• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TERJADINYA AKTI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TERJADINYA AKTI"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TERJADINYA AKTIVITAS LUTEAL POST PARTUM BERKEPANJANGAN PADA SAPI PERAH

DENGAN PRODUKSI TINGGI YANG SECARA KLINIS SEHAT Judul Asli

Factors affecting the occurrence of postpartum prolonged luteal activity in clinically healthy high-producing dairy cows

Mojtaba Kafi, Abdolah Mirzaei, Amin Tamadon, Mehdi Saeb

Oleh

Yekhonya Rehuel Sidjabat 13/358755/KH/7974

Dosen Pembimbing :

Dr. drh. Surya Agus Prihatno, MP

BAGIAN REPRODUKSI DAN KEBIDANAN FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA

(2)

HALAMAN PENGESAHAN

MAKALAH MANDIRI KOASISTENSI REPRODUKSI

Terjemahan

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TERJADINYA AKTIVITAS LUTEAL POST PARTUM BERKEPANJANGAN PADA SAPI PERAH DENGAN

PRODUKSI TINGGI YANG SECARA KLINIS SEHAT

Disusun oleh: Yekhonya Rehuel Sidjabat

13/358755/KH/7974

Telah dipertahankan dalam Seminar Koasistensi Reproduksi pada tanggal dan diterima guna memenuhi sebagian persyaratan

untuk memperoleh derajat

DOKTER HEWAN

Dosen Pembimbing

(3)

Puji syukur kehadirat Tuhan YME yang telah melimpahkan rahmat-Nya,

sehingga penulis dapat menyelesaikan terjemahan yang berjudul “Faktor yang

mempengaruhi aktivitas luteal post partum berkepanjangan pada sapi perah dengan produksi tinggi yang secara klinis sehat”. Terjemahan ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar dokter hewan pada Koasistensi Reproduksi dan

Kebidanan di FKH UGM. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima

kasih kepada:

1. Dr. drh. Surya Agus Prihatno, MP. selaku Dosen pembimbing Koasistensi

Reproduksi dan Kebidanan yang telah banyak membantu dan

membimbing penulis dalam penyelesaian makalah terjemahan ini,

2. drh. Agung Budiyanto, MP., Ph.D selaku koordinator Koasistensi

Reproduksi dan Kebidanan FKH UGM Yogyakarta,

3. Staf laboratorium Reproduksi dan Kebidanan FKH UGM Yogyakarta,

4. Teman-teman kelompok A.13.01 dan semua pihak yang telah banyak

membantu penulis. Atas perhatian dan kerja samanya penulis

mengucapkan terima kasih.

Akhirnya penulis berharap semoga makalah terjemahan ini dapat

memberikan manfaat bagi pembaca.

Yogyakarta, April 2014

(4)

iv DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

KATA PENGESAHAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR TABEL ... vi

ABSTRAK ... vii

PENDAHULUAN ... 1

MATERI DAN METODE ... 3

2.1. Hewan ... 3

2.2. Produksi susu, BCS, dan pemeriksaan reproduksi ... 4

2.3. Analisis serum ... 4

2.4. Definisi ... 5

2.5. Parameter reproduksi ... 6

2.6. Analisis statistik ... 6

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 9

3.1. Produksi susu dan fase luteal berkepanjangan ... 9

3.2. Skor kondisi tubuh dan fase luteal berkepanjangan ... 10

3.3. Metabolit energi serum, progesteron, dan fase luteal berkepan- jangan ... 12

3.4. Parameter reproduksi dan fase luteal berkepanjangan ... 13

UCAPAN TERIMAKASIH ... 19

(5)

v

Halaman

Gambar 1. Mean (±SD) konsentrasi serum α-1 Glikoprotein asam (AGP, mg/mL) pada sapi perah produksi tinggi yang secara klinis sehat (●) atau pada sapi dengan fase luteal yang berkepanjangan (■) di berbagai interval waktu (minggu) setelah calving. ... 10

Gambar 2. Hubungan antara kategori puncak produksi susu (kg) dan kejadian (%) sapi perah produksi tinggi yang secara klinis sehat dengan fase luteal berkepanjangan (PLP).. ... 11

Gambar 3. Mean (± SD) produksi susu (a), skor kondisi tubuh (BCS, b), dan konsentrasi serum beta-hidroksibutirat (βHB, c) dan non-esterified fatty acid (NEFA, d) sapi perah berproduksi tinggi yang secara klinis sehat dengan aktivitas luteal normal (●) atau fase luteal yang berkepanjangan (■) di berbagai interval waktu setelah beranak.. ... 11

Gambar 4. Mean (± SD) konsentrasi serum progesteron (P4, ng/mL) dari sapi perah produksi tinggi yang secara klinis sehat dengan aktivitas luteal normal (●) atau fase luteal yang berkepanjangan (■) pada interval waktu yang berbeda (d) dari saat beranak.. ... 14

(6)

vi

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Mean ( SD) parameter hasil susu pada sapi perah produksi tinggi yang sehat secara klinis dengan aktivitas luteal normal (NLA; n=50) atau fase luteal diperpanjang (PLP; n=36)...

Tabel 2. Odds ratio dari variabel-variabel termasuk final logistic regression model untuk sapi perah produksi tinggi dengan fase luteal diperpanjang ...

12

(7)

