• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelaksanaan Discharge Planning oleh Perawat di Ruang Rawat Inap Anak RSUP H. Adam Malik Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pelaksanaan Discharge Planning oleh Perawat di Ruang Rawat Inap Anak RSUP H. Adam Malik Medan"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Discharge Planning

2.1.1 Definisi

Perencanaan pulang atau discharge planning merupakan proses

terintegrasi yang terdiri dari fase-fase yang di tujukan untuk memberikan

asuhan keperawatan yang berkesinambungan (Raden dan Traft dalam

Rosyidi, 2013).

Discharge planning keperawatan merupakan komponen yang terkait

dengan rentang keperawatan atau di sebut dengan keperawatan yang

berkelanjutan, dimana perawatan yang di butuhkan pasien harus diberikan

dimanapun pasien berada. Kegagalan untuk memberikan dan

medokumentasikan perencanaan pulang akan beresiko terhadap beratnya

penyakit, ancaman hidup, dan disfungsi fisik. Dalam perencanan pulang di

perlukan komunikasi yang baik dan terarah sehingga apa yang di

sampaikan dapat di mengerti dan berguna untuk proses keperawatan di

rumah.

2.1.2 Tujuan Discharge Planning

Tujuan dari discharge planning menurut Jipp dan Siras adalah sebagai

berikut: 1) Menyiapkan klien dan keluarga secara fisik, psikologis, dan

sosial; 2) Meningkatkan kemandirian klien dan keluarga; 3)Meningkatkan

(2)

4)Membantu rujukan klien pada sistem pelayanan yang lain; 5) Membantu

klien dan keluarga memiliki pengetahuan, keterampilan, dan sikap dalam

memperbaiki serta mempertahankan status kesehatan klien; 6)

Melaksanakan rentang perawatan antar-rumah sakit dan masyarakat.

Sedangkan menurut Raden dan Traft adalah: 1) Membantu klien dan

keluarga untuk memahami permasalahan, pencegahan yang harus

dilakukan sehingga dapat mengurangi angka kambuh, dan penerimaan

kembali di rumah sakit; 2) Terjadi pertukaran informasi antara klien

sebagai penerima pelayanan dengan perawat mulai dari pertama kali klien

masuk sampai keluar rumah sakit.

2.1.3 Prinsip Pemulangan Pasien

Adapun prinsip-prinsip yang dapat diterapkan dalam perencanaan

pulang antara lain (Nursalam, 2008): 1) Pasien merupakan fokus dalam

perencanan pulang dimana perawat perlu mengkaji dan mengevaluasi

nilai keinginan dan kebutuhan pasien; 2) Identifikasi kebutuhan pasien

dimana kebutuhan berkaitan dengan masalah yang mungkin muncul pada

saat pulang, sehingga dapat mengantisipasi masalah yang mungkin

muncul di rumah; 3) Perencanaan pulang dilakukan secara kolaboratif

dimana perencanaan pulang merupakan pelayanan multidisiplin dan

setiap tim saling bekerja sama; 4) Sesuai dengan sumber daya dan

fasilitas dimana tindakan atau rencana ketika pasien berada di rumah

disesuaikan dengan keadaan yang ada di lingkungan rumah; 5)

(3)

Setiap pasien masuk pelayanan kesehatan maka perencanaan pulang juga

dilakukan

2.1.4 Komponen Perencanaan Pulang

Adapun komponen perencanaan pulang meliputi: 1) Pada saat pasien

memasuki ruangan; menyambut kedatangan pasien, memperkenalkan

pasien pada teman sekamar perawat dokter dan tenaga kesehatan lainnya,

melakukan pengkajian keperawatan, menyampaikan kepada keluarga

perkiraan lama masa perawatan, orientasi ruangan peraturan dan denah

ruangan; 2) Selama masa perawatan: pemeriksaan klinis dan penunjang

lainnya, melakukan asuhan keperawatan berdasarkan masalah yang

muncul sampai dengan evaluasi perkembangan pasien selama di rawat,

penyuluhan kesehatan tentang penyakit perawatan pengobatan dan diet.

