i
PERBEDAAN PERILAKU SELF-CARE PADA PENDERITA
DIABETES MELITUS DENGAN TINGKAT PENDIDIKAN
MENENGAH DAN TINGGI
Skripsi
Guna Memenuhi Persyaratan
Ujian Sarjana Psikologi
Oleh:
Misya Vocilia
2011-070-058
Fakultas Psikologi
ii
PERBEDAAN PERILAKU SELF-CARE PADA PENDERITA
DIABETES MELITUS DENGAN TINGKAT PENDIDIKAN
MENENGAH DAN TINGGI
Oleh:
Misya Vocilia
2011-070-058
Dipertahankan di hadapan
Dewan Penguji Fakultas Psikologi
Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 5 Agustus 2015
Menyetujui,
Pembimbing Skripsi
____________________________________
Drs. Danny Irawan Yatim, M.A., Ed. M.
Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
____________________________________
Dr. phil. Juliana Murniati, M. Si
Fakultas Psikologi
i
ABSTRAK
Misya Vocilia. 2011.070.058
PERBEDAAN PERILAKU SELF-CARE PADA PENDERITA DIABETES MELITUS DENGAN TINGKAT PENDIDIKAN BERBEDA
viii + 59 halaman, 9 tabel, 2 gambar. Bibliografi: 33 (1967 – 2015)
Kata kunci: Self-care, Diabetes Melitus, Tingkat Pendidikan
Diabetes Melitus (DM) disebabkan adanya peningkatan kadar gula darah akibat kekurangan insulin. Diabetes merupakan penyakit kronis yang membutuhkan rancangan terapi yang kompleks. Penyakit Diabetes dapat meningkatkan resiko komplikasi dengan penyakit jantung koroner, stroke, penyakit vaskular periferal, dan penyakit lainnya.Resiko komplikasi akibat diabetes dapat dikurangi dengan adanya self-care, karena perilaku self-care menuntut adanya kepatuhan terhadap rancangan terapi yang diberikan. Untuk dapat mempertahankan kepatuhan ini dibutuhkan pengetahuan, dan penyerapan pengetahuan bergantung pada tingkat pendidikan seseorang.
Penelitian ini bertujuan mengetahui perbedaan perilaku self-ca re pada penderita Diabetes Melitus antara tingkat pendidikan menengah dan tingkat pendidikan tinggi. Penelitian kuantitatif ini merupakan non-experimenta l study, dengan sampel sebanyak 135 responden yang didapat menggunakan teknik crovenience sa mpling. Penelitian menggunakan cross-sectiona l study design dengan alat ukur self-ca re yang disebarkan satu kali.
Perhitungan yang digunakan adalah kruska l-wa llis. Hasil penelitian
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus karena dengan hikmat dan akal budi dari padaNya yang telah memimpin saya dalam menyelesaikan skripsi ini sehingga dapat selesai tepat waktunya. Saya merasakan banyak pengalaman baik suka dan duka dalam pembuatan skripsi ini. Namun demikian, saya merasakan bahwa semua hal yang dialami merupakan proses yang akan membentuk karakter dan kepribadian saya menjadi semakin berkembang dan matang sebagai seorang pribadi dalam menjalani kehidupan selanjutnya.
Terima kasih saya ucapkan kepada Drs. Danny Irawan Yatim, M.A., Ed.M., selaku dosen pembimbing yang telah dengan sabar mau mendengarkan, meluangkan waktu, serta membimbing selama pengerjaan skripsi ini. Saya juga ingin
mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan pengerjaan skripsi ini. Skripsi ini tidak akan terwujud tanpa bantuan para partisipan yang telah mau meluangkan waktu ditengah kesibukannya untuk mengisi kuesioner. Kepada komunitas penderita diabetes yang telah membantu mengisi serta menyebarkan kuesioner saya. Kepada RSAL. Mintohardjo yang telah memberikan ijin kepada saya untuk mengambil data di poli penyakit dalam selama satu bulan. Terima kasih kepada para perawat di poli yang telah membantu serta menemani selama proses pengambilan data. Terima kasih kepada Kusniawati, Teresia Tobing, Krisna Adiasto, S.Psi dan Rebeka Pinaima, S.Psi yang telah sangat
membantu dengan memberikan masukan dalam proses penulisan.
Kepada semua sahabat-sahabat saya, yang telah membantu, memberi dukungan dan selalu membuat saya tertawa sesulit apapun situasinya, karena kalianlah saat ini saya dapat sampai disini. Semoga setelah inipun kita masih dapat saling membantu dan memberikan dukungan kepada satu sama lain.
iii baik secara langsung maupun tidak langsung selama saya berusaha menyelesaikan studi.
Akhir kata, saya mengerti bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari
sempurna, saya berharap skripsi ini dapat berguna bagi orang lain maupun penelitian selanjutnya terkait dengan variabel penelitian.
