Laporan Perkembangan
Perbankan Syariah
2012
Bismillahirrahmaanirrahiim,
VISI : “ Terwujudnya sistem perbankan syariah yang sehat, kuat dan istiqamah terhadap prinsip syariah dalam kerangka keadilan,
kemaslahatan dan keseimbangan, guna mencapai masyarakat
yang sejahtera secara material dan spiritual (falah)”
MISI : “Mewujudkan iklim yang kondusif untuk pengembangan
perbankan syariah yang kompetitif, efisien dan memenuhi prinsip
syariah dan prinsip kehati-hatian, yang mampu mendukung sektor
riil melalui kegiatan berbasis bagi hasil dan transaksi riil dalam
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
Puji syukur senantiasa kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala nikmat, petunjuk dan hidayah-Nya sehingga dengan izin dan kasih-sayang-Nya kita dapat melalui berbagai tantangan dan dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawab masing-masing selama tahun 2012. Hingga tahun 2012 perkembangan dan kinerja usaha perbankan Syariah Indonesia masih mengalami pertumbuhan yang relatif cukup tinggi ditengah melambatnya perekonomian global. Hal ini merupakan indikasi nyata dari masih besarnya keinginan masyarakat Indonesia untuk mencapai sebuah kehidupan yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur seperti nilai keadilan, keseimbangan dan kemanfaatan bagi semua yang ditawarkan oleh keuangan dan perbankan syariah, yang tidak hanya menjunjung tinggi keuntungan dan nilai duniawi semata.
Pertumbuhan aset perbankan syariah pada akhir tahun 2012 yang mencapai ±34% (yoy), dan pertumbuhan pembiayaan yang tetap tinggi yang mencapai ±44% (yoy) dengan NPF gross perbankan syariah (BUS+UUS) yang terkendali, merupakan beberapa contoh masih tetap terjaganya kinerja perbankan syariah Indonesia. Walaupun sepanjang tahun 2012 dampak krisis keuangan global cenderung melambatkan laju pertumbuhan ekonomi di berbagai negara, namun memiliki pengaruh yang relatif minimal terhadap industri perbankan syariah nasional, yang terlihat antara lain dari pertumbuhan volume usaha perbankan syariah yang relatif masih cukup tinggi. Pencapaian ini tidak terlepas dari besarnya ekspansi jaringan kantor dan layanan perbankan syariah yang ditunjang antara lain oleh infrastruktur grup perbankan syariah, strategi promosi dan edukasi masyarakat di bidang perbankan syariah yang ditempuh melalui koordinasi/sinergi Bank Indonesia dengan pelaku industri maupun stakeholders lainnya.
Uraian berbagai kondisi dan perkembangan yang dihadapi industri perbankan syariah dan sektor terkait, dilengkapi dengan pelaksanaan kebijakan di bidang penelitian, pengaturan, pengawasan, perizinan dan pengembangan perbankan syariah oleh Bank Indonesia, serta perkiraan mengenai perkembangan dan arah kebijakan ke depan dicakup dalam laporan ini. Dengan adanya laporan ini diharapkan dapat mendokumentasikan perkembangan yang dihadapi oleh industri perbankan syariah nasional selama tahun 2012, serta sebagai salah satu bentuk dari akuntabilitas publik agar seluruh stakeholders Bank Indonesia dapat memperoleh informasi yang lengkap dan jelas tentang perkembangan industri perbankan syariah dengan berbagai macam tantangan dan peluang serta arah kebijakan Bank Indonesia maupun perkembangan sektor terkait seperti keuangan syariah non perbankan.
Atas nama Bank Indonesia, saya menyampaikan perhargaan kepada seluruh stakeholders
atas usaha dan kerjasama yang baik dalam rangka menumbuhkembangkan perbankan syariah. Semoga Allah SWT memberikan hidayah dan kekuatan bagi kita untuk melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya.
Billaahittaufiq Walhidayah, Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Jakarta, 29 April 2013
RINGKASAN EKSEKUTIF
Proses pemulihan perekonomian global sudah mulai dirasakan pada akhir tahun 2012, walaupun di beberapa bagian dunia masih ada yang justru baru memasuki krisis keuangan dan perekonomian. Namun secara umum arah perkembangan perekonomian pada tahun 2013 diprakirakan akan lebih baik dari pada tahun 2012. Terlebih untuk kinerja perekonomian Indonesia dengan tingkat konsumsi domestik relatif tinggi dan kelas menengah yang meningkat serta ditunjang oleh kondisi makro ekonomi yang relatif terjaga dengan baik, merupakan beberapa faktor penyebab perekonomian nasional tidak terlalu terpengaruh oleh krisis perekonomian global. Begitu pula dengan perbankan syariah nasional, relatif tidak begitu signfikan mengalami dampak krisis ekonomi global pada awal tahun 2012 sejalan dengan fokus perbankan Indonesia yang lebih tertuju kepada pasar domestik yang masih besar, serta potensi pangsa perbankan syariah yang masih tinggi di Indonesia, dengan pangsa pasar sampai dengan akhir tahun 2012 telah mendekati 5%.
Sepanjang tahun 2012, kinerja industri perbankan syariah nasional yang masih didominasi struktur asetnya sekitar ± 98% oleh Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS) relatif
cukup baik, tercermin dari : (i) fungsi intermediasi berada pada tingkat yang optimal dengan rata-rata FDR sebesar 97,16%; (ii) tingkat kecukupan modal (CAR) masih jauh di atas minimum 8% dengan rata-rata CAR sebesar ±15,17%; dan (iii) tingkat pembiayaan bermasalah (Non Performing Financing/NPF) masih di bawah 5% dengan rata-rata sebesar 2,72% dan bahkan untuk posisi Desember 2012 mencapai 2,22%. Walaupun begitu, dari sisi pertumbuhan aset, terjadi perlambatan aset industri yang relatif signifikan pada bulan Maret sampai dengan bulan September 2012, lebih karena penurunan Dana Pihak Ketiga (DPK) yang cukup tajam. Penurunan ini disebabkan antara lain karena penarikan dana simpanan milik pemerintah (Kementerian Agama) dari bank syariah yang cukup besar, dimana dialihkan ke Sukuk Dana Haji Indonesia guna memenuhi target pendanaan pembangunan. Namun pada bulan-berikutnya, DPK dan aset bank syariah mengalami peningkatan kembali. Dengan demikian, pelambatan pertumbuhan industri perbankan syariah lebih akibat kondisi domestik. Perkembangan perbankan syariah selama satu tahun terakhir cukup menggembirakan, dimana total asetnya meningkat menjadi Rp. 199,72 triliun dan melebihi proyeksi moderat tahun sebelumnya sebesar Rp.187,2 triliun
Sementara itu, dalam rangka untuk terus meningkatkan dan mengembangkan industri perbankan syariah, Bank Indonesia juga terus melakukan penelitian dan pengembangan baik secara internal bekerja sama dengan lembaga lain maupun melalui berbagai forum, seminar dan workshop
permohonan produk dan jasa baru, baik yang dikategorikan sebagai permohonan produk/jasa baru maupun sebagai laporan atas produk/jasa baru yaitu meningkat sebesar 30% dibanding tahun 2011, dimana permohonan produk di sisi pembiayaan lebih besar dibandingkan sisi pendanaan.
Dalam rangka proses pengembangan perbankan syariah, Bank Indonesia melakukan program edukasi dan promosi perbankan syariah kepada berbagai kalangan dalam berbagai even, baik atas inisiatif Bank Indonesia sendiri maupun bekerjasama dengan stakeholders lain. Kegiatan dimaksud, tidak hanya dilakukan di dalam negeri namun juga dilaksanakan di luar negeri seperti pelaksanaan training of trainers, seminar internasional maupun pengiriman narasumber ke luar negeri untuk lebih mengenalkan framework pengembangan perbankan dan keuangan syariah Indonesia. Kerjasama dengan berbagai institusi di dalam negeri maupun di luar negeri akan tetap dipelihara dan ditingkatkan, seperti dengan Dewan Syariah Nasional – MUI, IAI, Kementerian Keuangan, industri perbankan syariah domestik maupun dengan institusi keuangan syariah internasional seperti IDB, IFSB, IIFM dan IILM. Kerjasaman dan kegiatan-kegiatan ini dilaksanakan dalam rangka semakin mengukuhkan keberadaan Indonesia di kancah perkembangan keuangan syariah global. Atas kegiatan promosi perbankan syariah pada tahun 2012 tersebut ternyata diapresiasi oleh kalangan internasional, dimana Bank Indonesia memperoleh penghargaan dari
Islamic Finance News (IFN) Malaysia sebagai “The Best Central Bank in Promoting Islamic Finance”.