2.1.5 Persiapan Discharge Planning

Meliputi pemberian pengajaran atau pendidikan kesehatan mengenai

uturan diet, akivitas istirahat waktu dan tempat control. Pembelajaran di

laksanakan sesuai tingkat pemahaman klien dan keluarga mengenai

perawatan selama klien di rumah nanti; 2) Penjelasan mengenai Obat–

obatan yang masih di konsumsi klien seperti dosis, cara pemberian, waktu

yang tepat untuk minum obat dan efek samping yang muncul; 3)

Penjelasan mengenai obat obatan yang di hentikan. 4) Penjelasan

mengenai hasil pemeriksaan seperti hasil ronsen; 6) Surat surat seperti

surat keterangan masuk rumah sakit, surat control, surat rujukan dan lain

(4)

2.1.6 Tindakan Keperawatan dalam Discharge Planning

Adapun tindakan keperawatan yang dapat di lakukan pada saat discharge

planning adalah: 1) Mengkaji kebutuhan klien (fisiologis, psikologis,

sosial dan cultural); 2) Mengembangkan rencana keperawatan yang sudah

di terapkan dan mendokumentasikan strategi discharge planning; 3)

Memberikan pendidikan kepada keluarga dan klien (Patrice,1999)

2.1.7 Alur Discharge Planning

Discharge planning menunjukkan beberapa proses formal yang

melibatkan team atau memiliki tanggung jawab untuk mengatur

perpindahan sekelompok orang ke kelompok lainnya (RCP,2001). Adapun

team yang terlibat adalah perawat, dokter ataupun tim kesehatan lainnya.

Mereka melakukan discharge planning dari awal pasien masuk, selama

pasien dirawat sampai pasien keluar. Hal tersebut harus di lakukan secara

berurutan karena discharge planning merupakan keperawatan yang

berkelanjutan dimana perawatan pasien harus diberikan dimanapun pasien

berada. Kegagalan untuk memberikan dan mendokumentasikan

perencanaan pulang akan beresiko terhadap beratnya penyakit, ancaman

hidup dan disfungsi fisik. Dalam perencanan pulang perlu komunikasi

yang baik dan terarah sehinga apa yang di sampaikan dapat disampaikan

dan dimengerti dan berguna untuk proses keperawatan di rumah.

Adapun alur discharge planning dimulai dari pasien masuk rumah sakit,

perawat harus menyambut datangnya pasien dan langsung memberikan

(5)

memperkenalkan teman sekamar, dokter ataupun tim kesehatan yang

terkait dan yang terkahir melakukan pengkajian keperawatan. Selama

pasien di rawat perawat melakukan pemeriksaan klinis dan penunjang,

melakukan asuhan keperawatan dan melakukan penyuluhan kesehatan

(penyakit, perawatan, pengobatan, diet dan aktivitas control). Pada saat

pasien keluar, perawat harus melakukan program HE (health education)

yaitu pengobatan / control nutrsi, aktivitas dan istirahat dan perawatan di

rumah. Tidak hanya itu perawat juga harus membantu pasien untuk

mengurus surat surat yang terkait proses pemulangan pasien. Semua alur

discharge planning tidak hanya di lakukan oleh perawat, tapi tim

kesehatan yang lainpun harus membantu proses discharge planning agar

(6)

2.2 Lembar Checklist Rencana Pulang (discharge planning) di RSUP H. Adam Malik Medan

KEGIATAN CATATAN

KTIFITAS

Jenis aktifitas yang boleh dilakukan Alat bantu yang bisa digunakan

Latihan melakukan aktifitas dan menggunakan alat bantu

Informasi lain yang diperlukan untuk aktifitas

EMBERIAN OBAT DI RUMAH Nama dan kegunaan obat

Efek samping obat

Dosis dan waktu pemberian obat

Cara Pemberian Obat

Cara memperoleh obat

ASILITAS KESEHATAN YANG BISA DIHUBUNGI JIKA TERJADI KEGAWATDARURATAN

Petugas kesehatan dilingkungan sekitar tempat tinggal pasien

Puskesmas, klinik, praktek dokter

Rumah sakit yang mudah di akses

ASIL PEMERIKSAAN PENUNJANG

Hasil-hasil pemeriksaan penunjang dalam batas nilai normal

dan nilai kritis

(7)

