• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pro Dan Kontra Conjugal pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pro Dan Kontra Conjugal pdf"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

1

PRO DAN KONTRA CONJUGAL VISIT DI INDONESIA

A. Latar Belakang

B. Perkembangan masyarakat mempunyai pengaruh pada perkembangan hukum yang berlaku, termasuk di Indonesia karena adanya perkembangan dalam masyarakat yang

semakin maju/berkembang maka peraturan-peraturan yang ada tidak memadai lagi, karena

perkembangan hukum ibarat deret hitung sedangkan perkembangan masyarakat ibarat deret

ukur. Dalam hal ini peraturan perundang-undangan perlu mengantisipasi dengan

mengadakan penambahan/perubahan pada undang-undang yang dianggap tidak memadai lagi

dengan cara merevisi atau membuat undang-undang baru yang tidak diatur dalam KUHP.

Hukum pidana adalah bagian dari hukum yang mengadakan dasar dan aturan-aturan

untuk menentukan perbuatan –perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, dilarang dengan

disertai ancaman berupa suatu sanksi pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar

larangan tersebut. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dilaksanakan

apabila ada orang yang melanggar larangan tersebut.

Perbuatan pidana/tindak Pidana (delik) sendiri adalah suatu perbuatan, yang

melanggar peraturan-peraturan pidana, diancam dengan hukuman oleh Undang-undang dan

dilakukan terhadap seseorang yang bersalah, dan harus dapat dipertanggungjawabkan.

Dalam konteks ini dasar dari pada adanya perbuatan pidana adalah asas legaliteit, yaitu

asas yang menentukan bahwa sesuatu perbuatan dilarang dan diancam dengan pidana, barang

siapa yang melakukannya, sedangkan dasar dari pada dipidananya sipembuat adalah asas

“tidak dipidana jika tidak ada kesalahan”. Dapat pula dikatakan orang tidak mungkin

(2)

2

meskipun dia melakukan perbuatan pidana, tidaklah selalu pelaku dapat dipidana. jika yang

melakukan tindak pidana ini, orang yang sakit jiwa, sebagaimana diatur di dalam pasal 44

KUHP.

Seseorang yang dianggap telah melakukan tindak pidana/tersangka akan masuk ke

dalam proses peradilan pidana. Proses Peradilan Pidana adalah suatu sistem dengan

kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, serta pemasyarakatan sebagai Sub-Sub Sistem.Pelanggar

hukum berasal dari masyarakat dan akan kembali pula kemasyarakat, baik sebagai warga

yang taat pada hukum (non residivist) maupun mereka yang kemudian mengulangi kembali

perbuatan pidananya.

Diharap dengan jenis pidana tertentu itu, sekeluarnya pelaku tindak pidana, dari

proses pemidaan di Lembaga Pemasyarakatan (kalau ia harus berada di Lembaga

Pemasyarakatan) ada perubahan sikap dan dapat menjadi anggota masyarakat yang lebih baik

dan berguna dari sebelumnya. Hal ini secara jelas dikemukan oleh Nigel Walker dalam

bukunya yang berjudul Sentencing in a Rational Society, bahwa : “Sentencers should be free,

and should be their best, to choose for each offender the measure most likely to cor rect his

tendency to break the law as he has done (and in a more ambitious versim to break law in

any way at all)”.1

Masalah pemidanaan sampai saat ini tetap merupakan masalah yang paling sulit di

dalam hukum pidana. Mengenai pembenarannya maupun mengenai standard dan pedoman

pemberian pidana tetap merupakan masalah aktual untuk dibicarakan.Pengaruh gerakan

1

(3)

3

humanitarian dalam hukum pidana membawa implikasi yang sangat luas, sehingga dari

Tat-Strafrecht hukum pidana tumbuh menjadi Tat-Tat-Strafrecht. Pemidanaan pelaku tindak pidana

harus cocok dengan pribadi orangnya, sehingga pembinaan tersebut benar-benar bersifat

individual dan diarahkan guna mempengaruhi tingkah lakunya.2

Penjatuhan pidana adalah suatu upaya yang sah yang dilandasi oleh hukum Untuk

mengenakan nestapa/penderitaan. Pada seseorang yang melalui proses peradilan pidana ,jika

terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan suatu tindak pidana, Nestapa

Pidana adalah yang dengan sengaja dikenakan pada seseorang oleh negara melalui proses

peradilan pidana. Walaupun seseorang karena kesalahannya menjadi narapidana (untuk

kemudian disingkat menjadi Napi), mereka secara kodrati masih mempunyai kebutuhan yang

sama sebagaimana manusia yang ada diluar penjara diantaranya kebutuhan biologis..

