukun-rukun jual beli?

5. Apa saja macam-macam jual beli?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari makalah yang berjudul hukum jual beli meliputi sebagai halnya berikut ini:

1. Memahami pengertian jual beli.

2. Mengetahui hukum jual beli.

3. Mengetahui syarat-syarat yang ada pada jual beli.

4. Mengetahui rukun-rukun jual beli.

5. Mengetahui macam-macam jual beli.

(7)

BAB 2 PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Jual Beli

Jual beli (bai') secara etimologi berarti menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain, atau memberikan sesuatu sebagai imbalan sesuatu yang lain. Bai' merupakan satu kata yang mempunyai dua makna yang berlawanan, yaitu makna "membeli" (syira) dan lawannya

"menjual" (bai'). Syira merupakan sifat yang ditujukan bagi orang yang melakukan aktivitas pembelian. Lebih jelasnya, syira ialah mengalihkan hak milik dengan imbalan harga dengan cara tertentu. Bai' juga menunjukkan makna menerima hak milik.

Singkatnya, menurut bahasa, kata bai' juga digunakan untuk pengertian "membeli".

Misalnya seperti ucapan orang Arab, "bi'tu" yang bermakna "syaraitu", begitu pula sebaliknya. Allah berfirman, "Mereka menjual (syarauhu) nya (Yusuf) dengan harga rendah,"

(QS. Yûsûf [12]: 20), dan firman-Nya, "Sungguh, sangatlah buruk perbuatan mereka yang menjual (syarau) dirinya dengan sihir," (QS. al-Baqarah [2]: 102).

Dua belah pihak yang melakukan jual beli disebut penjual (bâ'i' atau bayyi') dan pembeli (musytarih dan syarin). Istilah bai' juga digunakan untuk setiap akad yang terdiri dari serah terima (ijab qabul). Inilah jual beli yang dimaksud dalam pembahasan di sini. Adapun jual beli menurut istilah syara' ialah saling menukar harta dengan harta lainnya dengan cara-cara tertentu; atau menukar harta dengan harta lainnya yang dapat dikembangkan setelah adanya serah terima dengan cara yang telah diatur.1

2.2 Dasar Hukum

Sebagaimana yang tercantum dalam Q.S Al-Baqarah ayat 275 yang berbunyi :

نْ مِّ ةٌ ظَ عِ نْ ظَ هٗ ظَ اۤ ظَ نْ ظَ ظَ اۗ بٰ مِّ ل ظَ ظَ ظَ ظَ ظَ نْ ظَلنْ !هُ#بٰل $ظَظَ ظَ ظَ اۘ بٰ مِّ ل $هُ&نْعِ هُ نْ ظَلنْ ظَ 'ظَعِ نْوْٓ لهُ )ظَ *نْ+هُ'ظَظَ عِ ,ظَلعِ-بٰ .مِّاۗظَ لنْ ظَ عِ هُ /بٰنْ0ظَل !هُ/هُ ظَ1ظَ2ظَ3ظَ 4نْ5عِلظَ هُ نْ 6هُ3ظَ ظَ 7ظَ ا9ظَعِ :ظَنْ هُ نْ 6هُ3ظَ ا9ظَ بٰ مِّ ل :ظَنْ #هُ7هُ;نْ 3ظَ ظَ 3نْ5عِلظَظَ

:ظَنْ <هُ#عِ=بٰ +ظَنْعِ *نْ>هُ ?عِرِۚ Aظَل BهُCبٰDنْظَ ,ظَEFعِلبٰاۤ هُ ظَ Gظَ ظَ نْ ظَ ظَ !عِاۗ#بٰل ىلظَعِ هٗوْٓ هُ نْ ظَ ظَ Iظَاۗ#ظَJظَ ظَ !هٗ#ظَظَ ى+بٰ2ظَ'نْ ظَ !هٖمِّ ?ظَ

Artinya: "Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah.

1 Prof. Dr. Wahbah Zuhaili, FIQIH IMAM SYAFI’I (Jakarta: Almahira 2010) Halmn. 617

(8)

Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni- penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya." (QS Al Baqarah: 275).

