• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kesesuaian Budaya Lokal di Dalam Sistem Pemerintahan (Analisis Qanun Provinsi Aceh No 5 Tahun 2003 Tentang Pemerintahan Gampong, di Gampong Lhok Pawoh)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kesesuaian Budaya Lokal di Dalam Sistem Pemerintahan (Analisis Qanun Provinsi Aceh No 5 Tahun 2003 Tentang Pemerintahan Gampong, di Gampong Lhok Pawoh)"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A.LATAR BELAKANG

Kebudayaan adalah sesuatu yang kompleks karena mencakup pengetahuan,

kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat dan lain kemampuan-kemampuan serta

kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat.1

Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang terbentuk dari beratus etnis. Etnis-etnis ini

bermukim mulai dari Sabang hingga Papua. Aceh adalah nama kelompok etnis yang

mempunyai karakteristik berbeda dengan kelompok etnis lain yang ada di Indonesia.

Daerah asal orang-orang dari kelompok etnis Aceh adalah daerah Aceh, berada di ujung

utara Pulau Sumatera, terutama di bagian pesisirnya. Daerah ini sangat penting

kedudukannya di Indonesia karena, seperti diketahui, dari daerah Aceh inilah hitungan nol Dengan

kata lain bahwa kebudayaan cukup kesemuanya yang didapatkan atau dipelajari oleh

manusia sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan terdiri dari segala sesuatu yang

dipelajari dari pola-pola perilaku yang normatif. Artinya, mencakup segala cara atau pola

berpikir, merasakan dan bertindak. Budaya sebagai buah pikiran, akal budi selalu muncul

berproses, akibat interaksi dengan wilayah lingkungan dan ruang waktu. Dalam kondisi

wilayah dan ruang waktu itu, dinamika proses pikiran menghasilkan sesuatu; berwujud

budaya kontemporer bahkan wujud budaya ideal untuk menjangkau masa depan.

1

(2)

kilometer wilayah paling barat Republik Indonesia dimulai. Selain itu, di wilayah Aceh

pula terdapat Selat Malaka, yang merupakan salah satu jalur tersibuk dalam jaringan

pelayaran inteinasional. Dengan demikian, Aceh memiliki nilai strategis yang tinggi dari

sudut pandang ekonomi, politik, penahanan, dan keamanan.

Etnis Aceh seringkali menyebut dirinya sebagai ureueng Aceh (orang Aceh).

Ureueng Aceh memiliki budaya tersendiri dalam bertingkah laku, bersikap, beradat,

berbudaya, dan sebagainya. Ureueng Aceh, menurut sebuah sumber, berkarakter keras,

tidak mau begitu saja didikte, tidak cepat menyerah hampir dalam semua kesempatan dan

teguh dalam menghadapi masa1ah. Kata sumber lainnya Abdullah2

2

Abdullah, Irwan .2007. “Potret Retak Komunalisme Aceh”. Makalah Bahan Perbincangan Masa Depan Aceh di Aceh Institute tanggal 8 Juni 2007.

bahwa adat tata

kelakuan masyarakat Aceh identik dengan nilai-nilai budaya Islam.

Selain seperti yang telah disebutkan, ureueng Aceh juga memiliki karakteristik lain.

Salah satu yang khas adalah sistem Pemerintahan dan Kepemimpinan. Dalam struktur

pemerintahan di Aceh pada masa dahulu dikenal adanya lapisan masyarakat yang disebut

sebagai lapisan pemimpin adat, pemimpin keduniawian atau kelompok elite sekuler.

Pemimpin elite sekuler dan pemimpin adat memimpin bersama-sama dalam sebuah

gampong, misalnya, terdapat keuchik (yang memimpin dalam hal pemerintahan) dan

imeum meunasah (yang memimpin dalam hal agama). Sistem ini mempunyai kearifan lokal

(3)

Salah satu budaya lokal yang ada di Aceh berbentuk sistem pemerintahan dan

kepemimpinan. Budaya lokal di dalam Sistem Pemerintahan tersebut dalam konteks yang

paling rendah. Hal ini dibuktikan dengan adanya sistem pemerintahan gampong yang telah

lama ada di aceh bahkan sebelum Indonesia merdeka. Budaya yang ditemukan di Aceh

sangat dipengaruhi oleh Islam, hal tersebut juga mempengaruhi pelaksanaan pemerintahan,

khususnya apabila dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Termasuk dalam sisi

pemerintahan.

Gampong Lhok Pawoh merupakan salah satu gampong yang ada di kecamatan

sawang kabupaten Aceh Selatan yang masih kental dan sangat menjaga budaya lokal yang

ada. Seiring dengan terus berkembangnya zaman namun gampong lhok pawoh masih terus

menjaga dan melestarikan budaya lokal yang ada, hal ini dapat dilihat dari

lembaga-lembaga di dalam sistem pemerintahan Gampong yang terkait dengan unsur-unsur

kebudayaan lokal.

Aceh sebagai salah satu provinsi di Indonesia memiliki sistem pemerintahan daerah

yang mengacu pada nilai-nilai budaya lokal. Hal ini dapat dilihat pada sistem pemerintah

terendah yang di sebut Gampong. Gampong atau nama lain, adalah kesatuan masyarakat

hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan (terendah), mempunyai pimpinan

pemerintahan dan berhak menyelenggarakan urusan rumah tangga sendiri.3

3

Qanun No. 5 Tahun 2003 Bab I Pasal 1

Sebagai

kesatuan masyarakat hukum dan merupakan bagian dari struktur pemerintahan, gampong

(4)

lingkungannya guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Gampong mempunyai tugas

menyelenggarakan pemerintahan, melaksanakan pembangunan, membina masyarakat dan

meningkatkan pelaksanaan syariat Islam.4

Sebagai kesatuan wilayah adat terkecil di Aceh, gampong merupakan kumpulan

hunian atau komunitas yang diikat oleh satu meunasah (madrasah). Gampong sendiri terdiri

dari beberapa Lorong/Jurong, dan Tumpok (kumpulan rumah).5 Penanda dari wilayah suatu gampong bisa dilihat dari keadaan fisik atau topografi alam setempat untuk menandai

wilayah gampong yang satu dengan yang lain digunakan batas alam (sungai, tanah, gunung

dan bukit). Gampong memiliki karakteristik yang ditandai dengan pola pemukiman yang

padat dan terpusat dengan arah bangunan menghadap ke kiblat. Terdapat bangunan rumah

berbentuk rumah panggung dengan meunasah sebagai tempat beribadah yang terletak di

tengah-tengah gampong.6

Karena konsep kekuasaan di Aceh tidak memisakan antara adat dan agama, maka

konsep kekuasaan ini dijabarkan dalam pemerintahan hingga ke tingkat gampong.

Gampong sendiri memiliki struktur pemerintahan yang dinamakan pemerintahan gampong.

Gampong sebagai kesatuan masyarakat hukum memiliki hak dan kekuasaan dalam

mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat terutama dalam meningkatkan

kesejahteraan dan pelayanan masyarakat. Oleh karena itu, gampong memiliki peran dan

4

Abdurrahman. 2008. Reusam Gampong. Majalah Jeumala, Edisi No. XXVII Juli 2008. Majelis Adat Aceh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Banda Aceh. hal. 13.