Hak napi adalah pengayoman, persamaan perlakuan dan pelayanan Pendidikan

,pembimbingan penghormatan harkat dan martabat manusia Kehilangan kemerdekaan

merupakan satu-satunya penderitaan, kurang terjaminnya hak untuk tetap berhubungan

dengan keluarga dan orang-orang tertentu

Sejarah adanya gagasan mengenai conjugal visits berawal pada tahun 1918, James

Parchmann, kepala penjara Mississippi State Penitentiary memperkenalkan conjugal visits

sebagai insentif bagi napi untuk bekerja lebih produktif . Diikuti oleh sejumlah negara bagian

lainnya, dengan tujuan yang jauh lebih luas daripada sekedar insentif

Perhatian dari masyarakat luar, memadai daripada para pengambil keputusan

.lembaga-lembaga pemerintah sebagai „second class state legal institution‟, Penjara

2

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, cet. 1. Alumni, Bandung, 1992, hal,102,103

(4)

4

dipandang masyarakat sebagai „tempat pendidikan penjahat‟, Tidak banyak mendapat

perhatian akademisi sebagai subyek penelitian/pengkajian.

Tidak semua negara memberikan conjungcial (CV).Negara yang mengenal

CV-dengan-syarat, a.l. Austria, Brazil, Canada, Denmark, Perancis, Thailand, USA (di 6 negara bagian),

Saudi Arabia

Sebagai ilustrasi di Lapas Tangerang dalam rangka menegakan ketertiban, Kepala

Lapas Anak Pria Tangerang, memberikan kebebasan kepada anak didiknya untuk

menentukan mana perbuatan yang dianggap sebagai pelanggaran ringan, pelanggaran sedang

dan pelanggaran berat beserta regulasi termasuk sanksinya. Tujuannya untuk membiasakan

diri agar mereka melakukan sesuatu kebaikan, bukan karena paksaan dari luar (top down)

akan tetapi berdasarkan atas inisiatip mereka sendiri (bottom up). Ini suatu inisiatip yang

sangat baik dari Kalapas untuk melakukan terobosan kebijakan. Namun yang sangat

mengagetkan adalah, para anak didik tersebut menempatkan perbuatan “sodomi” sebagai

salah satu jenis pelanggaran yang berat yang harus mendapatkan hukuman yang berat pula.

Dari kenyataan yang ada menggambarkan ada sebuah fakta yang mungkin tidak

pernah terpikirkan oleh masyarakat umum tentang kehidupan dalam lembaga pemasyarakatan

(Lapas). Fakta ini memberikan satu pemahaman bahwa ternyata perilaku seksual yang

menyimpang di dalam Lapas merupakan satu hal yang jamak terjadi, demikian pula di dalam

Lapas anak.(batasan usia anak nakal menurut Undang-undang adalah usia 12 tahun sampai

dengan 18 tahun)

Arswendo Atmowiloto memberikan gambaran yang lebih tidak manusiawi tentang

perilaku seks menyimpang manusia yang terpenjara. Dia menggambarkan sebagai berikut3:

Ceritanya, suatu pagi seorang napi yang menjadi peternak soang, atau angsa, menemukan

3

(5)

5

binatang peliharaannya dalam keadaan teler berat. Malah kemudian dinyatakan mati secara

klinis Masalahnya, kemarin sore masih nguak-nguak. Berarti kejadiannya berlangsung malam

hari. Sebabnya jelas karena diperkosa. Yang diselidiki adalah siapa yang memperkosa.

Penelitian berlanjut. untuk bisa memperkosa, seseorang harus keluar dari kamar

menuju ke kandang. Untuk bisa keluar dari kamar, kunci harus dibuka. Berarti juru kunci

ditekan kuat. Akhirnya ia mengaku bahwa napi A, B dan C minta ijin ke kandang.

Sebenarnya, esok hari itu juru kunci juga ikut marah-marah. ”Janjinya Cuma tiga orang. tak tahunya yang ke kandang enam orang!” Rupanya soang menderita kelelahan sehingga teler

berat. Tentu para pemerkosa harus menghadapi hukuman dalam sel.

