• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEJARAH DAN KONSEP PENJARA DALAM ISLAM (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "SEJARAH DAN KONSEP PENJARA DALAM ISLAM (1)"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

SEJARAH DAN KONSEP PENJARA DALAM ISLAM Definisi Penjara

Penjara dalam bahasa Arab disebut ننججسسسلا secara bahasa artinya menahan. Dan yang dimaksud di sini adalah tempat di mana orang-orang dikurung dan

dibatasi dari segala kebebasan karena suatu pelanggaran atau tuduhan.

Syariat Penjara Dalam Islam

Al-Qur'an telah mengabarkan bahwa penjara sudah ada sejak lama. Allah لسجوزسع

berfirman tentang Nabi Yusuf ملسلا هيلع:

ننيلسهساجنلجا ننمس نجكنأنون نسنهسيجلنإس بنصجأن نسنهندنيجكن ينسسعن فجرسصجتن لإسون هسيجلنإس ينسننوعندجين امسنمس يسنلنإس بسنحنأن ننججسسسلا بسسرن لناقن Yusuf berkata: "Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi

ajakan mereka kepada-ku. Dan jika tidak Engkau hindarkan daripadaku tipu

daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka)

dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh." (QS. Yusuf [12]: 33)

عنضجبس نسججسسسلا يفس ثنبسلنفن هسبسسرن رنكجذس نناطنيجشسنلا هناسننجأنفن كنبسسرن دننجعس ينسرجكنذجا امنهننجمس ججانن هننسنأن نسنظن يذسلسنلس لناقنون ننينسسس Dan Yusuf berkata kepada orang yang diketahuinya akan selamat di antara

mereka berdua: "Terangkanlah keadaanku kepada tuanmu. "Maka setan

menjadikan dia lupa menerangkan (keadaan Yusuf) kepada tuannya. Karena

itu, tetaplah dia Yusuf) dalam penjara beberapa tahun lamanya. (QS. Yusuf

[12]: 42)

Penjara disyari'atkan dalam al-Qur'an, hadits, dan ijma':

1. Dalil al-Qur'an

مجهسيدسيجأن عنطسنقنتن وجأن اوبنلسنصنين وجأن اولنتسنقنين نجأن ادداسنفن ضسرجلا يفس ننوجعنسجينون هنلنوسنرنون هنلسنلا ننوبنرساحنين ننيذسلسنا ءنازنجن امننسنإس

مميظسعن بماذنعن ةسرنخسلا يفس مجهنلنون ايننجدسنلا يفس يمزجخس مجهنلن كنلسذن ضسرجلا ننمس اوجفننجين وجأن فجلخس نجمس مجهنلنجنرجأنون Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan

Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh

(2)

atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai)

suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh

siksaan yang besar. (QS. al-Maidah [5]: 33)

Segi perdalilannya dari firman-Nya: "atau dibuang dari negeri (tempat

kediamannya)" salah satu penafsirannya adalah dengan dipenjarakan.

(Tabyinul Haqaiq 4/179 oleh az-Zaila'i) .

2. Hadits

ةجمنهجتن يفس الدجنرن سنبنحن منلسنسنون هسيجلنعن هنلسنلا ىلسنصن يسنبسنسنلا نسنأن هسدسسجن نجعن هسيبسأن نجعن مجيكسحن نسبج زسهجبن نجعن

Dari Bahz bin Hakim dari ayahnya dari kakeknya bahwasanya Nabi هللا ىلص

ملسو هيلع menahan/memenjarakan seorang karena suatu tuduhan. (HR. Abu Dawud 3603 dan dihasankan al-Albani)

3. Ijma'

Penjara sudah ada semenjak dahulu kala, juga pada zaman Nabi هللا ىلص

ملسو هيلع dan para sahabat sampai zaman sekarang tanpa ada yang mengingkarinya. Imam Zaila'i mengatakan, "Adapun ijma', karena para

sahabat dan orang-orang setelah mereka telah bersepakat tentangnya."

