BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Landasan Teori
2.1.1. Konsep Dasar Perpajakan
Jika kita melihat perkembangan penerimaan pajak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), maka dapat terlihat bahwa pajak mendominasi sumber penerimaan negara. Hal ini tentu sangat membanggakan, dimana bangsa kita sudah semakin mandiri dalam membiayai anggaran rumah tangganya.
Menurut Rochmat Soemitro, pengertian Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang-Undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra-pretasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum (Mardiasmo, 2002).
Sedangkan menurut P.J.A. Andriani (dalam Prabowo, 2002) juga dinyatakan bahwa : Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) terutama oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung atau tidak langsung dapat ditunjuk, yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara dalam menyelenggarakan pemerintahan.
dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
2.1.1.1 Teori Pemungutan Pajak
Terdapat beberapa teori yang menjelaskan atau memberikan justifikasi pemberian hak kepada negara untuk memungut pajak. Teori-teori tersebut antara lain adalah (Mardiasmo, 2006) :
1. Teori Asuransi
Negara melindungi keselamatan jiwa, harta benda, dan hak-hak rakyatnya. Oleh karena itu rakyat harus membayar pajak yang diibaratkan sebagai suatu premi asuransi karena memperoleh jaminan perlindungan tersebut. 2. Teori Kepentingan
Pembagian beban pajak kepada rakyat didasarkan pada kepentingan
(misalnya perlindungan) masing-masing orang. Semakin besar
kepentingan seseorang terhadap negara, maka makin tinggi pajak yang harus dibayar.
3. Teori Daya Pikul
Beban pajak untuk semua orang harus sama beratnya, artinya pajak harus dibayar sesuai dengan daya pikul masing-masing orang. Untuk mengukur daya pikul dapat digunakan 2 pendekatan yaitu :
a. Unsur objektif, yaitu dengan melihat besarnya penghasilan atau kekayaan yang dimiliki oleh seseorang.
4. Teori Bakti
Dasar keadilan pemungutan pajak terletak pada hubungan rakyat dengan negaranya. Sebagai warga negara yang berbakti, rakyat harus selalu menyadari bahwa pembayaran pajak adalah sebagai suatu kewajiban. 5. Teori Asas Daya Beli
Dasar keadilan terletak pada akibat pemungutan pajak. Maksudnya menungut pajak berarti menarik daya beli dari rumah tangga masyarakat untuk rumah tangga negara. Selanjutnya negara akan menyalurkan kembali ke masyarakat dalam bentuk pemeliharaan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian kepentingan seluruh masyarakat lebih diutamakan.
2.1.1.2 Asas Pemungutan Pajak
Asas pemungutan pajak terdiri dari (Mardiasmo, 2006) :
1. Asas domisili (asas tempat tinggal). Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan Wajib Pajak yang bertempat tinggal di wilayahnya, baik penghasilan yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri. Asas ini berlaku untuk Wajib Pajak dalam negeri.
2. Asas sumber. Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal Wajib Pajak.
2.1.1.3 Sistem Pemungutan Pajak
Dalam memungut pajak dikenal ada 3 (tiga) sistem pemungutan (Mardiasmo 2006), yaitu:
1. Official Assessment System. Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.
2. Self Assessment System. Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada Wajib Pajak dan/atau Pengusaha Kena Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar. 3. With Holding System Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang
memberi wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang terutang terhadap Wajib Pajak.
2.1.1.4 Pengelompokan Pajak
Menurut lembaga pemungutnya, pajak dibagi menjadi dua kelompok, yaitu :
1. Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Contoh: Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, PBB P3, dan Bea Meterai.
2.1.2. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) 2.1.2.1. Konsep, Pengertian dan Dasar Hukum BPHTB
Tanah dan bangunan mempunyai nilai manfaat ekonomi yang tinggi karena merupakan kebutuhan dasar manusia. Selain sebagai tempat tinggal, juga merupakan aset untuk lahan usaha. Akibat pertumbuhan jumlah penduduk yang terus meningkat maka kebutuhan akan tanah dan bangunan juga terus meningkat. Hal ini menyebabkan tanah dan bangunan tidak hanya memiliki fungsi sosial saja, namun juga merupakan alat investasi yang menguntungkan.