2.3 Hospitalisasi Anjuran pola makan

Makanan yang perlu dihindari

DUKASI DAN LATIHAN Hygiene (mandi, bab, bak, dll)* Cara perawatan luka*

Cara perawatan NGT, Catheter, Trakheostmy, dll*

Cara pencegahan dan control adanya infeksi

Kenali tanda dan gejala yang perlu dilaporkan

Pengobatan yang dapat dilakukan di rumah sebelum ke rumah

sakit

Lain-lain

ENCANA PEMULANGAN Tanggal Pemulangan

Pendamping

Transportasi yang digunakan

Keadaan umum saat pemulangan

Tempat perawatan selanjutnya setelah pulang

Format ringkasan pulang / resume medis yang sudah terisi

Kelengkapan Administrasi

(8)

2.3.1 Defenisi Hospitalisasi

Hospitalisasi adalah suatu proses karena suatu alasan yang terencana atau

darurat, yang mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit. Menjalani

terapi dan perawatan sampai akhirnya akan dipulangkan kembali ke rumah

(Wong, 2008).

2.3.2 Stressor hospitalisasi

Menurut Wong (2008), stressor anak terhadap hospitalisasi berupa cemas

akibat perpisahan, kehilangan kendali, cedera tubuh dan nyeri:

a) Cemas akibat perpisahan

Meskipun secara umum anak usia sekolah lebih mampu melakukan koping

terhadap perpisahan, stres dan seringkali disertai regresi akibat penyakit atau

hospitalisasi dapat meningkatkan kebutuhan mereka akan keamanan dan

bimbingan orangtua. Hal ini terutama terjadi pada anak usia sekolah yang

masih kecil. Anak-anak usia sekolah pertengahan dan akhir dapat lebih

bereaksi terhadap perpisahan dengan aktifitas mereka yang biasa dan teman

sebaya daripada ketidakhadiran orangtua. Kesepian, bosan, isolasi dan depresi

umum terjadi. Reaksi-reaksi semacam itu terjadi lebih sebagai akibat dari

perpisahan daripada akibat dari kekhawatiran terhadap penyakit, pengobatan

atau lingkungan rumah sakit.

Karena tujuan memperoleh kemandirian merupakan hal yang sangat

penting bagi mereka, maka mereka enggan untuk meminta bantuan langsung

(9)

Anak laki-laki cenderung bereaksi terhadap stres dengan stiokisme,

menarik diri, atau penerimaan pasif. Seringkali kebutuhan untuk

mengekspresikan sikap bermusuhan, marah, atau perasaan negatif lainnya

muncul dengan cara yang lain, seperti iritabilitas dan agresi terhadap orangtua,

menarik diri dari petugas rumah sakit, tidak mampu berhubungan dengan

teman sebaya, menolak sibling atau masalah perilaku disekolah.

b) Kehilangan kendali

Kurangnya kendali akan meningkatkan persepsi ancaman dan dapat

mempengaruhi keterampilan koping anak-anak. karena mereka berusaha keras

memperoleh kemandirian dan produktivitas, anak usia sekolah biasanya rentan

terhadap kejadian-kejadian yang dapat mengurangi rasa kendali dan kekuatan

mereka. Secara khusus, perubahan peran keluarga, ketidakmampua fisik, takut

terhadap kematian, penelantaran atau cedera permanen, kehilangan

penerimaan kelompok sebaya,kurangnya produktifitas, dan ketidakmampuan

untuk menghadapi stres sesuai harapan budaya yang ada dapat menyebabkan

kehilangan kendali.

Bagi anak, aktivitas ketergantungan seperti tirah baring yang dipaksakan,

penggunaan pispot, ketidakmampuan memilih menu, kurangnya privasi,

bantuan mandi di tempat tidur, atau berpindah dengan kursi roda atau brankar

dapat menjadi ancaman langsung bagi rasa aman mereka. Selain lingkungan

rumah sakit penyakit juga bisa menyebabkan kehilangan kendali. Salah satu

(10)

Jika keterbatasan fisik atau yang dipaksakan menghalangi kemampuan

mereka untuk merawat diri sendiri atau untuk terlibat dalam aktivitas yang di

sukainya, anak-anak berespon dengan depresi, bermusuhan, atau frustasi.

Penekanan area kendali dan pemanfaatan aktivitas tenang, terutama hobi dapat

meningkatkan penyesuaian mereka terhadap pembatasan fisik.

d) Cedera tubuh dan nyeri

Ketakutan mendasar terhadap sifat fisik dari penyakit muncul pada saat ini.