Dalil hadits tentang jual beli sangat banyak,salah satunya dalam hadits riwayat Bazzar dan Al hakim yang berbunyi:

رازبلاا هاور رورُبمَ عٍيْبَ لُّكُو هدِيْبَ لُّجُرُلا لُّمَعَ لَاقَ ؟ بُيْطْأَ بُسْكَلا يُّأَ مَلَّسَو هِيْلَّعَ هِلَّلا ىلَّصَ يُّبنَّلا لُّئِسَ

مَكُاحلاو “Nabi SAW pernah ditanya; Usaha (pekerjaan/profesi) apakah yang paling

baik (paling ideal) ?, Rasulullah saw bersabda; pekerjaan (usaha) seseorang dengan tangannya dan setiap jual beli yang baik.” (HR. Bazzar dan al-Hakim).

2.3 Syarat Jual Beli

Syarat barang yang diperjualbelikan ada lima, yaitu sebagai berikut.

a. Barang harus suci.

Jual beli anjing meskipun terlatih hukumnya tidak sah. Begitu juga jual beli minuman keras, berdasarkan hadits al-Bukhari dan Muslim, Rasulullah melarang uang hasil jual beli anjing. Beliau bersabda, “Allah mengharamkan jual beli minuman keras, bangkai, dan babi.” Barang yang sejenis diqiyaskan dengan tiga benda ini.

Begitu juga tidak sah jual beli barang yang tercampur najis yang tidak dapat disucikan, seperti jual beli cuka, susu, cat, dan adonan yang tercampur kotoran, dan lemak-menurut pendapat ashah, minyak zaitun,mentega, dan madu atau sirup yang terkena najis karena termasuk dalam pengertian najis yang tidak dapat disucikan.

Adapun barang yang dapat disucikan, seperti baju yang terkena najis atau batu bata yang diolah dengan cairan najis, jual belinya sah karena la dapat disucikan. An- Nawawi menetapkan keabsahan sedekah lemak yang terkena najis untuk penerangan dan sejenisnya.

Sumber hukum pendapat ashah dalam masalah lemak, yaitu andalkan lemak dapat dijual, tentu kita tidak diperintah membuang minyak samin, seperti tersurat dalam hadits yang diriwayatkan Ibnu Hibban bahwa Rasulullah bersabda dalam kasus tikus yang mati di dalam minyak samin, “Jika minyak samin itu mengeras, buanglah tikus serta minyak yang berada disekelilingnya; jika cair maka buanglah minyak samin tersebut.”

b. Barang harus berguna menurut syariat.

Jual beli barang yang tidak berguna tidak sah, seperti jual beli serangga atau binatang buas dan burung yang tidak bermanfaat, misalnya singa, serigala, burung rajawali, dan gagak yang tidak halal dimakan (selain gagak ladang). Juga tidak sah jual beli dua biji gandum dan sejenisnya, seperti jual beli satu biji gandum merah dan sebiji anggur karena belum memenuhi asas manfaat.

Jual beli alat permainan yang diharamkan hukumnya tidak sah, karena dilarang mempergunakannya, seperti jual beli gitar, gendang. seruling, dan sejenis kecapi.

Begitu juga tidak sah jual beli patung dan lukisan karena alat tersebut tidak berguna

(9)

menurut syariat. Al-Bukhari meriwayatkan sebuah hadits yang berisi pengharaman alat musik petik, biduan, dan rebana (tamborin). Ibnu Qutaibah meriwayat- kan dari Anas bahwa Rasulullah bersabda, "Barang siapa duduk di hadapan penyanyi sambil mendengarkan alunan suaranya maka cor-coran timah panas akan dituangkan di telinganya." Hanya saja hadits tersebut dhaif. Menurut pendapat ashah, jual beli air di tepi sungai, batu hasil tambang di bukit, dan pasir di padang terbuka hukumnya sah, bagi orang yang membutuhkannya karena manfaatnya sangat jelas.

c. Barang dapat diserahkan

Jual beli suatu yang barangnya tidak dapat diserahkan hukumnya tidak sah, seperti jual beli burung yang sedang terbang di angkasa, walaupun burung itu biasa kembali ke sarangnya semula karena mengandung gharar. Namun, burung tidak bisa dipercaya, karena ia tidak berakal. Jual beli barang hilang atau dighashab juga tidak sah, kecuali dijual kepada orang yang mampu mengambilnya dari orang yang mengghashab. Dalam kondisi demikian, jual belinya sah menurut pendapat shahih karena mempertimbangkan sampainya barang tersebut pada pembeli. Kecuali usaha pengambilan barang ghashab itu memerlukan biaya, menurut pendapat zhahir, jual beli tersebut batal. Jika ternyata pembeli tidak mampu mengambil barang itu dari pengghashab, dia boleh melakukan khiyar.