Menurut Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Maka tanah sebagai bagian dari bumi yang merupakan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa harus dikelola dengan baik. Ketika hal tersebut memberi manfaat ekonomi bagi pemiliknya, maka sangatlah wajar jika sebagian dari nilai ekonomi yang diperolehnya itu diberikan kepada Negara melalui pembayaran pajak. Karena pajak merupakan salah satu sumber pendapatan negara yang dapat digunakan untuk melaksanakan pembangunan bagi kemakmuran rakyat.
Setiap proses pengalihan hak kepemilikan atas tanah dan bangunan memerlukan kepastian hukum. Maka untuk setiap pengalihan hak kepemilikan harus dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan.
1. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 91 Tahun 2010 tentang Jenis Pajak Daerah yang Dipungut Berdasarkan Penetapan Kepala Daerah atau Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak ;
2. Surat Edaran Bersama Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor SE-12/MK.07/2014, Nomor 593/2278/SJ dan Nomor 4/SE/V/2014 tentang Petunjuk Pemungutan BPHTB dalam Kaitannya dengan Pendaftaran Hak Atas Tanah atau Pendaftaran Peralihan Hak Atas Tanah;
3. Peraturan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri Nomor 186/PMK.07/2010 dan Nomor 53 Tahun 2010 tentang Tahapan Persiapan Pengalihan BPHTB sebagai Pajak Daerah,
4. Peraturan Daerah yang dibuat oleh masing-masing daerah sebagai dasar pemungutan BPHTB.
Buku Analisa Dampak Pengalihan Pemungutan BPHTB Ke Daerah Terhadap Kondisi Fiskal Daerah (2012) yang disusun oleh Tim Asistensi Kementerian Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (TADF) Republik Indonesia dan didukung oleh Program Australia Indonesia Partnership for Decentralisation (AIPD) menyatakan bahwa pajak properti dapat dijadikan sumber peningkatan pendapatan dikarenakan:
a. Pajak properti memiliki nilai pasar relatif lebih stabil dibandingkan dengan pendapatan dan penjualan.
b. Tanah dan bangunan yang terlihat sehingga sulit untuk menyembunyikan.
d. Pajak properti merupakan pajak yang adil karena penilaian properti berdasarkan pemanfaatan lahan yang intensif.
Dari hal tersebut di atas, dapat kita lihat bahwa BPHTB sangat berpotensi untuk dijadikan sebagai sumber pendapatan daerah. Jika dikelola dengan baik maka penerimaan BPHTB dapat ditingkatkan setiap tahunnya.
2.1.2.2 BPHTB Sebagai Pajak Daerah
Sejak diterbitkannya UU No. 28 Tahun 2009 mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, BPHTB tidak lagi menjadi Pajak Pusat namun sudah menjadi bagian dari Pajak Daerah. Hal ini berarti pemungutan dan pengelolaan BPHTB menjadi wewenang sepenuhnya masing-masing Kabupaten/Kota.
Tujuan dari UU Nomor 28 Tahun 2009 (Mulyawan, 2010) adalah: 1. Memperbaiki kewenangan pemungutan;
2. Meningkatkan local taxing power;
3. Meningkatkan efektivitas pengawasan; 4. Meningkatkan sistem pengelolaan.
Dari hal tersebut di atas, dapat kita lihat bahwa UU Nomor 28 Tahun 2009 merupakan bukti nyata dari upaya pemerintah dalam pelaksanaan otonomi daerah. Dengan dialihkannya BPHTB menjadi Pajak Daerah, diharapkan dapat menjadi sumber penerimaan daerah yang digunakan untuk menyelenggarakan pembangunan daerah. Hal ini sejalan dengan keinginan pemerintah untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan kemandirian daerah.
Pengalihan BPHTB ini diharapkan menjadi salah satu sumber pendapatan yang potensial bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD) khususnya bagi pemerintah kabupaten/kota di Sumatera Utara.
