• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Tipologi Fasad Studi Kasus: Rumah Toko Di Kota Banda Aceh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Tipologi Fasad Studi Kasus: Rumah Toko Di Kota Banda Aceh"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Ruko

Ruko adalah akronim dari sebuah istilah untuk salah satu jenis bangunan.

Akronim tersebut merupakan gabungan dari kata rumah dan toko. Rumah berarti bangunan sebagai tempat tinggal (Pusat Bahasa Depdiknas, 2008: 1323) dan toko berarti bangunan permanen tempat kegiatan usaha (Pusat Bahasa Depdiknas, 2008: 1323).

Kedua kata tersebut sama-sama merupakan sebuah bangunan yang dibedakan oleh fungsi. Penggabungan kedua kata tersebut lahir dari terjadinya penggabungan kedua fungsi bangunan tersebut. Ruko memiliki karakteristik secara umum, yaitu:

1. Bentuk bangunan memanjang ke belakang dengan lebar yang sangat minim.

2. Umumnya lebih dari 1 lantai guna memisahkan antara fungsi rumah (bagian atas) dan toko (bagian bawah).

3. Terbangun lebih dari 1 unit dengan fasad yang sama dalam 1 deret. 4. Tidak memiliki ruang terbuka di sisi samping bangunan.

(2)

2.2 Sejarah Ruko

Ruko dapat kita temukan di berbagai kota di dunia sebagai bangunan komersial

dan diyakini sebagai bangunan yang berarsitektur Tionghoa. Dalam pertumbuhannya ruko mengalami adaptasi dengan kondisi lingkungan setempat, hal inilah yang membuat bentuknya menjadi beragam. Pada awalnya, dahulu kala pedagang-pedagang Tionghoa berlayar dengan tujuan berdagang rempah-rempah, mereka sering singgah di pelabuhan-pelabuhan sepanjang perjalanannya untuk menunggu cuaca membaik agar bisa berlayar kembali. Para pedagang yang tinggal membangun kelompok pemukiman dengan konstruksi dan gaya bangunan yang sama dengan tempat tinggal di daerah asalnya. Pemukiman ini juga dilengkapi dengan bangunan ibadah yang dinamakan klenteng dan berada di sekitar pasar, hal inilah yang menyebabkan timbulnya identitas unik pada kawasan yang mereka bangun. Kawasan komersial masyarakat Tionghoa ini dikenal dengan nama Pecinan.

(3)

khususnya di kawasan jalan Toko Tiga atau jalan Perniagaan di daerah Glodog, pertumbuhan ruko dimulai oleh warga Tionghoa yang berprofesi secara turun temurun sebagai pedagang. Mereka beranggapan bahwa pada awalnya bidang usaha mereka dapat diurus oleh satu atau beberapa anggota keluarganya, maka untuk praktisnya bangunan dipakai sebagai tempat usaha dagang, kantor, toko, gudang, dan sekaligus untuk hunian. Ruang depan untuk usaha, ruang belakang adalah rumahnya, juga banyak rumah yang bertingkat di mana lantai bawah dipakai untuk usaha, dan lantai atas dipakai sebagai rumah mereka.

Pola yang terakhir inilah yang tidak berubah sampai saat ini bila ditinjau dari fungsi ruang-ruangnya. Dhani Mutiari (2004) dalam jurnalnya yang berjudul Karakteristik Tampilan Fasade Ruko Cina di Surakarta, menemukan adanya kaidah-kaidah budaya Cina yang terdiri atas nilai-nilai keharmonisan, hierarki, dan keseimbangan (simetri) teraplikasi dalam bentuk tampilan pada fasade rumah atau rumah toko Cina yang masih terlihat secara visual bentuk tradisionalnya maupun telah bertransformasi ke bentuk universal (universal style). Kondisi ini tercermin dalam perwajahan ruko-ruko Cina di nusantara yang menjadi cikal bakal munculnya bangunan ruko di Indonesia.

