Infeksi Menular Seksual merupakan penyakit infeksi yang ditularkan melalui aktivitas seksual dengan pasangan penderita infeksi yang disebabkan oleh virus,
bakteri, atau mikroorganisme lainnya (Murtiastutik, 2008). Infeksi Menular seksual merupakan masalah kesehatan yang disebabkan oleh banyak faktor, bukan hanya
sebatas infeksi akibat hubungan seksual saja tetapi juga infeski secara non seksual melalui media seperti donor darah, peralatan medis, alat suntik dan lainya. Human
Immunodeficiency Virus (HIV)/ Accuired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan Infeksi Menular Seksual (IMS) yang penularanya tidak hanya akibat hubungan seksual dan merupakan masalah kesehatan yang mengancam banyak
negara di seluruh dunia. Tidak ada negara yang terbebas dari penyakit ini. HIV/AIDS menyebabkan berbagai krisis secara bersamaan, krisis kesehatan, krisis pembangunan
negara, krisis ekonomi, pendidikan dan juga krisis kemanusiaan. Hal ini
menunjukkan bahwa HIV/AIDS menyebabkan krisis multidimensi ( Djoerban, 2010).
Penderita AIDS pertama kali ditemukan pada tahun 1981 di Amerika Serikat dan sampai saat ini telah berkembang menjadi masalah kesehatan global. Berdasarkan
Tahun 2014 sebanyak 1,2 juta (3,25%) penderita meninggal akibat AIDS yang turun
41% dibandingkan dengan tahun 2005 mencapai 2 juta kematian (WHO, 2015). Hingga saat ini belum ada obat yang pasti menyembuhkan HIV, namun ARV (Antiretroviral) dapat mengontrol virus dan membantu mencegah penularan agar
ODHA dengan risikonya dapat menikmati hidup dan hidup produktif. Hingga pertengahan tahun 2015 ada sebanyak 15,8 juta (42,81%) penderita HIV di seluruh
dunia telah menerima ARV.
Berdasarkan data dari The Joint United Nations Programme on HIV/AIDS
(UNAIDS) tahun 2015 terdapat 2,6 juta (7,04%) penderita HIV dunia dengan proporsi pada anak-anak < 15 tahun dan jumlah kasus baru dengan proporsi pada anak-anak < 15 tahun terdapat 200.000 penderita (11%). Sedangkan proporsi pada
orang dewasa sebanyak 34,3 juta (92,95%) dengan CFR sebesar 3,25%. Sub Sahara Afrika merupakan wilayah dengan kasus HIV/AIDS tertinggi di dunia dengan 25,8
juta (69,9%) menderita HIV tahun 2014 dan hampir 70% merupakan total infeksi baru secara global. Sedangkan di Asia tahun 2014 ada 5 juta (13,5%) penderita HIV dimana 78 % kasus baru terdapat di China, Indonesia dan India (UNAIDS, 2015).
Di Indonesia, kasus AIDS pertama kali dilaporkan pada 1987, yang terjadi pada seorang warga negara asing di Bali. Tahun berikutnya mulai dilaporkan adanya
dengan CFR 1,67%. Tahun 2014 jumlah kumulatif kasus AIDS sebanyak 65.790
kasus dan ODHA yang sudah menerima ARV sebanyak 50.400 orang (76,6%) dengan CFR 1,22%. Hingga tahun 2015 jumlah kumulatif menjadi AIDS 77.112 kasus dan ODHA yang sudah menerima ARV sebanyak 63.066 (81,7%). Data
tersebut menunjukkan terjadi peningkatan kasus tetapi jumlah penderita yang meninggal akibat AIDS menurun dengan CFR untuk kasus HIV/AIDS menjadi
0,95% tahun 2015 . Hal ini dapat dihubungkan dengan keberhasilan pemerintah dalam program Strategic use of ARV (SUFA) tahun 2013 yang menekankan
pengobatan ARV dini.