Tidak sah hukumnya menjual separuh barang tertentu, seperti perabotan rumah tangga, pedang, dan sejenisnya, misalnya baju bagus yang harganya bisa turun jika bagian baju tersebut dipotong. Alasannya, menyerahkan barang tersebut sulit, menurut syariat karena harus dipecah atau dipotong lebih dulu. Tindakan ini akan menurunkan harga dan menyia- nyiakan harta. Bahkan perbuatan yang terakhir ini hukumnya haram.

d. Hak milik penjual

Sesuai dengan sabda Rasulullah, "Jual beli hanya sah dalam barang yang telah menjadi hak milik sepenuhnya." Karena itu, jual beli fudhuli (menjual harta milik orang lain tanpa surat kuasa atau perwakilan) hukumnya batal. Adapun maksud hadits Urwah al-Bariqi adalah bahwa Urwah bertindak selaku wakil mutlak dari Nabi. Seperti disebutkan dalam hadits bahwa Urwah menjual kambing sekaligus menyerahkannya.

Dalam hadits tersebut diceritakan bahwa Urwah diserahi uang satu dinar oleh Nabi untuk membeli seekor kambing, tetapi dia malah membeli dua ekor kambing.

Kemudian, dia menjual seekor kambing dengan harga satu dinar, lantas dia menghadap Nabi dengan membawa seekor kambing beserta uang satu dinar.

Orang yang menggadaikan tidak sah menjual barang yang digadaikan tanpa izin pihak penerima gadai jika barang telah diserahkan. Jika tidak demikian, gadai telah kehilangan fungsinya. Akan tetapi, seandainya seseorang menjual harta milik pewarisnya, atau melepaskan harta tersebut atas dasar dugaan pewaris masih hidup.

ternyata dia telah meninggal dunia, hukum perbuatan tersebut sah. Demikian menurut pendapat azhar. Alasannya, kekuasaan atas hak milik jelas telah terpenuhi, sebab yang

(10)

menjadi acuan adalah fakta sebenarnya, bukan dugaan pihak yang bertransaksi. Jual beli sementara dihentikan sampai ada kejelasan, bukan karena telah sah.

e. Barang diketahui kedua belah pihak

Tidak harus mengetahui dari segala segi, melainkan cukup dengan melihat wujud barang yang kasat mata, atau menyebut kadar dan ciri-ciri barang yang dijual dalam tanggungan (pemesanan) agar masing-masing pihak tidak terjebak dalam gharar. Muslim dan perawi lainnya meriwayatkan dari Abu Hurairah, dia berkata,

"Rasulullah melarang jual beli gharar.”

Jual beli barang yang tidak diketahui atau tidak dapat dilihat, hukumnya tidak sah. Jual beli seperti ini batal. Jika seseorang menjual salah satu dari dua pakaian, jual beli ini batal. Begitu juga jual beli barang yang tidak terlihat, baik oleh kedua belah pihak atau satu pihak yang mengadakan perjanjian, atau penjual berkata, "Aku jual pakaian yang ada di rumahku kepadamu," atau "Aku jual kuda hitam yang berada di kandang milikku," maka jual beli barang tersebut tidak sah karena keberadaan barang tidak jelas dan tidak terlihat, walaupun ia sebenarnya telah ditentukan. Menurut pendapat azhar, jual beli barang yang tidak jelas keberadaannya tidak sah. Sama halnya dengan kasus orang yang menjual seekor kambing dari sekawanan kambing, hukumnya tidak sah karena keberadaannya tidak diketahui.

2.4 Rukun Jual Beli

Rukun jual beli ada tiga sebagaimana disebutkan dalam al-Majmű karya an- Nawawi, yaitu sebagai berikut:

a. Pihak yang mengadakan akad (mencakup penjual dan pembeli).

Pihak yang mengadakan akad, baik penjual maupun pembeli disyaratkan telah layak melakukan transaksi. Lebih jelasnya dia telah memenuhi ketentuan berikut:

 Telah dewasa yaitu baligh, berakal, dan mampu menjalankan agama serta mengelola hartanya dengan baik. Oleh karena itu, jual beli yang dilakukan anak- anak, orang gila, dan orang yang dicekal membelanjakan harta karena ideot (safah), hukumnya tidak sah. Begitu juga dengan orang yang bangkrut, tidak sah menjual harta benda miliknya karena perkataannya dianggap batal demi hukum. Adapun jual beli yang dilakukan orang mabuk hukumnya sah, walaupun dia berdosa serta berhak mendapat hadd.