2.3 Perkembangan Ruko dan Pengaruhnya terhadap Kota

Perkembangan ruko di Indonesia dimulai sejak tahun 1800-an di daerah-daerah

(4)

perkembangan zaman di mana nilai tanah semakin tinggi dan persediaannya pun semakin terbatas, maka para saudagar itu pun membagi tanah bagian belakangnya untuk dijual. Situasi ini menyebabkan munculnya usaha untuk menaikkan bangunan yang memisahkan ruang untuk usaha toko di bawah dan hunian di bagian atas. Susunan bangunan inilah yang kemudian populer dengan sebutan Ruko. Ruko-ruko yang tersusun berderet memanjang ini membentuk satu kawasan perdagangan.

Semakin berkembangnya kawasan tersebut menyebabkan nilai ekonomis kawasan tersebut meningkat, sehingga mengundang pemilik modal untuk membangun lagi ruko-ruko di kawasan tersebut. Akibatnya pembangunan Ruko menjadi tidak terkendali, tidak memperhatikan syarat-syarat bagi fungsi hunian dan nonhunian, semuanya bercampur aduk dalam kawasan tersebut. Hal ini menyebabkan terbentuknya bangunan yang tidak manusiawi dan menghilangkan identitas lingkungannya, sehingga tanpa disadari perkembangannya kemudian menjurus pada terbentuknya satu kawasan yang kumuh.

(5)

dinikmati. Para pengembang properti di kota-kota besar berlomba-lomba membangun ruko-ruko pada kawasan yang strategis dengan pertimbangan aspek bisnis yang sangat menguntungkan. Ruko-ruko ini dibangun berdampingan dengan bangunan-bangunan perumahan elit. Sebagai contoh kawasan Kelapa Gading, Pondok Indah, Kemang, yang kita jumpai di Jakarta adalah produk dari persaingan bisnis antar pengembang. Persaingan ini membuat para pengembang membangun ruko-rukonya dengan tampilan fasade yang beraneka ragam, bahkan wajah arsitektur bangunan yang berasal dari mancanegara dianggap layak untuk diadopsi sebagai daya tarik bagi konsumen. Selain itu perang warna pada fasade ruko semakin membuat kesan ramai menjurus norak, kekayaan arsitektur lokal pun jadi terabaikan, westernisasi menjadi hal yang mutlak bagi pengembang.

Muncul fenomena baru yang tanpa disadari merusak identitas dan jati diri kearifan arsitektur lokal yang sudah terbukti sangat bersahabat dengan iklim tropis Indonesia. Berada di kawasan tersebut seolah-olah kita sedang berada pada suatu tempat di Eropa yang beriklim tropis, hal ini menyebabkan karakter ataupun ciri-ciri kota menjadi tidak menentu. Itulah sebabnya bangunan ruko umumnya dicap sebagai bangunan yang merusak tata kota dan juga merusak pemandangan kota secara keseluruhan. Bangunan ruko dianggap sebagai gudang yang dihuni manusia. Susahnya, justru bangunan ruko lah yang kini makin banyak dibangun.

(6)

yang sesuai dengan kebiasaan dan budaya di negara mereka dengan iklim dan kearifan lokal di tanah air. Situasi ini bisa dihindari bila pemerintah kota menerapkan secara tegas peraturan-peraturan dan syarat-syarat bagi pengembang mengenai pelaksanaan pembangunan ruko-ruko tersebut, hal ini akan sangat mendukung untuk terciptanya kawasan-kawasan yang dapat menciptakan citra kota yang selaras dengan budaya dan arsitektur lokal mengingat pembangunan ruko yang pesat sangat berpotensi sebagai elemen pembentuk wajah kota yang selaras dengan identitas lokal yang kita miliki. Pulau dewata adalah contoh bagaimana citra kota yang dibangun dengan konsep-konsep budaya lokal yang unik terbungkus dengan paduan arsitektur lokal dan modern telah terbukti mampu menarik sumber devisa yang sangat signifikan bagi pemerintah daerah.

