• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Lesi Tuberkulosis Paru dengan Diabetes Mellitus terhadap Kadar HbA1C

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Lesi Tuberkulosis Paru dengan Diabetes Mellitus terhadap Kadar HbA1C"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberkulosis

2.1.1 Defenisi tuberkulosis

Tuberkulosis adalah penyakit yang ditularkan langsung melalui udara, yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium Tuberculosis kompleks. Tuberkulosis paru merupakan penyakit Tuberkulosis yang melibatkan parenkim paru.(PDPI,2011)

2.1.2 Patogenesis a. Tuberkulosis Primer

Pada saat inspirasi, sebagian kuman basil tuberkulosa terjebak di mukosa saluran pernapasan atas, trakea dan bronkus, kemudian dieliminasi oleh mekanisme pertahanan mucosiliar. Partikel-partikel kecil atau droplet nuklei yang lebih kecil dari 5 µm dapat melewati barrier dan mencapai saluran pernapasan bawah, terutama di dalam alveoli, di mana basil tuberkulosa dapat segera dipagositosis oleh makrofag alveolar.(PDPI,2006) Rangkaian interaksi antara makrofag dengan kuman TB dan peran makrofag sebagai respons pejamu diawali dengan ikatan M. tuberculosis pada permukaan makrofag, kemudian dilanjutkan dengan fusi fagosom-lisosom, hambatan pertumbuhan kuman TB, perekrutan sel imun tambahan untuk respons inflamasi lokal, dan presentasi antigen kepada sel T untuk perkembangan imunitas adaptif.(Cahyadi A et al,2011)

(2)

dihancurkan akan terus berkembang biak di dalam sito-plasma makrofag. Di sini kuman basil dapat terbawa masuk ke organ tubuh lainnya.(Amin Z et al, 2007)

Kuman yang bersarang di jaringan paru akan berbentuk sarang tuberculosis pneumonia kecil dan disebut sarang primer atau afek primer atau sarang (fokus) Ghon. Sarang primer ini dapat terjadi di setiap bagian jaringan paru. (Amin Z et al, 2007) Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional dikenal sebagai kompleks primer.(PDPI,2006) Semua proses ini memakan waktu 3-8 minggu. (PDPI,2006;Amin Z et al,2007) Kompleks primer ini akan mengalami salah satu nasib sebagai berikut:

1) Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad integrum)

2) Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis fibrotik, sarang perkapuran di hilus).

3) Menyebar dengan cara :

a) Perkontinuitatum, menyebar kesekitarnya Salah satu contoh adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian dimana terdapat penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas bersangkutan, dengan akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis akan menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat ini ke lobus yang atelektasis dan menimbulkan peradangan pada lobus yang atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai epituberkulosis. b) Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru

sebelahnya.

(3)

typhobacillosis Landouzy. Penyebaran ini juga dapat menimbulkan tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia dan sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini mungkin berakhir dengan :

1. Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan terbelakang pada anak setelah mendapat ensefalomeningitis, tuberkuloma).

2. Meninggal.(PDPI,2006)

b. Tuberkulosis Post Primer

Dari tuberkulosis primer ini akan muncul bertahun-tahun biasanya pada usia 15-40 tahun, kemudian tuberkulosis post-primer sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa (tuberkulosis post primer atau TB pasca primer atau TB sekunder). Mayoritas reinfeksi mencapai 90%. Tuberkulosis primer terjadi karena imunitas menurun seperti Diabetes, malnutrisi, alkohol, penyakit malignansi, AIDS. Tuberkulosis pasca primer ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di regio atas paru (bagian apikal-posterior lobus superior atau inferior). Invasinya adalah ke daerah parenkim paru.(Amin Z et al,2007)

Sarang dini ini mula-mula juga berbentuk sarang pneumonia kecil. (PDPI,2006;Amin Z et al,2007) Dalam 3-10 minggu sarang ini menjadi tuberkel yakni suatu granuloma yang terdiri dari sel-sel Histiosit dan sel Datia-Langerhans (sel besar dengan banyak inti) yang dikelilingi oleh sel-sel limfosit dan berbagai jaringan ikat. (Amin Z et al,2007) Sarang dini ini dapat menjadi :(PDPI,2006)

1) Direabsorbsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat.

(4)

3) Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa). Kaviti akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti sklerotik)17 karena infiltrasi jaringan fibroblas dalam jumlah besar. Terjadi perkejuan dan kavitas karena hidrolisis protein lipid dan asam nukleat oleh enzim yang diproduksi oleh makrofag , dan proses yang berlebihan sitokin dengan TNFnya. Bentuk perkejuan lain yang jarang adalah cryptic disseminate TB yang terjadi imunodefisiensi dan usia lanjut. (Amin Z et al,2007)

Nasib kaviti ini dapat menjadi :

a) Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonik baru. Sarang pneumonik ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang disebutkan diatas. (PDPI,2006) Bila isi kavitas ini masuk dalam peredaran darah arteri maka akan terjadi TB milier. Dapat juga masuk ke paru sebelahnya atau tertelan masuk ke lambung dan selanjutnya ke usus akan menjadi TB usus. Bisa juga menjadi TB endobronkial dan TB endotrakeal atau empiema bila ruptur ke pleura. (Amin Z et al,2007)

b) Memadat dan membungkus diri (encapsulated), dan disebut tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tapi mungkin pula aktif kembali, mencair lagi dan menjadi kaviti lagi. (PDPI,2016) Komplikasi kronik kaviti adalah kolonisasi oleh fungus seperti Aspergillus dan kemudian menjadi mycetoma. (Amin Z et al,2007)

(5)

Gambar 2.1. Skema perkembangan sarang tuberkulosis post primer dan perjalanan penyembuhannya.(PDPI,2006)

2.1.3. Diagnosis Tuberkulosis Paru

Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik, pemeriksaan fisik/jasmani, pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan pemeriksaan penunjang lainnya.

Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala respiratorik (atau gejala organ yang terlibat) dan gejala sistemik.(PDPI,2011)

1) Gejala respiratorik a) Batuk ≥ β minggu

Batuk terjadi karena iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang produk-produk radang keluar. Batuk diawali dengan batuk kering (non-produktif) kemudian setelah timbul peradangan menjadi batuk yang produktif (menghasilkan sputum).

b) Batuk darah

(6)

bronkiektasis atau ulserasi trakeo-bronkial. Keadaan ini dapat menyebabkan kematian karena penyumbatan saluran pernapasan oleh bekuan darah.(Alsagaff H et al, 2010)

c) Sesak napas

Merupakan late symptom dari proses lanjut tuberkulosis paru dengan keterlibatan parenkim paru yang luas akibat adanya restriksi dan obstruksi saluran pernapasan.(Alsagaff H et al, 2010)

d) Nyeri dada

Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura sewaktu pasien menarik atau menghembuskan napas. (Amin Z et al;Alsagaff H et al, 2010)

2) Gejala sistemik a) Demam

Demam dengan pola yang khas, biasanya terjadi pada sore hari dan tidak terlalu tinggi.(Fishman AP et al,2008)

b) Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun.(PDPI,2011)

b. Pemeriksaan fisik

(7)

Bila dicurigai adanya infiltrat yang agak luas, maka didapatkan perkusi yang redup dan auskultasi suara napas bronkial. Akan didapatkan juga suara napas tambahan berupa ronki basah, kasar dan nyaring. Tetapi bila infiltrat diliputi oleh penebalan pleura, suara napasnya menjadi melemah. Bila terdapat kavitas yang cukup besar, perkusi memberikan suara hipersonor atau timpani dan auskultasi memberikan suara amforik.(Amin Z et al, 2007)

Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari banyaknya cairan di rongga pleura.(PDPI,2006) Pada paru yang sakit terlihat agak tertinggal dalam penapasan. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan.(Amin Z et al,2007)

c. Pemeriksaan bakteriologik

Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH).(PDPI,2006)

Pemeriksaan sputum adalah penting karena dengan ditemukannya kuman BTA, diagnosis tuberkulosis sudah dapat dipastikan. Di samping itu pemeriksaan sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang sudah diberikan. Pemeriksaan ini mudah dan murah.(Amin Z et al,2007)

Pemeriksaan bakteriologik dari spesimen dahak dan bahan lainnya dapat dilakukan dengan cara :(PDPI,2006)

(8)

d. Pemeriksaan radiologik

Pemeriksaan radiologi standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto lateral. Pemeriksaan lain atas indikasi : foto apiko-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform).(PDPI,2011)

1) Tuberkulosis Primer

Gambaran radiologi yang paling umum dijumpai pada tuberkulosis primer adalah gambaran radiologis normal. Pada tuberkulosis primer keterlibatan parenkim dapat terjadi di setiap segmen paru-paru. Dan hanya ada sedikit keterlibatan lobus atas paru. Gambaran konsolidasi dapat muncul dengan densitas seragam dengan batas tidak jelas, dan kavitasi jarang kecuali pada malnutrisi atau pasien immunocompromised lainnya. Biasanya infiltrat ini kecil dan berada di sub pleura. Pembesaran kelenjar getah di hilus atau paratrakeal merupakan temuan khas pada tuberkulosis primer. Namun, hal ini paling sering terlihat pada anak-anak. Biasanya berupa adenopati yang unilateral. Berbeda dengan limfadenopati, terlihat lebih sering pada dewasa dengan keterlibatan TB Miliary primer (sebagai nodul kecil multipel), yang terjadi 3 persen dari jumlah kasus, paling sering pada anak di bawah 2 sampai 3 tahun, tetapi juga dapat dilihat pada orang dewasa. Yang akhirnya, dapat menjadi efusi pleura terlokalisir derajat ringan sampai sedang, yang mungkin satu-satunya manifestasi dari tuberkulosis primer.(Fishman AP et al,2008)

2) Tuberkulosis post primer

Pada 95% gambaran radiologis kasus tuberkulosis post primer, lesi terlihat pada segmen apikal atau segmen posterior di lobus atas atau segmen superior lobus bawah. Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :( PDPI,2011),

(9)

b) Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular.

c) Bayangan bercak milier

d) Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)

Berdasarkan luasnya, efusi pleura dibagi menjadi:(Light RW et al,2008) (1).Efusi pleura minimal, yaitu jika cairan pleura kurang dari sepertiga

hemitoraks.

(2).Efusi pleura sedang, yaitu jika cairan pleura lebih dari sepertiga hemitoraks tetapi kurang dari setengah hemitoraks.

(3).Efusi pleura luas, yaitu jika cairan pleura lebih dari setengah hemitoraks.

