• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaturan Air Defence Identification Zone (Adiz) Sebagai Perwujudan Kedaulatan Teritorial Ditinjau Dari Konvensi Paris 1919 Chapter III V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaturan Air Defence Identification Zone (Adiz) Sebagai Perwujudan Kedaulatan Teritorial Ditinjau Dari Konvensi Paris 1919 Chapter III V"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

PENERAPAN AIR DEFENCE IDENTIFICATION ZONE (ADIZ)

DALAM KONVERSI PARIS 1919

A. Air Defence Identification Zone (ADIZ)

Air Defence Identification Zone (ADIZ) adalah suatu ruang udara tertentu yang didalamnya pesawat harus memberikan identifikasi sebelum memasuki wilayah yang dimaksud. Dasar hukum pendirian ADIZ adalah praktek internasional yang telah menjadi kebiasaan internasional (customary international law).42Setiap Negara akan selalu berupaya melaksanakan pertahanan/bela diri (Self Defence) dan pengawasan terhadap kondisi keamanan di wilayah udaranya dari berbagai bentuk ancaman. Hal inilah yang melatarbelakangi banyak negara didunia termasuk Amerika membuat/menetapkan zona petunjuk pertahanan udara atau Air Defense Identification Zone (ADIZ). Kawasan ADIZ tersebut dapat ditetapkan merentang jauh keluar sampai ratusan kilometer di wilayah udara bebas sesuai dengan kepentingan negara dalam upaya mendeteksi bahaya-bahaya yang mungkin datang dari udara.43

ADIZ (Air Defence Identification Zone) atau Zona Identifikasi Pertahanan Udara, adalah wilayah udara suatu negara yang melintasi suatu daratan atau lautan. Wilayah udara tersebut mencakup: 44

       42

Markas Besar TNI AU, Buku Panduan Perwira Hukum Tentara Nasional Indonesia

Angkatan Udara, Jakarta, 2000, hal. 8. 43

Hipatioss.blogspot.co.id/2015/02/hukum-ruang-udara-dan-ruang-angkasa.html?view=sidebar (diakses tanggal 1 Maret 2016)

44

(2)

1. Melampaui wilayah udara dari Negara tersebut, untuk mempermudah control mereka atas pesawat-pesawat asing.

2. Kewenangan untuk mendeklarasikan ADIZ tidak diberikan atau dilarang oleh perjanjian internasional, maupun hukum internasional.

Dalam rangka pelaksanaan kedaulatan negara di ruang udara tersebut sering negara-negara menetapkan pada bagian tertentu wilayah ruang udaranya sebagai daerah bahaya, daerah terbatas, dan daerah terlarang untuk semua penerbangan.

(3)

sistem ini didukung oleh sistem radar yang terkoneksi dengan sistem persenjataan pertahanan udara. Sistem persenjataan pertahanan udara inilah yang menjadi faktor penentu keberhasilan ADIZ.

Sejarah pembentukan ADIZ di level internasional, pertama kali diperkenalkan oleh Amerika Serikat pada bulan Desember 1950, semasa perang Korea. Lima bulan kemudian Canada juga mengeluarkan sejumlah peraturan yang diberi nama : Rules for the Security Control of Air Traffic. Sama dengan Amerika Serikat, peraturan yang dikeluarkan oleh Canada itu maksudnya untuk, in the interest of national security, to identify, locate and control aircraft operation

within areas designated as “Canadian Air Defence Identification Zone” (CADIZ).

Pada dasarnya, setiap Negara mendeklrasikan ADIZ demi mewujudkan National Interest mereka. Dengan adanya ADIZ maka, Setiap pesawat yang masuk ke dalam wilayah ADIZ tersebut, harus meminta izin atau mendapat izin dari Negara tersebut. Jika tidak maka akan dianggap sebagai ancaman. AS sendiri sudah mendeklasrasikan wilayah ADIZ mereka semenjak tahun 1950an. AS mendeklarasikan ADIZ mereka di masa perang dingin untuk mengantisipasi serangan dari Uni Soviet. Sampai saat ini, AS sudah memiliki lima zona ADIZ mereka yaitu: Zona Pantai Timur, Pantai Barat, Alaska, Hawaii, dan Guam.45

       45

(4)

B. Status Air Defence Identification Zone (ADIZ) menurut Hukum Udara

Internasional

Konvensi Chicago 1944 merupakan landasan hukum dari ketentuan-ketentuan hukum udara internasional. Kedaulatan wilayah udara negara diatur dalam Konvensi Chicago yang menyatakan: the contracting States recognize that every State has complete and exclusive sovereignty over the airspace above its

territory. Hukum internasional tidak memberikan hak untuk lintas damai melalui ruang udara, dan untuk memasuki ruang udara suatu negara dibutuhkan ijin dari negara dimana wilayah udaranya akan dimasuki. Ruang udara sepenuhnya tunduk kepada kedaulatan (sovereignty) yang lengkap dan eksklusip dari negara kolong

(subjacent state) sebagaimana ditegaskan oleh ketentuan Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 mengenai Penerbangan Sipil Internasional (Convention on International Civil Aviation).46

Konvensi Chicago 1944 tidak ada satupun pasal yang mengatur mengenai batas wilayah udara yang dapat dimliki oleh suatu negara bawah baik secara horisontal maupun secara vertikal. Kembali kepada Pasal 1 Konvensi Chicago khususnya pada kata “complete and exclusive”. Namun pada Pasal 2 Konvensi Chicago 1944 menjelaskan apakah yang dimaksud dengan penuh (complete) adalah negara yang berada di bawah ruang udara mempunyai hak secara penuh atau utuh untuk mengatur ruang udara yang berada di atasnya, dan pada Pasal 3 Konvensi Chicago 1944 yang dimaksud dengan eksklusif (exclusive) adalah

       46

(5)

negara lain yang ingin memasuki wilayah udara suatu negara harus meminta izin terlebih dahulu kepada negara kolong tersebut.

