BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tuna rungu wicara adalah kondisi realitas sosial yang tidak terelakan didalam
masyarakat. Penyandang kecacatan ini tidak mampu berkomunikasi dengan baik
selayaknya manusia biasanya. Tuna rungu-wicara sendiri adalah suatu istilah yang
dikaitkan satu sama lain. Keadaan ini merupakan hubungan yang spesifik antara
kemampuan mendengar dan kemampuan bicara (Somantri, 2006).
Keterbatasan yang dimiliki remaja tuna tungu wicara menjadi masalah di
dalam masyarakat. Masalah ini bukan hanya ditanggung oleh penderita, tetapi juga
keluarga dan masyarakat sehingga masalah itu sangat kompleks dan saling
mempengaruhi. Hal ini menjadikan mereka sebagai kelompok yang tersisih,
terabaikan, dikucilkan, dianggap rendah dan tidak mampu berkarya seperti
selayaknya remaja normal lainnya (Sastrawinata dkk, 1977).
Keberadaan kelompok tuna rungu wicara dianggap aib di dalam keluarga
atau masyarakat. Padahal, dengan kekurangan yang dimiliki oleh kelompok ini
seharusnya mereka layak mendapatkankan perhatian dan dukungan yang khusus
baik dari pihak masyarakat, pemerintah, terutama keluarga. Lingkungan keluarga dan
masyarakat yang menerima dan memberikan kesempatan berkembang pada anaknya
yang tuna rungu-wicara akan mengurangi beban penderitaan dan masalah yang
dihadapinya. Ketunarunguan yang diderita semenjak lahir banyak menimbulkan
masalah berkomunikasi sehingga mengakibatkan keterlambatan intelegensi, masalah
kesehatan biologis, tekanan psikologis, kemerosotan nilai sosial, spiritual dan
Manusia diciptakan dengan kesempurnaan yang berbeda-beda.
Kesempurnaan tidak dapat dilihat dari fisik, tetapi kelebihan lain yang dimiliki,
misalnya keadaan fisik yang kurang sempurna belum tentu dia lemah dalam pikiran.
Bahkan mungkin memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh orang lain yang
memiliki keadaan fisik yang sempurna. Pada umumnya seseorang memandang
kesempurnaan orang lain dari keadaan fisik. Keadaan fisik yang dilihat berupa alat
indera yang dimiliki, seperti, mata, hidung, telinga, kulit, lidah yang sering disebut
panca indera.
Pendengaran dan kemampuan berbahasa adalah alat yang sangat penting
untuk belajar, bermain dan membangun kemampuan sosial seorang anak.
Anak/remaja belajar untuk berkomunikasi dengan meniru suara yang mereka dengar.
Namun jika mereka mengalami gangguan pada organ pendengarannya yang
mengakibatkan ketidakmampuan untuk mendengar, maka dipastikan akan
menghambat perkembangan anak/remaja, sehingga keadaan tersebut mempengaruhi
pada perkembangan intelijensi, bicara, emosi dan sosial remaja maupun pada
kepribadiannya.
Secara umum keberadaan remaja dengan kecacatan rungu wicara terkadang
dianggap beban, aib yang keberadaannya disembunyikan atau diisolasi dari
kehidupan masyarakat. Kecacatan pada remaja merupakan kondisi yang tidak
Tabel 1.
Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial Orang Dengan Kecacatan
(ODK) di Indonesia Tahun 2012.
PMKS ODK
Kelompok usia (tahun)
< 18 18-24 25-55 >56 Total
Netra 5921 3869 46960 86110 142860
Rungu Wicara 7632 4410 17482 7432 36956
Tubuh 32990 18384 129272 83233 263879
Mental retardasi 30460 31821 120737 30015 213033
Gangguan jiwa 2257 5105 44514 13246 65122
Fisik dan mental 19438 9935 47944 24991 102308 (Bappenas, 2012).
Berdasarkan data Bappenas 2012, jumlah penyandang masalah kesejahteraan
sosial dengan kecacatan tuna rungu wicara usia < 18 tahun (kategori anak/remaja)
sebanyak 7632 orang. Jumlah ini masih terhitung banyak dan berada diurutan kedua
berdasarkan kategori usia di bawah usia 25-55 tahun yang menyandang kecacatan
tuna rungu wicara.