vii

FAKTOR YANG MEMENGARUHI TERJADINYA AKTIVITAS LUTEAL BERKEPANJANGAN POST PARTUM PADA SAPI PERAH DENGAN

PRODUKSI TINGGI YANG SECARA KLINIS SEHAT

Yekhonya Rehuel Sidjabat

Tujuannya adalah mengetahui faktor risiko yang memengaruhi terjadinya fase luteal berkepanjangan (PLP) saat postpartum, dengan kondisi sehat secara klinis, pada sapi perah yang berproduksi tinggi. Pemeriksaan USG transrektal dari saluran reproduksi dilakukan dua kali seminggu, dari minggu ke-1 sampai ke-8 setelah melahirkan pada 151 sapi Holstein multipara laktasi yang sehat secara klinis (mean SD puncak produksi susu = 56.7 7.4 kg). Sampel serum dikumpulkan dua kali seminggu untuk mengukur progesteron dan setiap 2 minggu untuk mendeteksi ß-hydroxybutyrate (ßHB), dan α1-acid glikoprotein (AGP). Body Condition Score (BCS) tercatat mingguan setelah kelahiran. Berdasarkan profil serum progesteron, 52 (34,4%) sapi memiliki aktivitas ovarium normal (NLA), sedangkan 36 (23,8%) sapi memiliki fase luteal berkepanjangan (PLP), jenis yang paling umum dari pola abnormal aktivitas luteal. Selain itu, 63 ekor sapi dengan aktivitas luteal pendek, ovulasi pertama tertunda, atau sista ovarium diabaikan dari penelitian ini. Konsentrasi AGP serum, sebagai indikasi endometritis kronis postpartum, tidak berbeda (P > 0,05) antara sapi dengan NLA dan PLP. Kategori puncak produksi susu (kg) berkorelasi positif dengan kejadian (%) sapi dengan PLP (r = 0,87, P = 0,02). Selain itu, puncak produksi susu, hari puncak produksi susu, mean produksi susu (8 minggu dalam susu), dan produksi susu pada hari yang diharapkan terjadi luteolisis lebih tinggi (P < 0,05) pada sapi dengan PLP daripada NLA, dan sapi dengan PLP mengalami penurunan BCS (P = 0,007) dibandingkan dengan NLA. Kemungkinan sapi dengan PLP mengalami penurunan sebesar 0,9 kali lipat untuk setiap 1 hari keterlambatan dimulainya aktivitas luteal (C-LA). Selain itu, kemungkinan sapi dengan PLP mengalami peningkatan 1,8 kali lipat untuk setiap kenaikan 1 mmol/L dalam 1 minggu pertama konsentrasi serum ßHB. Kesimpulannya, rata-rata produksi susu yang lebih tinggi, penurunan BCS yang lebih besar, C-LA dini, dan kemudian puncak produksi susu adalah faktor risiko utama yang memengaruhi terjadinya PLP postpartum pada sapi perah yang secara klinis sehat dan berproduksi tinggi.

©2012 Elsevier Inc. All rights reserved.

(8)

1

PENDAHULUAN

Sapi perah yang berproduksi tinggi telah dipilih untuk menghasilkan lebih

banyak susu, sebagian besar melalui kemampuan mereka untuk memobilisasi

lemak dan otot untuk mendukung produksi susu di awal laktasi. Hal ini

menyebabkan menurunnya Body Condition Score (BCS) dan berhubungan dengan

perubahan dalam metabolit dan profil hormon darah, yang pada gilirannya

memengaruhi kesuburan [1,2]. Meskipun kembalinya aktivitas siklik ovarium

yang normal merupakan hal yang sangat penting, hal itu mungkin terkait dengan

aktivitas luteal abnormal. Dalam studi sebelumnya, berdasarkan air susu yang

dihasilkan atau konsentrasi serum progesteron (P4), negative energy balance (NEB) dikaitkan dengan kejadian yang lebih besar dari pola aktivitas luteal

postpartum yang tidak teratur [3-7]. Penyimpangan ini terdiri dari ovulasi pertama

yang tertunda [8], fase luteal berkepanjangan (PLP), fase luteal pendek [8,9], dan

sista ovarium [10].

Faktor predisposisi seperti NEB yang lebih besar, infeksi uterus, heat stress,

nutrisi, dan latar belakang genetik dapat meningkatkan terjadinya pola aktivitas

luteal abnormal pada sapi postpartum [4,7,11,12]. Faktor yang berkontribusi

mungkin kurangnya estrogenik folikel dominan pada waktu yang diharapkan

terjadinya regresi luteal [13]. Estradiol dari folikel dominan diyakini akan

menginduksi pembentukan reseptor oksitosin uterus, menyebabkan pelepasan

bertahap prostaglandin F2α (PGF2α) [14 -16]. Banyak faktor yang telah diusulkan

(9)

kesehatan selama bulan pertama laktasi, heat stress, dan mungkin ovulasi dini setelah melahirkan [9].

Terjadinya PLP dikaitkan dengan gangguan puerperal uterus seperti

metritis, pyometra, dan endometritis klinis [9,17-19]. Selain itu, Horadagoda et al

[20] melaporkan bahwa dapat juga berhubungan dengan fase akut protein dalam

sapi dengan peradangan, serum amiloid A, dan kenaikan haptoglobin dalam

kasus-kasus akut. Sebaliknya, dalam kasus kronis, α1 acid glikoprotein (AGP)

lebih mungkin meningkat. Pada kelahiran dan selama periode segera setelah itu,

ketika involusi uterus terjadi dan eliminasi kontaminan bakteri, AGP darah

meningkat [21].

Oleh karena itu, kami sengaja memilih sapi perah post-partum yang secara

klinis sehat di sebuah peternakan yang dikelola dengan baik untuk menghindari

efek buruk dari penyakit uterus klinis saat kembalinya aktivitas ovarium. Ini

memberikan kita kemungkinan untuk mempelajari faktor-faktor lain yang

memengaruhi terjadinya PLP pada sapi perah yang berproduksi tinggi. Tujuan

dari penelitian ini adalah untuk mengkarakterisasi faktor risiko yang memengaruhi

terjadinya fase luteal berkepanjangan dalam periode postpartum pada sapi perah

(10)

3

MATERI DAN METODE

The Committee for Animal Experiments of Shiraz University menyetujui metode eksperimental.

2.1. Hewan

Penelitian ini dilakukan dari Juli hingga September 2005 dan Februari

2008 sampai Mei 2009 pada 151 sapi Holstein yang terdaftar di peternakan

Nemoneh dari Astan e Ghods di Mashad (lintang 36°20’ N dan bujur 59°35’ E,

980 m di atas permukaan laut), di timur laut Iran. Sepanjang tahun, sapi berada di

bawah struktur beratap (free-stall barns) dengan sisi terbuka (zero-grazzing

system), dengan washed sand untuk bedding, dan diberi total ransum campuran), disusun sesuai dengan NRC 2001. Ransum yang diberikan terutama alfalfa, silase

jagung, beet pulp, biji kapas, kedelai, jagung, dan barley. Sapi yang diteliti adalah

non-musiman, dengan sepanjang tahun dapat beranak. Sapi-sapi diperah dengan

mesin tiga kali sehari. Hanya sapi yang sehat, bebas dari deteksi gangguan

reproduksi dan penyakit klinis selama interval dari minggu ke-1 hingga ke-9

setelah melahirkan, yang digunakan. Pengecualian kriteria adalah gangguan

termasuk distokia, retensi plasenta (selaput janin ditahan lebih dari 24 jam setelah

melahirkan), endometritis dengan jelas terdeteksi, metritis, mastitis, leleran

abnormal dari organ genital, dan penyakit metabolik (misalnya, hipokalsemia

(11)