2.3.1 Fungsi ruko dan pengaruhnya terhadap bentuk

Setiap bangunan yang terbangun didasari oleh pemenuhan kebutuhan manusia

(7)

Dalam penelitian ini, objek penelitian merupakan sebuah bangunan dengan fungsi utama yang sama yaitu rumah toko. Dengan fungsi utamanya, ruko telah memiliki tipologi bentuk bangunan yang cenderung sama. Secara umum, ruko berbentuk persegi panjang dengan ruas struktur kotak dan mengarah vertikal. (Gambar 2.1).

Gambar 2.1 Contoh Tipologi Denah Ruko

Sumber: http://www.grandtaruma.com/artikel/ruko-darmawangsa-1.html

(8)

ditentukan oleh pemanfaatan lahan yang sangat-sangat efisien sehingga ketika ruko terbangun secara massal, bagian sisi samping ruko harus berdempet. Ini menyebabkan hanya tersisa sisi depan dan belakang ruko saja yang masih dapat menyesuaikan dengan fungsi-fungsi tersebut. Untuk kebutuhan fungsi estetika tampilan bangunan, ruko hanya memiliki bagian depan sebagai bidang yang dianggap paling representatif.

2.4 Tipologi dan Tipologi Fasad dalam Arsitektur

Tipologi adalah ilmu yang mempelajari tentang pengelompokan berdasarkan

tipe atau jenis. Tipologi merupakan satu bidang studi yang mengelompokkan objek dengan ciri khas struktur formal yang sama dan kesamaan sifat dasar kedalam jenis-jenis tertentu dengan cara memilah elemen-elemen yang mempengaruhi jenis-jenis tersebut. Aspek klasifikasi dalam pengenalan tipologi mengarah kepada usaha mengklasifikasikan, mengkelaskan, dan mengelompokan objek berdasarkan aspek-aspek/kaidah-kaidah tertentu. Aspek-aspek yang dapat diklasifikasikan dapat berupa fungsi, bentuk, maupun gaya.

(9)

tipologi dikatakan sebagai studi tentang pengelompokan objek sebagai model melalui kesaman struktur. Struktur formal yang dimaksud di sini tidak hanya berupa istilah yang berkaitan dengan geometrik fisik semata, tetapi juga berkaitan dengan apa yang disebut sebagai “deeper geometri” yaitu geometrik yang tidak hanya terbatas pada perbandingan geometri matematis, akan tetapi berkaitan dengan realita mulai dari aktifitas sosial sampai dengan konstruksi bangunan. Struktur formal juga diartikan sebagai kaitan atau inter relasi antar elemen (Sugini dalam aplikawati, 2006).

Tjahjono (1992) mengatakan bahwa studi tipologi dalam dunia arsitektur berarti studi dalam usaha pemilahan dan klasifikasi, hingga dapat terungkap keragaman dan kesamaan dalam produk arsitektur yang satu dengan lainnya. Pada dasarnya, tipologi merupakan konsep yang mendeskripsikan kelompok objek atas dasar kesamaan sifat-sifat dasar. Menurut Sukada dan Sulistijowati (1991), ada tiga tahapan yang harus dijalani untuk menentukan satu tipologi, yaitu:

1. Menentukan bentuk-bentuk dasar yang ada dalam setiap obyek arsitektural;

2. Menentukan sifat-sifat dasar yang dimiliki oleh setiap objek arsitektural berdasarkan bentuk dasar yang ada dan melekat pada obyek tersebut;

3. Membantu kepentingan proses mendesain (membantu terciptanya produk baru).

(10)

figur. Istilah ini digunakan secara luas untuk menjelaskan bentuk umum, struktur, atau pembedaan karakter sebagian kelompok hal atau objek. Pada abad ke-20 muncul pengertian tambahan “pola atau model yang dihasilkan dari sesuatu setelah sesuatu itu dihasilkan/diwujudkan”. Pengertian tambahan tersebut juga digunakan terhadap orang atau benda dalam menilai suatu kualitas dari suatu klasifikasi, khususnya terhadap ciri-ciri atau karakteristik khusus.