Jakarta, Agustus 2015
iv
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR TABEL ... vii
DAFTAR GAMBAR ... viii
BAB I... 1
PENDAHULUAN ... 1
I.A. LATAR BELAKANG PENELITIAN ... 1
I.B. RUMUSAN MASALAH ... 11
I.C. TUJUAN ... 11
I.D. MANFAAT ... 11
I.D.1. Manfaat Teoretis ... 11
I.D.2. Manfaat Praktis ... 11
I.E. SISTEMATIKA PENULISAN ... 11
BAB II ... 13
TINJAUAN PUSTAKA ... 13
II.A. DIABETES MELITUS TIPE DUA ... 13
II.A.1. Diabetes Melitus pada perempuan ... 14
II.B. SELF-CARE ... 14
II.B.1. Self-care pada Diabetes ... 15
II.B.2. Faktor yang mempengaruhi Self-care Diabetes ... 18
II.C. TINGKAT PENDIDIKAN ... 21
II.C.1. Pendidikan Dasar ... 22
II.C.2. Pendidikan Menengah ... 22
II.C.3. Pendidikan tinggi ... 23
II.D. DIABETES, SELF-CARE DAN TINGKAT PENDIDIKAN ... 25
v
II.F. KERANGKA PEMIKIRAN ... 27
BAB III ... 28
METODE PENELITIAN ... 28
III.A. JENIS PENELITIAN ... 28
III.B. VARIABEL PENELITIAN ... 28
III.B.1. Self-care ... 29
III.B.2. Tingkat Pendidikan ... 29
III.C. POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN ... 30
III.C.1. Populasi Penelitian ... 30
III.C.2. Karakteristik Populasi ... 30
III.C.3. Teknik Sampling ... 31
III.C.4. Jumlah sampel ... 31
III.D. TEKNIK PENGAMBILAN DATA ... 32
III.E. INSTRUMEN PENELITIAN ... 32
III.E.1. Validitas dan Reliabilitas ... 34
III.E.2. Hasil Validitas dan Reliabilitas ... 36
III.E.3. Scoring ... 38
III.F. METODE ANALISIS DATA ... 39
III.G. PROSEDUR PENELITIAN ... 40
III.G.1. Persiapan penelitian ... 40
III.G.2. Pelaksanaan penelitian ... 40
BAB IV ... 43
ANALISIS DAN INTERPRETASI DATA ... 43
IV.A. GAMBARAN UMUM SUBJEK PENELITIAN ... 43
vi IV.B.1. Analisa Diskriptif Data Summary of Diabetes Self-care Activity (SDSCA) 45
IV.B.2. Uji Normalitas Data ... 46
IV.B.3. Uji Perbedaan Perilaku Self-care Pada Penderita Diabetes Melitus Yang Memiliki Tingkat Pendidikan Rendah, Tingkat Pendidikan Menengah Dan Tingkat Pendidikan Tinggi. ... 47
BAB V ... 49
KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN... 49
V.A. KESIMPULAN ... 49
V.B. DISKUSI... 49
V.C. SARAN ... 51
V.C.1. Saran Metodelogis ... 51
V.C.2. Saran Praktis ... 52
vii
DAFTAR TABEL
Tabel 1.Perhitungan Internal Consistency dari Summary of Diabetes Self-care
Activity Menggunakan Pearson Corelation ... 37
Tabel 2.Perhitungan Constrasted Group Antara Kelompok Penderita Diabetes Melitus Dan Non Diabetes Melitus Dengan Menggunakan Independent Samples Test... 37
Tabel 3.Perhitungan Statistik Reliabilitas Menggunakan Cronbach Alpha ... 38
Tabel 4.Gambaran Tingkat Pendidikan Subjek Penelitian... 43
Tabel 5.Gambaran usia partisipan penelitian ... 44
Tabel 6.Gambaran Lama Menderita Diabetes Melitus Partisipan Penelitian ... 44
Tabel 7.Diskripsi kelompok tingkat pendidikan. ... 45
Tabel 8.Perhitungan normalitas data SDSCA penelitian menggunakan One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test ... 46
Tabel 9.Peringkat rata-rata tiap kelompok ... 47
viii
DAFTAR GAMBAR
1
BAB I
PENDAHULUAN
I.A.
LATAR BELAKANG PENELITIAN
Diabetes adalah penyakit yang cukup sering kita dengar baik dari orang-orang di sekitar kita maupun melalui televisi. Diabetes bukanlah penyakit yang dapat
disembuhkan. Penyakit ini hanya dapat dikontrol sehingga sebisa mungkin tidak mengganggu fungsi sosial. Walau begitu dengan memiliki diabetes, maka seseorang akan lebih rentan terserang berbagai penyakit lainnnya yang dapat menimbulkan komplikasi, hal ini disebabkan karena ketika memiliki diabetes maka luka lebih sulit sembuh (Tripathi & Srivastava, 2006).
Diabetes Mellitus atau DM adalah penyakit yang muncul akibat kadar glukosa di dalam darah menjadi tinggi karena tubuh tidak dapat memproduksi atau
2 Prevalensi DM disebabkan oleh interaksi antara faktor-faktor kerentanan genetis dan paparan terhadap lingkungan. Prevalensi merupakan gambaran frekuensi penderita lama dan penderita baru yang ditemukan dalam jangka waktu tertentu dari jumlah keseluruhan penduduk. Faktor lingkungan yang diperkirakan dapat meningkatkan prevalensi DM adalah perpindahan dari pedesaan ke perkotaan atau urbanisasi yang kemudian menyebabkan perubahan gaya hidup seseorang. Di antaranya adalah kebiasaan makan yang tidak seimbang akan menyebabkan
obesitas. Kondisi obesitas tersebut kemudian memicu timbulnya DM. (Dewi, 2007) Prevalensi DM di Indonesia beranjak naik setiap tahun. Penderita yang terkena bukan hanya berusia senja saja, individu yang masih berusia produktif dapat terkena DM. Prevalensi DM berdasarkan diagnosis dokter dan gejala meningkat sesuai dengan bertambahnya umur, namun mulai umur di atas 65 tahun cenderung menurun. Prevalensi DM pada perempuan cenderung lebih tinggi dari pada laki-laki, di perkotaan cenderung lebih tinggi dari pada di perdesaan, serta cenderung lebih tinggi pada masyarakat dengan tingkat pendidikan tinggi dan dengan indeks kepemilikan tinggi (Kemenkes, 2013).
Pada orang dewasa, obesitas memiliki risiko timbulnya DM , empat kali lebih besar dibandingkan dengan orang dengan status gizi normal. Selain pola makan yang tidak seimbang dan gizi lebih, aktivitas fisik juga merupakan faktor risiko mayor dalam memicu terjadinya DM. Latihan fisik yang teratur dapat meningkatkan kualitas pembuluh darah dan memperbaiki semua aspek metabolik, termasuk meningkatkan kepekaan insulin serta memperbaiki toleransi glukosa. Hasil penelitian di India, Pima, individu dengan aktivitas fisik rendah 2,5 kali lebih berisiko mengalami DM
dibandingkan dengan individu yang tiga kali lebih aktif. (Tjekyan, 2007; Awad, Langi, & Pendelaki, 2013)
3 pertambahan penduduk, pada tahun 2030 terdapat 149 juta penduduk berumur di atas 20 tahun maka terdapat 12 juta penderita diabetes di daerah urban dan 8,1 juta penderita diabetes di daerah pedesaan.
