• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Kemampuan Perawat Dalam Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit Umum Mitra Medika Medan Tahun 2016

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Kemampuan Perawat Dalam Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit Umum Mitra Medika Medan Tahun 2016"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Infeksi Nosokomial

2.1.1 Definisi Infeksi Nosokomial

Infeksi nosokomial atau Health Care-Associated Infection (HCAI) adalah suatu infeksi yang terjadi selama pasien mendapat pelayanan di fasilitas kesehatan, dimana tidak didapatkan tanda infeksi maupun gejala pasien sedang dalam masa inkubasi pada saat masuk rumah sakit. (WHO, 2010).

Infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapat dari rumah sakit yang terjadi pada pasien yang dirawat selama 72 jam (Brooker, 2008). Menurut Potter dan Perry (2005), infeksi nosokomial terjadi di rumah sakit karena mikroorganisme patogen yang menginfeksi pasien melalui pemberian pelayanan kesehatan.

(2)

2.1.2 Jenis-Jenis Infeksi Nosokomial

Jenis-jenis infeksi nosokomial menurut Gruendemann (2005) adalah : 1. Infeksi Luka Operasi (ILO)

Risiko timbulnya ILO ditentukan oleh 3 faktor yakni jumlah dan jenis kontaminasi mikroba pada luka, keadaan luka pada akhir operasi (ditentukan oleh teknik pembedahan dan proses penyakit yang dihadapi selama operasi), dan kerentanan pejamu.

2. Infeksi Saluran Kemih (ISK)

Infeksi ini berkaitan dengan prosedur pemakaian kateter indweling dan sistem drainase kemih atau peralatan urologis lainnya. Kateter indweling membentuk suatu mekanisme yang memungkinkan bakteri masuk ke dalam kandung kemih. Lama pemasangan kateter merupakan variabel penting dalam menentukan apakah seorang pasien terkena infeksi. Sedangkan pada sistem drainase yang tertutup akan menurunkan risiko ISK.

3. Infeksi Aliran Darah (Bloodstream infections)

Infeksi ini berkaitan dengan pemasangan selang intravaskular (infus). Lama pemasangan selang intravaskular merupakan penentu utama kolonisasi bakteri. Semakin lama selang terpasang, semakin tinggi pula risiko infeksi. 4.Dekubitus

(3)

baring. Luka dekubitus akan terjadi bila penderita tidak dibolak-balik atau dimiringkan dalam waktu 2 x 24 jam.

5.Ventilator Associated Pneumonia (VAP)

VAP adalah bentuk infeksi rumah sakit yang paling sering ditemui di Unit Perawatan Intensif (UPI), khususnya pada pasien yang menggunakan ventilasi mekanik. Menurut Widyaningsih (2012), VAP adalah pneumonia yang didapat di rumah sakit yang terjadi selama 48 jam pasien mendapat bantuan ventilasi mekanik, baik melalui pipa endotrakea maupun pipa trakeostomi. Klasifikasi lain dari infeksi nosokomial digolongkan berdasarkan tipe organisme dan tipe/bagian infeksi. Berdasarkan tipe organisme, infeksi nosokomial terdiri dari infeksi akibat bakteri, virus, jamur, parasite, protozoa, rickettsia, prion (partikel protein yang terinfeksius), serta infeksi akibat organisme tidak teridentifikasi. Sedangkan, berdasarkan tipe/bagian infeksi terbagi atas infeksi

bloodstream, infeksi bagian yang dioperasi, abses, pneumonia, infeksi pada kanul IV, infeksi protesis, infeksi drain/tube urin dan infeksi jaringan lunak (Komite Keselamatam Pasien Rumah Sakit, 2015).

2.1.3 Gejala Klinis Infeksi Nosokomial

(4)

Bila organ pencernaan yang terkena maka akan menimbulkan gejala klinis seperti mual, muntah, kembung, kejang perut, dan sebagainya (Darmadi, 2008).

Gejala klinis sistemik menimbulkan gejala yang lebih banyak dari pada gejala klinis lokal. U mumnya menyebabkan demam, merasa lemas, nafsu makan menurun, mual, pusing, pembesaran kelenjar limfe dan sebagainya (Potter dan Perry, 2005).

Darmadi (2008) juga menyatakan suatu infeksi didapat dari rumah sakit apabila memiliki ciri-ciri:

1. Pada waktu penderita mulai dirawat di rumah sakit tidak didapatkan tanda-tanda klinis dari infeksi tersebut.

2. Pada waktu penderita mulai dirawat di rumah sakit, tidak sedang dalam masa inkubasi dari infeksi tersebut. Tanda-tanda klinis infeksi tersebut timbul sekurang-kurangnya setelah 3 x 24 jam sejak mulai perawatan.

3. Infeksi tersebut bukan merupakan sisa (residual) dari infeksi sebelumnya. 4. Bila saat mulai dirawat di rumah sakit sudah tidak ada tanda-tanda infeksi,

dan terbukti infeksi tersebut didapat penderita ketika dirawat di rumah sakit yang sama, serta belum pernah dilaporkan sebagai infeksi nosokomial.