(Tabyinul Haqaiq 4/179)

PENJARA bukanlah hal asing dalam kisah heroik para pahawan. Penjara

tidak selalu digunakan untuk memberikan efek jera bagi para penjahat. Seringkali

orang-orang yang berani menyuarakan kebenaran dan berkonfrontatif dengan

kezaliman akan dipenjarakan dan diasingkan.

Masalahnya, justru di balik jerujilah mati/hati mereka menunjukkan

ketajamannya. Banyak di antara kisah mereka yang sangat masyhur seperti kisah

Nabi Yusuf as, Imam Ahmad , Sa’id Bin Jubair, Sayyid Qutbh , Hasan al

Hudhaibi, Pangeran Diponegoro dan pahlawan Cut Nyak Dien serta ulama Buya

Hamka.

(3)

di penjara. Ada Buya Hamka yang menulis Tafsir Al Azharnya hingga 30 jilid.

Bagi para pejuang, penjara bukanlah belenggu yang dapat menghentikan

perjuangan mereka. Di antara para pejuang yang memberikan keteladan di dalam

penjara adalah Hasan al Hudhaibi.

Hasan al Hudhaibi adalah mursyid ‘am kedua Al-Ikhwan Al-Muslimun, yang

kini menjadi tertuduh rezim militer Mesir. Syeikh Hasan al Hudhaibi lahir di arab

Ash-Shawa-lihah, distrik Syabin Al-Qnathir, pada tahun 1309 H, bertepatan

dengan bulan Desember, tahun 1891 M. Ia belajar al-Qur’an di sekolah desanya.

Hasan al Hudhaibi sebelum bergabung dengan gerakan Ikhwanul Muslimin adalah

seorang hakim penasihat di mahkamah kasasi. Ia menjalani kepemimpinan

Ikhwanul Muslimin di masa-masa yang cukup berat. Ia menjalanani kepemininan

Setelah Imam Hasan al-Banna (Mursyid ‘am pertama Al-Ikhwan Al-Muslimun)

dibunuh oleh rezim kerajaan yang zalim. Pada masanya ia dihadapkan oleh rezim

Jamal Abdul Naser yang mengkhianati serta menzalimi gerakan Ikhwanul

Muslimin.

Karena pengkhianatan tersebut, Hasan al Hudhaibi harus mendekam di

penjara sang rezim. Penjara bukanya menjadi momok bagi sang Imam, justru

menjadi sarana tarbiyah kepada para kader ikhwan. Beliau memberikan keteladan

bagaimana bersikap teguh, sabar, dan tegas dalam situasi penindasan rezim.

Antara Penjara dan Negara Islam

Kepada kader ikhwan di dalam penjara ia pernah berkata dalam pesan-pesan

yang sangat dalam maknanya. “Penjara adalah kondisi kejiwaan, bukan dinding

dan rantai”. Ia juga pernah menyampaikan pesan penting lain dengan mengatakan,

“Dirikan Negara Islam di jiwa kalian, niscaya Negara Islam berdiri di negeri

kalian.” [dalam “Memoir Imam Hasan al –Hudhaibi”, An Nadwah]

Hudhaibi memberikan penekanan kepada para kadernya bahwa, Negara Islam

(4)

menekankan pemantapan jiwa bagi seorang kader dakwah. Karena sudah menjadi

Sunatullah dalam perjalanan dakwah pasti akan mendapatkan tantangan, ancaman,

dan gangguan dari para penopang kebathilan.

“Medan perang kalian yang pertama ialah jiwa kalian.Jika kalian berhasil

mengalahkan jiwa kalian, maka kalian lebih sanggup mengalahkan medan lainya.”

Ia juga sangat menjunjung tinggi akhlak Islam dalam dakwahnya. Pernah suatu

ketika sebelum ia dipenjarakan oleh rezim revolusioner Mesir. Rezim tersebut

melakukan pengkhianatan dan penindasan sadis kepada jama’ah al Ikhwan al

Muslimin, seperti layaknya saat ini.