Seperti diketahui bahwa batas wilayah darat suatu negara adalah berdasarkan perjanjian dengan negara-negara tetangga, dan dengan demikian setiap negara memiliki batas kedaulatan di wilayah udara secara horisontal adalah sama dengan seluas wilayah darat negaranya, sedangkan negara yang berpantai batas wilayah negara akan bertambah yaitu dengan adanya ketentuan hukum yang diatur di dalam Article 3 United Nations Convention on the Law Of the Sea (1982) yang menyebutkan setiap negara pantai dapat menetapkan lebar laut wilayahnya sampai maksimum 12 mil laut yang diukur dari garis pangkal (base line). Yaitu dengan cara luas daratan yang berdasarkan perjanjian perbatasan dengan negara tetangga dan ditambah dengan Pasal 3 Konvensi Hukum Laut 1982.

Begitu pula dalam hal apabila laut wilayah yang berdampingan atau berhadapan dengan milik negara tetangga yang kurang dari 2 x 12 mil laut, maka penyelesaian masalah batas wilayah udara secara horisontal adalah melalui perjanjian antar negara tetangga seperti halnya dalam hukum laut internasional. Tetapi ada beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Kanada mengajukan secara sepihak untuk menetapkan jalur tambahan (contiguous zone) di ruang udara.

(6)
(7)

pertahanan udara. Sistem persenjataan pertahanan udara inilah yang menjadi faktor penentu keberhasilan ADIZ.

C. Penerapan ADIZ di Berbagai Negara

Air Defense Identification Zone (ADIZ) Tiongkok Konvensi Chicago 1944 merupakan landasan berpijak dari ketentuan-ketentuan hukum udara internasional. Kedaulatan wilayah udara negara diatur dalam Konvensi Chicago yang menyatakan: „the contracting States recognize that every State has complete and exclusive sovereignty over the airspace above its territory”. Hukum internasional tidak memberikan hak untuk lintas damai melalui ruang udara, dan untuk memasuki ruang udara suatu negara dibutuhkan izin dari Chicago 1944 mengenai Penerbangan Sipil Internasional (Convention on International Civil Aviation).47

Apabila mempelajari Konvensi Chicago 1944 maka terlihat bahwa tidak ada satupun pasal yang mengatur mengenai batas wilayah udara yang dapat dimiliki oleh suatu negara bawah baik secara horisontal maupun secara vertikal. Kembali kepada Pasal 1 Konvensi Chicago khususnya pada kata “ complete and exclusive ”, maka timbullah pertanyaan apakah yang dimaksud dengan kata ini bahwa kedaulatan negara di ruang udara dapat digunakan dan dilaksanakan secara penuh dan eksklusif tanpa memperhitungkan kepentingan negara lain. Namun pada Pasal 2 Konvensi Chicago 1944 menjelaskan apakah yang dimaksud dengan penuh (complete) adalah negara yang berada di bawah ruang udara mempunyai hak secara penuh atau utuh untuk mengatur ruang udara yang berada di atasnya,       

47

(8)

dan pada Pasal 3 Konvensi Chicago 1944 yang dimaksud dengan eksklusif

(exclusive) adalah negara lain yang ingin memasuki wilayah udara suatu negara harus meminta izin terlebih dahulu kepada negara kolong tersebut.

Batas wilayah darat suatu negara adalah berdasarkan perjanjian dengan negara-negara tetangga, dan dengan demikian setiap negara memiliki batas kedaulatan di wilayah udara. Wilayah udara secara horisontal adalah sama dengan seluas wilayah darat negaranya, sedangkan negara yang berpantai batas wilayah negara akan bertambah yaitu dengan adanya ketentuan hukum yang diatur di dalam Article 3 United Nations Convention on the Law Of the Sea (1982) yang menyebutkan setiap negara pantai dapat menetapkan lebar laut wilayahnya sampai maksimum 12 mil laut yang diukur dari garis pangkal (base line), yaitu dengan cara luas daratan yang berdasarkan perjanjian perbatasan dengan negara tetangga dan ditambah dengan Pasal 3 Konvensi Hukum Laut 1982. Begitu pula dalam hal apabila laut wilayah yang berdampingan atau berhadapan dengan milik negara tetangga yang kurang dari 2 x 12 mil laut, maka penyelesaian masalah batas wilayah udara secara horisontal adalah melalui perjanjian antar negara tetangga seperti halnya dalam hukum laut internasional. Tetapi ada beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Kanada mengajukan secara sepihak untuk menetapkan jalur tambahan (contiguous zone) di ruang udara yang dikenal dengan ADIZ.

(9)

dengan negara tersebut. Pada dasarnya ADIZ merupakan sarana penunjang sistem pertahanan udara nasional. Dasar hukum pendirian ADIZ adalah asas bela diri

(self defence) yang diakui dalam Pasal 51 Piagam PBB.48 Hak negara untuk menggunakan senjata untuk mempertahankan diri dari kekuatan dari luar (negara lain) didasarkan kepada hukum kebiasaan internasional (customary international law). Hak untuk membela diri yang dimaksud dalam piagam PBB pada hakekatnya memang merupakan sesuatu hak yang melekat. Ketentuan dalam Pasal 51 piagam PBB tersebut bukan semata-mata menciptakan hak tetapi secara eksplisit hak membela diri itu memang diakui menurut prinsip-prinsip Hukum Internasional. Hak untuk membela diri yang diatur dalam piagam PBB Pasal 51. Pasal itu berbunyi: “Nothing in the present Charter shall impair the inherent right of individual or collective self defence if an armed attack occurs against a

Member of the United Nations, until the Security Council has taken measures

necessary to maintain international peace and security. Measures taken by

Members in the exercise of this right of self-defence shall be immediately reported

to the Security Council and shall not in any way affect the authority and

responsibility of the Security Council under the present Charter to take anytime

such action as it deems necessary in order to maintain or restore international

peace and security.”