2.1.4 Indikator Infeksi Nosokomial

(5)

Control Nurse (IPCN) yang dibantu Infection Prevention Control Link Nurse

(IPCLN). Mekanisme pelaksanaan surveilans dimulai dengan pengisian dan pegumpulan formulir surveilans setiap pasien berisiko oleh IPCLN di unit rawat masing-masing setiap hari. Pada a wal bulan berikutnya, paling lambat tanggal 5 formulir surveilans diserahkan ke Tim PPI dengan diketahui dan ditandatangani Kepala Ruangan. Apabila ada kecurigaan terjadi infeksi, IPCLN segera melaporkan ke IPCN untuk ditindaklanjuti (investigasi).

(6)

2.1.5 Faktor-Faktor yang Memengaruhi terjadinya Infeksi Nosokomial

Darmadi (2008) mengemukakan beberapa faktor yang berperan dalam terjadinya infeksi nosokomial adalah:

1. Faktor-faktor luar (extrinsic factors)

Faktor-faktor luar yang berpengaruh dalam proses terjadinya infeksi nosokomial seperti:

a. Petugas pelayanan medis (dokter, perawat, bidan, tenaga laboratorium, dan sebagainya).

b. Peralatan dan dan material medis (jarum, kateter, instrumen, respirator, kain/doek, kassa, dan lain-lain).

c. Lingkungan terdiri dari lingkungan internal seperti ruangan perawatan, kamar bersalin, dan kamar bedah, serta lingkungan eksternal seperti halaman rumah sakit dan tempat pembuangan sampah atau pengelolahan limbah.

d. Makanan dan atau minuman (hidangan yang disajikan setiap saat kepada penderita).

e. Penderita lain (keberadaan penderita lain dalam satu kamar atau ruangan perawatan dapat merupakan sumber penularan).

f. Pengunjung atau keluarga (keberadaan tamu atau keluarga dapat merupakan sumber penularan).

(7)

3. Faktor keperawatan seperti lamanya hari perawatan (length of stay), menurunnya standar pelayanan perawatan, serta padatnya penderita dalam satu ruangan. 4. Faktor mikroba seperti tingkat kemampuan invasi serta tingkat kemampuan

merusak jaringan, lamanya paparan (length of exposure) antara sumber penularan

(reservoir) dengan penderita.

2.2Peran Perawat dalam Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Nosokomial

Perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan sangat berkaitan dengan terjadinya infeksi nosokomial di rumah sakit karena perawat bertanggung jawab menyediakan lingkungan yang aman bagi pasien terutama dalam PPI proses keperawatan. Jadi, perawat merupakan pelaksana terdepan dalam upaya pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial (Potter dan Perry, 2005).

(8)

WHO (2002) dalam jurnal Prevention of Hospital-Acquired Infection

menyatakan bahwa perawat adalah pelaksana pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial dalam:

2.2.1. Menjaga Kebersihan Rumah Sakit

Semua institusi kesehatan harus memiliki pedoman untuk pembuangan materi sampah infeksi menurut kebijakan lokal dan negara. Perawat dalam membuang sampah cair yang terkontaminasi (misalnya darah, urine, tinja, jaringan dan duh tubuh lainnya) memerlukan penanganan khusus karena resiko infeksi terhadap petugas kesehatan yang menangani. Perawat memakai sarung tangan, kacamata pelindung dan celemek, buang sampah cair pada wastafel atau ke dalam toilet kemudian disiram. Wadah tempat sampah cair didesinfeksi dengan larutan klorin 0,5% selama 10 menit (Depkes, 2008).

Selain itu, spesimen laboratorium dari semua pasien ditangani seolah-olah spesimen tersebut dapat menyebabkan infeksi. Semua materi sampah yang berasal dari pasien dibuang pada tempat sampah khusus. Setelah memberikan suntikan, perawat harus membuang jarum pada tempat yang tahan tusukan. Jangan pernah melepaskan, membengkokkan atau mematahkan jarum suntik yang telah digunakan dengan tangan. (Potter dan Perry, 2005).

Menurut WHO (2002), tindakan kebersihan lingkungan rumah sakit adalah sebagai berikut:

(9)

terdapat dalam lingkungan atau benda yang kotor, dan tujuan pembersihan rutin adalah untuk membuang kotoran tersebut. Baik sabun ataupun deterjen memiliki aktivitas antimikroba, dan proses pembersihan pada dasarnya tergantung pada tindakan mekaniknya.

2. Seharusnya ada kebijakan yang menetapkan frekuensi pembersihan dan alat pembersih yang digunakan untuk dinding, lantai, jendela, tempat tidur, tirai, tabir, perlengkapan, mebel, kamar mandi dan toilet, serta semua peralatan medis yang dapat digunakan kembali.

3. Metode harus sesuai dengan kemungkinan tingkat kontaminasi dan tingkat pembersihan yang diperlukan. Hal ini dapat dicapai dengan mengelompokkan area ke salah satu dari 4 zona rumah sakit, yaitu:

a. Zona A: tidak ada kontak dengan pasien. Pembersihan normal domestik (misalnya administrasi dan perpustakaan).

b. Zona B: perawatan pasien yang tidak terinfeksi dan tidak rentan dibersihkan dengan prosedur yang tidak menerbangkan debu. Sapu atau pembersih debu tidak dianjurkan. Penggunaan larutan deterjen dapat meningkatkan kualitas pembersihan. Hama di area lain yang tampak kontaminasi dengan darah dan cairan tubuh terlebih dahulu dibersihkan.