Maka salah seorang pengikut Hasan Al Hudhaibi ingin pergi ke kantor Rezim

Revolusioner, namun Hasan al Hudhaibi justru menasehati orang tersebut dengan

mengatakan, ”Jika seluruh ikhwanati dan dakwah mempunyai pelindung, maka

itu lebih baik dari pada sampai di puncak kemenangan dengan jalan

pengkhianatan. Kita orang Muslim sebelum segalanya. Jika kita menguasai dunia

dengan membunh akhlak Islam, maka kita rugi.”

Itulah segelintir kisah Imam Hasal al Hudhaibi. Kendati ia kini telah

meninggal dunia, namun kisah perjuanganya telah memberikan kita teladan

terindah tentang kesabaran saat bertemu musuh dan tegar di atas kebenaran.

Ia mengajarkan kepada kita tentang arti kebebasan yang sesungguhnya.

Kebebasan yang tidak pernah bisa dihalang-halangi oleh tembok-tembok beton

atau jeruji-jeruji besi yang mengekang fisik kita. Sebagaimana kalimatnya,

“Penjara adalah kondisi kejiwaan, bukan dinding dan rantai.”

Sejarah Penjara Dalam Islam

Telah dimaklumi bersama bahwa Rasulullah ملسو هيلع هللا ىلص dan khalifah

Abu Bakar ash-Shiddiq هنع هللا يضر tidak membuat penjara dalam tempat tertentu,

tetapi hanya di rumah atau diikat di salah satu pagar masjid dan sebagainya.

(5)

Khilafah Islamiyyah semakin menyebar, beliau membeli rumah Shafwan bin

Umayyah yang di Makkah dengan 4.000 dirham dan menjadikannya sebagai

tempat penjara. Maka tercatatlah Umar هنع هللا يضر sebagai orang yang pertama

kali membuat rumah penjara dalam Islam, (ath-Thuruq al-Hukmiyyah fis Siyasah

Syar'iyyah oleh Ibnul Qayyim hlm. 140-141, Tabshiratul Hukkam oleh Ibnu Farhun 2/215)

Ketika pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib هنع هللا يضر, beliau membangun (bukan membeli) rumah penjara dan memberinya nama "Penjara

Nafi' (yang bermanfaat)". Namun, sayangnya, penjara yang beliau bangun

tersebut tidak kokoh sehingga banyak orang yang dipenjarakan lepas. Setelah itu,

beliau membangun penjara baru lagi yang beliau beri nama Mukhayyis. Maka

tercatatlah dalam sejarah bahwa Ali هنع هللا يضر adalah pembangun rumah penjara

untuk pertama kali dalam Islam. (Tabyinul Haqaiq oleh az-Zaila'i 4/179)

“Barangsiapa yang mengajak kepada petunjuk, maka baginya ada pahala

yang sama dengan pahala orang yang mengikutinya dan tidak dikurangi

sedikitpun juga dari pahala-pahala mereka.” (HR Muslim no. 2674).

Konsep Penjara dalam Islam

Islam memiliki konsep tentang hukum pidana. Dalam pembahasan kali ini

disampaikan bagaimana gambaran ringkasi konsep penjara di dalam Islam.

1. Islam tidak pernah mencampurkan antara takzir dengan hukum yang sudah

ada di dalam Alquran. Hukum yang sudah ditetapkan di dalam Alquran

misalnya adalah qishash.

Di Indonesia itu aneh. Pernah ada kasus pembunuhan terhadap keluarga

marinir. Sugeng sang pembunuh, menulis surat kepada SBY untuk mengajukan

protes karena ia merasa dizhalimi. Pasalnya, dia akan dieksekusi mati padahal

telah dipenjara selama dua puluh tahun. Memang sekarang ini sudah

(6)

yang Poligami akan dipecat.

2. Narapidana tidak boleh dihalangi untuk mendapatkan hak-haknya berupa

mendapatkan cahaya matahari, air, udara, pendidikan, serta kebutuhan

biologis.