Meskipun redaksional hak membela diri (self defence) tersirat dalam bunyi pasal tersebut, namun dalam travaux prepatoires dinyatakan bahwa hak tersebut merupakan sesuatu yang melekat (inherent). Bunyi Pasal 51 memang tidak       

48

(10)

menyebutkan cara yang dapat dilakukan untuk melaksanakan hak membela diri. Pasal ini sering dikaitkan dengan hak untuk menggunakan kekerasan bersenjata secara terbatas. Rosalyn Higgins misalnya berpendapat bahwa piagam PBB telah memberikan izin terbatas atas penggunaan kekerasan bersenjata dalam kerangka hak membela diri baik secara individual maupun kolektif. PBB juga mempertimbangkan bahwa tindakan itu dapat menjadi sebuah mekanisme untuk menuntut hak hukum serta mencapai keadilan sosial dan politik. Beberapa sarjana hukum internasional dan juga praktek-praktek Negara telah menafsirkan hak membela diri tersebut dengan meluaskan maknanya menjadi melindungi diri (self preservation). D.W. Bowett misalnya mengatakan bahwa Pasal 51 diartikan hak untuk membela diri bukan membatasinya. Menurutnya tidak ada hubungan antara serangan bersenjata dengan hak membela diri. Tidak ada negara yang dapat menunggu hingga ada serangan bersenjata baru dapat membela diri. Selain itu ADIZ juga diatur dalam Document 9426-AN/924 First Edition 1984 ICAO, pada chapter 3 tentang Airspace Organization ayat 3.3.4 Special Designated Airspace

yang mengakui keberadaan ADIZ suatu Negara.49

Selain itu, dasar hukum pendirian ADIZ adalah praktek internasional yang telah menjadi hukum kebiasaan internasional (customary international law). Pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Internasional menyebutkan Hukum kebiasaan internasional merupakan salah satu sumber hukum yang diakui oleh negara-negara pada umumnya. Hukum kebiasaan berasal dari praktek negara-negara melalui sikap dan tindakan yang diambil terhadap suatu persoalan. Bila suatu negara       

49

(11)

mengambil suatu kebijakan dan kebijakan tersebut diikuti oleh negara-negara lain dan dilakukan berkali-kali serta tanpa adanya protes atau tantangan dari pihak lain maka secara berangsur-angsur terbentuklah suatu kebiasaan. Setelah Amerika Serikat dan Kanada menerapkan ADIZ untuk wilayah udaranya, pada tanggal 23 November Tiogkok melakukan hal yang sama untuk wilayah udaranya.

Penggunaan ruang dan aset udara untuk target pencapaian tujuan militer saat invasi Irak telah menandai secara signifikan pentingnya penguasaan ruang dan kekuatan udara. Penguasaan atas ruang udara terkait juga pada kewenangan untuk menetapkan ADIZ yang hingga saat ini tidak diatur oleh lembaga internasional. Dasar penerapan ADIZ adalah terjaminnya hak suatu negara untuk menciptakan prakondisi bagi setiap pergerakan udara. Dengan itu, pesawat apa pun yang mendekati sebuah wilayah udara nasional dapat diminta untuk mengidentifikasikan diri. 50 ADIZ mencantumkan wilayah udara atas daratan dan lautan di mana identifikasi, lokasi, dan kontrol akan pergerakan pesawat diperlukan bagi kepentingan keamanan nasional. Beberapa negara malah menetapkan ”extended ADIZ zone” yang melampaui wilayah udara negara lain untuk memberikan lebih banyak waktu untuk memantau dan menindak pesawat asing berawak atau tidak yang ditengarai memiliki potensi berbahaya. ADIZ pertama kali ditetapkan AS setelah Perang Dunia II.

Diikuti beberapa negara antara lain Kanada, India, Jepang, Pakistan, Norwegia, Inggris, RRC, Korea Selatan, dan ROC. Umumnya, zona ADIZ mencakup wilayah tak terbantahkan atas kedaulatan suatu negara dan tidak       

50

(12)

tumpang tindih. Karena umumnya ditetapkan secara unilateral, terjadi beragam model penerapan pada aplikasinya. Misalnya AS tidak pernah mengakui hak negara pesisir untuk menerapkan prosedur ADIZ bagi pesawat asing untuk memasuki wilayah udara nasional.

Jepang satu-satunya negara yang menerapkan ekspansi atas ADIZ-nya (1972 dan 2010). Korea Selatan baru memperluas zona identifikasi wilayah udara nasionalnya hingga 666.480 km2menyikapi eskalasi terkait China ADIZ (CADIZ) pada akhir 2013. Selain menetapkan ADIZnya di Laut China Timur, secara tegas China juga mewajibkan semua pesawat sipil dan nonsipil untuk mengidentifikasi diri ketika mendekati zona CADIZ. 51

Kemhan China bahkan menetapkan penerapan “langkah-langkah darurat defensif” oleh AU PLA untuk pesawat yang tidak mau memberikan identifikasinya (Bitzinger, 2013). Sesungguhnya, langkah nyata China akan penerapan ADIZ dan aturan mainnya merupakan reaksi atas aksi kebijakan AS di kawasan dengan ”US Strategic Pacific”yang merupakan elemen kunci evolusi kekuatan-militer di mana akan membawa perubahan signifikan terhadap aliansi AS di kawasan. Pemerintah China secara strategis menetapkan CADIZ untuk dapat mengantisipasi beberapa kemampuan baru terkait teknologi terkini militer AS antara lain pesawat tempur F- 35, Sistem Tempur Aegis, serta pesawat surveillance MQ-4C TRITON yang memiliki kemampuan pemindaian 360 derajat dan memiliki sistem identifikasi otomatis yang jelas akan menjadi senjata mata-mata utama tak berawak. IMQ-C4 akan mulai beroperasi pada 2015 dengan lima