(10)

d. Zona D: pasien yang sangat rentan (pemisahan yang terlindung) atau kawasan yang terlindung seperti ruangan operasi, ruang pengiriman, unit perawatan intensif, unit bayi prematur, dan unit hemodialisa. Bersihkan menggunakan larutan deterjen atau disinfektan dan peralatan kebersihan yang terpisah. Semua permukaan di zona B, C, D, dan semua kawasan toilet harus dibersihkan setiap hari.

4. Pengujian bakteriologi pada lingkungan tidak dianjurkan kecuali dalam keadaan tertentu seperti penyelidikan epidemi dimana ada dugaan sumber infeksi dari lingkungan. Pemantauan dialisis air sesuai standar untuk jumlah bakteri. Kualitas pengendalian saat praktek pembersihan.

2.2.2. Pelaksanaan Cuci Tangan

Tangan dapat menularkan infeksi di rumah sakit dan dapat diminimalkan dengan kebersihan tangan yang sesuai. Dalam mencuci tangan sering dilakukan tidak optimal. Hal ini dikarenakan berbagai alasan, misalnya kurangnya peralatan yang sesuai, tingginya perbandingan jumlah perawat dengan pasien, alergi terhadap produk pencuci tangan, kurangnya pengetahuan perawat tentang risiko dan cara mencuci tangan yang baik dan benar, serta terlalu lama waktu yang direkomendasikan untuk mencuci tangan (WHO, 2002).

1. Syarat-syarat mencuci tangan:

(11)

b. Produk: sabun atau antiseptik tergantung pada prosedur. Disinfektan tangan dengan cairan pencuci beralkohol dengan teknik antiseptik untuk membersihkan tangan secara fisik.

c. Fasilitas pengering tanpa kontaminasi (handuk sekali pakai jika memungkinkan).

2. Prosedur mencuci tangan:

Seharusnya ada kebijakan tertulis dan prosedur untuk mencuci tangan. Perhiasan, jam tangan dan kuku palsu harus dilepaskan sebelum mencuci tangan. Prosedur kebersihan tangan minimal dapat dibatasi untuk tangan dan pergelangan tangan sedangkan untuk prosedur pembedahan mencakup tangan dan lengan bawah. Prosedur akan berbeda dengan perkiraan risiko terjadinya infeksi kepada pasien:

a. Perawatan rutin (minimal) :

Menurut Depkes (2008), cuci tangan secara rutin wajib dilakukan oleh setiap perawat pada saat melakukan 5 momen, yaitu: sebelum kontak dengan pasien; sebelum melakukan tindakan/prosedur terhadap pasien; setelah tindakan atau prosedur atau berisiko terpapar cairan tubuh pasien; setelah kontak dengan pasien; dan setelah menyentuh lingkungan sekitar pasien.

1) Teknik mencuci tangan dengan sabun air mengalir a) Buka kran dan basahi tangan dengan air. b) Tuangkan sabun cair secukupnya.

(12)

d) Gosok punggung dan sela-sela jari tangan kiri dengan tangan kanan dan sebaliknya.

e) Gosok kedua telapak tangan dan sela-sela jari.

f) Jari-jari sisi dalam dari kedua tangan saling mengunci dan saling digosokkan.

g) Gosok ibu jari kiri berputar kearah bawah dalam genggaman tangan kanan dan sebaliknya.

h) Gosokkan dengan memutar ujung jari-jari tangan kanan di telapak tangan kiri dan sebaliknya.

i) Bilas tangan dengan air bersih.

j) Keringkan tangan dengan menggunakan handuk kertas.

k) Gunakan handuk kertas tersebut untuk memutar kran sewaktu mematikan air.

l) Setiap gerakan dilakukan sebanyak 7 kali. Lamanya seluruh prosedur sebaiknya selama 40-60 detik.

2) Teknik mencuci tangan dengan antiseptik berbasis alkohol.

a) Tuangkan segenggam penuh bahan antiseptik berbasis alkohol ke dalam tangan.

b) Gosok kedua telapak tangan hingga merata.

c) Gosok punggung dan sela-sela jari tangan kiri dengan tangan kanan dan sebaliknya.

(13)

e) Jari-jari sisi dalam dari kedua tangan saling mengunci dan saling digosokkan.

f) Gosok ibu jari kiri berputar kearah bawah dalam genggaman tangan kanan dan sebaliknya.

g) Gosokkan dengan memutar ujung jari-jari tangan kanan di telapak tangan kiri dan sebaliknya.

h) Biarkan tangan mongering.

i) Setiap gerakan dilakukan sebanyak 4 kali. Lamanya seluruh prosedur sebaiknya selama 20-30 detik.

b. Tindakan pembedahan:

Pada tindakan pembedahan cuci tangan meliputi tangan dan lengan bawah, cuci dengan sabun antiseptik dan waktu berkisar 3-5 menit. Pembersihan tangan dan lengan bawah: mencuci tangan biasa, kemudian cuci tangan dengan menggunakan desinfektan, lalu menggosok tangan, bilas dan ulangi sekali lagi dengan menggunakan desinfektan lalu keringkan.

3. Ketersediaan sumber daya

(14)

Perlindungan barrier harus sudah tersedia bagi perawat seperti gaun, masker, sarung tangan, dan kacamata pelindung (Depkes, 2008).

