i
UPAYA KHUSUS
PENURUNAN TINGKAT KEMISKINAN
Disusun oleh:
Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan
PANDUAN PENARGETAN PROGRAM PENANGGULANGAN
KEMISKINAN BERBASIS WILAYAH
Tulisan dan data dalam publikasi ini dapat direproduksi selama mencantumkan sumber yang dikutip. Dilarang mereproduksi untuk tujuan komersial.
ii
Cetakan Kedua, April 2014
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
©2014 Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan
iii
KATA PENGANTAR
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan meningkatkan kesejahteraan rumah tangga yang tercermin dari naiknya tingkat pendapatan masyarakat. Pada saat yang sama, fenomena tingginya inflasi yang tercermin dari tingginya tingkat harga komoditas sebagai representasi pengeluaran rumah tangga akan semakin menambah beban hidup rumah tangga. Kombinasi diantara keduanya sangat mempengaruhi kemampuan daya beli masyarakat.
Pemerintah perlu memastikan seluruh program penanggulangan kemiskinan dapat berjalan dengan efektif sehingga mampu mempertahankan kemampuan daya beli masyarakat agar tidak jatuh dalam kemiskinan. Oleh karena itu, program penanggulangan kemiskinan perlu dilakukan dengan tepat sasaran. Ketepatan sasaran program penanggulangan kemiskinan dapat ditempuh dengan melaksanakan dua prinsip dasar yaitu tepat individu dan tepat wilayah. Tepat individu berarti pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan diberikan kepada penduduk miskin yang benar-benar membutuhkan dan sesuai dengan cakupan program. Sementara tepat wilayah artinya pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan seyogyanya juga memperhatikan aspek kesejahteraan wilayah yang tercermin dalam dimensi kemiskinan konsumsi dan non-konsumsi rumah tangga.
Buku ini merupakan panduan identifikasi wilayah prioritas (geographic targeting) atau kantong kemiskinan, yang dapat digunakan untuk menentukan basis wilayah prioritas pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan. Di wilayah prioritas ini, seluruh program penanggulangan kemiskinan dari Pemerintah Pusat maupun Daerah seharusnya dipastikan berjalan efektif. Pemanfaatan Indeks Kesejahteraan Wilayah (IKW) ini seyogyanya juga tidak hanya untuk program penanggulangan kemiskinan, namun juga dapat digunakan oleh semua program dan kegiatan Pemerintah Pusat maupun Daerah. Target RPJMN angka kemiskinan 8-10 persen bukan mustahil untuk dicapai apabila tercipta sinergi dalam penargetan individu maupun penargetan wilayah, di kantong-kantong kemiskinan ini.
Jakarta, Desember 2013
iv
Bagian 1. Perkembangan Indikator Perekonomian
1.1. Pertumbuhan Ekonomi 1.2. Inflasi
1.3. Kemiskinan
Bagian 2. Upaya Pemerintah
2.1. Target Pengurangan Tingkat Kemiskinan 2.2. Penargetan Individu
2.2.1. Basis Data Terpadu 2.2.2 Kartu Perlindungan Sosial
2.2.3 Program Percepatan dan Perluasan Perlindungan Sosial
Bagian 3. Upaya Penajaman Penanggulangan Kemiskinan
v
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Target Jumlah dan Pengurangan Penduduk Miskin, Maret 2014 dan September 2014
Tabel 2. Distribusi Program Menurut Jenjang Administrasi Wilayah
Tabel 3. Jumlah Rumah Tangga dan Anggota Rumah Tangga Sasaran Program Penanggulangan Kemiskinan Berbasis Rumah Tangga dan Individu, 2013 Tabel 4. Jumlah Desa dan Kecamatan Menurut Jumlah Program Penanggulangan
Kemiskinan yang Diterima, 2013 Tabel 5. Skenario Penargetan Wilayah Prioritas
Tabel 6. Faktor, Variabel dan Indikator Kesejahteraan Wilayah
Tabel 7. Perbandingan Indikator Kemiskinan di 100 Kabupaten Wilayah Prioritas Tabel 8. Perbandingan Distribusi Wilayah dengan Berbagai Skenario
Tabel 9. Kabupaten dan Kota Prioritas Berdasarkan Indeks Kesejahteraan Wilayah
11
15 16
17
vi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Pertumbuhan Ekonomi, 2004-2013
Gambar 2. Pertumbuhan pengeluaran tahunan 2008-2012 menurut 100 kelompok penduduk
Gambar 3. Kontribusi Sektoral Terhadap Pertumbuhan PDB (y-o-y) September 2010 – September 2013
Gambar 4. Perkembangan Inflasi, Januari 2003-Desember 2013 (persen, y-o-y) Gambar 5. Perbandingan Inflasi menurut Kelompok Barang, Desember 2009
dan Desember 2013
Gambar 6. Perkembangan Harga Harian Beberapa Komoditas Bahan Pangan Utama, Januari – Desember 2013 (dalam Rupiah per Kg)
Gambar 7. Inflasi Umum (IHK) dan Inflasi Garis Kemiskinan, 2003-2013 (y-o-y) Gambar 8. Pergerakan inflasi Umum dan Inflasi Garis Kemiskinan, 2005-2013 Gambar 9. Jumlah Penduduk Miskin dan Angka Kemiskinan, 2004-2013 Gambar 10. Tingkat Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Tingkat Keparahan
Kemiskinan (P2), 2004-2013 Gambar 11. Contoh Kartu Perlindungan Sosial Gambar 12. Kerangka Pemikiran Penyusunan IKW Gambar 13. Faktor Komposit IKW
Gambar 14. Dasar Pemilihan Wilayah Prioritas Berdasarkan IKW
Gambar 15. Perbandingan Tingkat Kemiskinan (P0) dengan Berbagai Skenario Wilayah Prioritas
Gambar 16. Perbandingan Kedalaman Kemiskinan (P1) dengan Berbagai Skenario Wilayah Prioritas
Gambar 17. Perbandingan Keparahan Kemiskinan (P2) dengan Berbagai Skenario Wilayah Prioritas
Gambar 18. Sebaran Wilayah Prioritas
Gambar 19. Perbandingan Cakupan Program Nasional dan Wilayah Prioritas
1
Bagian 1. Perkembangan Indikator Perekonomian
B
AGIAN
1
P
ERKEMBANGAN
I
NDIKATOR
P
EREKONOMIAN
‘Pe
rlambatan pertumbuhan ekonomi serta
meningkatnya harga bahan kebutuhan pokok
berpotensi mengurangi efektivitas
2
Dalam upaya terus menerus untuk menanggulangi kemiskinan di Indonesia, sangat penting untuk secara teratur memperhatikan perkembangan indikator kemiskinan. Kemiskinan didefinisikan sebagai suatu situasi di mana pengeluaran rumah tangga berada di bawah garis minimal yang disebut garis kemiskinan. Karena itu tingkat kemiskinan sangat dipengaruhi oleh dua hal. Pertama adalah tingkat kesejahteraan yang menentukan besarnya pengeluaran rumah tangga. Kedua adalah beban hidup rumah tangga yang dicerminkan oleh tingkat harga komoditas yang menjadi pengeluaran rumah tangga. Dalam perkembangan antarwaktu, tingkat kesejahteraan sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi, sementara beban hidup rumah tangga dapat terlihat dalam perkembangan inflasi. Pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan daya beli, sementara inflasi akan menurunkan daya beli. Perkembangan dua indikator ini diuraikan di bagian berikut.