Banyak variasi penyimpangan perilaku seksual narapidana, baik objeknya maupun

cara untuk mendapatkan obyek, yang ditulis oleh para mantan narapidana lainnya, misalnya

perilaku eentogan (napi keluar Lapas melalui fasilitas ijin berobat tetapi singgah dulu ke

rumah untuk menemui isterinya), sosoangan (napi melakukan pemenuhan hasrat biologisnya

dengan cara menyewa tempat di salah satu ruangan kantor atau kamar mandi), fenomena

celana besukan, “fenomena homoboolabui” dan lain-lain.

Fakta tersebut memberikan gambaran yang gamblang tentang kehidupan di dalam

Lapas. Pengekangan kebebasan memberikan dorongan terhadap para narapidana untuk

melakukan inovasi dalam rangka memenuhi kebutuhan, termasuk kebutuhan biologisnya.

Namun demikian, perilaku seksual yang menyimpang di dalam Lapas (penjara) merupakan

satu fakta yang harus kita pahami secara benar sehingga kita pun dapat memberikan alternatif

pemecahan yang tepat.

B. PERMASALAHAN

Adapun pokok permasalahan yang dibahas dalam makalah ini adalah:

1. Apakah memungkinkan jika conjugal visit diwujudkan di dalam Lembaga

(6)

6

2. Bagaimana pendapat golongan pro dan kontra mengenai Conjungsial Visit di

Indonesia?

C. Analisis.

1.Memungkinkan Conjugal Visit diwujudkan di dalam Lembaga Pemasyarakatan. Sebagaimana kita sadari bahwa pencabutan kebebasan seseorang tidak serta merta

menghilangkan kebutuhan biologis sebagai seorang manusia. Mereka tetap mempunyai

kebutuhan biologis yang menuntut untuk dipenuhi. Secara fisik, tubuh manusia (laki-laki)

dewasa memproduksi hormon testosteron setiap detiknya. Makin muda usia makin banyak

hormon yang dihasilkan. Hal itu mengakibatkan makin besar pula kebutuhan untuk

penyalurannya. Disinilah timbul potensi dilakukannya inovasi untuk memenuhi kebutuhan

biologis narapidana. Inovasi ini dilakukan karena mereka menghadapi lingkungan yang

berbeda dengan lingkungan masyarakat pada umumnya, bahkan Ross Homel dan Carleen

Thompson4, menyebut bahwa penjara bukanlah lingkungan yang normal (not normal

environments).

Seperti diketahui, bahwa salah satu dampak yang dialami oleh narapidana akibat

pemenjaraan adalah hilangnya kesempatan untuk melakukan hubungan seksual (heterosexual

relationship). Bahkan menurut Ronny Nitibaskara5, kehilangan kesempatan untuk melakukan

hubungan seks merupakan derita yang paling berat. Untuk mengatasinya antara lain

melakukan inovasi. Inovasi dalam memenuhi kebutuhan biologis ini seringkali bersifat

menyimpang. Dianggap menyimpang, bukan saja karena obyeknya yang memang tidak

seharusnya (seperti menggunakan binatang sebagai alat pemuas), tetapi juga cara yang

4

Ross Homel dan Carleen Thompson, Causes and Prevention of Violence in Prisons. dalam Corrections Criminology. Ed. Sean O’Toole & Simon eyland. Sydney: Hawkins Press. 2005.pg.101.

5

(7)

7

mereka gunakan bertentangan dengan aturan yang berlaku (seperti mendatangkan wanita tuna

susila ke dalam penjara).

Ironisnya, penyimpangan seksual dalam penjara menjadi satu hal yang biasa dan

bukan sesuatu yang aneh. Masyarakat penjara bersikap permisif karena menganggap bahwa

perilaku tersebut adalah hal yang ”wajar” karena adanya keterbatasan yang mereka alami.

Pembatasan (melalui aturan) terhadap upaya narapidana untuk memenuhi kebutuhan

biologis justru akan semakin mendorong narapidana (dengan didukung petugas) melakukan

inovasi. Narapidana akan berusaha semakin keras agar kebutuhan mereka dapat dipenuhi.