2.1.3. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan salah satu indikator pertumbuhan ekonomi suatu wilayah atau daerah. PDRB juga merupakan gambaran sejauh mana tingkat kegiatan ekonomi yang dicapai oleh suatu wilayah atau daerah. Nilai dari PDRB identik dengan tingkat kesejahteraan masyarakat di suatu daerah, karena berhubungan erat dengan pendapatan per kapita penduduk. Hal ini disebabkan karena PDRB mengukur jumlah pembelanjaan untuk barang dan jasa di seluruh pasar dalam perekonomian dalam suatu wilayah (Mankiw, 2013)
Data PDRB dapat diketahui dengan cara menjumlahkan nilai output bersih perekonomian yang ditimbulkan oleh seluruh kegiatan ekonomi di suatu wilayah tertentu (provinsi dan kabupaten/kota), dalam satu kurun waktu tertentu, misalnya satu tahun. Kegiatan ekonomi yang dimaksud adalah seluruh kegiatan pertanian, industri pengolahan, pertambangan, perdagangan, hotel dan jasa lainnya.
Sebagai salah satu indikator pertumbuhan ekonomi, PDRB dapat dikelompokkan ke dalam kegiatan memproduksi dan kegiatan mengkonsumsi barang dan jasa. Dari kegiatan memproduksi dan mengkonsumsi barang dan jasa, maka akan menghasilkan pendapatan. Dengan pendapatan ini masyarakat dapat membeli barang dan jasa untuk keperluan konsumsi maupun investasi.
jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi atau jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu negara tertentu.
2.1.3.1Penghitungan dan Penyajian Data PDRB
Data yang disajikan dalam menghitung PDRB meliputi 9 (sembilan) sektor ekonomi sesuai dengan Sistem Penghitungan Nasional (System of National Account) Sektor ekonomi tersebut adalah 1) pertanian; 2) penggalian; 3) industri pengolahan; 4) listrik, gas dan air minum; 5) bangunan; 6) perdagangan besar dan eceran, restoran dan hotel; 7) pengangkutan dan komunikasi; 8) keuangan persewaan bangunan dan; 9) jasa perusahaan serta jasa-jasa. PDRB seringkali disajikan menurut:
1. Harga berlaku (current year price)
yaitu jumlah seluruh nilai barang dan jasa yang dihitung berdasarkan harga pada tahun yang bersangkutan, termasuk kenaikan harga-harga. Metode ini sering digunakan untuk menghitung PDRB dari suatu periode ke periode lainnya.
2. Harga konstan (base year price).
Yaitu nilai barang dan jasa yang dihitung dengan menetapkan tahun dasar yang akan digunakan sebagai basis perhitungan. Kemudian harga yang berlaku pada tahun dasar tersebut, seterusnya akan digunakan untuk menilai barang dan jasa yang dihasilkan pada tahun-tahun yang lainnya.
tinggi dibandingkan tahun sebelumnya. PDRB ADHB dengan migas Provinsi Sumatera Utara menyumbang sebesar 5,22 persen terhadap PDB nasional (33 provinsi). Perkembangan ekonomi Sumatera Utara (BPS, 2013) dalam tiga tahun terakhir mengalami percepatan, laju pertumbuhan ekonomi tahun 2012 mencapai 6,22% lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya. Sementara untuk pertumbuhan sektor, seluruh sektor tumbuh positif pada tahun 2011 dan sektor dengan laju pertumbuhan ekonomi tertinggi serta sekaligus pendorong pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara adalah: Sektor keuangan (13,61%), sektor pengangkutan (8,96%), dan sektor bangunan (8,54%)
Jika besarnya PDRB suatu daerah setiap periodenya dapat diketahui, maka sumber daya yang potensial dari daerah tersebut juga dapat diketahui. BPHTB adalah sumber daya yang potensial bagi penerimaan pajak daerah, merupakan bagian dari PAD. Maka PDRB dianggap berkorelasi positif terhadap penerimaan BPHTB daerah tersebut.
2.1.4 Konsumsi
Konsumsi adalah fungsi dari pendapatan yang dapat digunakan untuk kegiatan membeli barang dan jasa. Konsumsi rumah tangga adalah proses pembelanjaan barang dan jasa uang dilakukan rumah tangga untuk mencapai kepuasan dalam memiliki maupun menggunakan barang atau jasa tersebut.
apabila pendapatan juga meningkat. Hanya saja, peningkatan konsumsi tidak sebesar peningkatan pendapatan, karena sebagian dari pendapatan yang meningkat selain untuk konsumsi juga akan ditabung.