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ... i
Ringkasan Eksekutif ... ii
Daftar Isi……… ... iv
Daftar Grafik ... vi
Daftar Tabel ... viii
BAB I. PERKEMBANGAN INDUSTRI PERBANKAN SYARIAH 1.1. Kondisi Umum ... 1
1.2. Kelembagaan ... 3
1.3. Penghimpunan Dana ... 4
1.4. Penyaluran Dana ... 6
1.5. Profitabilitas dan Permodalan ... 11
1.6. Pelaksanaan Fungsi Sosial dan Linkage Program ... 13
BAB II. PELAKSANAAN KEBIJAKAN 2.1. Penelitian, Pengembangan dan Pengaturan Bank Syariah ... 15
2.1.1. Kegiatan Bidang Penelitan... 16
2.1.2. Kegiatan Bidang Pengaturan ... 22
2.1.3. Kegiatan Bidang Review Kebijakan dan Standar Internasional ... 24
2.1.4. Kegiatan Bidang Pengembangan Pengawasan ... 28
2.1.5. Kegiatan Bidang Pengembangan Produk dan Edukasi ... 32
Boks. Kajian Model Bisnis Perbankan Syariah ... 17
Boks. Working Group Produk Perbankan Syariah ... 34
2.2. Pengawasan Bank Syariah ... 40
2.2.1. Peningkatan Kualitas Pengawasan Melalui Forum Panel dan Pelatihan ... 40
2.2.2. Pelaksanaan Pengawasan ... 40
2.3. Perizinan Bank Syariah ... 45
2.3.1. Perizinan Kelembagaan ... 45
2.3.2. Fit and Proper Test ... 46
2.3.3. Perkembangan Produk dan Jasa ... 47
BAB III. HUBUNGAN KERJASAMA DOMESTIK DAN INTERNASIONAL 3.1. Kerjasama Dengan Lembaga Domestik ... 49
3.1.1. Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) ... 50
3.1.2. Working Group Perbankan Syariah………... 51
3.1.3. Komite Perbankan Syariah...52
3.2. Kerjasama dengan Lembaga Internasional ... ..54
3.2.2. Islamic Financial Services Board (IFSB)... 55
3.2.3. International Islamic Financial Market (IIFM) ... 56
3.2.4. Accounting and Auditing for Islamic Financial Institution (AAOIFI)... 57
3.2.5. International Islamic Liquidity Management (IILM) ... 57
Boks. Standar IFSB Tahun 2012 ... 60
BAB IV. PERKEMBANGAN OPERASI MONETER, PASAR KEUANGAN DAN LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH NON BANK 4.1. Operasi Moneter Syariah ... 64
4.1.1. Pelaksanaan Operasi Pasar Terbuka (OPT) Syariah... 65
4.1.2. Perkembangan Aset Likuid Perbankan Syariah ... 67
4.2. Perkembangan Pasar Uang Syariah (PUAS) ... 68
4.2.1. Volume dan Frekuensi Transaksi PUAS ... 68
4.2.2. Tingkat Imbalan di PUAS ... 70
4.2.3. Pelaku Transaksi di PUAS ... 70
4.3. Perkembangan Surat Berharga Syariah Negara ……….72
4.4. Perkembangan Pasar Modal Syariah ... 76
4. 4.1.Kebijakan Pengembangan Pasar Modal Syariah ………..………..…… 76
4.4.2. Perkembangan Produk Syariah di Pasar Modal ... 79
4.5. Perkembangan Perasuransian Syariah ... 85
4.5.1. Kebijakan Pengembangan di Bidang Usaha Asuransi Syariah ... 85
4.5.2. Perkembangan Usaha Asuransi Syariah dan Usaha Reasuransi Syariah ………87
4.6. Perkembangan Perusahaan Pembiayaan Syariah ... ..91
BAB V. PROSPEK DAN ARAH KEBIJAKAN 5.1.Prospek Kondisi Perekonomian 2013 ... 96
5.2. Dampak Makroekonomi Terhadap Perbankan Syariah ... 100
5.3. Proyeksi Pertumbuhan Perbankan Syariah 2013 ... 102
5.4. Arah Kebijakan ... 104
DAFTAR SINGKATAN ... 112
DAFTAR ISTILAH ... 114
LAMPIRAN L1. Ikhtisar Ringkas Hasil Kajian Perbankan Syariah Tahun 2012 ... 116
L2. Ikhtisar Ketentuan Perbankan Syariah Tahun 2012 ... 125
L3. Daftar Kegiatan Edukasi Publik di Bidang Perbankan Syariah Tahun 2012 ... 134
DAFTAR GRAFIK
Grafik 1.1. Perkembangan Aset Perbankan Syariah ... 2
Grafik 1.2. Perkembangan Kegiatan Usaha Perbankan Syariah per Propinsi ... 3
Grafik 1.3. Komposisi Sumber Dana ... 5
Grafik 1.4. Jangka Waktu DPK BUS & UUS ... 5
Grafik 1.5. Deposito BUS & UUS dan Tingkat Imbalan Nasabah ... 6
Grafik 1.6. DPK BUS & UUS Menurut Golongan Nasabah ... 6
Grafik 1.7. Komposisi Aset Perbankan Syariah 2012 ... 7
Grafik 1.8. Perkembangan Pembiayaan ... 8
Grafik 1.9. Pembiayaan BUS & UUS per Sektor Usaha 2012 ... 9
Grafik 1.10. Pembiayaan Properti ... 10
Grafik 1.11. Perkembangan NPF BUS & UUS ... 10
Grafik 1.12. Pendapatan, Biaya dan Efisiensi BUS & UUS ... 12
Grafik 1.13. Profitabilitas Perbankan Syariah ... 12
Grafik 1.14. Perkembangan Dana Sosial/Linkage Program BUS dan UUS ... 14
Grafik 1.15. Rata-rata Pertumbuhan Dana Sosial/Linkage Program BUS dan UUS ... 14
Grafik.2.1. Profil Risiko BUS 2011 ... 42
Grafik.2.2 . Profil Risiko BUS 20112 ... 42
Grafik.2.3. Tingkat Kesehatan BUS 2011 ... 43
Grafik.2.4. Tingkat Kesehatan BUS 2012 ... 43
Grafik.2.5. Tingkat Kesehatan BPRS 2011 ... 44
Grafik.2.6. Tingkat Kesehatan BPRS 2012 ... 44
Grafik.2.7. Permohonan Produk ... 47
Grafik.2.8. Produk Pembiayaan ... 47
Grafik.4.1. Komposisi Instrumen Operasi Moneter (Kontraksi) Syariah vs Konvensional ... 65
Grafik.4.2. Perkembangan Posisi FASBIS dan Excess Reserve ... 67
Grafik.4.3. Perkembangan Rasio Aset Likuid ... 68
Grafik.4.4. Rata-rata Harian Volume dan Frekuensi Transaksi PUAS ... 69
Grafik.4.5. Pembiayaan dan DPK ... 69
Grafik.4.6. Likuiditas Perbankan Syariah ... 70
Grafik 4.7. Pergerakan Tingkat Imbalan PUAS ... 70
Grafik 4.8. Komposisi Kepemilikan SBSN ... 74
Grafik 4.9. Komposisi Kepemilikan SBSN per BUS dan UUS ... 74
Grafik 4.10. Perkembangan Sukuk ... 79
Grafik 4.11. Proporsi Sukuk terhadap Obligasi ... 80
Grafik 4.12. Perkembangan Outstanding SBSN ... 80
Grafik 4.13. Proporsi Outstanding SBSN terhadap SUN ... 80
Grafik 4.14. Perkembangan Reksadana Syariah ... 81
Grafik 4.16. Kontribusi Reksadana Syariah ... 82
Grafik 4.17. Perkembangan Saham Syariah ... 82
Grafik 4.18. Bidang Industri Saham Syariah ... 83
Grafik 4.19. Perkembangan dan Kapitalisasi Pasar Indeks Saham Syariah Indonesia ... 83
Grafik 4.20. Perkembangan dan Kapitalisasi Pasar Jakarta Islamic Index ... 84
Grafik 4.21. Perkembangan Total Aset dan Piutang Perusahaan Pembiayaan Syariah ... 92
Grafik 4.22. Perbandingan Porsi Aset Perusahaan Pembiayaan Syariah dengan Konvensional ... 92
Grafik 4.23. Perbandingan Porsi Piutang Perusahaan Pembiayaan Syariah dan Konvensional ... 93
Grafik 4.24. Komposisi Jenis Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah ... 94
Grafik 4.25. Sumber Pendanaan Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Syariah ... 94
Grafik 5.1. FDR, CAR dan NPF Perbankan Syariah (BUS dan UUS) ... 101
Grafik 5.2. Break Down Pembiayaan Perbankan Syariah ... 101
Grafik 5.3. Proyeksi dan Realisasi Total Aset Perbankan Syariah ... 103
Grafik 5.4. Proyeksi Market Share Perbankan Syariah ... 103
Grafik 5.5. Proyeksi dan Realisasi Total DPK Perbankan Syariah ... 103
Grafik 5.6. Proyeksi dan Realisasi Total Pembiayaan Perbankan Syariah ... 104
Grafik 5.7. Perkembangan Share Aset BUS dan UUS Terhadap 10 BUK Induk terbesar ... 109
Bagan 1. Struktur Organisasi IILM (2012) ... 59
Bagan 2. Layanan Syariah Industri Pasar Modal ... 84
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1. Perkembangan Jaringan Kantor Bank Syariah ... 4
Tabel.1.2. Perkembangan DPK 2012 ... 5
Tabel 3.1. Lembaga/Organisasi Terkait Perbankan Syariah 2012 ... 49
Tabel 4.1. Indikator Perbankan ... 64
Tabel 4.2. Volume dan Frekuensi Transaksi PUAS ... 69
Tabel 4.3. Perkembangan Pelaku Transaksi PUAS ... 71
Tabel 4.4. Komposisi Pelaku Transaksi PUAS ... 71
Tabel 4.5. Rasio PUAS ... 72
Tabel 4.6. Surat Berharga Syariah Negara (SBSN)………..……...……….72
Tabel 4.7.10. SBSN yang aktif diperdagangkan ..………..……..……….75
Tabel 4.8. Perkembangan Perusahaan Asuransi dan Reasuransi dengan Prinsip Syariah ... 88
Tabel 4.9. Kekayaan Usaha Asuransi dan Reasuransi dengan Prinsip Syariah ... 88
Tabel 4.10. Investasi Usaha Asuransi dan Reasuransi dengan Prinsip Syariah ... 89
Tabel 4.11. Portofolio Investasi Perusahaan Asuransi dan Reasuransi Syariah ... 89
Tabel 4.12. Kontribusi Bruto Usaha Asuransi dan Reasuransi dengan Prinsip Syariah ... 90
Tabel 4.13. Penetrasi dan Densitas Usaha Asuransi dan Reasuransi dengan Prinsip Syariah ... 90
Tabel 4.14. Manfaat Bruto Asuransi dan Reasuransi dengan Prinsip Syariah ... 91
Tabel 4.15. Perusahaan Pembiayaan Syariah (2008 – 2012) ... 91
Tabel 4.16. Perkembangan Perusahaan Pembiayaan Syariah (2008 – 2012) ... 93
Tabel 5.1. Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi (%) ... 97
Halaman ini sengaja dikosongkan ..