Disinilah teori supply and demand mulai berlaku. Seperti diketahui bahwa dalam penelitian

sosiologi ekonomi (Smelser) dinyatakan bahwa variabel ini adalah merupakan variabel yang

mempengaruhi (independent variables). Semakin langka komoditi, semakin tinggi

permintaan. Makin tinggi permintaan, maka akan semakin tinggi pula penawaran. Makin

tinggi penawaran makin ”mahal” nilai komoditi. Di dalam kesempatan yang demikian, selalu

ada orang yang memanfaatkan peluang tersebut untuk kepentingan dirinya, dengan bertindak

sebagai suplayer komoditi. Dari pengalaman di lapangan, yang bertindak sebagai suplayer ini

biasanya petugas Lapas (biasanya bukan perorangan) yang langsung berhubungan dengan

narapidana. Fenomena tukar menukar kepentingan ini lebih marak manakala, di dalam

tersebut terdapat kelompok narapidana yang mempunyai status ekonomi yang tinggi.

Kebutuhan biologis menjadi variabel penting yang mempengaruhi perilaku

narapidana maupun petugas. Pada satu sisi, narapidana merupakan pihak yang mempunyai

kebutuhan, dan pada sisi yang lain, petugas merupakan pihak yang mempunyai sumber daya

(kewenangan) untuk menentukan apakah kebutuhan tersebut dapat dipenuhi atau tidak.

Aturan merupakan sarana yang dapat dimanfaatkan oleh petugas untuk mendapatkan

keuntungan pribadi. Biasanya, mereka akan memainkan aturan agar keuntungan yang

(8)

8

memenuhi kebutuhan biologis, maka semakin tinggi pula ”harga” yang ditawarkan oleh

narapidana untuk mendapatkan kesempatan tersebut.

Disisi lain, apabila ditinjau dari sudut sosiologis dengan menggunakan pendekatan

teori fungsionalisme struktural maka penyimpangan perilaku seksual tersebut adalah

fungsional guna keberlangsungan eksistensi dari masyarakat tersebut. Dalam teori ini

masyarakat dianggap sebagai suatu sistem yang memiliki kebutuhan demi keberlangsungan

sistem itu sendiri. Talcott Parson menyatakan bahwa suatu masyarakat akan eksis manakala

ditopang oleh empat sub sistem yaitu sub sistem adaptasi yang mengatur tentang pemenuhan

kebutuhan (subsistem ekonomi), subsistem yang mengatur cara (kekuasaan) untuk mencapai

tujuan (subsistem politik), subsistem untuk memelihara integritas (subsistem sosial) dan

subsistem untuk memelihara pola perilaku (subsistem budaya). Oleh karena itu eksistensi

masyarakat penjara, menurut teori ini, akan terjamin sejauh ke empat subsistem ini dapat

bekerja sesuai fungsinya. Dari pendekatan teori ini maka penyimpangan perilaku seksual

narapidana diartikan sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan subsistem ekonomi

masyarakat (narapidana dan petugas) yang terhambat oleh aturan formal.

Secara kelembagaan, tidak ada aturan yang secara khusus mengatur tentang pemenuhan

kebutuhan biologis narapidana. Pelaksanaan pidana penjara berdasarkan sistem

pemasyarakatan belum mengakomodasi secara formal tentang pemenuhan kebutuhan biologis

narapidana.Akan tetapi, pemenuhan kebutuhan biologis dapat dilakukan oleh narapidana

dengan memanfaatkan beberapa instrumen formal yang ada, seperti hak untuk cuti

mengunjungi keluarga (CMK) seperti yang diatur dalam pasal 14 UU Nomor 12 Tahun 1995

tentang Pemasyarakatan dan aturan pelaksanaannya yaitu PP 32 tahun 1999 tentang Syarat

dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan (telah diperbaharui dengan

(9)

9

CMK merupakan salah satu instrumen formal yang memberikan kesempatan kepada

narapidana untuk berkumpul dengan keluarga mereka selama 2 x 24 jam. Selama jangka

waktu tersebut, narapidana dapat belajar untuk berintegrasi dengan keluarga dan masyarakat.

Selain itu, CMK seringkali dimanfaatkan sebagai kesempatan untuk memenuhi kebutuhan

biologis narapidana yang sudah menikah.

Walaupun program CMK ini secara tidak langsung dapat dimanfaatkan untuk

menyalurkan kebutuhan biologis narapidana yang sudah menikah, namun syarat untuk

memperoleh program ini selain harus berkelakuan baik selama menjalani pidana, juga yang

bersangkutan harus sudah menjalani ½ (setengah) dari masa pidananya. Kalau yang

bersangkutan misalnya di pidana 10 (sepuluh) tahun, berarti dia harus menunggu selama 5

(lima) tahun untuk dapat menyalurkan kebutuhan biologisnya kepada istrinya yang sah

secara tidak melanggar aturan Lapas. Sungguh syarat yang sangat berat.