Penjara dalam Perspektif Fiqh Jinayat 1. Pendahuluan

Ketika Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Mafia Hukum melakukan

inspeksi mendadak di awal tahun 2010, dan menemukan “hotel mewah” di rutan

Salemba, masyarakat mempertanyakan tentang fungsi penjara yang selama ini

berganti nama dengan Lembaga Pemasyarakatan (LP) di Indonesia ini. Artalyta

Suryani, terpidana kasus suap Rp 6 miliar kepada jaksa Urip Tri Gunawan, yang

menikmati fasilitas itupun merasa bahwa perlakuan ini sesuatu yang wajar. Dari

ruang tahanan itu pula dia rutin mengadakan rapat bisnis dengan anak buahnya.

Penjara yang di Indonesia dikenal sejak tahun 1905 pada mulanya

diperuntukkan untuk para tahanan politik. Mereka yang menantang pemerintah

Hindia Belanda dijebloskan ke penjara sebagai tempat pembalasan atas tindakan

kriminal perlawanan terhadap Belanda. Konsep inilah yang hingga saat ini

menjadi pegangan khususnya para pengambil kebijakan untuk meneruskan

eksistensi pidana penjara.

Sekarang ini penjara yang merupakan Unit Pelayanan Teknis di bawah

Departemen Hukum dan HAM RI, telah beralih nama Lembaga Kemayarakatan.

Namun, dalam action-nya belum bisa berfungsi dengan maksimal. Ada dua alasan

klise yang menjadi kendala. Pertama, masalah otonomi yang terkait dengan

terbatasnya pilihan dalam perencanaan dan penganggaran. Kedua, adalah masalah

teknologi, yaitu kemampuan pelaksanaan fungsi teknis khususnya pola, bentuk,

substansi dan kapasitas pendukung proses pembinaan. Dengan masalah tersebut

(7)

dilaksanakan secara maksimal.

Gagasan Negara Tanpa Penjara yang pernah digulirkan oleh beberapa tokoh

perlu mendapat apresiasi di saat ketidakmampuan Negara menjalankan fungsi

penjara senbagaimana mestinya. M Cherif Bassiouni (2009), seorang ahli hukum

Pidana Islam (Islamic Criminal law) menyatakan bahwa hukum pidana penjara

penuh dengan gambaran hukuman masa lampau. Teori retributif (teori

pembalasan) yang dikenal dalam hukum pidana merupakan a realistic of

barbarism. Begitu juga dengan International Conference in Prison Abolition

(ICOPA) dalam Konggres ke 3 tahun 1987 menggagas pergeseran dari prison

abolition menjadi penal abolition. Bahkan Professor Hazairin Hukum Adat dan

Hukum Islam Fakultas Hukum Universitas Indonesia tahun 1980-an pernah

menerbitkan buku dengan judul Tujuh Serangkai Tentang Hukum, tepatnya di

bawah judul ”negara tanpa penjara”.

Seiring dengan penghargaan yang tinggi terhadap Hak Asasi Manusia, konsep

penjara seakan perlu dievaluasi eksistensi penjara baik dari aspek teori maupun

praktis. Tulisan ini mencoba melakukan analisis secara teoritik wabil khusus dari

perpektif ilmu pidana Islam (fiqh jinayat).

2. Teori Hukuman dalam Fiqh

Hukuman atau punishment berarti a penalty imposed on an offender for a

crime or wrong doing (Neufeldt, 1996:1091) (hukuman yang dijatuhkan kepada

pelanggar kejahatan atau melakukakan kesalahan), sedangkan dalam istilah

bahasa Arab dikenal dengan kata ةبوقع (‘uqūbah) yang berarti siksa atau hukuman

(Munawwir, 1996:952) yaitu hukuman atas perbuatan yang melanggar ketentuan

Syari’ yang ditetapkan untuk kemaslahatan masyarakat.

Dalam konteks Negara kita, pidana penjara adalah salah satu jenis pidana

pokok yang terdapat dalam KUHP yang berlaku sekarang (Ius Constitutum) dan

(8)

penjara masih menjadi ‘primadona’ dalam hukum pidana Indonesia.