1.1 Pertumbuhan Ekonomi
Sejak 2004 hingga 2013, perekonomian Indonesia tumbuh di atas 5 persen, kecuali pada tahun 2009 akibat krisis keuangan global. Sejalan dengan membaiknya perekonomian global, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga membaik dan mencapai angka 6,49 persen di tahun 2011. Setelah itu terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi, meskipun masih cukup tinggi di tingkat sekitar 6 persen (lihat Gambar 1).
3
Gambar 1.
Pertumbuhan Ekonomi, 2004-2013
Gambar 2.
Pertumbuhan Pengeluaran Tahunan 2008-2012 menurut 100 Kelompok Penduduk
Sumber: Badan Pusat Statistik Sumber: Susenas, diolah oleh TNP2K
Pada tahun 2013, pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat sebesar 5,78 persen, lebih rendah dibandingkan dengan target APBN-P 2013 sebesar 6,13 persen. Perlambatan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2013 disebabkan karena perlambatan pertumbuhan sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan, hotel dan rumah makan. Pertumbuhan sektor konstruksi melambat sesuai dengan perlambatan pertumbuhan investasi di sektor bangunan.
Sementara itu, pertumbuhan sektor jasa tetap kuat, tetapi sub-sektor terbesar yaitu perdagangan, hotel dan rumah makan mengalami perlambatan (lihat Gambar 3). Perlambatan pertumbuhan ekonomi ini juga dipengaruhi oleh faktor eksternal yaitu kondisi keuangan internasional yang lebih ketat, akibat rencana tapering di Amerika Serikat, dan melambatkan pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang seperti Cina dan India. Harga komoditas dunia mengalami tekanan, dan pada gilirannya mempengaruhi ekspor Indonesia. Indonesia mengalami peningkatan suku bunga domestik serta depresiasi Rupiah, dan keseluruhannya menyebabkan perlambatan pertumbuhan ekonomi di 2013.
5,03 5,69 5,5
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
4
Gambar 3. Kontribusi Sektoral Terhadap Pertumbuhan PDB (y-o-y) September 2010 – September 2013
Secara umum, pertumbuhan ekonomi sebagaimana yang diuraikan di atas telah meningkatkan pengeluaran seluruh kelompok penduduk, termasuk di dalamnya kelompok miskin. Namun demikian, peningkatan daya beli tersebut harus berhadapan dengan peningkatan harga komoditas, dan secara khusus harga komoditas yang dikonsumsi oleh kelompok masyarakat miskin. Bagian berikut akan menguraikan hal tersebut.
1.2 Inflasi
Peningkatan harga dapat ditunjukkan oleh indikator inflasi. Gambar 4 menunjukkan perkembangan inflasi yang fluktuatif dan cenderung tidak stabil selama kurun waktu 10 tahun terakhir. Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa pada Desember 2013 inflasi tahunan (y-o-y) mencapai 8,38 persen. Angka inflasi tahunan tertinggi setelah periode September 2008 adalah pada Agustus 2013 yang mencapai angka sebesar 8,79 persen. Hal ini terjadi setelah
-1 0 1 2 3 4 5 6 7
Sep-10 Dec-10 Mar-11 Jun-11 Sep-11 Dec-11 Mar-12 Jun-12 Sep-12 Dec-12 Mar-13 Jun-13 Sep-13
Per
sen
tase
5
peningkatan harga BBM yang berdekatan dengan Hari Raya Idul Fitri 2013 di sekitar Juni-Juli 2013.
Gambar 4.
Perkembangan Inflasi, Januari 2003-Desember 2013 (persen, y-o-y)
Gambar 5.
Perbandingan Inflasi menurut Kelompok Barang, Desember 2009 dan Desember 2013
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2013
Pada tahun 2013, inflasi tahunan (y-o-y) teratas untuk kelompok transportasi, komunikasi dan jasa keuangan yaitu sebesar 15,36 persen. Sedangkan kelompok inflasi tertinggi kedua adalah bahan makanan sebesar 11,35 persen. Di sisi lain, inflasi terendah terdapat pada kelompok sandang, dengan inflasi yang hanya sekitar 0,52 persen (y-o-y).
Berdasarkan Berita Resmi Statistik BPS, pada Desember 2013 terjadi inflasi bulanan sebesar 0,55 persen. Dari 66 kota IHK, tercatat 61 kota mengalami inflasi dan 5 kota lainnya mengalami deflasi. Inflasi tertinggi terjadi di Manado 2,69 persen dan inflasi terendah terjadi di Palembang dan Tangerang masing-masaing 0,04 persen. Di sisi lain, deflasi tertinggi terjadi di Padang Sidempuan 0,44 persen dan terendah terjadi di Kendari 0,05 persen.
Kelompok masyarakat miskin memiliki komposisi konsumsi yang berbeda dengan kelompok masyarakat yang lebih tinggi status ekonominya. Konsumsi kelompok masyarakat miskin terkonsentrasi pada jenis komoditas pangan. Sementara itu, komoditas pangan pada umumnya memiliki harga yang lebih fluktuatif (karena produksi yang sifatnya musiman) dan inflasi yang lebih tinggi. Beberapa komoditi pangan utama seperti beras, kedelai, bawang
6
merah, maupun daging sapi, mengalami pergerakan inflasi yang cukup signifikan di tahun 2013 (lihat Gambar 6).
Gambar 6. Perkembangan Harga Harian Beberapa Komoditas Bahan Pangan Utama, Januari – Desember 2013 (dalam Rupiah per Kg)
Sumber: Kementerian Perdagangan, 2014
Komposisi pengeluaran kelompok miskin yang lebih terkonsentrasi kepada komoditas pangan menjadikan kelompok miskin menghadapi inflasi yang berbeda dibandingkan inflasi umum (lihat Gambar 7 dan 8). Gambar 7 menunjukkan bahwa inflasi umum yang diwakili oleh Indeks Harga Konsumen (IHK) dan inflasi garis kemiskinan memiliki tren pergerakan yang mirip, namun inflasi garis kemiskinan selalu lebih tinggi dibandingkan inflasi umum. Artinya,
7
kelompok masyarakat miskin menghadapi peningkatan harga yang lebih tinggi dibandingkan inflasi yang dihadapi masyarakat umum. Pada 2012, inflasi garis kemiskinan berada 3,29 titik persen (percentage points) lebih tinggi dibandingkan inflasi secara umum. Demikian pula pada 2013, inflasi garis kemiskinan berada 1,06 titik persen (percentage points) lebih tinggi di atas inflasi IHK. Gambar 8 lebih lanjut menunjukkan bahwa perbedaan antara inflasi umum dan inflasi garis kemiskinan ternyata makin melebar dari waktu ke waktu.
Gambar 7.
Inflasi Umum (IHK) dan Inflasi Garis Kemiskinan, 2003-2013 (y-o-y)
Gambar 8.
Pergerakan inflasi Umum dan Inflasi Garis Kemiskinan, 2005-2013
Sumber: Hasil Estimasi Menggunakan Susenas
Berdasarkan inflasi tahun 2013 yang cukup tinggi, garis kemiskinan pada 2014 diperkirakan akan semakin meningkat. Hal ini berarti beban biaya hidup yang lebih tinggi bagi kelompok masyarakat miskin. Jika tidak diimbangi dengan intervensi untuk meningkatkan daya beli, maka upaya penanggulangan kemiskinan melalui program penanggulangan kemiskinan tidak akan optimal.