1. Gaun Pelindung

Gaun pelindung melindungi perawat dan pengunjung dari kontak dengan bahan dan darah atau cairan tubuh yang terinfeksi. Gaun diwajibkan bila masuk ke ruang isolasi. Melepaskan gaun sebelum keluar dari ruangan isolasi pasien, setelah gaun dilepaskan, pastikan bahwa pakaian tidak kontak dengan lingkungan lain. Adapun teknik pemakaian gaun pelindung adalah sebagai berikut:

a. Cara memasang gaun pelindung :

1) Tutupi badan sepenuhnya dari leher hingga lutut, lengan hingga bagian pergelangan tangan dan selubungkan ke balakang punggung.

2) Ikat di bagian belakang leher dan pinggang. b. Cara melepas gaun pelindung :

1) Ingatlah bahwa bagian depan gaun dan lengan gaun pelindung telah terkontaminasi.

2) Lepas tali.

3) Tarik dari leher dan bahu dengan memegang bagian dalam gaun pelindung 4) Balik gaun pelindung.

(15)

Masker yang terbuat dari kapas, kasa, atau kertas kurang efektif. Masker kertas dengan bahan sintetis untuk penyaring adalah penghalang yang efektif melawan mikroorganisme. Masker digunakan dalam berbagai situasi. Menurut WHO (2002), persyaratan mengenakan masker berbeda untuk tujuan yang berbeda.

a. Pelindung dari pasien:

Perawat mengenakan masker untuk bekerja di ruangan operasi, merawat pasien yang terganggu kekebalannya, atau pasien dengan rongga tubuh yang terpapar dengan lingkungan luar.

b. Pelindung bagi perawat:

Perawat harus mengenakan masker ketika merawat pasien dengan infeksi pernafasan, atau saat melakukan bronchoscopy atau pemeriksaan serupa. Pasien dengan infeksi yang dapat ditularkan melalui sirkulasi udara harus mengenakan masker bedah saat berada diluar ruang isolasi/ ruang perawatan mereka.

Teknik menggunakan masker menurut Depkes (2008) adalah: a. Cara memasang masker

1) Eratkan tali atau karet elastis pada bagian tengah kepala dan leher. 2) Paskan klip hidung dari logam fleksibel pada batang hidung.

3) Paskan dengan erat pada wajah dan dibawah dagu sehingga melekat dengan baik.

(16)

3. Sarung Tangan

Sarung tangan digunakan untuk:

a. Pelindung dari pasien: perawat mengenakan sarung tangan untuk prosedur pembedahan, perawatan pasien dengan sistem kekebalan tubuhnya terganggu, prosedur invasif.

b. Sarung tangan yang tidak steril dapat dipakai untuk kontak dengan selaput lendir pasien dimana tangan akan mudah terkontaminasi.

c. Pelindung bagi perawat: perawat menggunakan sarung tangan yang tidak steril untuk merawat pasien dengan penyakit menular yang ditularkan melalui sentuhan, atau melakukan bronchoscopies atau pemeriksaan yang serupa. d. Tangan harus dicuci saat sarung tangan dibuka atau diganti.

e. Sarung tangan sekali pakai tidak dapat dipakai kembali.

f. Lateks atau polivinil klorida adalah bahan yang paling sering digunakan untuk sarung tangan. Kualitas sarung tangan yang baik yakni tidak adanya pori-pori atau lubang dan durasi penggunaan sangat bervariasi dari satu jenis sarung tangan ke sarung tangan yang lain. Alergi terhadap lateks dapat terjadi, dan pekerjaan program kesehatan harus memiliki kebijakan untuk mengevaluasi dan mengelola masalah ini.

Teknik penggunaan sarung tangan adalah sebagai berikut: a. Cara memasang sarung tangan:

(17)

1) Ingatlah bahwa bagian luar sarung tangan telah terkontaminasi.

2) Pegang bagian luar sarung tangan dengan sarung tangan lainnya, lepaskan. 3) Pegang sarung tangan yang telah dilepas dengan menggunakan tangan

yang masih memakai sarung tangan.

4) Selipkan jari tangan yang sudah tidak memakai sarung tangan di bawah sarung tangan yang belum dilepas di pergelangan tangan.

5) Lepaskan sarung tangan di atas sarung tangan pertama. 6) Buang sarung tangan di tempat sampah infeksius. 4. Kacamata Pelindung

Bila melakukan prosedur invasif yang dapat menimbulkan droplet atau percikan dari darah atau cairan tubuh lainnya, perawat harus menggunakan kacamata pelindung. Kacamata pelindung dapat tersedia dalam bentuk kacamata plastik. Kacamata harus terpasang pas sekeliling wajah sehinnga cairan tidak dapat masuk antara wajah dan kacamata (Garner dalam Potter dan Perry, 2005).

5. Topi

Topi digunakan untuk menutup rambut dan kulit kepala sehingga serpihan kulit dan rambut tidak masuk ke dalam luka selama pembedahan.

6. Pelindung kaki

Pelindung kaki digunakan untuk melindungi kaki dari cedera akibat benda tajam atau benda berat yang mungkin jatuh secara tidak sengaja ke atas kaki.

