BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
1. Dukungan Keluarga 1.1 Definisi Keluarga
WHO (1969 dalam Mubarak, 2006) mendefinisikan bahwa keluarga
adalah anggota rumah tangga yang saling berhubungan melalui pertalian
darah, adopsi atau perkawinan. Menurut UU No.10 Tahun 1992 tentang
Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera,
keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari suami, istri
atau suami istri dan anaknya atau ayah dan anaknya atau ibu dan anaknya.
Sedangkan Departemen Kesehatan Republik Indonesia (1998 dalam
Mubarak, 2006) menyatakan bahwa keluarga adalah unit terkecil dari
suatu masyarakat yang terdiri dari kepala keluarga dan beberapa orang
yang terkumpul dan tinggal di suatu tempat dibawah suatu atap dalam
keadaan saling ketergantungan.
Pakar konseling keluarga dari Yogyakarta, Sayekti (1994 dalam
Setiadi, 2008) menulis bahwa keluarga adalah suatu ikatan atau
persekutuan hidup atas dasar perkawinan antara orang dewasa yang
berlainan jenis yang hidup bersama atau seorang laki-laki atau seorang
perempuan yang sudah sendirian dengan atau tanpa anak, baik anaknya
sendiri atau adopsi, dan tinggal dalam sebuah rumah tangga.
keterikatan aturan dan emosional di mana individu mempunyai peran
masing-masing yang merupakan bagian dari keluarga.
1.2 Definisi Dukungan Keluarga
Friedman (1998) menyatakan bahwa dukungan keluarga adalah sikap,
tindakan, dan penerimaan keluarga terhadap penderita yang sakit.
Anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung
selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan.
Kane (1988 dalam Friedman, 1998) mendefinisikan dukungan
keluarga sebagai suatu proses hubungan antara keluarga dengan
lingkungan sosialnya. Ketiga dimensi interaksi dukungan keluarga tersebut
bersifat reprokasitas/timbal balik (sifat dan frekuensi hubungan timbal
balik), advis/umpan balik (kuantitas dan kualitas komunikasi), dan
keterlibatan emosional (kedalaman intimasi dan kepercayaan) dalam
hubungan sosial.
1.3 Sumber Dukungan Keluarga
Friedman (1998 dalam Akhmadi, 2009) menyatakan bahwa dukungan
sosial keluarga mengacu kepada dukungan sosial yang dipandang oleh
keluarga sebagai sesuatu yang dapat diakses/diadakan untuk keluarga
(dukungan keluarga bisa atau tidak digunakan, tetapi anggota keluarga
memandang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap
memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan). Dukungan
suami/istri atau dukungan dari saudara kandung dan dukungan keluarga
eksternal seperti jaringan kerja sosial keluarga.
1.4 Fungsi Dukungan Keluarga
Caplan (1976 dalam Friedman, 1998) menjelaskan bahwa keluarga
memiliki beberapa fungsi dukungan yaitu:
a. Dukungan Informasional
Keluarga berfungsi sebagai sebuah kolektor dan desiminator
(penyebar) informasi tentang dunia. Menjelaskan tentang pemberian
saran, sugesti, informasi yang dapat digunakan mengungkapkan suatu
masalah. Manfaat dari dukungan ini adalah dapat menekan munculnya
suatu stressor karena informasi yang diberikan dapat menyumbangkan
aksi sugesti yang khusus pada individu. Aspek-aspek dalam dukungan
ini adalah nasehat, usulan, saran, petunjuk, dan pemberian informasi.
b. Dukungan Penilaian
Keluarga bertindak sebagai sebuah bimbingan umpan balik,
membimbing dan menengahi pemecahan masalah, sebagai sumber dan
validator identitas anggota keluarga diantaranya memberikan support,
penghargaan, dan perhatian.
c. Dukungan Instrumental
Keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan praktis dan
konkrit, diantaranya: kesehatan penderita dalam hal makan dan
d. Dukungan Emosional
Keluarga sebagai tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan
pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi. Aspek-aspek
dari dukungan emosional meliputi dukungan yang diwujudkan dalam
bentuk afeksi, adanya kepercayaaan, perhatian, mendengarkan, dan
didengarkan.