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
A
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
8
1.3 Kemiskinan
Pertumbuhan ekonomi dan pergerakan tingkat harga akan mempengaruhi jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan. Selama periode 2004-2013, terlihat adanya tren penurunan jumlah orang miskin maupun angka kemiskinan. Pada September 2013, terdapat 28,55 juta penduduk hidup di bawah garis kemiskinan yang berarti angka kemiskinan sebesar 11,47 persen.
Gambar 9.
Jumlah Penduduk Miskin dan Angka Kemiskinan, 2004-2013
Gambar 10.
Tingkat Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Tingkat Keparahan Kemiskinan (P2), 2004-2013
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014
Selama periode 2006-2009, tingkat kemiskinan turun lebih dari 1 titik persen (percentage points) setiap tahunnya. Namun dalam periode 2010-2013 terjadi perlambatan penurunan tingkat kemiskinan. Pengumuman jumlah penduduk miskin dan angka kemiskinan di September 2013 menunjukkan perlambatan yang sangat mengkhawatirkan. Antara Maret 2012-Maret 2013, masih terjadi penurunan jumlah penduduk miskin sebesar 1,06 juta jiwa. Namun dalam periode September 2012-September 2013 penurunan jumlah penduduk miskin tersebut hanyalah sejumlah 50 ribu jiwa. Perlambatan yang sama juga terjadi dalam hal
12,49 11,96 11,66 11,37 11,47
200
9
perubahan angka kemiskinan. Antara Maret 2012-Maret 2013, terjadi penurunan angka kemiskinan sebesar 0,58 titik persen (percentage point). Namun dalam periode September 2012-September 2013 penurunan angka kemiskinan tersebut hanyalah 0,19 titik persen (percentage point).
Indikator kedalaman kemiskinan (P1) dan keparahan kemiskinan (P2) juga mengalami tren penurunan dalam periode 2006-2013. Tren penurunan indikator kedalaman kemiskinan (P1) menunjukkan bahwa rata-rata pengeluaran rumah tangga miskin semakin mendekati garis kemiskinan. Sementara itu, tren penurunan indikator keparahan kemiskinan (P2) berarti kesenjangan pengeluaran antarpenduduk miskin makin mengecil. Namun demikian, tren perlambatan penurunan juga terlihat sangat jelas untuk kedua indikator ini.
11
B
AGIAN
2
U
PAYA
P
EMERINTAH
‘Upaya penurunan tingkat kemiskinan
dilakukan dengan meningkatkan penargetan
individu bagi seluruh program
12
2.1 Target Pengurangan Tingkat Kemiskinan
Berdasarkan RPJMN 2009-2014 pemerintah menetapkan target penurunan tingkat kemiskinan secara bertahap dari 14,15 persen pada 2009 menjadi 8 persen (target bawah) atau 10 persen (target atas) pada 2014. Pada bulan September 2013, angka kemiskinan adalah 11.47 persen dengan sekitar 28,55 juta penduduk miskin. Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035 yang telah dikeluarkan oleh Bappenas memperkirakan bahwa penduduk Indonesia pada pertengahan tahun 2014 adalah sebesar 252,165 juta jiwa. Dengan demikian dapat diperkirakan jumlah penduduk pada bulan Maret dan September 2014. Untuk mendapatkan target atas angka kemiskinan 10% pada bulan September 2014, maka diperlukan pengurangan jumlah penduduk miskin sebesar 3,27 juta jiwa antara September 2013 sampai dengan September 2014.
Tabel 1. Target Jumlah dan Pengurangan Penduduk Miskin, Maret 2014 dan September 2014
Target Jumlah
Penduduk Miskin
(juta jiwa)
Target Pengurangan Jumlah
Penduduk Miskin Sejak Sept 2013
(Juta jiwa)
Asumsi jumlah penduduk: 251,05 juta (Maret 2014) dan 252,78 juta (Sept 2014)
13
Ketepatan penargetan individu dilakukan dengan pemanfaatan Basis Data Terpadu, pelaksanaan Program Percepatan Perluasan Perlindungan Sosial (P4S) dengan Kartu Pelindungan Sosial (KPS). Diperlukan instrumen pemantauan yang ketat terhadap implementasi program penanggulangan kemiskinan di lapangan untuk memastikan ketepatan sasaran, ketepatan jumlah dan ketepatan waktu pelaksanaan progam. Hal ini akan diuraikan pada Bagian 2 ini. Sementara itu, ketepatan penargetan secara wilayah akan diuraikan lebih lanjut di Bagian 3 setelah ini.
2.2 Penargetan Individu
Sejak awal pemerintahan SBY-Boediono, Pemerintah telah meletakkan dasar bagi peningkatan efektivitas penargetan individu bagi seluruh program penanggulangan kemiskinan yang dijalankan. Satu hal yang telah dilakukan adalah pembentukan Basis Data Terpadu (BDT) hasil Program Pendataan Perlindungan Sosia (PPLS) 2011 yang kemudian dikelola sebagai sumber data penerima bagi seluruh program penanggulangan kemiskinan Pemerintah yang memiliki target individu dan rumah tangga. Pada tahun 2013, Pemerintah meluncurkan Program Percepatan dan Perluasan Perlindungan Sosial (P4S) disertai penggunaan Kartu Perlindungan Sosial (KPS) sebagai upaya untuk meningkatkan ketepatan individu dan rumah tangga penerima program.
2.2.1. Basis Data Terpadu
Basis Data Terpadu (BDT) yang saat ini dikelola oleh Sekretariat Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) berisikan nama dan alamat individu yang termasuk dalam 40 persen rumah tangga dengan status sosial-ekonomi terendah. BDT merupakan hasil PPLS 2011 yang telah mengalami perbaikan metodologi pendataan (dibandingkan dengan pendataan PSE 2005 maupun PPLS 2008). Berbagai kegiatan verifikasi data yang telah dilakukan (melalui spot-checks maupun penggunaan data bagi program) yang telah dilakukan menunjukkan bahwa BDT memiliki tingkat akurasi yang tinggi.
BDT dikelola sebagai basis data yang dapat dipergunakan oleh program Pemerintah Pusat maupun Daerah baik untuk kegiatan penargetan maupun untuk kegiatan perencanaan program. Sekretariat TNP2K menyediakan bantuan teknis untuk penggunaan BDT tersebut. Akses data untuk kegiatan perencanaan dapat dilakukan secara on-line melalui
14
2.2.2. Kartu Perlindungan Sosial
Kartu Perlindungan Sosial (KPS) adalah kartu yang diterbitkan pemerintah dalam rangka pelaksanaan Program Percepatan dan Perluasan Perlindungan Sosial (P4S). KPS memuat informasi Nama Kepala Rumah Tangga, Nama Pasangan Kepala Rumah Tangga, Nama Anggota Rumah Tangga Lain, Alamat Rumah Tangga, Nomor Kartu Keluarga, dilengkapi dengan kode batang (barcode) beserta nomor identitas KPS yang unik. Bagian depan bertuliskan Kartu Perlindungan Sosial dengan logo Garuda, dan masa berlaku kartu sampai dengan tahun 2014.