BAB I. PERKEMBANGAN INDUSTRI PERBANKAN SYARIAH
1.1.KONDISI UMUM
Kinerja perekonomian Indonesia pada tahun 2012 cukup menggembirakan di tengah perekonomian dunia yang melemah dan diliputi ketidakpastian. Pertumbuhan ekonomi dapat dipertahankan pada tingkat yang cukup tinggi, yaitu 6,2%, dengan inflasi yang terkendali pada tingkat yang rendah (4,3%) sehingga berada pada kisaran sasaran inflasi 4,5±1%. Di tengah menurunnya kinerja ekspor, pertumbuhan ekonomi lebih banyak ditopang oleh permintaan domestik yang tetap kuat, terutama yang berasal dari konsumsi rumah tangga yang mencapai pertumbuhan tertinggi sejak krisis keuangan global tahun 2008/2009, didukung oleh terjaganya daya beli dan keyakinan konsumen yang meningkat. Selain itu secara sektoral, pertumbuhan ekonomi domestik masih ditopang oleh tiga sektor utama, yaitu sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, hotel dan restoran (PHR), serta sektor pengangkutan dan komunikasi. Perkembangan tersebut didukung oleh kondisi ekonomi makro dan sistem keuangan yang kondusif yang memungkinkan rumah tangga dan sektor usaha melakukan kegiatan ekonominya dengan baik. Kondusifnya kondisi makro dan sistem keuangan dimaksud tidak terlepas dari bauran kebijakan moneter, nilai tukar dan makroprudensial serta penguatan koordinasi dengan pemerintah yang ditempuh Bank Indonesia.
Sejalan dengan kinerja perekonomian yang baik, stabilitas sistem keuangan di tahun 2012 tetap terjaga, dan sektor perbankan secara umum juga masih mampu mempertahankan kinerja positif yang tercermin pada peningkatan fungsi intermediasi, perbaikan efisiensi, dan ketahanan dalam menghadapi krisis. Sepanjang tahun 2012 total aset bank umum tumbuh sebesar 16,7% (yoy) menjadi Rp4.262,6 triliun, salah satunya didorong oleh ekspansi kredit bank umum konvensional (BUK) yang mencapai Rp507,8 triliun atau 23,1% (yoy). Meskipun sedikit melambat dibandingkan dengan pertumbuhan kredit tahun 2011 sebesar 24,6%, secara umum fungsi intermediasi perbankan masih menunjukkan peningkatan seiring makin besarnya kontribusi kredit pada sektor-sektor produktif dalam bentuk kredit investasi dan modal kerja (70,5%, dari tahun sebelumnya 69,7%), bunga kredit yang makin terjangkau (rata-rata menurun 68 bps dari tahun lalu), dan rasio LDR yang terus membaik menjadi 83,6%, dari tahun sebelumnya sebesar 78,8%.
Efisiensi perbankan dalam periode laporan juga semakin membaik, ditandai oleh penurunan rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional pada BUK dari 85,4% menjadi 74,1%. Penurunan rasio tersebut didukung oleh peningkatan pendapatan seiring berlanjutnya ekspansi kredit, dan peningkatan efisiensi operasional diantaranya dalam bentuk penurunan biaya overhead. Sementara dari sisi ketahanan menghadapi krisis, sekalipun terjadi ekspansi kredit yang cukup tinggi, permodalan bank secara umum tergolong memadai. Hal ini diindikasikan oleh modal BUK yang pada tahun laporan tercatat sebesar Rp500,1 triliun atau meningkat 22,5% dari tahun lalu, dengan rata-rata Capital Adequacy Ratio (CAR) meningkat dari 16,0% menjadi sebesar 17,4%. Selain itu, kondisi likuiditas perbankan masih memadai dalam mengantisipasi penarikan dana nasabah, tercermin dari rasio alat likuid terhadap non-core deposit sebesar 113,7%, masih diatas threshold 100%.
1.1). Laju pertumbuhan volume usaha tersebut lebih rendah dibandingkan tahun lalu (48,6%, yoy) dan terutama dialami oleh kelompok BUS.
Penurunan laju pertumbuhan usaha yang dihadapi perbankan terkait perlambatan pertumbuhan ekonomi yang dipengaruhi ketidakpastian pemulihan ekonomi global dan penurunan harga komoditas, secara umum tidak mempengaruhi pertumbuhan perbankan syariah. Hal ini mengingat, masih terbatasnya eksposur perbankan syariah pada sektor-sektor tradable dan berbasis komoditas seperti sektor manufaktur, pertanian dan pertambangan. Namun demikian, pertumbuhan perbankan syariah tampaknya cukup terpengaruh oleh meningkatnya intensitas kompetisi di sektor perbankan sejalan dengan tren penurunan suku bunga. Meningginya intensitas persaingan tersebut mendorong terkonsentrasinya likuiditas pada sekelompok kecil BUK sehingga sebagian besar BUK lainnya dan juga bank-bank umum syariah harus berkompetisi secara kurang sehat yang berujung pada tingginya return dan harga produk yang ditawarkan serta relatif rendahnya efisiensi operasional, yang selanjutnya mempengaruhi kinerja bank-bank tersebut.
Meskipun mengalami perlambatan, laju pertumbuhan aset perbankan syariah tersebut tetap lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan aset perbankan secara nasional, sehingga pangsa perbankan syariah terhadap industri perbankan nasional meningkat dari 4,0% menjadi 4,6%. Selain itu, pertumbuhan aset tersebut tetap diikuti pelaksanaan intermediasi dana pihak ketiga yang dihimpun yang mencapai Rp150,5 triliun, ke berbagai segmen pembiayaan secara optimal. Hal ini tercermin dari besarnya pembiayaan yang mencapai Rp151,1 triliun yang mendorong kenaikan financing to deposit ratio perbankan syariah, diantaranya pada kelompok BUS dari 86,7% pada 2011 menjadi 95,4% pada akhir periode laporan.
cukup tinggi (Grafik 1.2). Perkembangan tersebut menunjukkan peluang pengembangan perbankan syariah yang cukup besar di luar ibukota negara, meskipun DKI Jakarta dengan skala aktivitas ekonominya, tetap menjadi target utama pengembangan usaha perbankan syariah dengan pangsa DPK dan pembiayaan terhadap industri masing-masing mencapai 45,6% dan 39,9%.
Grafik 1.2.
Perkembangan Kegiatan Usaha Perbankan Syariah Per Propinsi
! ! " #
"# $ %
GPYD
GDPK
1.2. KELEMBAGAAN
Jumlah bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah pada tahun 2012 bertambah seiring dengan beroperasinya sejumlah bank syariah baru. Jumlah BUS dan UUS tidak bertambah dari tahun sebelumnya yaitu tetap sebanyak 11 BUS dan 24 UUS. Sementara itu jumlah BPRS bertambah dari 155 BPRS menjadi 158 BPRS. Penambahan jumlah BPRS tersebut bersumber dari 3 izin pendirian usaha baru dan 1 izin konversi dari BPR konvensional. Selain itu pada tahun 2012 juga terjadi pencabutan izin usaha 1 BPRS.
Wilayah lokasi usaha 155 BPRS tersebut tersebar pada 22 propinsi di Indonesia, dengan jumlah terbanyak terdapat di Jawa Timur sebanyak 30 BPRS, diikuti Jawa Barat sebanyak 29 BPRS. Penyebaran BPRS yang belum merata dengan sebaran terbanyak berada di pulau Jawa membuka peluang bagi para investor yang ingin membuka BPRS baru terutama di 12 propinsi lainnya yang belum memiliki BPRS.
Tabel 1.1.
Perkembangan Jaringan Kantor Bank Syariah
Kelompok Bank 2010 2011 2012
Bank Umum Syariah 11 11 11
Unit Usaha Syariah 23 24 24
- Jumlah Kantor BUS dan UUS 1477 1737 2262
BPRS 150 155 158
- Jumlah Kantor BPRS 286 364 401
1.3. PENGHIMPUNAN DANA
Sumber-sumber penghimpunan dana (tidak termasuk modal) perbankan syariah secara umum didominasi oleh dana pihak ketiga (DPK). Pada kelompok BUS kontribusi DPK mencapai 87,2%, sedangkan pada UUS dan BPRS kontribusi DPK masing-masing sebesar 77,3% dan 73,7%. Kontribusi DPK pada BUS secara umum sedikit menurun dari tahun 2012 yang mencapai 90,6%. Penurunan tersebut dikompensasi oleh peningkatan dana antar bank, diantaranya dalam bentuk sertifikat investasi mudharabah antar bank (SIMA), yang meningkat hingga 84,4% (yoy) pada BUS, seiring meningkatnya preferensi terhadap instrumen likuid. Sementara pada UUS, pendanaan selain DPK utamanya berasal dari dana bank induk dengan porsi tetap sebesar 15,4%. Pada BPRS, selain DPK yang menjadi sumber utama, BPRS juga memanfaatkan pendanaan dari bank-bank umum syariah dengan pangsa 21,5% (Grafik 1.3). Secara umum pemanfaatan sumber dana dari bank lain menunjukkan peningkatan, hal mana mengindikasikan semakin meningkatnya keterkaitan antar bank yang perlu dicermati dalam antisipasi tekanan likuditas yang berpotensi sistemik.
Selain itu, sumber pendanaan alternatif dalam bentuk secured/unsecured financing dari pasar keuangan dan atau kreditor lainnya juga mulai menjadi pilihan. Pada tahun 2012 tercatat penerbitan sukuk subordinasi oleh BUS meningkat Rp1,3 triliun. Meski demikian, pangsa sumber dana tersebut masih relatif rendah yaitu 2,3% pada BUS dan kurang dari 2% pada UUS. Sementara itu sumber dana dalam bentuk valas juga masih terbatas dengan porsi sebesar 4,9%. Kondisi tersebut merefleksikan preferensi layanan keuangan syariah yang masih relatif sederhana dan belum menuntut pemanfaatan instrumen pasar keuangan dan valas, hal mana menyebabkan kewajiban bank syariah relatif tidak terpengaruh bila terjadi volatilitas harga di pasar keuangan dan valas.