Peningkatan konsumsi agregat berbanding lurus dengan peningkatan pendapatan nasional. Jadi, semakin besar pendapatan maka semakin besar pula pengeluaran konsumsi maupun tabungan. Perbandingan besarnya tambahan pengeluaran konsumsi terhadap tambahan pendapatan disebut hasrat marjinal untuk berkonsumsi (Marginal Propensity to Consume, MPC). Sedangkan nisbah besarnya tambahan pengeluaran konsumsi terhadap tambahan pendapatan disebut hasrat marjinal untuk menabung (Marginal Propensity to Save, MPS).
Menurut Hipotesis pendapatan relatif, ada perbedaan antara MPC jangka panjang dengan MPC jangka pendek, perbedaan ini disebut dengan ratchet effet. ratchet effet merupakan peristiwa terjadinya kenaikan pendapatan akan segera diikuti dengan naiknya konsumsi, namun turunnya pendapatan tidak diikuti dengan turunnya konsumsi dengan kecepatan yang sama. Peristiwa ini umumnya dapat terjadi pada saat perekonomian dalam keadaan resesi (Supriana, 2013).
Dalam hukum Wagner mengatakan apabila pendapatan perkapita meningkat, secara relatif pengeluaran konsumsi pemerintah juga meningkat. Ada lima hal yang mempengaruhi peningkatan pengeluaran konsumsi yang dilakukan pemerintah antara lain peningkatan perlindungan keamanan dan pertahanan, kenaikan tingkat pendapatan masyarakat, urbanisasi yang mengiringi pertumbuhan ekonomi, perkembangan ekonomi, perkembangan demokrasi dan ketidakefisienan birokrasi yang mengiringi perkembangan pemerintahan.
Berdasarkan pandangan teori Peacock dan Wiseman bahwa pemerintah senantiasa memperbesar konsumsi sedangkan masyarakat cenderung tidak suka membayar pajak yang semakin besar yang akhirnya akan digunakan pemerintah untuk membiayai pengeluaran konsumsi. Menurut teori ini, pemungutan pajak yang semakin tinggi walaupun tarif pajak tetap akan menyebabkan pengeluaran konsumsi yang dilakukan pemerintah juga semakin meningkat (Mankoesoebrata, 2010).
2.1.4.1 Konsumsi dengan Penerimaan Pajak
Dalam perekonomian tertutup, secara tidak langsung permintaan agregat dipengaruhi oleh penerimaan pajak melalui disposable income dan selanjutnya terhadap pengeluaran konsumsi. Apabila penerimaan pajak naik sebesar
ΔT
Dengan demikian kenaikan penerimaan pajak cenderung menurunkan output dan bersifat deflasioner. Akan tetapi, apabila penerimaan pajak digunakan untuk pembelian barang/jasa (ΔG) maka pengaruh pajak ini belum tentu deflasioner. Apabila kenaikan penerimaan pajak sebesar ΔT seluruhnya digunakan untuk pembelian barang/jasa (ΔG) maka kenaikan AD sebesar 1/1-c x ΔG. Apabila penerimaan pajak meningkat sebesar ΔT dan seluruhnya digunakan untuk pembelian barang/jasa sebesar ΔG maka akan meningkatkan permintaan agregat sebesar ΔAD. Hal ini terkenal dengan dalil Anggaran Berimbang atau Balanced Budget
Multiplier (Boediono, 2001).
2.1.4.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengeluaran Konsumsi Besarnya pengeluaran konsumsi rumah tangga dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain:
1. Faktor ekonomi
•Pendapatan Rumah Tangga, ketika pendapatan meningkat maka
kemampuan rumah tangga untuk membeli kebutuhan konsumsinya akan semakin besar.
•Kekayaan rumah tangga, kekayaan riil dan financial dapat meningkatkan
konsumsi karena menambah pendapatan disposable.