"Indonesia masuk 10 negara terbesar penderita diabetes di dunia," ujar Mike Doutsdar, Senior Vice President of Novo Nordisk Interna tiona l Opera tion, dalam siaran pers yang diterima pada kamis, 14 November 2013. Laporan tersebut berasal dari Interna tiona l Dia betes F eder a tion. Tepatnya, posisi Indonesia ada di nomor tujuh dengan jumlah penderita sebanyak 8,5 juta orang. Di posisi teratas, ada Cina (98,4 juta jiwa), India (65,1 juta jiwa), dan Amerika (24,4 juta jiwa). Menurut Doutsdar, ada tren menarik tentang peningkatan jumlah penderita diabetes di negara berkembang seperti Indonesia. Pola hidup ternyata berdampak pada banyaknya jumlah penderita baru, khususnya diabetes tipe dua. (“Indonesia masuk”, 2004)
Menurut Mathers & Loncar (dalam World Heath Organization, 2014), pada tahun 2030 jumlah penderita diabetes di Indonesia akan meningkat dari 8,7 juta di tahun 2000 menjadi 21,3 juta di tahun 2030, sedangkan menurut laporan The Blue Print for Cha nge (2013), pada tahun 2030 jumlah penderita diabetes di Indonesia meningkat menjadi 11,8 juta, dengan pertumbuhan tahunan sebesar enam persen, melebihi pertumbuhan penduduk secara keseluruhan di negara ini. Laporan itu juga mengatakan bahwa sekitar 32 juta orang Indonesia diprediksi berpindah dari
pedesaan ke perkotaan antara sekarang dan tahun 2030. Tingkat diabetes meningkat terkait dengan peningkatan status sosial ekonomi, kurang olahraga dan kebiasaan diet yang buruk, hal ini seringkali berjalan seiring urbanisasi. Perubahan status sosial ekonomi ternyata tidak hanya berpengaruh pada peningkatan jumlah penderita diabetes saja namun juga berpengaruh pada resiko kematian akibat diabetes (Saydah & Lochner, 2010).
Direktur Jendral Kementerian Kesehatan, Pengendalian Penyakit dan Kesehatan lingkungan, Tjandra Yoga Aditama, mengatakan bahwa salah satu upaya
4 masa transisi sekarang. Kami berharap sepenuhnya melaksanakan keputusan tersebut pada tahun 2016 karena kita perlu waktu untuk mempersiapkan dan mensosialisasikan kebijakan ini" kata Tjandra. Ia mengatakan bahwa setelah masa transisi berakhir, semua restoran serta produsen makanan olahan harus
melampirkan label tentang jumlah gula, garam dan lemak yang terkandung dalam
produk mereka. (“Diabetes Will”, 2013)
Peningkatan jumlah penderita diabetes dapat berakibat buruk pada kualitas hidup negara. Penyakit ini tidak dapat disembuhkan, bersifat menurun, serta mudah
menjadi komplikasi, maka peningkatan penderita diabetes dapat meningkatkan beban bagi tenaga kesehatan serta angka kematian negara. (“Diabetes Will”, 2013).
Prediksi mengenai jumlah kenaikan penderita Diabetes cukup meresahkan karena menimbulkan pertambahan beban kesehatan masyarakat dengan diabetes di negara-negara berkembang meningkat. Peningkatan prevalensi diabetes akan menghasilkan peningkatan proporsi kematian akibat peningkatan konsekuensi terkait komplikasi diabetes, seperti jantung koroner, stroke, dan penyakit vaskular perifer al. Walau telah dibuat peraturan untuk mengontrol konsumsi masyarakat agar mengurangi penderita penyakit ini, namun peraturan tersebut baru dapat berjalan secara efektif
di tahun 2016 (“Diabetes Will”, 2013).
Diabetes adalah gangguan yang kompleks yang memerlukan perhatian terus-menerus seperti diet, olahraga, pemantauan glukosa dan obat -obatan sehingga mencapai kontrol glikemik yang baik. Diabetes juga dapat memperburuk fungsi psikososial dan risiko depresi. Diabetes tipe dua sensitif terhadap efek stres. Dengan adanya hormon stres, seperti kortisol, insulin kurang efektif dalam memfasilitasi penyimpanan glukosa. Depresi tidak hanya memperumit diagnosis awal tetapi juga dapat mengganggu peran perawatan diri akt if yang penderita diabetes lakukan. Intervensi bagi penderita diabetes tipa dua dengan depresi
menargetkan self-effica cy dalam rangka meningkatkan kepatuhan dan kemampuan mengontrol kadar gula darah mereka. (Taylor, 2012)
Peneliti melihat bahwa penderita diabetes di Indonesia sering kali tidak
5 gula darah ketika mereka merasakan gangguan kesehatan, tidak teratur dalam meminum obat oral, serta tidak mengikuti diet yang dianjurkan. Penderita diabetes perlu mengontrol pola hidupnya secara teratur untuk memiliki gula darah yang normal. Mereka perlu terus menerus meminum obat serta memik irkan apa yang mereka konsumsi. Berdasarkan penelitian di India, hal ini dapat membuat penderita merasa jenuh sehingga menjadi tidak disiplin. (Shrivastava, Shrivastava &
Ramasamy, 2013).
Individu dengan diabetes sering merasa terbebani oleh penyakit mereka dan tuntutan manajemen sehari-harinya. Tuntutan ini cukup besar bagi penderita Diabetes. Penderita Diabetes harus berurusan dengan diabetes mereka sepanjang hari, setiap hari, membuat keputusan yang tak terhitung jumlahnya dalam upaya mendekati status metabolik non-diabetes. Efek dari pengambilan keputusan sehari-hari dapat memiliki dampak langsung dan mengakibatkan komplikasi yang
berpotensi mengancam nyawa. Terapi diabetes, seperti mengambil insulin, secara substansial dapat mempengaruhi kualitas hidup baik secara positif, dengan
mengurangi gejala gula darah tinggi, atau negatif, dengan meningkatkan gejala gula darah rendah. Beban hidup dengan diabetes cukup berat dengan adanya kontrol jangka panjang glikemik dan risiko komplikasi jangka panjang, ini dapat ditangani dengan adanya self-ca re. (Shrivastava, Shrivastava & Ramasamy, 2013). Penelitian di Canada menunjukan bahwa pengambilan keputusan self-ca re tidak memiliki efek langsung, melainkan diarahkan menjaga kadar glukosa darah yang mengurangi kemungkinan jangka panjang komplikasinya (Thorne, Paterson & Russell, 2003).
World Hea lth Orga nizfa tion (2009) mendefinisikan self-ca re sebagai
6 penyakit ringan dan kondisi jangka panjang, menjaga kesehatan dan kesejahteraan
setelah penyakit akut atau pulang dari rumah sakit (dalam “Self-care”,2005)
Menurut Orem (1971), Self-ca re dilakukan dengan keyakinan bahwa setiap manusia mempunyai kemampuan merawat diri sendiri sehingga membantu individu memenuhi kebutuhan hidup, memelihara kesehatan dan kesejahteraan. Teori ini dikenal sebagai self-ca re atau teori defisit self-ca re. Self-ca re menekankan bahwa setiap orang mempunyai kebutuhan merawat dirinya sendiri dan berhak memenuhi kebutuhannya sendiri kecuali jika tidak memungkinkan. Orang dewasa madya yang normal dan sehat merupakan agen untuk dirinya sendiri, sedangkan bayi, anak, orang sakit berat atau tidak sadar, bergantung kepada keluarga atau perawat sebagai sumber perawatan untuk memenuhi kebutuhannya.