 Tanpa ada unsur paksaan yang tidak dibenarkan oleh hukum. Akad jual beli yang dilakukan oleh orang yang dipaksa menjual hartanya hukumnya tidak sah, sesuai dengan firman Allah 5%, "Kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kalian," (QS. an-Nisa [4]: 29) dan hadits shahih,

"Sesungguhnya jual beli itu berlaku atas dasar suka sama suka." Jika paksaan itu dapat dibenarkan oleh hukum, seperti perintah menjual seluruh aset peminjam oleh hakim untuk melunasi utangnya, tindakan itu sah. Adapun akad jual beli mengharuskan adanya unsur suka sama suka. Tidak sah jual beli dengan paksaan

(11)

yang tidak atas dasar hukum, seperti orang yang dipaksa untuk mengucapkan kata- kata yang menyebabkan kafir.

 Beragama Islam khusus bagi orang yang hendak membeli mushaf al-Qur'an, kitab- kitab hadits, atsar para salaf. Oleh sebab itu, menurut pendapat azhar, pembelian mushaf oleh orang kafir tidak sah.

 Tidak ada unsur permusuhan dalam kasus pembelian senjata. Karena itu, pembelian senjata oleh pihak musuh tidak sah, seperti pembelian pedang, tombak, dan berbagai perlengkapan lain yang dipersiapkan untuk perang, misalnya baju besi, tameng, dan senjata api modern. Sebab, peralatan perang itu akan mereka gunakan untuk memerangi kaum muslimin.

b. Sighat (ijab dan qabul)

Secara umum, pengertian sighat adalah ucapan atau perbuatan yang menunjukkan adanya maksud dari dua belah pihak dengan tujuan melakukan jual beli.

Artinya, sighat dapat berupa ucapan ataupun hanya cukup dilihat dari perbuatannya saja. Dalam ajaran Islam, ucapan dalam sighat yang disebutkan oleh pihak penjual bisa berupa ‘saya jual kepadamu atau saya serahkan kepadamu’. Sedangkan pihak pembeli bisa membalasnya dengan ‘Saya terima atau saya beli’. Berikut ini adalah syarat dalam sighat jual beli yang wajib dipenuhi umat muslim:

 Dalam transaksi jual beli, tentu harus ada orang yang berakad, yakni penjual dan pembeli. Jadi, tidak bisa terjadi transaksi apabila tidak ada penjual dan pembeli.

Adapun penjual merupakan pihak yang menawarkan barang atau jasa, sedangkan pembeli adalah pihak yang membutuhkan barang.

 Sighat merupakan ijab qabul yang menyatakan jika kedua belah pihak saling sepakat melakukan transaksi jual beli.

 Ada barang yang dibeli. Syarat transaksi jual beli yang selanjutna adalah adanya ma’qud ‘alaih atau barang yang dibeli. Tentu barang tersebut harus sesuai dengan kriteria yang sudah diatur dalam agama Islam dan memberikan manfaat bagi pembelinya.

 Nilai tukar pengganti barang ini nominalnya harus sesuai dan dapat diterima oleh kedua belah pihak. Saat ini nilai tukar yang digunakan oleh masyarakat muslim adalah mata uang sesuai dengan negaranya masing-masing.

c. Barang yang menjadi objek akad (harga dan barang yang diperjualbelikan)

Barang yang menjadi objek akad dalam hukum Islam disebut dengan mahalul

’aqd. Objek ini merujuk pada sesuatu yang menjadi pusat kesepakatan dalam suatu akad (perjanjian), seperti barang dalam jual beli, jasa dalam sewa-menyewa, atau mahar dalam pernikahan. Agar akad sah, objeknya harus memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu:

(12)

1. Halal dan tidak haram

Objek harus halal secara syariat dan tidak dilarang. Contohnya seperti, Barang halal seperti makanan halal, pakaian. Barang haram seperti khamr (minuman keras) dan babi tidak sah menjadi objek akad.

2. Bermanfaat

Objek harus memiliki manfaat nyata dan diakui secara syariat. Contohnya seperti Tanah, kendaraan, makanan. Tidak sah memperjualbelikan sesuatu yang tidak ada manfaatnya, seperti barang rusak total.