•Tingkat bunga, dengan tingkat bunga yang tinggi maka biaya ekonomi
dari kegiatan konsumsi akan semakin mahal.
•Perkiraan akan masa depan, faktor-faktor internal seperti mendapatkan
2. Faktor demografi, seperti jumlah penduduk dan komposisi penduduk dapat mempengaruhi besarnya tingkat konsumsi
3. Faktor non ekonomi, seperti sosial-budaya masyarakat.
Bagi masyarakat yang kehidupan ekonominya menengah kebawah, apabila memperoleh tambahan pendapatan, maka sebagian besar tambahan pendapatan tersebut akan dialokasikan untuk pengeluaran konsumsi dibandingkan untuk menabung. Dimana nilai MPC relatif lebih besar dibandingkan nilai MPS. Hal ini dipengaruhi karena setiap orang ingin meningkatkan kualitas hidupnya terutama dalam kebutuhan primer atau pokok. Bagi masyarakat yang kehidupan ekonominya menengah keatas, umumnya mengalokasikan sebagian besar tambahan pendapatannya untuk kebutuhan sekunder maupun tersier ataupun menabung.
2.1.5 Tingkat Kepadatan Penduduk (Density)
Setiap tahun, angka pertumbuhan penduduk terus meningkat. Hal ini menyebabkan jumlah penduduk juga meningkat. Konsep penduduk menurut BPS adalah semua orang yang berdomisili di wilayah geografis Republik Indonesia selama enam bulan atau lebih dan atau mereka yang berdomisili kurang dari 6 bulan tetapi bertujuan menetap.
Jumlah penduduk yang terus meningkat sangat berpengaruh terhadap tingkat kepadatan penduduk (density). Menurut BPS, kepadatan penduduk
1. Kepadatan Penduduk Kasar (Crude Population Density), yang menggambarkan banyaknya jumlah penduduk untuk setiap kilometer persegi luas wilayah;
2. Kepadatan Fisiologis (Physiological Density), yang menunjukkan banyaknya penduduk untuk setiap kilometer persegi wilayah lahan yang ditanami
3. Kepadatan Agraris (Agriculture Density), yang menunjukkan banyaknya penduduk petani untuk setiap kilometer persegi wilayah lahan yang ditanami.
Dari ketiga jenis kepadatan penduduk tersebut, kepadatan penduduk kasar adalah ukuran yang paling sering digunakan. Hal ini disebabkan karena cara penghitungan dan data yang digunakan sederhana, yaitu:
2.1.5.1 Kepadatan Penduduk (Density) Terhadap BPHTB
produktivitas yang tinggi akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi tinggi (Putong, 2008).
Sebagai konsumen yang harus memenuhi kebutuhan pokoknya, penduduk membutuhkan tanah dan bangunan sebagai tempat tinggal. Penduduk yang juga sebagai produsen juga membutuhkan tanah dan bangunan sebagai modal lahan usaha untuk memproduksi barang dan jasa. Disamping sebagai tempat tinggal dan lahan usaha, tanah dan bangunan juga merupakan investasi yang aman dan menguntungkan. Tentu saja hal ini akan mengakibatkan usaha untuk memenuhi kebutuhan terhadap tanah dan bangunan akan meningkat.
Jumlah penduduk di wilayah Provinsi Sumatera Utara tahun 2011 sebanyak 13.103.596 jiwa dengan tingkat kepadatan penduduk 183 jiwa per km2. Penyebaran penduduk di Provinsi Sumatera Utara masih bertumpu di Kota Medan yakni sebesar 16,2 persen dan Kabupaten Deli Serdang sebesar 13,8 persen sedangkan kabupaten yang lainnya dibawah 10 persen. Sementara dilihat dari kepadatan penduduk Kabupaten/Kota yang paling tinggi tingkat kepadatan penduduknya adalah Kota Medan yakni sebanyak 7.987 jiwa per Km2 dan yang paling rendah adalah Kabupaten Pakpak Barat dengan tingkat kepadatan penduduk sebanyak 34 jiwa per Km2 (BPS, 2013).
yang terus meningkat, maka transaksi pengalihan hak atas tanah dan bangunan juga meningkat. Sehingga mendorong naiknya penerimaan BPHTB.