Grafik 1.3. Grafik 1.4
Komposisi Sumber Dana Jangka Waktu DPK BUS & UUS (2012)
Dana pihak ketiga yang dihimpun BUS dan UUS sepanjang tahun 2012 tercatat tumbuh sebesar 27,8% (yoy), sedangkan pada BPRS mencapai 40,2% (Tabel 1.2). Dibandingkan tahun 2011 yang mencapai 51,8%, pertumbuhan DPK BUS dan UUS tersebut melambat meskipun masih lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan DPK perbankan nasional sebesar 15,8% (yoy). Berdasarkan jenis instrumen, pertumbuhan terendah dialami deposito (19,7%, yoy) yang terjadi pada kelompok BUS. Sementara pertumbuhan tabungan sedikit menurun dari dari 42,3% menjadi 38,2%, sedangkan pertumbuhan giro justru meningkat dari 32,6% menjadi 47,5% dalam periode yang sama.
Secara umum perkembangan tersebut sejalan dengan tren penurunan suku bunga perbankan. Perbankan syariah memanfaatkan tren tersebut untuk meningkatkan porsi tabungan dan giro, sekaligus mengurangi ketergantungan struktur dana pada pemilik dana yang memiliki target return tinggi. Kontribusi tabungan dan giro pada DPK perbankan syariah meningkat dari 38,7% pada tahun 2011 menjadi 42,6%. Sejalan dengan hal tersebut, sejak pertengahan 2013 return differential deposito rupiah perbankan syariah dibandingkan deposito BUK cenderung turun menjadi kurang dari 60 bps (Grafik 1.5).
Langkah penyesuaian struktur DPK tersebut positif bagi ekspansi lebih lanjut bank-bank syariah, khususnya pada segmen retail, untuk melayani kebutuhan transaksi masyarakat. Meskipun demikian, tantangan memperbesar porsi dana tabungan dan giro tergolong berat, mengingat dominasi sejumlah kecil BUK atas sumber dana tersebut. Porsi dana ‘murah’ pada DPK BUS dan UUS tersebut masih jauh lebih rendah dari porsi yang dimiliki 5 BUK terbesar yang mencapai 66,2%, namun sudah mendekati porsi dana tersebut pada BUK lainnya yang rata-rata sebesar 47,9%.
0.0%
dep iB >1bln dep iB ≤1bln tk.imbalan dep 1bln bunga dep 1bln
0%
Individu (triliun) Institusi (triliun) Individu (%, yoy) Institusi (%, yoy) Selain dipengaruhi penyesuaian struktur DPK yang dilakukan dalam merespon penurunan tingkat bunga, pelambatan pertumbuhan DPK perbankan syariah juga dipengaruhi oleh penarikan dana haji oleh Kementerian Agama yang mencapai Rp4,2 triliun. Pengaruh kedua faktor tersebut terlihat pada kepemilikan DPK oleh nasabah institusi. Pertumbuhan DPK institusi pada periode laporan sebesar 26,4% (yoy) lebih rendah dari pertumbuhan keseluruhan DPK BUS dan UUS. Hal ini menyebabkan pangsa DPK institusi menurun dari 50,7% pada tahun 2011 menjadi 50,1% pada periode laporan (Grafik 1.6).
Grafik 1.5. Grafik 1.6.
Deposito BUS & UUS dan Tingkat Imbalan DPK BUS & UUS Menurut Golongan Nasabah
Meskipun secara nominal pertumbuhan DPK mengalami pelambatan, namun dari sisi jumlah rekening terjadi peningkatan yang signifikan dibandingkan tahun sebelumnya. Jumlah rekening DPK yang dikelola BUS dan UUS per Desember 2012 mencapai 10,9 juta rekening, atau sekitar 9,2% dari total rekening simpanan yang dikelola bank umum secara nasional. Peningkatan jumlah rekening DPK juga terjadi pada BPRS yang pada 2011 mengelola 0,8 juta rekening, sehingga total rekening DPK perbankan syariah mencapai 11,7 juta, meningkat sebanyak 2,8 juta rekening, atau lebih tinggi dari penambahan rekening pada 2011 sebanyak 2,2 juta rekening. Perkembangan tersebut menunjukkan dukungan kuat perbankan syariah dalam meningkatkan akses keuangan masyarakat. Peningkatan akses dan preferensi nasabah atas produk dan layanan perbankan syariah senantiasa menjadi sasaran yang terus diupayakan pencapaiannya oleh Bank Indonesia antara lain melalui program iB campaign bersama industri perbankan syariah, edukasi masyarakat dan pengaturan serta perizinan perluasan jaringan.
1.4. PENYALURAN DANA
Peningkatan pangsa pembiayaan tersebut sejalan dengan pertumbuhan pembiayaan perbankan syariah yang mencapai 43,7% (yoy). Ditengah perlambatan pertumbuhan DPK, pertumbuhan pembiayaan yang tergolong signifikan tersebut menegaskan bahwa fungsi intermediasi perbankan syariah berjalan dengan baik dan tetap fokus kepada sektor riil.
Penempatan dana lainnya yang cukup signifikan pada kelompok BUS dan UUS adalah penempatan pada BI yaitu sebesar Rp26,7 triliun atau 13,7% dari total aset. Selain giro untuk pemenuhan GWM, bank syariah menempatkan dana pada instrumen operasi moneter syariah (OMS) berupa FASBIS, SBIS & Reverse Repo SBSN sebagai bagian dari strategi pengelolaan likuiditas. Dibandingkan tahun sebelumnya, penempatan bank syariah pada instrumen OMS mengalami penurunan hingga Rp1,9 triliun, antara lain untuk menutup kebutuhan penarikan dana haji dan tingginya ekspansi pembiayaan. Namun demikian, secara keseluruhan alat likuid BUS dan UUS yang terdiri atas primary reserve (kas dan giro pada BI) dan secondary reserve (instrumen OMS dan SBSN) masih mengalami peningkatan sebesar 10,0% (yoy) menjadi Rp34,0 triliun. Pertumbuhan alat likuid tersebut masih lebih rendah dibandingkan pertumbuhan DPK. Meski demikian kemampuan BUS dan UUS mengantisipasi risiko likuiditas yang bersumber dari penarikan DPK masih tergolong memadai. Hal ini tercermin dari rasio alat likuid terhadap non core deposit (setelah dikurangi GWM) sebesar 105,1%, sedikit lebih rendah dibandingkan rata-rata BUK (113,7%), namun masih diatas normal threshold 100%.
Grafik 1.7.
Komposisi Aset Perbankan Syariah (2012)
Penyaluran dana dalam bentuk valas yang dilakukan bank-bank syariah secara umum masih relatif rendah, meskipun sedikit meningkat dari tahun sebelumnya. Per posisi akhir tahun 2012, nilai penempatan dana dalam valas pada BUS dan UUS sebesar Rp9,3 triliun, atau 4,8% dari total aset, sedikit meningkat dari porsi tahun sebelumnya sebesar 4,3%. Rendahnya eksposur valas tersebut mempermudah upaya bank-bank syariah mengendalikan risiko pasar yang bersumber dari fluktuasi nilai tukar. Selain eksposur risiko nilai tukar yang rendah, eksposur bank-bank syariah terhadap risiko pasar berupa penurunan nilai portfolio aset keuangan juga masih relatif rendah seiring jumlah surat berharga yang dikategorikan selain hold to maturity yang baru sebesar Rp0,8 triliun atau 0,4 % dari total aset.
0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100%
BUS UUS BPRS
Kas
Pembiayaan dan Risiko Kredit (credit risk)
Pertumbuhan pembiayaan (yoy) pada bank-bank umum syariah tercatat sebesar 34,2%, melambat dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 50,2%. Sebaliknya, pembiayaan pada kelompok UUS meningkat 85,3%, jauh melebihi pertumbuhan tahun 2011 sebesar 52,4%. Demikian pula halnya pembiayaan BPRS yang tumbuh 32,8%, sedikit lebih tinggi dibandingkan tahun 2011 sebesar 29,9%
Dilihat dari jenis akadnya, secara umum penyaluran pembiayaan perbankan syariah masih didominasi oleh akad murabahah. Pada periode laporan pembiayaan murabahah tumbuh 56,1% (yoy), sehingga menempati pangsa 59,7% dari total pembiayaan BUS dan UUS. Sementara pada pembiayaan BPRS pangsa akad murabahah mencapai 80,3%. Pemanfaatan akad-akad lain dalam pembiayaan berubah secara dinamis, khususnya pada kelompok BUS dan UUS. Pada periode laporan, penggunaan akad ijarah dalam pembiayaan BUS dan UUS tercatat tumbuh 91,3% (yoy) sehingga pangsa pembiayaan ijarah meningkat dari 3,7% pada tahun 2011 menjadi 5,0% pada tahun 2012. Sebaliknya pembiayaan berbasis qardh yang tahun lalu berkembang pesat, pada periode laporan mengalami perlambatan -6,5% (yoy) yang dipengaruhi oleh kebijakan perbankan syariah memperkuat kehati-hatian dalam penjualan produk rahn emas. Perlambatan tersebut menurunkan pangsa pembiayaan berbasis qard dari 12,6% menjadi 8,2% dalam periode yang sama. Pembiayaan lain yang pangsanya tercatat mengalami penurunan dalam periode laporan adalah pembiayaan bagi hasil, yaitu dari 28,4% menjadi 26,9%.
(yoy). Peningkatan tersebut juga didukung oleh stance penguatan kehati-hatian dalam penyaluran pembiayaan konsumsi, antara lain melalui penetapan maksimal plafon per nasabah dan frekuensi perpanjangan pembiayaan qardh beragun emas, yang berdampak pada perlambatan pertumbuhan pembiayaan konsumsi. Dalam periode laporan, kenaikan pembiayaan konsumsi BUS dan UUS tercatat sebesar Rp21,8 triliun atau 50,6% (yoy), lebih rendah dari pertumbuhan 2011 sebesar 87,9% (yoy).