3. Diketahui oleh kedua belah pihak

Objek harus jelas jenis, kualitas, dan kuantitasnya. Contoh yang sah seperti,

"Saya menjual 1 kg beras premium. Contoh tidak sah seperti, "Saya menjual beras, tapi jenisnya tidak disebutkan."

4. Milik penuh atau dalam penguasaan pihak yang berakad.

Objek harus milik atau dalam wewenang pihak yang menjualnya. Tidak sah menjual barang yang bukan miliknya kecuali dengan izin pemilik.

5. Ada saat akad dilakukan

Objek harus nyata atau mungkin ada di masa depan jika disepakati. Contoh sah seperti, barang yang ada di tangan penjual. Contoh tidak sah seperti, menjual barang yang belum ada (misalnya menjual hasil panen sebelum tumbuh kecuali dengan akad salam).

6. Dapat diserahterimakan

Objek harus bisa diserahkan kepada pembeli. Contoh sah seperti, menjual rumah. Contoh tidak sah seperti, menjual burung yang belum ditangkap.

2. 5 Macam- Macam Jual Beli

a. Jual beli yang disahkan ada tiga macam, yaitu sebagai berikut:

 Jual beli barang yang dapat disaksikan langsung, seperti jual beli pulpen, tanah, atau mobil. Hukumnya boleh berdasarkan kesepakatan para ulama. Jual beli seperti inilah yang umum terjadi dalam transaksi jika syarat- syarat barang yang diperjualbelikan dan syarat serta rukun jual beli telah terpenuhi.

 Jual beli sesuatu yang ditentukan sifat-sifatnya dalam tanggungan. Jual beli seperti ini disebut akad salam (pemesanan), yaitu jual beli barang yang tidak langsung diserahkan dengan pembayaran secara tunai. Misalnya seperti, "Aku membeli gandum kepadamu dengan ciri-ciri demikian seharga satu dinar." Jual beli semacam itu hukumnya boleh, menurut ijma' ulama, dengan syarat pembeli menyebutkan ciri-ciri barang yang diperjualbelikan yang akan diserahkan pada waktu tertentu, dan dia menyerahkan pembayaran pada waktu itu juga di tempat perjanjian.

 Jual beli barang yang tidak dapat disaksikan langsung. Jual beli demikian tidak sah, menurut jumhur ulama dari kalangan sahabat dan tabi'in selain Madzhab Hanafi.

(13)

Sebab, Nabi melarang jual beli gharar. yaitu barang yang masih bias antara ada atau tidak ada.

Ketentuan ini mengecualikan barang yang tidak mengalami perubahan sebelum diterima, seperti perabotan rumah dan sejenisnya, serta barang yang sesuai dengan ciri- ciri yang telah disepakati. Jika demikian adanya, menurut Madzhab Maliki, hukumnya boleh karena adanya pengetahuan terhadap produk yang dimaksud telah terpenuhi.

Begitu juga menurut Madzhab Syafi'i, dengan syarat barang telah disaksikan terlebih dahulu. Jika barang tidak sesuai dengan ciri-ciri yang telah disepakati, pembeli boleh melakukan khiyar.

b. Jual beli yang dilarang

 Jual Beli Najasy

Secara sederhana, najasy adalah ketika seseorang menaikkan harga suatu komoditas, bukan ingin membelinya, tetapi untuk menjebak orang lain, atau memuji komoditas itu dengan pujian palsu dan membuat mereka menjualnya. Definisi laindari najasy adalah membiarkan orang yang tidak ingin membeli suatu barang tetapi menaikkan harga suatu barang.

 Jual Beli Ghubn (Penipuan, Kecurangan)

Jual beli ghubn adalah penipuan/penipuan barang oleh pembeli atau penjual, yang merupakan kebiasaan penipuan. Jual beli semacam ini dapat dilakukan dengan katakata atau tindakan, termasuk menyembunyikan cacat pada barang dagangan, meletakkan hal-hal baik di atas dan hal-hal buruk di bawah, mengecat furnitur dan peralatan lama agar terlihat seperti baru, seperti memuji produk dengan pujian palsu dan lain-lain.

 Riba

Riba adalah biaya tambahan untuk kontrak perdagangan yang tidak disertai dengan saldo tertentu. Dengan kata lain, riba adalah pengambilan tambahan atas harta utama tanpa adanya alternatif transaksi yang membenarkan kenaikan tersebut.

 Maysir

Maysir dapat diartikan mendapatkan sesuatu dengan sedikit usaha, atau keuntungan tanpa usaha, atau dengan kata lain segala sesuatu yang mengandung unsur taruhan, atau permainan resiko atau yang biasa disebut dengan spekulasi.