Ditinjau dari sudut hukum Islam, regulasi seperti tersebut di atas memberi peluang

kepada setiap isteri narapidana untuk mengajukan cerai apabila ia ditinggalkan secara

berturut-turut lebih dari 3 (tiga) bulan. Apabila hal ini terjadi, maka tujuan dari

pemasyarakatan untuk mengintegrasikan narapidana dengan masyarakatnya (dalam hal ini

dengan keluarganya) akan mengalami kendala.

Oleh karena itu, perlu kita pikirkan bersama tentang mekanisme pemenuhan

kebutuhan biologis narapidana. Di beberapa negara maju ada satu mekanisme yang dapat

digunakan oleh narapidana untuk memenuhi kebutuhan biologisnya, yaitu program conjugal

visit (kunjungan pasangan keluarga). Conjugal visit ini memberikan kesempatan kepada

suami istri untuk melakukan hubungan seksual di dalam salah satu ruangan penjara. Banyak

pakar percaya bahwa penyimpangan seksual di penjara bisa dikurangi apabila narapidana

(10)

10

Selain itu juga dikenal adanya sex visit dan family visit. Sex visit berlaku untuk

narapidana yang tidak beristri. Sex visit dengan mendatangkan pasangan dari luar, bisa teman

pergaulan atau PSK. Sedangkan family visits khusus untuk keluarga dekat narapidana, baik

pria maupun wanita, dewasa atau belum dewasa. Itu tidak semata-mata untuk keperluan

pemenuhan biologis, melainkan berperan sebagai sublimasi6.

Dari uraian di atas, walau pun ada program famili visit di Indonesia sudah di adopsi

melalui program CMK karena keduanya hampir serupa. kendalanya harus menunggu

setengan dari masa hukuman dan ini sangat lama. Pendapat penulis maka Program sex visit

memungkinkan untuk diadopsi.Program conjugal visit dapat dijadikan alternatif solusi. untuk

meminimalisir adanya proses penyimpangan perilaku seksual (baik obyeknya maupun cara

untuk memperolehnya) di dalam Lapas, sedangkan disisi yang lainnya adalah untuk menjaga

agar tidak terjadi adanya dis-integrasi antara narapidana dengan keluarganya.

Instrument HAM yang mengatur masalah tersebut diatas antara lain:

a. Standard Minimum Rules for Treatment of Prisoners

b. Basic Principles for Treatment of Prisoners

c. Body of Principles for the Protection of all Persons under Any Forms of Detention or

Imprisonment

d. UN Rules for the Protection of Juveniles Deprived of their Liberty

e. Convention against Torture and other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or

Punishment

f. UU no. 12 tahun 1995 mengenai Pemasyarakatan g. UU 39 tahun 1999 tentang HAM, Pasal 33 ayat (1)

6

(11)

11 Menurut Sahardjo, tujuan pidana penjara adalah :

 Menimbulkan rasa derita pada terpidana karena dihilangkannya kemerdekaan

bergerak .

 Membimbing terpidana agar bertobat .

 Mendidik supaya ia menjadi seorang anggota masyarakat sosialis di Indonesia yang

berguna .

Secara umum alasan pemidanaan dapat digolongkan dalam tiga golongan pokok, yaitu

golongan Teori Pembalasan, Teori Tujuan dan Teori Gabungan.

1. Teori Absolut / Pembalasan

Pelaku tindak pidana mutlak harus ada pembalasan yang berupa pidana. Jadi

seseorang penjahat mutlak harus dipidana, ibarat pepatah yang mengatakan darah

bersabung darah, nyawa bersabung nyawa.

Teori ini terbagi 5 (lima):

a. Pembalasan berdasarkan tuntutan mutlak dan etika.

Penganut teori ini adalah Hegel mengatakan bahwa hukum adalah perwujudan

dari kemerdekaan, sedangkan kejahatan adalah merupakan tantangan kepada

hukum dan keadilan

b. Pembalasan demi keindahan atau kepuasan.

Teori ini dikemukakan oleh Herbert menyatakan bahwa merupakan tuntutan

mutlak dari perasaan ketidak puasan masyarakat sebagai akibat dari kejahatan

c. Pembalasan sesuai dengan ajaran Tuhan

Teori ini dikemukakan oleh Stahl Gewin dan Thomas Aquino, mengemukakan

bahwa kejahatan adalah merupakan pelangaran terhadap keadilan dan harus

ditiadakan, mutlak harus diberikan penderitaan kepada penjahat, demi

(12)

12

d. Pembalasan sebagai kehendak manusia .

