• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teknologi Penginderaan Jauh dan Sistem I (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Teknologi Penginderaan Jauh dan Sistem I (1)"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Nama : Jalin Elsaprike

NPM : E2A016017

Jurusan : Pengelolaan Sumber Daya Alam & Lingkungan, Program Passca Sarjana,Univesitas Bengkulu. Mata Kuliah : Sistem Informasi Geografis (SIG)

Dosen : Bambang Sulistyo

Jenis Tugas : Tugas Karya Tulis Ilmiah “Teknologi Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis Dalam Pengelolaan Terumbu Karang”

Semester : Ganjil 2017/2018

TEKNOLOGI PENGEINDERAAN JAUH JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DALAM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG

PENDAHULUAN Latar Belakang

Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Memiliki lautan yang luasnya 70% dari total keseluruhan luas negaranya, perairan Indonesia menyimpan kekayaan terumbu karang terbaik dunia. Kelompok terumbu karang yang hidup berdampingan dengan sejenis tumbuhan alga, membentuk koloni karang yang terdiri atas ribuan hewan kecil, menjadikannya sebagai “surga” di bawah laut. Ditambah lagi dengan kawanan ikan-ikan yang beraneka warna, membuatnya semakin indah. Kekayaan biologi serta kejernihan airnya, membuat kawasan Taman Laut Indonesia menjadi populer hingga ke mancanegara dan juga dikenal sebagai tempat wisata (Tantia Shecillia, 2017). Menurut catatan Greenpeace, luas terumbu karang di

(2)

karang ini berlokasi di bagian timur Indonesia. Terumbu karang Indonesia

memiliki berbagai macam

keanekaragaman hayati, tercatat ada lebih kurang 590 spesies karang keras, 76 yang mewakili lebih dari 95% jumlah spesies yang tercatat di Pusat Segitiga Terumbu Karang. Menurut Nurjannah Nurdin, et al., 2013 Ekosistem terumbu karang memiliki peranan yang sangat penting, baik dilihat dari sisi manusia maupun keanekaragaman dan keberlanjutan biota laut. Fungsi alami terumbu karang yaitu (1) Habitat dan tempat berlindung, tempat mencari makan serta tempat berkembang biak biota yang hidup di terumbu karang. (2) sebagai pelindung fisik terhadap pantai dari pengaruh arus dan gelombang, karena terumbu karang berfungsi sebagai pemecah ombak. (3) sebagai sumber daya hayati karena menghasilkan beberapa produk yang memiliki nilai ekonomis penting seperti berbagai jenis ikan karang, alga, teripang dan kerang mutiara. (4) sebagai sumber keindahan karena menampilkan pemadangan yang sangat indah dan jarang dapat ditandingi oleh ekosistem lain, sehingga

mendatangkan devisa untuk

kepentingan pariwisata bahari (Chairani, 2004 dalam Surahman dan Rustam Efendi, 2015). Hampir

sepertiga penduduk Indonesia yang tinggal di pesisir menggantungkan hidupnya pada perikanan laut dangkal. Sayangnya kondisi ekosistem terumbu karang di Perairan laut Indonesia mengalami penurunan yang cukup signifikan, hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor yaitu : eksploitasi sumberdaya yang tidak berkelanjutan. Pemanfaatan yang tidak berkelanjutan akan mengarah pada proses kelangkaan dan kerusakan sumberdaya alam dan Pertambahan penduduk yang cepat serta pemanfaatan teknologi yang maju akan mempercepat usaha untuk eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam laut. Sehingga diperlukan upaya pemetaan sebaran terumbu karang dengan pemanfaatan teknologi penginderaan jauh dan sistem informasi geografis untuk mengevaluasi perubahan ekosistem terumbu karang pada perairan dangkal yang bermanfaat sebagai acuan dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia.