(4).Efusi pleura masif, yaitu jika cairan pleura memenuhi satu hemitoraks.

Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif :(PDPI,2006;PDPI,2011) a) Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas

b) Kalsifikasi atau fibrotik c) Kompleks ranke

d) Fibrotoraks/Fibrosis parenkim paru dan atau penebalan pleura.

a. b.

(10)

Gambar 2.3. Efusi pleura(Kaufmann SHE et al,2003)

Menurut American Thoracic Society dan National Tuberculosis Association luasnya proses yang tampak pada foto toraks dapat dibagi sebagai berikut:(Alsagaff H et al,2010;Rasad S,2011)

a) Lesi minimal (minimal lesion) :

Bila lesi tuberkulosis paru yang kelihatan tidak melebihi daerah yang dibatasi oleh garis median, apeks dan iga 2 depan; lesi-lesi soliter dapat berada dimana saja, tidak harus berada dalam daerah tersebut di atas. Tidak ditemukan adanya lubang (kavitas).

b) Lesi sedang (moderatly lesion):

Bila proses penyakit lebih luas dari lesi minimal dan lesi yang bersifat bercak-bercak tidak melebihi luas satu paru atau jumlah seluruh proses yang ada paling banyak seluas satu paru. Kalau sifat bayangan lesi tersebut berupa awan-awan yang berubah menjadi daerah konsolidasi yang homogen, luasnya tidak boleh melebihi luas satu lobus. Sedangkan bila ada kavitas, diameter kavitas tidak melebihi 4 cm.

c) Lesi luas (far advanced lesion):

Kelainan lebih luas dari lesi sedang, atau bila ada kavitas-kavitas maka diameter keseluruhan semua lubang melebihi 4 cm.

(11)

Gambar 2.4.Skema klasifikasi American Tuberculosis Association.(Rasad S et al,2011)

2.2 Diabetes Mellitus

2.2.1. Definisi

Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2014, Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya.(PERKENI,2011;ADA,2014) Diabetes dengan hiperglikemia yang kronis berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi, dan kegagalan organ yang berbeda, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah.(ADA,2014)

2.2.2 Diagnosis Diabetes Mellitus

(12)

pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer.(PERKENI,2011)

Diagnosis diabetes didasarkan pada kriteria pemeriksaan kadar glukosa darah (KGD), baik KGD puasa, KGD 2 jam PP atau tes toleransi glukosa terganggu 75 g. Nilai batas diagnostik untuk KGD puasa yaitu ≥ 1β6 mg/dl, KGD β jam PP ≥ β00 mg/dl. HbA1C adalah suatu tes yang banyak digunakan untuk glikemia kronis ,yang mencerminkan rata-rata kadar glukosa darah pada selama 2 - 3 bulan ini. HbA1C memainkan peranan yang penting dalam pengelolaan pasien diabetes, karena berkorelasi baik dengan mikrovaskuler maupun tingkat lebih rendah pada komplikasi makrovaskular dan digunakan secara luas sebagai biomarker standar untuk menilai adekuasi manajemen glikemik. Sebelumnya para komite Ahli tidak menganjurkan penggunaan HbA1C untuk diagnosis diabetes, sebagian karena kurangnya standarisasi pengujian tersebut. Namun, Tes HbA1C sekarang sangat standar sehingga hasil mereka dapat diterapkan pada seluruh populasi. Dalam laporan terbaru mereka, Komite Ahli Internasional merekomendasikan penggunaan tes HbA1C untuk mendiagnosa diabetes, dengan ambang batas sebesar ≥ 6,5%, dan ADA menguatkan keputusan tersebut. HbA1C lebih sering digunakan untuk mendiagnosa diabetes pada individu dengan faktor risiko, juga akan mengidentifikasi mereka yang risiko tinggi untuk berkembang menjadi diabetes di masa depan.(ADA,2014)

(13)

HASIL HbA1C

Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara:(PERKENI,2011;ADA,2014) a. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu

>200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM.

b. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 1β6 mg/dL dengan adanya keluhan klasik.

c. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75 g glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus.

d. HbA1C ≥ 6,5%. Pengujian harus dilakukan di laboratorium menggunakan metode yang NGSP bersertifikat dan standar untuk uji DCCT.

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti di bawah ini:

a. Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.

b. Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.(PERKENI,2011)

2.2.3 Kontrol Glukosa Darah

(14)

berlebih selama periode 3 - 4 bulan. HbA1c (hemoglobin terglikasi) merupakan salah satu cara untuk memantau kadar glukosa darah. HbA1c, disebut juga glycohemoglobin, atau disingkat A1c merupakan salah satu pemeriksaan darah yang penting untuk mengevaluasi pengendalian glukosa darah dengan cara menilai status glikemik jangka panjang.(National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases,2014) Diabetes yang tidak terkontrol akan mengakibatkan timbulnya komplikasi, untuk itu pada penyandang diabetes kadar HbA1C ditargetkan kurang dari 7%.(Kilpatrick ES,2004)