       51

(13)

basis operasi untuk mengawasi Laut China Selatan, Laut China Timur, dan Korea Utara, dari ketinggian 60.000 kaki selama 24 jam nonstop. Australia yang menjadi aliansi utama AS di kawasan sudah sejak lama juga mengoperasikan satelit stasiun pelacakan dikenal sebagai fasilitas Joint Defence Space Research/Pine Gap. Satelit ini menjadi kontributor kunci untuk jaringan global surveillanceECHELON.

(14)

utama di konflik Laut China Timur atas inisiatif Presiden Taiwan Ma Ying Jeaou (2012).52

Kekhawatiran yang mengemuka bahwa CADIZ juga akan diterapkan di Laut China Selatan dapat menjadi momentum untuk menunjukkan kedaulatan Indonesia atas ruang udara nasionalnya sendiri yang terabaikan. ”Claiming what is ours and defending what is ours”seharusnya menjadi semangat Indonesia dalam mengantisipasi masalah akan ruang udara selain wilayah perairannya. Langkah inisiasi unilateral ADIZ harus didorong oleh kepercayaan diri Indonesia untuk melindungi kepentingan nasional atas pengelolaan, pemanfaatan, dan pengamanan atas ruang udara. Pemimpin Indonesia perlu meniru kepercayaan diri Jepang dengan ADIZ-nya yang tumpang tindih dengan Taiwan. ADIZ antara Taiwan dan Jepang membentang membagi wilayah udara di atas Pulau Yonaguni dan menjadikan daerah timur masuk ke wilayah Jepang dan daerah barat masuk ke wilayah ke Taiwan. ADIZ Jepang telah memperluas areanya hingga 12 mil laut dari baseline. Terkait klaim sepihak itu, PM Jepang Yukio Hatoyama tegas mengatakan norma-norma internasional atas demarkasi ADIZ terletak pada kebijaksanaan tiap negara sehingga wajar bagi Jepang untuk tidak meminta persetujuan Taiwan akan penetapan zonaADIZ- nya. Hatoyama dapat dijadikan contoh kriteria pemimpin yang diperlukan oleh negara suprastrategis seperti Indonesia.

Penerapan ADIZ Indonesia terbentang di atas Pulau Jawa, Pulau Bali dan sebagian wilayah Nusa Tenggara Barat dengan luas keseluruhan berbentuk empat

       52

(15)

persegi panjang dengan ukuran lebar dari utara ke selatan 180 NM, dan panjangnya dari Barat ke Timur 390 NM, merupakan upaya pemerintah melakukan pengamanan wilayahnya untuk kepentingan pertahanan dan keamanan, pusat-pusat pemerintahan serta melindungi obyek vital nasional. Penetapan koordinat dan luas wilayah ADIZ Indonesia tercantum di Aeronautical Information Publication (AIP) pada lampiran XVI.53

       53

(16)

A. Pengaturan ADIZ dalam Hukum Udara Internasional

Air Defence Identification Zone (ADIZ) dibentuk atas dasar keperluan identifikasi dalam sistem pertahanan udara bagi suatu negara, dimana zona tersebut pada umumnya terbentang mulai dari wilayah territorial negara yang bersangkutan hingga mencapai ruang udara di atas laut bebas yang berbatasan dengan negara tersebut. Pada dasarnya ADIZ merupakan sarana penunjang sistem pertahanan udara nasional. Dasar hukum pendirian ADIZ adalah asas bela diri (self defence) yang diakui dalam Pasal 51 Piagam PBB.54

Hak negara untuk menggunakan senjata untuk mempertahankan diri dari kekuatan dari luar (negara lain) didasarkan kepada hukum kebiasaan internasional (customary international law). Hak untuk membela diri yang dimaksud dalam piagam PBB pada hakekatnya memang merupakan sesuatu hak yang melekat. Ketentuan dalam Pasal 51 piagam PBB tersebut bukan semata-mata menciptakan hak tetapi secara eksplisit hak membela diri itu memang diakui menurut prinsip-prinsip Hukum Internasional. Hak untuk membela diri yang diatur dalam piagam PBB Pasal 51. Pasal itu berbunyi: idak ada dalam Piagam ini akan merugikan hak yang melekat pertahanan diri individu atau kolektif jika serangan bersenjata terjadi terhadap Anggota PBB , sampai Dewan Keamanan telah mengambil langkah yang diperlukan untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional .

       54

(17)

Langkah-langkah yang diambil oleh Anggota dalam pelaksanaan hak ini membela diri harus segera dilaporkan kepada Dewan Keamanan dan tidak akan dengan cara apapun mempengaruhi wewenang dan tanggung jawab dari Dewan Keamanan bawah Piagam ini untuk mengambil tindakan kapan seperti itu dianggap perlu untuk mempertahankan atau memulihkan perdamaian dan keamanan internasional.”

(18)

(International Civil Aviation Organization), pada chapter 3 tentang Airspace Organization ayat 3.3.4 Special Designated Airspace yang mengakui keberadaan ADIZ suatu negara.