5

M. Arief. Sanusi. 2005. Gampong dan Mukim di Aceh Menuju Rekronstruksi Pasca Tsunami. Bogor: Pustaka Latin. hal 11.

6

(5)

fungsi yang strategis, yakni gampong memiliki susunan pemerintahan yang asli

berdasarkan hak asal usul yang bersifat istimewa, penyelenggaraan pemerintah gampong

merupakan subsistem dari penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan juga subsistem

Pemerintahan Nasional, Gampong juga dapat melakukan penyusunan produk hukum, baik

hukum publik, hukum perdata maupun hukum adat yang dirumuskan dalam bentuk qanun

gampong, memiliki harta kekayaan, harta benda atau aset, bangunan serta dapat dituntut

dan menuntut di pengadilan.

Dewasa ini sistem pemerintahan gampong kembali hadir sebagai bentuk

pemerintahan terkecil yang diterapkan di Aceh. Hal ini di tandai dengan lahirnya Undang

Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi di Daerah. UU tersebut telah memberi

kebebasan yang besar kepada daerah. Kebebasan ini tidak sekedar menyangkut kekayaan

alam namun juga dalam menjalankan adat sebagai manifestasi kedaulatan rakyat yang

sesungguhnya.

Sistem pemerintahan digampong Lhok Pawoh sendiri seperti sistem kebanyakan yang

sudah adopsi dan di terapkan di gampong-gampong yang ada di Aceh, yaitu Gampong yang

di Pimpin oleh seorang Keuchik yang merupakan kepala persekutuan masyarakat adat

gampong yang bertugas menyelenggarakan pemerintahan gampong. Kemudian terdapat

sebuah lembaga bernama Tuha peut yang merupakan lembaga kelengkapan gampong dan

mukim, berfungsi memberikan nasehat-nasehat kepada Keuchik dan Imum mukim dalam

bidang pemerintahan, hukum, adat istiadat, dan kebiasaan masyarakat serta menyelesaikan

(6)

lembaga-lembaga adat tersebut diberikan kewenangan untuk menyelesaikan konflik yang timbul

ditengah masyarakat.7

Untuk penjabaran UU Nomor 18 Tahun 2001, pemerintahan Provinsi Nanggroe Aceh

Darussalam pun telah mengesahkan dua qanun, yakni qanun nomor 4 tahun 2003 tentang

pemerintahan mukim dalam provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan qanun nomor 5 tahun

2003 tentang pemerintahan gampong dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Untuk Aceh sendiri, di samping UU di atas, juga lahir dua UU lain yaitu UU Nomor

44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh dan UU Nomor 18 Tahun

2001 tentang Otonomi Khusus untuk Aceh dengan nama Provinsi Nanggroe Aceh

Darussalam. Hal ini merupakan perkembangan yang cukup spesifik dari keistimewaan yang

pernah didapatkan Aceh.

Dengan dasar undang-undang inilah, upaya mengembalikan Aceh kepada jati dirinya

yang merupakan keisitimewaannya mulai dilakukan. Salah satunya adalah upaya

mengembalikan sistem pemerintahan daerah di Aceh, yaitu dari nuansa UU Nomor 5 tahun

1979 tentang pemerintahan desa yang memiliki pola seragam di seluruh Indonesia kepada

spesifik yang dimiliki Aceh sejak masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Usaha ini

sangat sulit. Pemecahan permasalahannya yang kelihatan sederhana ini ternyata tidak

sesederhana yang kita bayangkan. Tidak semudah membalik telapak tangan.demikian juga

dengan formulasi Pemerintahan Gampong di Aceh.

7

(7)

Sekarang ini Qanun nomor 5 Tahun 2003 merupakan acuan dan konsep dalam penerapan

sistem gampong, misalnya dalam aspek pemilihan keuchik sebagai pemimpin gampong,

pemilihan Tuha peut dan pemilihan perangkat-perangkat desa lainnya. .

Gampong sebagai perwujudan demokrasi. Di dalam gampong dibentuk lembaga Tuha

peut atau dengan sebutan lain sebagai lembaga yang menampung dan menyalurkan aspirasi

masyarakat, menetapkan legislasi serta mengawasi jalannya pemerintahan gampong. Di

Gampong juga dapat dibentuk lembaga kemasyarakatan dan lembaga adat sesuai kebutuhan

yang merupakan mitra kerja Pemerintah Gampong dan juga memiliki sumber pembiayaan

sendiri.

Pemerintahan gampong merupakan penyelenggara pemerintahan yang dilaksanakan

oleh tiga pilar pemerintah gampong yaitu keuchik, Teungku imam meunasah, dan badan

permusyawaratan gampong yang disebut Tuha peut (sekumpulan orang yang dituakan

karena memiliki beberapa kelebihan). Tiga lembaga pemerintah gampong ini berfungsi

sebagai penyelenggara pemerintahan gampong. Peranan masing-masing lembaga sudah

diatur dimana keuchik mengurusi masalah pemerintahan, teungku imam meunasah dalam

bidang keagamaan dan tuha peut sebagai perwakilan masyarakat gampong.8

Kekuasaan eksekutif berada pada kepala desa atau Keuchik. Keuchik merupakan

representatif dari masyarakat gampong yang diberi mandat dan kepercayaan untuk

menjalankan roda pemerintahan, menetapkan berbagai kebijakan gampong dalan upaya

8

(8)

mensejahterakan masyarakat gampong. Urusan pemerintahan yang diselenggarakan oleh

Keuhchik lebih banyak berorientasi pada adat. Hal itu sebagai implikasi dari kehidupan

keseharian masyarakat gampong yang masih patuh menjalankan serta melestarikan

nilai-nilai adat-istiadat dalam kehidupan bermasyarakat.

Berdasarkan pemaparan tersebut, penulis tertarik untuk meneliti bagaimana adat

istiadat atau budaya lokal di dalam sistem pemerintahan, bagaimana hal tersebut dapat

berjalan dengan sesuai dalam sebuah pemerintahan gampong. Menarik bahwa budaya lokal

yang ada pada masyarakat Aceh bisa berpengaruh didalam sistem pemerintahan gampong

dan berjalan dengan sesuai di dalam sistem pemerintahan gampong yang merujuk pada

qanun nomer 5 Tahun 2003.

B.Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas maka yang menjadi rumusan masalah pada penelitian ini

adalah “Seberapa besar pengaruh budaya lokal terhadap sistem Pemerintahan Gampong

dilihat dari Qanun nomor 5 Tahun 2003?”

C.Tujuan Penelitian

(9)

1. Untuk mengetahui bentuk budaya lokal yang terdapat di Gampong di Lhok

Pawoh.

2. Menganalisis kesesuaian budaya lokal di didalam Sistem Pemerintahan

Gampong dilihat dari Qanun nomor 5 tahun 2003.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi pengembangan Ilmu, menambah khasanah ilmu pengetahuan dan menjadi

sebuah kajian ilmiah di bidang ilmu politik khususnya tentang budaya lokal

didalam pemerintahan gampong, di Gampong Lhok Pawoh kecamatan Sawang.