Berdasarkan data dari Ditjen PP&PL Kemenkes RI 2015, sebanyak 15 provinsi di Indonesia memiliki jumlah kasus HIV, meliputi seluruh provinsi di Pulau
Jawa, Bali, Sumatera Utara, Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan dan Papua. Jumlah kasus HIV di 15 provinsi tersebut menyumbang hampir
90% dari seluruh jumlah kasus HIV di Indonesia. Provinsi dengan jumlah HIV tertinggi yaitu DKI Jakarta, Jawa Timur, dan Jawa Barat. Sedangkan provinsi dengan jumlah kasus HIV terendah yaitu Gorontalo, Sulawesi Barat, Aceh, dan Maluku
Utara.
Gambaran kasus baru penderita AIDS pada laki-laki sebesar 61,6% dan pada
secara seksual dan termasuk kelompok umur yang menggunakan NAPZA suntik.
Sumber penularan AIDS melalui hubungan heteroseksual adalah persentase tertinggi sebesar 81,3%, diikuti oleh homoseksual sebesar 5,1% dan perinatal sebesar 3,5% ( Profil Kesehatan RI, 2014).
Pemerintah melalui dana APBN dan Dana hibah Luar negeri menjamin ketersediaan ARV semenjak Keputusan Menteri Kesehatan No. 1190 Tahun 2004
menyatakan bahwa obat ARV disediakan gratis bagi Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) melalui rumah sakit yang ditunjuk sebagai rujukan dengan menganggarkan
dana untuk membeli obat ARV sebanyak 90% dari kebutuhan ARV. Menurut perhitungan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Nasional satu ODHA membutuhkan biaya US$ 995 atau sekitar Rp 13-15 juta pertahunnya. Hal ini
merupakan beban bagi Pemerintah menyediakan ARV dengan harga yang relatif mahal untuk jangka waktu yang sangat lama dengan ODHA yang membutuhkan
ARV meningkat setiap tahunnya.
Di Sumatera Utara dalam sepuluh tahun terakhir peningkatan HIV/AIDS meningkat begitu tajam. Kasus HIV/AIDS di Sumatera Utara tahun 2012 dengan
rincian sebanyak 2189 kasus HIV dan 4.241 kasus AIDS, kasus HIV/AIDS pun mengalami peningkatan tahun 2013 dengan jumlah kasus HIV sebanyak 2916 kasus
pada tahun 2015. Dari 10.844 penderita HIV/AIDS tahun 2015, yang memenuhi
syarat untuk pengobatan ARV adalah 7.518 penderita (69,3%) namun hanya 6.233 penderita (83%) yang mendapat ARV dari seluruh penderita yang memenuhi syarat untuk pengobatan ARV.
Berdasarkan data laporan program HIV/AIDS dan IMS Sumatera Utara tahun 2015, persentase ODHA yang mendapatkan ARV mengalami peningkatan bila
dibandingkan dengan pencapaian 2014 yaitu 79%, hal ini disebabkan dengan adanya penambahan layanan PDP (Perawatan, Dukungan dan Pengobatan) di beberapa
Kab./Kota. Dari data yang ada di layanan Voluntering Counseling and Testing (VCT) pada tahun 2010 kebanyakan ODHA ditemukan pada kelompok umur 25-49 tahun (78,1 %), pada tahun 2011 (75,8 %), tahun 2012 (83,6 %), tahun 2013 (80 %), tahun
2014 (78,4 %) dan tahun 2015 (79,5%) yaitu pada usia produktif sehingga nantinya akan berpengaruh terhadap tingkat pendapatan atau menyebabkan krisis ekonomi.
Dilihat dari jenis kelamin kasus HIV(+) yang ditemukan lebih banyak pada laki-laki sebanyak 924 kasus (61,5%) dan sebanyak 577 kasus (38,4%) pada perempuan atau dengan perbandingan 1,6 : 1 (Dinas Kesehatan Sumatera Utara, 2015).