Menurut Sulistijowati (1991:12), pengenalan tipologi akan mengarah pada upaya untuk “mengkelaskan”, mengelompokkan, atau mengklasifikasikan didasari oleh aspek atau kaidah tertentu. Aspek tersebut antara lain:

1. Fungsi (meliputi penggunaan ruang, struktural, simbolis, dan lain-lain); 2. Geometrik (meliputi bentuk, prinsip, tatanan, dan lain-lain);

3. Langgam (meliputi periode, lokasi atau geografi, politik atau kekuasaan, etnik atau budaya, dan lain-lain).

(11)

Fragmen-fragmen tersebut terpadu dan memiliki makna berdasarkan 3 tingkat kriteria berikut:

1. Merupakan warisan makna dari bentuk-bentuk di masa lalu. 2. Berasal dari lingkungan khusus.

3. Merupakan rekomposisi fragmen-fragmen tertentu dalam konteks yang baru.

Pernyataan Vidler tersebut menegaskan bahwa tipologi dihasilkan dari pengamatan terhadap seluruhan elemen kota. Jika kita menelaah dari komponen pembentuk kota, ada kemungkinan kita tidak menemukan tipologi baru. Setiap tipologi pasti ada dan tidak selalu harus merujuk kepada tipologi-tipologi yang sudah ada sebelumnya.

2.5 Elemen Tipologi dalam Arsitektur

Sebuah bangunan dibentuk dari bentukan-bentukan dasar geometri dan pada

(12)

Elemen arsitektur yang mempengaruhi konteks dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Empat Elemen Arsitektur yang Mempengaruhi Konteks Sumber: Architecture Form Space and Order (Ching; 1943)

(13)

2.5.1 Komposisi

Komposisi ialah susunan unsur-unsur rupa yang memancarkan kesan-kesan

kesatupaduan, irama, dan keseimbangan dalam suatu karya, sehingga karya itu terasa utuh, jelas, dan memikat.

Unsur desain adalah unsur-unsur yang digunakan untuk mewujudkan desain, sehingga orang lain dapat membaca desain itu. Maka yang dimaksud tidak lain adalah unsur-unsur yang dapat dilihat atau lazim disebut unsur visual. Wujudnya adalah garis, bidang, bentuk, warna, tekstur, ukuran, nada gelap terang, dan arah.

Setiap unsur seni dikomposisikan secara estetis. Sebagai kata sifat estetika (estetik) mengandung pengertian keindahan dan juga rasa indah. Sedangkan sebagai ilmu, estetika berarti ilmu pengetahuan yang membahas segala sesuatu yang estetik.

Kapasitas estetika dalam seni adalah sebagai “roh” yang menentukan hidup dan matinya sebuah tampilan karya seni dan desain. Seniman atau designer adalah pemberi “roh” tentu menyadari roh macam apa yang harus disandangkan kepada seni rupanya. Oleh karena itu setiap karya seni harus dikomposisikan secara estetis agar menghasilkan karya yang menarik.

(14)

2.5.2 Pola komposisi

Pola komposisi ada 3 macam, yaitu simetri, asimetri, dan bebas atau informal. a. Pola simetri

Pola simetri menggambarkan dua bagian yang sama dalam sebuah susunan. Komposisi yang berpola simetri meletakkan fokusnya di tengah, dan meletakkan unsur-unsurnya di bagian kiri sama dengan bagian kanan, ibarat pinang di belah dua. Jika ada dua fokus dalam komposisi simetri, maka penempatanya bisa stu di kiri, satu di kanan. Penempatan demikian memberikan kesan bagian kiri dan bagian akanan sama kuat. Komposisi berpola simetri memberikan kesan formal, beraturan dan statis.