Gambar 11. Contoh Kartu Perlindungan Sosial
Sumber: TNP2K
Berdasarkan Basis Data Terpadu (BDT), diputuskan bahwa KPS diberikan kepada 25 persen Rumah Tangga dengan status sosial ekonomi terendah. Mengingat jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan pada bulan September 2012 adalah 11,66 persen, berarti pemberian KPS tidak hanya mencakup mereka yang miskin namun juga mereka yang berada diatas garis kemiskinan/rentan.
Melalui KPS, rumah tangga bersangkutan dapat mengakses seluruh manfaat Program P4S. Syarat dan ketentuan dari penggunaan KPS adalah sebagai berikut:
1. Kepala Rumah Tangga pemegang KPS beserta seluruh Anggota Rumah Tangganya berhak menerima Program Perlindungan Sosial.
2. Kartu ini ditunjukkan pada saat pengambilan manfaat Program Perlindungan Sosial. Ketidaksesuaian nomor Kartu Keluarga asli dengan nomor Kartu Keluarga yang ada di KPS, tidak menghapus hak Rumah Tangga atas manfaat program.
15
3. Kartu ini tidak dapat dipindahtangankan.
4. KPS harus disimpan dengan baik, kehilangan atau kerusakan kartu menjadi tanggung jawab pemegang kartu.
Mekanisme penyaluran kartu dirumuskan oleh TNP2K berkoordinasi dengan Kementerian dan Lembaga terkait dan dilaksanakan sepenuhnya oleh PT. Pos Indonesia. Tugas utama PT. Pos Indonesia adalah mendistribusikan KPS ke RTS tanpa dikenai biaya apapun, didampingi oleh aparat desa/kelurahan, dan TKSK (Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan). Selain itu, PT. Pos Indonesia juga berkewajiban mendata KPS yang kembali (retur) dikarenakan berbagai alasan, seperti Rumah Tangga tercatat ganda; Rumah Tangga pindah; Rumah Tangga tidak ditemukan; dan Rumah Tangga yang seluruh anggotanya telah meninggal.
Selama proses distribusi kartu, TKSK memfasilitasi pencatatan jumlah KPS yang kembali per Desa/Kelurahan, selanjutnya direkapitulasi di tingkat kecamatan yang menjadi wilayah kerjanya. TKSK menginformasikan jumlah kartu yang kembali pada masing-masing desa/kelurahan sebagai bahan pelaksanaan Musyawarah Desa atau Kelurahan untuk menentukan rumahtangga pengganti.
2.2.3. Program Percepatan dan Perluasan Perlindungan Sosial
16
P4S merupakan salah satu program pemerintah yang didesain secara terintegrasi bagi rumah tangga sasaran penerima program perlindungan sosial. Desain terintegrasi yang dimaksud adalah menggunakan satu KPS yang dapat digunakan untuk pengambilan manfaat dari beberapa program bantuan sosial. Dengan desain terintegrasi diharapkan dapat lebih mempercepat penurunan kemiskinan selain upaya mengefektifkan program penanggulangan kemiskinan lainnya yang telah berjalan.
Tabel 2 menyajikan cakupan program-program tersebut secara nasional menurut jenjang administrasi wilayah. Program Raskin dan BSM merupakan program yang telah menjangkau seluruh desa. Cakupan Raskin mencapai 15,15 juta rumah tangga, atau 24,7 persen dari jumlah penduduk. Sementara itu, cakupan BSM sekitar 10 persen penduduk, khususnya untuk anggota rumah tangga pemegang KPS pada usia sekolah. Kuota program ini sekitar 16,6 juta siswa yang terdiri dari jenjang pendidikan SD/MI sekitar 10,2 juta siswa, SMP/MTs sekitar 4,1 juta siswa dan jenjang SMA/SMK/MA sekitar 2,3 juta siswa. Cakupan Program Jamkesmas juga sangat besar, mencapai lebih dari 90% dari total desa, dengan total penerima manfaat sebesar 21 juta rumah tangga atau 86,4 juta penduduk.
Tabel 2. Distribusi Program Menurut Jenjang Administrasi Wilayah
PROVINSI KABUPATEN KECAMATAN DESA
NAMA PROGRAM Jumlah 33 497 6727 78,024
Sumber: Basis Data Terpadu, TNP2K, 2013
Keterangan: Persen terhadap total unit wilayah administrasi. * Tidak termasuk Provinsi Papua dan Papua Barat.
17
tahun 2013, jumlah penerima manfaat program PKH adalah 2,32 juta rumah tangga atau setara dengan 10,06 juta jiwa.
Dalam konteks penargetan, diharapkan bahwa rumah tangga yang paling miskin mendapatkan seluruh program penanggulangan kemiskinan dan P4S yang diluncurkan oleh Pemerintah. Karena PKH adalah program dengan cakupan kepesertaan yang paling sedikit, maka seluruh peserta PKH seyogyanya mendapatkan BSM (untuk anak yang bersekolah), Raskin (untuk rumah tangga), dan menjadi penerima bantuan iuran program Jaminan Kesehatan (untuk seluruh anggota rumah tangga). Dengan bantuan program yang komprehensif tersebut maka diharapkan RT yang paling miskin dapat memperbaiki kondisi hidupnya.
Tabel 3. Jumlah Rumah Tangga dan Anggota Rumah Tangga Sasaran Program Penanggulangan Kemiskinan Berbasis Rumah Tangga dan Individu, 2013
Cakupan Penerima Program RASKIN
Program Keluarga Harapan
Program BSM
Program Jamkesmas*
Rumah tangga (juta) 15,5 1,9 15,5 21,8 Individu anggota RT (juta) 10,9 16,6 86,4
Sumber: TNP2K
Keseluruhan program tersebut secara kumulatif seharusnya mempunyai dampak yang nyata terhadap penurunan tingkat kemiskinan. Namun, seperti dikemukakan sebelumnya, laju penurunan tingkat penduduk miskin secara aktual masih belum mampu mencapai target tingkat kemiskinan yang ditetapkan RPJMN 2010-2014.
18
Tabel 4. Jumlah Desa dan Kecamatan Menurut Jumlah Program Penanggulangan Kemiskinan yang Diterima, 2013
Jumlah program
Jumlah
(% terhadap total Nasional)
DESA KECAMATAN
1 Program 7,624 570
9.49 8.32
2 Program 20,136 147
25.06 2.14
3 Program 40,073 4,754
49.88 69.36
4 Program 12,503 1,383
15.56 20.18
Total 80,336 6,854
Sumber: TNP2K Keterangan:
[1] Wilayah yang hanya menerima salah satu dari program Raskin, BSM, Jamkesmas dan PKH
[2] Wilayah yang menerima 2 program yang terdiri dari kombinasi antara Raskin, BSM, Jamkesmas dan PKH [3] Wilayah yang menerima 3 program yang terdiri dari kombinasi antara Raskin, BSM, Jamkesmas dan PKH [4] Wilayah yang menerima 4 program dan terdiri dari Raskin, BSM, Jamkesmas dan PKH
19
B
AGIAN
3
U
PAYA
P
ENAJAMAN
P
ENANGGULANGAN
K
EMISKINAN
‘Diperlukan penajaman fokus dengan
penargetan berbasis wilayah untuk
meningkatkan efektivitas pelaksanaan program
20
3.1 Penargetan Wilayah Prioritas
Pemerintah perlu memastikan bahwa seluruh program penanggulangan kemiskinan yang dilakukan berjalan sesuai dengan rencana. Hal ini dapat dilakukan dengan cara melakukan pemantauan terhadap efektivitas pelaksanaan seluruh program penanggulangan kemiskinan, terutama bagi program-program berbasis individu dan rumah tangga, di wilayah-wilayah prioritas kantong kemiskinan. Upaya ini dirasa cukup realistis untuk dilakukan, karena dapat dilakukan berbasiskan program-program yang sudah ada, dan Pemerintah tidak perlu menciptakan program penanggulangan kemiskinan baru.