2.1.5.2 Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK)
IKK merupakan salah satu variabel yang digunakan untuk menghitung DAU. Tujuan dilakukannya penghitungan IKK adalah untuk memperoleh gambaran tentang tingkat kesulitan geografis menyediakan data dasar dalam rangka kebijakan dana perimbangan dan utamanya digunakan sebagai salah satu variabel kebutuhan fiskal dalam penghitungan Dana Alokasi Umum untuk pengalokasian pada tahun berikutnya (sumber:BPS).
DAU merupakan dana yang bersumber dari Pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemeratan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi yang merupakan instrumen transfer yang bertujuan untuk meminimumkan ketimpangan fiskal antardaerah, sekaligus memeratakan kemampuan antardaerah (equalization grant). Prinsip alokasi DAU meliputi:
a)Pemerataan keuangan antardaerah
b) Untuk mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antardaerah c)Penerapan formula
d) Mempertimbangkan kebutuhan potensi daerah (sumber: BPS)
menyebutkan bahwa IKK digunakan sebagai proxy untuk menggambarkan tingkat kesulitan geografis suatu daerah. Dengan demikian semakin sulit letak geografis suatu daerah maka semakin tinggi pula angka IKK-nya. Oleh sebab itu, dapat diketahui semakin sulit letak geografis suatu daerah, semakin sulit distribusi barang dan jasa maka harga barang dan jasa akan naik yang pada akhirnya menurunkan permintaan yang sekaligus akan menurunkan pendapatan masyarakat setempat.
Oleh karena dapat diketahui bahwa semakin sulit letak geografis suatu daerah maka semakin sulit distribusi barang dan jasa di daerah tersebut. Dimana harga barang dan jasa akan mengalami kenaikan dan permintaan akan menurun yang pada akhirnya akan menurunkan pendapatan masyarakat di daerah tersebut.
IKK merupakan salah satu pengukur kebutuhan fiskal suatu daerah yang secara umum mengindikasikan perkiraan besarnya kebutuhan anggaran yang diperlukan oleh daerah dalam memberikan pelayanan publik kepada masyarakat. Dalam penghitungan IKK jenis bangunan dikelompokkan menjadi 3 (tiga), antara lain:
1. Bangunan tempat tinggal dan bukan tempat tinggal, yang terdiri dari : a. Konstruksi gedung tempat tinggal seperti rumah, rumah susun,
ataupun perumahan.
b. Konstruksi gedung bukan tempat tinggal seperti perkantoran, tempat hiburan, stasiun, dll.
2. Bangunan pekerjaan umum untuk jalan, jembatan dan pelabuhan yang terdiri dari
b. Bangunan jalan dan jembatan kereta. c. Bangunan dermaga
3. Bangunan lainnya yang terdiri dari :
a. Bangunan sipil, pembangunan lapangan olahraga, lapangan parker, dan sarana lingkungan pemukiman.
b. Bangunan pekerjaan umum untuk pertanian seperti bangunan pengairan dan tempat proses hasil pertanian.
c. Bangunan elektrikal seperti pembangkit tenaga listrik.
d. Konstruksi telekomunikasi udara seperti bangunan pemancar. e. Konstruksi sinyal dan telekomunikasi kereta api.
f. Konstruksi sentral telekomunikasi seperti bangunan sentral telepon. Penghitungan IKK tahun 2005 hingga 2009 menggunakan kenaikan indeks harga perdagangan besar (IHPB) bahan bangunan/konstruksi pada februari 2004 sampai dilaksanakan survei serentak pada periode berjalan. Pada tahun 2010 penghitungan IKK menggunakan kota Samarinda sebagai kota acuan. Dan pada tahun 2011 kembali menggunakan IHPB konstruksi dan kota Samarinda sebagai kota acuan. Kota Samarinda terpilih karena mempunyai nilai IKK yang mendekati 100 pada tahun 2010(sumber : BPS).