b. Pola asimetri

Pola asimetri meletakkan fokusnya tidak di tengah-tengah, dan paduan unsur-unsur di bagian kiri tidak sama dengan yang di bagian kanan, tetapi tetap memancarkan keseimbangan. Kompisisi asimetri memberikan kesan keteraturan yang bervariasi dan karenanya tidak formal serta lebih dinamis. c. Pola bebas

(15)

2.5.3 Prinsip-prinsip dasar seni rupa

Berikut akan dijelaskan prinsip-prinsip dasar seni rupa, yaitu:

a. Kesatuan (Unity)

Kesatuan merupakan salah satu prinsip dasar tata rupa yang sangat penting. Tidak adanya kesatuan dalam sebuah karya rupa akan membuat karya tersebut terlihat cerai-berai, kacau-balau yang mengakibatkan karya tersebut tidak nyaman dipandang. Prinsip ini sesungguhnya adalah prinsip hubungan. Jika salah satu atau beberapa unsur rupa mempunyai hubungan (warna, raut, arah, dll), maka kesatuan telah tercapai.

b. Keseimbangan (Balance)

Karya seni dan desain harus memiliki keseimbangan agar nyaman dipandang dan tidak membuat gelisah. Seperti halnya jika kita melihat pohon atau bangunan yang akan roboh, kita merasa tidak nyaman dan cenderung gelisah. Keseimbangan adalah keadaan yang dialami oleh suatu benda jika semua daya yang bekerja saling meniadakan. Dalam bidang seni keseimbangan ini tidak dapat diukur tapi dapat dirasakan, yaitu suatu keadaan di mana semua bagian dalam sebuah karya tidak ada yang saling membebani.

c. Proporsi (Proportion)

(16)

perbandingan matematis dalam sebuah bidang. Proporsi Agung (The Golden Mean) adalah proporsi yang paling populer dan dipakai hingga saat ini dalam karya seni rupa hingga karya arsitektur. Proporsi ini menggunakan deret bilangan Fibonacci yang mempunyai perbandingan 1:1,618, sering juga dipakai 8:13. Konon proporsi ini adalah perbandingan yang ditemukan pada benda-benda alam termasuk struktur ukuran tubuh manusia sehingga dianggap proporsi yang diturunkan oleh Tuhan sendiri. Dalam bidang desain proporsi ini dapat kita lihat dalam perbandingan ukuran kertas dan layout halaman.

d. Irama (Rhythm)

Irama adalah pengulangan gerak yang teratur dan terus menerus. Dalam bentuk-bentuk alam bisa kita ambil contoh pengulangan gerak pada ombak laut, barisan semut, dan lain-lain. Prinsip irama sesungguhnya adalah hubungan pengulangan dari bentuk-bentuk unsur rupa.

e. Dominasi (Domination)

(17)

Perkembangan fasade sebuah bangunan itu sendiri sangat bergantung pada perubahan-perubahan sosial budaya masyarakat. Keberagaman tampilan fasade bangunan merupakan modifikasi berbagai unsur desain yang dari waktu ke waktu mengalami transformasi. Menurut Ching (1979: 50-51) “Perlengkapan visual bentuk yang menjadi objek transformasi dan modifikasi bentuk elemen pada fasade bangunan meliputi sosok, ukuran, warna, tekstur, posisi, orientasi dan inersia visual”. Selain tradisi lokal, budaya luar melalui informasi yang didapat masyarakat memberikan pengaruh yang kuat terhadap pemilihan perlengkapan visual bentuk sehingga tampilan sosok, warna, ukuran, tekstur, dan lain-lain seringkali menggambarkan bagaimana kondisi serta trend apa yang sedang muncul pada saat desain fasade itu dibuat.

Untuk mengevaluasi atau melakukan studi pada arsitektur fasade menurut DK Ching (1979): “Komponen visual yang menjadi objek transformasi dan modifikasi dari fasade bangunan dapat diamati dengan membuat klasifikasi melalui prinsip-prinsip gagasan formatif yang menekankan pada geometri, simetri, kontras, ritme, proporsi dan skala”.