Menurut kamus hukum, penjara adalah tempat di mana orang-orang dikurung

dan dibatasi berbagai macam kebebasannya. Mereka dikirim ke penjara dalam

rangka mempertanggungjawabkan tindak kriminal, bukan utnuk pindah tempat

tinggal atau tempat berkator. Penjara diharapkan mampu meredam tindak kriminal

yang dilakukan oleh pelaku kriminal yang meresahkan masyarakat (Arief: 2010).

Penjara janganlah menjadi school of crime (sekolah kriminal), yang semula

penjahat kecil namun setelah masuk penjara justru tambah kebal dengan

kejahatan.

Dalam khazanah hukum Islam, pidana penjara biasa disebut dengan al-habsu

atau al-sijnu, yang secara etimologi berarti mencegah dan menahan. Sedangkan

istilah hukuman dalam hukum pidana Islam sebagaimana dikemukakan oleh Abd

al-Qadir Audah (tt: 609),

عراشلا رما نايصع ىلع ةعامجلا ةحلصمل ررقملا ءازجلا ىه ةبوقعلا

Hukuman adalah pembalasan yang ditetapkan untuk kemaslahatan masyarakat,

karena adanya pelanggaran-pelanggaran atas ketentuan syara’.

Berdasarkan pengertian bahasa di atas dapat dipahami bahwa hukuman

(punishment/uqūbah) adalah segala bentuk siksa, sanksi atau sejenisnya yang

dikenakan kepada seseorang akibat dari perbuatannya yang melanggar

ketententuan-ketentuan atau peraturan, baik yang ditetapkan oleh Tuhan dalam

firman-firman-Nya ataupun peraturan yang disepakati bersama mayarakatnya,

seperti norma, perundang-undangan dan sejenisnya.

Para ahli hukum Islam mengklasifikasi tujuan-tujuan dari syariat adalah

dalam rangka mencapai kemashlahatan tingkat dharuri (primer), hajji (skunder),

dan tahsini (tersier) (Khallaf: 1978). Sedangkan tujuan pokok dalam penjatuhan

hukuman dalam syari’at Islam ada dua, yaitu pencegahan (رجز) dan pengajaran

atau pendidikan (بيذهت). (Hanafi, 1967: 255).

(9)

jarimahnya atau agar ia tidak terus menerus melakukannya. Disamping itu juga

sebagai pencegahan terhadap orang lain agar ia tidak melakukan perbuatan

jarimah, sebab ia mengetahui hukuman yang diterima bila ia melakukan perbuatan

jarimah serupa. Perbuatan-perbuatan yang diancam hukuman dapat berupa

pelanggaran terhadap larangan atau meninggalkan kewajiban. Dalam keadaan

seperti itu boleh jadi hukuman meninggalkan kewajiban jauh lebih berat, karena

tujuan penjatuhan hukuman pada meninggalkan kewajiban ialah memaksa pelaku

untuk mengerjakan kewajiban.

Begitu juga dalam hukum pidana umum, tujuan pemidanaan yang

berkembang dari dahulu sampai sekarang telah semakin munjurus ke arah yang

lebih rasional. Tujuan pemidanaan yang paling tua adalah pembalasan (revenge)

atau untuk tujuan memuaskan pihak yang dirugikan atau yang menjadi korban

kejahatan. Hal ini bersifat primitif, tetapi kadang-kadang masih terasa

pengaruhnya pada zaman modern ini.

Sekarang ini berkaitan dengan tujuan pemidanaan, paling tidak terdapat 3

golongan utama teori untuk membenarkan penjatuhan pidana, yaitu: (1) teori

absolut atau teori pembalasan (vergeldingstheorien), (2) teori relatif atau teori

tujuan (doeltheorien), dan (3) teori gabungan (verenigingstheorien).

Teori yang pertama muncul pada akhir abad ke 18, dianut antara lain oleh

Immanuel Kant, Hegel, Herbart, Stahl, Leo Polak dan beberapa sarjana yang

mendasarkan teorinya pada filsafat. Teori ini menyatakan bahwa pemidanaan

tidaklah bertujuan untuk hal-hal yang praktis, seperti memperbaiki penjahat.

Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur untuk diajtuhkannya

pidana. Pidana secara mutlak ada, karena dilakukannya kejahatan. Oleh karena

itulah maka teori ini disebut teori absolut.

Yang kedua, teori relative yang menyatakan bahwa tujuan pemidanaan adalah

(10)

memperbaiki atau membinasakan. Yang ketiga teori gabungan antara pembalasan

dan prevensi terdapat beberapa variasi.

Shiddiqie (1997:5297) membagi macam-macam hukuman dalam Islam

menjadi dua bentuk, yaitu: hukuman akhirat (ةيورخلا ةبوقعلا) dan hukuman dunia ( ةيويندلا ةبوقعلا). Hukuman akhirat merupakan kehendak Allah Swt, adalah hukuman yang benar (haq) dan adil (‘adl), ia dapat berbentuk azab atau ampunan dari-Nya.

Adapun hukuman dunia menurutnya ada dua macam pula, yaitu: hudud dan takzir.

Hudud adalah hukuman-hukuman yang telah ditentukan bentuknya oleh

Syari’ dengan nash-nash yang jelas. Hukuman had menurut Hanafiyah ada tujuh

macam yaitu, had zina, had qadzf, had pencurian, had minum hamr, dan had

mabuk. Sedangkan menurut jumhur ulama selain Hanafiyah ada tujuh macam

yaitu had zina, had qadzf, had pencurian, had hirabah, had mabuk-mabukan, had

qisas, had riddah.

Al-Hudud, sanksi hukum yang tertentu dan mutlak yang menjadi hak Allah,

yang tidak dapat diubah oleh siapa pun. Sanksi itu wajib dilaksanakan, manakala

syarat¬syarat dari tindak pidana itu terpenuhi. Sanksi ini di¬kenakan kepada

kejahatan-kejahatan berat seperti zina, sariqah, riddah, qadzaf dan lain-lain.

Sedangkan Qishash adalah sanksi hukuman pembalasan seimbang, seperti

membunuh terhadap si pembunuh. Al-Diyat adalah sanksi hukuman dalam bentuk

ganti rugi, seperti jika ahli waris si terbunuh memberi maaf maka hukuman

alternatif adalah diyat. Sanksi hukum Qishash dan Diyat adalah merupa¬kan

sanksi hukum perpaduan antara hak Allah dan hak manusia.

Sedangkan Takzir, adalah sanksi hukum yang diserahkan kepada keputusan

hakim atau pihak berwenang yang berkompeten melaksanakan hukuman itu,

seperti memenjarakan, mengasingkan dan lain-lain. Inilah keluwesan takzir

sebagai bentuk hukum Islam yang shalihun likulli zamanin wamakanin.

(11)

hukum) dan hukum tatbiqi (penerapan hukum). Sangsi penjara merupakan salah

satu bentuk upaya hukum dalam ranah tatbiqi. Untuk itu dalam pespektif fiqh

jinayat, sangsi penjara tetap diberlakukan apabila oleh hakim dibutuhkan dan tepat

untuk memberikan balasan dan pendidikan bagi pelaku kejahatan.

3. Pidana Penjara dalam Perspektif Fiqh Jinayat

Hukum pidana Islam sebagai sebuah sistem hukum, mempunyai tiga aspek

kajian; yakni tindak pidana ( rukn al-amali ), pertanggungjawaban pidana ( rukn

al-madi ), dan pidana atau hukuman ( rukn al-syar"i ). Tiga aspek tersebut harus

dipahami secara simultan sehingga akan menggambarkan hukum pidana Islam

sebagai sebuah sistem hukum yang universal (Zuhaili, 1997).