Berdasarkan sektor usaha (diluar sektor lainnya), pembiayaan bank-bank syariah masih terkonsentrasi pada sektor jasa dunia usaha, dan sektor perdagangan, hotel dan restoran (PHR), masing-masing dengan pangsa sebesar 25,2% dan 8,6% (Grafik 1.9). Kinerja kedua sektor tersebut relatif baik sepanjang 2012 yang diindikasikan oleh pertama, pertumbuhan yang diperkirakan mencapai 8,1% (yoy, pdb harga konstan) untuk sektor PHR dan 7,1% (yoy) untuk jasa dunia usaha. Kedua, risiko yang relatif rendah tercermin dari rendahnya rasio NPL (gross) perbankan nasional ke masing-masing sektor yaitu 2,4% untuk sektor PHR dan 0,9% untuk sektor jasa dunia usaha. Sementara itu, seiring perlambatan pertumbuhan pembiayaan bank syariah, alokasi pembiayaan ke beberapa sektor menurun, diantaranya sektor industri pengolahan dan konstruksi. Pertumbuhan pembiayaan BUS dan UUS pada kedua sektor tersebut selama periode laporan lebih rendah dari pertumbuhan pembiayaan secara keseluruhan yaitu masing-masing sebesar 22,9% (yoy) untuk sektor industri pengolahan dan 21,9% (yoy) untuk sektor konstruksi.
Grafik 1.9.
Pembiayaan BUS & UUS per Sektor Usaha (2012)
Pembiayaan ke sektor properti pada periode laporan tercatat meningkat Rp8,1 triliun atau 70,2% (yoy), lebih tinggi dari pertumbuhan pembiayaan perbankan syariah (Grafik 1.10). Pertumbuhan signifikan tersebut terutama ditopang oleh ekspansi pembiayaan kepemilikan rumah yang mencapai Rp6,8 triliun dan pembiayaan kepada developer real estat sebesar Rp1,1 triliun. Kebijakan pembatasan loan to value kredit kepemilikan rumah diperkirakan turut mendukung pertumbuhan tersebut, mengingat ekspansi pembiayaan properti BUS dan UUS yang dalam periode laporan banyak dialokasikan pada tipe rumah di atas 70 m2 dan atau pengembang rumah non sederhana. Sejalan dengan pertumbuhan tersebut, pangsa pembiayaan properti perbankan syariah mencapai 13,3%, atau menjadi salah satu sektor pembiayaan terbesar perbankan syariah.
Pembiayaan berdasarkan klasifikasi pembiayaan mikro, kecil dan menengah (MKM) sebagaimana pada laporan periode-periode sebelumnya, masih menjadi prioritas penyaluran dana
0%
Macet Diragukan Kurang Lancar PYD (%, yoy) NPF (%, yoy)
0%
perbankan syariah. Pola pembiayaan yang digunakan antara lain melalui linkage antara bank umum dengan BPRS atau lembaga keuangan, melalui jaringan/unit mikro yang berdiri sendiri atau melekat pada kantor cabang bank, dan partisipasi dalam penyaluran KUR dan fasilitas pembiayaan kepemilikan rumah yang menjadi program pemerintah. Mengacu pada UU No. 20 tahun 2008 mengenai Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), pembiayaan yang disalurkan BUS dan UUS dalam bentuk pembiayaan modal kerja dan investasi untuk UMKM tercatat meningkat Rp12,4 triliun menjadi Rp59,7 triliun, atau tumbuh sebesar 26,1% (yoy). Sementara pada BPRS pembiayaan untuk UMKM sebesar Rp2,1 triliun, sehingga total pembiayaan UMKM yang disalurkan perbankan syariah per posisi akhir tahun 2012 mencapai Rp61,8 triliun, atau 40,9% dari total Pembiayaan. Sementara pembiayaan MKM untuk kepentingan selain usaha (konsumsi) mencapai Rp31,2 triliun atau 20,6% dari total pembiayaan perbankan syariah, sehingga total pembiayaan MKM mencapai Rp92,9 triliun atau 61,5% dari total pembiayaan.
Pada BPRS, perkembangan pembiayaan dalam periode laporan didukung oleh ekspansi usaha kepada segmen pembiayaan baru dan ekspansi pembiayaan yang didanai oleh dana pinjaman dari BUS (kewajiban pada bank lain/executing). Salah satu segmen pembiayaan baru yang tumbuh cukup baik adalah pembiayaan multijasa, yang pada akhir 2012 mencapai Rp162,2 milyar. Perkembangan segmen pembiayaan tersebut mencerminkan BPRS mulai mendapat kepercayaan masyarakat untuk mendanai kebutuhan yang bersifat penggunaan jasa seperti kesehatan, pendidikan dan keagamaan. Adapun secara sektoral, pembiayaan BPRS terutama disalurkan ke sektor PHR dengan pangsa 34,4% dan sektor lainnya (termasuk segmen pembiayaan konsumsi) dengan pangsa 35,3%.
Grafik 1.10. Grafik 1.11.
Pembiayaan Properti Perkembangan NPF BUS & UUS
Perbandingan secara sektoral memperlihatkan pengelolaan risiko pembiayaan yang lebih optimal telah menurunkan NPF bank syariah pada beberapa sektor yang semula cukup tinggi, diantaranya sektor konstruksi yang turun dari 7,8% menjadi 3,9% dan sektor PHR dari 5,8% menjadi 4,3%. Sedangkan NPF pada sektor transportasi tercatat masih cukup tinggi yaitu 7,9%. Sementara itu, kualitas pembiayaan properti relatif masih terjaga dengan rasio NPF (gross) sebesar 2,3%. Meskipun penerapan pembatasan FTV bagi pembiayaan bank syariah segera diberlakukan, dalam kondisi supply properti yang terus meningkat dan persaingan harga yang semakin ketat, konsisten dalam penerapan standar kehati-hatian dalam proses screening nasabah tetap diperlukan, agar kualitas pembiayaan ke depan tetap terkendali.
Pada BPRS, pertumbuhan pembiayaan yang relatif tinggi sepanjang tahun 2012 diikuti dengan penurunan NPF dari 5,1% tahun 2011 menjadi 5,0% tahun 2012. Rasio NPF BPRS tersebut sedikit lebih tinggi dibandingkan rasio NPL industri BPR secara nasional pada periode yang sama (4,8%), akan tetapi masih berada pada posisi yang relatif baik bila dibandingkan kriteria kualitas aset maksimal 7% pada penilaian tingkat kesehatan BPRS yang tergolong sehat. Namun sebagaimana pada kelompok BUS dan UUS, secara nominal pembiayaan bermasalah BPRS juga menunjukkan peningkatan (33,6%, yoy), yang ditengarai banyak dipengaruhi kondisi persaingan usaha nasabah yang semakin ketat.
Sementara itu, pembiayaan MKM termasuk didalamnya pembiayaan berskala mikro dengan intensitas transaksi yang tinggi, memiliki risiko kredit yang relatif tinggi jika tidak dikelola dengan sistem pengendalian risiko yang memadai. Kondisi ini tercermin pada kualitas portfolio pembiayaan MKM bank-bank syariah, yang meskipun masih terkendali dengan baik, namun secara umum menunjukkan kualitas yang sedikit lebih rendah dibandingkan keseluruhan pembiayaan. Pada BUS dan UUS rasio NPF pembiayaan MKM per akhir 2012 tercatat sebesar 2.3% (gross), sedangkan pada BPRS sebesar 7,1% (gross).
1.5. PROFITABILITAS DAN PERMODALAN
Pendapatan operasional perbankan syariah dalam periode laporan menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan. Pada BUS dan UUS, pendapatan operasional per Desember 2012 tercatat sebesar Rp20,0 triliun atau meningkat sebesar 33,8% (yoy). Kenaikan pendapatan operasional tersebut terutama ditopang oleh pendapatan dari aset produktif (penyaluran dana) yang tumbuh sebesar 36,0% (yoy). Pendapatan dari pembiayaan yang mencapai Rp15,1 triliun masih mendominasi sumber pendapatan dari penyaluran dana (88,9%), hal mana mencerminkan konsistensi preferensi dan keseriusan bank-bank syariah melakukan intermediasi langsung ke sektor riil. Selain itu, pertumbuhan pendapatan dari penyaluran dana yang melebihi pertumbuhan aset produktif sebesar 33,8% (yoy) juga mencerminkan peningkatan produktivitas aset. Adapun sumber pendapatan lain seperti pendapatan dari jasa layanan (fee based income) tumbuh sebesar 22,8% (yoy), tidak sepesat pendapatan dari pembiayaan, seiring peningkatan kehati-hatian bank mengelola transaksi beragunan emas.
(penurunan) nisbah bagi hasil untuk nasabah, yang dilakukan dalam merespon tren penurunan suku bunga.
Sepanjang 2012 biaya operasional BUS dan UUS juga mengalami peningkatan, namun dengan laju pertumbuhan sedikit lebih rendah dibandingkan pendapatan operasional, yaitu sebesar 33,3% (yoy). Penurunan laju pertumbuhan biaya operasional terutama dipengaruhi oleh pertumbuhan biaya overhead (diluar biaya penyisihan/penyusutan aset produktif) seperti biaya tenaga kerja, sewa dan promosi yang hanya mencapai 28,9% (yoy). Rasio biaya overhead dimaksud terhadap pendapatan operasional BUS dan UUS juga menurun dari 37,6% pada tahun 2011, menjadi 36,2% pada tahun 2012 (grafik 1.12). Hal ini mencerminkan adanya peningkatan efisiensi operasi pada bank-bank syariah dalam periode laporan. Peningkatan efisiensi juga tercermin dari rasio BOPO (disesuaikan dengan memasukkan distribusi bagi hasil pada BO) sebesar 82,6%, lebih rendah dari tahun 2011 sebesar 85,6%.
Dalam periode yang sama, pendapatan operasional BPRS tumbuh sebesar 31,4% (yoy). Pertumbuhan tersebut juga diikuti kenaikan biaya operasional yang mencapai 35,7% (yoy), terutama biaya terkait penyusutan dan penyisihan aset produktif, serta biaya tenaga kerja. Namun demikian, efisiensi operasi BPRS pada tahun 2011 diperkirakan tetap membaik tercermin dari penurunan rasio biaya overhead (diluar penyisihan/penyusutan aset produktif) terhadap pendapatan operasional yaitu dari 44,5% pada akhir 2011, menjadi 43,8% pada akhir periode laporan.