1.5 Manfaat Dukungan Keluarga
Dukungan sosial keluarga adalah sebuah proses yang terjadi sepanjang
masa kehidupan, sifat dan jenis dukungan sosial berbeda-beda dalam
berbagai tahap-tahap siklus kehidupan. Misalnya, jenis-jenis dan kuantitas
dukungan sosial dalam fase perkawinan (sebelum sebuah pasangan muda
mendapat anak) sangat berbeda dengan banyaknya dan jenis-jenis
dukungan sosial yang dibutuhkan ketika keluarga sedang berada dalam
tahap/fase siklus kehidupan terakhir. Namun demikian, dalam semua tahap
siklus kehidupan, dukungan sosial keluarga membuat keluarga mampu
berfungsi dengan berbagai kepandaian dan akal. Sebagai akibatnya, hal ini
meningkatkan kesehatan dan adaptasi keluarga (Friedman, 1998).
Wills (1985 dalam Friedman, 1998) menyimpulkan bahwa baik
efek-efek penyangga (dukungan sosial menahan efek-efek-efek-efek negatif dari stress
terhadap kesehatan) dan efek-efek utama (dukungan sosial secara langsung
mempengaruhi akibat-akibat dari kesehatan) pun ditemukan.
Sesungguhnya efek-efek penyangga dan utama dari dukungan sosial
Secara lebih spesifik, keberadaan dukungan sosial yang adekuat terbukti
berhubungan dengan menurunnya mortalitas, lebih mudah sembuh dari
sakit dan dikalangan kaum tua, fungsi kognitif, fisik, dan kesehatan emosi.
2. Kecemasan
2.1 Definisi Kecemasan
Herdman (2010) menyatakan bahwa kecemasan merupakan perasaan
tidak nyaman atau gelisah yang samar yang ditimbulkan oleh persepsi
ancaman nyata atau imajinasi terhadap eksistensi seseorang. Sedangkan
Stuart & Sundeen (1998) mengemukakan bahwa kecemasan sebagai
respon emosional dengan objek yang tidak spesifik atau tidak jelas yang
secara subjektif dialami dan dikomunikasikan dalam hubungan
interpersonal. Kecemasan merupakan konsep multidimensional dan
dimanefestasikan sebagai sebuah respon tubuh dan juga dapat dipengaruhi
oleh pengalaman dan fenomena interpersonal. Seperti pada pasien
pembedahan terdapat respon cemas yang dipengaruhi pengalaman
sebelumnya. Misalnya pasien yang sudah dioperasi, ketika akan dioperasi
lagi mungkin respon cemasnya tidak terlalu tinggi atau malah sebaliknya,
tergantung pengalaman operasi yang dilalui sebelumnya.
Trismiati (2004 dalam Purba, 2012) menyatakan bahwa konsep
ansietas (kecemasan) memegang peranan penting yang sangat mendasar
dalam teori-teori tentang stress dan penyesuaian diri. Kecemasan adalah
perasaan was-was, khawatir, atau tidak nyaman seakan-akan terjadi
perasaan yang tidak menyenangkan, yang diikuti oleh reaksi fisiologis
tertentu seperti perubahan detak jantung dan pernapasan. Kecemasan
melibatkan persepsi tentang perasaan yang tidak menyenangkan dan reaksi
fisiologis, dengan kata lain kecemasan adalah reaksi atas situasi yang
dianggap berbahaya. Sedangkan Corey (1995 dalam Purba, 2012)
mengartikan ansietas sebagai suatu keadaan tegang yang memaksa
individu untuk berbuat sesuatu.
2.2 Faktor Predisposisi Kecemasan
Stuart & Sundeen (1998) mengemukakan bahwa penyebab kecemasan
pada individu dapat dipahami melalui beberapa teori, yaitu:
a. Teori Psikoanalitik
Menurut Freud, kecemasan adalah konflik emosional yang terjadi
antara dua elemen kepribadian Id dan Super ego. Id mewakili
dorongan insting dan implus primitif seseorang, sedangkan super ego
mencerminkan hati nurani seseorang dan dikendalikan oleh
norma-norma budaya seseorang. Ego berfungsi menengahi tuntutan dari dua
elemen yang bertentangan dan fungsi kecemasan adalah mengingatkan
ego bahwa ada bahaya.