Selain itu, dasar hukum pendirian ADIZ adalah praktek internasional yang telah menjadi hukum kebiasaan internasional (customary international law). Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional menyebutkan Hukum kebiasaan internasional merupakan salah satu sumber hukum yang diakui oleh negara- negara pada umumnya. Hukum kebiasaan berasal dari praktek negara-negara melalui sikap dan tindakan yang diambil terhadap suatu persoalan. Bila suatu negara mengambil suatu kebijakan dan kebijakan tersebut diikuti oleh negara-negara lain dan dilakukan berkali-kali serta tanpa adanya protes atau tantangan dari pihak lain maka secara berangsur-angsur terbentuklah suatu kebiasaan.

B. Pengaturan ADIZ yang dibenarkan dalam Hukum Udara Internasional

(19)

1. Konvensi Paris 1919

Zona larangan terbang diatur dalam Pasal 3 Setiap negara kena berhak untuk alasan militer atau kepentingan keselamatan publik untuk melarang pesawat dari negara kena lainnya , di bawah hukuman yang masing-masing pesawat pribadi dan orang-orang dari negara kena lainnya untuk penerbangan dari tawaran daerah-daerah tertentu dari wilayahnya . Dalam hal wilayah dan luasnya daerah-daerah yang dilarang harus diterbitkan dan diberitahukan terlebih dahulu untuk stat kontraktor lainnya. Pasal 4 Setiap pesawat menemukan dirinya di atas area yang dilarang harus, menyadari fakta memberikan sinyal marabahaya pada paragraf 17 Lampiran D dan tanah secepat mungkin di luar daerah dilarang di salah satu bandar udara terdekat dari negara secara tidak sah terbang di atas.

Menurut kedua pasal tersebut setiap negara berhak untuk menetapkan zona larangan terbang atas pertimbangan kepentingan pertahanan dan keamanan nasional dengan ancaman hukuman bilaman terdapat pelanggaran. Ketentuan ini sesuai dengan usul yang disampaikan oleh delegasi Prancis pada saat Konferensi Paris 1910.

(20)

terbang secepatnya meninggalkan zona larangan terbang tersebut sebelumnya harus dipublikasikan kepada negara anggota lainnya.

Zona larangan terbang yang telah diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 4 Konvensi Paris 1919 kemudian diubah dengan protokol yang ditandatangani tanggal 15 Juni 1929. Perubahan tersebut antara lain memberi kekuasaan kepada negara berdaulat untuk mengizinkan pesawat udara sipil nasional terbang di zona larangan terbang dalam hal sangat penting dan darurat. Demikian pula dikatakan dalam masa damai negara tersebut berhak untuk menetapkan zona larangan terbang seluruh atau sebagian wilayahnya.

Semua bentuk penerbangan dilarang terbang di zona larangan terbang. Bilamana hal ini dilakukan juga harus memberitahun China dan negara anggota Konvensi Paris 1919 lainnya. Menurut Pasal 4 Konvensi Paris 1919, dalam hal terdapat pesawat udara sipil asing berada di zona larangan terbang, segera mengirim tanda bahaya (distress) sebagaimana diatur dalam pasal 17 Annex D dan segera mendarat di bandar udara terdekat diluar zona larangan terbang tempat pesawat udara tersebut terbang.

2. Konvensi Chicago 1940

Zona larangan terbang, di samping diatur dalam Konvensi Paris 1919, juga diatur dalam Konvensi Chicago 1944. Berdasarkan Pasal 1 jo Pasal 9 Konvensi Chicago 1944.

Pasal 9 Konvensi Chicago 1944 :

(21)

international scheduled airlines service, and the aircraft of the other contracting states likewise engaged. Such prohibited area shall reasonable extent and location so as not to interference unnecessarily with navigation, description of such prohibited areas in the teritory of contracting states, as well as any subsequent alteration therein, shall be communicated as soon as possible to the other contracting states and to international civil aviation organization;

2. Each contracting states reserves also the right, in exceptional circumstances or during a period of emergency, or in the interest of public safety, and with immediate effect, temporary to ristrict or to prohibit flying over the whole or any part of its territory, on conditions that such ristriction or prohibition shall be applicable without distinction of nationality to aircraft of all other states; 3. Each contracting state, under such regulations as it may prescribe, may

require any aircraft entering the areas contemplated in the subparagraphs (a) or (b) above to effect a landing as soon as practicable thereafter at some designted airport within its territory.

Terjemahan

Pasal 9 Konvensi Chicago 1944 :

1. Setiap negara dapat , untuk alasan kebutuhan militer atau keamanan publich, membatasi atau melarang seragam pesawat dari negara lain untuk penerbangan lebih dari daerah-daerah tertentu dari wilayahnya, asalkan tidak ada perbedaan dalam hal ini dibuat antara pesawat dari negara yang wilayah yang terlibat, terlibat dalam pelayanan penerbangan terjadwal internasional , dan pesawat dari negara-negara kontraktor lainnya juga terlibat . daerah terlarang seperti wajib batas wajar dan lokasi agar tidak campur tangan yang tidak perlu dengan navigasi , deskripsi daerah terlarang seperti di teritory negara kontraktor , serta setiap perubahan berikutnya di dalamnya , harus dikomunikasikan secepat mungkin ke negara anggota lainnya dan organisasi penerbangan sipil internasional.

(22)

dengan segera, sementara untuk ristrict atau untuk melarang terbang di atas seluruh atau sebagian dari wilayahnya, pada kondisi yang ristriction atau larangan tersebut berlaku tanpa membedakan kebangsaan untuk pesawat dari semua negara-negara lain.

3. Setiap negara kena, di bawah peraturan seperti itu mungkin meresepkan, mungkin memerlukan pesawat memasuki wilayah dimaksud dalam sub ayat (a) atau ( b ) di atas untuk efek mendarat sesegera mungkin setelah di designted beberapa bandara dalam wilayahnya.