Teori ini dikemukakan oleh Jean Jacques Rousseau, Hugo De Groot, Grotius,

Beccaria. Memandang Negara sebagai hasil dari kehendak manusia,

mendasarkan pemidanaan juga sebagai perwujudan dari kehendak manusia.

2. Teori Tujuan (teori relatif atau teori perbaikan)

Suatu pidana dapat dijatuhkannya untuk menakut-nakuti calon penjahat atau penjahat

yang bersangkutan, untuk memperbaiki atau menyingkirkan penjahat.

Teori ini terbagi 4 (empat).

a. Pencegahan terjadi suatu kejahatan dengan mengadakan ancaman pidana yang

cukup berat untuk menakut-nakuti calon penjahat. Teori ini di kemukakan oleh

Paul Anselm van Feuerbach.

b. Perbaikan atau pendidikan bagi penjahat.

Penjahat diberikan pendidikan berupa pidana, agar ia kelak dapat kembali

kelingkungan masyarakat dalam keadaan mental yang lebih baik dan berguna.

Teori ini di kemukakan oleh Grolman, Van Krause Roder.

c. Menyingkirkan penjahat dari lingkungan/ pergaulan masyarakat. Penjahat yang

sudah kebal kepada ancaman pidana yang berupa usha menakut-nakuti, supaya

dijatuhi perampasan kemerdekaan yang cukup lama, ahkan jika perlu dengan

hukuman mati. Teori ini di kemukakan oleh Ferri dan Garofalo.

d. Menjamin ketertiban hukum, mengadakan norma-norma yang menjadi

ketertiban umum. Teori ini dikemukakan oleh Frans Von Litz, Van Hamel,

Simons.

(13)

13

Penjatuhan suatu pidana harus memberikan rasa kepuasan, baik bagi hakim maupun

kepada penjahat itu sendiri, disamping kepada masyarakat. Harus ada keseimbangan

antara pidana yang dijatuhkan dengan perbuatan pidana yang dilakukan.

Pendapat penulis yang cocok untuk diterapkan di Indonesia adalah teori

gabungan, karena lebih bersifat manusiawi dan seimbang serta mencerminkan rasa

keadilan apabila diterapkan.Hal tersebut juga selaras dengan Standard Minimum Rules

for the Treatment of Prisoners 1957 dan Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang

Hak Asasi Manusia yang menyatakan bahwa, setiap orang berhak untuk bebas dari

penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan

derajat dan martabat kemanusiaannya.

Penulis berpendapat untuk menghindari sesuatu hal yang tidak diinginkan

sebagaimana uraian di atas jika hal ini memungkinkan, ditinjau dari segala

aspek.kehidupan tidak ada salahnya untuk mewujudkan conjugal Visit di Indonesia,

2. Pendapat Golongan Pro dan Kontra Conjungal Visit . diadakan di Lembaga Pemasyarakat

a. Pihak yang setuju praktek conjungal visit. Diadakan di Lembaga Pemasyarakat Para pihak yang setuju ada praktek conjungal visit. diterapkan di Lembaga Pemasyarakat mempunyai alasan antara lain bahwa seksual suami-istri di Indonesia tidak

ekspresif. Pengalaman panitia posko bencana yang membuat „kamar‟ untuk suami-istri tetapi

ternyata tidak dipergunakan. Pada umumnya masyarakat Indonesia masih merasa malu atau

jengah jika masalah sex diketahui secara terbuka.Petugas lapas sendiri tidak sensitif dan

setengah hati mengeksekusi program tersebut. Sebal karena ada ruangan dalam kantor lapas

(14)

14

yang belum kawin. Kesulitan untuk mengetahui istri yang sah, tidak membantu memecahkan

masalah yang dihadapi oleh terpidana yang normal yang beristri, Merubah masalah hubungan

heteroseksual menjadi alat administratif. Kemungkinan berkembangnya penyakit-penyakit

kelamin dan problem medis lainnya

Dibutuhkan fasilitas khusus yang membebani lembaga, Secara keseluruhan

masyarakat menentang terutama karena kemungkinan dilahirkannya “bayi kesejahteraan”

hasil kandungan di tempat pelaksanaan pidana. Merupakan stimulasi untuk meningkatkan

nafsu seksual yang mengakibatkan problema seksual baru (tambahan) setelah kunjungan,

membuka kesempatan adanya Kolusi Korupsi Nepotisme (KKN). Akibat ketidakjelasan dan

ketiadaan pengawasan terkait siapa yang bisa memperoleh fasilitas tersebut dan kriterianya

b. Pihak yang setuju ada praktek conjungal visit. diterapkan di Lembaga Pemasyarakatan