2.2. Produksi susu, BCS, dan pemeriksaan reproduksi

Produksi susu tercatat mingguan sampai minggu ke-9 postpartum. BCS

(skala 1-5 dengan kenaikan 0,25) tercatat mingguan sampai minggu ke-8

postpartum [22]. Transrektal ultrasound scanning dari saluran reproduksi dilakukan dua kali seminggu (3 hari terpisah) dari 1 sampai 8 minggu postpartum

untuk menentukan kondisi ovarium. A real-time B-mode ultrasound scanner (Ultra Scan 900, Ami, Medical Alliance Inc, Montreal, QC, Canada) dilengkapi

dengan 5 MHz, linear-array transducer digunakan. Semua struktur yang terlihat pada ovarium dicatat. CL dewasa mudah dideteksi karena perbatasanya terlihat

dengan jelas dan memiliki echotexture khas [23]. Palpasi transrektal uterus dan pemeriksaan visual vagina dilakukan untuk mendeteksi leleran yang abnormal.

2.3. Analisis serum

Sampel darah diambil dari semua sapi, dua kali seminggu dari 1 sampai 8

minggu postpartum, untuk menentukan konsentrasi serum P4, β-hidroksibutirat

(βHB), non-esterified fatty acid (NEFA), dan α1-asam glikoprotein (AGP). Serum

dipisahkan dengan sentrifugasi (10 menit pada 3.000 X g) dan disimpan pada

-22°C sampai diuji.

Konsentrasi serum P4 ditentukan dua kali seminggu menggunakan

radioimmunoassay kit komersial yang tervalidasi (Immunotech kit, Marseille France). Koefisien intra dan variasi inter-assay (CV) dari tes adalah 5,8 dan 9,0 %, masing-masing. Sensitivitas tes adalah 0,05 ng/mL dan tingkat pemulihan

assay berkisar 85-110%. Serum βHB dan konsentrasi NEFA ditentukan setiap 2

(12)

5

Crumlin, Antrim, UK), masing-masing. Konsentrasi serum AGP diukur setiap 2

minggu oleh imunodifusi radial tunggal, menggunakan kit komersial yang tersedia

(TRIDELTA Development Ltd, Maynooth, County Kildare, Irlandia). Menurut

petunjuk, standar yang tinggi (A: 1.000 µg/mL) dan rendah (B : 250 µg/mL)

terdapat pada setiap gel. Pelat diinkubasi selama 24 jam, dimana diameter cincin

precipitin diukur dengan menggunakan skala pengukuran cincin precipitin.

Diameter dari dua standar digunakan untuk membuat referensi kurva. Interassay CV standar pada 14 gel < 1 % untuk A (9,0 mm) dan B (5,6 mm). Dari kurva

referensi, konsentrasi AGP masing-masing sampel uji murni dihitung. Ukuran

dari sampel serum presipitasi cincin adalah antara dua standar.

2.4. Definisi

Sapi dengan konsentrasi serum P4 ≥ 1 ng / mL pada pada setidaknya dua

sampling darah berturut-turut yang dianggap memiliki aktivitas luteal [24]. Hari

pertama kenaikan progesteron didefinisikan sebagai hari dimulainya aktivitas

luteal (C-LA). Sapi diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok, berdasarkan

karakteristik profil P4 mereka:

1) Kembalinya aktivitas luteal normal (NLA): ovulasi terjadi ≤ 45 hari

setelah beranak, diikuti oleh aktivitas luteal yang berlangsung 10 sampai 19 hari

[5,25].

2) fase luteal berkepanjangan (PLP): jika ovulasi terjadi kurang dari 45

hari setelah melahirkan, dengan satu atau lebih siklus ovarium saat aktivitas luteal

(13)

Sapi yang menunjukkan pola-pola aktivitas luteal postpartum abnormal,

termasuk aktivitas luteal pendek, ovulasi pertama tertunda, dan sista ovarium

[4,7,8] tidak digunakan dari penelitian ini.

2.5. Parameter reproduksi

Performa reproduksi sapi di masa sekarang dievaluasi dengan

menggunakan parameter berikut; interval waktu beranak sampai inseminasi

pertama (hari dari melahirkan hingga inseminasi pertama), interval waktu

melahirkan sampai konsepsi (hari dari melahirkan sampai konsepsi seperti yang

didefinisikan oleh deteksi kebuntingan berdasarkan USG transrektal pada 40 hari

setelah inseminasi), dan inseminasi per konsepsi (jumlah inseminasi yang

diperlukan untuk mencapai satu kali kebuntingan).

2.6. Analisis Statistik

Korelasi kategori puncak produksi susu dengan kejadian sapi perah yang

berproduksi tinggi dengan PLP dianalisis dengan korelasi Pearson. Selain itu,

regresi linier dilakukan untuk menghitung efek kategori puncak produksi susu

pada sapi dengan kejadian PLP.

Dengan rata-rata yang diamati, perubahan produksi susu, BCS, metabolit

energi serum (ßHB dan NEFA), P4, dan konsentrasi AGP di sapi dengan dua pola

aktivitas luteal ditentukan, interaksi yang lebih tinggi dianalisis dengan ANOVA

untuk kemudian diulang menggunakan prosedur GLM dari SPSS (SPSS for

Windows, Version 11.5, SPSS Inc, Chicago, IL, USA). Perbedaan antara rata-rata

susu yang dihasilkan dari minggu ke-2 sampai ke-7 postpartum, BCS dari minggu

(14)

7

minggu ke-5 postpartum dan konsentrasi metabolit energi serum (ßHB dan

NEFA) minggu ke-1 sampai minggu ke-7 postpartum pada NLA dan PLP

dianalisis dengan ANOVA satu arah.

Efek yang mungkin dari faktor risiko pada PLP dieksplorasi menggunakan

analisis regresi logistik. Data dari sapi dengan NLA digunakan sebagai referensi.