(23)

Di Amerika Serikat, berdasarkan ketentuan pasal 1 Konvensi Chicago 1944, juga menetapkan zona larangan terbang sejauh 200 mil dari perbatasan Amerika Serikat yang dikenal sebagai ADIZ. Dalam jarak 200 mil terhitung sejak perbatasan Amerika Serikat, pesawat udara yang tidak dikenal harus menyampaikan jati diri, bilamana hal tersebut tidak dilakukan, pesawat udara tersebut akan menghadapi bahaya. Sikap Amerika Serikat demikian diikiuti oleh adik kandungnya yaitu Kanada. Kanada juga mengumumkan zona larangan terbang (Canadian Air Defence Identification Zone- CADIZ), mewajibkan pesawat udara yang belum dikenal harus menyampaikan jati diri. Pesawat udara negara (State Aircraft) yang mengejar tidak boleh menggunakan kekerasan, apalagi menembak pesawat udara sipil yang kesasar di zona larangan terbang, karena penembakan pesawat udara sipil tersebut bertentangan dengan hukum internasional, tidak sesuai dengan ajaran hukum (doctrine) bela diri, dan tidak sesuai dengan semangat yang tersirat dalam konvensi Chicago 1944. Menurut hukum internasional, pesawat udara sipil yang ditembak oleh pesawat udara negara (State Aircraft) merupakan pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM), karena pesawat udara sipil tidak di persenjatai. Disamping itu, penembakan pesawat udara sipil tersebut tidak sesuai dengan ajaran hukum (doctrine) bela diri

(Self Defend) yang mengajarkan bahwa perbuatan penembakan tersebut tidak seimbang dengan ancaman yang dihadapi, ajaran hukum bela diri (Self Defend)

mengatakan bahwa kalau seseorang akan memukul dengan rotan, kemudian di dahului dipukul dengan kayu dapat disebut membela diri (Self Defend).

(24)

semangat keselamatan penerbangan (Safety First) yang tersirat dalam Pasal 44 huruf (a) Konvensi Chicago 1944 menyampaikan jati diri, bilamana hal tersebut tidak dilakukan, pesawat udara tersebut akan menghadapi bahaya. Sikap Amerika Serikat demikian diikiuti oleh adik kandungnya yaitu Kanada. Kanada juga mengumumkan zona larangan terbang (CADIZ), mewajibkan pesawat udara yang belum dikenal harus menyampaikan jati diri.

C. Penerapan ADIZ Overlapping terhadap wilayah Alur Laut Kepulauan

ADIZ sebagai zona dimana pesawat udara yang masuk wilayah tersebut harus melaporkan rencana penerbangan (flight plan), pada dasarnya ADIZ merupakan sarana penunjang sistem pertahanan udara nasional. Dalam mendukung penegakkan ADIZ Indonesia dibutuhkan sistem pertahanan udara yang saling terintegrasi terdiri dari ATC, Kohanudnas, pesawat tempur sergap serta personel yang memonitor ADIZ. Sistem tersebut bekerja dengan menggunakan metoda dan proses tertentu agar keberadaan ADIZ Indonesia dapat efektif untuk menegakkan kedaulatan hukum dan kedaulatan di wilayah udara.

(25)

udara suatu negara atau sering disebut dengan asas bela diri (self defence).55 Asas bela diri dengan menggunakan ADIZ merupakan cara yang tepat dan proporsinal. Penetapan wilayah ADIZ dapat dimulai dari wilayah teritorial suatu negara hingga mencapai ruang udara diatas laut bebas yang berbatasan dengan negara itu.

Penetapan ADIZ tidak berdampak pada perluasan wilayah territorial suatu negara atas laut lepas. Penetapan ADIZ ini digunakan semata-mata untuk keamanan dan pertahanan negara dari ancaman yang masuk ke wilayah udara negara itu. Dampak dari penetapan ADIZ adalah setiap pesawat baik sipil maupun militer yang akan masuk ke wilayah negara itu akan melaporkan diri kepada pengawas penerbangan. Biasanya ADIZ dikelola oleh militer negara itu (Angkatan Udara negara itu). Meskipun sistem pelaporan ADIZ berbeda dengan pengaturan lalu lintas udara sipil. ADIZ akan lebih optimal dalam menangkal bahaya yang masuk dari wilayah udara bila sistem ADIZ ini diintegrasikan dengan sistem radar yang terhubung dengan sistem persenjataan pertahanan udara.56 Pemberlakuan ADIZ ini sejalan dengan teori penguasaan Cooper (Cooper’s Control Theory) yaitu kedaulatan suatu negara ditentukan oleh

       55

Charter of the United Nations (1945), 892 UNTS 119, Pasal 51 “Nothing in the present Charter shall impair the inherent right of individual or collective self defence in an armed attack occurs against a Member of the United Nations, until the Security Council has taken measures necessary to maintain international peace and security. Measures taken by Members in the exercise of this right of self-defence shall be immediately reported to the Security Council and shall not in any way affect the authority and responsibility of the Security Council under the present Charter to take anytime such action as it deems necessary in order to maintain or restore international peace and security.”

56

(26)

kemampuan negara itu untuk mempertahankan dan menguasai ruang yang ada diatas wilayahnya atau disebut juga dengan ruang udaranya.57

Dalam konteks Indonesia penggunaan ADIZ ini sangat tepat mengingat: luas wilayah Indonesia; penetapan jumlah kepulauan yang masuk ke wilayah kedaulatan NKRI belum dapat dipastikan; sengketa perbatasan dengan negara tetangga belum dapat sepenuhnya diselesaikan. Penggunaan ADIZ ini seiring dengan pertahanan kedaulatan NKRI mengingat beberapa kali dari tahun 2009 sampai awal tahun 2011 tercatat 14 pelanggaran wilayah udara RI, wilayah udara Indonesia yang dilintasi oleh pesawat dari negara lain tanpa ijin dari Indonesia. Potensi ancaman bagi Indonesia yang wilayah udaranya sudah beberapa kali dilanggar oleh pesawat berbendera negara lain sangat tinggi.