Anak perempuan cenderung mengekspresikan ketakutan yang lebih banyak

dan lebih kuat dibandingkan dengan anak laki-laki, dan hospitalisasi

sebelumnya tidak berdampak pada frekuensi atau intensitas ketakutan tersebut.

Anak biasanya sangat berminat secara aktif terhadap kesehatan atau penyakit

mereka. Pencarian informasi cenderung menjadi salah satu cara koping atau

mempertahankan rasa kendali walau stres dan kondisinya yang tidak pasti.

Anak usia sekolah mulai menunjukkan kekhawatiran terhadap

kemungkinan efek menguntungkan atau merugikan suatu prosedur. Anak usia

sekolah ingin tahu untuk apa prosedur itu, bagaimana prosedur tersebut dapat

membuat anak lebih baik, dan cedera atau bahaya apa yang dapat terjadi.

Anak usia sekolah merasa takut terhadap apa yang akan terjadi pada saat

mereka tidur, apakah mereka akan bangun kembali, dan apakah mereka akan

mati. Anak praremaja juga merasa khawatir tentang prosedur itu sendiri,

terutama jika prosedur tersebut dapat menyebabkan perubahan tampilan tubuh

(11)

Anak usia 9 atau 10 tahun secara umum telah mempelajari metode koping

untuk menghadapi rasa tidak nyaman, seperti berpegangan yang erat,

mengepalkan tangan atau mengatupkan gigi, atau mencoba bertindak berani

dengan meringis. Jika anak menunjukkan tanda-tanda resisrensi yang terbuka,

seperti menggigit, menendang, menarik, mencoba melarikan diri, menagis

atau tawar menawar, mereka akan menyangkal reaksi tersebut kemudian,

terutama dihadapan teman-teman sebayanya karena takut malu.

2.3.3 Reaksi Anak

Wong (2008) mengatakan reaksi anak terhadap sakit dan rawat inap

dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: perkembangan anak terhadap sakit

berbeda-beda sesuai tingkat perkembanagn anak. Berkaitan dengan umur anak,

semakin muda anak maka akan semakin sukar baginya untuk menyesuaikan diri

mereka tentang pengalaman dirumah sakit; pengalaman rawat inap dirumah sakit

sebelumnya, apabila anak pernah mengalami yang tidak menyenangkan saat

dirawat inap akan menyebabkan anak takut dan trauma, dan sebaliknya apabila

saat dirawat inap anak mendapatkan perawatan yang baik dan menyenangkan

maka anak akan lebih kooperatif pada perawat dan dokter, dukungan keluarga:

anak akan mencari dukungan dari orangtua, saudara kandungnya untuk

melepaskan tekanan akibat penyakit yang dideritanya; dan perkembangan koping

dalam menangani stresor pada anak baik dalam menerima keadaan bahwa anak

harus dirawat inap, maka akan lebih kooperatif anak tersebut dalam menjalani

(12)

Anak menunjukkan berbagai perilaku sebagai reaksi terhadap pengalaman

hospitalisasi. Reaksi tersebut bersifat individual dan sangat bergantung pada

tahapan usia perkembangan anak, pengalaman sebelumnya terhadap sakit, sistem

pendukung yang tersedia, dan kemampuan koping yang dimilikinya. Pada

umumnya, reaksi anak terhadap sakit adalah kecemasan karena perpisahan,

kehilangan, perlukaan tubuh, dan rasa nyeri (Supartini, 2004).

Proses perawatan yang seringkali butuh waktu lama akhirnya menjadikan

anak berusaha mengembangkan perilaku atau strategi dalam menghadapi penyakit

yang dideritanya. Perilaku ini menjadi salah satucara yang dikembangkan anak

untuk beradaptasi terhadap penyakitnya. Menurut Aidar (2011), beberapa perilaku

itu antara lain:

1. Penolakan (avoidance)

Perilaku dimana anak berusaha menghindar dari situasi yang membuatnya

tertekan. Anak berusaha menolak treatment yang diberikan, seperti tidak mau

disuntik, tidak mau dipasang infus, menolak minum obat, bersikap tidak

kooperatif kepada petugas medis.