Data dari masing-masing kelompok aktivitas luteal dibandingkan dengan analisis

regresi logistik, menggunakan aktivitas luteal sebagai variable dependen (0

menunjukkan NLA dan 1 menunjukkan PLP) dan rata-rata dari puncak produksi

susu dan minggu dari puncak produksi susu, mean dari produksi susu (2 hingga 8

minggu postpartum), BCS (2 dan 3 minggu postpartum), konsentrasi serum ßHB

(1 dan 3 minggu postpartum), paritas, periode eksperimental, hari C-LA, dan

produksi susu pada hari yang diharapkan terjadinya luteolisis (hari C-LA+16 hari)

sebagai faktor independen. Mean untuk puncak produksi susu, puncak minggu

produksi susu, dan produksi susu menyatakan variabel kelas. Empat kelas puncak

produksi susu didefinisikan (< 40, 40-50, 50-60, dan > 60 kg) dan 4 minggu kelas

puncak produksi susu didefinisikan (1, 2, 3, dan 4 minggu postpartum). Akhirnya,

tiga kelas produksi susu rata-rata didefinisikan (< 40, 40-50, dan > 50 kg).

Analisis regresi dilakukan sesuai dengan metode Hosmer dan Lemeshow

[27]. Faktor risiko potensial yang terpilih yang kemudian mengalami stepwise

logistic regression dengan pendekatan swapping dan backward elimination yang hirarkis. Nilai P untuk data inklusi dan eksklusi yang ditetapkan sebesar 0,05 dan

(15)

pendekatan memasuki akhir rasio yang dimungkinkan (LR), di mana odds ratio akhir diperkirakan dengan interval kepercayaan 95%.

Perbandingan untuk dimulainya kegiatan luteal, panjang siklus estrus

pertama, dan inseminasi per konsepsi dilakukan antara sapi dengan NLA dan PLP

menggunakan uji Mann-Whitney. Uji Tabel Kehidupan digunakan untuk

membandingkan calving interval pada inseminasi pertama dan membandingkan calving interval antara sapi dengan NLA vs PLP. Semua sapi diinseminasi oleh 160 DIM. Sapi yang tidak bunting oleh 300 DIM atau dimusnahkan, disensor

dalam analisis waktu untuk konsepsi. Hari median untuk inseminasi pertama atau

konsepsi diperoleh dengan uji Kaplan-Meier. Survival plot dihasilkan menggunakan pilihan survival option dari GraphPad Prism version 5.01 for Windows (GraphPad software Inc, San Diego, CA, USA). Semua data yang

ditampilkan sebagai mean ( SD) atau median (range), dan nilai probabilitas P

(16)

9

HASIL DAN PEMBAHASAN

Mean (SD) puncak produksi susu (9 minggu postpartum) adalah 56,7

7,4 kg. Lima puluh dua dari 151 (34,4%) sapi memiliki pola NLA postpartum,

sedangkan 36 dari 151 (23,8 %) memiliki pola PLP postpartum abnormal, yang

merupakan tipe paling umum dari pola aktivitas luteal abnormal. Enam puluh tiga

ekor sapi dengan pola aktivitas luteal postpartum lainnya diabaikan pada

penelitian ini. Median dan jangkauan paritas sapi dengan PLP mirip dengan sapi

dengan NLA (2 dan 2 sampai 6 vs 3 dan 2 sampai 8 tahun; P = 0.134,

masing-masing). Panjang siklus pertama sapi dengan NLA kurang dari sapi dengan PLP

(median dan kisaran 15 dan 11-22 vs 28 dan 21-38 hari, masing-masing, P =

0,001). Konsentrasi serum AGP tidak berbeda antara sapi perah yang berproduksi

tinggi dengan NLA dan PLP selama 1 sampai 5 minggu postpartum (P > 0,05, Gb.

1).

3.1. Produksi susu dan fase luteal berkepanjangan

Puncak pada kategori produksi susu (kg) berkorelasi positif dengan

kejadian (%) sapi perah berproduksi tinggi dengan PLP (r = 0,87, P = 0,02;

Gambar 2). Selain itu, peningkatan produksi susu pada sapi dengan PLP lebih

tinggi dibandingkan dengan NLA (P = 0,01; Gb. 3a). Hasil rata-rata susu sapi

dengan PLP lebih tinggi dari sapi dengan NLA pada 4 (P = 0,04), 6 (P = 0,004),

dan 8 (P = 0,001) minggu postpartum. Rata-rata dari puncak produksi susu (kg; P

= 0,003), hari puncak produksi susu (P = 0,02), rata-rata produksi susu (8 minggu

(17)

luteolysis (kg; P = 0,007) pada sapi dengan PLP lebih tinggi daripada sapi dengan

NLA (Tabel 1).

Analisis regresi logistik menunjukkan efek signifikan pada parameter

produksi susu pada kemungkinan sapi dengan PLP. Sapi dengan produksi susu

rata-rata 40-50 kg memiliki kemungkinan PLP lebih rendah ( OR = 0.085, P <

0,01) dibandingkan dengan referensi (> 50 kg) kategori (Tabel 2).

Gambar. 1. Mean (±SD) konsentrasi serum α-1 Glikoprotein asam (AGP, mg/mL) pada sapi perah produksi tinggi yang secara klinis sehat (●) atau pada sapi dengan fase luteal yang berkepanjangan (■) di berbagai interval waktu (minggu) setelah calving.

3.2. Skor kondisi tubuh dan fase luteal berkepanjangan

Penurunan BCS pada sapi dengan PLP lebih tinggi dibandingkan sapi

dengan NLA (P = 0,007; Gb. 3b). BCS rata-rata pada sapi dengan PLP lebih

tinggi dibandingkan sapi dengan NLA dalam 2 (P = 0,01) dan 3 (P = 0,04)

(18)

11

Gb. 2. Hubungan antara kategori puncak produksi susu (kg) dan kejadian (%) sapi perah produksi tinggi yang secara klinis sehat dengan fase luteal berkepanjangan (PLP).

Gb. 3. Mean (± SD) produksi susu (a), skor kondisi tubuh (BCS, b), dan konsentrasi serum beta-hidroksibutirat (βHB, c) dan non-esterified fatty acid (NEFA, d) sapi perah berproduksi tinggi yang secara klinis sehat dengan aktivitas luteal normal (●) atau fase luteal yang berkepanjangan (■) di berbagai interval waktu setelah beranak.