(18)

Tindakan pencegahan infeksi nosokomial dengan menggunakan teknik aseptik dapat terlihat pada infeksi nosokomial yang sering terjadi berikut ini :

1. Infeksi Saluran Kemih (ISK)

ISK adalah infeksi nosokomial yang lebih sering ditemukan; 80% dari infeksi ini berkaitan dengan pemasangan kateter. Intervensi efektif dalam pencegahan infeksi karena pemasangan keteter menurut WHO (2002) meliputi:

a. Menghindari kateterisasi bila tidak diperlukan.

b. Bila kateterisasi diperlukan, batasi waktu pemasangan.

c. Mempertahankan praktek aseptik yang sesuai selama memasukkan kateter

urine dan juga prosedur urologi invasif lainnya (seperti cystoscopy, urodynamic testing dan cystografy).

d. Mencuci tangan secara higenis sebelum memasukkan kateter menggunakan sarung tangan steril untuk memasukkan dan menyambungkannya dengan

urine bag.

e. Pembersihan perineal dengan larutan antiseptik sebelum memasukkan kateter. f. Memasang kateter dengan sebelumnya menggunakan pelumas atau pelican. Praktek lain yang dianjurkan dan terbukti mengurangi infeksi meliputi:

a. Mempertahankan aliran kateter dengan baik.

b. Membersihkan daerah perineal untuk pasien yang terpasang kateter. c. Pelatihan perawat dalam memasang kateter dan perawatan.

(19)

yang digunakan adalah kateter yang berdiameter terkecil. Bahan kateter (latex, silicone) tidak mempengaruhi tingkat kejadian infeksi.

Tindakan bagi pasien dengan gangguan perkemihan :

a. Menghindari pemasangan kateter yang menetap sedapat mungkin.

b. Bila bantuan pengosongan kandung kemih diperlukan, maka ganti kateter sesering mungkin.

Menurut Tietjen (2004), bahwa prosedur dalam pemasangan kateter antara lain: a. Persiapan alat yang yang terdiri dari kateter steril, urine bag, spuit untuk

membuat balon pada kateter, sarung tangan steril, larutan antiseptik, kain kassa, pelumas, kantong plastik tempat sampah.

b. Sebelum memulai prosedur, bersihkan tangan dengan sabun dan air bersih kemudian keringkan dengan handuk bersih.

c. Kenakan sarung tangan steril atau yang telah didesinfeksi pada kedua tangan. d. Gunakan kateter kecil sesuaikan dengan system drainase yang baik. Untuk

pasien perempuan, pegang bagian labia dengan tangan yang tidak dominan. Tangan yang lainnya membersihkan uretra dengan kapas steril yang telah diberi larutan desinfektan. Sedangkan untuk pasien laki-laki, tarik kulit pada ujung penis ke bawah dengan tangan yang tidak dominan. Tangan yang lain membersihkan kepala penis dan saluran uretra dengan kapas steril yang telah diberi larutan desinfektan.

(20)

kotor dan letakkan pada kantung plastik. Buang pada tempat sampah medis kemudian cuci tangan dengan sabun dan air atau gunakan larutan desinfektan. f. Titik temu antara selang kateter dan urine bag harus tetap tertutup dan

tersambung. Selama tertutup, isinya masih dianggap steril. Aliran keluar klep pada urine bag harus tetap tertutup dan dibersihkan untuk mencegah masuknya bakteri.

g. Pergerakan kateter di uretra harus diminimalkan untuk mengurangi kemungkinan mikroorganisme mencapai uretra kemudian masuk ke dalam kandung kemih.

h. Kateter dan urine bag harus diganti bila waktu pemasangan sudah beberapa hari atau minggu.

Selain pemasangan keteter, pencabutan kateter juga dapat menyebabkan terjadinya infeksi. Prosedur pencabutan kateter sama dengan pemasangan kateter. Perawat harus menggunakan sarung tangan dan mencuci tangan sebelum dan sesudah prosedur.

2. Infeksi Aliran Darah

Infeksi lokal dan infeksi sistemik dapat terjadi sehingga memerlukan perawatan yang lebih intensif. Praktek memasang kateter intravaskuler menurut WHO (2002), meliputi :

a. Menghindari pemasangan kateter intravaskuler bila tidak ada indikasi medis. b. Mempertahankan teknik asepsis dalam memasang kateter intravaskuler dan

(21)

c. Penggunaan kateter intravaskuler dengan waktu sesingkat mungkin. d. Mempersiapkan cairan infus secara aseptik sebelum digunakan. e. Melatih perawat dalam memasang dan merawat kateter intravaskuler. Saat melakukan pemasangan infus perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut: a. Tangan harus dicuci sebelum memasang infus dengan teknik aseptik.

b. Cuci dan desinfeksi kulit di tempat memasukkan infus dengan larutan antiseptik. c. Penggantian infuset tidak terlalu sering dibandingkan dengan penggantian jarum

infus, kecuali setelah transfusi darah yang meninggalkan bekuan darah yang dapat membuat aliran tidak lancar.

d. Bila infeksi lokal plebitis terjadi, maka infus harus segera dilepas.

Menurut Tietjen (2004), prosedur pemasangan infus dilakukan dengan tindakan, yaitu:

a. Mencuci tangan dengan sabun kemudian keringkan dengan handuk.

b. Menyambungkan infus set dan botol cairan infus dengan teknik aseptik (jangan menyentuh daerah tusukan pada botol infus).

c. Memakai sarung tangan sebelum prosedur pemasangan infus, mendesinfeksi daerah vena yang akan dipasang infus dengan gerakan memutar ke arah luar dari tempat pemasangan.