b. Teori Interpersonal
Menurut Sullivan, kecemasan timbul dari perasaan takut terhadap
tidak adanya penerimaan dan penolakan interpersonal. Kecemasan
juga berhubungan dengan perkembangan trauma, seperti perpisahan
harga diri rendah terutama mudah mengalami perkembangan ansietas
yang berat.
c. Teori Prilaku
Teori ini berkaitan dengan pendapat bahwa kecemasan adalah
produk frustasi yaitu segala sesuatu yang mengganggu kemampuan
seseorang untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Faktor presipitasi
yang aktual mungkin adalah sejumlah stressor internal dan eksternal,
tetapi faktor-faktor tersebut bekerja menghambat usaha seseorang
untuk memperoleh kepuasan dan kenyamanan. Pakar prilaku lain
menganggap kecemasan sebagai suatu dorongan untuk belajar
berdasarkan keinginan dari dalam untuk menghindari kepedihan. Pakar
tentang pembelajaran meyakini bahwa individu yang terbiasa dalam
kehidupan dininya dihadapkan pada ketakutan yang berlebihan lebih
sering menunjukkan kecemasan pada kehidupan selanjutnya.
d. Teori Keluarga
Menunjukkan bahwa gangguan ansietas merupakan hal yang biasa
ditemui dalam suatu keluarga dan juga terkait dengan tugas
perkembangan individu dalam keluarga.
e. Teori Biologis
Menunjukkan bahwa otak mengandung reseptor khusus untuk
benzodiazepines. Reseptor ini mungkin membantu mengatur ansietas.
Penghambat asam aminobutirik-gamma neroregulator (GABA) juga
berhubungan dengan ansietas, sebagaimana halnya dengan endorphin.
Selain itu, telah dibuktikan bahwa kesehatan umum seseorang
mempunyai akibat nyata sebagai predisposisi terhadap ansietas.
Ansietas mungkin disertai dengan gangguan fisik dan selanjutnya
menurunkan kapasitas seseorang untuk mengatasistressor.
2.3 Faktor Presipitasi Kecemasan
Faktor pencetus mungkin berasal dari sumber internal atau eksternal.
Ada dua kategori faktor pencetus kecemasan, yaitu ancaman terhadap
integritas fisik dan terhadap sistem diri (Lairaia & Stuart, 1998 dalam
Purba, 2012):
a. Ancaman Terhadap Integritas Fisik
Ancaman pada kategori ini meliputi ketidakmampuan fisiologis
yang akan datang atau menurunnya kapasitas untuk melakukan
aktivitas hidup sehari-hari. Sumber internal dapat berupa kegagalan
mekanisme fisiologis seperti jantung, sistem imun, regulasi
temperature, perubahan biologis yang normal seperti kehamilan dan
penuaan. Sumber eksternal dapat berupa infeksi virus atau bakteri, zat
polutan, dan luka trauma. Kecemasan dapat timbul akibat
kekhawatiran terhadap tindakan operasi yang mempengaruhi integritas
tubuh secara keseluruhan.
b. Ancaman Terhadap Sistem Tubuh
Ancaman pada kategori ini dapat membahayakan identitas, harga
kesulitan melakukan hubungan interpersonal di rumah, di tempat kerja,
dan di masyarakat. Sumber eksternal dapat berupa kehilangan
pasangan, orang tua, teman, perubahan status pekerjaan, dilema etik
yang timbul dari aspek religius seseorang, tekanan dari kelompok
sosial atau budaya. Ancaman terhadap sistem diri terjadi saat tindakan
operasi akan dilakukan sehingga akan menghasilkan suatu kecemasan.
2.4 Tingkat Kecemasan
Peplau (1952 dalam Videbeck, 2008) mengidentifikasi empat tingkat
kecemasan sebagai berikut:
a. Tingkat Kecemasan Ringan
Berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam tingkat ini seseorang lebih waspada dan lapangan persepsinya
meningkat seperti melihat, mendengar dan gerakan menggenggam
lebih kuat. Tingkatan ini dapat memotivasi untuk belajar dan
menghasilkan pertumbuhan dan kreativitas. Pada tingkat ini, biasanya
muncul tanda dan gerakan seperti jantung berdebar, gelisah, lebih
banyak bicara dari biasanya dan tangannya gemetar.