(19)

3.3. Metabolit energi serum, progesteron, dan fase luteal berkepanjangan

Penurunan konsentrasi serum βHB pada sapi dengan PLP lebih tinggi dari

NLA (P = 0,01; Gb. 3c). Rata-rata konsentrasi serum βHB pada sapi dengan PLP

lebih tinggi dari pada sapi dengan NLA dalam 1 (P = 0,003), 3 (P = 0,002), dan 5

(P = 0,003) minggu postpartum. Kemungkinan sapi dengan PLP meningkat

sebesar 1,8 kali lipat untuk setiap kenaikan 1 mmol / L dalam konsentrasi serum

βHB di 1 minggu postpartum (P = 0,03; Tabel 2).

Tabel 1

Mean ( SD) parameter hasil susu pada sapi perah produksi tinggi yang sehat secara klinis dengan aktivitas luteal normal (NLA; n=50) atau fase luteal diperpanjang (PLP; n=36).

Parameter Aktivitas luteal post partum Nilai-P

NLA PLP

Produksi susu saat hari yang

diharapkan terjadinya luteolisis (kg)*

45.2 9.5 50.6 7.3 0.007

Puncak produksi susu (kg) 48.4 7.8 53.6 7.2 0.003

Hari saat puncak produksi susu 19.0 6.9 22.6 6.8 0.02

Mean produksi susu (8 minggu dalam

susu; kg)

44.1 8.1 49.0 6.6 0.004

*Hari yang diharapkan terjadinya luteolisis dihitung sebagai 16 hari setelah dimulainya aktivitas luteal

Tidak ada perbedaan dalam konsentrasi serum dari NEFA antara NLA dan

PLP selama 1 sampai 7 minggu postpartum (P > 0,05; Gb. 3d). Mean serum

konsentrasi NEFA di sapi dengan PLP lebih tinggi dibandingkan sapi dengan

NLA pada 5 minggu postpartum (P = 0,03).

Peningkatan konsentrasi serum P4 pada sapi dengan PLP lebih tinggi

(20)

13

dengan PLP lebih tinggi dibandingkan sapi dengan NLA 38-52 hari postpartum (P

< 0,05). Selain itu, sapi dengan PLP memiliki kegiatan luteal lebih awal

dibandingkan dengan sapi dengan NLA (median dan kisaran 29,5 dan 10-56 vs 24

dan 10-38 hari, masing-masing, P = 0,047). Lebih jauh lagi, kemungkinan sapi

dengan PLP menurun sebesar 0,9 kali lipat untuk setiap 1 hari penundaan C-LA

(P = 0,02; Tabel 2).

Tabel 2

Odds ratio dari variabel-variabel termasuk final logistic regression model untuk sapi perah produksi tinggi dengan fase luteal diperpanjang

Variabel Kelas Odds

ratio

Interval kepercayaan 95%

Nilai-P Mean dari produksi

susu (kg; 8 minggu dalam susu) < 40 40-50 > 50 0.083 0.085 Referensi

0.00–3.45 0.02–0.45

0.19 0.004 Puncak produksi susu (kg) < 40 40-50 50-60 > 60 0.276 1.141 0.182 Referensi

0.00–34.67 0.06–20.55 0.02–2.22

0.60 0.93 0.18

Puncak produksi susu (kg) x minggu saat puncak produksi susu Minggu ke-1 Minggu ke-2 Minggu ke-3 Minggu ke-4 1.026 0.978 1.030 Referensi

0.98–1.08 0.95–1.01 0.99–1.06

0.31 0.19 0.06

Hari dimulainya aktivitas luteal

Lanjutan 0.896 0.82–0.98 0.02

Minggu pertama konsentrasi serum ßHB (mmol/L)

Lanjutan 1.803 1.07–3.03 0.03

Paritas Lanjutan 1.620 0.90–2.91 0.11

Backward likelihood ratio test = 40.74, 9 df, P = 0.0001; Hosmer dan Lemeshow goodness-of-fit test = 5.64, 8 df, P = 0.68; the model fits.

3.4. Parameter reproduksi dan fase luteal berkepanjangan

Sapi dengan PLP memiliki hari median yang lebih besar sampai interval

inseminasi (60,5 vs 52,5 hari, masing masing; P = 0,05; Gb. 5a) dan hari-hari

rata-rata konsepsi (137,5 vs 94,5 hari, masing-masing; P = 0,01; Gb. 5b) dibandingkan

(21)

sapi dengan PLP mirip dengan sapi dengan NLA (2 dan 1 sampai 5 vs 2 dan 1

sampai 7; P = 0.33, masing-masing).

Gb. 4. Mean (± SD) konsentrasi serum progesteron (P4, ng/mL) dari sapi perah produksi tinggi yang secara klinis sehat dengan aktivitas luteal normal (●) atau fase luteal yang berkepanjangan (■) pada interval waktu yang berbeda (d) dari saat beranak.

*Perbedaan (P < 0,05) antara aktivitas luteal normal dan berkepanjangan selama seminggu ditunjukkan

Insiden PLP (23,8 %) adalah pola aktivitas luteal abnormal yang paling

umum pada sapi perah berproduksi tinggi yang sehat secara klinis. Konsisten

dengan temuan kami, kejadian PLP pada sapi perah pada studi sebelumnya adalah

28,3% [28] dan 20% [8]. Yimer et al [29] melaporkan bahwa kejadian PLP lebih

tinggi pada sapi perah dibandingkan sapi potong (26,7 vs 0 %). Dalam penelitian

lain, kejadian PLP pada sapi silangan potong dan perah adalah 11% [30], dan pada

sapi potong yang sedang laktasi 3% [31]. Selain itu, kejadian PLP menjadi lebih

tinggi pada produksi susu yang meningkat pada sapi perah berproduksi tinggi

yang sehat secara klinis. Hommeida et al [28] melaporkan produksi susu yang lebih besar pada sapi dengan PLP. Selain itu, puncak produksi susu, hari puncak

(22)

15

terjadi luteolysis pada sapi dengan PLP lebih tinggi dibandingkan sapi dengan

NLA. Sejauh mana efek ini memiliki dasar genetik masih belum jelas. Royal et al

[32] melaporkan bahwa PLP yang terjadi pada siklus pertama adalah mungkin

diturunkan (0,13), namun disimpulkan bahwa ada efek fenotipik dari produksi

susu pada kejadian PLP.