Grafik 1.12. Grafik 1.13.
Pendapatan, Biaya dan Efisiensi BUS & UUS Profitabilitas Perbankan Syariah
Pencapaian (kenaikan) produktivitas aset, penyesuaian distribusi return kepada nasabah dan peningkatan efisiensi operasi tersebut telah meningkatkan net operational margin BUS dan UUS dari 1,9% pada tahun lalu menjadi 2,2% pada akhir periode laporan. Sejalan dengan hal itu, profitabilitas BUS dan UUS mengalami peningkatan. Selama tahun 2012 laba BUS dan UUS tumbuh 72,3% menjadi Rp2,5 triliun. Dari sisi tingkat pengembalian aset, peningkatan laba tersebut berdampak pada kenaikan ROA dari 1,8% pada tahun 2011 menjadi 2,1% pada tahun 2012. Dibandingkan dengan perbankan secara nasional yang memiliki ROA 3,1%, tingkat profitabilitas bank-bank syariah sebenarnya masih cukup bersaing jika tidak memperhitungkan kemampuan menghasilkan pendapatan selain dari kegiatan penyaluran dana dimana BUK memiliki kapasitas yang melebihi bank-bank syariah.
Adapun pada BPRS, kenaikan laba selama tahun 2012 tercatat mencapai 22,9% (yoy) menjadi Rp106,5 Milyar, dengan tingkat pengembalian aset (ROA) sebesar 2,6% (grafik 1.13).
Pada periode laporan permodalan bank-bank umum syariah secara umum cenderung menurun, meskipun masih cukup memadai dalam mengantisipasi risiko usaha. Kapasitas permodalan bank dalam mengantisipasi risiko (risk bearing capacity) yang tercermin dari jumlah modal inti dan modal pelengkap masih menunjukkan peningkatan, masing-masing sebesar Rp1,8 triliun atau 19,3% (yoy), dan Rp0,7 triliun atau 39,5% (yoy). Namun demikian pertumbuhan ATMR bank-bank umum syariah mencapai 44,4% (yoy), sehingga CAR bank-bank umum syariah menurun dari 16,6% pada tahun 2011 menjadi 14,1% pada akhir 2012. CAR tersebut mengindikasikan tingkat ketahanan risiko yang masih cukup memadai mengingat masih melebihi standar sebesar 8%, terlebih lagi rasio modal inti terhadap ATMR tergolong sangat memadai yaitu mencapai 11,5%. Sementara itu, kondisi permodalan BPRS juga tergolong memadai dengan rasio kecukupan modal mencapai 25,2%.
1.6. PELAKSANAAN FUNGSI SOSIAL DAN LINKAGE PROGRAM
Berdasarkan UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Bank Syariah dan UUS dapat menjalankan fungsi sosial, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat. Selain itu juga dapat menghimpun dana yang berasal dari wakaf uang dan menyalurkannya kepada pengelola wakaf (nazhir) sesuai kehendak pemberi wakaf (wakif). Pelaksanaan fungsi sosial ini, juga dapat merefleksikan peranan perbankan syariah dalam pemerataan kesejahteraan ekonomi umat.
Dari data perbankan syariah (8 BUS dan 6 UUS) tentang pelaksanaan fungsi sosial beserta
linkage program-nya, jumlah dana yang telah dikumpulkan dan/atau disalurkan perbankan syariah pada tahun 2012 adalah sebagai berikut : (i) dana Corporate Social Responsibility (CSR) sebesar
Rp.42,64 milyar, (ii) dana Zakat, Infaq, Shodaqah dan Waqaf (ZISW) sebesar Rp. 60,53 milyar, (iii) dana
linkage program BPRS sebesar Rp.432,97 milyar dan (iv) linkage program BMT sebesar Rp.829,67 milyar. Sementara berkenaan dengan pertumbuhan dana sosial dan linkage program perbankan
syariah selama tahun 2008 – 2012, terlihat bahwa rata-rata pertumbuhan periode tersebut yang
tertinggi adalah pertumbuhan dana CSR (97,97%) dan pertumbuhan dana linkage ke BMT (80,68%) baru dana linkage ke BPRS (75,27%) serta dana ZISW (71,15%). Sedangkan rata-rata pertumbuhan
jumlah BMT dan jumlah BPRS penerima dana linkage program periode 2008 – 2012 masing-masing
sebesar 15,30% dan 30,69%, dengan jumlah BMT penerima dana linkage di tahun 2012 mencapai 704 atau meningkat dari 474 BMT (2008) dan BPRS penerima linkage mencapai 138 atau meningkat dari
49 BPRS (2008). Informasi perkembangan dan rata-rata pertumbuhan dana sosial dan linkage program
Grafik 1.14 Grafik 1.15
Perkembangan Dana Sosial/Linkage BUS+UUS (Rp. Juta) Rata2 Pertumbuhan Dana Sosial dan
BAB II. PELAKSANAAN KEBIJAKAN
Bank Indonesia selaku pengemban amanah Undang-undang No.21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah sebagai otoritas pembinaan dan pengawasan perbankan syariah, memiliki tugas untuk melakukan pengaturan, pembinaan dan pengawasan perbankan syariah agar perbankan syariah Indonesia dapat memenuhi fungsinya sebagai lembaga intermediasi keuangan yang tetap memenuhi prinsip syariah maupun prudential regulation serta turut berkontribusi terhadap pembangunan dan perekonomian nasional. Pelaksanaan pembangunan perekonomian nasional diarahkan pada perekonomian yang berpihak kepada ekonomi kerakyatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat, handal dan mampu bersaing di kancah perekonomian internasional.
Arah perekonomian nasional sejalan dengan karakteristik khas ekonomi dan keuangan syariah yaitu pemerataan kesejahteraan ekonomi. Aktivitas dan kegiatan perbankan syariah menunjang pelaksanaan pembangunan nasional, seperti melakukan fungsi untuk mendukung sektor riil melalui pembiayaan sesuai prinsip syariah dan transaksi riil barang dan jasa yang pada akhirnya dapat menggerakkan aktivitas perekonomian masyarakat. Selain itu perbankan syariah juga dapat melakukan fungsi sosial antara lain dengan menerima dana zakat, infak, sedekah, hibah dan lainnya untuk disalurkan ke organisasi pengelola zakat, serta sebagai salah satu bentuk lembaga keuangan syariah penerima wakaf uang. Berbagai aktivitas dan fungsi yang dilakukan oleh perbankan syariah berupa mendorong aktivitas riil barang dan jasa serta pelaksanaan fungsi sosial, diharapkan dapat lebih meningkatkan peran perbankan syariah dalam pemerataan kesejahteraan ekonomi pada masyarakat, selain tentunya dengan karakteristik keuangan syariah seperti menghindari spekulasi, riba dan berkeadilan dapat membuat perbankan syariah lebih sustainable ke depannya.
Undang Undang No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah menegaskan bahwa tujuan pengembangan perbankan syariah adalah terwujudnya sistem perbankan syariah nasional yang dapat menunjang pelaksanaan pembangunan dalam rangka meningkatkan keadilan, kebersamaan dan pemerataan kesejahteraan rakyat. Undang-Undang tersebut yang memberikan penekanan pada kemaslahatan bagi perekonomian nasional haruslah menjadi muara dari berbagai kebijakan pengembangan perbankan syariah. Untuk menjamin agar kemaslahatan bagi perekonomian tersebut bisa dapat tumbuh dan dipertahankan secara berkesinambungan diperlukan kebijakan dan pelaksanaannya yang mencakup pengaturan dan pengawasan yang efektif, penelitian dan pengembangan perbankan syariah yang terfokus dan kontinyu serta berbagai upaya lain seperti koordinasi diantara stakeholders perbankan syariah.
2.1. PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN PENGATURAN BANK SYARIAH
2.1.1. Kegiatan Bidang Penelitian
Berbagai kebijakan pengaturan dan pengembangan perbankan syariah termasuk penyusunan regulasi yang dilakukan oleh Bank Indonesia ditetapkan berdasarkan penelitian (research based policy). Utamanya, Bank Indonesia melakukan penelitian yang intensif dan melibatkan stakeholder perbankan syariah untuk mendukung setiap perumusan kebijakan yang akan diambil termasuk yang telah ditetapkan. Hal ini akan mendukung setiap keputusan yang akan diambil, mengevaluasi efektifitas kebijakan dan mengkomunikasikan keputusan yang akan ditetapkan kepada stakeholder.
Sebagaimana yang telah dilakukan selama ini, fokus penelitian Departemen Perbankan Syariah (DPbS) setiap tahunnya mengacu kepada Blueprint pengembangan perbankan syariah, kebutuhan industri dan kebijakan Bank Indonesia dalam merespon perkembangan terkini industri perbankan syariah. Dengan mempertimbangkan ketiga hal tersebut serta melihat kemanfaatannya, kegiatan penelitian tahun 2012 difokuskan kepada penguatan infrastruktur, pengembangan kelembagaan bank syariah dan operasional serta manajemen perbankan syariah. Kajian yang dilakukan tersebut adalah:
1. Kajian Model Bisnis Perbankan Syariah: kajian ini disusun untuk menyamakan persepsi antara regulator dan stakeholder (pelaku/praktisi perbankan syariah, akademisi, nasabah bank syariah, supplier, pemerintah dll) mengenai manfaat dan kontribusi dan nilai-nilai (value) bank syariah dalam perekonomian. Utamanya, kajian ini memetakan model-model bisnis bank syariah yang ada dan potensi pengembangan model-model bisnis perbankan syariah ke depannya.
Hasil akhir penelitian ini menemukan dan merekomendasikan beberapa alternatif model bisnis bank syariah Indonesia yang: (i) disepakati semua stakeholders (acceptable) dan workable, (ii) sesuai dengan karakter bisnis perekonomian Indonesia, (iii) sesuai dengan mainstream perbankan syariah Indonesia dan, (iv) sesuai dengan karakter sosial budaya masyarakat Indonesia. Model-model tersebut juga berpotensi memperluas segmen operasi industri perbankan syariah dan meningkatkan pangsa pasar industri perbankan syariah nasional.