Self-ca re perlu dilakukan oleh semua orang, karena self-ca re tidak hanya bersifat mencegah penyakit saja namun juga bersifat menjaga kondisi kesehatan
(Renpenning & Taylor, 2011). Self-ca re memberdayakan orang dengan keyakinan dan informasi untuk menjaga diri mereka sendiri ketika mereka bisa, dan
mengunjungi dokter hanya ketika mereka perlu, memberikan orang kontrol yang lebih besar mengenai kesehatan mereka sendiri serta mendorong perilaku sehat yang membantu mencegah sakit dalam jangka panjang. Dalam banyak kasus orang bisa mengurus penyakit ringan mereka, mengurangi jumlah konsultasi dan
memungkinkan tenaga kesehatan profesional fokus pada merawat pasien berisiko tinggi, yang sangat muda atau tua, serta mengelola kondisi jangka panjang dan memberikan pelayanan yang lebih baik. (Orem, 1971)
7 Pengobatan diabetes membutuhkan dedikasi yang menuntut perilaku self-ca re di beberapa bagian, termasuk pemilihan makanan, aktivitas fisik, obat -obatan,
pemantauan glukosa, dan manajemen gejala. Tidak ada rancangan terapi yang diterima secara universal yang menggabungkan semua domain pengobatan diabetes sehingga penilaian perilaku self-ca re sangat menantang dan menjadi masalah untuk perawatan klinis dan penelitian. (Shrivastava, Shrivastava, & Ramasamy, 2013).
Self-ca re pada diabetes telah dilihat sebagai salah satu pembawa perubahan dalam pengembangan pengetahuan dan pembelajaran untuk bertahan dari diabetes yang memiliki sifat yang cukup sulit ditangani. Ada tujuh perilaku yang esensial untuk self-ca re ketika menderita diabetes. Tujuh hal tersebut adalah makan makanan sehat, aktif secara fisik, mengontrol gula darah, rajin meminum obat, kemampuan memecahkan masalah, coping skill, dan perilaku yang mengurangi hal-hal beresiko. Self-ca re adalah perilaku yang dipilih oleh sebagian besar penderita diabetes yang ingin sukses mengatur penyakit mereka sendiri. Ketujuh perilaku tersebut telah ditemukan berkorelasi positif terhadap pengendalian glycemic, pengurangan komplikasi dari diabetes, dan meningkatkan kualitas hidup penderita. Self-ca re diabetes menuntut penderita mengubah pola makan dan gaya hidup sehingga sesuai dengan saran petugas kesehatan sehingga dapat membawa
penderita menurut perubahan perilaku yang lebih baik. (Shrivastava, Shrivastava & Ramasamy, 2013)
Diabetes dapat menjadi penyakit fatal bila tidak disertai terapi insulin atau obat yang sesuai dengan rancangan terapi diet, olahraga dan manajemen yang sangat ketat, sehingga dapat memungkinkan menjaga kualitas kehidupan. Akan tetapi, berdasarkan penelitian di pakistan komplikasi serius dapat terjadi dari waktu ke waktu, dan dipengaruhi hubungan langsung antara self-ca re yang efektif dan tingkat keparahan komplikasinya (Thorne, Paterson & Russell, 2003).
8 individu dapat terlihat dan berperilaku seperti non-diabetes (Thorne, Paterson, & Russell,2003).
Penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar orang dengan diabetes mengalami kesulitan mengelola rancangan terapi pengobatan mereka (ora l hipoglikemik dan insulin) serta aspek lain dari self-ca re yang diperlukan. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Cramer (2004), banyak pasien dengan diabetes mengonsumsi obat kurang dari jumlah yang telah ditentukan, termasuk ora l hipoglikemik dan insulin. Dalam studi retrospektif dan prospektif yang dilakukan, tingkat keseluruhan
kepatuhan dengan ora l hipoglikemik adalah 36-93%. Mengingat pentingnya self-ca re dan kepatuhan pengobatan untuk hasil kesehatan dari perawatan diabetes. Survei ini juga menambah temuan umum bahwa tingkat kepatuhan tidak berhubungan dengan kesederhanaan program pengobatan, tingkat keparahan gangguan, atau kemungkinan konsekuensi dosis yang terlewatkan. Penelitian menyatakan bahwa penderita Diabetes yang diresepkan, ora l hipoglikemik atau insulin, menggunakan obat kurang dari jumlah yang ditentukan selama jangka waktu yang tidak pasti, menunjukkan adanya kebutuhan mendesak bagi pemberi resep untuk memahami bahwa kegagalan mengurangi kadar HBA1C mungkin terkait dengan kurangnya self-ca re (Cramer, 2004).
Peneliti ingin melihat perilaku self-ca re para penderita diabetes, bukan hanya pada kepatuhan meminum obat maupun pada pengaturan pola makan saja, na mun dilihat secara keseluruhan. Keteraturan dalam meminum obat saja belum cukup menstabilkan gula darah seseorang, dengan menderita diabetes perlu
memperhatikan apa yang dikonsumsi dengan seksama. Meskipun mengonsumsi obatnya dengan teratur namun tidak dapat mengontrol pola makannya, maka gula darah tetap dapat meningkat dan begitu pula yang sebaliknya, karena itulah
9 Pengetahuan umumnya datang dari pengalaman, namun bisa juga didapat dari informasi yang disampaikan oleh guru, orang tua, teman, buku dan surat kabar. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai penghayatan terhadap objek. Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam tindakan, agar sikap dapat menjadi perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau kondisi yang memungkinkan. Berdasarkan pengertian mengenai perilaku tersebut, agar perilaku self-ca re dapat menjadi sikap nyata salah satu yang perlu dimiliki adalah pengetahuan, dan salah satu sumber pengetahuan adalah melalui tingkat pendidikan.
Menurut Rogers (1974) dalam Notoatmodjo (2006), perilaku yang didasari oleh pengetahuan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didas ari oleh
pengetahuan. Perilaku self-ca re adalah perilaku yang diharapkan bersifat langgeng pada penderita diabetes karena diperlukan dalam menjalankan hidup sehari-hari, karenanya pengetahuan menjadi penting untuk diteliti. Salah satu sumber
pengetahuan adalah tingkat pendidikan. Pendidikan adalah kegiatan atau proses pembelajaran mengembangkan atau meningkatkan kemampuan tertentu sehingga sasaran pendidikan itu dapat berdiri sendiri. Semakin rendah tingkat pendidikan yang dimiliki maka semakin rendah pula kemampuan yang dimiliki dalam menyikapi permasalahan.