2. Bagi lembaga pendidikan, penelitian ini dapat dijadikan bahan informasi tentang

kesesuaian Budaya Lokal didalam Pemerintahan Gampong, di Gampong Lhok

Pawoh kecamatan Sawang.

3. Bagi Masyarakat, untuk lebih mengetahui budaya lokal didalam Pemerintahan

Gampong di Gampong Lhok Pawoh kecamatan Sawang.

E. Kerangka Teori

1. Teori Pemerintahan

Secara etimologis, pemerintahan berasal dari perkataan pemerintah, sedangkan

pemerintah berasal dari perkataan perintah. Menurut kamus kata-kata tersebut mempunyai

arti sebagai berikut:

(10)

b. Pemerintah adalah kekuasaan memerintah sesuatu negara (daerah-negara) atau

badan yang tertinggi yang memerintah sesuatu negara (seperti kabinet merupakan

suatu pemerintah);

c. Pemerintahan adalah perbuatan (cara, hal urusan dan sebagainya) memerintah9

Untuk memperoleh gambaran yang lebih luas mengenai pemerintah dan

pemerintahan tersebut maka perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut. Dalam kepustakaan

Inggris dijumpai perkataan “Government” yang sering diartikan sebagai “pemerintah” atau

“pemerintahan”.

C.F Strong10

9

S. Pamudji. 1992. Kepemimpinan Pemerintahan di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara. Hal: 22 10

C.F Strong dalam S. Pamudji. 1992. Kepemimpinan Pemerintahan di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.

Hal: 23

dalam bukunya Modern Political Constitution, menyatakan

pemerintah(an) adalah organisasi tertinggi, Pemerintah(an) dalam arti luas merupakan

sesuatu yang lebih besar daripada suatu badan atau kementrian-kementrian, suatu arti yang

biasa kita pakai dalam pembicaraan pada dewasa ini. Pemerintah(an), dalam arti luas, diberi

tanggung jawab pemeliharaan perdamaian dan keamanan negara, di dalam maupun diluar.

Pemerintah (an) harus memiliki, Pertama, kekuasaan militer atau pengawasan atas

angkatan bersenjata; kedua, kekuasaan legislatif atau sarana pembuatan hukum; ketiga,

kekuasaan keuangan yaitu kesanggupan memungut uang yang cukup untuk membayar

(11)

negara. Singkatnya, pemerintahan mempunyai kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif,

kekuasaan kehakiman, yang boleh kita sebut tiga cabang pemerintahan.

Sementara itu Samuel Edward Finer (S.E. Finer)11

1. Menunjukan kegiatan atau proses memerintah, yaitu melaksanakan control atas

pihak lain;

menyatakan bahwa istilah

government”, paling sedikit mempunyai empat arti :

2. Menunjukan masalah-masalah (hal ikhwal) negara, dimana kegiatan atau

proses-proses di atas dijumpai;

3. Menunjukan orang-orang (maksudnya pejabat-pejabat) yang dibebani

tugas-tugas untuk memerintah;

4. Menunjukan cara, metode atau sistem dengan mana suatu masyarakat tertentu

diperintah.

Jelas kelihatan pula di sini bahwa S.E. Finer mengakui ada pemerintahan dan

pemerintahan dalam arti luas. Dengan adanya pemerintah dan pemerintahan dalam arti luas,

maka tentunya kita jumpai pula pengertian pemerintah dan pemerintahan dalam arti sempit.

Menurut ajaran tripraja pemerintah dalam arti sempit hanya meliputi kekuasaan

eksekutif saja, sedangkan pemerintahan dalam arti sempit meliputi segala kegiatan dari

pamerintah dalam arti sempit tersebut.

11

(12)

Berdasarkan UUD 1945 Pemerintah itu adalah Presiden, Wakil Presiden dengan

Menteri-menteri Negara. Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 menyatakan ”Presiden Republik

Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-undang Dasar. Selanjutnya

pasal 4 ayat (2) ”Dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu oleh satu orang Wakil

Presiden”. Kemudian pasal 17 menyatakan : ”Presiden dibantu oleh Menteri-menteri

Negara. Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Menteri-menteri itu

memimpin Departemen Pemerintahan”. Karena pasal ini bersifat normatif dan irnperatif,

maka Presiden harus dibantu oleh Wakil Presiden, Menteri-menteri dan oleh karena itu

pemerintah (dalam arti sernpit) ialah Preslden, Wakil Presiden dengan Menteri-menteri. Hal

yang demikian ini berlaku bagi Negara menganut sistem Presidensial. Dalam sistem

Parlrmenter yang dimaksud dengan pemerintah (dalam arti sempit) ialah Perdana Menteri,

Wakil Perdana Menteri dan Menteri-menteri atau sering juga disebut Dewan Menteri

Kabinet.

Berdasarkan uraian-uraian di atas dapatlah dirumuskan bahwa: Pemerintahan dalam

arti luas adalah perbuatan memerintah yang dilakukan oleh organ-organ atau badan-badan

legislatif, eksekutif dan yudikatif, dalam rangka mencapai tujuan pemerintahan negara

(tujuan Nasional), sedangkan pemerintahan dalam arti sempit, adalah perbuatan

memerintah yang dilakukan oleh organ eksekutif dan jajarannya dalam rangka mencapai

tujuan pemerintahan negara.

(13)

Kearifan lokal atau “local genius” merupakan istilah yang diperkenalkan oleh

Wales yaitu „the sum of the cultural characteristics which the vast majority of a people

have in common as a result of their experiences in early life‟.12

Selain itu, local genius menurut Wales yaitu, “kemampuan kebudayaan setempat

dalam menghadapi pengaruh kebudayaan asing pada waktu kedua kebudayaan itu

berhubungan‟

13

Berdasarkan pendapat di atas, kearifan lokal merupakan budaya yang dimiliki oleh

masyarakat tertentu dan di tempat-tempat tertentu yang dianggap mampu bertahan dalam

menghadapi arus globalisasi, karena kearifan lokal tersebut mengandung nilai-nilai yang

dapat dijadikan sebagai sarana pembangunan karakter bangsa. Hal ini penting terutama di

zaman sekarang ini, yakni zaman keterbukaan informasi dan komunikasi yang jika tidak

disikapi dengan baik maka akan berakibat pada hilangnya kearifan lokal sebagai identitas

dan jati diri bangsa. Hal yang sama disampaikan oleh Lubis .

14

Dilihat dari struktur dan tingkatannya kearifan lokal berada pada tingkat culture.

Hal ini berdasarkan sebuah skema sosial budaya yang ada di Indonesia dimana terdiri dari

masyarakat yang bersifat majemuk dalam struktur sosial, budaya (multikulural) maupun bahwa jati diri bangsa adalah

watak kebudayaan (cultural character) yang berfungsi sebagai pembangunan karakter

bangsa (national and character building).