Pembahasan

(3)

karang memang sangat dimungkinkan, akan tetapi metode yang dilakukan masih dalam taraf pengembangan. Pada saat ini teknologi penginderaan jauh hanya dapat membantu memberikan data penyebaran dan kondisi secara umum saja. Pada awalnya, pemanfaatan penginderaan untuk memantau wilayah perairan dangkal dilakukan oleh Smith, et al. in Jupp, et al. (1985) yaitu salah satunya mengunakan metode sistem Citra Landsat, dalam karya tulis ini akan dibahas beberapa hasil terapan metode yang telah digunakan untuk mengidentifikasi sebaran keberadaan terumbu karang pada wilayah perairan dangkal di Indonesia agar nantinya dapat menjadi masukan positif bagi pengelolaan terumbu karang. Penginderaan jauh (remote sensing) adalah teknik yang dikembangkan untuk memperoleh dan menganalisis informasi tentang bumi dimana informasi tersebut khusus berbentuk radiasi gelombang elektromagnetik yang dipancarkan atau dipantulkan dari permukaan bumi (Sutanto, 1992 dalam Riza Aitirando Pasaribu, 2008). Butler et al., (1988) menyatakan bahwa ada empat komponen fisik yang terlibat dalam penginderaan jauh. Keempat komponen tersebut adalah matahari sebagai sumber energi yang berupa radiasi elektromagnetik, atmosfer yang

merupakan media lintasan dari radiasi elektromagnetik, sensor yang mendeteksi radiasi elektromagnetik dan mengubahnya dalam bentuk sinyal yang dapat diproses atau direkam serta obyek yang dideteksi oleh satelit. Menurut Riza Aitirando Pasaribu, 2008 Adanya teknologi penginderaan jauh memudahkan peneliti untuk mengamati dan mengelola terumbu karang, terutama pada negara kepulauan. Teknologi ini juga dapat mengidentifikasi beberapa variabel lingkungan yang menjadi indikator potensi dari distribusi sumber daya alam dan keuntungannya seperti terumbu karang, lamun dan alga (Radiarta et al., 2002).

Gambar 1. Komponen Penting Teknologi Penginderaan Jauh

(Sutanto, 1986 )

(4)

resolusi berorde puluhan meter (Lyzenga, 198, Dobson and Dutsan, 2000, Hochberg and Atkinsson, 2003, Maritorena. S, 1996) hingga data satelit resolusi tinggi (very high resolution) berorde puluhan centimeter seperti QuicBIRD maupun IKONOS (Ahmad, And Neil, 1994, Nurlidiasari, 2004, Purkins, S.J. and Riegl B, 2005). Metode yang telah dibangun oleh Lyzenga bertujuan untuk meningkatkan jenis informasi bawah permukaan air yang dikenal dengan metode “Depth Invariant Index/DII”. Metode tersebut beranggapan bahwa dasar perairan memantulkan cahaya datang secara liner, dan merambat dalam media air secara eksponesial (Lyzenga, 1981, Mumby, et al., 1981). Sehingga keluaran dari metode Lyzenga adalah nilai indeks yang merupakan perbaikan informasi dasar perairan. Sedangkan menurut Kennie dan Methhews, 1983, Sutanto, 1995 dalam Bambang Sulistyo, 2007 bahwa penggunaan metode Landsat dalam kaitannya dengan penelitian terumbu karang dari data satelit, diperlukan peranan tenaga matahari sebagai indikator pengidentifikasi sebaran terumbu karang, tenaga matahari dapat menembus air laut yang jernih sampai kedalaman maksimal 50 meter, alasannya salah satu syarat tumbuhnya

makanan yang diperlukan oleh terumbu karang. Kecerahan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh dalam pertumbuhan terumbu karang. Jeprry. C.M, et al., 2014 mengatakan Kecerahan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh dalam pertumbuhan terumbu karang. Hal ini bahwa adanya cahaya matahari mampu menembus sampai dasar perairan sehingga proses fotosintesis oleh zooxhanthellae dapat berlangsung dengan baik dan mendukung pertumbuhan terumbu karang. Dalam penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Bambang Sulistyo, 2017 mengatakan bahwa peng-identifikasi sebaran terumbu karang menggunakan citra Landsat TM dilakukan klasifikasi, klasifikasi dilakukan berdasarkan pada nilai spektral, dimana tiap benda mempunyai sifat khusus dalam memantulkan tenaga, demikian juga panjang gelombang untuk merekam tenaga tersebut. Berdasarkan teori radiative transfer, kemampuan penetrasi panjang gelombang tampak biru pada kedalaman 20 meter hanya sekitar 60% (Engman and Gurney, 1991). classifier).