(22)

e. Sebelum melepas sarung tangan, buang kapas/kasa yang terkontaminasi darah ke dalam kantong plastik, lepaskan sarung tangan dan buang ke tempat sampah medis.

f. Kemudian cuci tangan dengan menggunakan larutan antiseptik

g. Pada saat perawat menusukkan jarum ke ujung selang intravena untuk memberi obat (injeksi bolus), perawat harus mendesinfeksi dengan menyeka bagian luar selang infus dengan menggunakan alkohol.

h. Pemeliharaan infus juga harus dilakukan pada pasien yang meliputi : jumlah tetesan, apakah infus terbuka atau lepas, mengecek setiap 8 jam apakah terjadi tanda-tanda infeksi. Pindahkan pemasangan infus setiap 72-96 jam untuk mengurangi infeksi. Infus set juga harus diganti jika rusak atau secara rutin setiap 72 jam. Pada saat mengganti cairan infus jangan menyentuh daerah tusukan jarum atau mendesinfeksi terlebih dahulu daerah tusukan jarum tersebut dengan alkohol 60-90%.

3. Infeksi Luka

(23)

Satu peralatan luka digunakan untuk satu pasien, namun jika penggunaan peralatan luka secara bergantian tidak dapat dihindari, alat-alat tersebut harus secara adekuat dibersihkan dan didesinfeksi sebelum digunakan oleh pasien yang lainnya. Selain itu, dalam merawat luka operasi dengan sistem drainase (drainase luka, cairan empedu dan cairan tubuh lainnya) perawat juga harus tetap menjaga selang drainase bagian luar tetap bersih. Semua selang harus tetap tersambung selama penggunaan. Wadah drainase hanya boleh dibuka pada saat membuang atau mengeluarkan cairan drainase. Kadang-kadang perawat mengambil specimen dari selang drainase dengan menusukkan jarum ke ujung selang. Dalam hal ini perawat harus mendesinfeksi dengan menggunakan alkohol dan larutan yodium sebelum menusuk selang drainase kemudian meletakkan kasa steril di sekeliling ujung selang drainase yang terbuka, sehingga terhindar dari kontaminasi bakteri dari luar kateter. Kemudian setelah mengambil spesimen, tutup dan kunci kembali selang drainase (Potter dan Perry, 2005).

2.2.5. Melapor Kepada Dokter Jika Ada Tanda dan Gejala Infeksi

(24)

dan gejala infeksi atau masalah-masalah lain yang berkaitan dengan status kesehatan pasien, perawat melaporkan hal–hal tersebut kepada dokter (Potter dan Perry, 2005).

Bila proses penyakit atau organisme penyebab penyakit sudah teridentifikasi, dokter dapat lebih efektif meresepkan pengobatan terhadap situasi tersebut, misalnya dengan pemberian antibiotik yang spesifik untuk mikroorganisme penyebab infeksi. Sehingga masalah atau tanda dan gejala infeksi pasien dapat teratasi atau diminimalkan (Guendemann, 2005).

2.2.6. Melakukan Isolasi terhadap Pasien dengan Penyakit Menular

Pasien tertentu mungkin memerlukan tindakan pencegahan khusus untuk membatasi penularan organisme yang berpotensi menginfeksi kepada pasien lain. Kewaspadaan isolasi direkomendasikan tergantung pada cara penularannya. Penularan infeksi menurut WHO (2002), dapat melalui:

1. Airborne infeksi: infeksi biasanya terjadi melalui saluran pernapasan, dengan agen ini dalam aerosol (ukuran partikel <5 μm).

2. Infeksi droplet: droplet yang menular (ukuran partikel > 5 μm).

3. Infeksi melalui kontak langsung atau tidak langsung: infeksi terjadi melalui kontak langsung antara sumber infeksi dan kontak tidak langsung melalui terkontaminasi benda.

Menurut WHO (2002), isolasi dan pencegahan penularan infeksi berdasarkan pada standar yang ada, meliputi:

(25)

2. Standar (rutin) tindakan pencegahan diterapkan untuk perawatan semua pasien. ini termasuk membatasi perawat kontak dengan sekret atau cairan biologis, lesi kulit, mukosa membran, dan darah atau cairan tubuh. Perawat harus memakai sarung tangan, masker, dan gaun setiap kontak yang dapat menyebabkan kontaminasi.

3. Standar tindakan pencegahan terhadap semua pasien:

a. Cuci tangan sebelum dan setelah kontak dengan materi infeksi. b. Teknik meminimalkan sentuhan dengan materi infeksi.

c. Pakailah sarung tangan ketika kontak dengan darah, cairan tubuh, sekresi, ekskresi, membran mukosa dan barang-barang yang terkontaminasi.

d. Cuci tangan segera setelah melepas sarung tangan.

e. Semua benda tajam harus ditangani dengan sangat hati-hati.

f. Bersihkan segera tumpahan bahan infeksi. Pastikan bahwa peralatan perawatan pasien, perlengkapan dan linen yang terkontaminasi dengan bahan infektif dibuang, atau didesinfeksi atau disterilisasi pada setiap penggunaan kepada pasien.

g. Pastikan penanganan limbah yang baik.

h. Jika tidak ada mesin cuci yang tersedia untuk linen kotor dengan materi infektif, linen dapat direbus.

Pertimbangan untuk pakaian pelindung meliputi:

(26)

b. Sarung tangan: sarung tangan plastik yang tersedia dan biasanya cukup. c. Masker: masker bedah yang terbuat dari kain atau kertas dapat digunakan

untuk melindungi dari percikan.