Kontrol Glukosa darah yang baik dapat mengurangi resiko komplikasi makrovaskular dan mikrovaskular. Menurut American Collage of Endocrinology (ACE) pada setiap penurunan kadar HbA1c sebesar 1% maka terjadi penurunan resiko komplikasi makrovaskular 14% dan mikrovaskular 30%- 35%.(ACE,2002) HbA1c telah menjadi suatu “gold standart” untuk menilai dan mengontrol glukosa darah pada DM tipe 1 dan DM tipe 2. Sebelum berkembangnya teknologi HbA1c, pengontrolan glukosa darah menggunakan pemeriksan kadar glukosa darah puasa. Pemeriksaan glukosa darah puasa mempunyai keterbatasan karena hanya mengukur keadaan glukosa darah pada satu waktu dan tidak menggambarkan secara akurat kontrol glukosa sebelumnya.(ACE,2002) Kontrol glukosa darah dinyatakan sebagai terkontrol dan tidak terkontrol. American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan bahwa kontrol glukosa darah dinyatakan terkontrol jika nilai HbA1C < 7%, sedangkan glukosa darah tidak terkontrol, nilai HbA1C adalah ≥ 7%.33

Menurut Healthcare Effectiveness Data and Information Set (HEDIS) dan ADA, kontrol glukosa darah berdasarkan tingkatan kadar HbA1c dibagi menjadi 3 kategori : good control jika kadar HbA1c < 7 %, fair control jika kadar HbA1c 7 - 9%, dan poor control jika kadar HbA1c > 9 %.(ADA,2014; National Center for Quality Assurance,2004)

(15)

wanita hamil <11 g/dl dan pada laki-laki <13 g/dl. Pada beberapa penelitian nilai HbA1c dipengaruhi oleh anemia pada konsentrasi Hb <10 g/dl.39,40 Ford E S, dkk mengatakan bahwa adanya hubungan antara konsentrasi Hb dan konsentrasi HbA1C pada kadar Hb < 10 g/dl dan >17 g/dl.(Ford ES et al,2011) Penelitian lain yang dilakukan oleh Adeoye S, dkk dengan membandingkan kadar HbA1C pada kelompok anemia dengan kadar Hb rata-rata < 10 g/dl dan non anemia, melaporkan bahwa terdapat hubungan linier antara kadar Hb dan HbA1C.(Adeoye S et al,2014)

Usia dan etnis juga dapat berpengaruh pada hasil HbA1c. Pada usia tua dapat memberikan kadar HbA1c yang lebih tinggi dari yang usia tua, sekitar 0,4% lebih tinggi pada usia 70 tahun dibandingkan usia 40 tahun. Peninggian kadar HbA1c juga dijumpai pada etnis Afro-Karibian yang memiliki nilai 0,4% lebih tinggi dari etnis Eropa. Juga pada etnis Asia Selatan dan Kaukasian terdapat perbedaan pada kadar HbA1c.(Kilpatrick ES,2010)

2.3 Hubungan Tuberkulosis dan Diabetes Mellitus

(16)

terbanyak kedua bersama dengan tiongkok. India menempati urutan pertama dengan persentase kasus 23 persen terhadap yang ada di seluruh dunia.(WHO,2016)

Delapan dari sepuluh negara dengan insiden tertinggi diabetes mellitus (DM) juga diklasifikasikan sebagai negara dengan jumlah Tuberkulosis paru yang tinggi menurut World Health Organization (WHO). Prevalensi diabetes mellitus (DM) yaitu di bagian utara dengan presentase 27,9%, diikuti oleh bagian timur dengan persentase 24,7%, bagian tengah yaitu sebesar 23,7%, dan bagian selatan dengan prevalensi terendah yaitu 18,2%.(Wijaya I et al,2015;Baghaei P et al,2013;Wulandari DR et al,2013)

Prevalensi TB paru meningkat seiring dengan peningkatan prevalensi diabetes mellitus (DM). Frekuensi DM pada pasien TB paru dilaporkan sekitar 10-15% dan prevalensi penyakit infeksi ini 2-5 kali lebih tinggi pada pasien diabetes dibandingkan dengan kontrol yang nondiabetes. Berdasarkan penelitian Dobler dkk. di Australia pada tahun 2012 dan Leung dkk di Hongkong tahun 2008, peneliti menemukan penderita diabetes mellitus (DM) dengan kadar HbA1c > 7% lebih banyak menderita TB paru. Kesimpulan penelitian tersebut adalah bahwa kondisi hiperglikemia bahkan pengguna insulin berisiko tinggi untuk menderita TB paru.(Wijaya I et al,2015;Cahyadi A et al,2011)

(17)

Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan mudahnya terjadi infeksi tuberkulosis pada pasien DM, diantaranya:

1. Faktor-faktor fisiokimia : hiperglikemia, hipoglikemia, dan asidosis adalah faktor yang menyebabkan mudahnya infeksi TB pada pengidap DM, keadaan asidosis diabetik akan meningkatkan tekanan osmosis dari cairan ekstrasel dengan bertambahnya sel-sel yang mengalami dehidrasi. Lekosit pada pengidap DM akan kurang aktif dalam proses fagositosis terhadap kuman mikobakterium, streptokokus dan stafilokokus. Disamping terjadinya peningkatan kadar gliserol akibat gangguan metabolisme lemak dengan meningkatnya liposis pada pengidap DM merupakan hal yang penting dalam kerentanan terhadap tuberkulosis.