Penelitian Rafique, Azam dan White (2006) menemukan bahwa nilai
pengetahuan meningkat seiring dengan tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan merupakan indikator bahwa seseorang telah menempuh jenjang pendidikan formal dibidang tertentu. Semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin mudah menerima pengaruh luar yang positif, objektif, dan terbuka pada berbagai informasi termasuk kesehatan (Notoatmodjo, 2006; Wawan & Dewi, 2010).
10 Resiko kematian secara signifikan lebih besar bagi individu dengan tingkat pendidikan dan rasio pendapatan yang rendah, daripada individu di tingkat yang lebih tinggi. Setelah disesuaikan untuk demografi, komorbiditas, pengobatan diabetes, durasi, akses perawatan kesehatan, dan variabel tekanan psikologis, hubungan dengan risiko kematian tetap bermakna hanya untuk individu dengan tingkat lebih rendah pendidikan (Saydah & Lochner, 2010).
Self-ca re dipengaruhi tingkat pendidikan dan kesadaran akan kesehatan, yang berkontribusi terhadap aspek yang berkaitan dengan pemahaman dan kepatuhan terhadap pendidikan kesehatan dan pengobatan farmakologis yang mungkin kompleks bagi penderita penyakit kronis. Pada penelitian mengenai tingkat
pendidikan dan perilaku self-ca re pada penderita sakit jantung sebelum dan sesudah intervensi yang dilakukan perawat dengan jeda satu tahun ditemukan bahwa
perilaku self-ca re lebih baik pada pasien dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, walau peningkatannya tidak jauh berbeda dengan pasien dengan tingkat pendidikan yang rendah (González et al, 2014).
Intervensi pendidikan dan penguatan pendidikan kesehatan periodik dibedakan berdasarkan tingkat pendidikan, terutama pada populasi dengan tingkat pendidikan rendah yang kemampuan pemahaman dan menghafal informasi diberikan dalam kunjungan pendidikan kesehatan lebih rendah, dan mencakup metode meningkatkan pemahaman informasi. (González et al, 2014)
Aliasgharzadeh, Mobasseri dan Adib (2006) meningkatnya meningkatnya
kepatuhan dalam berdiet, berolahraga dan obat-obatan seiring dengan meningkatnya tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan menjadi salah satu faktor yang berpengaruh pada perilaku self-ca re yang diperlukan penderita diabetes agar mengontrol gula darah dengan baik, karena itu peneliti ingin melihat apakah ada perbedaan antara tingkat pendidikan terhadap perilaku self-ca re pada penderita Diabetes Melitus.
11 terjadi pada perempuan dibandingkan pria dalam semua kelompok populasi (CDC, 2011).
I.B.
RUMUSAN MASALAHApakah ada perbedaan perilaku self-ca re pada penderita Diabetes Melitus dengan tingkat pendidikan yang berbeda ?
I.C.
TUJUAN
Penelitian ini bertujuan mengetahui apakah ada perbedaan perilaku self-ca re antara penderita Diabetes Melitus dengan tingkat pendidikan rendah, menengah dan tingkat pendidikan tinggi.
I.D.
MANFAATManfaat Teoretis
Manfaat teoretis dari penelitian ini adalah dapat menjelaskan self-care dari sudut pandang psikologis. Dengan menjelaskan perilaku self-care melalui sudut pandang psikologis, pemahaman mengenai pengaruh psikologi dalam bagaimana manusia tetap sehat, mengapa mereka sakit, dan bagaimana respon mereka ketika sakit.
Manfaat Praktis
Penelitian ini dapat membantu penderita diabetes untuk meningkatkan kesadarkan bahwa self-care merupakan aspek penting bagi penderita diabetes untuk dapat menjalankan kehidupannya senormal mungkin.
I.E.
SISTEMATIKA PENULISAN12 Bab I adalah bab pendahuluan yang berisikan latar belakang yang melandasi
dilakukannya penelitian, perumusan masalah, tujuan penelitian, serta manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. Di dalam bab ini, peneliti menuliskan argumentasi mengapa penelitian ini perlu untuk dilakukan.
Sementara itu, Bab II berisikan landasan teori yang berisi penjelasan mengenai teori serta penelitian yang mendukung dari semua variabel yang terdapat dalam penelitian. Variabel yang dikaji secara teoritis adalah tingkat pendidikan, Diabetes Melitus, dan self-care. Teori dan hasil penelitian yang dipaparkan dalam bab ini menjadi landasan peneliti dalam menyusun kerangka berpikir dalam melakukan penelitian.
Bab III adalah bab yang menjabarkan mengenai metode penelitian yang digunakan oleh peneliti, variabel yang ada di dalamnya, populasi penelitian, teknik pengumpulan data, uji validitas dan reliabilitas alat tes, serta metode yang digunakan untuk
menganalisis data.
Pada Bab IV, peneliti melaporkan hasil perhitungan analisis dan interpretasi dari data penelitian. Bab ini berisi gambaran umum dari sampel penelitian dan gambaran karakteristik penderita Diabetes Melitus dalam penelitian.
Pada Bab V, yaitu bab terakhir dalam laporan ini. Peneliti akan menjabarkan kesimpulan hasil dari penelitian, dilanjutkan dengan diskusi mengenai hasil
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.A.
DIABETES MELITUS TIPE DUA
Diabetes Mellitus atau kencing manis, adalah penyakit kadar glukosa di dalam darah menjadi tinggi karena tubuh tidak dapat memproduksi atau mengeluarkan insulin secara cukup. Apabila diabetes tidak terkendali hal ini dapat menyebabkan komplikasi yang berpotensi mengancam jiwa, seperti stroke, serangan jantung dan penyakit lainnya (Taylor, 2012).
DM sensitif terhadap efek stres dan meningkatkan kemungkinan depresi.
Meskipun mekanisme yang terlibat dalam bertambah buruknya diabetes oleh stres masih dieksplorasi, namun telah dipastikan bahwa metabolisme glukosa
dipengaruhi oleh stres. Dengan adanya hormon stres, seperti kortisol, insulin menjadi kurang efektif dalam memfasilitasi penyimpanan glukosa. Sama halnya dengan pengaruh depresi terhadap penderita diabetes. Depresi tidak hanya mempersulit prognosis, tetapi juga dapat mengganggu peran self-ca re yang dilakukan oleh pasien diabetes. Pasien depresi dengan diabetes tipe dua
membutuhkan intervensi terlebih dahulu yang menargetkan rasa self-effica cy dalam rangka meningkatkan kepatuhan dan kemampuan mencapai kontrol atas kadar gula darah mereka (Taylor, 2012).