Akhirnya, hasil kajian tersebut diharapkan dapat menjadi acuan utama (benchmark) bagi regulator (BI, DSN, OJK), dan pelaku bisnis perbankan dan pihak terkait dalam: (i) memandang dan mengevaluasi operasional perbankan syariah selama ini, (ii) melihat potensi pengembangan model-model bisnis masa depan agar perbankan syariah lebih berkontribusi bagi perekonomian dan masyarakat dan, (iii) meningkatkan daya tahan bank syariah terhadap berbagai perubahan lingkungan bisnis, sosial dan persaingan usaha di masa datang.
2. 3.
KAJIAN MODEL BISNIS PERBANKAN INDONESIA KAJIAN MODEL BISNIS PERBANKAN INDONESIA KAJIAN MODEL BISNIS PERBANKAN INDONESIA KAJIAN MODEL BISNIS PERBANKAN INDONESIA
Dalam penetapan arah kebijakan pengembangan perbankan syariah, misalnya kebijakan terkait pengembangan produk, kelembagaan, SDM dan pengaturan perbankan syariah, diperlukan pemahaman yang baik tentang bentuk operasional bank syariah ideal yang ingin diwujudkan. Penggambaran yang lebih konkrit tentang bentuk operasional yang ingin diwujudakan ini dapat dijelaskan dengan mengembangkan model bisnis (business model) perbankan syariah yang dapat menjadi komplemen dari masterplan/cetak biru pengembangan perbankan syariah.
Pengembangan model bisnis yang ideal bagi industri perbankan syariah dirumuskan dengan memperhatikan berbagai pertimbangan (concern), keinginan, kebutuhan, mimpi-mimpi (dreams) stakeholder utama perbankan syariah. Sehingga pengembangan model bisnis bank syariah Indonesia ke depan, merupakan model bisnis yang disepakati semua stakeholders (acceptable), workable yang mencakup beberapa hal diantaranya: (i) karakter budaya dan sosial masyarakat indonesia, (ii) praktek perbankan syariah saat ini, (iii) mainstream perbankan syariah Indonesia, (iv) potensi pengembangan industri perbankan syariah ke depan dan, (v) literatur terkait model-model bisnis bank.
Sejatinya, tidak ada yang salah dengan model bisnis yang dijalankan oleh perbankan syariah maupun konvensional saat ini. Masing-masing model bisnis yang dijalankan oleh perbankan, baik perbankan syariah mempunyai keunggulan dan tantangan tersendiri. Oleh karena itu, hasil kajian ini merekomendasikan beberapa alternatif model bisnis kepada bank-bank syariah untuk dapat mengembangkan sesuai dengan value proposition, customer segment (termasuk channel &customer relationship), infrastruktur (key resources, key activity & key partners) yang dimiliki serta aspek keuangan (cost structure & revenue streams) yang mendukung untuk pengembangan model bisnis tersebut.
Faktor penentu utama pengembangan model bisnis perbankan syariah dimulai dari merumuskan nilai-nilai utama (Value Proposition) yang menjadi “Shared Value” yang diamini dan diamalkan oleh semua stakeholder perbankan syariah. “Share Value” dirumuskan dari kesamaan mimpi-mimpi dan berbagai
harapan para stakeholders (regulator, akademisi, bank, dan customer) perbankan syariah yang antara lain
menginginkan (a) adanya bank syariah yang beroperasi benar-benar sesuai sharia compliance; (b) adanya
sustainable growth yang dapat meningkatkan taraf hidup, dan mengentaskan kemiskinan serta peningkatan akses masyarakat ke sektor keuangan (financial inclusion); dan (c) menginginkan keberpihakan bank syariah kepada kegiatan sektor riil yang produktif.
Ke depan segmen nasabah perbankan syariah dapat diperluas dan difokuskan ke dalam 5 (lima) kelompok segmen utama yaitu: segmen pemerintah, segmen korporasi, segmen Retail Produktif (SMEs), Segmen Retail Konsumtif dan Segmen Unbankable yang mempunyai potensi besar untuk dikembangkan.
Namun demikian, untuk mendukung penerapan model bisnis bank syariah ke depan, diperlukan pengembangan infrastruktur pendukung operasional perbankan dan lembaga keuangan syariah seperti
pengembangan pasar keuangan syariah (Islamic Financial Market) yang dapat menyediakan dana-dana
murah berdurasi jangka panjang, pengembangan pasar modal didominasi oleh sukuk jangka panjang
berakad investasi (Mudarabah, musyarakah) dan dana-dana jangka pendek dengan skema akad tabaru
(qardh, wadiah, dll). Selain itu, diperlukan pula adanya lembaga pendukung seperti lembaga asuransi dan takaful, lembaga pemeringkat (credit rating), otoritas pasar modal syariah, dan lain sebagainya. Koordinasi dan sinergy dengan lembaga terkait untuk mewujudkan infrastruktur yang lengkap untuk mendukung terciptanya industri perbankan yang sehat.
Selanjutnya sebagai lembaga intermediary, perbankan syariah yang selama ini dominan menggunakan produk-produk jual beli (murabahah) diharapkan dapat melakukan inovasi pengembangan produk-produk kerjasama berbasis proyek (Project Based Finance) dan Asset/Investment based Finance mudharabah/musyarakah) terutama untuk proyek-proyek pembangunan infrastruktur berskala besar dan
berjangka waktu panjang menggunakan akad Profit Loss Sharing yang berlaku baik di sisi liability maupun
aset. Skema-skema kerjasama berbasis proyek riil (aset) diharapkan menjadi dominan, meskipun tidak harus
meninggalkan sama sekali transaksi berbasis debt based finance, karena deferred sales adalah merupakan
salah satu alternatif modes of financing untuk menghindari riba. Untuk meningkatkan minat bank mendanai asetnya dengan dana-dana PLS diperlukan kebijakan pemberian insentif kepada industri yang menjalankannya.
Dengan mempertimbangkan faktor-faktor pendorong utama dan Value Proposition (nilai lebih) yang dapat ditawarkan perbankan syariah ke depan, kajian ini merekomendasikan pengembangan model bisnis perbankan syariah ke depan ke dalam 4 (empat) tahapan (roadmap) sebagai berikut:
• Stage 1Stage 1 (tahun 2013Stage 1Stage 1 tahun 2013tahun 2013tahun 2013----201520152015) yang ditujukan untuk membangun Sinergi lembaga keuangan 2015
menuju target finansial inklusif
• Stage 2Stage 2 (tahun 2015Stage 2Stage 2 tahun 2015tahun 2015----2017tahun 2015201720172017) yang ditujukan untuk Pemerataan akses finansial
• Stage 3Stage 3 (tahun 2017Stage 3Stage 3 tahun 2017tahun 2017tahun 2017----2020202020202020) yang ditujukan untuk Memperkuat Sinergi Perbankan dan Lembaga
Non Bank
• Stage 4Stage 4 (tahun 2020Stage 4Stage 4 tahun 2020tahun 2020tahun 2020----2023202320232023) yang ditujukan untuk Pemerataan akses investasi nasional ke sektor
2. Kajian Islamic Banking Behaviour: kajian ini bertujuan untuk memahami dan menganalisa perilaku likuiditas setiap pelaku industri perbankan syariah khususnya bank syariah (BUS dan UUS), nasabah, pengusaha (sektor riil) dan regulator. Utamanya, kajian ini menganalisa empat
sektor di industri perbankan syariah yaitu: (i) sektor nasabah yang diwakili oleh model liabiliti yang menjelaskan hubungan antara bank syariah dan nasabah, (ii) sektor riil yang diwakili oleh model aset yang menjelaskan hubungan antara bank syariah dan pengusaha, (iii) sektor keuangan syariah yang diwakili oleh model manajemen likuiditas yang menjelaskan perilaku likuiditas antara perbankan syariah dan, (iv) regulator perbankan syariah yang diwakili oleh model moneter syariah yang menjelaskan kebijakan moneter syariah yang dilakukan oleh Bank Indonesia.
Penelitian ini menemukan dan menganalisa beberapa perilaku likuiditas di industri perbankan syariah seperti: (i) orientasi penempatan dana jangka pendek nasabah bank syariah dan sangat sensitif dengan perilaku bunga di perbankan konvensional, (ii) kebijakan pembiayaan bank syariah yang berjangka pendek dan kegiatan bisnis yang juga bertenor pendek, (iii) perbedaan tenor penilaian kinerja sisi pendanaan dan pembiayaan bank syariah oleh nasabah, (iv) perbedaan tenor penilaian kinerja pengusaha oleh bank syariah, (v) kebijakan manajemen likuiditas antara bank syariah yang dipengaruhi oleh cadangan likuiditas internal dan pembiayaan yang dilakukan serta, (vi) kebijakan moneter syariah yang dilakukan oleh Bank Indonesia masih merupakan pelengkap dari kebijakan moneter konvensional dan bukan merupakan alternatif penempatan utama dana-dana idle di perbankan syariah.
Kajian ini memberikan informasi yang berharga terkait perilaku likuiditas di industri perbankan syariah yang menunjang upaya Bank Indonesia dan seluruh stakeholder perbankan syariah untuk memahami perilaku investasi dan operasi industri perbankan syariah. Selain itu, kajian ini juga menyajikan pola dan tenor penempatan dana di sisi pembiayaan dan pendanaan dan mengantisipasi perilaku likuiditas yang berpotensi mengganggu stabilitas industri.
3. Kajian Regulatory Incentives dalam Rangka Mengakselerasi Pertumbuhan dan Peningkatan Kualitas Industri Perbankan Syariah: Kajian ini bertujuan utama untuk menganalisa dan menentukan parameter insentif untuk meningkatkan upaya pengembangan dan arah perbankan syariah Indonesia ke depan. Utamanya, kajian ini menganalisa aktifitas pembiayaan dan operasional perbankan syariah, mengindentifikasi dan memformulasikan instrumen regulasi yang potensial seperti rasio-rasio keuangan bank syariah untuk menjadi parameter/variabel/indikator ketentuan insentif perbankan syariah.