2.2 Review Peneliti Terdahulu
Properti Sebagai Dasar Optimalisasi Penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dari Sektor Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB) (Studi: Tanah Di Kota Denpasar Tahun 2013)”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
Assessment Ratio pada kecamatan kecamatan di Kota Denpasar di sekitar angka 30-40an persen. Denpasar Selatan 30,63 persen, Denpasar Timur 31,21 persen, Denpasar Barat 38,57 persen, dan yang terakhir Denpasar Utara 40,80 persen. Akan tetapi rasio keempat kecamatan di Kota Denpasar masih di bawah standar yang ditetapkan pemerintah, yaitu 80 persen (underassessment). Tingkat keseragaman penentuan NPOP dari pergerakan indikasi nilai pasar properti tanah di Kota Denpasar tergolong rendah. Hal ini dapat ditunjukkan dengan nilai COV dari masing-masing kecamatan Kota Denpasar dari yang terendah adalah Denpasar Utara (26,079 persen), Denpasar Selatan (40,844 persen), Denpasar Barat (42,160 persen), dan Denpasar Timur (58,430 persen).
sebagai dasar pengenaan pajak BPHTB terjadi under assessment terhadap nilai pasar.
Hak (2012) melakukan penelitian yang berjudul “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan PBB Perdesaan dan Perkotaan”, dengan Hasil pengujian hipotesis menunjukkan terdapat pengaruh positif secara tidak signifikan jumlah Wajib Pajak terhadap penerimaan PBB P2, terdapat pengaruh positif secara tidak signifikan inflasi terhadap penerimaan PBB P2, terdapat pengaruh negatif secara signifikan tingkat suku bunga terhadap penerimaan PBB P2 di kota Medan. sedangkan secara simultan terdapat pengaruh signifikan jumlah Wajib Pajak, PDRB perkapita, Inflasi, tingkat suku bunga, dan investasi terhadap penerimaan PBB P2 di kota Medan.
Tabel 2.1. Pemungutan BPHTB ke Daerah terhadap Kondisi Fiskal Daerah
Dependen:
Kondisi Fiskal Daerah
Independen: BPHTB
penerimaan BPHTB tahun 2011 baru berhasil dipungut di 406 daerah, masih lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2010 yang berhasil dipungut di 461 daerah. Disamping itu, dari 406 daerah yang telah memungut BPHTB tersebut sebagian memperoleh pemungutan yang sangat rendah, bahkan sebanyak 28 daerah hanya berhasil memungut kurang dari Rp20 juta.
Tingkat Keakuratan Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) Terhadap Nilai Pasar Properti Sebagai Dasar
Optimalisasi Penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dari Sektor Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan
Bangunan (BPHTB)
(Studi: Tanah Di Kota Denpasar Tahun 2013)
(Tesis)
Dependen: Nilai pasar Properti
Independen: - Assessment Rasio
NPOP di Kota Denpasar di sekitar angka 30-40an persen. indikasi nilai pasar properti tanah di Kota Denpasar tergolong rendah. Hal ini dapat ditunjukkan dengan nilai COV dari masing-masing kecamatan Kota yang terakhir Denpasar Utara 40,80 persen. Akan tetapi rasio keempat kecamatan
di Kota Denpasar masih di bawah standar yang ditetapkan pemerintah, yaitu 80 Denpasar dari yang terendah adalah Denpasar Utara (26,079 persen), Denpasar
Dedi Kuswanto (2014)
Akurasi Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP)
Sebagai Dasar Pengenaan Pajak Bea Perolehan Hak
Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB) Terhadap Nilai Pasar (Studi Di Kecamatan pajak BPHTB di wilayah Kecamatan Purwokerto bahwa nilai mean sebesar 0,334, nilai median sebesar 0,353, dan nilai weighted mean sebesar 0,303 adalah berada di bawah nilai standar IAAO sebesar 0,90. Hal ini
( 2012) Analisis Faktor-Faktor yang
Ari Budiharjo (2003)
Pengaruh Jumlah Penduduk, PDRB, dan inflasi terhadap penerimaan PBB pada Kabupaten dan Kota di Jawa Tengah
Dependen: Penerimaan PBB
Independen: -Jumlah Penduduk -PDRB
Inflasi
1.Jumlah penduduk secara signifikan berpengaruh positif terhadap
penerimaan PBB baik di kabupaten maupun kota 2. PDRB berpengaruh positif terhadap