Kemungkinan sapi dengan PLP menurun sebesar 0,9 kali lipat untuk

setiap 1 hari penundaan C-LA selama 45 hari postpartum pada sapi perah

berproduksi tinggi yang sehat secara klinis. Umumnya C-LA terjadi lebih awal

pada sapi perah dibandingkan sapi potong [33]. Friggens et al [34] melaporkan bahwa lebih dari 25% dari sapi memiliki PLP, yang konsisten dengan insiden

yang lebih tinggi dari C-LA dini. Sapi mengalami interval yang lebih pendek

untuk C-LA lebih mungkin untuk mengalami fase luteal pertama yang

diperpanjang [32,35-37]. Selain itu, C-LA adalah faktor risiko untuk PLP pada

sapi perah [9,30,38,39]. Kafi dan Mirzaei [5] menyarankan bahwa ovulasi dini

(dan merupakan awal C-LA) di samping produksi susu tinggi, dapat

(23)

Gb. 5. Kurva survival waktu untuk inseminasi pertama (a) dan waktu untuk konsepsi (b) pada sapi dengan aktivitas luteal normal (n = 52; garis utuh) atau fase luteal berkepanjangan (n = 36; garis putus-putus).

Ketika ovulasi terjadi sebelum uterus mengeluarkan semua eksudat dan

debris, pertumbuhan tinggi bakteri seperti Arcanobacterium pyogenes terjadi, dan

CL dipertahankan untuk interval yang lama [40,41]. Sebuah respon purulen

eksudatif dihasilkan dalam endometrium, dan kemampuan uterus untuk

memproduksi atau melepaskan PGF2 cukup dikompromikan [40,42]. Meskipun

abnormalitas uterus dapat menyebabkan PLP [9,17], sapi perah berproduksi tinggi

yang sehat secara klinis pada penelitian ini, konsentrasi serum AGP sebagai

indikasi peradangan kronis postpartum seperti endometritis [21] tidak berbeda

antara sapi dengan NLA dan sapi dengan PLP selama 1 sampai 5 minggu

postpartum.

Ada indikasi peningkatan kejadian PLP pada sapi perah dalam penelitian

ini, juga seperti penelitian lain [25,39]. Mekanisme fisiologis tertentu yang

mungkin memengaruhi produksi susu yang lebih tinggi untuk insiden yang lebih

(24)

17

tidak memadai dilaporkan untuk dihubungkan dengan PLP [43]. Selain itu,

peningkatan konsumsi bahan kering yang terkait dengan produksi susu tinggi dan

peningkatan resultan pada waktu pengeluaran volume cairan biologis yang secara

total dari metabolisme mengurangi konsentrasi estradiol plasma [44-46], sehingga

menunda luteolysis [47]. Peningkatan produksi susu telah dikaitkan dengan

peningkatan aliran darah di hati dan pembersihan metabolisme hormon steroid

[44].

Sebaliknya, infeksi uterus postpartum mungkin berkontribusi untuk

kematian awal CL [48]. Selain itu, CL pertama pada sapi dengan penyakit uterus

mengeluarkan lebih sedikit P4 dibandingkan pada hewan normal [49]. Kaneko

dan Kawakami [50] melaporkan bahwa infusi A. pyogenes ke dalam uterus

menyebabkan regresi luteal; akibatnya, gelombang folikel dominan pertama, yang

biasanyamenjadi atresia, berovulasi pada setengah dari sapi yang terkena infusi A.

pyogenes. Namun, CL tidak regresi pada sapi sisanya, dan mekanisme penentuan

nasib CL masih belum jelas. Umur dari CL diatur oleh sekresi PGF2 dan

prostaglandin E2 (PGE2) dari endometrium, dengan yang terakhir terdapat peran

luteotrophik [51]. Kaneko dan Kawakami [52] menunjukkan bahwa A. pyogenes dalam uterus memiliki potensi untuk merangsang pelepasan PGs dan menginduksi

ovulasi. Sehubungan dengan peristiwa itu, PGF2 memainkan peran lebih penting

daripada PGE2, dan peningkatan rasio PGF2 , daripada jumlah absolut, dapat

memutuskan nasib CL [52]. Dalam penelitian ini, konsentrasi serum P4 pada sapi

(25)

terjadinya PLP pada sapi perah berproduksi tinggi yang sehat secara klinis tidak

terkait dengan infeksi uterus.

Meskipun strategi pemberian pakan tidak berpengaruh pada kejadian

PLP [53], dalam penelitian ini, penurunan BCS pada sapi yang secara klinis sehat

dengan PLP lebih tinggi daripada NLA. Konsisten dengan temuan kami,

Hommeida et al [28] melaporkan penurunan yang lebih besar dari BCS pada sapi

dengan PLP. Selain itu, kemungkinan sapi yang secara klinis sehat dengan PLP

meningkat 1,8 kali lipat untuk setiap 1 mmol/L peningkatan konsentrasi serum

ßHB pada minggu pertama. Folikel pada sapi juga dipengaruhi NEB dan

dilaporkan berukuran lebih kecil dan menghasilkan lebih sedikit estrogen [54].

Namun, beberapa studi telah menunjukkan bahwa PLP tidak terkait dengan

gangguan reproduksi klinis yang jelas [8,42].

Sapi perah berproduksi tinggi yang sehat secara klinis dengan PLP

memiliki interval antara beranak sampai inseminasi pertama lebih besar

dibandingkan dengan NLA. Namun, pada sapi dengan NLA mengalami sedikit

penundaan ovulasi, mereka adalah sapi yang berproduksi tinggi. Selain itu,

interval waktu beranak sampai konsepsi diperpanjang pada sapi dengan PLP.

Martin et al [30] melaporkan bahwa PLP berhubungan positif dengan peningkatan

waktu days open. Selain itu, tingkat permintaan inseminasi buatan yang tinggi, tingkat konsepsi, dan angka kebuntingan antara 44 dan 100 hari postpartum

dilaporkan pada sapi perah dengan siklus ovarium yang normal dalam 44 hari

(26)

19

waktu ovulasi pertama pada sapi perah berproduksi tinggi yang sehat secara klinis

dengan NLA mengurangi interval untuk inseminasi pertama dan konsepsi.