Selain itu, kajian ini juga menganalisa tingkat efektifitas atau pengaruh instrumen regulasi yang potensial (rasio-rasio keuangan tertentu) kepada perilaku atau aktifitas operasional bank syariah dan merekomendasikan instrumen regulasi tertentu sebagai parameter dalam ketentuan mekanisme insentif.
BUMN, dan lain sebagainya. Prioritas solusi yang direkomendasikan sebagai bentuk insentif kebijakan dalam wewenang Bank Indonesia adalah: (i) Co-location layanan bank syariah dengan kantor bank induk konvensional; (ii) Bobot risiko pada pembiayaan UMKM pada perhitungan ATMR menjadi 75%; (iii) Hak eksklusif produk tabungan dan pembiayaan haji dan umroh kepada bank syariah; dan (iv) Beban pajak produk bagi hasil DPK bank syariah sama dengan pajak atas return obligasi.
Hasil kajian tersebut berpotensi meningkatkan aktifitas perbankan syariah khususnya sisi pendanaan dan pembiayaan. Kendala-kendala operasional yang selama ini terjadi seperti sisi pendanaan yang kurang mendukung sisi pembiayaan dapat teratasi dengan kebijakan peningkatan penempatan dana pemerintah di bank syariah.
4. Kajian Tindak Lanjut Indeksasi Return Sektor Riil Sebagai Acuan Pricing Produk Perbankan Syariah: Kajian ini merupakan kajian multiyears yang dibuat dalam rangka menjawab kebutuhan publik akan benchmark pricing perbankan syariah yang berdasarkan pada kegiatan sektor riil. Konsep awal kajian telah dilakukan tahun 2009 dan di tahun 2012 telah dihasilkan indeks seluruh sektor ekonomi beserta subsektornya dan aplikasi sistem perhitungan index yang computerized termasuk kerangka updating index dan proyeksi model.
Secara teknis, kajian ini menggunakan alat ukur cash recovery rate (CRR) yang menitikberatkan pada kemampuan perusahaan (sektor riil) dalam menghasilkan cash inflow (arus kas) dari investasi yang dilakukan dengan mengabaikan variabel suku bunga dan variable lain yang tidak sesuai dengan konsep syariah. Selain CRR, dilakukan pula penghitungan bank gross recovery rate (BGCRR) untuk melihat imbal hasil yang ditetapkan bank kepada sektor riil. Kajian ini menggabungkan hasil perhitungan CRR dan BGCRR dengan bobot tertentu untuk menghasilkan angka index sektor riil yang mencerminkan hasil dari sektor riil dan industri perbankan syariah.
Hasil akhir kajian ini adalah index sektor riil per sektor ekonomi dan sub sektor ekonomi termasuk aplikasi sistem perhitungan index yang memudahkan pengguna menentukan dan mencari index sektor riil dari sektor dan sub sektor ekonomi tertentu. Dengan hasil ini, kajian indeksasi sektor riil diharapkan telah rampung dan dapat ditindaklanjuti oleh berbagai pihak terkait sehingga dapat membantu pricing produk perbankan syariah dan operasi perbankan syariah secara umum.
Selain penelitian-penelitian yang telah direncanakan di atas, penelitian-penelitian lain yang bersifat adhoc juga dilakukan seperti: (i) penelitian yang mendukung kebijakan loan to value ratio industri perbankan syariah, (ii) penelitian yang mendukung ketentuan Murabahah emas, (iii) penelitian yang mendukung ketentuan pembatasan gadai emas, (iv) penelitian yang mendukung kebijakan terkait praktek pola pembiayaan anuitas dan proporsional di sisi pembiayaan perbankan syariah, (v) penelitian yang mendukung PBI manajemen risiko perbankan syariah dan, (vi) penelitian peer group industri perbankan syariah yang melihat efisiensi dan aspek-aspek operasional lain industri perbankan syariah.
internasional. Keempat kajian tersebut adalah: (i) model stress testing pada Australian Journal of Islamic Banking and Finance (Australia), (ii) pemetaan potensi lembaga keuangan mikro syariah dalam rangka perluasan pasar perbankan syariah pada Journal of Islamic Finance and Business Review LPPM-STEI Tazkia (Indonesia), (iii) indeksasi return sektor riil sebagai benchmark pricing produk perbankan syariah pada Journal of Islamic Finance and Business Review LPPM-STEI Tazkia (Indonesia) dan, (iv) model Islamic banking behavior pada Journal of Islamic Finance (International Islamic University of Malaysia/IIUM).
Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, Bank Indonesia melakukan proyeksi perkembangan perbankan syariah. Dimana untuk tahun 2012, saat awal tahun aset diperkirakan mencapai Rp178 triliun (baseline), Rp187 triliun (moderat) dan Rp206 triliun (optimis). Sementara total DPK diperkirakan sebesar Rp137 triliun (baseline), Rp144 triliun (moderat) dan Rp151 triliun (optimis) serta total pembiayaan sebesar Rp140 triliun (baseline), Rp147 triliun (moderat) dan Rp155 triliun (optimis). Di akhir tahun 2012, total aset, DPK dan pembiayaan aktual tercatat Rp193 triliun, Rp148 triliun dan Rp147 triliun. Artinya, total aset dan DPK masih berada pada estimasi skenario moderat – optimis yang ditetapkan di awal tahun 2012 sedangkan total pembiayaan aktual tepat sesuai estimasi skenario moderat. Untuk tahun 2013, Bank Indonesia memperkirakan aset industri perbankan syariah mencapai Rp255 triliun (baseline), Rp269 triliun (moderat) dan Rp296 triliun (optimis). Sementara total DPK diperkirakan sebesar Rp168 triliun (baseline), Rp177 triliun (moderat) dan Rp186 triliun (optimis) dan total pembiayaan sebesar Rp200 triliun (baseline), Rp211 triliun (moderat) dan Rp222 triliun (optimis).
Selain itu, untuk mendapatkan kajian-kajian yang relevan dan berkualitas bagi pengembangan industri perbankan syariah nasional yang berasal dari kalangan akademisi di perguruan tinggi, Forum Riset Perbankan Syariah (FRPS) tetap dilakukan seperti tahun-tahun sebelumnya. Selain untuk memfasilitasi peneliti/akademisi memaparkan hasil kajian terbaik di bidang keuangan dan perbankan syariah, penyelenggaraan forum ini secara reguler diharapkan dapat menumbuhkan dan meningkatkan minat dan keahlian akademisi dan praktisi di bidang perbankan dan keuangan syariah. Pada gilirannya, hal ini akan turut mendukung pertumbuhan industri keuangan dan perbankan syariah di Indonesia. Selain penyelenggaraan FRPS di Universitas Muslim Indonesia (Makassar) pada bulan Juni 2012, tahun 2012 ditandai dengan penyelenggaraan Forum Riset Ekonomi Syariah (FREKS) pertama di Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim (Riau) pada bulan November 2012. Berbeda dengan FRPS, FREKS memperluas cakupan riset tidak hanya perbankan syariah namun juga lembaga keuangan non bank syariah, pasar keuangan syariah, kebijakan fiskal dan moneter syariah. Penyelenggaraan kedua forum riset tersebut berhasil menarik minat lebih dari 500 praktisi dan akademisi untuk menghadiri forum tersebut.
Gubernur Bank Negara Malaysia (BNM), dengan topik yang disampaikan tentang Finance and the Real Economy: Fostering Sustainability. Kedua acara tersebut dihadiri oleh praktisi perbankan syariah, anggota Dewan Syariah Nasional (DSN), regulator keuangan syariah dan akademisi. Selain menjadi forum knowledge sharing, diskusi interaktif juga terjadi di kedua acara tersebut sehingga manfaat dirasakan tidak hanya oleh peserta tapi juga pemateri.
2.1.2. Kegiatan Bidang Pengaturan
Kegiatan Divisi Pengaturan pada tahun 2012 dilaksanakan sebagai kegiatan penyusunan dan/
atau penyempurnaan ketentuan secara berkelanjutan yang telah menjadi amanat Undang-Undang No.
21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Penyusunan dan penyempurnaan ketentuan Perbankan
Syariah yang dilaksanakan selama tahun 2012 adalah sebagai berikut :
a) Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/6/PBI/2012 tanggal 18 Juni 2012 perihal Uji Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah dengan aturan teknisnya berupa Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/25/DPbS tanggal 12 September 2012:
Dengan diberlakukannya ketentuan ini maka, Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/31/PBI/2009
tentang Uji Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
b) Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/20/PBI/2012 tanggal 17 Desember perihal Perubahan Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/24/PBI/2009 tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah Bagi Bank Umum Syariah: Perubahan ketentuan terkait dengan persyaratan Bank yang dapat mengajukan permohonan dan persyaratan tentang agunan. Dengan diberlakukannya
ketentuan ini, peraturan pelaksanaan dari PBI ini, dinyatakan masih berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan dalam PBI.
c) Surat Edaran Nomor 14/7/DPbS tanggal 29 Februari 2012 tentang Produk Qardh Beragun Emas bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah: Penerbitan SE ini dimaksudkan untuk memberikan acuan bagi perbankan syariah dalam menjalankan produk Qardh Beragun Emas, yang merupakan
pedoman teknis dari Peraturan Bank Indonesia No.10/17/PBI/2008 tentang Produk Bank Syariah
dan Unit Usaha Syariah.
d) Surat Edaran Nomor 14/16/DPbS tanggal 31 Mei 2012 tentang Produk Pembiayaan Kepemilikan Emas Bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah: Penerbitan SE ini dimaksudkan untuk memberikan acuan bagi perbankan syariah dalam menjalankan produk Pembiayaan Kepemilikan
Emas, yang merupakan pedoman teknis dari Peraturan Bank Indonesia No.10/17/PBI/2008
tentang Produk Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah.
e) Surat Edaran Nomor 14/33/DPbS tanggal 27 November 2012 tentang Penerapan Kebijakan Produk Pembiayaan Kepemilikan Rumah dan Pembiayaan Kendaraan Bermotor bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah: Penerbitan SE ini dimaksudkan untuk memberikan acuan bagi BUS dan UUS dalam menyalurkan Produk Pembiayaan Kepemilikan Rumah dan Pembiayaan