2. Mengalihkan perhatian

Anak berusaha mengalihkan perhatian dari pikiran atau sumber yang

membuatnya tertekan. Perilaku yang dilakukan anak misalnya membaca buku

cerita saat di rumah sakit, menonton televisi (TV) saat dipasang infus, atau

(13)

3. Berupaya aktif (active)

Anak berusaha mencari jalan keluar dengan melakukan sesuatu secara aktif.

Perilaku yang sering dilakukan misalnya menanyakan tentang kondisi sakitnya

kepada tenaga medis atau orang tuanya, bersikap kooperatif terhadap petugas

medis, minum obat teratur, beristirahat sesuai dengan peraturan yang diberikan.

4. Mencari dukungan (support seeking)

Anak mencari dukungan dari orang lain untuk melepaskan tekanan akibat

penyakit yang dideritanya. Anak biasanya akan minta dukungan kepada orang

yang dekat dengannya, misalnya dengan permintaan anak untuk ditunggui

selama dirawat di rumah sakit, didampingi saatdilakukan treatment padanya,

dan minta dipeluk atau dielus saat merasa kesakitan.

2.3.4 Dampak Rawat Inap

Pemahaman pada kelompok usia yang lebih muda, penyakit terjadi akibat

kontak fisik atau karena anak tersebut terlibat dalam tindakan yang

membahayakan dan menjadi terkontaminasi. Akibatnya perasaan menyalahkan

diri sendiri dan rasa bersalah dapat berkaitan dengan alasan menjadi sakit (Wong,

2008).

Perawatan dirumah sakit merupakan masalah besar dan menimbulkan

ketakutan, kecemasan, bagi anak. Dampak rawat inap yang dialami bagi anak dan

orangtua akan menimbulkan stress dan tidak merasa aman. Efek dan jumlah stres

tergantung pada persepsi anak dan orangtua terhadap diagnosa penyakit dan

(14)

Dampak negatif yang paling sering terjadi karena hospitalisasi adalah

kecemasan. Pada anak usia 6 sampai 10 tahun, kecemasan akan lebih mudah

terlihat. Kecemasan dapat membuat anak terganggu dan teralihkan tanpa adanya

penyebab tertentu. Sampai beberapa tahun terakhir, para pakar psikologi biasanya

menghubungkan reaksi negatif pada hospitalisasi sepenuhnya dengan kecemasan

karena perpisahan (Taylor, 2009).

Anak sering menganggap sakit adalah hukuman untuk perilaku buruk, hal ini

terjadi karena anak masih mempunyai keterbatasan koping. Anak juga

mempunyai kesulitan dalam pemahaman mengapa mereka sakit, tidak bisa

bermain dengan teman sebayanya, mengapa mereka terluka dan nyeri sehingga

mereka harus ke rumah sakit dan harus mengalami rawat inap. Reaksi anak

tentang hukuman yang harus diterimanya dapat bersifat tidak kooperatif,

menyebabkan anak menjadi marah. Sehingga anak kehilangan kontrol sehubungan

terganggunya fungsi motorik yang mengakibatkan berkurangnya percaya diri pada

anak, sehingga tugas perkembangan yang sudah dicapai akan terhambat (Wong,

Referensi

Dokumen terkait

berkembang bersamaan dengan perkembangan kognitif, yang kemudian akan sampai pada yang disebut kematangan kognitif, sehingga seseorang dapat melihat sesuatu dari

Perawat dalam Memberikan Asuhan Keperawatan di Ruang Rawat Inap. RSUP H Adam Malik Medan

perawat dalam memberikan asuhan keperawatan di ruang rawat inap Rumah Sakit. Umum

kemampuan seseorang dalam memahami kondisi orang lain (Taufik, 2012).. Taufik (2012) menjelaskan tiga pandangan ataupun perspektif

Tentang Empati Perawat dengan Kepuasan Pasien di Ruang Rawat Inap.. RSUD

Saya berkhayal melakukan hal yang sama dengan yang pasien lakukan untuk dapat merasakan yang pasien rasakan.. Saya mencoba melihat permasalahan

hmmmm, kalau pelaksanaannya paling cuman kalau hanya pekerjaan untuk pada saat breefing pagi lah betul-betul kita lakukan apa yang kita biasa lakukan, yah karena yahhh

sebanyak 68% pasien merasa puas dengan pemberian pendidikan kesehatan pada. pasien dan