b. Tingkat Kecemasan Sedang
Seseorang pada tingkat ini, biasanya pikirannya akan terfokus pada
apa yang dilihatnya sesegera mungkin dan terhalangi dengan
lingkungan luarnya. Sehingga seseorang mengalami perhatian yang
selektif namun dapat melakukan sesuatu yang lebih terarah. Lapangan
menggenggam berkurang. Pada tahap ini disertai tanda dan gerakan
seperti mulut kering, anoreksia, badan bergetar, ekspresi wajah
ketakutan, gelisah, tidak mampu bersikap rileks, sukar tidur, dan
banyak bicara disertai suara yang keras.
c. Tingkat Kecemasan Berat
Pada tingkat kecemasan yang berat, seorang individu biasanya
akan mengalami lapangan persepsi yang menyempit, lebih
memperhatikan hal-hal yang spesifik dan tidak memikirkan hal yang
lain. Prilakunya ditunjukkan untuk mencapai ketenangan dan
membutuhkan banyak bimbingan untuk memperhatikan keadaan.
Tanda dan gejala yang muncul biasanya seperti memainkan atau
meremas jari, kecewa, tidak berdaya, merasa bodoh terhadap tindakan
yang dilakukan, dan merasa tidak berharga.
d. Panik
Tingkatan ini berhubungan dengan perasaan takut dan cemas. Pada
tingkatan ini hal yang spesifik tidak lagi proporsional karena seseorang
telah kehilangan kontrol, tidak dapat melakukan hal-hal tertentu
meskipun dengan bimbingan. Terjadi peningkatan aktivitas motorik,
penurunan kemampuan dalam berhubungan dengan orang lain,
persepsi yang terdistorsi/menyimpang, dan kehilangan pemikiran yang
rasional. Tingkat kecemasan ini tidak sejalan dengan kehidupan, dan
jika berlangsung terus dalam waktu yang lama, dapat terjadi kelelahan
perasaan jantung berdebar, penglihatan berkunang-kunang, sakit
kepala, sulit bernafas, perasaan mau muntah, otot lebih terasa tegang,
dan tidak mampu melakukan apa-apa.
2.5 Gejala Klinis Cemas
Keluhan-keluhan yang sering dikemukakan oleh orang yang
mengalami gangguan kecemasan antara lain sebagai berikut (Hawari,
2008):
1) Cemas, khawatir, firasat buruk, takut akan pikirannya sendiri,
mudah tersinggung.
2) Merasa tegang, tidak tenang, gelisah, mudah terkejut.
3) Takut sendirian, takut pada keramaian dan banyak orang.
4) Gangguan pola tidur, mimpi–mimpi yang menegangkan.
5) Gangguan konsentrasi dan daya ingat.
6) Keluhan-keluhan somatik, misalnya rasa sakit pada otot dan tulang,
pendengaran berdenging (tinnitus), berdebar-debar, sesak nafas,
gangguan pencernaan, gangguan perkemihan, sakit kepala, dan
lain-lain.
2.6 Pengukuran Kecemasan
Rentang Respon Kecemasan
Respon Adaptif Respon Maladaptif
Antisipasi Ringan Sedang Berat Panik
2.7 Faktor–Faktor yang Mempengaruhi Kecemasan Pre Operasi
Salan (1997, dalam Hartono 2009) mengemukakan bahwa kecemasan
terjadi karena beberapa sebab, tetapi secara umum disebebkan oleh bahaya
yang terdapat dalam dalam diri manusia sendiri, yaitu suatu stimulus
internal atau juga keadaan bahaya dari luar oleh yang bersangkutan
ditafsirkan lain, adanya distorsi persepsi dari realitas lingkungannya.
Sedangkan Freud(dalam Hall, 1980), faktor yang mempengaruhi
kecemasan adalah lingkungan di sekitar individu.
Menurut Carpenito (1998, dalam Hartono 2009) ada beberapa faktor
yang berhubungan dengan munculnya kecemasan pada pasien pre operasi
yaitu :
1. Patofisiologis, yaitu setiap faktor yang berhubungan dengan
kebutuhan dasar manusia akan makanan, air, kenyamanan dan
keamanan.
2. Situasional, yaitu berhubungan dengan ancaman konsep diri
terhadap perubahan status, adanya kegagalan, kehilangan benda
yang dimiliki, dan kurang penghargaan dari orang lain.