Kota Medan merupakan kota yang memiliki jumlah kasus HIV/AIDS tertinggi di Sumatera Utara. Terjadi peningkatan kasus baru sebanyak 506 kasus
jumlah kasus yang ditemukan lebih sedikit dari jumlah sebenarnya di populasi. Hal
ini disebabkan oleh keberhasilan penemuan penderita dengan bertambahnya jumlah layanan VCT dan layanan IMS di Sumatera Utara. Hingga tahun 2015 ada 42 layanan IMS yang aktif di 15 kab/kota dan 63 layanan VCT di Sumatera Utara salah satunya
adalah RSUD Dr. Pirngadi Medan yang juga merupakan Rujukan Antiretroviral Terapi (ART). Sehingga tidak tertutup kemungkinan terjadi peningkatan kasus
dimana layanan ini merupakan pintu masuk bagi penemuan kasus disamping pelaksanaan pengobatan dan perawatan pasien serta penyampaian informasi kepada
masyarakat khususnya mereka yang termasuk dalam kelompok populasi yang berisiko tinggi.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Gifani di RSUP H. Adam Malik
Medan tahun 2006-2007, dilaporkan bahwa jumlah kasus HIV/AIDS sebanyak 522 kasus yaitu 492 kasus HIV dan 93 kasus AIDS (Anastasya, 2008). Sedangkan
penelitian yang dilakukan oleh Janni di RSUD Dr. Djasemen Saragih Pematangsiantar tahun 2013-2014, dilaporkan bahwa jumlah kasus HIV/AIDS sebanyak 145 orang (Butarbutar, 2015).
Berdasarkan survei awal yang dilakukan di RSUD Dr. Pirngadi Medan, diperoleh jumlah kasus HIV/AIDS yang berobat jalan sebanyak 109 kasus tahun
1.2 Rumusan Masalah
Belum diketahui karakteristik penderita HIV/AIDS yang berobat jalan di RSUD Dr. Pirngadi Medan Tahun 2015
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui gambaran tentang Karakteristik penderita HIV/AIDS yang
berobat jalan di RSUD Dr. Pirngadi Medan Tahun 2015
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Mengetahui distribusi proporsi penderita HIV/AIDS menurut sosiodemografi antara lain: Umur, Jenis Kelamin, Suku/Etnik, Tingkat Pendidikan, Pekerjaan, Status Pernikahan, dan Daerah tempat tinggal
b. Mengetahui distribusi proporsi penderita HIV/AIDS berdasarkan Faktor risiko penularan
c. Mengetahui distribusi proporsi penderita HIV/AIDS berdasarkan Infeksi Oportunistik
d. Mengetahui distribusi proporsi penderita HIV/AIDS berdasarkan Jumlah
CD4 terakhir penderita
e. Mengetahui distribusi proporsi penderita HIV/AIDS berdasarkan Tahap
g. Mengetahui distribusi proporsi jenis kelamin penderita HIV/AIDS
berdasarkan faktor risiko penularan
h. Mengetahui distribusi proporsi tingkat pendidikan penderita HIV/AIDS berdasarkan faktor risiko penularan
i. Mengetahui distribusi proporsi pekerjaan penderita HIV/AIDS berdasarkan faktor risiko penularan
j. Mengetahui distribusi proporsi status pernikahan penderita HIV/AIDS berdasarkan faktor risiko penularan
k. Mengetahui distribusi proporsi Umur penderita HIV/AIDS berdasarkan Infeksi Oportunistik
l. Mengetahui distribusi proporsi Jenis Kelamin penderita HIV/AIDS
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Sebagai bahan referensi ataupun masukan bagi pihak Rumah Sakit dalam merencanakan ataupun melakukan upaya pencegahan dan pengobatan HIV/AIDS
1.4.2 Sebagai syarat untuk menyelesaikan studi di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara