• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konteks Sosial Dan Realisasi Linguistik Dalam Genre Nasihat Bahasa Alas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Konteks Sosial Dan Realisasi Linguistik Dalam Genre Nasihat Bahasa Alas"

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

2.1 Alasan Memilih Teori Linguistik Sistemik Fungsional

Penelitian ini menggunakan teori Linguistik Sistemik Fungsional (LSF) sebagai landasan. Ada beberapa alasan menggunakan teori LSF, pertama data yang dianalisis adalah GN dalam BA, merupakan kajian genre yang bertahap, berorientasi pada tujuan dan dinamis sesuai model teoritis yang sudah ada sebelumnya.

Yang kedua, LSF merupakan teori kebahasaan yang menganalisis bahasa berdasarkan konteks sosial. Dengan kata lain, terjadinya genre nasihat dalam BA merupakan konteks sosial yang terjadi karena sifat konstrual bahasa dan konteks yang saling mempengaruhi.

Yang ketiga, LSF berpandangan bahwa bahasa merupakan sistem arti dan sistem lain (bentuk dan ekspresi) untuk merealisasikan arti tersebut, yang bermakna dua konsep yakni (1) bahasa merupakan fenomena sosial yang wujud sebagai semiotik sosial dan (2) bahasa berkonstrual dengan konteks sosial.

Pengertian bahwa fenomena sosial wujud dalam sistem semiotik mengimplemantasikan tiga unsur atau strata, yakni arti (discourse semantics),

(2)

ekspresi. Sifat hubungan arti dan bentuk adalah alamiah (natural), sementara sifat hubungan arti dan ekspresi adalah arbitrar.

Pandangan kedua LSF, bahwa bahasa berkonstrual dengan konteks sosial karena teks terjadi ditentukan oleh konteks. Artinya teks adalah unit arti yang wujud sebagai bunyi, kata, frasa, klausa, klausa kompleks, kalimat dan atau paragraf.

2.2 Model-Model Analisis Genre

Beberapa model analisis genre dalam pendekatan LSF dan fungsional di bawah ini, yaitu model Halliday, Hasan, Martin & Gregory dan Swales & Bathia. Beberapa model yang pernah menerapkan analisis genre di Indonesia adalah Sinar dan Saragih.

2.2.1 Model Halliday

Halliday (1978:34) menempatkan genre dalam ranah cara semiotis situasional. Dengan demikian, Halliday secara khusus menempatkan genre pada konteks situati. Bahasa adalah sumber untuk membentuk arti dan ekspresi. Keduanya sangat terikat dengan konteks budaya (genre). Dengan demikian, hubungan antara bahasa dan budaya dalam hal ini yang dimaksud adalah konteks budaya dan secara langsung berhubungan dengan konteks situasi (register).

(3)

Ada tiga unsur yang menyebabkan terjadinya teks, yaitu budaya, situasi, dan system. Dari ketiga unsur tersebut, terdapat dua jalur atau cara, yaitu (1) realisasi & instansiasi dan (2) instansiasi & realisasi. Kedua cara tersebut berawal dari budaya. Cara pertama dimulai dari budaya sebagai unsur konteks sosial, secara langsung diinstansiasikan oleh konteks situasi dan konteks situasi direalisasikan oleh teks. Cara yang kedua budaya direalisasikan oleh system dan diinstansiasikan oleh teks. Kedua cara tersebut dapat dilihat pada figura berikut.

Figura 2.1: Bahasa dan Konteks Sosial (Halliday, 1991: 8)

2.2.2 Model Hasan

Berbeda dengan Halliday, Hasan berpendapat bahwa genre dan register

adalah dua unsur konteks yang bisa saling dipertukarkan dan kedua istilah tersebut merujuk kepada jenis teks yang dihasilkan dalam setiap konteks situasi pada satu sistem semiotik (Hasan,1978:228-246, 1996:191-242). Baik genre

the system (potensial) the instance

context in which CULTURE SITUATION language functions (cultural (situation

domain) type)

Language SYSTEM TEXT

Note: left – right = instantiation [cf. climate weather] Top – bottom = realization [ as, within language,

(4)

maupun register keduanya menyatu karena menjelaskan dari mana datangnya

genre dan keduanya dapat dipahami secara linguistik.

2.2.3 Model Martin

Martin memiliki pandangan lebih luas lagi dengan pendapat bahwa genre

adalah kegiatan sosial yang bertahap dan berorientasi tujuan yang di dalamnya si pembicara sebagai anggota (1984:25). Genre dideskripsikan sebagai unsur konteks sosial. Ada tiga unsur konteks sosial. Dari ketiga konteks itu, genre

berada pada tahap kedua, yakni setelah Ideologi. Secara berturut-turut dari strata yang paling abstrak ke strata yang paling kongkrit tersusun ideologi (ideology), konteks budaya (genre), dan konteks situasi (register). Martin (1984) memberi uraian tentang genre sebagai berikut. Pertama, genre adalah suatu kegiatan yang berorientasi pada tujuan. Kedua, tujuan khusus pada dasar kemaslahatan, dan ketiga kegiatan tersebut dicapai secara bertahap.

Tahapan-tahapan yang dicapai merupakan kegiatan proses semiotis demi tercapainya tujuan komunikasi yang disepakati melalui bahasa. Setiap genre

berciri secara spesifik. Ciri tersebut dapat dilihat dari struktur teks atau struktur generik yang dimilikinya. Lebih jelasnya, struktur generik narasi berbeda dengan struktur generik eksposisi. Demikian juga struktur generik eksposisi berbeda dengan struktur generik laporan dan sterusnya.

(5)

dan Tagalog khususnya dalam bidang pengajaran linguistik, forensik linguistik, dan semiotik sosial.

Kontribusi Martin yang menonjol tentang genre adalah pendekatan berbasis genre terhadap pengajaran bahasa, yakni ”Genre pedagogy”. Genre Pedagogy berdasar pada bimbingan melalui interaksi dalam konteks pengalaman yang telah dipahami bersama. Penelitian ini terinsfirasi atas penelitian Halliday sebelumnya, yakni “Perkembangan Bahasa Anak”.

Figura 2.2: Hubungan Bahasa dengan Semiotik Konotatif– Ideologi, Budaya, dan Situasi ( Martin, 1993:158)

2.2.4 Model Swales dan Bathia

Swales berpendapat tentang genre sebagai struktur teks akademik yang dikomunikasikan dan dipahami semua anggota atau pelibat kalangan professional dan komunitas ahli akademik dan terjadi secara teratur. Pada umumnya Genre

terstruktur atas kesepahaman pemakainya dan menjadi pemicu pemunculan

Ideology

Genre

Register

(6)

kendala. Namun, kendala tersebut sering dijadikan sebagai medium eksploitasi para ahli terhadap komunitas masyarakat pengguna untuk memperoleh kepentingan pribadi / kelompok dengan mengatasnamakan kepentingan sosial.

Swales dalam Bathia (1994:13) mengatakan: “Genre is a recognizable communicative event characterized by a set of communicative purposes identified and mutually understood by the members of the professional or academic community in which it regularly occurs. Most often it is highly structured and conventionalized with constraints on allowable contributions in terms of their intent, positioning, form and functional value. These constraints, however, are often exploited by the expert members of the discourse community to achieve private intentions within the framework of socially recognized purposes.”

Sebagai pakar linguistik khususnya di bidang genre, Swales terkenal dengan karya tulisnya seperti analisis genre di bidang retorika, analisis wacana, bahasa Inggris akademik dan ilmu informasi.

Swales dan Bathia merupakan pakar genre dalam menganalisis text akademik, mencakupi beberapa aspek, antara lain:

1. Genre adalah kegiatan yang dikenal bersama-sama dalam tujuan komunikasi. Walaupun ada ciri lain terdapat pada genre, seperti isi, bentuk, hajat pendengar, medium atau channel, namun tetap ada tujuan komunikasinya. Atas dasar itulah maka terbentuknya struktur generik dalam genre. Walaupun perbedaan genre dan sub-genre selalu tidak dapat dibedakan, namun tujuan komunikatifnya bisa dijadikan kriteria untuk membedakan genre dan sub-genre.

(7)

3. Bermacam genre menampilkan kendala-kendala dalam pemberian kontribusinya diantaranya dalam maksud atau tujuan, posisi, bentuk dan nilai fungsi. Ini menunjukkan bahwa penulis memiliki kebebasan dalam kreasi teks, namun harus tetap menyesuaikan atau mengikuti standar aturan dalam struktur

genre tersebut.

Bathia (1994:10) menampilkan beberapa langkah dalam pelaksanaan analisis genre sebagai berikut:

1. Mengumpulkan contoh-contoh genre yang akan dianalisis. 2. Menjadikan beberapa genre sebagai materi investigasi.

3. Mempertimbangkan apa-apa yang telah diketahui tentang genre-genre

yang telah dikumpulkan itu termasuk konteks situasi terjadinya teks. 4. Menentukan situasi (dalam hal apa) teks terjadi. Untuk menambah

wawasan tentang proses ini perlu ada panduan buku, pedoman dan lain-lain seperti informan atau nara sumber.

5. Menentukan analisis apa saja yang telah dilakukan, antara lain penelitian artikel, atau buku-buku dalam topik itu.

6. Memperjelas analisis dengan cara memastikan siapa penulis, audien, dan hubungan mereka dengan teks; yakni siapa penulis, pembaca dan pemakai.

7. Mempertimbangkan bagaimana teks diorganisir, disajikan dan fitur-fitur linguistik apa saja terlibat dalam realisasinya.

8. Menentukan siapa saja yang membutuhkan dan berpartisipasi dalam

(8)

Dalam konteks wacana, (Bhatia, 1994:10) harus ada tiga hal yang harus diperhatikan, yakni (1) fitur bahasa yang digunakan dalam realisasi, (2) wacana yang melatari interaksi antara penulis dan pembaca atau pemicara dan pendengar dan (3) atensi yang ditetapkan dalam struktur wacana itu. Dalam pembelajaran bahasa misalnya, ada dua aspek yang harus dipertimbangkan, yakni (1) kurangnya informasi rasionalitas yang mendasari bermacam-macam jenis wacana. Dengan kata lain, sosialisasi wacana belum didukung sepenuhnya oleh lingkungan termasuk guru-guru di sekoleh, dan (2) kurangnya perlakuan (treatment) atas wacana (teks) oleh siswa di dalam maupun di luar kelas.

2.2.5 Model Christie

Christie berpendapat bahwa genre memiliki struktur bahasa untuk merealisasikan arti dalam komunikasi. Struktur tersebut terpola secara spesifik berdasarkan hubungannnya dengan konteks sosial si pemakai genre itu. Dengan demikian, LSF memberi kontribusi terhadap genre bagaimana genre itu dipahami dan diaplikasikan dalam analisis teks dan pengajaran bahasa (Christie, 1997:45).

“Sistemik” merujuk pada struktur atau pengorganisasian bahasa agar bisa digunakan dalam konteks sosial. Sistemik juga merujuk pada sistem pilihan bagi pemakai bahasa dalam merealisasikan arti. Konsep realisasi penting dalam LSF karena konsep tersebut menjelaskan secara dinamis cara-cara bagaimana bahasa merealisasikan tujuan sosial berdasarkan konteks sebagai interaksi bahasa.

2.2.6 Model Gregory

(9)

awalnya memberlakukan nilai genre pada variabel tenor sebagai kategori konteks pada variasi bahasa.

2.2.7 Model Saragih

Genre secara rinci berfungsi menetapkan konfigurasi isi (field), pelibat

(tenor) dan cara (mode). Saragih memberi contoh khotbah yang membicarakan ajaran agama (isi), yang melibatkan khatib atau pendeta dan jemaah atau jemaat (pelibat) dengan cara interaksi satu arah saja (Saragih, 2009: 200). Berbeda dengan khotbah, pengajian atau penelaahan kitab membicarakan ajaran agama (isi) yang melibatkan ustad atau pertua dan jemaah atau jemaat (pelibat) dengan interaksi dua arah (cara). Dengan demikian, jelaslah bahwa genre adalah dasar terciptanya register. Register selanjutnya memakai semiotik sosial untuk merealisasikannya. Untuk membedakan secara jelas, figura berikut (Saragih, 2009:3) dapat memberikan batas dan lintas bahasa secara sistemik. Model yang dikembangkan dengan memadukan konsep Martin (1992) sebagai berikut:

Semiotik Konotatif

Semiotik Denotatif

Figura 2.3: Model yang dikembangkan dengan memadukan konsep Martin (1992)

Ideologi

Budaya

Situasi

(10)

2.2.8 Model Sinar

Sinar (2008:68-69) menjelaskan bahwa genre adalah produk budaya. Dengan kata lain, bahasa adalah bagian budaya, dengan demikian genre adalah ragam bahasa sebagai produk dari budaya masyarakat tertentu. Jelas kelihatan bahwa bahasa dan genre sama-sama berkembang, berkonstrual dan sangat dinamis.

Sinar (2002: 156-157) menjelaskan bahwa semiotik bahasa berada dalam konteks sosial dan konteks sosial berada dalam agama yang merupakan semiotik alam semesta.

(11)

Figura 2.4: Hubungan Semiotik Bahasa dalam Konteks Sosial: Fase dan Eksperiensial (Sinar, 2002: 157)

Dien

Ideology

Culture

Situasion (discourse)

Dialectal variation functional variation Register Social Geographycal Field Mode Tenor

Temporal

Phase

Tristratal Language

Discourse Lexico- Phonology/ Semantics grammar Graphology

Ideational:

Experiential Transitivity Logical Interdependency Interpersonal Mood/Modality Textual Theme/Information

(12)

2.3 Kerangka Teoretis LSF

Kajian bahasa atau linguistik, (Halliday, 1994:xvii) dan Gerot (2001:7) didasarkan pada asumsi yang dijadikan sebagai dasar untuk mengkaji bahasa tersebut. Dalam penelitian ini, kajian yang digunakan adalah LSF. Teori itu beranggapan bahwa bahasa merupakan sistem arti dan sistem bentuk untuk merealisasikan arti tersebut. Dengan demikian bahasa merupakan sistem arti dan sistem lain (yakni sistem bentuk /wording dan ekspresi/ phonology/ graphology) untuk merealisasikan arti tersebut berdasarkan konteks sosial.

LSF diperkenalkan oleh M.A.K. Halliday pada awal 1960-an (Halliday, 2003:437). Perkembangannya sampai saat ini telah melampaui perkembangan aliran struktural yang mencapai zaman keemasan oleh Noam Chomsky dan kawan-kawan pendahulunya seperti Modistae, Bloomfield, dan Pike. Halliday dan para pakar lainnya telah menerapkan teori ini untuk mengkaji berbagai aspek kebahasaan baik dari system paradigmatik dan sintagmatik dalam beberapa bahasa, seperti bahasa Jepang, Mandarin, Hindi, Tagalog, Prancis, Persia, dan Arab (Saragih, 2005:i).

Konsep yang dibangun dalam LSF adalah bahwa bahasa merupakan fenomena sosial yang wujud sebagai semiotik sosial dan bahasa merupakan teks yang berkonstrual dengan konteks sosial (Halliday, 2005:175). Dengan demikian setidaknya ada dua konsep yang perlu dijelaskan dalam pengertian ini.

(13)

semiotik sosial, bahasa juga memiliki unsur lain, yakni: bentuk. Dengan demikian, sebagai semiotik sosial bahasa memiliki tiga unsur: arti dalam tataran semantik, bentuk dalam tataran leksikogramatika, dan ekspresi dalam tataran fonologi dan atau grafologi. Hubungan antara ketiga unsur itu disebut ‘hubungan realisasi’. Arti direalisasikan oleh bentuk dan bentuk direalisasikan dalam ekspresi.

LSF memandang bahasa merupakan sumber dalam membuat arti (Gerot, 2001:6). LSF berusaha menjelaskan bagaimana bahasa digunakan sesungguhnya dalam kenyataan dan terfokus pada teks dan konteks sehingga teks dipahami berbeda dengan teori formal. Dengan demikian LSF tidak hanya membahas struktur teks tapi juga bagaimana struktur teks membentuk arti dengan daya konstrual (saling menentukan dan merujuk) dengan konteks.

2.3.1 Metafungsi Bahasa

Dalam teori LSF, dinyatakan bahwa metafungsi bahasa terbagi tiga fungsi yaitu (1) fungsi ideasional, (2) fungsi interpersonal, dan (3) fungsi tekstual. Pembahasan berikut adalah pembahasan fungsi-fungsi tersebut (Sinar, 2012:27). 2.3.1.1 Fungsi Ideasional

Fungsi ideasional adalah fungsi bahasa untuk memaparkan pengalaman. LSF berasumsi bahwa fungsi sama dengan makna.

(14)

Selanjutnya makna ideasional menjelaskan dua hal yaitu pengalaman, apakah pengalaman itu unik atau tidak, apakah pengalaman itu linguistik atau non-linguistik, dan hubungan logis. Bagi MA, pengalaman non-linguistik bisa berupa jatuh dari tangga, dikejar angsa, mengejar pencuri, dan lain-lain. Pengalaman non-linguistik harus dijadikan menjadi pengalam linguistik agar bisa dipahami orang lain.

Untuk menjadikan pengalaman non-linguistik menjadi pengalaman linguistik, diperlukan tiga unsur, yaitu proses, partisipan, dan sirkumstan.

Dalam perspektif LSF, bahasa terwujud untuk memenuhi kebutuhan manusia (Halliday, 2004:170), karena bahasa dipergunakan di manapun manusia berada. Bahkan ketika manusia meneroka menggunakan bahasa. Fungsi yang disampaikan bahasa dalam konteks ini adalah fungsi eksperiensial. Ini berarti bahwa struktur bahasa ditentukan oleh fungsi apa yang dilakukan bahasa (atau lebih tepat fungsi yang ingin dicapai manusia dengan menggunakan bahasa) untuk memenuhi kebutuhan manusia dalam masyarakat. Terdapat dua jenis sistem dalam ideasional, yaitu sistem fungsi eksperiensial dan logikal.

2.3.1.1.1 Fungsi Eksperiensial dan Elemennya

Dalam satu klausa, sebagai representasi pengalaman, terjadi konfigurasi yang melibatkan elemen-elemen pendukung dalam realisasi. Elemen tersebut terdiri atas tiga unsur, yaitu proses (process), partisipan (participant), dan sirkumstan (circumstance). Halliday (2004:169) mengatakan, “And experientially, the clause construes a quantum of change as a figure, or

(15)

circumstances.” Proses menunjuk kepada aksi, peristiwa, atau keadaan yang direalisasikan oleh verba. Proses menunjuk kepada kegiatan atau aktivitas yang terjadi dalam klausa yang menurut tata bahasa tradisional dan formal disebut kata kerja atau verba. Partisipan dicirikan dalam proses direalisasikan oleh kata benda atau frasa kata benda. Partisipan merupakan orang atau benda yang terbabit dalam suatu proses.

Sirkumstan adalah lingkungan tempat proses yang melibatkan partisipan terjadi (Halliday, 1994: 107). Sirkumstan merupakan unsur yang berkaitan dengan proses, khususnya direalisasikan oleh frasa ajektiva atau frasa preposisi. Sirkumstan adalah lingkungan tempat terjadinya proses yang melibatkan partisipan, mencakup rentang, lokasi, cara, lingkungan, peryerta, peran, sebab masalah, dan sudut pandang. Inti dari satu pengalaman dalam klausa adalah proses. Dikatakan demikian karena proses menentukan jumlah dan kategori partisipan (Haliday, 1994: 168-172; Martin, 1992: 10). Dengan kata lain, proses (pemilik valensi) menentukan partisipan (secara langsung) dan sirkumstan (secara tidak langsung) dengan tingkat probabilitas; misalnya proses material dan mental masing-masing lebih sering muncul dengan sirkumstan lokasi dan cara.

Berapa jumlah partisipan dalam satu klausa ditentukan oleh proses karena inti (nucleus) pengalaman dalam satu klausa itu berada pada proses. Dengan dasar nukleus ini, proses dilabeli sesuai dengan jenis proses itu.

(2.1)

Silihne ndayeken Rumah-e bulan si Rohnou.

(16)

Dalam klausa (2.1), menjual adalah proses, iparnya dan rumah itu adalah partisipan dan bulan depan adalah sirkumstan. Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa klausa (2.1) itu berisi pengalaman yang menyatakan bahwa satu proses terjadi, yakni menjual dan proses itu melibatkan dua partisipan iparnya dan

rumah itu dan proses yang melibatkan kedua partsipan itu terjadi dalam lingkup waktu bulan depan.

1) Proses

(17)

Dengan kata lain, masing-masing konfigurasi pengalaman dalam bahasa Inggris, bahasa Indonesia dan BA berbeda.

Halliday dalam Gerot (2001: 54) memiliki perbedaan sedikit tentang jenis proses. Beliau membagi proses menjadi tujuh jenis. Selain enam jenis yang telah dijelaskan diatas, beliau menambah satu jenis lagi, yakni proses meteorology

(cuaca), seperti terdapat pada klausa berikut.

(2.2)

Cuaca panas. (It ‘s hot.)

Klausa (2.2) sangat semantis karena secara kasaf mata tidak terlihat proses. Kalaupun dimuculkan, bisa seperti.

(2.3)

Cuaca (adalah) panas.

Klausa (2.3) memperlihatkan seolah-olah proses adalah termasuk jenis relasional. Padahal proses tersebut adalah cuaca.

a) Proses Material

Proses material adalah proses ‘kegiatan’ ‘kreasi’ dan ‘kejadian’ (Halliday, 2004:172, Matthiessen, 1992: 191). Proses material merupakan aktivitas atau kegiatan yang menyangkut fisik dan nyata dilakukan pelakunya. Proses material adalah proses melakukan sesuatu (Gerot, 2001: 55). Proses perlakuan yang melibatkan jasmaniah, fisik, atau material. Karena sifatnya yang demikian Proses material dapat diamati dengan indera.

(18)

Proses ini mencakup semua kegiatan yang terjadi di luar diri manusia dan bersifat fisik seperti terdapat pada klausa berikut.

(2.4)

Ninik engguh nabah galuh e bone. ‘Kakek menebang pisang itu semalam.’ Aktor Proses: material Gol Sirkumstan

Proses material dapat ditandai dari bentuk kala sedang (the Progressive Tense). Kala sedang menunjukkan bahwa perlakuan (process) sedang terjadi seperti terdapat pada klausa berikut.

(2.5)

Ame sedang medakan ni dapuR.

Ibu sedang menanak nasi di dapur. Aktor Proses: material Gol Sirkumstan

Khusus untuk proses material, partisipan yang terlibat dalam satu proses itu dilabeli pelaku (actor) sebagai sumber atau pembuat aktivitas dan gol (goal)

sebagai maujud yang kepadanya proses ditujukan atau yang dikenai proses. Dengan demikian, klausa Harfin menulis surat di ruang belajar dapat dianalisis sebagai berikut.

(2.6)

Harfin nulis suRat ni Ruang belajaR.

Harfin menulis surat di ruang belajar. Aktor Proses: material Gol Sirkumstan b) Proses Mental

(19)

Perlu dijelaskan bahwa Gerot hanya membagi proses mental menjadi tiga: afeksi

atau reaksi (perasaan/feeling), kognisi (pikiran/thinking), dan persepsi (perceiving through the five senses). Proses mental dibagi menjadi empat jenis:

kognisi, afeksi, persepsi dan keinginan Halliday, 2004:172). Selanjutnya proses mental dan material dapat dibedakan berdasarkan hasil perbuatan yang dihasilkan oleh kedua proses tersebut. Proses material terjadi di luar diri manusia sedangkan mental terjadi di dalam (inside) diri manusia dan mengenai mental atau

psychological aspects kehidupan. Secara semantik, proses mental menyangkut pelaku manusia saja atau maujud lain yang dianggap atau berperilaku manusia, seperti tingkah laku dalam dongeng yang mengisahkan bahwa kancil dapat bercerita kepada buaya atau burung pungguk merindukan bulan.

Perbedaan proses mental dan material mencakupi kriteria semantik dan sintaksis (Halliday, 2004:199).

1) Proses mental menyangkut manusia dan paling sedikit satu partisipan manusia, seperti klausa Uan sikel soRpe labaR. “Ayah kepingin makanan pakis cincang”. Yang memaparkan pengalaman mental adalah sikel (kepingin) dan partisipan uan (ayah). Berbeda dengan klausa dengan proses mental, klausa dengan proses material dapat melibatkan partisipan bukan manusia, seperti dalam klausa Tsunami ni Banda Aceh tanggal 26 Desember 2004 nge R usak mehayak Rumah Rut fasilitas umum. “Tsunami di Banda Aceh tanggal 26 Desember 2004 merusak sejumlah rumah dan fasilitas umum.”

(20)

rumah dan fasilitas umum bukan manusia. Contoh lain: Sukhoi menabRak deleng Salak Rut newasken keRine penumpangne tanggal 9 Mei 2012.

“Sukhou nabrak gunung Salak dan menewaskan semua penumpang tanggal 9 Mei 2012.” Yang memapar pengalaman material adalah nabRak (menabrak)

dan newasken (menewaskan). Gunung Salak dan semua penumpang adalah partisipan. Kedua partisipan (actors), yakni Tsunami dan Sukhoi bukan manusia.

2) Proses mental dapat diikuti proyeksi, sedangkan proses material tidak dapat. Klausa (2.7a) dan (2.7b) menunjukkan keberterimaan antara kedua jenis proses tersebut.

(2.7a)

Ie mepikeR bahwe ie ngelaR Rutung be

Dia berpikir bahwa dia mengambil buah durian dulu.” (2.7b)

*Ie medalan bahwe ie ngelaR Rutung be.

Dia berjalan bahwa dia mengambil buah durian dulu.”

3) Proses mental tidak dapat diikuti oleh aspek progressive(sedang), proses material dapat (Halliday, 2004:206). Contoh (2.8a), (2.8b) dan (2.8c) dapat menjelaskan perbedaan tersebut.

(2.8a)

* Uan sedang metoh natemu.

“*Ayah sedang mengetahui niatmu.”

(2.8b)

Uan metoh natemu.

Ayah mengetahui niatmu”.

(2.8c)

(21)

4) Proses mental merupakan proses dua hala, sedangkan proses material hanya memiliki satu hala saja (Halliday, 2004:201). Yang dimaksud dengan dua hala adalah klausa dengan dua partisipan. Selanjutnya, letak atau posisi kedua partisipan dapat dipertukarkan dan proses mental dalam klausa itu diganti atau disubsitusi dengan yang sejenis. Pertukaran itu hanya sebatas bentuk (lexicogrammar) tidak mengubah arti (semantics) dan status kalimat aktif. Dalam klausa mental, kedua partisipan dalam masing-masing klausa dapat bertukar posisi dengan arti bersamaan. Sebaliknya, klausa material tidak memiliki sifat pembalikan seperti klausa mental. Dalam (2.9a) dan (2.9b) proses menyukai dan menyenangkan menggambarkan ciri dua hala dari proses mental. Demikian juga dalam (2.10a) dan (2.10b) takut dan

menakutkan merupakan realisasi dua hala. (2.9a)

Mame get ate be manu’e.

“Paman menyukai ayam itu.” (2.9b)

Manu’e nenangken ate mame Ayam itu menyenangkan paman”.

(2.10a)

Aku mbiaR be kejadinne e Saya takut peristiwa itu.”

(2.10b)

Kejadinen e ncebiaRi aku. Peritiwa itu menakuti saya.

(22)

yang terlibat dalam proses mental disebut pengindra (senser) dan partisipan kedua yang dikenai proses dilabeli fenomenon (phenomenon). Dalam (2.11) dan (2.12) berikut klausa mental dianalisis dengan unsur pengalaman mencakup pengindra, proses, fenomenon dan sirkumstan.

(2.11)

Abangku menyenangi pemugaran Balai Adat tahun depan. Pengindra Proses: mental Fenomenon Sirkumstan (2.12)

Saya mengetahui berita itu semalam. Pengindra Proses: mental Fenomenon Sirkumstan

c) Proses Relasional

Proses relasional adalah proses kerja yang menunjukkan hubungan intensitas (yang mengandung pengertian A “adalah” B), sirkumstan (yang mengandung pengertian A “pada/di dalam” B), dan milik (yang mengadung pengertian A “mempunyai” B) (Halliday, 2004:211).

Proses relasional adalah proses yang menghubungkan satu entitas dengan maujud atau lingkungan lain di dalam hubungan intensif, sirkumstan, atau kepemilikan dan dengan cara (mode) identifikasi atau atribut (Halliday, 2004: 216). Adanya hubungan “A adalah B, A pada B dan A mempunyai B”, maka ada dua jenis yang menyangkut intensitas tersebut: (a) Attributive (Carrier dan

Attribute) dan (b) Identifying (Token andValue) (Gerot, 2001:68). Secara simultan setiap klausa yang mengandung proses relasional memiliki makna Attributive atau

Identifying secara bersamaan apakah Intensive, Possessive atau Circumstantial.

(23)

(2.13)

Mamene tenteRe.

Pamannya (adalah) tentara

Carrier Attributive:Intensive Attribute.

Keterkaitan bersama dapat dilihat dalam (2.13), dimana jenis (Attributive)

dan entitas (Intensive) memberi ciri terhadap proses relasional. Dengan demikian, ada enam klausa relasional yang bisa dimunculkan, yakni: Atributive: intensive, Attributive: possessive, Attributive: circumstantial, Identifying: intensive,

Identifying: possessive, dan Identifying: circumstantial. Dalam (2.14) -- (2.19), masing-masing klausa secara berurutan sebagai berikut.

(2.14)

Ie guRu.

“Dia (adalah) guru”

Carrier Attributive:intensive Attribute

(2.15)

Ie empung Rumah mbaRu.

“Dia Punya rumah baru”

Carrier Attributive:possessive Attribute

(2.16)

Ie ni sebelahku

“Dia (adalah) di sebelah saya”

Carrier Attributive:circumstantial Attribute

(2.17)

Husin edime guRune.

Husin itulah (adalah) gurunya

Petanda/Token Identifying: intensive Nilai/Value

(2.18)

Rumah edi ie empungne

Rumah itu (adalah) punya dia

(24)

(2.19)

Rumahne ni sebelah Rumahku.

Rumahnya (adalah) di sebelah rumah saya

Token Identifying: circumstantial Value

Di dalam bahasa Inggris, proses relasional yang lazim adalah be (is, am, are, was, were, have been, has been, will be, can be, must be, ought to be, needn’t be, have to be, should be) (Halliday, 2004: 211). Setara dengan itu, di dalam bahasa Indonesia proses relasional direalisasikan oleh verba, seperti adalah, menjadi, merupakan, kelihatan, berharga, bernilai, kedengaran, terdengar,

menunjukkan, menandakan, memainkan, mempunyai, memiliki, dll. (Saragih, 2009:32).

Dalam klausa relasional yang relatif panjang dan terdiri atas beberapa klausa (klausa kompleks), seperti dalam (2.20), pemakaian adalah menjadi keharusan. Berapa panjang satu partisipan pada tingkat nomina juga relatif pada situasi tertentu. Paling tidak satu patokan yang dapat digunakan adalah jika konstruksi partisipan dalam klausa relasinal dapat menggangu pengertian suatu klausa pemakaian proses adalah merupakan keharusan (Halliday, 2004: 247).

(2.20)

Lelaki yang datang ke rumah saya dengan mengendarai mobil Taruna semalam sore adalah seorang dokter.

Jika ketiga jenis poses relasional dan kedua modenya diklasifikasi silang, enam jenis proses relasional yang lebih rinci dihasilkan seperti diringkas di dalam bagan berikut.

TABEL 2.1: TIPE KLAUSA RELASIONAL

Jenis

Mode

(25)

Intensif Ibu kota Indonesia Jakarta. Adiknya dokter. Sirkumstan Bulan kelahiranku Januari. Ayahnya di Jakarta. Kepemilika

n

Rumah itu satu-satunya milik pamanku.

Pamanku mempunyai dua rumah.

Secara sistemik, keenam jenis proses relasional tersebut dapat diringkas sebagai berikut.

1) Proses: relasional: intensif: identifikasi (Khalidah (adalah) guru kelas kami.) 2) Proses: relasional: intensif: atribut (Khalidah (adalah) guru.)

3) Proses: relasional: sirkumstan: identifikasi (Mei (adalah) bulan kelahiranku.) 4) Proses: relasional: sirkumstan: atribut (Adikku (adalah) di Kutacane.)

5) Proses: relasional: kepemilikan: identifikasi. (Tanah ini (adalah) satu-satunya pusaka ayahku.

6) Proses: relasional: kepemilikan: atribut (Harfin punya gitar baru.)

(26)

Figura 2.5 Jejaring Proses Relasional Adaptasi dari Gerot, 2001:68)

d) Proses Tingkah Laku

Proses tingkah laku (behavioural) merupakan aktivitas atau kegiatan fisiologis yang menyatakan tingkah laku fisik manusia (Matthiessen, 1992: 202). Proses tingkah laku adalah proses gabungan fisiologis dan psikologis manusia dalam tingkah laku, seperti bernapas, bermimpi, ngorok, senyum, tersedak, melihat, memandang, menyimak, dan mempertimbangkan (Gerot, 2001: 60).

Secara semantik, kategori proses tingkah laku terletak antara proses material dan mental. Implikasinya adalah sebahagian proses tingkah laku memiliki sifat proses material dan sebahagian lagi memiliki ciri proses mental (Matthiessen, 1992: 202). Yang termasuk proses tingkah laku adalah verba muntah, berbatuk, pingsan, menguap, sendawa, tidur, buang air, mengeluh, tertawa, menggerutu, dan sebagainya. Proses tingkah laku adalah proses fisiologis atau psikologis bersikap atau bertingkah laku, yang dapat dicontohkan melalui proses ketika manusia melakukan kegiatan bernafas, bermimpi, tersenyum, tertawa, dll. Posisi proses ini berada di antara proses material dan mental (Halliday, 2004: 248).

Attributive: Carrier, Attribute

Identifying: Token, Value Proses Relasional

Intensive Pessessive

(27)

Secara sintaksis, partisipan dalam klausa tingkah laku disebut petingkah laku (behaver). Biasanya, klausa tingkah laku hanya mempunyai satu partisipan seperti terlihat dalam klausa (2.21) berikut.

(2.21)

Dian Tangis nengen pilu.

“Dian Menangis dengan pilu”

Petingkah laku/Behaver Proses: tingkah laku/Vehavioral Circumstant

Proses tingkah laku memiliki keterbatasan dalam menggunakan pronomina. Sesuai dengan namanya, (tingkah laku), pronomina saya tidak bisa diikuti proses tidur. Klausa (2.22) tidak berterima sedangkan (2.23) berterima seperti berikut.

(2.22)

*Aku sedang medem

*Saya sedang tidur

Petingkah laku/Behaver Proses: behavioral

(2.23)

Ie sedang medem.

“Dia sedang tidur”

Petingkah laku/Behaver Proses: behavioral e) Proses Verbal

(28)

seperti verba berteriak, berseru, berjanji, bersumpah, berkata, mengatakan, bertanya, memerintah, meminta, menginstruksikan, mengaku, menjelaskan,

menerangkan, mengkritik, menguji, memberitahu, menegaskan, menekankan,

menceritakan, menolak, dan sebagainya.

Proses verbal adalah aktivitas yang membawa, menyampaikan, mengatakan maklumat atau bertanya, menceritakan, berseru, berjanji, dan lain-lain (Halliday, 2004:252). Dalam proses verbal ada dua partisipan yang dilibatkan. Partisipan yang berkata, yang secara struktural dinamakan sebagai penyampai (sayer), dan pesan yang disampaikan (maklumat/verbiage).

(2.24)

Ie mecakap ceRok Alas.

“Dia berbicara bahasa Alas” Penyampai/Sayer Proses:Verbal Pesan/Verbiage

Dalam hal dua klausa, proses verbal berfungsi sebagai pemroyeksi (projecting clause) dengan label sayer sedangkan klausa lainnya disebut sebagai terproyeksi (projected clause.

(2.25)

Ie Mekate aku pot Rutung

‘Dia berkata saya suka durian.’

Sayer Verbal Senser Proc.mental:Affective Phenomenon

(2.26)

Ie mekate Ie pot Rutung.

Dia berkata (bahwa) dia suka durian

Sayer Verbal Senser Mental:Affect Phenomenon f) Proses Wujud

(29)

proses relasional. Proses wujud adalah proses yang mengekspresikan bahwa sesuatu itu ada wujud atau eksis dan di dalam bahasa Inggris direalisasikan dalam proses seperti is, am, are, was, were, be, been, being dan proses lainnya seperti

exist, arise atau proses lainnya yang merepresentasikan kewujudan kata benda atau frasa benda yang merepresentasikan fungsi partisipan sebagai maujud (existent) (Halliday, 2004:256). Dengan letaknya yang demikian, proses wujud di satu sisi memiliki ciri proses material dan di sisi lain memiliki ciri proses relasional. Proses wujud (Gerot,2001:72) adalah proses yang menunjukkan keberadaan sesuatu (misalnya: “ada”. “terdapat”). Partisipan pada proses ini disebut eksisten.

(2.27)

Lot anak manun.

Ada anak hanyut

Proses:Wujud/Existential Maujud/existent

(2.28)

PeRasanen lot ni bagas ate jeme.

“Perasaan wujud dalam diri manusia”

Maujud/Existent Proc: Wujud/existential Circumstantial

(2.29)

Lot kuluR ni empuse

‘Ada kelueh di ladang”

Proc.:Existential Part.:Existent Circumstance :Location

(2.30)

Ni kahaRungne lot kaRaten

Di leher ada gigitan”

(30)

2) Partisipan

Seperti telah dijelaskan terdahulu bahwa proses merupakan inti atau pusat

(nucleus) yang menarik atau mengikat semua unsur lain, khususnya partisipan (Halliday, 2004: 175). Partisipan adalah kategori semantik yang menjelaskan cara-cara umum bagaimana gejala dunia kenyataan direpresentasikan sebagai struktur linguistik (Gerot, 2001: 52). Sedangkan proses merupakan inti yang memiliki daya tarik atau ikat (valency), berpotensi menentukan jumlah partisipan yang dapat diikat oleh proses itu. Dengan sifatnya itu, proses digunakan sebagai dasar pelabelan partisipan dalam klausa. Sedikitnya ada dua jenis partisipan, yaitu partisipan yang melakukan proses (Partisipan I) dan partisipan yang kepadanya proses itu diarahkan/ditujukan (Partisipan II). Dalam bagan berikut dipaparkan keenam jenis proses dan label partisipan yang digunakan.

Jenis Proses Partisipan I Partisipan II

Material Pelaku Gol

Mental Pengindera Fenomenon

Relasional (1) Identifikasi: Bentuk/Tanda (2) Atribut: Penyandang (3) Kepemilikan: Pemilik

Nilai Atribut Milik

Tingkah Laku Petingkah Laku

-Verbal Pembicara Perkataan

Wujud Maujud

-Figura 2.6 Proses dan Partisipan (adaptasi dari Matthiessen, 1992: 316)

3) Jangkauan dan Partisipan lain

(31)

lain, partisipan berbeda dengan (partisipan) jangkauan. Pertama partisipan (jangkauan) dapat muncul dengan seluruh jenis proses. Kedua jangkauan dapat muncul secara implicit atau eksplisit. Dalam BA, klausa seperti Ame sedang medakan. “Ibu sedang memasak.”, dapat berterima secara implisit karena secara eksplisit adalah: Ame sedang medakan nakan. “Ibu sedang memasak nasi.” Apakah kata nakan ‘nasidicantumkan (eksplisit) atau tidak dicantumkan (implisit) tidak menjadi masalah. Namun ada jangkauan yang selalu implisit seperti ndaling “menjaga durian jatuh”. Dalam klausa BoRngi nahan kite ndaling ni empus wan tueku. “Nanti malam kita jaga durian jatuh di ladang mertuaku.” Dalam (2.31a) dan (2.31b) dapat dilihat perbedaan jangkauan secara implisit dan eksplisit.

(2.31a)

Pagi kite ngaRohi

Besok Kita ngeringkan kolam”

Circumstance :Time Actor Process:Material

(2.31b)

Bone mame ndaling Rutung

Semalam Paman Menjaga durian”

Circumstance :Time

Particip.:Actor Process: Material

Particip.: Range/ Jangkauan

(32)

Dalam klausa material pembermanfaat dilabeli resipien (recipient) untuk partisipan yang didahului atau terkait dengan preposisi kepada dan klien (client)

untuk partisipan yang didahului atau terkait dengan preposisi untuk (Halliday, 2004: 190). Dalam klausa verbal, seperti dipaparkan terdahulu, pembermanfaat dilabeli penerima. Klausa (2.32a) memberi pelabelan pembermanfaat seperti: (2.32a)

Ie NgiRim foto e be uanne

Dia Mengirim Foto itu kepada ayahnya”

Actor Proc.:Material Goal Recipient

(2.32b)

Mame nukoR Regeng be anak side

Paman Membeli Kalung untuk anaknya”

Actor Proc.:Material Goal Client

(2.32c)

Zainal menceRiteken kisahne be Aminah

Zainal menceritakan kisah itu kepada Aminah”

(33)

berlaku untuk semua jenis proses. Sirkumstan setara dengan keterangan seperti yang lazim digunakan di dalam tata bahasa tradisional.

Sirkumstan dinjelaskan pembagiannya sesuai fungsinya menjadi sembilan bagian, yakni: rentang (extent) yang dapat berupa jarak atau waktu, lokasi

(location) yang dapat mencakupi tempat atau waktu, cara (manner), sebab

(cause), lingkungan (contingency), penyerta (accompaniment), peran (role), masalah (matter), dan (sudut) pandangan (angle) (Halliday, 2004:262). Menurut konsep tata bahasa struktural atau tradisional, sirkumstan setara dengan keterangan (Adverb). Berikut disajikan penggunaan sirkumstan sebagai berikut. a) Rentang /extent

(2.33a)

TenteRe e enggou melayaR dekahne sepuluh jam.

“Tentara itu telah berlayar selama sepuluh jam”

Actor Process: Material Circ.:Extent:Time

(2.33b)

Kalae enggou melayaR dauhne seRatus mil.

“Mereka telah berlayar sejauh seratus mil.”

Actor Process: Material Circ.:Extent:Place

b) Lokasi/location

(2.34a)

Dani buet jam 6 pagi.”

“Dani Bangun pukul 6 pagi.”

Actor Process: Material Circ.:Location:Time

(2.34b)

Dani tading ni Kutecane

“Dani tinggal di Kutacane.”

(34)

c) Cara/manner

(2.35a)

Abangku medalan bagas Rimbe ma meselop

“Abang saya berjalan dalam hutan tanpa alas kaki.”

Actor Proc.:Material Circ.:Loc:Place Circ.:Manner:Tool

Aku nolong kau demi mase depan.

“Saya menolong kamu demi masa depan.”

Actor Proc.:Material Goal Circ.:Cause:Purpose

(2.36c)

Aku neRime hadiah-e atas name lembaga.

“Saya menerima hadiah itu atas nama

(35)

(2.37c)

Waktu Pak Bupati ma lot Pak Sekda gancihne.

“Sewaktu Pak Bupati Komitasi adalah representasi proses di mana dua benda wujud dapat disatukan sebagai dua unsur (Halliday, 2004:272). Sebaliknya, tambahan adalah representasi proses sebagai dua hal yang mana dua benda wujud berkongsi partisipan yang sama, tetapi yang satu ditujukan untuk pembedaan.

(2.38a)

Dompet di niisi Rut sen koRtas.

“Dompet itu diisi dengan uang kertas”

Goal/gol Proc.:Material Circ.:Accompaniment: komitasi positif

(2.38b)

Manusie ma nggeluh de malot oksigen.

“Manusia tidak bisa hidup tanpa oksigen.”

Behaver Proc.:Behavioral Circ.:Accompaniment: komitasi negative

(2.38c)

Aku nuan sawit galuh Rut pokat.

“Saya menanam sawit juga pisang dan pokat.”

Actor Proc.:

Kiteh kite Mbace buku pade neRoi kalak.

“Mari kita baca buku daripada ngatain orang.”

Actor Proc.: Material

goal Circ.:Accompaniment:

(36)

g) Peran/role

Sirkumstan direalisasi oleh dua jenis: (1) samaran dan (2) produk

(Halliday, 2004: 194). Samaran merepresentasikan makna menjadi, seperti dalam sarana atributif atau identifikasi dalam bentuk sirkumstan, dan menghubungkannya dengan bentuk interogatif sebagai apa? Berbeda dengan

samaran, produk merupakan peran yang merepresentasikan makna menjadi.

Klausa berikut adalah contoh kedua jenis tersebut. (2.39a)

Kalae ngoRjai tanohe sebagei penggaRap.

“Mereka mengerjai lahan itu sebagai penggarap.)

Part.: Actor Proc. Material Part..:Goal Circ.:Role: samaran

(2.39b)

Kalae Matok tanohe jadi kaplingen.

“Mereka mematok lahan itu menjadi kaplingan.”

Part.: Actor Proc. Material Part..:Goal Circ.:Role: produk h) Masalah/matter

Sirkumstan masalah (Halliday, 2004:276) berhubungan denga proses verbal dan sejajar dengan verbiage (maklumat).

(2.40)

Aku jelasken tentang tanohku si nigaRap kelompok tani.

“Saya menjelaskan tentang lahan saya yang digarap kelompok tani.”

Part.:Saye r

Proc. Verbal Circ.:Matter/masalah

i) Pandangan/angle

(37)

sejajar dengan maklumat, sedangkan pandangan/angle sejajar dengan penutur/sayer.

(2.41)

MenuRut hakim ie penangkone.

“Menurut hakim dia (adalah) pencurinya.”

Circ.Angle Part.: Token/

Petanda

Proc. Rel.: Ident. Intens.

Part. Value/ Penanda

2.3.1.1.2 Pengalaman Metafora

Dalam kajian bahasa terdapat keteraturan dalam merealisasikan atau mengodekan pengalaman ke dalam pengalaman atau bentuk linguistik yang kemudian menjadi kebiasaan dalam menganalisis fenomena bahasa (Halliday, 2004:592). Pengalaman material misalnya, biasanya direalisasikan oleh klausa dengan proses material; pengalaman mental, direalisasikan dengan proses mental. Demikian juga pengalaman relasional, biasanya direalisasikan dengan proses relasional dan seterusnya. Kebiasaan pemakaian bentuk linguistik seperti itu disebut realisasi yang umum atau lazim (unmarked).

(38)

Realisasi pengalaman linguistik yang terasa ada penanda (marked) oleh rasa bahasa atau pengodean yang tidak lazim seperti itu disebut pengalaman metafora (metaphoric representation atau grammatical metaphor). Berikut beberapa contoh lazim (unmarked) dan metafora.

(2.42a)

Ie kalah bagas pencalonan Bupati (lazim: Proses relasional Atributif Intensif)

Ie Kalah bagas pencalonen Bupati.

Dia (adalah) Kalah dalam pencalonan Bupati

Carrier Relational: Attrib. Int.

Attribute Circumstance: Time:Temporal

(2.42b)

Ie mengalami kekalahen bagas pencalonan Bupati. (metafora: Proses mental)

Ie mengalami kekalahen bagas pencalonen Bupati.

Dia mengalami kekalahan dalam pencalonan Bupati

Senser Proc. Mental

Phenomen on

Circumstance: Time:Temporal

2.3.1.1.3 Hubungan Antarklausa

Klausa ada yang dapat berdiri sendiri dinamai klausa sederhana. Namun ada klausa yang harus berhubungan dengan klausa lain. Hubungan antarkausa ini dikodekan oleh makna logis (Halliday, 2004:363). Makna logis direalisasikan oleh konjungsi (conjunction) dan alat penghubung lain seperti alat pengikat kohesi

(cohesive devices), pungtuasi (punctuation), verba, dan penghubung lain dalam struktur percakapan, seperti yah, baik, mm, dan hah.

(39)

TABEL 2.2

Ekstensi (+) Abangne medakan Rut enggine ngaleng lawe.

(40)

TABEL 2.3

1. Tambahan Penambahan Rut ‘dan’, nengepe ‘lagi pula’, ni samping edi ‘di samping itu’,…

Perbedaan tetapi, kecuali, mebede Rut ‘berbeda dengan’,

3. Waktu Bersamaan ketika, pada saat yang sama, sementara itu, seraya,

Berurutan Te ‘lalu’, aheRne ‘akhirnya’, pul edi ‘sesudah itu’,

4. Konsekuen si

Tujuan Soh ‘sampai’, sehingge ‘sehingga, kane ‘supaya’,

Kondisi Te ‘lalu’, de ‘jika,’ de made ‘kalautidak’,…

Akibat jadi, sebagai kesimpulan, sebab,

Pengecualian namun, kunepe ‘bagaimanapun’, tetapi,

Cara Nengen caRe ende ‘dengan cara ini’, dengan, (dan) lalu, …

Klausa berikut adalah contoh masing-masing jenis makna logis dan taksis menyatakan tambahan, perbandingan, waktu, dan konsekuensi.

(2.43a)

Ame medakan Rut uan njale ikan. (Ekspansi/Ekstensi/Parataktik:Penambahan) ‘Ibu memasak nasi dan ayah menjala ikan.’

(2.43b)

Kake laus be kedei tapi abang laus be jume.

(Ekspansi/Ekstensi/Parataktik: Penambahan)

‘Kakak pergi ke kedai tetapi abang pergi ke sawah.’

(2.43c)

Aku laus be sekolah pul edi laus be pekan.

(Ekspansi/Ekstensi/Hipotaktik: Waktu)

(41)

(2.43d)

SebenaRne ie enggou DO, namun Dekan meReken dispensasi.

(Ekspansi/ Ganda/Hipotaktik: Konsekuensi)

‘Sebenarnya dia sudah DO, namun Dekan memberi dispensasi.

Jenis makna logis seperti terdapat pada tabel diatas dapat wujud dalam dua kemungkinan, yaitu wujud eksplisit atau implisit (Saragih, 2009:46). Yang dimaksud dengan makna logis dengan wujud eksplisit adalah realisasi nyata dalam kata atau frase, sedangkan wujud implisit mengacu kepada situasi atau konteks antar-atau intraklausa yang dapat dimengerti secara semantis atau diinterpretasikan adanya pewujud makna logis. Klausa (2.44a) merupakan contoh berikut makna logis secara eksplisit direalisasikan dengan dan. Dalam klausa (2.44b) makna logis tidak wujud secara eksplisit direalisasikan oleh kata atau frase, tetapi secara implisit dapat dimengerti atau diinterpretasikan.

(2.44a)

a 1 Pak jaksa menuntut

b +2 dan Pak hakim memutuskan.

(Makna logis: tambahan: penambahan: eksplisit)

(2.44b)

a 1 Apa yang baik dicontohkan almarhum kita teruskan. b +2 Apa yang tidak baik kita tinggalkan.

(Makna logis: tambahan: penambahan: implisit) (Teks 7. Klausa 7)

(42)

makna logis internal berdasar pada realitas di dalam sistem atau (genre) struktur teks. Klausa (2.45a) berikut makna logis perbandingan: kesamaan: seperti adalah eksternal, sedangkan dalam klausa (2.45b) makna yang sama bersifat internal karena seperti digambarkan dalam bab terdahulu menyangkut struktur teks. (2.45a)

a α Belanda menyerang Kubu Kutalengat dengan senjata api b xβ seperti polisi menembaki pencuri.

(Ekspansi/Ganda/Hipotaktik/Eksternal) (2.45b)

a α Belanda menyerang Kubu Kutalengat dengan senjata api b xβ seperti dijelaskan pada lampiran penelitian ini.

(Ekspansi/Ganda/Hipotaktik/Internal)

Baik secara eksplisit atau implisit maupun eksternal atau internal, kesemua jenis makna logis tersebut digunakan untuk mengkodekan hubungan antarklausa.

Keempat jenis tersebut dapat dilihat pada tabel berikut: TABEL 2.4

Wujud Eksplisit Pak jaksa menuntut dan Pak hakim memutuskan. Implisit Apa yang baik dicontohkan almarhum kita

teruskan. Apa yang tidak baik kita tinggalkan. Sifat Eksternal Belanda menyerang Kubu Kutalengat dengan

senjata api

seperti polisi menembaki pencuri.

Internal Belanda menyerang Kubu Kutalengat dengan senjata api

seperti dijelaskan pada lampiran penelitian ini.

(43)

ketiga dimensi tersebut figura berikut menyajikan klasifikasi silang dalam setiap wacana. Dengan klasifikasi ini makna logis waktu: implisit: internal dapat wujud.

JENIS WUJUD SIFAT

Eksplisit Implisit Eksternal Internal

Tambahan + - + +

Perbandingan + + + +

Waktu + + + +

Konsekuensi + + + +

Figura 2.7: Nuansa Makna Logis Bahasa Alas

2.3.1.2 Fungsi Interpersonal

Metafungsi yang kedua adalah fungsi interpersonal. Secara spesifik fungsi ini mempertukarkan pengalaman manusia. Kalaulah pada fungsi pertama (ideasional), merupakan pemaparan pengalaman (eksperiesial), fungsi interpersonal merupakan aksi yang dilakukan pemakai bahasa dalam saling bertukar pengalaman linguistik yang terepresentasikan dalam makna pengalaman

(experiential meaning) (Halliday, 2004: 106). Interpersonal adalah salah satu dari metafungsi, yang menjelaskan bahwa bahasa sebagai interaksi (Matthiessen, 1992: 663). Dengan kata lain, interpersonal merupakan sumber wujudnya dan berlangsungnya hubungan antara pembicara (speaker) dan mitra bicara (listener). 2.3.1.2.1 Protoaksi

(44)

pelaksanaannya, pemeran membawakan kedua peran itu dalam dua jenis komoditas, yakni informasi (information), dan barang dan jasa (goods & services). Dengan demikian ada dua peran yang dilakukan dan ada dua komoditas yang dipertukarkan. Keempat variabel tersebut distilahkan dengan protoaksi

karena menjadi sumber (dasar utama) dalam menentukan aksi turunan berikutnya, termasuk menentukan di mana nasihat berada.

TABEL 2.5

PROTOAKSI BAHASA ALAS

PERAN

KOMODITAS

Informasi Barang dan Jasa

Memberi Pernyataan Tawaran

Meminta Pertanyaan Perintah

Secara sistemik, keempat protoaksi itu dapat diurai sebagai berikut. memberi/informasi = ‘pernyataan’ (statement)

meminta/informasi = ‘pertanyaan’ (question) memberi/barang dan jasa = ‘tawaran’ (offer) meminta/barang dan jasa = ‘perintah’ (command)

Dari bagan di atas, ada empat aksi sebagai aksi utama (protoaksi) yakni: pernyataan, pertanyaan, tawaran, dan perintah. Istilah ini mengacu kepada dan setara dengan konsep speech function dan tindak ujar (speech act) yang lazim digunakan dalam tata bahasa formal (Halliday 1994; Saragih, 2008:19).

Keempat aksi tersebut dikelompokkan menjadi dua, yakni: proposisi (‘pernyataan’ dan ‘pertanyaan’) dan proposal (‘tawaran’ dan ‘peritah’).

TABEL 2.6 KATEGORI AKSI

KATEGORI AKSI

Proposisi Pernyataan (statement)

Pertanyaan (question)

Proposal Tawaran (offer)

(45)

2.3.1.2.2 Aksi dan Realisasi dalam Tata Bahasa

Setiap aksi bahasa memiliki realisasi. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa keempat aksi memiliki realisasi bentuk dan cara tersendiri pula. Kalau aksinya ada empat, namun perealisasinya hanya tiga. Kalau aksi berada pada level semantik (discourse semantics), maka perealisasi berada pada level tata bahasa (lexicogrammar). Untuk disejajarkan masing-masing aksi dan realisasi sebagai berikut: pernyataan direalisasikan oleh declarative, pertanyaan oleh interrogative,

perintah oleh imperative, sedangkan tawaran dapat direalisasikan oleh salah satu dari ketiga perealisasi yang ada, berdasarkan konteks pemakaiannya. Bagan berikut adalah aksi dan realisasi dari keempat jenis aksi tersebut.

TABEL 2.7

AKSI SEMANTIS DAN LEKSIKOGRAMATIKA Semantik Tata Bahasa

(Modus)

Klausa

Pernyataan Deklaratif Setiap waghi Kamis kami balik be Kutacane.

‘Tiap hari Kamis kami pulang ke Kutacane.’ Pertanyaan Interogatif

Ndigan kau be Medan kin?

‘Kapan kau ke Medan?’

Perintah Imperative Reken sennde be amemu!

‘Berikan uang ini pada ibumu!’ Tawaran - Pate aku pelin mahani aninenne.

‘Biar aku saja yeng ngerjakan kolam itu.’

(46)

Identifikasi. Pada tingkat leksikogramatika fungsi ideasional direalisasikan oleh Transitivitas/ Ergativitas dan Taksis, fungsi interpersonal direalisasikan oleh Modus, dan fungsi tekstual direalisasikan oleh Tema/Rema dan Kohesi. Pada strata ekspresi, ketiga metafungsi diekspresikan oleh fonologi, grafologi, atau isyarat dengan tidak ada spesifikasi realisasi. Untuk lebih jelasnya, Figura 2.8 berikut menyajikan realisasi metafungsi mulai dari Ideologi, Konteks Budaya, Konteks Situasi, Arti (semantik wacana), Bentuk (Tata bahasa), dan Ekspresi (Fonologi/Grafologi).

Figura 2.8: Realisasi Metafungsi (adaptasi dari Saragih, 2010:43)

(47)

fungsi anatarpersona direalisasikan oleh Pelibat (tenor), dan fungsi tekstual direalisasikan oleh Sarana (mode) atau Cara. Pada strata budaya tidak ada pemisahan realisasi ketiga unsur metafungsi. Strata Budaya mengatur atau menentukan unsur Medan apa yang ditetapkan bergabung dengan Pelibat, dan Sarana tertentu. Dengam kata lain, budaya mengatur apa (Medan) yang boleh dilakukan siapa (Pelibat) dan dengan (Sarana) atau cara bagaimana. Strata ideologi merupakan unsur tertinggi yang menentukan budaya. Realisasi ketiga metafungsi bahasa terdapat pada strata ideologi. Seperti diringkas pada Figura 2.8 realisasi masing-masing unsur metafungsi tidak terpisah pada strata Ideologi, Budaya, dan ekspresi (fonologi, grafologi, atau isyarat). Spesifikasi realisasi masing-masing unsur metafungsi terjadi pada strata situasi (medan, pelibat dan cara), semantik wacana (ideasi/konjungsi, negosiasi dan identifikasi), dan leksikogramatika (teks: transitivitas/ergativitas, modus dan tema-rema dan kohesi). Selanjutnya pada realisasi ekspresi, ketiga metafungsi tersebut tidak mengalami spesifikasi.

BA sangat erat dengan intonasi dalam Modus. Dalam perealisasian deklaratif dan interogatif, terutama dalam medium lisan, BA selalu memiliki bentuk sama. Hanya yang membedakannya adalah intonasi, seperti: Roh ie be pestae. ‘Dia datang ke pesta itu.’ (Deklaratif), sedang: Roh ie be pestae? ‘Adakah dia datang ke pesta itu?’ (Interogatif). Untuk menambah tekanan dalam interogatif ditambahkan pemarkah ‘-kin’ diakhir interogatif secara mana suka terhadap proses atau sirkumstan, sehingga: Roh ie be pestaekin? ‘Datangkah dia ke pesta itu?’ atau

(48)

Dalam pemakaian keterangan (circumstance), modus interogatif menjadi penentu dan berfungsi menjadi penanya dan mendahului Subjek kalimat/klausa, seperti: Enggou kau mangankin? ‘Sudah makan kau?’. Kata ganti ‘kau’ digunakan untuk mitra bicara sejajar atau lebih rendah sedangkan kata ganti ‘kandu’

digunakan untuk orang yang di atas atau dihormati, seperti istri bertanya pada suami: Enggou kandu mangankin? ‘Sudah makan abang?’

BA masih mengadopsi Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris dalam susunan dan realisasi terutama dalam pemakaian Modus sebagai realisasi pada tingkat tata bahasa. Hal ini dikarenakan kurangnya penelitian dalam BA sendiri sehingga masih banyak hal-hal yang belum terungkap atau teruraikan secara linguistik. Dalam penggunaan Modus misalnya, BA juga memiliki lima unsur sebagai bagian dari Modus, yakni: Subject, Finite, Predicator, Complement dan

Adjunct. Dua awal (Subject dan Finite) adalah bagian Modus (Mood), sedangkan tiga akhir (Predicator, Complement dan Adjunct) adalah bagian Residu (Residue).

Secara berurutan kelima unsur tersebut terdapat dalam BA, seperti: (2.46)

Ame (lot) nasai Ikan benem bone.

ibu ada masak ikan pepes semalam

‘Ibu (ada) masak ikan pepes semalam.’

Subject Finite Predicator Complement Adjunct

(49)

Modus dan Residu 1. Subject

Mood

2. Finite

3. Predicator

4. Complement Residue

5. Adjucnt

Figura 2.9 Modus dan Residu

2.3.1.2.3 Modus (Mood), Residu dan Unsurnya

1) Mood (Modus) adalah ranah klausa interpersonal. Modus juga diartikan sebagai gramatikalisasi fungsi ujar dalam suatu klausa (Mathiessen, 1992: 665). Selain dalam teori LSF, Modus juga dikenal dalam teori struktural, seperti Modus Subjunctif.

2) Residu adalah fungsi modal dalam interpretasi klausa sebagai representasi (Mathiessen, 1992: 668). Residue juga diistilahkan sebagai bagian klausa

yang tidak menjadi unsur Modus.

(50)

(2.47) Teks 5 Klausa 1

Sendah kau sikel meRangkat be Rantau kalak

Sendah Kau sikel meRangkat be Rantau kalak Metafu nctions

Sekarang Kau hendak berangkat ke rantau orang ‘Sekarang Kau hendak berangkat ke rantau orang”

Circ:Time Part.I: Actor

Process: Material Circ: Place Ideatio nal Adjunct Subject Finite Pred. Adjunct Interpe

rsonal

RESI- MOOD DUE

THEME RHEME Textual

4) Finite merupakan unsur pembentuk (dengan subjek) modus deklaratif, interogatif, dan imperatif (Halliday, 2004: 112). Finite juga disebut sebagai pembuat (verbal operator) modus. Di dalam BA seperti halnya dalam bahasa Indonesia ada dua unsur dalam setiap (grup) verba, yaitu finite itu sendiri yang menentukan markah pertanyaan (grup) verba itu dan kata kerja utama

(kejadian). Sebagai contoh, (grup) verba mangan ‘makan’ terdiri atas lot ‘ada’

+ mangan ‘makan’ dengan lot sebagai finite dan mangan sebagai kata kerja utama (kejadian). Dengan pola yang sama setiap (grup) verba terdiri atas

finite dan kejadian (event). Yang membedakan antara BA dan bahasa lainnya sepertri bahasa Inggris adalah kala (tense). Dengan kata lain bahasa Inggris memiliki kala sedangkan BA tidak secara eksplisit. Dengan demikian, finite

(51)

(2.48)/ Teks 2 Klausa 17

Subject Finite Predicator Complement Interpersonal

M O O D RESIDUE

THEME RHEME Textual

5) Predikator adalah fungsi klausa interpersonal yang merupakan bagian verba

Residue (Mathiessen, 1992:666). Predicator merupakan unsur verba setelah

finite dipisahkan dari (grup) verba (Saragih, 2009: 61). Dengan kata lain,

predicator adalah (grup) verba kurang finite, yakni event. Predicator

direalisasikan oleh grup verba atau grup verba kompleks. Oleh karena BA tidak memiliki kala sedangkan dalam bahasa lain seperti bahasa Inggris sangat jelas perbedaan antara finite dan predicator tersebut. Bagaimana finite

dipisahkan dengan predicator dapat dilihat pada klausa berikut. (2.49)/ Teks 3 Klausa 5

Ulang lawan ghang tue.

Ulang lawan Rang tue Metafunctions

Jangan lawan orang tua ‘Jangan melawan orang tua’

Proc.:Material Part.II: Goal Ideational Finite Predicator Complement Interpersonal

MOOD RESIDUE

THEME RHEME Textual

(52)

(2.50)/ Teks 2 Klausa 24 1) Ulang kau sakiti ate kalak

Ulang kau sakiti ate kalak

Meta-function

7) Ajung adalah unsur lain di luar keempat unsur terdahulu dan yang tidak dapat menjadi subject (Halliday, 2004:123). Dengan dasar kelima unsur itu klausa

Uan nukoR beRemu bone. dapat dianalisis sebagai berikut. (2.51)

Uan (lot) nukoR beRemu1 bone

‘Ayah (ada) membeli pisau (adat) semalam’

Subject Finite Predicator Complement Adjunct

MOOD RESIDUE

THEME RHEME

Pada bagian awal telah diterangkan bahwa BA tidak memilik kala seperti bahasa Inggris. Selain itu BA juga tidak memiliki finite secara eksplisit seperti terdapat dalam bahasa-bahasa lain misalnya bahasa Inggris. Namun konsep Modus (Mood) ada walaupun tidak sepenuhnya berlaku. Bahkan, dapat dikatakan bahwa finite tidak kelihatan di dalam BA. Dengan kata lain, finite dalam BA bersifat laten sehingga tidak kelihatan.

(53)

(2.52) Teks 2 Klausa 33

Toh ndigan soh ajal kami Metafunctions

entah kapan sampai ajal kami ‘Entah kapan sampai ajal kami’

Circumstance : Time

Process:Behavioral Participant: Behaver

Ideational

Adjunct Finite Predicator Subject Interpersonal

RESI- MO- -DUE -OD

THEME RHEME Textual

Modus (Mood) dibangun oleh dua unsur, yakni Subject dan Finite. Klausa (2.52) mengalami perubahan dimana Mood dan Subject berada pada posisi terpisah. Hal ini terjadi dalam BA karena finite dan predicator dalam proses.

Kalau dalam klausa relasional, finite (adalah) disisipkan secara laten, dalam klausa dengan proses material, mental, tingkah laku, dan verbal finite yang disisipkan adalah lot “ada”. Secara teoretis, dapat dikatakan bahwa dalam klausa dengan keempat proses itu terdapat kata ada. Kecenderungan ini masih terasa, khususnya di kalangan penutur BA (dalam Proyeksi Lokusi Hipotaktik) yang masih sering mengucapkan Ie lot jumpe kau nine due tahun selebei. ‘Dia jumpa kau dua tahun lalu katanya.’ Kata lot dalam Ie lot jumpe kau nine due tahun selebei adalah ‘ada’.

‘Lot’ kadang-kadang membingungkan karena dia bisa sebagai finite untuk

relasional atau proses wujud. Klausa (2.53a) dan (2.53b) masing-masing

(54)

(2.53a)

Ie (lot) ni Rumah bone.

Ie (lot) ni Rumah bone.

Dia di rumah Semalam

‘Dia (adalah) di rumah semalam’

Carrier Proc.:Rel:Attr:Cir. Cir.:Place Circ.:Time Subject Finite Predicator Adjunct Adjunct

MOOD RESIDUE Finite Pred. Subject Adjunct Adjunct

MO- RE- OD SIDUE

THEME RHEME

Modus deklaratif direalisasi dengan dua pola: (1) lazim (Subject + Finite) dan (2) tidak lazim (Finite + Subject) (Gerot, 2001: 38). Klausa (2.54a) dan (2.54b) masing-masing menunjukkan lazim dan tidak lazim, seperti:

(2.54a)

Kalaepe ngikuti acaRene Metafunct

ions

Orang ikut Acara

‘Orang itupun mengikuti acaranya.’

Part,: Actor Proc.: Material Goal Ideational subject Finite Pred. Complement Interperso

nal

Proc,: Matrial Part.: Actor Circ.: Place Ideational Finite Pred. Subject Adjunct Interperso

nal

MO- RESI- OD DUE

Gambar

TABEL 2.2HUBUNGAN LOGIS SEMANTIK DAN TAKSIS
TABEL 2.3MAKNA LOGIS DALAM BAHASA ALAS
TABEL 2.8AKSI DAN REALISASI
TABEL 2.9          JENIS TEMA
+5

Referensi

Dokumen terkait

Sistem ketransitifan yang terdapat dalam kedua teks tersebut dikemas oleh penulisnya dalam berbagai tipe proses, partisipan, dan sirkumstan pada klausa.. Berikut

(2) Unsur intralingual dalam nilai rasa bahasa pada tuturan berita politik Koran Kompas yang dijadikan sebagai penanda kesantunan berkomunikasi berupa diksi,

Apabila kenyatan pertama yang terjadi, berarti mereka masih berada dalam satu masyarakat tutur (speech community). Jika kenyataan kedua yang terjadi, maka mereka

Satu unit pengalaman yang sempurna direalisasikan dalam klausa yang terdiri atas tiga unsur, yaitu proses, partisipan, dan sirkumstan. Proses merujuk kepada kegiatan

Karena jika kita masih menganggap anak belajar gramatika hanya dari pengalaman saja, maka jika mereka kekurangan pengetahuan seperti ini, anak-anak tidak akan pernah

Menurut Chaer (2007), kalimat sederhana adalah kalimat yang dibentuk dari sebuah klausa yang unsur-unsurnya berupa kata atau frase sederhana. Jika melihat pada I’rab Al-Qur’an

Sistem ketransitifan yang terdapat dalam kedua teks tersebut dikemas oleh penulisnya dalam berbagai tipe proses, partisipan, dan sirkumstan pada klausa.. Berikut

Unsur-unsur pembangun cerita dalam novel Guru Aini karya Andrea Hirata sebagai berikut: Pertama, tema dalam sebuah karya sastra tema merupakan dasar dari pengembangan sebuah cerita