Penargetan wilayah prioritas kantong kemiskinan sebenarnya bukanlah merupakan hal baru dalam program penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Di masa lalu, program Inpres Desa Tertinggal (IDT) misalnya, merupakan program pemerintah yang telah menggunakan pendekatan target kewilayahan atau geographical targeting. Pada batasan tertentu, pelaksanaan program PNPM Mandiri, juga telah mengadopsi pendekatan ini.
Upaya penajaman penanggulangan kemiskinan melalui penargetan wilayah prioritas kantong kemiskinan disusun berdasarkan berbagai pertimbangan: pertama, masa tugas Kabinet Indonesia Bersatu II (KIB II) tersisa kurang dari satu tahun. Kedua, efisiensi pemanfaatan sumberdaya dengan memfokuskannya pada wilayah prioritas. Ketiga, fokus pemantauan terhadap pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan dapat lebih efektif. Keempat, pengukuran target pencapaian dapat lebih terkontrol. Dan kelima, dapat dijadikan sebagai dasar perluasan pada program-program terkait lainnya (scaling-up prototype).
21
3.2 Basis Wilayah Prioritas
3.2.1. Kerangka Pemikiran
Upaya dan program penanggulangan kemiskinan yang telah dijalankan masih memerlukan penguatan, yang dilakukan dengan cara memberikan perhatian lebih berupa pemantauan terhadap pelaksanan program penanggulangan kemiskinan di wilayah prioritas kantong kemiskinan. Paling tidak terdapat empat skenario yang dapat dimanfaatkan sebagai pendekatan dalam menentukan basis wilayah prioritas. Keempat skenario tersebut adalah berdasarkan: (i) jumlah penduduk miskin, (ii) jumlah penduduk yang termasuk 10 persen terendah (desil 1 di Basis Data Terpadu), (iii) jumlah rumah tangga penerima KPS, dan (iv) pemanfaatan Indeks Kesejahteraan Wilayah (IKW) berbasis kemiskinan multidimensi.
Tabel 5. Skenario Penargetan Wilayah Prioritas
Skenario Dasar Penentuan
Identifikasi pemilihan 100 wilayah
prioritas Sumber Data
1 Jumlah
Penduduk Miskin
Wilayah dengan jumlah penduduk miskin tertinggi adalah wilayah prioritas
Badan Pusat Statistik, Publikasi Kemiskinan
2 Jumlah
Penduduk di Desil 1 BDT
Wilayah dengan penduduk desil 1 tertinggi adalah wilayah prioritas.
Basis Data Terpadu, TNP2K
3 Jumlah
Penerima KPS
Wilayah dengan jumlah rumah tangga penerima KPS tertinggi merupakan wilayah
prioritas.
Basis Data Terpadu dan Kartu Perlindungan Sosial,
TNP2K 4 IKW berbasis
kemiskinan multidimensi
Berdasarkan komposit indeks multi-dimensi yang terkait langsung atau tidak langsung dalam menentukan tingkat kesejahteraan. Wilayah dengan indeks kesejahteraan wilayah terendah merupakan wilayah
prioritas.
Berbagai sumber dengan melakukan estimasi dan
dekomposisi
22
pengeluaran makanan dan non-makanan minimum. Jumlah penduduk di Desil 1 BDT didapatkan dari pemeringkatan kondisi sosial-ekonomi rumah tangga, berbasiskan model
proxy-means testing yang juga dibangun berdasarkan pengeluaran atau konsumsi rumah tangga. Jumlah penerima KPS pada prinsipnya juga ditentukan oleh hasil pemeringkatan rumah tangga, namun pada jumlah cakupan yang lebih tinggi dibandingkan indikator kedua. Jika Desil 1 menggunakan batasan (cut-off) 10 persen peringkat terendah, maka cakupan KPS menggunakan batasan (cut-off) sebesar 25 persen peringkat terendah.
Indeks Kesejahteraan Wilayah (IKW) dibangun dengan memasukkan berbagai dimensi non-konsumsi, terutama variabel-variabel yang dapat lebih mencerminkan kondisi kemiskinan di wilayah yang bersangkutan. Perumusan IKW didasari oleh kenyataan bahwa permasalahan kemiskinan tidak hanya tercermin dari rendahnya tingkat konsumsi masyarakat, melainkan juga terkait dengan permasalahan infrastruktur wilayah, pendidikan, kesehatan, perumahan, ketenagakerjaan dan dimensi lainnya. Penggunaan IKW untuk memilih dan menentukan wilayah prioritas yang menjadi kantong kemiskinan, dapat digunakan baik dari tingkat kabupaten/kota hingga tingkat desa/kelurahan. Beberapa faktor yang diduga berperan kuat sebagai pendorong maupun penghambat terhadap kemajuan atau ketertinggalan suatu wilayah, antara lain 1) Tingkat kesejahteraan ekonomi masyarakat, 2) Kondisi kesehatan masyarakat, 3) Kondisi pendidikan masyarakat, 4) Kondisi infrastruktur masyarakat, 5) Kondisi perumahan masyarakat, dan 6) Kondisi ketenagakerjaan masyarakat. Keseluruhan variabel, indikator dan metode pembentukan indeks akan diuraikan di bawah ini.
3.2.2. Variabel, Indikator dan Faktor Komposit IKW
Indeks Kesejahteraan Wilayah (IKW) yang mencerminkan tingkat kemiskinan (dan juga tingkat kesejahteraan) suatu wilayah dibentuk dari dua faktor komposit (lihat Gambar 12). Faktor komposit pertama adalah komponen non-konsumsi rumah tangga yang merupakan gabungan dari berbagai variabel sumberdaya dan infrastruktur masing-masing wilayah di dalamnya. Faktor komposit non-konsumsi menggambarkan kondisi kesejahteraan suatu wilayah, dengan tanpa memperhatikan tingkat kemiskinan penduduknya. Wilayah dengan sumberdaya dan infrastruktur yang terbatas dapat dikategorikan sebagai wilayah kurang sejahtera. Enam variabel utama pembentuk faktor komposit komponen non-kemiskinan terdiri dari variabel ekonomi, kesehatan, pendidikan, infrastruktur, perumahan dan ketenagakerjaan, di mana masing-masing variabel dibentuk dari beberapa indikator penjelas lainnya. Tabel 6 menguraikan seluruh indikator penjelas yang digunakan dalam faktor komposit non-konsumsi.
23
rumah tangga identik dengan kemiskinan pada level individu dan rumah tangga. Beberapa komponen variabel atau indikator yang termasuk dalam komponen kemiskinan adalah jumlah penduduk miskin, tingkat kemiskinan (P0), kedalaman kemiskinan (P1) dan keparahan kemiskinan (P2).