Kunci sukses dalam mengkontrol diabetes adalah self-ca re. Diabetes tipe dua dapat sepenuhnya dicegah dengan perubahan gaya hidup individu yang berisiko tinggi. Sama halnya dengan penderita diabetes yang kondisinya dapat meningkat pesat oleh perubahan gaya hidup melalui self-care. Faktor gaya hidup yang paling kuat terlibat adalah olahraga, penurunan berat badan di antara mereka yang
14 DM merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan serta menuntut adanya perubahan gaya hidup yaitu melalui self-ca re. Penderita DM harus melakukan serangkaian kegiatan untuk dapat mempertahankan gula darah mereka sehingga mendekati non-diabetes. Kegagalan dalam mempertahankan gula ini dapat berakibat pada penurunan kualitas hidup serta kemungkinan komplikasi, karena itulah self-ca re menjadi penting pagi penderita DM.
Diabetes Melitus pada perempuan
Prevalensi DM pada perempuan cenderung lebih tinggi dari pada laki-laki (Kemenkes, 2013). Perempuan lebih rentan menderita penyakit kronis, seperti diabetes, dan menderita cacat dibandingkan dengan laki-laki. Banyak
penelitian yang menyatakan bahwa faktor resiko Diabetes Melitus seperti berat badan, obesitas, dan kurangnya aktivitas fisik lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan pria dalam semua kelompok populasi (CDC, 2011). Sebuah penelitian deskriptif tentang faktor resiko Diabetes Melitus yang dilakukan di RSU Prof. Dr. R. D. Kandou Manado pada Mei hingga Oktober 2011 mendapatkan bahwa 57% dari 138 kasus baru penderita Diabetes Melitus di rumah sakit adalah perempuan.
II.B.
SELF-CARE
World Health Organisation (2009) mendefinisikan self-ca re sebagai kemampuan individu, keluarga dan masyarakat meningkatkan kesehatan, mencegah penyakit, dan menjaga kesehatan dan mengatasi penyakit dan kecacatan dengan atau tanpa dukungan dari penyedia layanan kesehatan.
15 Schoenberg (2011) mendefinisikan self-care sebagai tugas dan hasil dari
pembuatan keputusan aman individu mengenai perilaku yang baik dilakukan demi meningkatkan kesehatan atau mencegah adanya penyakit, membatasi penyakit, mengembalikan kesehatan, dan mempertahankan kemandirian berdasarkan aturan kepatuhan dan faktor lainnya berdasarkan cara pandang individu. Sedangkan Maillet et al (1996) mendefinisikan self-care dengan terapi yang dilakukan sendiri; yang biasanya diasosiasikan dengan mengendalikan gejala dan penatalaksanaan penyakit (dalam Mollem, Snoek, & Heine, 1996).
Menurut Orem (1971), Self-ca re dilakukan dengan keyakinan bahwa setiap manusia mempunyai kemampuan merawat diri sendiri sehingga membantu individu memenuhi kebutuhan hidup, memelihara kesehatan dan kesejahteraan. Teori ini dikenal sebagai self-ca re atau self-ca re defisit teori. Orem mengemukakan tiga macam teori, yaitu self-ca re theory, self-ca re deficit theory dan nur sing system theory.
Teori self-ca re menekankan bahwa setiap orang mempunyai kebutuhan merawat dirinya sendiri dan berhak memenuhi kebutuhannya sendiri kecuali jika tidak memungkinkan. Orang dewasa madya yang normal dan sehat merupakan agen untuk dirinya sendiri, sedangkan bayi, anak, orang sakit berat atau tidak sadar, memerlukan keluarga atau perawat sebagai dependent ca re a gent.
Self-care pada Diabetes
Individu dengan DM harus membuat serangkaian keputusan setiap harinya tentang nutrisi, aktivitas fisik, obat diabetes, pemantauan gula darah, dan stres management. Mereka juga harus berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dengan pelayan kesehatan, anggota keluarga, teman, majikan dan rekan-rekan mereka untuk mendapatkan dukungan sosial yang dibutuhkan untuk
16 Adanya peningkatan prevalensi Diabetes Mellitus mengubah perawatan diabetes dari sekunder menjadi primer, mengakibatkan tanggung jawab bersama dalam menangani diabetes antara petugas kesehatan primer dan sekunder menjadi semakin penting. Pentingnya kualitas hidup pasien semakin disadari oleh pelayanan kesehatan, sehingga perhatian lebih banyak diberikan pada manajemen penyakit yang cocok untuk gaya hidup pasien. Penanganan dan peralatan diabetes telah mengalami kemajuan sehingga dapat
menghasilkan strategi manajemen yang lebih fleksibel dan efektif. Kemajuan dalam oral hipoglikemik dan terapi insulin menawarkan pilihan yang lebih baik (Agrimon, 2014).
Kegiatan self-care mengacu pada perilaku seperti mengikuti rencana diet, menghindari makanan berlemak tinggi, meningkatkan latihan, pemantauan diri glukosa, dan langkah-langkah perawatan. Penurunan kadar hemoglobin glikosilasi pasien mungkin tujuan akhir dari diabetes self-care tetapi tidak dapat menjadi satu-satunya tujuan dalam perawatan pasien. Perubahan aktivitas self-care juga harus dievaluasi untuk berlanjut ke arah perubahan perilaku (Khardori, 2014).
Pemantauan kontrol glikemik yang cukup adalah landasan perawatan diabetes yang dapat memastikan partisipasi pasien dalam mencapai dan mempertahankan target glikemik spesifik. Tujuan yang paling penting dari monitoring adalah penilaian kontrol glikemik keseluruhan dan inisiasi langkah yang tepat pada waktu yang tepat untuk mencapai kontrol optimal.
Self-monitoring memberikan informasi mengenai status glikemik saat ini, memungkinkan penilaian terapi dan membimbing penyesuaian dalam diet, olahraga dan obat-obatan mencapai kontrol glikemik yang optimal. Terlepas dari penurunan berat badan, melakukan aktivitas fisik secara teratur telah ditemukan terkait dengan hasil kesehatan yang lebih baik antara penderita diabetes. Self-monitor glukosa darah (SMBG) merupakan bagian penting dari perawatan diri diabetes untuk mengevaluasi efisiensi pengobatan dan
17 instruksi awal, dan evaluasi tindak lanjut rutin, teknik SMBG dan kemampuan mereka untuk menggunakan data untuk menyesuaikan terapi. SMBG harus dilakukan 3-4 kali sehari (pagi, ditambah tes lain sebelum dan sesudah makan) (Agrimon, 2014).