4. Standar tindakan pencegahan untuk pasien tertentu.

a. Tindakan pencegahan melalui udara (ukuran partikel <5 μm) (misalnya tuberkulosis, cacar air, campak,dll). Berikut ini diperlukan:

1) Ruangan perawatan dengan ventilasi yang cukup, pintu ditutup, setidaknya pertukaran udara per jam.

2) Perawat mengenakan masker di ruangan pasien. 3) Pasien tetap berada di dalam ruangan perawatan.

b. Tindakan pencegahan terhadap droplet (ukuran droplet > 5 pm) misalnya bakteri meningitis, difteri, virus saluran pernafasan. Prosedur berikut diperlukan:

1) Ruangan perawatan sendiri untuk pasien, jika tersedia. 2) Masker bagi pekerja perawatan kesehatan.

3) Sirkulasi terbatas bagi pasien, pasien memakai masker bedah jika meninggalkan ruangan.

5. Tindakan pencegahan untuk pasien dengan infeksi enterik dan diare yang tidak dapat dikendalikan, atau lesi kulit yang tidak dapat diatasi, antara lain:

a. Pasien ditempatkan pada ruang perawatan sendiri jika tersedia; penggabungan pasien jika memungkinkan.

(27)

c. Mencuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien, dan meninggalkan ruangan.

d. Membatasi gerakan pasien di luar ruangan.

e. Pembersihan lingkungan dan peralatan, disinfeksi, dan sterilisasi.

Isolasi dibutuhkan untuk merawat pasien dengan risiko infeksi yang sangat berbahaya dimana dapat menularkan melalui berbagai cara, antara lain (WHO, 2002):

1. Pasien ditempatkan ruang isolasi jika memungkinkan.

2. Masker, sarung tangan, gaun pelindung, topi, mata perlindungan bagi semua memasuki ruangan.

3. Cuci tangan saat masuk dan keluar dari ruangan. 4. Desinfeksi instrumen medis.

5. Pembersihan kotoran, cairan tubuh, sekresi cairan tubuh. 6. Desinfeksi linen.

7. Membatasi pengunjung dan staf.

8. Desinfeksi harian dan desinfeksi terminal. 9. Menggunakan peralatan sekali pakai.

10.Pengambilan spesimen pasien dan pengiriman ke laboratorium.

(28)

terinfeksi dan pasien-pasien lain dan juga dengan pengunjung. Jika pasien yang diketahui dan diduga terkena infeksi saluran pernafasan harus menggunakan masker pada saat keluar dari kamar.

2.2.7. Membatasi Paparan Pasien terhadap Infeksi yang Berasal dari Pengunjung

Sumber infeksi nosokomial mungkin berasal dari pasien, petugas rumah sakit, atau bisa juga pengunjung. Mereka mungkin sudah terkena penyakit, berada dalam masa inkubasi (tidak ada gejala), atau dapat juga berupa karier kronis. Daya tahan tubuh masing-masing berbeda, ada yang kebal, ada yang menjadi karier tanpa gejala, ada yang langsung terkena infeksi dan sakit (Tietjen, 2004).

Pengunjung harus menggunakan alat pelindung ketika memasuki ruang perawatan khusus seperti masker, gaun pelindung, sarung tangan untuk mencegah penularan infeksi. Salah satu cara lain adalah dengan membatasi jumlah pengunjung. Dengan membatasi jumlah pengunjung berarti mengurangi resiko terjadinya penularan infeksi (WHO, 2002).

2.2.8. Mempertahankan Keamanan Peralatan dan Perlengkapan Perawatan dari Penularan Infeksi Nosokomial

(29)

a. Pembersihan

Menurut Rutala, pembersihan dilakukan untuk membuang semua material asing seperti kotoran dan materi organik dari suatu objek. Objek menjadi terkontaminasi bila kontak dengan sumber infeksi. Biasanya pembersihan dilakukan dengan menggunakan air dan cara mekanis dengan atau tanpa deterjen (Potter dan Perry, 2005).

Bila membersihkan darah, materi fekal, mucus atau pus, perawat menggunakan masker, kacamata pelindung dan sarung tangan sebagai pelindung terhadap organisme infeksi. Sikat berbulu padat dan deterjen atau sabun dibutuhkan untuk pembersihan (WHO, 2002). Langkah berikut ini menjamin bahwa suatu objek disebut bersih:

1) Cuci objek atau benda yang terkontaminasi dengan air dingin yang mengalir untuk membuang materi organik. Jangan menggunakan air panas karena dapat menyebabkan materi organik berkoagulasi dan menempel pada objek, sehingga sulit untuk dibuang.

2) Setelah dibilas, cuci objek dengan sabun dan air hangat. Sabun dan deterjen memiliki kandungan desinfektan yang dapat membunuh kuman patogen pada objek. Gunakan sikat untuk membuang kotoran atau materi pada objek yang susah dibersihkan sehingga kotoran mudah dibuang.

3) Bilas objek dengan air hangat.