24
Tabel 6. Faktor, Variabel dan Indikator Kesejahteraan Wilayah
KOMPONEN NON-KONSUMSI
1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Perkapita
1. Jumlah Sarana Sekolah Dasar (SD/MI);
2. Pendapatan Asli Daerah (PAD);
2. Jumlah Sarana Sekolah Menengah Pertama (SMP/MTs); 3. Indeks Kemahalan Konstruksi
(IKK);
3. Jumlah Sarana Sekolah Menengah Atas (SMA/MA/MTs);
4. Indeks Kapasitas Fiskal (IKF); 4. Rasio Guru/Murid (Per-100 siswa);
5. Jumlah Koperasi; 5. Angka Partisipasi Sekolah; 6. Bank Umum dan Kredit 6. Angka Melek Huruf
1. Penerangan Utama di Jalan;
2. Tingkat Kesakitan (Morbidity Rate);
2. Telepon Desa
3. Jumlah Rumah Sakit; 3. Wartel/Warnet; 4. Jumlah Posyandu; 4. Kantor Pos/Poskel; 5. Jumlah Praktek Kesehatan 5. Permukaan Jalan Utama
Aspal/Beton/Kerikil; 6. Permukaan Jalan Terluas
Aspal/Beton/Kerikil
1. Tingkat Pengangguran Terbuka;
2. Persentase Rumah Tangga dengan Air Minum Layak;
2. Persentase Pekerja yang Bekerja Selama Kurang dari 14 Jam Seminggu;
3. Persentase Rumah Tangga dengan Lantai Keramik, Semen, Ubin;
3. Persentase Pekerja yang Bekerja Selama Kurang dari 35 Jam Seminggu;
4. Persentase Rumah Tangga dengan Sanitasi Layak;
4. Persentase Keluarga Sektor Pertanian;
5. Persentase Rumah Tangga dengan Bahan Bakar Listrik, Minyak Tanah dan Gas;
5. Persentase Keluarga Buruh Pertanian
6. Persentase Rumah Tangga yang Memiliki Aset Berharga;
7. Persentase desa dengan Permukiman Kumuh;
KOMPONEN KONSUMSI Kondisi
Kemiskinan Masyarakat
1. Jumlah Penduduk Miskin; 2. Tingkat kemiskinan (P0);
3. Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1);
25
Model yang digunakan dalam pembentukan faktor komposit IKW adalah discriminant analysis
dengan memanfaatkan tools statistik faktor atau PCA – Principal Component Analysis. Pendekatan yang digunakan adalah dengan membuat komposisi pembobotan (weighting) yang setara antara dimensi kemiskinan non-konsumsi dan dimensi kemiskinan konsumsi yang dilakukan dengan cara membuat scoring pada masing-masing faktor dimensi.
Gambar 13. Faktor Komposit IKW
Pada saat yang sama, setiap komponen faktor pembentuk IKW diberi bobot yang sama, dengan asumsi tidak ada satupun komponen faktor yang dianggap lebih memiliki kemampuan (prioritas) dalam mempengaruhi tingkat kesejahteraan suatu wilayah. Gambar 13 menjelaskan bahwa faktor-faktor di bawah dimensi kemiskinan non-konsumsi mempunyai kesetaraan bobot yang saling terkait satu-sama lain. Pada sisi lain, dimensi kemiskinan konsumsi hanya mempunyai komponen pembentuk faktor.
Faktor Komposit Dimensi Non-Konsumsi
Faktor Ekonomi Faktor Pendidikan
Faktor Kesehatan
Faktor Infrastruktur
Faktor Perumahan
Faktor Tenaga Kerja
Faktor Dimensi Konsumsi
Jumlah Penduduk Miskin Tingkat Kemiskinan Indeks Kedalaman Kemiskinan Indeks Keparahan Kemiskinan
26
3.3 Pemilihan Wilayah Prioritas
3.3.1. Dasar Pemilihan Wilayah Prioritas
Peringkat kesejahteraan wilayah disajikan dengan pola urutan nilai IKW dari nilai indeks terendah sampai tertinggi (0-100). Suatu wilayah dengan nilai komposit indeks mendekati 0 (nol) merupakan wilayah yang perlu mendapatkan prioritas dalam pemantauan pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan. Sebaliknya, wilayah dengan nilai komposit indeks mendekati 100 merupakan wilayah yang lebih sejahtera.
Langkah awal penentuan wilayah prioritas dilakukan dengan cara mengurutkan nilai IKW seluruh kabupaten/kota yang diperoleh dari normalisasi scoring faktor,yang terbentuk dari faktor komposit dimensi non-konsumsi dan konsumsi, dari nilai terkecil sampai terbesar. Berdasarkan nilai IKW yang sudah diurutkan tersebut, kemudian dipilih 100 kabupaten/kota yang terendah sebagai basis wilayah prioritas.
Pemilihan wilayah prioritas dilakukan atas dasar ketersediaan biaya dan target yang akan dicapai. Saat ini, jumlah wilayah prioritas untuk tingkat nasional hanya dipilih sebanyak 100 kabupaten/kota tertinggal. Jumlah kabupaten/kota terpilih yang terbatas tersebut didasari oleh beberapa alasan, yaitu:
1. Jangka waktu pemantauan yang pendek (±6 bulan). 2. Efisiensi biaya dan sumberdaya.
3. Lebih fokus dalam implementasi dan efektifitas pemantauan program penanggulangan kemiskinan.
4. Pengukuran target pencapaian yang lebih terkontrol.
5. Dapat dijadikan sebagai dasar perluasan (Scaling-Up Protoype).
27
Gambar 14. Dasar Pemilihan Wilayah Prioritas Berdasarkan IKW
Penentuan target IKW tingkat kecamatan dan desa dilakukan di tingkat kabupaten/kota terpilih. Untuk tingkat kecamatan dan desa, indikator yang digunakan adalah proxy dari indikator yang dipakai pada tingkat kabupaten/kota, dengan beberapa tambahan indikator yang mencerminkan ketertinggalan wilayah. Oleh karena itu, sebagian besar data yang digunakan pada tingkat kecamatan dan desa adalah data Potensi Desa (Podes) tahun 2011 yang telah memasukkan dimensi kualitas dan beberapa indikator lain yang bersumber dari Sensus Penduduk Tahun 2010.
3.3.2. Perbandingan Pilihan Skenario Wilayah Prioritas
Upaya penajaman penanggulangan kemiskinan yang dilakukan Pemerintah melalui pemantauan terhadap pelaksanaan seluruh program penanggulangan kemiskinan di 100 kabupaten/kota yang termasuk dalam wilayah prioritas, yang idealnya juga harus mengikutsertakan kegiatan pemantauan dan evaluasi yang telah dilakukan oleh masing-masing program penanggulangan kemiskinan (bantuan sosial) yang sudah ada demi tercapainya tujuan dari setiap program.