3. Operasi
3.1 Definisi Operasi
Operasi adalah semua tindakan pengobatan yang menggunakan cara
invasif dengan membuka atau menampilkan bagian tubuh yang akan
sayatan. Setelah bagian yang akan ditangani ditampilkan, dilakukan tindak
perbaikan yang akan diakhiri dengan penutupan dan penjahitan luka.
Perawatan selanjutnya akan termasuk dalam perawatan pasca pembedahan
(Sjamsuhidajat, 2005).
Operasi umumnya dilakukan untuk berbagai alasan seperti diagnostik
(biopsi, laparatomi, eksplorasi), kuratif (eksisi massa tumor, pengangkatan
apendiks yang mengalami inflamasi), reparatif (memperbaiki luka
multiple), rekonstruktif atau kosmetik (mammoplasti, perbaikan wajah),
dan paliatif (Brunner & Suddarth, 2002).
3.2 Kalsifikasi Operasi
Jenis prosedur pembedahan diklasifikasikan berdasarkan pada tingkat
keseriusan, kegawatan, dan tujuan pembedahan. Sebuah prosedur mungkin
memiliki lebih dari satu klasifikasi. Misalnya pembedahan untuk
mengangkat jaringan parut yang bentuknya tidak beraturan termasuk
pembedahan dengan tingkat keseriusan yang rendah, elektif secara
kegawatan, dan bertujuan untuk rekonstruksi. Klasifikasi seringkali
tumpang tindih. Prosedur yang gawat juga dianggap mempunyai tingkat
keseriusan mayor. Tindakan bedah yang sama dapat dilakukan pada klien
yang berbeda dengan tujuan yang berbeda (Potter & Perry, 2005).
Potter & Perry (2005) menyatakan bahwa operasi dibagi menjadi dua
a. Operasi minor
Operasi minor adalah operasi yang secara umum bersifat elektif,
dan melibatkan perubahan yang kecil pada bagian tubuh, sehingga
sering dilakukan untuk memperbaiki deformitas, mengandung risiko
yang lebih rendah bila dibandingkan dengan prosedur mayor. Contoh
ekstraksi/pencabutan gigi, pengangkatan kutil, graft kulit,
ekstraksi/operasi katarak, operasi plastik wajah danarthroskopi.
b. Operasi mayor
Operasi mayor adalah operasi yang bersifat elektif, urgen, dan
emergensi. Operasi ini melibatkan rekonstruksi atau perubahan yang
luas pada bagian tubuh sehingga menimbulkan risiko yang tinggi bagi
kesehatan. Tujuan dari operasi mayor adalah untuk menyelamatkan
nyawa, mengangkat atau memperbaiki bagian tubuh, memperbaiki
fungsi tubuh dan meningkatkan kesehatan. Contoh bypass arteri
koroner, reseksi kolon, pengangkatan laring, reseksi lobus paru,
kolesistektomi, nefrektomi, kolostomi, histerektomi, mastektomi,
amputasi, dan operasi akibat trauma.
Operasi mayor biasanya dilaksankan dengan anastesi umum di unit
bedah rawat inap. Operasi lebih serius dari operasi kecil dan bisa
berisiko kepada jiwa. Operasi besar merupakan stressor kepada tubuh
dan memicu respon neuroendocrine. Respon terdiri dari sistem saraf
simpatis dan respon hormonal yang bertugas melindungi tubuh dari
kehilangan darah cukup banyak mekanisme kompensasi dari tubuh
terlalu banyak beban dan syok akan menjadi akibat dari itu semua.
Anastesi tertentu yang dipakai dapat mencegah terjadinya syok. Selain
itu, respon metabolisme juga terjadi. Karbohidrat dan lemak di
metabolisme untuk memproduksi energi. Protein tubuh dipecah untuk
menyajikan suplai asam amino yang dipakai untuk membangun
jaringan baru. Asam amino yang tidak dipakai menjadi nitrogen
sebagai produk akhir, diekskresikan seperti urea. Ini berakibat menjadi
keseimbangan nitrogen yang negatif, itu berarti kehilangan nitrogen
melampaui intake nitrogen. Semua faktor ini menjurus kepada
kehilangan berat badan setelah pembedahan besar. Intakeprotein yang
tinggi diperlukan guna mengisi kebutuhan protein untuk keperluan
penyembuhan dan mengisi kebutuhan untuk fungsi yang optimal
(Long, 1996).