(30)

5) Bersihkan sarung tangan dan bak tempat objek diletakkan untuk desinfeksi dan sterilisasi.

b. Desinfeksi

Menurut Rutala, desinfeksi merupakan proses yang digunakan untuk memusnahkan semua mikroorganisme pada suatu objek/benda, tanpa membunuh spora bakteri. Desinfeksi biasanya dilakukan dengan mengguanakan desinfeksi kimia atau pasteurisasi basah (digunakan untuk peralatan terapi pernafasan). Contoh desinfektan adalah alkohol, klorin, glutaraldehid, dan fenol. Desinfeksi biasanya dilakukan pada pakaian, linen, tempat tidur, pispot, benda yang tidak dapat disterilkan dengan menggunakan campuran zat kimia cair atau pasteurisasi basah. Untuk objek yang dapat digunakan kembali harus dibersihkan, didesinfeksi atau disterilisasi sebelum digunakan kembali. Penggunaan peralatan dan perlengkapan perawatan pasien seperti stetoskop, spigmomanometer, termometer yang dipakai bersama oleh pasien harus dibersihkan dan didesinfeksi sebelum digunakan oleh pasien yang lainnya. (Potter dan Perry, 2005).

c. Sterilisasi

(31)

(uap dibawah tekanan), gas etilon oksida (EO), dan cairan kimia. Autoklaf adalah salah satu alat yang dipakai dalam sterilisasi panas. Sterilisasi dengan menggunakan air panas dengan cara merebus alat-alat operasi dapat dilakukan bila otoklaf tidak ada (Potter dan Perry, 2005).

Acuan dasar metode sterilisasi menurut WHO (2002) meliputi : a. Sterilisasi dengan pemanasan

1) Sterilisasi basah: rebus dengan air pada suhu 1210 C selama 30 menit, atau suhu 1340 C selama 13 menit dalam autoklaf; (suhu 1320 C selama 18 menit untuk prion).

2) Sterilisasi kering: panaskan di suhu 1600 C selama 120 menit, atau di suhu 1700 C selama 60 menit; proses sterilisasi ini sering dianggap kurang dapat diandalkan dibandingkan dengan sterilisasi basah, khususnya untuk perangkat medis yang berongga.

3) Sterilisasi dengan bahan kimia

Sterilisasi dengan asam perasetik banyak digunakan di Amerika Serikat dan negara-negara lain dalam sistem pengendalian otomatis.

2.3. Kemampuan

2.3.1. Definisi Kemampuan

Kemampuan berasal dari kata dasar “mampu” yang dalam hubungan dengan

(32)

mempengaruhi pencapaian kinerja yaitu faktor kemampuan (ability) dan faktor motivasi (motivation). Lebih lanjut dikatakan bahwa faktor kemampuan reality terdiri dari knowledge dan skill.

Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan adalah hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu melalui pancaindera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sedangkan keterampilan (skill) adalah kemampuan melaksanakan pekerjaan dengan menggunakan anggota badan dan peralatan kerja yang tersedia (Moenir, 2014). Sehingga, dapat dijelaskan bahwa keterampilan lebih banyak menggunakan unsur anggota badan daripada unsur lain.

2.3.2. Kemampuan Kerja Perawat

(33)

perbandingan perawat dengan pasien, dan beban kerja) juga mempengaruhi kemampuan perawat.

2.4. Landasan Teori

WHO (2002) dalam jurnal Prevention of Hospital-Acquired Infection

menyatakan bahwa perawat adalah pelaksana dalam pengendalian infeksi nosokomial dalam hal:

1. Menjaga kebersihan rumah sakit 2. Pemantauan cuci tangan

3. Menggunakan alat pelindung. 4. Melakukan teknik aseptik

5. Melapor kepada dokter jika ada tanda dan gejala infeksi. 6. Melakukan isolasi terhadap pasien dengan penyakit menular.

7. Membatasi paparan pasien terhadap infeksi yang berasal dari pengunjung dan peralatan diagnosis.

(34)

2.5. Fokus Penelitian

Berdasarkan landasan teori maka fokus dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.1 Fokus Penelitian

Keterangan gambar: = Variabel = Indikator

Kemampuan perawat dilatarbelakangi oleh pendidikan, lama bekerja, tempat tugas dan jumlah kebutuhan. Adapun pencapaian kemampuan perawat dalam pencegahan dan pengendalian infeksi terlihat dari kemampuan menjaga kebersihan

(35)

Gambar

Gambar 2.1 Fokus Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

c) Selain dari segi yuridis formal bahwa Pembukaan UUD 1945 secara hukum tidak dapat di ubah, juga secara material yaitu hakikat isi yang terkandung dalam pembukaan UUD

Penurunan kadar Fe dan Mn juga dapat menggunakan media karbon aktif dan zeolit. seperti yang telah uji oleh Hardini dan

Dari keseluruhan aspek yang dinilai, terlihat bahwa popularitas berdasarkan ukuran google dan peringkat Alexa diraih oleh website Bank Mandiri dengan perbedaan yang cukup lebar

Batas muka air tanah bebas adalah bidang yang merupakan tempat kedudukan muka air tanah tersebut. Batas muka air tanah bebas ditentukan berdasarkan peta muka air tanah bebas

Demam berdarah dengue adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus dengue (arbovirus) yang masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk aedes

Hasil titer antibodi pada perlakuan C yaitu vaksin dengan penambahan gliserol 0,25% dan perlakuan E yaitu vaksin dengan penambahan gliserol 0,75% meningkat tinggi

secara mendalam dengan mengambil judul penelitian “ Pengaruh Pengawasan, Kompetensi dan Lingkungan Kerja Fisik terhadap Kinerja Pegawai Pada Kantor SAR Kelas B

Lingkup pembahasan dalam projek pusat seni tari tradisional Bali. ini