2. Faktor-faktor kekebalan : ketidakmampuan sistim imunitas selular untuk menghambat pertumbuhan dan membunuh kuman TB yang merupakan mekanisme dasar daya tahan tubuh kuman terhadap kuman TB yang bersifat intraseluler fakultatif. Peranan terpenting terletak pada sel T sebagai afektor dan makrofag sebagai efektor. Bagaimana tepatnya gangguan kedua jenis sel tersebut belum diperoleh kepastian dengan kemungkinan antara lain: gangguan pengaturan sel-sel tersebut akibat gangguan metabolisme protein, meningginya kadar plasma kortisol, pengaruh benda-benda keton dan asidosis menurunkan aktiviti fagositosis makrofag. Boucot mengatakan bahwa meningkatnya risiko TB pada penderita DM dipengaruhi oleh beberapa faktor: lamanya DM, kontrol DM dan berat badan (makin tinggi risikonya pada penderita yang berat badannya kurang)

3. Faktor lain yaitu imunitas humoral, angiopati dan neuropati.(Elloriaga G,2014)

2.3.2. Disfungsi Imun pada Penderita Diabetes Mellitus

(18)

dengan pasien non diabetes mellitus, yaitu: (Wijaya I,2015;Prameswari AI,2013;Casquiero J et al,2012;Shui HJ et al,2014)

a. Sistem komplemen

Sistem komplemen adalah salah satu sistem imun utama yang bertanggung jawab dalam sistem imun alamiah, terdiri dari serum dengan permukaan protein, yang mempunyai fungsi utama untuk mempromosikan opsonisasi dan fagositosis mikroorganisme melalui makrofag dan neutrofil-neutrofil sehingga dapat menginduksi lisis dari mikroorganisme tersebut. Selain itu, produk aktivasi komplemen akan memberikan sinyal kedua untuk aktivasi limfosit B dan produksi antibodi. Berdasarkan beberapa penelitian, dilaporkan bahwa terjadi defisiensi CD4 pada penderita diabetes mellitus (DM), yang berkaitan dengan disfungsi polimorfonuklear dan respon sitokin yang berkurang.

b. Sitokin inflamasi

Sel-sel mononuklear dan monosit pada pasien diabetes mellitus (DM) akan mensekresi interleukin-1 (IL-1) dan interleukin-6 (IL-6) dalam jumlah yang lebih sedikit akibat respon dari rangsangan lipopolisakarida. Rendahnya produksi interleukin merupakan konsekuensi adanya cacat intrinsik dalam sel-sel pasien dengan DM. Penelitian lain juga melaporkan bahwa adanya peningkatan glikasi dapat menghambat produksi interleukin-10 (IL-10) oleh sel mieloid, sama seperti interferon gamma (IFN- ) dan Tumor Necrosis Factor (TNF)-α oleh sel T. Adanya proses glikasi juga akan mengurangi ekspresi dari Major Histocompatibility Complex (MHC) kelas I pada permukaan sel mieloid, sehingga akan menyebabkan kerusakan imunitas sel.

c. Leukosit Polimorfonuklear dan Mononuklear

(19)

transport glukosa, lingkungan dengan suasana hiperglikemia akan meningkatkan kadar glukosa intrasel, yang kemudian akan dimetabolisme, menggunakan NADPH (Nicotinamide Adenine Dinucleotide Phosphate) sebagai kofaktor. Rendahnya kadar NADPH (Nicotinamide Adenine Dinucleotide Phosphate) akan mencegah regenerasi molekul-molekul yang berperan penting dalam mekanisme antioksidan sel, sehingga meningkatan kerentanan sel terhadap stres oksidasi. Berhubungan dengan limfosit mononuklear, beberapa penelitian melaporkan bahwa ketika HbA1c < 8%, fungsi proliferasi limfosit T CD4 dan respons terhadap antigen tidak mengalami gangguan.

d. Antibodi

Glikasi imunoglobulin terjadi pada pasien dengan diabetes mellitus (DM) yang sedang mengalami peningkatan HbA1c dan hal ini akan membahayakan fungsi biologis dari antibodi. Namun, relevansi klinis pengamatan ini tidak jelas, karena respon antibodi setelah vaksinasi terhadap infeksi umum cukup memadai pada pasien dengan diabetes mellitus (DM).

e. Adherensi

Kemampuan sistem imun tubuh seseorang dalam fungsi adherensi mikroorganisme ke sel-sel epitel atau mukosa merupakan tahap yang sangat penting dalam menjelaskan mekanisme atau patogenesis pasien dengan diabetes mellitus (DM) yang rentan terhadap berbagai infeksi. Sebagai contoh, pasien dengan diabetes mellitus (DM) akan sangat rentan terhadap infeksi, misalnya Mycobacterium tuberculosis (M.Tb) yang tertular melalui droplet inhalasi.