Banyak umat Islam yang memahami hukum pidana Islam hanya dilihat dari

satu rukun yakni rukun syar’i, yakni materi pidana, sehingga hukum Islam hanya

difahami dari aspek pidana/ hukuman ( uqubat ) seperti hukum mati, potong

tangan, rajam (terpidana dilempar batu hingga mati), penjara, dan jilid (terpidana

dipukul dengan rotan). Padahal hukum pidana Islam juga membahas tentang

pertanggungjawaban pidana dan perbuatan pidana. Dengan memahami perbuatan

hukum dan pertanggungjawaban hukum sekaligus, wajah hukum pidana Islam

tidak terkesan bengis, barbarian ala Arab pada masa klasik.

Dari ketiga rukun tersebut, yang mempunyai relevansi dengan tulisan ini

adalah menyangkut masalah pidana dan pemidanaan. Ancaman pidana yang

dikenakan pada tiap-tiap perbuatan pidana hakekatnya adalah menggambarkan

ketercelaan dan keseriusan perbuatan yang bersangkutan. Dalam hukum pidana

Islam (fiqh jinayat), hukum qishosh diyat berbeda dengan hudud, begitu juga

dengan takzir yang secara substansial lebih rendah dari qishosh dan hudud.

Untuk qishosh, diyat dan hudud mestinya sudah jelas dituliskan dalam

nash-nash agama, tetapi untuk takzir ini yang rawan dengan subyektifitas. Dalam

(12)

prevea lege poenali (tak ada delik tanpa aturan yang tertulis dalam hukum). Begitu

juga dengan fiqh jinayat mengena la jarimata wa la uqubata illa binasshin (tidak

ada jarimah (tindak pidana) dan tidak ada hukuman kecuali ada nash yang

menunjukkan (Audah: tth).

Siddiqi (1987:204-6) membagi takzir, dilihat dari manfaat nya, menjadi tiga

hal:

1. Takzir atas maksiyat, yakni maksiyat yang tersebut dalam nash, seperti riba,

risywah, makan harta anaka yatim.

2. Takzir untuk kemaslahatan, seperti menakzir bapaknya seorang anak yang

melakukan tindak pidana, dengan harapan ada perhatian dari orang tua.

3. Takzir atas perbuatan yang diperselisihkan, seperti melakukan perbuatan

makruh atau meninggalkan perbuatan yang sunnah.

Adapun bentuk-bentuk pidana takzir yang dikenal dalam teks fiqh jinayat di

antaranya; menyalib, jilid, pernjara, perampasan harta benda, dan lain lain. Di

antara takzir yang hingga sekarang ini banyak diberlakukan di beberapa Negara

adalah pidana penjara atau pengasingan. Istilah penjara yang menggunakan kata

al-habsu atau al-sijnu dalam bahasa Arab, bahkan dijadikan sebagai pidana pokok

dalam kitab undang-undang Hukum Pidana Negara-negara di dunia.

Di dalam Pasal 10 KUHP di Negara Indonesia misalnya diatur tentang

jenis-jenis pidana, yaitu yang terdiri dari pidana pokok (pidana mati, pidana penjara,

pidana kurungan, pidana denda, dan pidana tutupan), dan pidana tambahan yang

terdiri dari: pencabutan hak-hak tertentu dan perampasan barang-barang tertentu

serta pengumuman putusan hakim.

Lebih lanjut berkenaan dengan pidana penjara dalam Pasal 12 KUHP

ditegaskan:

(1)pidana penjara adalah seumur hidup atau selama waktu tertentu;

(2)pidana penjara selama waktu tertentu paling pendek adalah satu hari dan

(13)

(3)pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk dua puluh tahun

berturut-turut dalam hal kejahatan yang pidananya hakim boleh memilih antara

pidana mati, pidana seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu;

begitu juga dalam hal batas lima belas tahun dapat dilampaui karena

perbarengan (concursus), pengulangan (residive) atau karena ditentukan dalam

Pasal 52 dan 52a.

Dalam berbagai kitab fiqh, pembahasan penjara menjadi bagian yang tak

terpisahkan dengan takzir. Berbagai perbuatan jarimah yang tidak masuk dalam

qishash diyat dan hudud dikenai dengan hukuman takzir. Contohnya antara lain

perbuatan menuduh zina atau qadhaf yang dilakukan oleh orang tua terhadap

anak-anaknya, apabila orang tua tidak bisa mengajukan empat orang saksi, maka

hukuman yang diberikan cukup dengan penjara atau pengasingan (Nihayah:

26/33).