 Gharar

Gharar merupakan suatu hal yang tidak dapat ditentukan, sehingga dapat menimbulkan bentuk-bentuk kejahatan penipuan. Oleh karena itu, dalam pembagian unsurnya, istilah gharar memiliki 2 (dua) unsur, yaitu ketidakpastian sebagai unsur pertama dan kejahatan berupa penipuan sebagai unsur kedua.

(14)

Adanya unsur gharar yaitu unsur ketidak pastian atas barang yang diperjual belikan karena barang tersebut tidak nampak secara fisik, dan tidak dapat di sentuh secara langsung oleh calon pembeli.

(15)

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Jual beli merupakan salah satu aktivitas muamalah yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari dan telah diatur secara detail dalam syariat Islam. Secara umum, jual beli adalah transaksi pertukaran barang atau jasa dengan uang atau barang lainnya yang dilakukan dengan kesepakatan kedua belah pihak. Dalam Islam, hukum jual beli adalah mubah atau diperbolehkan, selama dilakukan sesuai dengan syariat dan tidak melibatkan unsur-unsur yang dilarang, seperti riba, gharar (ketidakpastian), dan penipuan.

Adapun syarat dan rukun jual beli mencakup penjual, pembeli, barang yang diperjualbelikan, harga, serta adanya ijab dan kabul (akad). Penjual dan pembeli harus berakal sehat, dewasa, dan bertindak atas kemauan sendiri. Barang yang dijual harus halal, bermanfaat, dapat diserahkan, dan diketahui secara jelas oleh kedua pihak.

Macam-macam jual beli dalam Islam mencakup jual beli yang disahkan dan jual beli ya dilarang. Jual beli barang yang dapat disaksikan langsung dengan memahami konsep, hukum, syarat, dan jenis-jenis jual beli dalam Islam, umat Muslim dapat menjalankan transaksi ekonomi dengan etika yang baik dan sesuai dengan ketentuan agama.

3.2 Saran

Sebagai saran, kami menyarankan pembaca agar dapat mempelajari lebih dalam terkait hukum jual beli dalam Islam, karena pemahaman yang baik tentang prinsip-prinsip jual beli akan memberikan manfaat yang besar, baik dari segi spiritual maupun praktik sehari-hari.

Selain itu, disarankan juga untuk selalu memastikan bahwa setiap transaksi yang dilakukan bebas dari unsur-unsur yang dilarang seperti riba, gharar, atau penipuan.

(16)

(17)

DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. Wahbah Zuhaili, FIQIH IMAM SYAFI’I: Almahira, Jakarta 2010

Syaifullah M.S. 2014, ETIKA JUAL BELI DALAM ISLAM. [diakses 2024 18 Nov].

https://www.jurnalhunafa.org/index.php/hunafa/article/download/361/pdf

Referensi

Dokumen terkait

ulama madhhab yang berkaitan dengan transaksi jual beli mata uang yang penyelesaiannya dilakukan paling lambat dalam jangka waktu dua hari.. Dalam fiqih, jumhur

Berdasarkan prinsip-prinsip agung yang diuraikan dalam buku ini, dapat diketahui bahwa muamalah dalam jual beli tidak dapat dikeluarkan dari mubah kepada haram

JUAL BELI BAJU BATIK DENGAN SISTEM KONSINYASI DALAM PERSPEKTIF HUKUM EKONOMI SYARIAH (Studi Di Rumah Batik Yaa Salaam-Sallimna Pekalongan). Sistem jual-beli konsinyasi

Berdasarkan uraian yang telah penulis paparkan terdahulu, penulis akan menganalisis hukum jual beli gharar menurut perspektif Syafi’iyah terhadap transaksi jual beli

Sehingga solusi yang ditawarkan fiqih jual beli dalam permasalahan ini adalah dengan cara melakukan hak khiyar aibi dimana ketentuannya adalah konsumen boleh

Praktik Jual Beli Online Perspektif Hukum Ekonomi Syariah Studi pada Hijrah Olshop Palopo” menggunakan penelitian kualitatif dan meneliti tentang jual beli membahas tentang jual beli

Makalah ini membahas tentang teori kepemilikan dalam Islam yang disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqih

Makalah ini membahas tentang konsep harta dalam perspektif Fikih Muamalah dan ditujukan untuk memenuhi tugas mata