Kondisi yang telah dipaparkan tersebut dalam sudut pandang perkembangan
anak/remaja dipandang kurang menguntungkan terutama pada pemenuhan hak-hak
anak secara umumnya. Berbagai keterbatasan yang ada pada keluarga yang memiliki
anak dengan kecacatan rungu wicara menyebabkan terkendalanya keluarga dalam
memberikan pelayanan dalam penanganan anak tersebut. Demikian juga para
petugas dan penyelenggara pelayanan kecacatan rungu wicara, sering kali juga
tidak optimalnya pelayanan dan rehabilitasi sosial anak dengan kecacatan rungu
wicara (Depsos RI, 2008).
Banyaknya jumlah permasalahan tuna rungu wicara, maka dibutuhkan ilmu
kesejahteraan sosial sebagai salah satu ilmu yang akan menjawab semua tantangan
dan permasalahan sosial yang saat ini mendera masyarakat. Antara Ilmu
Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial saling terkait sebagai suatu elemen yang
tidak dapat dipisahkan, mengenai kesejahteraan sosial. Pekerjaan sosial yang
melakukan pelayanan sosial terhadap pelayanan universal yaitu semua warga negara,
pelayanan untuk individu dan kelompok yang berkebutuhan khusus seperti anak tuna
rungu wicara.
Pelayanan sosial terhadap anak penyandang cacat tuna rungu wicara adalah
bagian dari bimbingan perseorangan (casework) dan kelompok (groupwork) karena
pekerja sosial atau social worker dihadapkan pada individu dan kelompok dalam
sebuah panti sosial atau lembaga sosial yang khusus menampung anak-anak sampai
usia remaja. Dimana pelayanan dan rehabilitasi sosial merupakan upaya yang tidak
dapat terpisahkan dengan sistem pelayanan secara umum. Pelayanan dan rehabilitasi
sosial anak cacat rungu wicara merupakan rangkaian kegiatan pembinaan dan
pelayanan kesejahteraan sosial dalam rangka menjamin tumbuh kembang anak,
sehingga mampu melaksanakan fungsi sosial secara wajar disegala aspek kehidupan
di dalam keluarga maupun masyarakat.
Secara biologis perkembangan remaja tuna rungu mengalami kesenjangan
dengan remaja normal. Hal ini dipengaruhi oleh keterbatasan mereka dalam
berkomunikasi dengan lingkungan sekitar serta adanya stigma sosial sehingga remaja
tuna rungu wicara disisihkan, diabaikan,dan dipandang rendah. Berbagai kebutuhan
padahal mereka adalah kelompok-kelompok yang membutuhkan perhatian yang
lebih dari remaja normal, sehingga hal ini menghambat perkembangan fisik remaja
tuna runga wicara (Gerungan, 2004).
Begitu juga halnya dengan perkembangan emosi psikologi remaja tuna rungu
wicara. Psikologi remaja tuna rungu wicara berbeda dengan remaja normal hal ini
diakibatkan tekanan sosial dari lingkungan. Kekurangan akan pemahaman bahasa
lisan seringkali menyebabkan remaja tuna rungu wicara menafsirkan sesuatu secara
negatif atau salah dan ini sering menjadi tekanan bagi emosinya. Tekanan pada
emosinya itu dapat menghambat perkembangan pribadinya dengan menampilkan
sikap menutup diri, bertindak agresif, atau sebaliknya menampakkan kebimbangan
dan keragu-raguan.
Dimensi sosial remaja tuna rungu wicara juga mengalami masalah dimana
lingkungan melihat mereka sebagai individu yang memiliki kekurangan dan
menilainya sebagai seseorang yang kurang berkarya. Dengan penilaian lingkungan
yang demikian, remaja tuna rungu wicara merasa kurang berharga dan juga
memberikan pengaruh yang besar terhadap perkembangan fungsi sosial
dimasyarakat. Adanya hambatan dalam perkembangan sosial ini mengakibatkan
minimnya penguasaaan bahasa dan kecenderungan menyendiri serta memiliki sifat
egosentris.
Manusia sebagai makluk spiritual mempunyai hubungan dengan Tuhannya
dan mempunyai keyakinan diluar dirinya. Keyakinan yang dimiliki seseorang akan
berpengaruh terhadap prilakunya. Aspek spiritual remaja tuna rungu wicara juga
mengalami kesenjangan ditengah keterbatasan untuk mengenal Tuhannya dan
berinteraksi melalui ibadah dan merealisasikan norma-norma agama
Berdasarkan masalah yang telah dipaparkan, keberadaan panti sosial dalam
menyediakan pelayanan sosial bagi kelompok-kelompok berkebutuhan khusus
termasuk diantaranya remaja tuna rungu wicara sangat vital. Karena dengan
pelayanan secara khusus yang diberikan dilingkungan panti diharapkan mampu
memenuhi kebutuhan biologis, psikologi, sosial dan spiritual
Remaja dengan kecacatan rungu wicara masih memiliki organ indera lain
yang dapat berfungsi sebagai organ indra visual yang membuat memungkinkannya
imajinasi visual yang diperoleh anak tunarungu dari lingkungannya berada. Remaja
tuna rungu wicara memiliki kesempatan yang sama dengan remaja normal. Mereka
memiliki hak untuk tumbuh dengan baik secara biologis, psikologi, sosial dan
spiritual (biopsikososial spiritual). Keberadaan anak yang berkebutuhan khusus ini
membutuhkan aspek biopsikososial yang harus diperhatikan oleh pekerja sosial
melalui program pelayanan sosial yang diberikan. Upt pelayaan sosial tuna rungu
wicara dan lansia menangani warga binaan dengan kebutuhan khusus tuna rungu
wicara, memiliki staf yang mampu memenuhi dan memperhatikan aspek
biopsikososial spiritual remaja tuna rungu wicara sehingga dapat meningkatkan
keberfungsiaan sosial.
Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan, peneliti tertarik untuk meneliti
“Efektivitas Program Pelayanan Sosial Bagi Perkembangan Biopsikososial
Spiritual Remaja Tuna Rungu Wicara di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematang Siantar”.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah penelitian yang telah diuraikan, maka
pelaksanaan program pelayanan sosial bagi perkembangan biospsikososial spiritual
remaja tuna rungu wicara di Upt pelayanan sosial tuna rungu wicara dan lanjut usia
pematang siantar?”
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas program pelayanan
sosial bagi perkembangan biopsikososial spiritual remaja tuna rungu wicara di upt
pelayanan sosial tuna rungu wicara dan lanjut usia pematang siantar.
1.3.2 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai referensi dalam
rangka pengembangan:
1. Pengembangan teori perkembangan Biopsikososial spiritual remaja tuna
rungu wicara.
2. Pengembangan model-model pelayanan sosial tuna rungu wicara.
1.4 Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan memahami dan mengetahui isi yang terkandung dalam
skripsi ini, maka diperlukan sistematika. Sistematika penulisan ini secara garis
besarnya dikelompokkan dalam enam bab, dengan urutan sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Berisikan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah,
tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika penulisan.
Berisikan uraian dan konsep yang berkaitan dengan masalah objek
yang diteliti, kerangka pemikiran, defenisi konsep dan defenisi
operasional.
BAB III : METODE PENELITIAN
Berisikan tentang tipe penelitian, lokasi penelitian, populasi
penelitian, teknik pengumpulan data serta teknik analisis data.
BAB IV : GAMBARAN LOKASI PENELITIAN
Berisikan tentang sejarah singkat serta gambaran umum lokasi
penelitian dan data-data lain yang berhubungan dengan objek yang
akan diteliti.
BAB V : ANALISIS DATA
Berisikan uraian data yang diperoleh dari hasil penelitian beserta
dengan analisisnya.
BAB VI : PENUTUP
Berisikan tentang pokok-pokok kesimpulan dan saran-saran yang
perlu disampaikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dengan