Penggunaan ADIZ di Indonesia didukung oleh radar militer (TNI AU) yang berada di Tanjung Kait, Ranai, Tanjung Pinang, Pemalang, Congot, Cibalimbing, Ngeliyep, Ploso, Balikpapan, Kwandang, Tarakan, Lhokseumawe, Dumai, Sabang, Sibolga, Buraen, Tanjung Warari, Timika, Merauke, dan Saumlaki. Wilayah kedaulatan RI yang terdeteksi oleh radar militer belum seluruhnya. Sedangkan dukungan dari radar sipil berada di Soeta, Juanda, dan Ngurah Rai. Penggunaan ADIZ di Indonesia baru meliputi wilayah Jawa, Pulau Madura, sebagian kecil Sumatera Selatan, Lombok, Bali dan sebagian kecil Pulau Sumbawa bagian barat. ADIZ tidak berada di luar wilayah laut teritorial Indonesia. Ruang udara yang dapat terdeteksi baru sekitar 5.193.252 Km2 sehingga proteksi ADIZ di Indonesia belum optimal karena proteksi belum       

57

(27)

mencakup seluruh wilayah kedaulatan Indonesia. Proteksi ADIZ di Indonesia hanya digunakan untuk melindungi ibukota negara yaitu Jakarta dan obyek vital di Jawa dan sekitarnya. Sedangkan obyek vital negara lainnya seperti di Papua, Kalimantan dan Sulawesi belum dapat diproteksi.

Eksistensi Indonesia sebagai negara berdaulat yang mempunyai hak penuh untuk mengatur segala urusan dalam negeri sedang dipertanyakan oleh sebagian pihak dengan memberikan hak pengaturan lalu lintas ruang udaranya kepada Singapura. Meskipun kedaulatan udara Indonesia tidak serta merta diambil oleh Singapura. Namun dengan memberikan hak pengaturan lalu lintas udara yang merupakan salah satu penjabaran dari hak Indonesia untuk mengatur urusan dalam negeri secara tidak langsung, Indonesia sudah mendelegasikan sebagian haknya untuk mengatur lalu lintas ruang udaranya kepada Singapura.58 Hal ini dapat dibaca sebagai pelemahan Indonesia di bidang pertahanan yang akan mengancam keamanan dan kedaulatan negara RI. Disisi yang lain Indonesia akan kehilangan pendapatan dari fee penerbangan yang melintas di wilayah udara Indonesia karena

fee ini akan masuk ke negara lain (Singapure) meskipun pesawat suatu negara melewati ruang udara Indonesia.

Sebagai negara kelautan (dalam hal ini Indonesia) membawa konsekuensi dalam penyediaan Archipelagic Sea Lane Passage

atau kemudian kita sebut sebagai Alur Laut Kepulauan dan rute penerbangan di atasnya, untuk perlintasan kapal laut maupun pesawat terbang asing. Hal demikian

       58

(28)

diatur dalam pasal 53 konvensi PBB tentang Hukum laut 1982/ UU Nomor 17 Tahun 1985.

Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) adalah Alur laut yang ditetapkan sebagai alur untuk pelaksanaan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan berdasarkan konvensi hukum laut internasional. Alur ini merupakan alur untuk pelayaran dan penerbangan yang dapat dimanfaatkan oleh kapal atau pesawat udara asing diatas laut tersebut untuk dilaksanakan pelayaran dan penerbangan damai dengan cara normal. Penetapan ALKI dimaksudkan agar pelayaran dan penerbangan internasional dapat terselenggara secara terus menerus, langsung dan secepat mungkin serta tidak terhalang oleh perairan dan ruang udara teritorial Indonesia. ALKI ditetapkan untuk menghubungkan dua perairan bebas, yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Semua kapal dan pesawat udara asing yang mau melintas ke utara atau ke selatan harus melalui ALK.59

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2002 Tentang Alur Laut Kepulauan Indonesia mengatur hak dan kewajiban kapal dan pesawat udara asing dalam melaksanakan hak lintas alur laut kepulauan :

1) Pesawat udara asing yang melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan harus melintas secepatnya melalui atau terbang di atas alur laut kepulauan dengan cara normal, semata-mata untuk melakukan transit yang terus-menerus, langsung, cepat, dan tidak terhalang.

2) Pesawat udara asing yang melaksanakan lintas alur laut kepulauan, selama melintas tidak boleh menyimpang lebih dari 25 (dua puluh lima) mil laut ke       

59

(29)

kedua sisi dari garis sumbu dari 25 (dua puluh lima) mil laut ke kedua sisi dari garis sumbu alur laut kepulauan, dengan ketentuan bahwa kapal dan pesawat udara tersebut tidak boleh berlayar atau terbang dekat ke pantai kurang dari 10% (sepuluh per seratus) jarak antara titik-titik yang terdekat pada pulau-pulau yang berbatasan dengan alur laut kepulau-pulauan tersebut

3) Pesawat udara asing sewaktu melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan tidak boleh melakukan ancaman atau menggunakan kekerasan terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah, atau kemerdekaan politik Republik Indonesia, atau dengan cara lain apapun yang melanggar asas-asas Hukum Internasional yang terdapat dalam Piagam PBB.

4) Kapal perang dan pesawat udara militer asing, sewaktu melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan, tidak boleh melakukan latihan perang-perangan atau latihan menggunakan senjata macam apapun dengan mempergunakan amunisi.

5) Kecuali dalam keadaan force majeure atau dalam hal musibah, pesawat udara yang melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan tidak boleh melakukan pendaratan di wilayah Indonesia.