12

Ayatrohaedi. (1986). Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta: Pustaka Pelajar. Hal 30 13

Rasid Yunus. 2014. NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL (LOCAL GENIUS) SEBAGAI PENGUAT KARAKTER BANGSA Studi Empiris Tentang Huyula. Yogyakarta: Deepublish. Hal 37

(14)

ekonomi. Ranjabar mengatakan bahwa dilihat dari sifat majemuk masyarakat Indonesia,

maka harus diterima bahwa adanya tiga golongan kebudayaan yang masing-masing

mempunyai coraknya sendiri, ketiga golongan tersebut adalah sebagai berikut:

a. Kebudayaan suku bangsa (yang lebih dikenal secara umum di Indonesia

dengan nama kebudayaan daerah);

b. Kebudayaan umum lokal;

c. Kebudayaan nasional. 15

Dalam penjelasannya, kebudayaan suku bangsa adalah sama dengan budaya lokal

atau budaya daerah. Sedangkan kebudayaan umum lokal adalah tergantung pada aspek

ruang, biasanya ini bisa dianalisis pada ruang perkotaan dimana hadir berbagai budaya

lokal atau daerah yang dibawa oleh setiap pendatang, namun ada budaya dominan yang

berkembang yaitu misalnya budaya lokal yang ada di kota atau tempat tersebut. Sedangkan

kebudayaan nasional adalah akumulasi dari budaya-budaya daerah. Hal tersebut sesuai

dengan pendapat Koentjaraningrat budaya lokal terkait dengan istilah suku bangsa sendiri

adalah “suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan kesatuan

kebudayaan, dalam hal ini unsur bahasa adalah ciri khasnya”.

16

Menurut Judistira kearifan lokal adalah “merupakan bagian dari sebuah skema dari

tingkatan budaya (hierakis bukan berdasarkan baik dan buruk).”17

15

Rasid Yunus. 2014. NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL (LOCAL GENIUS) SEBAGAI PENGUAT KARAKTER BANGSA Studi Empiris Tentang Huyula. Yogyakarta: Deepublish. Hal 37

16

Koentjaraningrat. (2009). Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: UI Press. Hal 89

17

Rasid Yunus. Op. cit. Hal 38

(15)

menegaskan bahwa kebudayaan lokal adalah melengkapi kebudayaan regional, dan

kebudayaan regional adalah bagian-bagian yang hakiki dalam bentukan kebudayaan

nasional. Dalam pengertian yang luas Judistira mengatakan bahwa:

Kebudayaan daerah bukan hanya terungkap dari bentuk dan pernyataan rasa

keindahan melalui kesenian belaka; tetapi termasuk segala bentuk, dan cara-cara

berperilaku, bertindak, serta pola-pola pikiran yang berada jauh dibelakang apa yang

tampak tersebut. 18

Dalam pengertian budaya lokal atau daerah yang ditinjau dari faktor demokrafi

dengan polemik didalamnya, Kuntowijoyo memandang bahwa wilayah adminstratif antara

antara desa dan kota menjadi kajian tersendiri. Dimana menurutnya, kota yang umumnya

menjadi pusat dari bercampurnya berbagai kelompok masyarakat baik lokal maupun

pendatang menjadi lokasi yang sulit didefinisikan. Sedangkan di wilayah desa, sangat

memungkinkan untuk dilakukan pengidentifikasian. Di kota-kota dan lapisan atas

masyarakat sudah ada kebudayaan nasional, sedangkan kebudayaan daerah dan tradisional Wilayah adminstratif tertentu, menurut Judistira bisa merupakan

wilayah budaya daerah, atau wilayah budaya derah itu meliputi beberapa administratif,

ataupun di suatu wilayah administratif akan terdiri dari bagian-bagian suatu budaya daerah.

Wilayah administratif atau demokrafi pada dasarnya menjadi batasan dari budaya lokal

dalam defenisinya, namun pada perkembangan dewasa ini, dimana arus urbanisasi dan atau

persebaran penduduk yang cenderung tidak merata, menjadi sebuah persoalan yang

mengikis definisi tersebut.

18

(16)

menjadi semakin kuat bila semakin jauh dari pusat kota. Sekalipun inisiatif dan kreatifitas

kebudayaan daerah dan tradisional jatuh ke tangan orang kota, sense of belonging orang

desa terhadap tradisi jauh lebih besar. 19

Interaksi antara budaya pendatang dan masyarakat lokal, pada hakekatnya definisi

budaya berdasarkan konteks wilayah atau demokrafis pada prinsipnya tetap masih relevan

walaupun tidak sekuat definisi pada konteks suku bangsa. Hal ini sesuai yang dikatakan

Abdullah bahwa: Keberadaan suatu etnis di suatu tempat memiliki sejarahnya secara

tersendiri, khususnya menyangkut status yang dimiliki suatu etnis dalam hubungannya

dengan etnis lain. Sebagai suatu etnis yang merupakan kelompok etnis pendatang dan

berinteraksi dengan etnis asal yang terdapat di suatu tempat, maka secara alami akan

menempatkan pendatang pada posisi yang relatif lemah.

20

Metode analisa yang di gunakan dalam ilmu politik dan merupakan hasil pengaruh

yang kuat dari teori sistem umum dikenal sebagai “fungsionalisme”, “fungsionalisme Merujuk pada beberapa pandangan sejumlah pakar budaya di atas, maka dapat

disimpulkan kearifana lokal dalam definisinya didasari oleh dua faktor utama yakni faktor

suku bangsa yang menganutnya dan kedua adalah faktor demokrafis atau wilayah

administratif.

3. Teori Fungsional Struktural

19

Kuntowijoyo. 2006. Budaya dan Masyarakat (Edisi Paripurna). Yogyakarta: Tiara Wacana. Hal 42

20

(17)

struktural” atau “analisa sistem”, fungsionalisme struktural merupakan istilah yang lebih

umum dipakai. fungsionalisme structural telah lama menjadi kerangka yang begitu penting

untuk penelitian sosiologi, sebelum ia dipergunakan dalam ilmu politik. Meskipun

kemudian tak dipergunakan lagi dalam sosiologi di akhir tahun 1950-an dan awal tahun

1960-an, pendekatan ini betul-betul digunakan secara sungguh-sungguh dalam ilmu politik,

terutama dalam bidang perbandingan politik. Analisa fungsional struktural pada prinsipnya

berkisar padu beberapa konsep, dan yang paling penting adalah konsep fungsi dan struktur.