Para pihak yang setuju ada praktek conjungal visit. Diterapkan di Lembaga Pemasyarakatan

mempunyai argumentasi bahwa diterapkan conjungal visit. dapat membantu melestarikan hubungan suami-istri, meringankan ketegangan seksual, mengurangi terjadinya persetubuhan

sesama jenis. Hal ini merupakan insentif untuk kelakuan baik sehingga dapat mengurangi

pelarian dan menormalisasi keadaan.

Mengadakan conjugal visit atau mengupayakan family visit memperbanyak &

memperpanjang jam kunjungan keluarga, pertemuan secara langsung tanpa pembatas, akses

bagi anak bertemu wanita narapidana, Mengadakan conjugal visit atau terlebih dahulu

mengurangi kesesakan penghuni, tingkat dan keparahan infeksi, prevalensi drugs, maraknya

kekerasan, kelangkaan fasilitas dan program rehabilitasi, tumpulnya daya intervensi program

(15)

15

Menurut WHO (2001), dalam implementasinya perlu ada: pemberian hak yang sama

bagi napi wanita dan napi pria; ada prosedur yang tidak merendahkan napi di mata staf; ada

tersedia kondom.agar Narapidana wanita tidak hamil..

Masalah pro dan kontra mengenai pantas tidaknya diterapkan conjugal visit diterapkan

di Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia adalah hal yang biasa terjadi di dalam suatu

masyarakat, apalagi menyangkut hal hal yang kelihatannya masih dianggap dianggap tabu

oleh masyarakat Indonesia. Untuk mengatasi masalah ini perlu diadakan uji coba dalam

penerapan conjugal visit. selama beberapa waktu, di beberapa lembaga pemasyarakatan.

Bagaimana dampaknya apabila conjugal visit diterapkan di Lembaga Pemasyarakatan,.lebih

banyak dampak positif atau dampak negatifnya.Andaikata lebih banyak dampak positifnya,

mengapa tidak, jika conjungal visit di terapkan di Lembaga Pemasyarakatan.

D. PENUTUP 1. Kesimpulan

a. Tujuan pemidanaan berdasarkan sistem pemasyarakatan adalah reintegrasi sosial,

yaitu untuk mengembalikan narapidana agar menjadi anggota masyarakat yang

sehat dan bertanggung jawab. Oleh karena itu, selama menjalankan pidana

penjara, narapidana harus diberikan kesempatan untuk dapat mengembangkan

pola-pola perilaku yang sehat yang sesuai dengan tata nilai yang berlaku dalam

masyarakat. Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang

Pemasyarakatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat

dan Tata Cara Pelaksanaan Hak-Hak Narapidana (diperbaharui dengan PP 28

(16)

16

ini dapat menjadi dasar dalam mengembangkan mekanisme yang sehat dan

bertanggung jawab, termasuk pula masalah yang berkaitan dengan pemenuhan

kebutuhan biologis narapidana.Berdasarkan hal tersebut conjugal visit di lembaga

pemasyarakatan dimungkinkan untuk diterapkan tetapi harus ada regulasi

sedemikian rupa agar tidak terjadi penyalahgunaan yang justru akan berdampak

kepada citra organisasi.

2. Masalah pro dan kontra adalah hal yang biasa terjadi di dalam suatu masyarakat,

apalagi menyangkut masalah sex, hal hal yang kelihatannya masih dianggap

dianggap tabu oleh masyarakat Indonesia. Perlu diadakan uji coba dalam

penerapan conjugal visit. Lebih banyak dampak positif atau dampak negatifnya.

b. Saran :

1. Perlu adanya sosialisasi masalah

2. Peluang untuk terjadinya penyalahgunaan harus dijaga ketat dengan penuh

tanggung jawab, sehingga kekhawatiran-kekhawatiran yang muncul akibat

pemberlakuan kebijakan ini tidak menjadi kenyataan.

3. Sebelum kebijakan conjugal visit ini diberlakukan, ada baiknya diuji-cobakan

(17)

17

DAFTAR PUSTAKA

Ambeg Paramartha. Community Based Corrections, Jakarta: Tesis Universitas Indonesia.