(18)

keseimbangan diagonal. Untuk membangun suatu keseimbangan komposisi, simetri harus jauh lebih dominan dari asimetri. Fasade harus memiliki “wajah-wajah” yang mencerminkan solusi terencananya yang berbeda tetapi tetap simetris di dalam diri mereka sendiri (analog terhadap tubuh manusia). Tampak samping seperti yang terlihat, dapat memainkan peran minor dalam menyeimbangkan tampak depan dan belakang.

Kontras Kedalaman yaitu gagasan formatif yang mempertimbangkan warna dan pencahayaan kedalaman menjadi perbedaan gelap terang yang terjadi pada elemen fasade. Tingkat perbedaan dikategorikan menjadi 3; sangat gelap, gelap, terang. Ritme yaitu tipologi gambaran yang menunjukan komponen bangunan dalam bentuk repetasi baik dalam skala besar maupun skala kecil. Komponen yang dimaksud dapat berupa kolom, pintu, jendela atau ornamen. Semakin sedikit ukuran skala yang berulang, dikategorikan ritme monoton, semakin banyak dikategorikan dinamis.

(19)

Skala dalam arsitektur menunjukkan perbandingan antara elemen bangunan atau ruang dengan suatu elemen tertentu dengan ukurannya bagi manusia. Pada konteks fasade bangunan, skala merupakan proporsi yang dipakai untuk menetapkan ukuran dan dimensi-dimensi dari elemen fasade.

2.5.4 Fasad dan pengaruhnya

Dalam buku Surface Architecture (Leatherbarrow dan Mostafavi, 2002), diterangkan sebuah kejadian bahwa fasad mampu bercerita tentang beberapa hal. Pada awal abad ke-20, seorang arsitek Amerika bernama Albert Kahn menghasilkan beberapa karya bangunan industrial. Pada saat itu Kahn dianggap merancang bangunan hanya dalam konteks bisnis yang menurut sebagian pengamat bangunan-bangunannya jauh dari seni arsitektural. Ternyata hal tersebut tidak sepenuhnya benar karena pada bangunan nonbisnis lainnya seperti gereja, sekolah, dan lainnya, Kahn tidak melupakan aspek arsitekturalnya.

(20)

bangunan dapat menyampaikan apa fungsi bangunan tersebut secara harfiah, serta seluruh bagian permukaan bangunan dapat menunjukkan representasi profil bangunan secara keseluruhan. Bahkan menurutnya, arsitektur digunakan sebagai alat moralitas sosial, sebagai pelopor dari karakter bangunan, baik bangunan tunggal maupun berkelompok (Ledoux, 1990).

Dari kedua kasus tersebut didapat bahwa karakter muka bangunan dapat menunjukkan beberapa hal, diantaranya karakter bangunan itu sendiri maupun kondisi sosial pada masa itu. Paling tidak sebuah bangunan akan menunjukkan secara harfiah apa fungsi bangunan tersebut.

2.6 Fasad

Dalam buku Dictionary of Architecture & Construction, pengertian fasad adalah

bagian (arsitektural) luar dari wajah bangunan yang terkadang digunakan untuk membedakan dengan wajah bangunan lainnya dengan cara mengelaborasi detil arsitektural atau ornamental (Harris, 2006). Walaupun tidak dikatakan dengan jelas bahwa fasad merupakan bagian depan bangunan, namun pengertian “wajah” dalam definisi tersebut dapat diartikan bagian muka atau depan.