Berangkat dari hal ini, maka ada tiga pertanyaan: (a) fungsi dasar apa yang harus dipenuhi

dalam setiap sistem, (b) oleh struktur yang bagaimana dan(c) dibawah keadaan apa. Suatu

fungsi secara umum didefinisikan scbagai hasil yang dituju dari suatu pola tindakan, yang

diarahkan bagi kepentingan sistem (dalam hal ini system sosial atau politik).21 Jadi pada akhirnya suatu fungsi selalu berurusan dengan akibat-akibat dari suatu pola tindakan yang

ditujukan bagi suatu sistem. Penting bagi kita untuk membedakan antara fungsi (yang

digambarkan sebagai eu-functions oleh Marion J . Levy Jr) dengan dys-functions

(penyelewengan fungsi). Menurut Robert K. Merton fungsi adalah akibat yang tampak,

yang ditujukan bagi kepentingan adaptasi dan “penyetelan” (adjustments) dari suatu sistem

tertentu, dan dys-function adalah akibat-akibat yang tampak, yang mengurangi daya

adaptasi dari “penyetelan” (adjustments)dari suatu sistem.22

21

Orem Young, dalam S.P. Varma.2007.Teori Politik Modern. Jakarta:PT Raja Grafindo Persada hal: 69

22

Marion Levy, Jr., dalam S.P. Varma.2007.Teori Politik Modern. Jakarta:PT Raja Grafindo Persada hal: 69

Hal ini bukan berarti bahwa

akibat-akibat yang bersifat fungsional dan disfungsional selalu dihasilkan oleh pola-pola

(18)

Bisa saja terjadi, pola-pola tindakan yang fungsional bagi seluruh sistem sosial,

disfungsional bagi individu atau kelompok, demikian juga sebaliknya. Merton membuat

suatu perbedaan yang sangat bermanfaat, antara fungsi nyata (manifest) dengan fungsi yang

bersifat (latent). Fungsi yang nyata bersangkut-paut dengan pola-pola tindakan yang

konsekuensinya benar-benar diharapkan dan dikenal oleh para pesertanya. Sedangkan

fungsi laten berurusan dengan pola-pola tindakan yang konsekuensinya tidak diharapkan

dan dikenal oleh para pesertanya. Bisa juga terdapat pola menengah tak diharapkan tapi

dikenal atau diharapkan tapi tidak dikenal. Lebih penting bagi para peneliti untuk mengenal

fungsi yang bersifat laten, (yang sangat kompleks dan sukar mengenalinya) daripada funggi

yang nyata (yang begitu jelas dan mudah dikenal).

Selain konsep tentang fungsi, konsep lain yang lebih penting dalam fungsional

struktural adalah “struktur”. Sementara fungsi berurusan akibat-akibat atau

konsekuensi-konsekuensi yang melibatkan tujuan-tujuan serta proses-proses dari suatu pola tindakan,

struktur menunjuk kepada susunan-susunan dalam sistem yang melakukan fungsi-fungsi.

Tidak seperti para ahli antropolgi , Merton tidak mempercayai adanya persesuaian satu per

satu antara fungsi dan struktur. Suatu fungsi tunggal bisa saja dipenuhi oleh kombinasi

yang kompleks dari berbagai struktur, sebagaimana halnya suatu susunan struktur tertentu

dapat melakukan berbagai fungsi, yang mungkin mempunyai berbagai jenis akibat yang

berbeda terhadap struktur tersebut. Merton telah berusaha menentang pemikiran kuno

tentang suatu “keharusan” (indispensability), yakni bahwa setiap pola tindakan atau

(19)

pemikiran bahwa suatu fungsi tertentu dapat dipenuhi oleh banyak susunan struktur yang

berbeda-beda konsep pergantian struktur.

Seperti juga para ahli sosiologi, Marion Levy, Jr, sangat menaruh perhatian terutama

pada masalah kelangsungan hidup suatu system, dan ia telah mengembangkan konsep

tentang syarat-syarat fungsional atau kondisi-kondisi yang dibutuhkan bagi kelangsungan

hidup, yang sangat penting untuk mempertahankan sifat-sifat dasar yang penting dari suatu

sistem. Levy sendiri telah berusaha mengidentifikasikan syarat-syarat fungsional dari setiap

sistem sosial di atas suatu landasan yang abstrak, dan ia mengakhiri penjelasannya atas

konsep tersebut, dengan mengemukakan suatu daftar tentang fungsi-fungsi yang

diperlukan.23 Dengan mengikuti jejak Levy, beberapa analisa mcncoba menyiapkan suatu daftar tentang fungsi yang harus dimiliki oleh suatu sistem tertentu demi kelangsungan

hidupnya, meskipun sebagian besar di antaranya memungkinkan adanya sejumlah variasi

ketika sampai pada suatu analisa tentang kasus-kasus yang barsifat khusus. Sebagai contoh:

Almond menyatakan bahwa fungsi-fungsi konversi, fungsi-fungsi kapabilitas, fungsi-fungsi

adaptif dan pemeliharaan merupakan syarat fungsional suatu sistem politik.24

Metode analisa ini terutama menekankan pada penelitian tentang hubungan yang

bersifat statis, meskipun penelitian tentang perubahan atau dinamika tidak dikesampingkan. Para ilmuwan

politik lainnya mengajukan daftar yang lain, tetapi daftar yang mereka kemukakan ini,

hampir tidak memberi sumbangan terhadap penelitian yang dilakukan secar serius.

23

Marion Levy, Jr.,dalam S.P. Varma.2007.Teori Politik Modern. Jakarta:PT Raja Grafindo Persada hal: 69.

24

(20)

Tidaklah salah, bila Merton menyatakan: “Konsep tentang kekacauan fungsi (disfungsi)

yang membahas konsep-konsep tentang kekacauan, stress, dan ketegangan dalam suatu

tingkat struktur tertentu, memberikan suatu pendekatan analitis yang dapat dipergunakan

dalam penelitian tentang dinamika dan perubahan.25

25

Robert K. Merton, dalam S.P. Varma.2007.Teori Politik Modern. Jakarta:PT Raja Grafindo Persada hal: 69

Tetapi para ahli teori sistem, terutama

tertarik pada masalah kelangsungan hidup suatu system. Dan jika mareka mengembangkan

suatu strategi tertentu untuk suatu sistem, tujuan utama mereka adalah menemukan Cara

yang mungkin paling baik bagi kelangsungan hidup suatu sistem. Analisa tersebut terutama

diarahkan kepada penafsiran sejumlah perubahan yang terjadi pada tingkat strukural,

sehingga suatu sistem dapat berakomodasi tanpa menghalangi pemenuhan syarat-syarat

fungsionalnya yang mendasar. Pada waktu itu, di tangan Para ilmuwan politik,

fungsionalisme struktural menjadi suatu alat analisa yang amat disegani. Fungsionalisme

struktural telah menggugurkan dalil-dalil tertentu yang tidak sempurna, yang

dikembangkan para ahli sosiologi, Seperti (a) kesatuan fungsional dari masyarakat, (b)

fungsionalisme universal dan (C) keharusan fungsional (functional indispensability).

Pendekatan ini tak lagi mempercayai bahwa semua sistem sosial sangat terintegrasi dan

setiap pola-pola tindakan mempunyai hubungan yang erat dengan mekanisme kerja dari

sistem itu, Para ilmuwan politik juga tidak bisa menerima suatu pandangan bahwa semua

kondisi sosial dan budaya yang telah dibakukan, perlu menunjukkan fungsi-fungsi yang

(21)

untuk memelihara suatu sistem social atau politik, atau beberapa susunan struktur yang

bersifat khusus sangat penting bagi fungsi yang dilakukannya.