2003.

Didin Sudirman. Tuntutan Kebutuhan Biologis Narapidana; sebagai salah satu pendekatan

pembinaan dalam rangka reintegrasi sosial , 2010

Ross Homel dan Carleen Thompson. Causes and Prevention of Violence in Prisons. dalam

Corrections Criminology. Ed. Sean O‟Toole & Simon eyland. Sydney: Hawkins Press.

2005.

Tubagus Ronny Nitibaskara. Catatan Kriminalitas, Jakarta. Jayabaya

University Press. 2001.

Nanda Agung Dewantara, Masalah Kebebasan hakim dalam menangani suatu

(18)

18 ABSTRAKS

Seseorang yang telah melakukan tindak pidana akan masuk kedalam proses peradilan pidana (criminal justice system) , yang akhirnya bermuara pada lembaga pemasyarakatan. Tujuannya terpidana masuk Lapas adalah menimbulkan rasa derita pada terpidana karena dihilangkannya sebagian hak-haknya antara lain, hak kebebasannya, tujuan dimasukannya ke Lembaga Pemasyarakatan ialah.membimbing terpidana agar bertobat, .mendidik supaya ia menjadi seorang anggota masyarakat sosialis di Indonesia yang berguna dan sebagainya . Nestapa Pidana adalah yang dengan sengaja dikenakan pada seseorang oleh negara melalui proses peradilan pidana. Walaupun seseorang karena kesalahannya menjadi narapidana, secara kodrati masih mempunyai kebutuhan yang sama sebagaimana manusia yang ada diluar penjara diantaranya kebutuhan biologis..Oleh karena itu, selama menjalankan pidana penjara, narapidana harus diberikan kesempatan untuk dapat mengembangkan pola-pola perilaku yang sehat yang sesuai dengan tata nilai yang berlaku dalam masyarakat. Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak-Hak Narapidana (diperbaharui dengan PP 28 tahun 2006) telah mengatur tentang hak-hak keperdataan narapidana. Ketentuan ini dapat menjadi dasar dalam mengembangkan mekanisme yang sehat dan bertanggung jawab, termasuk hal yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan biologis narapidana.

Berdasarkan hal tersebut conjugal visit di lembaga pemasyarakatan dimungkinkan untuk diterapkan tetapi harus ada regulasi sedemikian rupa agar tidak terjadi penyalahgunaan yang justru akan berdampak negatif kepada citra organisasi.

Penulis: Hj . Tina Asmarawati

Kaprodi Program Pascasarjana Ilmu Hukum UNIS. KATA KUNCI: Penerapan Conjugal Visit di LP

(19)

19 DAFTAR ISI

Hal.

A. LATAR BELAKANG……… ………..………. 1

B. PERMASALAHAN... ... 6

C. ANALISIS……… ………. 6

(20)

20

ANTARA PRO DAN CONTRA CONJUGAL VISIT DI INDONESIA

Oleh

Dr. Hj. Tina Asmarawati, SH, MH

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dalam penelitian ini adalah membangun dan menganalisis Model Black-Scholes dalam penentuan Nilai Hedge Ratio untuk Call Option dan Put Option Tipe

single parent  yang hidup dengan anak-anak mereka yang hidup dengan anak-anak mereka termasuk ayah orangtua tunggal yang belu.. termasuk ayah orangtua tunggal yang belum pernah m

Hasil penelitian yang diperoleh dari 40 penelitian terhadap tes kemahiran membaca cepat siswa kelas X Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 4 Tanjungpinang Tahun Pelajaran

Puji syukur kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul “FAKTOR - FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

Perpustakaan SD Bakulan terletak di lantai dasar SD Bakulan Unit I. Ruangan perpustakaan cukup luas. Ruangan perpustakaan dilengkapi dengan karpet dan beberapa buah

Sedikitnya 7 juta orang (35% dari populasi industri di Amerika dan Eropa) terpajan bising 85 dB atau lebih (Soetjipto, 2007). Di indonesia penelitian tentang gangguan pendengaran

Berpijak dari penelitian ini, peneliti menyarankan: bagi guru: guru hendaknya menerapkan model pembelajaran Jigsaw dengan baik sehingga hasil belajar dan keterampilan

Akibatnya, banyak pelaku UKM yang enggan melakukan penerapan akuntansi, pengelolaan kas tidak dilakukan dengan baik, dan keputusan bisnis yang diambil seringkali dilakukan