6) Pesawat udara asing yang melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan tidak boleh melakukan siaran gelap atau melakukan gangguan terhadap sistem telekomunikasi dan tidak boleh melakukan komunikasi langsung dengan orang atau kelompok orang yang tidak berwenang dalam wilayah Indonesia. 7) Pesawat udara asing, tennasuk kapal atau pesawat udara riset atau survey

(30)

boleh melakukan kegiatan riset kelautan atau survey hidrografi, baik dengan mempergunakan peralatan deteksi maupun peralatan pengambil contoh, kecuali telah memperoleh izin untuk hal itu.

8) Pesawat udara sipil asing yang melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan harus menaati dan menghormati peraturan udara yang ditetapkan oleh Organisasi Penerbangan Sipil Internasional mengenai keselamatan penerbangan.

Berdasarkan penetapan ADIZ yang dilakukan oleh Indonesia, hal ini kemudian menimbulkan permasalahan apabila dikaitkan dengan adanya penetapan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI). Pengaturan berkaitan dengan Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara Asing dalam melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan melalui Alur Laut Kepulauan yang telah ditetapkan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 2002. ALKI I yang meliputi Selat Sunda dan Selat Lombok yang telah diajukan kepada International Maritime Organization (IMO) overlapping dengan ADIZ Indonesia yang di sekitar atas udara sebagian kecil Sumatera Selatan, Jawa dan Madura, Bali, Lombok dan sebagian kecil Pulau Sumbawa. Sehingga dalam praktek penerapan ADIZ, Indonesia juga harus memperhatikan ketentuan yang berlaku terkait ALKI.

(31)

dejure oleh International Maritime Organization (IMO). Pun demikian dengan PP no. 37 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara Asing Dalam Melaksankan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan di alur laut kepulauan yang telah ditetapkan. Belum diterimanya penetapan ALKI oleh IMO ini, menyebabkan beberapa negara pengguna ALKI berpotensi untuk memanfaatkan celah hukum yang ada pada Pasal 53 (12) UNCLOS 1982 yaitu menggunaan alur laut dan rute penerbangan di atasnya yang biasa digunakan untuk navigasi internasional yang sifatnya sama dengan alur bebas yaitu tanpa izin dari negara pemilik kedaulatan.

(32)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Setelah melakukan pembahasan pada bab-bab terdahulu, dalam bab V penulis menyimpulkan hasil pembahasan guna menjawab dan mengidentifikasi permasalahan yang ada diantaranya adalah :

1. Pengaturan hukum udara internasional, yaitu Pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Internasional yaitu sumber-sumber hukum pada Hukum Internasional, dalam pasal tersebut yang menjadi sumber Hukum Internasional yaitu: Konvensi Paris 1919, Konvensi Chicago 1944Kebiasaan-kebiasaan Internasional, Prinsip -prinsip hukum yang diakui oleh bangsa beradab dan Yurisprudensi. 2. Penerapan Air Defence Identification Zone (ADIZ) dalam Konversi Paris

1919, yaitu ketentuan yang harus penuhi antara lain Flight Information Region (FIR) dan Upper Flight Information Region (UIR) di mana Pemberian pelayanan bagi penerbangan yang terjadi dalam lapisan sampai jarak ketinggian 20.000 kaki, sedangkan pemberian pelayanan bagi penerbangan yang terjadi dalam lapisan sampai pada jarak ketinggian di atas 20.000 kaki. 3. Pengaturan Air Defence Identification Zone (ADIZ) sebagai perwujudan

kedaulatan teritorial ditinjau dari Konvensi Paris 1919, Setiap negara berdaulat mempunyai wilayah kedaulatan yang dibatasi dengan batas daratan,

perairan yang meliputi laut teritorial yang berhadap-hadapan dengan negara

(33)

serta batas kedaulatan udara secara horisontal dan secara vertikal. Kedaulatan

udara secara vertikal belum ada kata sepakat secara internasional. Dalam

praktek batas kedaulatan udara tergantung dari kemampuan negara tersebut

untuk mempertahankan kedaulatannya.

B. Saran

Setelah mengemukakan kesimpulan, selanjutnya penulis menyampaikan saran sebagai berikut

1. Perlu adanya suatu organisasi/lembaga internasional seperti ICAO untuk penerbangan sipil yang khusus mengatur setiap hal mengenai ADIZ, sehingga kehadiran lembaga yang khusus mengatur ketentuan dan batasan yang jelas mengenai ADIZ sangat diperlukan untuk memberikan keadilan bagi setiap Negara yang ada.

2. Disarankan adanya revisi terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 2002, khususnya hal-hal yang terkait dengan hak dan kewajiban pesawat udara asing yang melintas di wilayah udara Alur Laut Kepulauan Indonesia.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penerapan program “Manajemen Bangsal” di asrama terhadap pencapaian nilai UHAP I mahasiswa semester II

Hasil observasi guru yang dilakukan peneliti pada kelas VII diperoleh skor 36 dari skor maksimal 40 dengan persentase rata-rata adalah 90%. Hasil observasi siswa

Dari hasil penelitian yang ada, secara umum dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara nilai aktivitas olahraga dengan tingkat stres siswa kelas XI

Wawancara ( Interview ) sering digunakan dalam penelitian, istilah ini menggambarkan sebuah teknik dalam melakukan pengumpulan data yang dilakukan dengan melaksanakan

alat-alat laboratorium yang akan digunakan dalam kegiatan praktikum. Diharapkan agar kedua pihak UNNES dan SD Negeri Kalibanteng Kidul 02 dapat. selalu menjalin

Pembiayaan musyarakah merupakan pembiayaan di mana terdapat perjanjian antara para pemilik dana atau modal untuk mencampurkan dana/modal mereka pada suatu usaha tertentu,

[r]

[r]