(5)

mendeteksi terumbu karang yang yang berada di bawah permukaan air. Secara kasar spektrum sinar tampak dapat dibagi tiga bagian yaitu spektrum sinar biru (panjang gelombang kecil), sinar hijau (panjang gelombang sedang) dan sinar merah (panjang gelombang besar). Semakin kecil panjang gelombang, maka spektrum sinarnya akan semakin dalam menembus air.

Menurut Bambang Sulistyo, 2017 ada 2 metode klasifikasi yaitu Klasifikasi Terselia (Survised Clasification) dan Klasifikasi Tak Terselia (Unsurvised Clasification). Dikatakan klasifikasi terselia apabila kita mengambil sampel diketahui nama objeknya. Objek ini diketahui dari peta yang sudah ada maupun kerja lapangan. Pemilihan sampel yang baik yaitu sampel yang seragam yang merupakan wakil yang nyata dari objek yang diwakili, keseragaman dapat dilihat dari feature spacenya, bentuk agihan normalya (apakah terdiri dari 1 kelas atau lebih) sedangkan klasifikasi tak terselia merupakan klaisfikasi yang mendasarkan pada objek yang tidak dikenal, mungkin berdasarkan julat nilai pixel yang ada. Teknik klasifikasi yang umum digunakan jarak minimum ke pengkelas rerata. Keberhasilan klasifikasi menurut Nurjannah Nurdin, et.all, 2013 adalah ketepatan dan

keakuratan peta dalam pendeteksian dan pengidentifikasian suatu objek. Kaidah Short (1982) dalam Sutanto (1999) dalam Uji ketelitian klasifikasi ini mengikuti dengan tahapan: (i) melakukan pengecekan lapangan pada beberapa titik sampling yang dipilih dari setiap kelas berdasarkan homogenitasm kenampakannya dan diuji kebenarannya di lapangan, (ii) menilai kecocokan hasil analisis beberapa citra dengan kondisi sebenarnya di lapangan, dan (iii) membuat matrik perhitungan setiap kesalahan (confusion matrix) pada setiap jenis tutupan dasar perairan dari hasil analisis data digital citra satelit, sehingga diketahui tingkat ketelitiannya. Teknik klaisifikasi yang umum digunakan adalah jarak pengkelas rerata (minimum distance to mean classifier), pengkelas parallelepiped(parallelepiped classifier), dan pengkelas kemiripan maksimum normal (maximum likelihood).

(6)

Gambar 2. Diagram Alir

Tahap I : Pengolahan Data Citra Awal

Empat bagian utama yang harus dilakukan untuk pengolahan awal citra satelit Landsat_TM, yaitu pembatasan wilayah penelitian (cropping citra), penajaman citra (image enhancement), koreksi radiometrik dan koreksi geometrik.

Tahap II: Desain Data Transformasi Citra

Pengolahan ini dimaksudkan untuk mendapatkan informasi obyek dasar perairan, karena informasi yang didapat dari citra awal masih tercampur dengan

informasi lain seperti kedalaman air, kekeruhan, dan pergerakan permukaan air. Pengolahan ini meliputi penghilangan efek air, ekstraksi informasi obyek dasar laut dengan menggunakan metode yang didasari

oleh “Model Pengurangan

Eksponensial” (Exponential Attenuation Model) oleh Lyzengga (1978).

Liz = Li^ + (0,54 Lib – Li^)exp –2 kiz Penurunan dari persamaan ini telah menghasilkan persamaan berikut (Lyzengga, 1981; Engel, 1988 dan Siregar (1995) :

Y = ln (TM1) + ki/kj . ln (TM2)

Tahap III: Klasifikasi Citra Perkelas Klasifikasi merupakan suatu proses untuk mendapatkan citra yang telah dikelompokkan dalam kelas-kelas tertentu berdasarkan nilai reflektansi tiap-tiap objek, sehingga memudahkan dalam analisis dan pengecekan dilapangan. Adapun tahapan untuk melakukan proses klasifikasi citra yang dilakukan adalah penentuan training area, analisis ketelitian training area, dan klasifikasi.