(21)

Di sisi lain kita juga dibatasi oleh tipologi bentuk berdasarkan fungsi bangunan. Seperti yang dikatakan penulis buku Time Saver Standard for Building Types (1983), Joseph De Chiara dan John Hancock Callender, “ketika kita berbicara tentang standar kebutuhan fungsi sebuah bangunan, kita juga sering akan bertemu dengan bentuk-bentuk dengan karakter yang sama berdasarkan fungsi yang sama” (De Chiara, 1983). Ternyata dari kedua hal tersebut tidaklah bertentangan dengan kenyataan objek penelitian ini. Ruko yang merupakan bangunan fungsional, dengan pemanfaatan lahan dan bentuk yang efisien, melahirkan tipologi bentuk (ciri khas) khusus seperti yang telah kita bahas pada bagian awal bab ini. Kemudian, dengan karakter bentuk seperti itu, ruko hanya memiliki bagian muka dari bangunan yang dapat diolah tampilan arsitekturalnya.

2.6.1 Elemen fasad

Selubung bangunan merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan ciri

dari satu bangunan. Adalah elemen utama dari tampilan bangunan, juga merupakan bentuk dari wajah bangunan (fasade). Ciri yang dapat dilihat dari wajah bangunan atau selubung bangunan adalah bentuk atap, ornamen, ragam hias, dan juga elemen-elemen penyusun wajah bangunan lainnya seperti bukaan dan dinding bangunan (Suryokusumo, 2006).

(22)

dalam memberikan kemungkinan kreatifitas dalam ornamentasi dan dekorasi. Pernyataan Krier tersebut bisa diartikan, pada dasarnya fasad akan menggambarkan bentuk bangunan sesuai dengan fungsi dan strukturalnya atau yang dia istilahkan dengan fasad yang transparan. Seiring dengan upaya pencapaian keindahan yang lebih harmonis, hal-hal selain bukaan (pintu dan jendela) mengalami berbagai macam jenis pengolahan.

Krier (2001), mempertegas pendapatnya bahwa muka bangunan merupakan wajah bangunan yang memamerkan keberadaan bangunan kepada publik. Muka bangunan dibentuk oleh dimensi, komposisi, dan ragam hias. Komposisi muka bangunan mempertimbangkan persyaratan fungsional pada dasarnya berkaitan dengan kesatuan proporsi yang baik, harmonis, dan selaras, penyusunan elemen horizontal dan vertikal yang terstruktur, bahan, warna, dan elemen dekoratif lainnya. Hal lain yang tidak kalah penting untuk diperhatikan adalah proporsi bukaan, ketinggian bangunan, prinsip pengulangan, keseimbangan komposisi yang baik, serta tema yang tercakup kedalam variasi.

(23)

pada tiang sebagai penyangga, penggunaan elemen-elemen naratif seperti balok jendela untuk mempertegas independensi jendela, teritisan yang menghasilkan bayangan, bahan-bahan yang menonjolkan massa juga dapat digunakan. Krier (2001).

Pendapat Lippsmeir (1980; 74-90), mempertegas lagi mengenai elemen wajah bangunan dari sebuah bangunan yang sekaligus merupakan komponen komponen yang mempengaruhi wajah bangunan adalah: (1) atap; (2) dinding; dan (3) lantai.

Lapisan horizontal pada fasad dihasilkan dari daerah-daerah fungsi yang berbeda. Secara prinsip suatu fasad tidak boleh dirancang tanpa pembedaan horizontal. Suatu pembedaan yang jelas diterapkan dengan sangat tepat di antara lantai dasar, tingkat biasa dan loteng. Fasad sebagai “batas binaan” bekerja serupa dengan portal. Karena itu dinding merupakan suatu tempat di mana eksterior berubah menjadi interior dan sebaliknya.