Dalam kondisinya yang canggih dan telah disempurnakan, fungslionalisme di tangan

para ilmuwan politik, menjadi alat yang efektif dalam penelitian tertentu yang bersifat

khusus. Sejak fungsionalisme struktural memperkenalkan seperangkat kategori yang telah

dibakukan, yang dapat diterapkan dengan berhasil terhadap berbagai sistem politik yang

berbeda satu sama lain, metode ini dianggap sangat cocok, terutama untuk analisa

perbandingan sistem politik. Tetapi orang bisa saja menetapkan syarat-syarat fungsional,

yang merupakan formula yang hanya dapat diterapkan dalam analisa sistem sosial yang

berbeda-beda, dengan modifikasi tertentu. Tentu saja metode ini terbukti sangat bermanfaat

dalam penelitian tentang pola pemeliharaan serta pengaturan suatu sistem. Fungsionalisme

struktural juga mengungkapkan pada para ilmuwan politik yang ingin memainkan peranan

dalam pembangunan masyarakat, bagaimana syarat-syarat dasar dari pemeliharaan suatu

sistem dapat dipenuhi melalui penggunaan mekanisme struktural dan kelembagaan tenentu.

Bagaimana suatu keseimbangan yang layak antara konsekuensi-konsekuensi fungsional dan

disfungsional dari berbagai pola tindakan dapat dipertahankan, Serta keadaan-keadaan

Yang akan mengakibatkan kemacetan dalam suatu sistem dapat Segera diidentifikasikan

dan dicegah. Dengan kata lain, analisa fungsional struktural terbukti sangat bermanfaat

dalam Studi perbandingan system politik, sebagaimana dikembangkan oleh para ilmuwan

politik Barat, yang menaruh perhatian terhadap sasaran serta tujuan-tujuan khusus.

(22)

Istilah kepemimpinan berasal dari kata dasar "pimpin" yang artinya bimbing atau

tuntun. Dari kata ”pimpin” lahirlah kata kerja ”memimpin” yang artinya membimbing atau

menuntun dan kata benda ”pemimpin” yaitu orang yang berfungsi memimpin, atau orang

yang membimbing atau menuntun. Didalam kehidupan sehari-hari dan juga dalam

kepustakaan muncullah istilah yang serupa dengan itu dan kadang-kadang dipergunakan

silih berganti seakan~akan tidak ada bedanya satu dengan yang lain, yaitu ”pimpinan”,

”kepimpinan” dan ”kepemimpinan”. Hal tersebut mungkin dapat menimbulkan kekacauan

dalam pemikiran yang berakibat tentunya kekacauan dalam tindakan dan perbuatan

seseorang dan masyarakat, karena istilah-istilah tersebut masing-masing mempunyai arti

sendiri-sendiri.

Adapun istilah ”pemimpin” berasal dari kata asing “leader” dan ”kepemimpinan”

dari ’leadership”.26

Teori-teori kepemimpinan pada umumnya berusaha menerangkan faktor-faktor

yang memungkinkam munculnya kepemimpinan dan sifat (nature) dari kepemimpinan. Sekalipun ”kepemimpinan” tidak sama dengan manajemen

(management) tetapi kedua hal itu tidak dapat dipisahkan.

27

a. Teori serba sifat (traits theory) ;

Mengikuti berbagai macam pendapat tentang teori-teori kepemimpinan yang diajukan,

dapat disimpulkan beberapa teori yang penting seperti di bawah ini:

26

S. Pamudji. Kepemimpinan Pemerintahan di Indonesia. Jakarta: BUMI AKSARA.1992. hal: 5

27

(23)

Teori ini dikemukakan oleh L.L Bernard. Teori ini mengajarkan bahwa

kepemimpinan itu memerlukan serangkaian sifat-sifat, Ciri-ciri atau perangai tertentu yang

menjamin keberhasilan pada setiap situasi. Seorang pemimpin akan berhasil apabila ia

memiliki sifat-sifat, ciri-ciri atau perangai tersebut. Berdasarkan asumsi ini maka lalu

diusahakan pemerincian sifat-sifat tertentu itu, lalu diperbandingkan dengan sifat-sifat dari

para pemimpin yang ada, untuk kemudian dirumuskan sifat-sifat umum dari pemimpin.

Sifat-sifat tersebut dapat dijadikan pedoman untuk mengembangkan kepemimpinan. Telah

disinggung di atas teori ini pada mulanya didasarkan atas penelitian terhadap sifat-sifat

“orang besar” (great man) yang berkesimpulan bahwa kepemimpinan “orang besar”

didasarkan atas sifat-sifat yang dibawa sejak lahir, jadi merupakan sesuatu yang

diwariskan. Teori ini kemudian dikenal juga sebagai “teori orang besar28 (great man

theory). Oleh karena pemimpin dianggap memiliki sifat-sifat yang dibawa sejak lahir dan ia

menjadi pernimpin karena memiliki bakat-bakat kepemirnpinan, maka teori ini juga disebut

teori generatis.29

1. diantara pendukung-pendukungnya tidak ada persesuaian atau kesamaan

mengenai perincian sifat-sifat dimaksud;

Teori ini berkesimpulan bahwa “leaders are born and not made”

(pemimpin-pemimpin dilahirkan dan tidak dibentuk). Sementara pihak menyebut teori ini

sebagai teori bakat. Teori ini mempunyai kelemahan-kelemahan, antara lain :

28

E.e Jennings dalam S. Pamudji. Kepemimpinan Pemerintahan di Indonesia. Jakarta: BUMI AKSARA.1992. hal: 146

29

(24)

2. terlalu sulit untuk rnenetapkan sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang

pemimpin;

3. sejarah membuktikan bahwa situasi dan kondisi tertentu memerlukan

sifat-sifat pemimpin yang tertentu pula.

b. Teori lingkungan (environmental theory).

Telah dikemukakan bahwa teori lingkungan ini mengkonstatir bahwa munculnya

pemimpin-pemimpin itu rnerupakan hasil daripada waktu, tempat dan keadaan atau situasi

dan kondisi. Suatu tantangan atau suatu kejadian penting dan luar biasa akan menampilkan

seseorang untuk menjadi pemimpin. Jelaslah bahwa situasi dan kondisi tertentu melahirkan

tantangan-tantangan tertentu, dan dengan sendirinya diperlukan orang-orang yang memiliki

sifat-sifat atau ciri-ciri tertentu yang cocok. Dengan perkataan lain setiap situasi dan

kondisi menuntut kualitas kepemimpinan yang berbeda. Seorang pemimpin yang berhasil

pada situasi dan kondisi tertentu tidak menjamin bahwa ia pasti berhasil pada situasi dan

kondisi yang lain. Ternyata daftar sifat-sifat yang telah dihasilkan oleh teori serba sifat juga

tidak menjamin keberhasilan seorang pemimpin. Teori lingkungan ini, karena

memperhitungkan faktor situasi dan kondisi, juga disebut teori serba situasi. Kebangkitan

dan kejatuhan seorang pemimpin dikarenakan oleh situasi dan kondisi; apabila seseorang

(25)

Sejalan dengan teori ini ialah teori sosial30

c. Teori pribadi dan situasi (personal-situational theory);

yang menyatakan bahwa “leaders are made

not born” (pemimpin-pemimpin dibentuk bukannya dilahirkan). Seseorang akan muncul

sebagai pemimpin apabila ia berada dalam lingkungan sosial, yaitu suatu kehidupan

kelompok, dan memanfaatkan situasi dan kondisi sosial untuk bertindak dan berkarya

mengatasi masalah-masalah sosial yang timbul. Teori lingkungan ini dianggap kurang

sempurna maka dikembangkanlah teori baru yang merupakan kombinasi dari kedua teori

tadi.