Begitu juga dengan pencurian yang tidak memenuhi satu nishab. Bagi seorang

pencuri demikian tidak dipotong tangan tetapi di penjara sesuai dengan keyakinan

hakim. (Tuhfah:18/346).

Yang perlu menjadi catatan adalah bahwa meski penjara senantiasa eksis

dalam setiap generasi fiqh, tetapi fiqh tidak merumuskan institusi penjara. Artinya

eksistensi penjara merupakan upaya penyesuaian fiqh dengan konteks di mana

fiqh berkembang.

Dalam perspektif ushul fiqh, hukum terbagi menjadi hukum ashliyyah dan

hukum muayyidat (Zarqa: tt). Hukum ashliyyat adalah inti atau substansi dari

hukum-hukum yang dijelaskan Allah dalam nash-nash sucinya. Potong tangan

bagi pencuri misalnya, yang paling substansi adalah larangan mencurinya karena

akan merugikan orang lain. Memotong tangan atau memenjarakan seorang pelaku

adalah hukum muayyidatnya yakni sangsi-sangsi hukum yang digunakan dalam

(14)

Hukuman penjara mestinya hanyalah sebagai hukum muayyidat yang menjadi

penguat dalam rangka menegakkan hukum-hukum Allah SWT. Sedangkan

penjara, pengasingan atau sangsi hukum lainnya hanyalah pelengkap. Untuk itu

hukum pidana Islam memandang efektifitas hukuman seperti penjara atau lainnya

disesuaikan dengan kondisi kekinian. Penjara bukan satu-satunya media untuk

menyadarkan dan menjerakan seseorang untuk berhenti untuk melakukan

pelanggaran hukum.

Sumber:

http://imamyahya.blogspot.com/2010/04/penjara-dalam-perspektif-fiqh-jinayat.html

http://m.hidayatullah.com/kajian/sejarah/read/2014/01/16/14920/hasan-al-hudhaibi-antara-negara-islam-dan-penjara.html#.VJj_FuBloGw

http://kisahislam.net/2012/07/31/penjara-pertama-kali-dalam-islam/

http://immfaiuad.wordpress.com/2009/02/01/konsep-penjara-dalam-islam/

Referensi

Dokumen terkait

NURUL ILMI. Kesesakan, Iritabilitas, Agresivitas dan Kesejahteraan Subjektif Keluarga yang Tinggal di Rumah Susun Jatinegara Barat. Dibimbing oleh EUIS

Oleh karena itu, masalah pemberdayaan orangtua berbasis penerimaan terhadap anak dalam penanganan anak ADHD akan mendukung pelayanan yang dilakukan oleh dokter dan terapis

Hasil tersebut didukung oleh penelitian Endahsari (2010) yang menjelaskan bahwa melalui penerapan pembelajaran inkuiri terbimbing dengan model pembelajaran

Limbah laboratorium menghasilkan karakteristik yang unik, kontras dengan limbah yang dihasilkan oleh kegiatan industri. Limbah bahan yang berasal dari laboratorium

Jika hal kesalahpahaman tidak dapat diselesaikan sendiri oleh pasangan suami isteri, dan perselisihan telah mencapai satu tingkat yang mengancam kelangsungan hidup rumah

Secara definisi bahwa pengertian pengembangan koleksi dalam proses pengadaan koleksi bahan perpustakaan yaitu proses seleksi, pemesanan, dan penerimaan bahan-bahan untuk koleksi

nilai Set Shoot sebesar 20,38 sedangkan Jump Shoot sebesar 18,63 dan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara nilai hasil latihan shooting dengan awalan dan nilai hasil

Hal ini dapat dijelaskan bahwa dalam menilai pengetahuan ini diwakili sebanyak 7 (tujuh) pertanyaan yang mencakup tentang ; tanda dan gejala malaria, penularannya, pencegahannya,