(20)

primer akan bertanggung jawab terhadap timbulnya kerentanan pasien DM untuk terkena TB.(Prameswari AI,2013;Guptan A et al,2000)

Fungsi makrofag juga mengalami gangguan yang ditandai dengan ketidakmampuan untuk menghasilkan reactive oxygen species, fungsi kemotaksis dan fagositik yang menurun. Penelitian oleh Mowatt dan Baumm mendapatkan penurunan daya kemotaksis lekosit pada penderita DM dibandingkan dengan kontrol dan akan semakin memburuk bila pasien jatuh dalam koma ketoasidosis. Keadaan ini dapat diperbaiki dengan menambah insulin kedalam larutan penguji. Penyebab dan gejala klinis gangguan kemotaksis pada DM belum diketahui dengan pasti. Basement Membran yang menebal dan berkombinasi dengan gangguan kemotaksis akan menyebabkan gangguan mekanisme pertahanan tubuh. Infeksi oleh basil tuberkel akan menyebabkan gangguan yang lebih lanjut pada sitokin, makrofag-monosit dan populasi sel T CD4/CD8. Keseimbangan antara sel limfosit T CD4 dan CD8 memainkan peranan penting dalam mengatur pertahanan tubuh melawan mikobakteri dan menentukan kecepatan regresi pada TB aktif. (Nasution EJ,2007;Sanusi H,2003)

(21)

Derajat hiperglikemi juga berperan dalam menentukan fungsi mikrobisida pada makrofag. Pajanan kadar gula darah sebesar 200 mg% secara signifikan dapat menekan fungsi penghancuran oksidatif dari makrofag. Penderita DM yang kurang terkontrol dengan kadar hemoglobin terglikasi (HbA1c) tinggi menyebabkan TB menjadi lebih parah dan berhubungan dengan mortalitas yang lebih tinggi. Selain terjadi kerusakan pada proses imunologi, pada pasien DM juga terdapat gangguan fisiologis paru seperti hambatan dalam proses pembersihan sehingga memudahkan penyebaran infeksi pada inang. Glikosilasi non enzimatik pada protein jaringan menginduksi terjadinya gangguan pada fungsi mukosilier atau menyebabkan neuropati otonom diabetik sehingga menyebabkan abnormalitas pada tonus basal jalan napas yang mengakibatkan menurunnya reaktifitas bronkus serta bronkodilatasi.(Guptan A et al,2000)

(22)

Gambar 2.5. Skema Disfungsi Imun pada Pasien DM.( Casquiero J et al,2012)

2.3.3 Patogenesis TB Paru dengan Diabetes Mellitus (DM)

(23)

(DM), terutama pada orang-orang yang memiliki kontrol gula darah yang buruk. (Wijaya I,2015;Cahyadi A et al,2011;Elloriaga G et al,2014)

Peningkatan insidens TB paru pada pasien DM juga disebabkan karena adanya defek pada makrofag alveolar atau limfosit T. Dari beberapa penelitian dilaporkan bahwa dijumpai jumlah makrofag alveolar yang rendah pada pasien TB paru dengan diabetes mellitus (DM), yang dianggap bertanggung jawab dalam lebih hebatnya perluasan lesi TB paru dan peningkatan jumlah bakteri TB dalam sputum pasien TB dengan DM. Selain disfungsi imunitas yang telah disebutkan di atas, terdapat juga gangguan fungsi dari sel epitel pernapasan serta motilitas silia. Sistem pernapasan pada pasien diabetes mellitus (DM) akan mengalami perubahan menjadi patologis , seperti adanya penebalan epitel alveolar dan lamina basalis kapiler paru yang merupakan akibat sekunder dari komplikasi mikroangiopati, sama seperti yang terjadi pada retinopati dan nefropati akibat diabetes mellitus (DM). Gangguan neuropati saraf otonom juga dijumpai pada pasien dengan diabetes mellitus (DM), berupa hipoventilasi sentral dan sleep apneu. Perubahan lain yang juga terjadi pada penderita DM, yaitu penurunan elastisitas rekoil paru, penurunan kapasitas difusi karbonmonoksida, dan peningkatan produksi karbondioksida endogen.(Wijaya I,2015;Cahyadi A et al,2011;Elloriaga G et al,2014)

Kelainan fungsi imunologi paru pada DM

Disfungsi fisiologis paru pada DM

Gangguan kemotaksis, adhesi, fagositosis dan mikrobisida polimorfonuklear

Reaktifitas bronkial berkurang atau menghilang

Penurunan monosit perifer dengan gangguan fagositosis

Penurunan elastic recoil dan volume paru

Buruknya fungsi transformasi sel blast menjadi limfosit

(24)

Cacat fungsi opsonisasi C4 Penyumbatan saluran napas akibat mukus

Penurunan respons ventilasi terhadap hipoksemia

Tabel 2.3. Defek imunologi dan disfungsi pulmonal pada penderita DM.(Wijaya I,2015;Cahyadi A et al,2011Prameswari AI,2013)

(25)

Secara singkat, dapat disimpulkan bahwa sel-sel efektor yang biasanya berkontribusi terhadap infeksi Mycobacterium tuberculosis adalah fagosit, yaitu makrofag alveolar, berkolaborasi dengan limfosit T, berperan penting dalam mengeliminasi infeksi tuberkulosis. Pada penderita diabetes mellitus (DM), diketahui terjadi gangguan kemotaksis, fagositosis, dan antigen presenting cell (APC) oleh fagosit terhadap bakteri Mycobacterium tuberculosis; kemotaksis monosit tidak terjadi pada penderita diabetes mellitus (DM). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terjadi penurunan respons Th-1, produksi TNF-α, IFN- , serta produksi IL-1 dan IL-6. Penurunan produksi IFN- (interferon gamma) lebih signifikan dijumpai pada pasien TB paru dengan DM tidak terkontrol, dan akan terus menurun pada pasien dengan DM tidak terkontrol. Namun, jika kadar gula darah pasien DM terkontrol, maka produksi IFN- akan kembali normal dalam waktu 6 bulan. Selain itu, terjadi perubahan vaskular pulmonal dan tekanan oksigen alveolar yang akan semakin memperberat kondisi pasien.(Martinez N et al,2014;Ponnana M et al,2013)