Tujuan dalam merawat pasien dengan DM adalah menghilangkan gejala dan mencegah, atau setidaknya memperlambat, perkembangan komplikasi (Khadori, 2014). Perawatan diabetes sebaiknya disediakan oleh tim
multidisiplin profesional kesehatan dengan keahlian dalam diabetes, bekerja sama dengan pasien dan keluarga meliputi:
■ Penetapan tujuan yang tepat
■ Modifikasi diet dan olahraga
■ Obat
■ Self-monitoring yang tepat dari glukosa darah (SMBG)
■ Pemantauan berkala untuk komplikasi
■ Penilaian laboratorium
Minat mengenai self-care meningkat karena lebih menyorot peran penting pasien dalam mengelola penyakit kronis mereka, serta dalam mengendalikan dan mencegah komplikasi penyakit kronis. Tujuan dari self-care adalah untuk memberi pasien kemampuan dan sumber daya untuk mengatasi berbagai tantangan sosial dan lingkungan untuk hidup sehat (Agrimon, 2014).
Menurut Goldstein (2002), pendekatan self-care melibatkan penilaian dan nilai-nilai pasien dalam konteks kehidupan sehari-hari untuk membuat rencana perawatan yang terbaik dan dapat diimplementasikan. self-care diabetes dan pemberdayaan pasien merupakan konsep baru di Indonesia, dan belum diperkenalkan ke dalam pelayanan kesehatan, terutama dalam
18 pengelolaan diri diabetes tidak dibahas atau diajarkan kepada peserta.
(Agrimon, 2014)
Faktor yang mempengaruhi Self-care Diabetes
Mehammedsrage Abrahim (2011) mengulas faktor-faktor yang berkontribusi pada perilaku self-ca re penderita DM melalui systema tic litera tur review. Penelitian Abrahim melihat faktor demographic, kondisi sosioekonomi , dan socia l support yang kemudian akan diolah
menggunakan Critica l Appra isa l Skill P rogra mme (CASP) untuk mengukur kriteria inklusi dan kriteria eksklusi. Dalam penelitiannya, literatur yang digunakan minimal bertahun 2004 dengan kriteria partisipan terdiagnosis DM dan berusia di atas usia 18 tahun. Literatur yang digunakan
menggunakan metode yang berbeda-beda, dua puluh diantaranya kuantitatif, sembilan kualitatif dan dua mixed method. Berdasarkan 31 studi yang
relevan, ditemukan bahwa faktor umur, dukungan, tingkat pendapatan yang tinggi, tingkat pendidikan yang tinggi dan lamanya setelah diagnosis DM memiliki hubungan positif sebagai faktor perilaku self-ca re pada pasien DM.
Demografis
Usia
Artikel yang ditinjau dalam penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara usia dan self-ca re tipe 2 DM. Penelitian menemukan bahwa orang-orang di usia tua dikaitkan dengan self-ca re yang baik dan teratur. Ia juga menemukan bahwa usia lanjut berkaitan dengan tingginya tingkat aktivitas fisik, kepatuhan terhadap makanan yang direkomendasikan, dan pelaksanaan perawatan kaki.
19
Jenis Kelamin
Jenis kelamin memiliki korelasi yang signifikan dengan aktivitas perawatan diri yang lebih baik. Jenis kelamin laki-laki dikaitkan dengan self-ca re yang lebih baik daripada perempuan. Baumann et al (2010) menemukan bahwa pria melakukan aktivitas fisik self-ca re lebih teratur dan perempuan memiliki nilai kepatuhan terhadap diet yang direkomendasikan dan juga mereka memiliki kepedulian yang tinggi mengenai komplikasi diabetes. Namun, Tengblad et al (2007) mengungkapkan bahwa tidak ada korelasi antara frekuensi gender dan self-ca re terkait SMBG & HbA1c tingkat.
Lama Menderita DM
Penelitian ini mengungkapkan bahwa lamanya diagnosis Tipe 2 DM dan pengobatan memiliki korelasi positif terhadap peningkatan perilaku self ca re, yang dikembangkan melalui pengalaman, dan perubahan dari merasa sakit menjadi hidup seperti orang lain. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Xu dan Pan menemukan bahwa durasi menderita tipe 2 DM (durasi 9 tahun) memiliki hubungan positif dengan kepatuhan terhadap obat dan monitor glukosa darah secara teratur. Ada korelasi yang signifikan antara panjang menderita DM (rata-rata 5,8 tahun) perilaku self-ca re. Penderita DM dengan durasi setelah diagnosis diatas 10 tahun memiliki hubungan yang kuat dengan perilaku merawat kaki.
Faktor Sosial Ekonomi
Pendidikan
20 dan pengecekan gula darah yang teratur dan dikaitkan dengan perilaku positif.
Studi lain menemukan kelemahan yang dimiliki orang dengan tingkat pendidikan dan kesadaran yang rendah. Salah satunya adalah penelitian Hosler dan Pan dan Samuel-Hodge et al yang
mengungkapkan bahwa tingkat pendidikan yang rendah dikaitkan dengan uji rata-rata gula darah yang rendah, mengkonsumsi obat penuruh gula darah dan aspirin, disertai dengan kemampuan coping self-ca re yang rendah.
Pendapatan
Pemeliharaan dan pengembangan self-ca re tergantung pada usia, status perkawinan, tingkat pendidikan, sosial ekonomi (Carter, 1998; Mapanga dan Andrews, 1995). Hal ini mendukung hasil penelitian Abrahim (2011), yang menunjukan ada hubungan positif antara self-ca re diabetes dan pendapatan. Semakin tinggi pendapatan mereka semakin banyak aktivitas self-ca re yang dilakukan.
Dukungan Sosial
Menurut temuan ada hubungan yang signifikan antara self-ca re DM dan dukungan sosial. Semakin banyak dukungan dan bantuan yang diterima, semakin banyak kegiatan self-ca r e diabetes dilakukan (Chio et al, 2009; Oftedal et al, 2009; Heisler dan Piette, 2005). Sebagian besar penelitian mengenai faktor perilaku self-ca re yang dilakukan oleh Abrahim (2011) diambil dari negara maju karena itu perlu dilakukan penelitian lanjut pada negara berkembang mengenai faktor tersebut.
21 penatalaksanaan dan komunikasi petugas kesehatan sebagai faktor yang berkontibusi terhadap perilaku self-ca re. Ia mendapat 100 orang responden dari Rumah Sakit Umum Tangerang. Berdasarkan penelitian tersebut faktor dominan yang berkontribusi terhadap self-ca re diabetes pada klien DM di Rumah Sakit Umum Tangerang adalah motivasi, keyakinan terhadap
efektifitas penatalaksanaan DM, dan komunikasi dengan petugas kesehatan. Berdasarkan penelitian tersebut ditemukan bahwa tidak ada kontribusi usia, jenis kelamin, sosial ekonomi, lama menderita maupun aspek emosional terhadap self ca re pada penderita DM.