Untuk menjaga agar program penanggulangan kemiskinan berjalan sesuai dengan rencana, serta mampu memberikan dampak yang signifikan terhadap percepatan penurunan tingkat kemiskinan di tingkat nasional, perlu dilakukan evaluasi (perbandingan) terhadap basis wilayah prioritas berdasarkan keempat skenario pemilihan wilayah prioritas yang sudah ditentukan. Hasil evaluasi akan memberi konfirmasi awal berupa seberapa robust (mampu
28
memberi dampak yang signifikan) basis wilayah prioritas yang dihasilkan berdasarkan pendekatan IKW dibandingkan dengan pendekatan yang lain. Evaluasi akan dilakukan terhadap indikator-indikator kemiskinan, antara lain tingkat kemiskinan, kedalaman dan keparahan kemiskinan, serta jumlah orang miskin.
Tingkat Kemiskinan
Dengan menggunakan referensi tingkat kemiskinannasional sekitar 11,66 persen (September 2012), Skenario 1 menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan pada wilayah prioritas adalah sebesar 16,41 persen, sedangkan pada wilayah non-prioritas sebesar 7,56 persen. Sementara dengan menggunakan Skenario 2, tingkat kemiskinan di wilayah prioritas adalah sebesar 12,20 persen, dan 9,08 persen pada wilayah non-prioritas.
Gambar 15. Perbandingan Tingkat Kemiskinan (P0) dengan Berbagai Skenario Wilayah Prioritas
Sumber: Hasil Estimasi Susenas September 2012
Hasil evaluasi Skenario 3 terhadap wilayah prioritas kantong kemiskinan menunjukkan jika tingkat kemiskinan di wilayah prioritas adalah sebesar 11,29 persen, sedangkan wilayah non-prioritas sebesar 11,73 persen. Sementara penerapan Skenario 4 menghasilkan gambaran tentang tingkat kemiskinan pada wilayah prioritas jauh lebih tinggi, yaitu 20,4 persen, sedangkan pada wilayah non-prioritas adalah sebesar 9,83 persen.
7,56 9,08
11,29
9,83 16,41
12,20 11,73
20,40
11,66
Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4
29
Dari keseluruhan hasil evaluasi pemilihan skenario wilayah prioritas berdasarkan tingkat kemiskinan, dapat ditunjukkan jika wilayah prioritas pada Skenario 4 memiliki tingkat kemiskinan yang lebih tinggi dibandingkan dengan skenario lain. Dengan kata lain, pemantauan terhadap pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan yang efektif di wilayah prioritas berdasar Skenario 4 diharapkan akan mampu memberi dampak yang besar terhadap penurunan tingkat kemiskinan.
Kedalaman dan Keparahan Kemiskinan (P1 dan P2)
Dengan menggunakan referensi tingkat kedalaman kemiskinan nasional pada bulan September 2012 sebesar 1,90 persen, Skenario 1 menunjukkan bahwa tingkat kedalaman kemiskinan di di wilayah prioritas jauh lebih tinggi 2 kali lipat dibandingkan dengan rata-rata nasional maupun wilayah non-prioritas. Sementara dengan menggunakan Skenario 2, tingkat kedalaman kemiskinan pada wilayah prioritas lebih besar dibandingkan dengan wilayah non-prioritas, dan lebih besar dibandingkan dengan rata-rata nasional.
Gambar 16. Perbandingan Kedalaman Kemiskinan (P1) dengan Berbagai Skenario Wilayah Prioritas
Sumber: Hasil Estimasi Susenas September 2012
Hasil evaluasi Skenario 3 menunjukkan tingkat kedalaman kemiskinan di wilayah prioritas dan non-prioritas relatif sama, bahkan lebih tinggi tingkat kedalaman kemiskinan pada wilayah
1,18
1,46
1,94
1,55 2,74
1,99 1,90
3,61
1,90
Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4
30
non-prioritas. Sementara itu, Skenario 4 memberi gambaran jika kedalaman kemiskinan pada wilayah prioritas lebih dari 2 kali wilayah non-prioritas.
Angka-angka ini menunjukkan bahwa wilayah prioritas berdasarkan pendekatan IKW merupakan wilayah dengan rata-rata pengeluaran per kapita rumah tangga cukup jauh dari garis kemiskinan. Artinya Pemerintah perlu untuk memberikan perhatian lebih kepada wilayah prioritas yang terpilih berdasarkan penerapan Skenario 4 mengingat wilayah-wilayah tersebut terbukti lebih miskin dibanding wilayah lainnya.
Dalam konteks keparahan kemiskinan, angka nasional yang digunakan sebagai referensi adalah sebesar 0,49 persen (September 2012). Hasil pendekatan Skenario 1 menunjukkan jika tingkat keparahan kemiskinan wilayah prioritas ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah non-prioritas, dan masih lebih tinggi dibanding angka nasional. Dengan menggunakan Skenario 2, wilayah prioritas memiliki tingkat keparahan kemiskinan lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah non-prioritas, yaitu 0,51 berbanding 0,39.
Gambar 17. Perbandingan Keparahan Kemiskinan (P2) dengan Berbagai Skenario Wilayah Prioritas
Sumber: Hasil Estimasi Susenas September 2012 0,30
0,39
0,53
0,38 0,70
0,51 0,48
0,98
0,49
0,00 0,30 0,60 0,90 1,20
Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4
31
Penggunaan Skenario 3 menunjukkan tingkat keparahan wilayah non-prioritas yang lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah prioritas, yaitu 0,53 dibanding 0,48. Hal ini menunjukkan bahwa wilayah yang menjadi prioritas merupakan wilayah dengan ketimpangan per kapita rumah tangga lebih rendah terhadap garis kemiskinan dibandingkan dengan wilayah non-prioritas. Sementara, hasil penerapan Skenario 4 menunjukkan hal yang lebih kontras, dimana tingkat keparahan kemiskinan di wilayah prioritas hampir 3 kali lipat lebih besar dibanding wilayah non-prioritas, dan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tiga skenario sebelumnya.
Dengan kata lain, wilayah prioritas yang dihasilkan oleh pendekatan IKW merupakan wilayah dengan ketimpangan pendapatan per kapita rumah tangga terhadap garis kemiskinan yang paling tinggi. Sehingga upaya khusus Pemerintah yang dilakukan di wilayah-wilayah terpilih berdasarkan penerapan Skenario 4 diharapkan akan mampu memperkecil ketimpangan pendapatan per kapita antar rumah tangga.
Jumlah Penduduk Miskin
Dengan menggunakan referensi jumlah penduduk miskinpada September 2012 sekitar 28,6 juta, ternyata wilayah-wilayah prioritas pada Skenario 4 memiliki jumlah penduduk miskin sebanyak 8,67 juta yang jauh lebih kecil dibanding dengan tiga skenario lainnya. Hal ini dapat dipahami mengingat pendekatan IKW tidak mendasarkan pilihan wilayah prioritas hanya dengan menggunakan dimensi kemiskinan konsumsi (ekonomi) saja, tetapi juga mengikutsertakan dimensi kemiskinan non-konsumsi (sosial, infrastruktur, dan lain sebagainya). Artinya, wilayah-wilayah yang terpilih berdasarkan Skenario 4 merupakan wilayah yang memiliki tingkat kompleksitas permasalahan kemiskinan (ekonomi dan non-ekonomi) yang lebih besar dibanding wilayah lain.