Tahap IV: Survei Lapangan (Groundcheck)

(7)

didasarkan pada pengamatan kualitatif, yaitu dengan melihat keragaman penutupan karang yang dilakukan secara visual pada hasil pengolahan citra awal. Hasil pengolahan citra awal dapat diperoleh gambaran tentang kondisi dan penyebaran terumbu karang secara umum, sehingga dapat ditentukan daerah yang tepat untuk dijadikan stasiun/lokasi pengamatan. Informasi tentang distribusi dan kondisi terumbu karang pada kedalaman sekitar 0 – 10 meter dapat dilakukan dengan pengamatan bawah air secara langsung melalui metode transek garis (line transect method) (English, et all, 1994). Kegiatan transek yang dilakukan sejajar dengan garis pantai pada kedalaman yang berbeda, yaitu 1-3 m, 3-5 m dan 5-10 m sebanyak 36 transek dengan panjang transek masing-masing 30 meter.

Tahap V: Pengolahan Akhir

Pada dasarnya tahap ini hampir sama dengan tahap pengolahan citra awal, hanya saja dalam interpretasi citra dan identifikasi suatu objek harus dikonfirmasikan dengan data lapangan, artinya klasifikasi tersebut harus didasarkan pada data lapangan dengan posisi yang sudah dicatat sebelumnya. Analisa lanjutan inilah yang disebut analisa dengan klasifikasi supervised, yaitu klasifikasi yang didasarkan pada

data lapangan yang sudah ada (klasifikasi terbimbing).

Berikut ini contoh gambar hasil pemetaan terumbu karang dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh dan sistem informasi geografis dalam pengelolaan terumbu karang

Gambar 3 : Peta Sebaran Terumbu Karang Berdasarkan Hasil Klasifikasi (Maximum likelihood

Classification) Data Lansat-TM Tahun 1997 (a) dan 2002 (b) di Kepulauan Spermonde (Abdul Rauf,

dan Muh. Yusuf, 2004)

(8)

(b)

Gambar 4. Hasil citra perekaman (a) tanggal 13 September 2000, (b)

tanggal 16 Oktober 2006, hasil transformasi algoritma Lyzenga di

sekitar titik lokasi pengamatan Perairan Bagian Barat Daya Pulau

Moyo, Sumbawa (Rita Aitiando Pasaribu, 2008)

Gambar 5 : Informasi spasial terumbu karang hasil proses algorithma yang disusulkan algorithma Lyzenga di Perairan

Pantai Ringgung Kabupaten Pesawaran (Muchlisin Arief, 2013)

Gambar 6 : Peta terumbu karang

hasil perbandingan di Pulau Enggano Kabupaten Bengkulu Utara

(Bambang Sulistyo, 2007)

Gambar 7: Peta terumbu karang hasil analisis bermacam-macam vegetasi dari Citra Landsat TM Satelit (Bambang Sulistyo, 2017)

Kesimpulan

1. Teknologi penginderaan jauh dan sistem informasi geografis dalam pengelolaan terumbu karang dapat di terapkan pada perairan laut dangkal hal ini bertujuan agar sebaran ekosistem terumbu karang dapat diketahui tingkat pertumbuhan dan kerusakannya.

(9)

Daftar Pustaka

Bambang Sulistyo. 2007. “Uji Ketelitian Identifikasi Penyebaran Terumbu Karang Berdasarkan Landsat TM (Studi kasus di Pulau Enggano Kabupaten Bengkulu Utara)” Majalah Geografi Indonesia, Vol 21, http ://www.researchgate.net/publicati on/303005701.

Nurjannah Nurdin, et al., 2013 “Dinamika Spasial Terumbu Karang Pada Perairan Dangkal Menggunakan Citra Landsat, Di Pulau Langkai, Kepulauan Spermonde”. Jurnal Ilmiah Geomatika. Universitas Hasanudin.

Surahman & Rustam Efendi, 2015. “Penentuan Sebaran Terumbu Karang Dengan Menggunakan Algoritma Lyzenga Di Pulau Maitara”. Prosiding Seminar Nasional Kemaritiman dan Sumber Daya Pulau-Pulai Kecil. pp. 101-107.

Teguh Harianto & Alhadir Lingga, 2016. “Analisa Perubahan Luasan Terumbu Karang Dengan Metode Penginderaan Jauh (Studi Kasus : Di Pulau Menjangan Bali)”. Institut Teknologi Sepuluh November. Surabaya. pp. 171-175.