Setiap orang berbeda pandangan dalam menanggapi bedah
sehingga respon psikologisnya juga berbeda-beda. Namun
sesungguhnya selalu terjadi ketakutan dan penghayatan yang umum.
Sebagian ketakutan yang melatar belakangi pra bedah adalah
elusif/keinginan mengelak dan orang tidak akan mengetahui
penyebabnya. Ketakutan yang umum yaitu takut oleh yang tidak
diketahui, hilang kendali, hilang kasih sayang dari orang yang penting
misalnya keluarga, dan ancaman seksualitas. Sedangkan ketakutan
nyeri, perubahan penampilan, dan keterbatasan permanen. Orang yang
sangat cemas sehingga tidak bisa berbicara dan mencoba
menyesuaikan diri dengan kecemasan sebelum operasi seringkali
menderita banyak kesukaran pada pasca bedah. Mereka cenderung
banyak marah, kesal, bingung, atau depresi. Mereka lebih mudah
tersinggung akibat reaksi psikis dibandingkan dengan orang yang
cemasnya sedikit. Ketakutan dan kecemasan yang dirasakan pasien pre
operasi ditandai dengan adanya perubahan-perubahan fisik seperti
meningkatnya frekuensi nadi dan pernafasan, gerakan-gerakan tangan
yang tidak terkontrol, telapak tangan yang lembab, gelisah,
menanyakan pertanyaan yang sama berulang kali, sulit tidur, dan
sering berkemih (Long, 1996).
3.3 Tahapan Operasi
Brunner & Suddarth (2002) membagi tindakan operasi melalui tiga
fase yaitu preoperasi, intraoperasi dan postoperasi.
a. Fase Praoperatif
Fase ini dimulai ketika keputusan untuk intervensi bedah dibuat
dan berakhir ketika pasien dikirim kemeja operasi. Lingkup aktivitas
keperawatan selama waktu tersebut dapat mencakup penetapan
pengkajian dasar pasien ditatanan klinik atau di rumah, menjalani
wawancara praoperatif, dan menyiapkan pasien untuk anastesi yang
diberikan dan pembedahan. Kecemasan praoperatif merupakan suatu
pasien sebagai suatu ancaman terhadap perannya dalam hidup ,
integritas tubuh, atau bahkan kehidupannya itu sendiri. Pasien yang
menghadapi pembedahan dilingkupi oleh ketakutan akan
ketidaktahuan, kematian, tentang anastesi, kekhawatiran mengenai
kehilangan waktu kerja dan tanggung jawab mendukung keluarga.
Aktivitas keperawatan yang dilakukan oleh seorang perawat untuk
mengurangi kecemasan pasien adalah dengan memberikan dukungan
psikologis seperti : menceritakan pada pasien apa yang sedang terjadi,
memberikan dorongan untuk pengungkapan, harus mendengarkan dan
memahami, memberikan informasi tentang prosedur pembedahan,
menentukan status psikologis dan mengkomunikasikan status
emosional pasien pada anggota tim kesehatan lain yang berkaitan.
b. Fase Intraoperatif
Fase ini dimulai ketika pasien masuk atau dipindah kebagian atau
departemen bedah dan berakhir saat pasien dipindahkan ke ruang
pemulihan. Pada fase ini lingkup aktivitas keperawatan dapat meliputi:
memasang infus, memberikan medikasi intravena, melakukan
pemantauan fisiologis menyeluruh sepanjang prosedur pembedahan
dan menjaga keselamatan pasien.
c. Fase Pascaoperatif
Fase ini dimulai dengan masuknya pasien ke ruang pemulihan dan
berakhir dengan evaluasi tindak lanjut pada tatanan klinik atau di
selama periode ini. Pada fase pascaoperatif langsung, fokus termasuk
mengkaji efek dari agen anastesi, dan memantau fungsi vital serta
mencegah komplikasi. Aktivitas keperawatan kemudian berfokus pada
peningkatan penyembuhan pasien dan melakukan penyuluhan,
perawatan tindak lanjut, dan rujukan yang penting untuk penyembuhan