Penganut teori serba sifat dan teori serba situasi hanya berusaha menjelaskan

kepemimpinan sebagai akibat seperangkat kekuatan yang tunggal. Adanya akibat-akibat

interaktif antara faktor pribadi (individu) dan faktor situasi diabaikan. Untuk memperbaiki

kedua teori tadi muncullah teori pribadi-situasi. Teori ini pada dasarnya mengakui bahwa

kepemimpinan merupakan produk dari terkaitnya tiga factor yaitu:31

1. perangai (sifat-sifat) pribadi dari pemimpin;

2. sifat dari kelompok dan anggota-anggotanya; dan

3. kejadian-kejadian (atau masalah-masalah) yang dihadapi oleh kelompok.

Sementara itu penganut teori ini ada yahg menyatakan bahwa "study of leadership

in terms ofthe status, interactions, perceptions, and behavior of individuals in relation to

30

ibid

31

(26)

other members of the organized group. Thus leadership is regarded as a relationship

between persons rather than as a characteristic of the isolated individual.32

Teori ini mungkin dapat diparalelkan dengan teori ekologi, yang pada pokoknya

menyatakan bahwa seseorang berhasil melaksanakan kepemimpinan apabila ia pada waktu

lahir telah memiliki bakat-bakat atau sifat-sifat kepemimpinan yang kemudian

dikembangkan melalui pendidikan dan pengalaman. Jadi di sini ditekankan perlunya

pendidikan dan pengalaman. Sementara penulis menyebutkannya sebagai teori hubungan (studi tentang

kepemimpinan harus berkenaan dengan status, interaksi, persepsi dan perilaku

individu-individu dalam hubungan dengan anggota-anggota lain dari kelompok yang terorganisir.

Jadi kepemimpinan harus dipandung sebagai hubungan di antara orang-orang dan bukannya

sebagai sifat-sifat atau ciri-ciri dari seseorang individu yang terisolir). Jelas di sini bahwa

sifat-sifat atau ciri-ciri seseorang saja belum memungkinkan ia berkembang menjadi

pemimpin. Sifat-sifat atau ciri-ciri itu masih harus dikaitkan dengan situasi dan kondisi.

Pemimpim harus mengenal dirinya (dalam arti sifat-sifatnya, mengenal kelompok

yang dipimpin, mengenal situasi dan kondisi dan selanjutnya mengembangkan

sifat-sifatnya sendiri ke arah yang sesuai dengan kelompok yang dipimpinnya dan sesuai pula

dengan situasi dan kondisi di mana ia memimpin. la harus mampu menciptakan

kemudahan-kemudahan untuk merangsang kegiatan-kegiatan kelompok untuk mencapai

tujuan.

32

(27)

kepribadian dan situasi di mana dikemukakan bahwa kepemimpinan seseorang ditentukan

oleh kepribadiannya dengan menyesuaikannya kepada situasi yang dihadapi. Situasi

dimaksud terdiri dari tiga lapis :

1. tugas, pekerjaan atau masalah yang dihadapi;

2. orang-orang yang dipimpin;

3. keadaan yang mempenguruhi tugas, pekerjaan dan orang-orang tadi.

d. Teori interaksi dan harapan (interaction-expectation theory);

Golongan teori ini mendasarkan diri pada varisbel-variabel : aksi, reaksi, interaksi

dan perasaan (action, interaction dan sentiment). Seorang pemimpin menggerakkan

pengikut dengan harapan-harupan bahwa ia akan berhasil, ia akan mencapai tujuan

organisasi, ia akan mendapatkan keuntungan, penghargaan dan sebagainya. Demikian pula

pengikut-pengikut, mereka akan mengikuti pemimpin dengan harapan-harapan seperti

harapan si pemimpin tadi. Oleh karena itu aksi-aksi pemimpin harus berisi sesuai dengan

harapan untuk kemudian ditanggapi dengan reaksi, sehingga dengan demikian terjadilah

interaksi yang dipateri dengan perasaan-perasaan tertentu. Interaksi tersebut diusahakan

dapat memenuhi harapan-harapan bersama.

Teori ini berasumsi bahwa semakin terjadi interaksi dan partisipasi dalam kegiatan

bersama semakin meningkat perasaan saling menyukai/menyenangi satu sama lain dan

semakin memperjelas pengertian atas norma-norma kelompok. Demikian pula semakin

(28)

norma-norma, semakin luas jangkauan interaksinya dan semakin besar jumlah anggota

kelompok yang tergerak. Yang penting harus dijaga agar aksi pemimpin tidak

mengecewakan harapan-harapan.

Teori ini memakai nama-nama yang berlainan, tergantung pada titik berat

tinjauannya. Misalnya Stogdill menyebutkan nya : expectancy - reinforcement theory of

leadership.33 Dalam hubungan ini Stogdill mengemukakan manakala anggota-anggota kelompok berinteraksi dan terlibat dalam pelaksanaan tugas bersama, maka mereka

memperkuat (reinforce) harapan bahwa masing-masing akan terus beraksi dan berinteraksi

sesuai dengan pelaksanaan kerjanya yang terdahulu. Fiedler menyebut : contingency theory

of leadership,34

House menyebutnya motivational theory of leadership dan Evans menyebutnya

path-goal theory of 1eadership.

dengan mengemukakan bahwa keefektifan pola perilaku pemimpin yang

ada tergantung pada tuntutan-tuntutan yang dihadapkan oleh situasi. Pemimpin yang

memelihara jarak sosial (dengan anak buah) cenderung lebih efektif dalam situasi-situasi

yang sangat mudah dan sangat sulit. Semakin tinggi perasaan keakraban pemimpin dengan

anak buahnya semakin lebih efektif dalam situasi di mana dituntut kepemimpinan yang

moderat.

35

3. Metodologi Penelitian

33

Ralph Stogdil dalam S. Pamudji. Kepemimpinan Pemerintahan di Indonesia. Jakarta: BUMI AKSARA.1992. hal: 150

34

ibid

35

(29)

a. Jenis Penelitian

Penelitian Budaya Lokal di dalam Sistem Pemerintahan (Analisis Qanun Provinsi

Aceh No 5 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong) menggunakan metode kualitatif.