Dari ketiga sumber tersebut, unsur-unsur yang mempengaruhi karakter suatu fasad dapat disintesakan seperti Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Unsur-unsur yang Mempengaruhi Karakter Fasad menurut Beberapa Ahli Menurut

Krier Lippsmeir Suryokusumo

Elemen dekorasi Atap Bentuk atap

Bukaan dinding Ornamen

Ketinggian bangunan lantai Ragam hias

(24)

Tabel 2.1 (Lanjutan)

Unsur-unsur yang Mempengaruhi Karakter Fasad menurut Beberapa Ahli

Maksud dari Elemen dekorasi yang disebut oleh Krier dan ornamen serta ragam hias yang disebut oleh Suryokusumo adalah hal yang sama, yaitu elemen-elemen nonfungsional yang ada pada fasad untuk kebutuhan estetika atau yang lebih dikenal dengan sebutan elemen dekorasi. Krier dan Suryokusumo menyebutkan bukaan, yaitu bagian dari fasad (dinding) yang terbuka. Baik itu jendela, pintu,maupun ventilasi. Ketinggian bangunan yang disebutkan oleh Krier dimaksudkan untuk menunjukkan proporsi dari bentuk fasad tersebut. Lippsmeir dan suryokusumo menyebutkan dinding, atap, dan lantai di mana mereka bermaksud menunjukan bentuk fasad yang terbentuk dari elemen-elemen tersebut.

Dalam penjabaran mengenai elemen dekorasi, Krier menyebutkan bahan dan warna dari fasad juga memberi pengaruh terhadap karakteristik fasad. Jika studifasad dilakukan menggunakan metode visual, warna dapat teridentifikasi namun bahan tidak. Dari salah satu pernyataan Krier diatas diketahui pula bahwa karakteristik unsur-unsur tersebut dinilai dari dimensi (bentuk) dan komposisinya. Sumber: Sintesa kajian teori

Secara diagram, apa saja unsur-unsur yang mempengaruhi karakteristik fasad dan apa yang dinilai dari unsur tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.3.

Unsur-Unsur yang Mempengaruhi Karakteristik Fasad

(25)
(26)

2.7 Kesimpulan Tinjauan Pustaka

Dari definisi-definisi beberapa sumber pustaka, didapat pengertian dan elemen-

Gambar

Gambar 2.1 Contoh Tipologi Denah Ruko Sumber: http://www.grandtaruma.com/artikel/ruko-darmawangsa-1.html
Gambar 2.2 Empat Elemen Arsitektur yang Mempengaruhi Konteks Sumber: Architecture Form Space and Order (Ching; 1943)
Tabel 2.1 Unsur-unsur yang Mempengaruhi Karakter Fasad menurut Beberapa Ahli
Tabel 2.1 (Lanjutan)

Referensi

Dokumen terkait

dilakukan adalah meneliti perkembangan tipologi ruko di kota Medan, antara lain yaitu aspek-aspek dari tata ruang luar, tata ruang dalam, massa, dan perwajahan, fungsi dan

Selain itu, hal yang harus diperhatikan dalam perencanaan tersebut adalah jalur interpretasi lanskap kawasan wisata sejarah, karena situs- situs yang berada pada kawasan

Bentuk fasad di kawasan Kesawan di jalan Ahmad Yani yang menggunakan arsitektur kolonial, melayu dan cina, konsep arsitektur tersebut bisa dilihat dari bentuk

Kawasan Kesawan telah mengalami perubahan fasad bangunan khususnya.. di Jalan Ahmad Yani.Saat ini banyak kawasan di Kota Medan yang

12 Tahun 2011 tentang RTRW dapat dikatakan bahwa wilayah kelurahan dengan tingkat perkembangan wilayah tinggi berada pada kawasan yang diperuntukkan sebagai kawasan perdagangan

Namun Gampong Mibo di Kecamatan Banda Raya dan Gampong Ceurih di Kecamatan Ulee Kareng yang tidak termasuk dalam kebijakan pengembangan kawasan pinggiran justru berkembang

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kawasan strategis Kecamatan Lueng Bata dapat dikembangkan menjadi kawasan perdagangan dan jasa campuran namun perlu dilengkapi

Variabel Penelitian Parameter Indikator Fasad bangunan adalah bagian terluar yang menginterpretasikan muka bangunan Identifikasi fasad atau muka bangunan rumah toko yang