Kecilnya jumlah penduduk miskin di wilayah-wilayah yang terpilih berdasarkan Skenario 4, sedikit banyak juga mengkonfirmasi ketaatan penerapan prinsip penargetan individu (tepat sasaran) seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Selain karena jumlah penduduk miskin tidak merepresentasikan relatif kemiskinan di suatu wilayah karena sangat tergantung pada banyaknya jumlah penduduk yang ada di wilayah tersebut. Dengan kata lain, program penanggulangan kemiskinan selain tepat menyasar wilayah-wilayah dengan tingkat kesejahteraan terendah, juga hanya akan diberikan kepada penduduk miskin tertentu yang benar-benar membutuhkan, sehingga program penanggulangan kemiskinan dapat berjalan dengan efektif.
32
kantong kemiskinan. Pendekatan IKW dikatakan lebih unggul mengingat wilayah-wilayah prioritas yang terpilih berdasarkan pendekatan IKW terbukti memiliki karakteristik (i) tingkat kemiskinan yang lebih tinggi dibanding wilayah prioritas yang dihasilkan dengan menggunakan pendekatan lain, (ii) perbedaan jarak pendapatan rumah tangga terhadap garis kemiskinan yang lebih besar dibanding wilayah prioritas yang dihasilkan dengan menggunakan pendekatan lain, (iii) ketimpangan pendapatan rumah tangga yang lebih besar dibanding wilayah prioritas yang dihasilkan dengan menggunakan pendekatan lain, serta (iv) jumlah penduduk miskin yang lebih sedikit dibanding wilayah prioritas yang dihasilkan dengan menggunakan pendekatan lain.
Tabel 7. Perbandingan Indikator Kemiskinan di 100 Kabupaten Wilayah Prioritas1
Deskripsi Nasional
Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4
Jumlah Penduduk
Distribusi Penduduk Miskin
(%)
Perkotaan (%) 36.75 57.74 25.57 17.99 39.64 16.15 40.05 48.90 8.80
Perdesaan (%) 63.25 42.26 74.43 82.01 60.36 83.85 59.95 51.10 91.20
Sumber: Hasil Estimasi Susenas September 2012
1IKW berangkat dari kabupaten/kota; contoh: jika 1 provinsi terdiri atas 5 kabupaten/kota dimana 2 termasuk daerah IKW, maka
33
Cakupan dan Distribusi Wilayah Prioritas
Hasil perbandingan wilayah prioritas berdasarkan keempat skenario menunjukkan adanya perbedaan sebaran persentase dan jumlah daerah (provinsi) untuk setiap skenario, seperti tersaji dalam mapping sebaran wilayah prioritas pada Gambar 18.
Dengan menggunakan Skenario 1, diperoleh gambaran bahwa distribusi wilayah prioritas secara nasional hanya terdapat di 12 provinsi dan terkonsentrasi di Pulau Jawa dengan Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat sebagai prioritas utama. Dari 100 wilayah (kabupaten/kota) yang diprioritaskan, 82 kabupaten/kota prioritas berada di Pulau Jawa dan 13 kabupaten/kota prioritas berada di Pulau Sumatera, sedangkan 5 kabupaten/kota prioritas sisanya berada di luar kedua pulau tersebut. Besarnya jumlah penduduk di kedua pulau tersebut telah menyebabkan terjadinya konsentrasi wilayah prioritas pada kedua pulau ini.
Dengan menggunakan Skenario 2 atau pendekatan jumlah penduduk yang berada pada desil 1, diperoleh gambaran sebaran wilayah prioritas yang relatif sama dengan Skenario 1, dimana wilayah prioritas hanya mencakup 13 provinsi. Dari 100 wilayah yang dijadikan prioritas, 80 kabupaten/kota diantaranya berada di Pulau Jawa dan 13 kabupaten/kota lainnya berada di Pulau Sumatera. Hal ini mengindikasikan jumlah penduduk miskin pada kedua pulau tersebut ternyata proporsional terhadap jumlah penduduk yang termasuk dalam kelompok desil 1 atau 10 persen kelompok terbawah. Skenario 3 atau pemilihan wilayah berdasarkan sebaran rumah tangga penerima Kartu Perlindungan Sosial (KPS) menunjukkan hal yang tidak jauh berbeda dibandingkan dengan dua skenario sebelumnya. Sekali lagi, distribusi wilayah prioritas masih cenderung terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Sumatera dan hanya tersebar di 13 provinsi.
34
Gambar 18. Sebaran Wilayah Prioritas
Wilayah Non-Prioritas Wilayah Prioritas
Wilayah Non-Prioritas Wilayah Prioritas
Wilayah Non-Prioritas Wilayah Prioritas
Skenario 1: Jumlah Penduduk Miskin
Skenario 2: Jumlah Penduduk Desil 1
Skenario 3: Jumlah Penerima Kartu
Perlindungan Sosial (KPS)
35
Tabel 8. Perbandingan Distribusi Wilayah dengan Berbagai Skenario
36
3.3.3. Program Penanggulangan Kemiskinan pada Wilayah Prioritas
Wilayah terpilih merupakan wilayah (kabupaten/kota) prioritas yang akan dijadikan target pemantauan secara intensif dan lebih terukur dalam mencapai tujuan pemantauan. Kegiatan utama yang dilakukan di wilayah prioritas pemantauan hanya memanfaatkan program yang sudah ada dan sedang berjalan. Demikian pula halnya dengan instrumen dan petugas yang akan bekerja di lapangan adalah dengan mengunakan (mamaksimalkan) perangkat yang sudah ada. Dengan kata lain, tidak ada program baru yang akan dilaksanakan di wilayah prioritas.
Hal baru yang mungkin dilakukan di wilayah prioritas pemantauan adalah adanya koordinasi yang solid antar penyelenggara program penanggulangan kemiskinan. Koordinasi harus dilakukan dengan lebih baik serta di bawah kendali suatu unit lembaga yang mempunyai pengalaman, tugas dan tanggung jawab dalam pengawasan dan penilaian kinerja kementerian/lembaga. Hal ini menjadi sangat penting mengingat besar kemungkinan satu wilayah prioritas memiliki (dilaksanakan) lebih dari satu program penanggulangan kemiskinan.
Gambar 19. Perbandingan Cakupan Program Nasional dan Wilayah Prioritas
Sumber: Hasil Analisis Podes 2011
37
3.4. Wilayah Prioritas Berdasarkan IKW
Program penanggulangan kemiskinan harus dilaksanakan secara tepat sasaran, tepat jumlah, tepat harga, dan tepat waktu. Dalam koneksitas ini, Pemerintah memiliki peran besar dalam memastikan bahwa program penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan dapat berjalan sesuai dengan rencana.
Wilayah prioritas yang ditentukan berdasarkan IKW akan digunakan sebagai basis pelaksanaan pemantauan program penanggulangan kemiskinan yang efektif. 100 wilayah prioritas (kabupaten/kota) yang perlu dipantau secara intensif adalah sebagaimana dalam tabel berikut.
Tabel 9. Kabupaten dan Kota Prioritas Berdasarkan Indeks Kesejahteraan Wilayah
No Kabupaten/Kota Provinsi
Jumlah
38
No Kabupaten/Kota Provinsi
Jumlah
39 No Kabupaten/Kota Provinsi
Jumlah
Jumlah Rumah Tangga Penerima KPS
42
SEKRETARIAT
TIM NASIONAL PERCEPATAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN
Grand Kebon Sirih Lt. 4
Jl. Kebon Sirih Raya No. 35 Jakarta Pusat 10110, Indonesia Telp : 021 – 3912 812