Penelitian kualitatif adalah penelitian yang mempelajari suatu gejala atau realita social dan

mencoba untuk menemukan suatu pemahaman atau interprestasi makna terhadap masalah

tersebut. Orientasi yang ditekankan pada penelitian kualitatif lebih banyak memfokuskan

pada proses dan jalinan peristiwa sehingga penelitian bersifat siklus yang dapat dilakukan

berulang-ulang.36

Dengan metode kualitatif, selain mengungkap dan memahami sesuatu hal yang baru

dan sedikit diketahui, metode kualitatif juga akan memberikan rincian tentang suatu

fenomena yang sulit diungkap oleh penelitian kuantitatiff.37

36

Kartini kartono. 1996. Pengantar metodologi Riset Sosial,bandung: CV. Maju Mundur. Hal 17

Menurut Bogdan dan Biklen

salah satu kateristik penelitian kualitatif yang memberikan perbedaan yang sangat nyata

dengan penelitian kuantitatif adalah penelitian bersifat deskritif, dimana data-data yang

dibutuhkan pada ummnya berbentuk kata yang dapat menggambarkan dan bukan

angka-angka atau kata lain penelitian deskriftif bertujuan mendeskripsikan secara sistematik,

factual, dan akurat tentang fakta-fakta dan sifat-sifat suatu objek tertentu dengan

37

(30)

menggunakan survey data-data yang dikumpulkan dengan teknik wawancara yang

didukung oleh panduan wawancara38

Dalam pengumpulan data penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan,

adalah penelitian atau kajian lapangan (field research), seperti wawancara dan observasi. .

b. Lokasi Penelitian

Untuk mendapatkan informasi tentang tujuan penelitian maka penulis menetukan

lokasi penelitian di Gampong Lhok Pawoh Kecamatan Sawang kabupaten Aceh Selatan.

c. Teknik Pengumpulan Data

39

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif, dengan lebih banyak bersifat uraian dari

hasil wawancara dan studi dokumentasi. Data yang telah diperoleh akan dianalisis secara

kualitatif serta diuraikan dalam bentuk deskriptif. Menurut Patton, analisis data adalah Dalam penelitian ini, data yang dipergunakan adalah data primer dan data sekunder. Untuk

memperoleh data primer peneliti menggunakan daftar pertanyaan wawancara dalam

pengumpulan data, maka sumber data disebut informan, yaitu orang yang merespon atau

menjawab pertanyaan-pertanyaan peneliti. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui

sumber seperti buku, laporan, jurnal dan lain-lain.

d.Teknik Analisis Data

38

Sinulingga, Sukaraja. 2011. Metode Penelitian. Medan; USUpress.hal.43.

39

(31)

“proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori dan

uraian dasar”.40 Definisi tersebut memberikan gambaran tentang betapa pentingnya kedudukan analisis data dilihat dari segi tujuan penelitian. Prinsip pokok penelitian

kualitatif adalah menemukan teori dari data.Teknik analisis data yang digunakan dalam

penelitian ini adalah menggunakan langkah-langkah seperti yang dikemukakan oleh Burhan

Bungin, yaitu sebagai berikut:41

1. Pengumpulan Data (Data Collection)

Pengumpulan data merupakan bagian integral dari kegiatan analisis data. Kegiatan

pengumpulan data pada penelitian ini adalah dengan menggunakan wawancara dan studi

dokumentasi.

2. Reduksi Data (Data Reduction)

Reduksi data, diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada

penyederhanaan dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di

lapangan. Reduksi dilakukan sejak pengumpulan data dimulai dengan membuat ringkasan,

mengkode, menelusur tema, membuat gugus-gugus, menulis memo dan sebagainya dengan

maksud menyisihkan data/informasi yang tidak relevan.

3. Display Data

40

Lecy J. Moleong, op.cit., hal 103

41

(32)

Display data adalah pendeskripsian sekumpulan informasi tersusun yang memberikan

kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian data

kualitatif disajikan dalam bentuk teks naratif. Penyajiannya juga dapat berbentuk matrik,

diagram, tabel dan bagan.

4. Verifikasi dan Penegasan Kesimpulan (Conclution Drawing and Verification)

Merupakan kegiatan akhir dari analisis data. Penarikan kesimpulan berupa kegiatan

interpretasi, yaitu menemukan makna data yang telah disajikan. Antara display data dan

penarikan kesimpulan terdapat aktivitas analisis data yang ada. Masalah reduksi data,

penyajian data dan penarikan kesimpulan/ verifikasi menjadi gambaran keberhasilan secara

berurutan sebagai rangkaian kegiatan analisis yang terkait. Selanjutnya data yang telah

dianalisis, dijelaskan dan dimaknai dalam bentuk kata-kata untuk mendiskripsikan fakta

yang ada di lapangan, pemaknaan atau untuk menjawab pertanyaan penelitian yang

kemudian diambil intisarinya saja. Berdasarkan keterangan di atas, maka setiap tahap

dalam proses tersebut dilakukan untuk mendapatkan keabsahan data dengan menelaah

seluruh data yang ada dari berbagai sumber yang telah didapat dari lapangan dan dokumen

pribadi, dokumen resmi, gambar, foto dan sebagainya melalui metode wawancara yang

didukung dengan studi dokumentasi.

4. Sistematika Penulisan

(33)

Dalam Bab ini menguraikan tentang Latar Belakang Masalah apa dan

mengapa penulis tertarik untuk mengangkat masalah budaya lokal didalam

sistem pemerintahan gampong, terdapat juga mengenai perumusan

masalah, pembatasan masalah, tujuan peneilitian, manfaat penelitian,

kerangka dasar teoritis yang menjadi acuan penulis dalam penulisan

penelitian ini, metode penelitian serta sistematika penulisannya.

BAB II : PROFIL PEMERINTAHAN GAMPONG LHOK PAWOH

KECAMATAN SAWANG KABUPATEN ACEH SELATAN

Bab ini akan membahas profil pemerintahan gampong Lhok Pawoh

Kecamatan Sawang. Profil Kecamatan Sawang

BAB III : ANALISIS DAN PENYAJIAN DATA

Bab ini membahas secara garis besar hasil dari penelitian sekaligus

menganalisis data yang diperoleh untuk menjawab permasalahan dalam

penelitian.

BAB IV : PENUTUP

Dalam bab terakhir ini akan berisi tentang kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Indikator Kinerja Target Indikator Kinerja Target Meningkatnya SDM aparatur yang profesional Persentase penempatan aparatur sesuai kompetensi 70% Persentase pelayanan

Latar belakang penulis melaksanakan penelitian yang berjudul “Upaya Peningkatan Hasil Belajar Siswa Tentang Matematika Melalui Metode Inkuiri Pada Siswa Kelas VI Semester I

Sumber : http://journal.unair.ac.id/filerPDF/-Jurnal.docx.. Hal tersebut digambarkan dengan diagram tersebut, dimana Kebijakan Luar Negeri Indonesia dalam bentuk UU

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data yang terdapat dalam pembahasan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: penerapan model pembelajaran kooperatif tipe

Problems in Speaking English of Introvert Students and Strategies to Solve the Problems at English Education Department of Universitas..

[r]

Pada web atau situs ini terdapat beberapa halaman yaitu halaman pertama dengan halaman berupa login sebagai password untuk mengakses situs ini, halaman keduanya yaitu