2.3.4. Manifestasi Klinis TB Paru dengan Diabetes Mellitus (DM)

Telah banyak dilakukan penelitian untuk melihat perbedaan manifestasi klinis penderita TB paru dengan diabetes mellitus (DM) dan penderita TB paru saja. Hasil penelitian Wang dkk di Taiwan pada tahun 2009 menyatakan bahwa pasien TB dengan DM menunjukkan frekuensi lebih tinggi dalam hal gejala demam dan hemoptisis, sputum basil tahan asam (BTA) positif, lesi konsolidasi, kavitas, dan keterlibatan lapangan paru bawah.(Wijaya I,2015;Cahyadi A et al,2011)

(26)

yang menderita DM, yaitu dalam hal demam, hemoptisis, dan keadaan umumnya.(Wijaya I,2015;Cahyadi A et al,2011)

Tuberkulosis yang aktif juga dapat memperburuk kadar gula darah dan meningkatkan risiko sepsis pada penderita diabetes. Demam, kuman TB paru aktif, dan malnutrisi menstimulasi hormon stres seperti epinefrin, glukagon, kortisol, dan hormon pertumbuhan, yang secara sinergis bekerja meningkatkan kadar gula dalam darah hingga lebih dari 200 mg/dL, sehingga memperburuk keadaan infeksinya.(Wijaya I,2015;Cahyadi A et al,2011)

2.3.5. Gambaran Radiologi TB Paru dengan Diabetes Mellitus (DM)

TB paru tanpa diabetes mellitus (DM) secara radiologis sering menunjukkan gambaran dan distribusi radiografi yang ‘tipikal' yaitu pada penderita TB paru tanpa DM kavitas atau infiltrat banyak ditemukan pada lobus atas. sedangkan pada penderita TB paru disertai DM kavitas atau infiltrat banyak melibatkan lobus bawah yang sering disebut dengan lesi yang ‘atipikal’. Menurut Shital P dkk, pada TB dengan DM lapangan paru bagian bawah lebih sering terlibat (29% pada kasus dengan DM, 4,5% pada kasus non-DM), diikuti lobus atas kemudian tengah. Keterlibatan paru bilateral sebesar 50%, 33% berkaitan dengan efusi pleura, dan 30% terdapat kavitas. Gambaran radiologi termasuk fibrosis, konsolidasi, opasitas homogenous dan heterogenous.(Shital P et al,2014)

(27)

Gambar 2.7. Gambaran Foto Rontgen Pasien TB Paru dengan Diabetes Melitus (DM) di Lobus Paru Bagian Bawah.(Kansal HM,2015)

Mycobacterium tuberculosis termasuk kedalam organisme jenis aerob obligat yaitu organisme yang membutuhkan oksigen untuk melakukan respirasi sel aerobik. Oleh karena itu pada keadaan normal Mycobacterium tuberculosis complex selalu ditemukan di lobus atas paru yang baik siklus aerasi.(PDPI,2006) Secara patogenesis, gambaran klinis pasien TB paru tidak terlalu berbeda dengan adanya predisposisi penyakit diabetes mellitus (DM), tetapi DM dapat menyebabkan gambaran radiologis TB paru mengalami perubahan, yaitu lesi infiltrat atau kavitas yang terbentuk akibat kuman Mycobacterium tuberculosis dapat dijumpai pada lobus paru bagian bawah. Hal ini disebabkan karena adanya peningkatan tekanan oksigen alveolar di lobus paru bagian bawah, sehingga pada pasien TB paru dengan DM, lesi lebih sering dijumpai pada lobus paru bagian bawah.(Singh SK et al,2015)

(28)

pada bagian atas paru mempunyai PAO2 tertinggi. Diabetes dan usia tua meningkatkan ventilasi alveolar dan menurunkan perfusi, mengakibatkan terjadinya peningkatan VA/Q mismatch dan meningkatkan PAO2 pada lapangan bawah paru. Hal ini lebih memberikan pengaruh pada lapangan bawah paru dibandingkan lapangan atas paru. Sehingga lesi TB pada DM sering terjadi pada lapangan bawah paru dikarenakan rasio VA/Q dan PAO2 yang tinggi pada lapangan bawah paru.(Perez-Guzman C et al,2000)

Penelitian yang dilakukan Chiang CY dkk menyatakan TB paru dengan DM terutama DM yang tidak terkontrol atau memiliki kadar HbA1C yang tinggi mempunyai kecenderungan untuk memiliki kavitas, kavitas multipel dan ukuran kavitas >3 cm. Hal ini dikarenakan adanya pengurangan ekspresi sitokin yang berhubungan dengan Th1 (Chiang CY et al,2014) dan penurunan IFN-ɣ. (Chang JT, 2011) Menurut Prasad CE, hal tersebut juga disebabkan pada DM terjadi gangguan sistem imun baik sistem imun alamiah ataupun didapat sehingga terjadi penyebaran infeksi yang luas, pembentukan granuloma yang besar, dan reaktivasi fokus lama.(Prasad CE,1999)