Sebagai kesimpulan, rata-rata produksi susu yang lebih tinggi, penurunan

BCS yang lebih besar, aktivitas luteal postpartum yang lebih awal, dan kemudian

puncak produksi susu adalah faktor risiko utama yang memengaruhi terjadinya

aktivitas luteal postpartum berkepanjangan pada sapi perah berproduksi tinggi

(27)

20

Para penulis berterima kasih kepada staf pertanian di Nemoneh farm e Ghods Astan untuk kerjasama yang baik. Penelitian ini didukung secara finansial oleh hibah no. 8611834 dari Iran National Science Foundation and the Center of

(28)

37

DAFTAR PUSTAKA

[1] Pryce JE, Coffey MP, Simm G. The relationship between body condition score and reproductive performance. J Dairy Sci 2001;84:1508 –15.

[2] Wathes DC, Fenwick M, Cheng Z, Bourne N, Llewellyn S, Morris DG, Kenny D, Murphy J, Fitzpatrick R. Influence of negative energy balance on cyclicity and fertility in the high producing dairy cow. Theriogenology 2007;68:S232– 41.

[3] Tamadon A, Kafi M, Saeb M, Mirzaei A, Saeb S. Relationships between insulin-like growth factor-I, milk yield, body condition score, and postpartum luteal activity in high-producing dairy cows. Trop Anim Health Prod 2010;43:29 –34.

[4] Mirzaei A, Kafi M, Ghavami M, Mohri M, Gheisari HR. Ovarian activity in high and average producing Holstein cows under heat stress conditions. Comp Clin Path 2007;16:235– 41.

[5] Kafi M, Mirzaei A. Effects of first postpartum progesterone rise, metabolites, milk yield and body condition score on the subsequent ovarian activity and fertility in lactating Holstein dairy cows. Trop Anim Health Prod 2010;42:761–7.

[6] Gautam G, Nakao T, Yamada K, Yoshida C. Defining delayed resumption of ovarian activity postpartum and its impact on subsequent reproductive performance in Holstein cows. Theriogenology 2010;73:180 –9.

[7] Shrestha HK, Nakao T, Higaki T, Suzuki T, Akita M. Resumption of postpartum ovarian cyclicity in high-producing Holstein cows. Theriogenology 2004;61:637– 49.

[8] Opsomer G, Coyyn M, Deluyker H, de Kruif A. An analysis of ovarian dysfunction in high yielding dairy cows after calving based on progesterone profiles. Reprod Domest Anim 1998;33: 193–204.

[9] Opsomer G, Gröhn YT, Hertl J, Coryn M, Deluyker H, de Kruif A. Risk factors for post partum ovarian dysfunction in high producing dairy cows in Belgium: A field study. Theriogenology 2000;53:841–57.

(29)

[11] McCoya MA, Lennoxa SD, Maynea CS, McCaugheya WJ, Edgara HWJ, Catneya DC, Vernera M, Mackeya DR, Gordona AW. Milk progesterone profiles and their relationship with fertility, production and disease in dairy cows in Northern Ireland. Anim Sci 2006;82:213–22.

[12] Weigel KA. Prospects for improving reproductive performance through genetic selection. Anim Reprod Sci 2006;96:323–30.

[13] Wiltbank MC, Gümen A, Sartori R. Physiological classification of anovulatory conditions in cattle. Theriogenology 2002;57: 21–52.

[14] Knickerbocker JJ, Thatcher WW, Foster DB, Wolfenson D, Bartol FF, Caton D. Uterine prostaglandin and blood flow responses to estradiol-17[beta] in cyclic cattle. Prostaglandins 1986;31:757–76.

[15] Thatcher WW, Macmillan KL, Hansen PJ, Drost M. Concepts for regulation of corpus luteum function by the conceptus and ovarian follicles to improve fertility. Theriogenology 1989;31: 149–64.

[16] McCracken JA, Custer EE, Lamsa JC. Luteolysis: A neuroendocrine-mediated event. Physiol Rev 1999;79:263–323.

[17] Mateus L, Costa LL, Bernardo F, Silva JR. Influence of puerperal uterine infection on uterine involution and postpartum ovarian activity in dairy cows. Reprod Domest Anim 2002;37: 31–5.

[18] Shrestha HK, Nakao T, Suzuki T, Akita M, Higaki T. Relationships between body condition score, body weight, and some nutritional parameters in plasma and resumption of ovarian cyclicity postpartum during pre-service period in high-producing dairy cows in a subtropical region in Japan. Theriogenology 2005;64:855– 66.

[19] Sheldon IM, Wathes DC, Dobson H. The management of bovine reproduction in elite herds. Vet J 2006;171:70–8.

[20] Horadagoda NU, Knox KMG, Gibbs HA, Reid SWJ, Horadagoda A, Edwards SER, Eckersall PD. Acute phase proteins in cattle: discrimination between acute and chronic inflammation. Vet J 1999;144:437– 41.

[21] Sheldon M, Noakes DE, Rycroft A, Dobson H. Acute phase protein responses to uterine bacterial contamination in cattle after calving. Vet Rec 2001;148:172–5.

(30)

39

[23] Hanzen CH, Pieterse M, Scenczi O, Drost M. Relative accuracy of the identification of ovarian structures in the cow by ultrasonography and palpation per rectum. Vet J 2000;159:161–70.

[24] Stevenson JS. Clinical reproductive physiology of the cow. In: Younquist RS (ed), Current Therapy in Large Animal Theriogenology. Philadelphia: WB Saunders, 1997;257– 67.

[25] Shrestha HK, Nakao T, Suzuki T, Higaki T, Akita M. Effects of abnormal ovarian cycles during pre-service period postpartum on subsequent reproductive performance of high-producing Holstein cows. Theriogenology 2004;61:1559 –71.

[26] Lamming GE, Darwash AO. The use of milk progesterone profiles to characterise components of subfertility in milked dairy cows. Anim Reprod Sci 1998;52:175–90.

[27] Hosmer DW, Lemeshow S. Applied logistic regression. NewYork, USA: Wiley, 1989.

[28] Hommeida A, Nakao T, Kubota H. Onset and duration of luteal activity postpartum and their effect on first insemination conception rate in lactating dairy cows. J Vet Med Sci 2005;67: 1031–5.

[29] Yimer N, Rosnina Y, Wahid H, Saharee A, Yap K, Ganesamurthi P. Ovarian activity in beef and dairy cows with prolonged postpartum period and heifers that fail to conceive. Trop Anim Health Prod 2010;42:607–15.

[30] Martin A, Lystad M, Reksen O, Ropstad E, Waldmann A, Nafstad O, Karlberg K. Assessment of progesterone profiles and postpartum onset of luteal activity in spring calving Hereford beef suckler cattle. Acta Vet Scand 2010;52:42–50.