Muchlisin Arief, 2013. “Metode Deteksi Terumbu Karang Dengan Menggunakan Data Satelit Spot dan Pengukuran Spektrofotometer (Studi Kasus : Di Perairan Pantai

Ringgung Kabupaten

Pesawaran). Jurnal Penginderaan Jauh. Vol. 10. No. 2. pp. 71-82. Jeprry. C.M, et al., 2014 “Analisis

Perubahan Luasan Terumbu Karang Dengan Menggunakan Data Penginderaan Jauh Di Perairan Pulau Pramuka Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu”. Maspari Journal. Vol. 6. No. 2. pp 124-132. ISSN 2087-0558.

Bambang Sulistyo. 2017. “The accuracy of the outer boundary delineation of coral reef area derived from the analyses of various vegetation indices of satellite landsat thematic mapper”. Biodeversitas. Department of Marine Sciences and Department of Soil Sciences, Faculty of Agriculture, Universitas Bengkulu. ISSN 1412-033X. Vol. 18. No. 1. pp. 351-358.

(10)

Perairan Bagian Barat Daya Pulau Moyo, Sumbawa”. Program Studi Ilmu Kelautan. Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Abdul Rauf & Muh. Yusuf, 2004. “Studi Distribusi Dan Kondisi Terumbu Karang Dengan Menggunakan Teknologi Penginderaan Jauh Di Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan”. Journal Ilmu Kelautan. Vol 9. No. 2. ISSN 0853-7291. pp 74-81. Lalu. M. J & Zulfahmi. A, 2016. “Studi

Pemetaan Pemutihan Terumbu Karang Dengan Citra Resolusi Tinggi (Studi Kasus : Perairan

PLTU Paiton Probolinggo)”. Journal Geoid. Vol. 11. No. 2. pp 142-150.

Ipranta, “Perubahan Sebaran Terumbu Karang Di Teluk Banten Berdasarkan Interpretasi Citra Landsat TM 1994-1997”. di browing via www.google.com. Tanggal 1/12/2017. Jam 10.15 WIB

Tanti Shecillia, 2017

Gambar

Gambar 2. Diagram Alir
Gambar 3 : Peta Sebaran TerumbuKarang Berdasarkan HasilKepulauan Spermonde (Abdul Rauf,Klasifikasi (Maximum likelihoodClassification) Data Lansat-TMTahun 1997 (a) dan 2002 (b) didan Muh
Gambar 7: Peta terumbu karang

Referensi

Dokumen terkait

Indikator kemampuan motorik halus menurut permendiknas (2009) yang bisa dilakukan melalui finger painting meliputi (1) Melatih gerakan otot jari jemari dan kedua tangan,

Umroh Paket Hemat Mei 2015 - Seiring dengan semakin meningkatnya para calon jamaah yang ingin menunaikan ibadah umroh, terutama di bulan mei ini, kami Travel Umroh Murah di

Biji chia ( Salvia hispanica /PHPLOLNLNDUDNWHULVWLN¿VLN\DQJNKDV\DLWXPDPSXPHPEHQWXNJXP melalui proses hidrasi. Gum ini dapat mengabsorpsi air hingga 12-27 kali dari berat

Reaksi transesterifikasi pembentukan metil ester (biodiesel) dari limbah minyak tepung ikan sar- din menggunakan NaOH sebagai katalis.. Tujuan penelitian adatah

Keunggulan beras analog tidak hanya karena berbentuk menyerupai butiran beras, selain itu komposisi gizinya dapat didesain dengan menggunakan berbagai bahan baku sehingga

Penelitian ini bertryuan untuk rnengkaji intenelasi antara faktor fisik, non fisik tlan pcrilaku petani dalam manajemen sumber daya pertanian, dan menemukan faktor yang

Variabel respon yaitu angkatan kerja yang bekerja dan tidak bekerja (pengangguran), dengan variabel prediktor jenis kelamin, tingkat pendidikan, usia, status dalam rumah

Hasil Penelitian menunjukkan kualitas pelayanan sistim informasi akademik berbasis e-administrassion yang ada Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry belum cukup