2.3.6 Penapisan

a. Penapisan DM pada pasien TB

Kesadaran terhadap penyakit DM di negara berkembang umumnya rendah dan pasien dengan DM tipe 2 mungkin tidak bergejala atau memperlihatkan gejala yang minimal, sehingga seringkali pasien tidak akan mengeluhkan riwayat penyakit yang mengarah ke DM terutama pada pasien-pasien TB dengan tingkat pendidikan yang rendah. Penapisan terhadap penyakit DM merupakan satu-satunya cara untuk menyingkirkan kemungkinan terjadinya komorbid DM pada TB.(Prameswari AM,2013)

(29)

Serangkaian uji diagnostik akan dilakukan kemudian pada mereka yang hasil pemeriksaan penyaringnya positif, untuk memastikan definitif.(Amin Z,2007)

Menurut Depkes dan ADA, pemeriksaan penapisan DM dapat dilakukan dengan berdasarkan :

1) Gejala klasik DM

a) Buang air kecil terus menerus (poliuria).

b) Sering haus dan minum berlebihan (polidipsia). c) Mudah lapar (polifagia)

d) Penurunan BB yang tidak jelas sebabnya

 Bila ditemukan 2 dari 4 gejala klasik, pasien dirujuk ke poli DM untuk pemeriksaan lebih lanjut tanpa pemeriksaan KGDS.

 Bila tidak ditemukan 2 dari 4 gejala klasik, tanyakan faktor risiko DM.

2) Faktor risiko DM

a) Indeks Masa Tubuh (IMT) > 25 kg/m2 b) Usia > 45 tahun

c) Riwayat hipertensi ( >140/90 mmHg)

d) Riwayat gangguan lemak darah atau lipid profil (Kolesterol HDL ≤ γ5 mg/dl dan atau trigliserida ≥ β50 mg/dl)

e) Riwayat DM dalam keluarga

f) Riwayat melahirkan bayi > 4 kg/ DM gestational g) Riwayat sakit cardiovaskular (jantung/stroke)

h) Riwayat penyakit kista ovarium/ PCOS (Polycystic Ovary Syndrome)

i) Riwayat gula darah tinggi

(30)

a. Penapisan TB pada pasien DM

Penderita diabetes, orang yang hidup dengan HIV, anak-anak, orang tua, dan kelompok-kelompok lain dengan penurunan sistem kekebalan tubuh menghadapi risiko tinggi hasil yang buruk dari pengobatan TB, termasuk kekambuhan dan kematian. Risiko ditambah ketika diagnosis tertunda. Skrining sistematis dapat sangat bermanfaat bagi kelompok-kelompok ini.(WHO,2013)

Semua penderita DM memerlukan pemeriksaan medis yang teratur dan pemeriksaan foto toraks tiap dua tahun sekali. Pemeriksaan ini harus dilakukan lebih ketat pada pasien yang berusia lebih dari 40 tahun atau dengan berat badan kurang dari 10 % dari berat badan ideal. Setiap pasien DM dengan keluhan yang mengarah kepada gejala klinis TB dapat berupa batuk, batuk darah, kehilangan berat badan, keringat malam dengan atau tanpa kelainan pada foto toraks harus dilakukan penapisan untuk penyakit TB.(Prameswari A,2013;Guptan A,2000)

(31)
(32)
(33)

2.4 Kerangka Konsep

Foto Thorak

Luas lesi Letak lesi Jenis lesi

DM tidak terkontrol DM

terkontrol

Kontrol Glukosa darah

HbA1c Mikroangiopati

Diabetes Mellitus

Gangguan mekanisme pertahanan tubuh

↓ CD8 ↓ Makrofag ↓ Jumlah sel

T

↓ Neutrofil

CD4

↓ Th1

↓ Mediator inflamasi

Gambar

Gambar 2.1. Skema perkembangan sarang tuberkulosis post primer dan perjalanan
Gambar 2.2. a. Bayangan berawan / nodular di segmen apikal, b. Bayangan bercak
Gambar 2.3. Efusi pleura(Kaufmann SHE et al,2003)
Gambar 2.4.Skema klasifikasi American Tuberculosis Association.(Rasad S et
+7

Referensi

Dokumen terkait

Peneliti juga mendokumentasikan foto tata letak produk yang dipajang dalam toko seni silver smith, dan juga mendokumentasikan foto bersama dengan informan

Faktor penghambat pertumbuhan laba adalah kenaikan pita cukai hingga sebesar 11% yang mengakibatkan porsi beban cukai HMSP terhadap penjualan meningkat dari 45% pada

Bagaimana peran akuntan publik dalam penerbitan obligasi daerah ditinjau dari. Undang-Undang Nomor 8 tahun 1995 tentang

Semut tidak mengangkat kepala sehingga sepasang kaki depannya terangkat dari permukaan tanah ketika melakukan pergerakan sentuhan antena pada tubuh aphid, selain itu semut

Padankan jenis rangsangan dan aktiviti rangsangan dengan gambar organ deria yang betul. [10 marks]

a) Mempunyai perilaku yang bertanggung jawab, integritas yang tinggi, baik dan jujur. b) Selalu mengikuti pelatihan profesional untuk menjaga kompetensinya. c) Terdaftar

6(a)Tumbuhan tidak berbunga mempunyai lima jenis berikan jenisnya. (B)Nyatakan ciri-ciri bagi jenis paku pakis

______ murid dapat mencapai objektif yang ditetapkan dan ______ murid yang tidak mencapai objektif akan diberi bimbingan khas dalam sesi akan datang.