[31] Mann GE, Keatinge R, Hunter M, Hedley BA, Lamming GE. The use of milk progesterone to monitor reproductive function in beef suckler cows. Anim Reprod Sci 2005;88:169 –77.

[32] Royal MD, Pryce JE, Woolliams JA, Flint APF. The genetic relationship between commencement of luteal activity and calving interval, body condition score, production, and linear type traits in Holstein-Friesian dairy cattle. J Dairy Sci 2002;85: 3071–80.

(31)

[34] Friggens NC, Disenhaus C, Petit HV. Nutritional sub-fertility in the dairy cow: towards improved reproductive management through a better biological understanding. Animal 2010;4: 1197–213.

[35] Petersson KJ, Berglund B, Strandberg E, Gustafsson H, Flint APF, Woolliams JA, Royal MD. Genetic analysis of postpartum measures of luteal activity in dairy cows. J Dairy Sci 2007;90: 427–34.

[36] Horan B, Mee JF, O’Connor P, Rath M, Dillon P. The effect of strain of Holstein-Friesian cow and feeding system on postpartum ovarian function, animal production and conception rate to first service. Theriogenology 2005;63:950 –71.

[37] Pollott GE, Coffey MP. The effect of genetic merit and production system on dairy cow fertility, measured using progesterone profiles and on-farm recording. J Dairy Sci 2008;91:3649–60.

[38] Garmo RT, Martin AD, Thuen E, Havrevoll O, Steinshamn H, Prestlokken E, Randby A, Eknaes M, Waldmann A, Reksen O. Characterization of progesterone profiles in fall-calving Norwegian Red cows. J Dairy Sci 2009;92:4919 –28.

[39] Royal MD, Darwash AO, Flint APE, Webb R, Woolliams JA, Lamming GE. Declining fertility in dairy cattle: changes in traditional and endocrine parameters of fertility. Anim Sci 2000;70:487–501.

[40] Farin PW, Ball L, Olson JD, Mortimer RG, Jones RL, Adney WS, McChesney AE. Effect of Actinomyces pyogenes and gram-negative anaerobic bacteria on the development of bovine pyometra. Theriogenology 1989;31:979–89.

[41] Opsomer G, Mijten P, Coryn M, de Kruif A. Post-partum anoestrus in dairy cows: a review. Vet Q 1996;18:68 –75.

[42] Bulman DC, Lamming GE. Cases of prolonged luteal activity in the non-pregnant dairy cow. Vet Rec 1977;100:550 –2.

[43] Wilson SJ, Kirby CJ, Koenigsfeld AT, Keisler DH, Lucy MC. Effects of controlled heat stress on ovarian function of dairy cattle. 2. Heifers. J Dairy Sci 1998;81:2132– 8.

(32)

41

[45] Roche JF. The effect of nutritional management of the dairy cow on reproductive efficiency. Anim Reprod Sci 2006;96: 282–96.

[46] Sartori R, Haughian JM, Shaver RD, Rosa GJM, Wiltbank MC. Comparison of ovarian function and circulating steroids in estrous cycles of Holstein heifers and lactating cows. J Dairy Sci 2004;87:905–20.

[47] Wiltbank M, Lopez H, Sartori R, Sangsritavong S, Gümen A. Changes in reproductive physiology of lactating dairy cows due to elevated steroid metabolism. Theriogenology 2006;6517–29.

[48] Peter AT, Bosu WTK. Effects of intrauterine infection on the function of the corpora lutea formed after first postpartum ovulations in dairy cows. Theriogenology 1987;27:593– 609.

[49] Williams EJ, Fischer DP, Noakes DE, England GCW, Rycroft A, Dobson H, Sheldon IM. The relationship between uterine pathogen growth density and ovarian function in the postpartum dairy cow. Theriogenology 2007;68:549 –59.

[50] Kaneko K, Kawakami S. Influence of experimental intrauterine infusion of Arcanobacterium pyogenes solution on ovarian activity in cycling cows. J Vet Med Sci 2008;70:77– 83.

[51] Poyser NL. The control of prostaglandin production by the endometrium in relation to luteolysis and menstruation. Prostaglandins Leukot Essent Fatty Acids 1995;53:147–95.

[52] Kaneko K, Kawakami S. The roles of PGF2_ and PGE2 in regression of the corpus luteum after intrauterine infusion of Arcanobacterium pyogenes in cows. Theriogenology 2009;71: 858–63

[53] Cutullic E, Delaby L, Michel G, Disenhaus C. Consequence on reproduction of two feeding levels with opposite effects on milk yield and body condition loss in Holstein and Normande cows. J Dairy Sci 2009;92:355.

Gambar

Gambar. 1. Mean (±SD) konsentrasi serum α-1 Glikoprotein asam (AGP, mg/mL) pada sapi perah produksi tinggi yang secara klinis sehat (●) atau pada sapi dengan fase luteal yang berkepanjangan (■) di berbagai interval waktu (minggu) setelah calving
Tabel 1 Mean (
Tabel 2 Odds ratio

Referensi

Dokumen terkait

Matakuliah ini mengaji tentang perkembangan sejarah di wilayah Asia Selatan sejak awal peradaban kuno sampai menjadi negara modern di masa kini meliputi:

• Bagi daerah yang melaksanakan Pilkada serentak, Lomba Desa dan Kelurahan tetap dilaksanakan sesuai tahapan Lomba yang diatur di dalam Permendagri Nomor 81

Kesulitan Komunikasi yang Dihadapi oleh Siswa Remaja. Tunarungu

Hasil evaluasi digunakan untuk menentukan dimana dan dalam hal apa para peserta didik perlu memperoleh bimbingan dalam mencapai tujuan, sehinga seluruh peserta didik dapat

[r]

Skripsi yang berjudul Implementasi Program LARASITA (Layanan Rakyat Untuk Sertifikat Tanah) di Kantor Pertanahan Kabupaten Karanganyar ini disusun sebagai salah satu

Accordingly, Liebner (2005) assumed that the one of essential element in indigenous life is navigational practice, which is a concept of a spatial orientation.

Hampir semua jenis barang yang dihasilkan oleh perusahaan selalu mengalami kekunoan atau keusangan dan harus di ganti dengan barang yang baru. Dalam tahap ini,