Penelitian yang dilakukan oleh Abrahim (2011), lebih lengkap dalam memasukkan variabel yang mungkin berpengaruh, namun sebagian besar membahas mengenai self-ca re diabetes di negara maju dan masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut di negara berkembang. Sedangkan penelitian yang dilakukan Kusniawati (2011) melengkapi penemuan yang sebelumnya mencoba meneliti faktor yang berpengaruh terhadap self-ca re DM pada konteks Indonesia yang merupakan negara berkembang, namun belum memasukan semua variabel yang mungkin berpengaruh. Salah satu variabel yang tidak diteliti oleh Kusniawati adalah tingkat pendidikan, yang menurut Abrahim merupakan variabel pendukung perilaku self-ca re, karena itulah penelitian mengenai hubungan tingkat pendidikan dan perilaku selfca re ini dilakukan.
II.C.
TINGKAT PENDIDIKAN
22 menerima perkembangan baru terutama yang menunjang derajat kesehatannya. Hal ini dikarenakan pendidikan dasar merupakan tingkatan pendidikan untuk sekedar mengenalkan ilmu baru kepada seseorang tanpa adanya proses nalar dan
pertimbangan ilmu. Responden yang memiliki latar belakang pendidikan yang kurang mengalami kesulitan menerima informasi baru karena proses berpikir yang telah tertanam dalam dirinya hanyalah bersifat sementara karena tidak adanya proses nalar yang cukup dari penderita DM itu sendiri yang dikarenakan latar belakang pendidikan yang dimiliki.
Sistem pendidikan non-formal meliputi Paket-A (setara dengan SD), Paket-B (setara dengan SMP) dan Paket-C (setara sekolah menengah atas) dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional.
Menurut Rogers (1974) dalam Notoatmodjo (2006), dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Perilaku self-ca re adalah perilaku yang diharapkan bersifat langgeng pada penderita diabetes karena
diperlukan dalam menjalankan hidup sehari-hari, karenanya pengetahuan menjadi penting untuk diteliti.
Pendidikan Dasar
Pendidikan dasar berlangsung enam tahun dengan usia masuk tujuh tahun. Pendidikan dasar merupakan bagian dari sembilan tahun wajib belajar pendidikan dasar. Ada juga sekolah-sekolah agama menyediakan pendidikan dasar dan umum. Pada akhir pendidikan dasar (kelas enam) siswa duduk ujian nasional; akses ke pendidikan menengah juga tergantung pada hasil tes
akademik dan psikologis. Pendidikan Menengah
Pendidikan Menengah pertama berlangsung tiga tahun dan merupakan bagian dari sembilan tahun program wajib belajar pendidikan dasar. Setelah menyelesaikan pendidikan menengah pertama (kelas sembilan) siswa
23 pada hasil tes akademik dan psikologis. Lulusan pendidikan dasar bisa masuk sekolah menengah atas umum atau sekolah menengah teknis dan kejuruan, keduanya menawarkan program tiga tahun. Pada senior sekolah tingkat menengah umum (kelas 10-12), tahun pertama semua siswa di kelas 11 dan 12 mendapat empat pilihan spesialisasi yang ditawarkan: ilmu alam (IPA), ilmu-ilmu sosial (IPS), bahasa, dan studi agama. Beberapa sekolah menengah atas kejuruan menawarkan program empat tahun yang mengarah ke Diploma 1 sertifikat. Technica l a nd voca tiona l educa tion (TVE) juga ditawarkan di sekolah agama. TVE terdiri dari sekitar 40 program di bidang berikut: teknologi dan mesin; bidang kesehatan; seni, kerajinan dan
pariwisata; teknologi informasi dan komunikasi; a grobisnis dan a groteknologi; dan bisnis dan manajemen. Setelah menyelesaikan
pendidikan siswa senior (umum, kejuruan atau agama) menerima sertifikat. Mereka juga duduk ujian nasional dan, jika berhasil, mereka diberikan sertifikat nasional (ijazah) yang memberikan akses ke pendidikan tinggi, berdasarkan hasil ujian masuk di perguruan tinggi negeri (juga tergantung pada ketersediaan tempat).
Pendidikan tinggi
Lembaga pendidikan tinggi termasuk akademi, politeknik, perguruan tinggi, institut dan universitas. Akademi menawarkan pendidikan ilmu terapan dalam satu atau bagian dari disiplin, teknologi atau seni. Politeknik menawarkan pendidikan sains terapan dalam berbagai bidang tertentu. Kedua bentuk pendidikan tinggi dikategorikan sebagai pendidikan profesional. Perguruan tinggi menawarkan pendidikan akademik dan profesional dalam satu disiplin ilmu tertentu. Sebuah lembaga terdiri dari fakultas yang menawarkan pendidikan akademik atau profesional dalam disiplin ilmu yang termasuk ke dalam kelompok yang sama dari bidang profesional. Sebuah universitas terdiri dari beberapa fakultas yang
24 dengan gelar sarjana (empat dan setengah tahun atau 150-160 kredit
ditambah satu tahun magang atau 36-40 kredit dalam kasus kedokteran, kedokteran gigi, farmasi dan kedokteran hewan). Pemegang gelar S1 dapat mendaftarkan diri dalam program yang berlangsung minimal dua tahun (atau 36-50 sks) ditambah 8-10 kredit untuk tugas akhir yang mengarah ke
penghargaan dari tingkat S2, sebanding dengan gelar master. Program mengarah ke penghargaan dari tingkat S3, sebanding dengan gelar doktor, biasanya berlangsung tiga tahun (40-60 sks). Ada juga program praktis yang berorientasi mengarah ke penghargaan dari Spesialis 1 dan 2 Spesialis ijazah (40-70 sks), terutama dalam bidang spesialisasi medis. Lembaga tinggi profesional pendidikan (akademi, politeknik, perguruan tinggi, dan lembaga) serta perguruan tinggi menawarkan berbagai program praktis yang
berorientasi berlangsung 1-4 tahun yang mengarah ke penghargaan dari ijazah (D1 ke D4, yang terakhir sebanding dengan gelar sarjana). Tingkat pendidikan terbukti memiliki dampak yang lebih besar pada kesehatan mental di kelompok usia muda dan fungsi fisik pada orang tua. Penelitian Floor VA van Oort, Frank J van Lenthe, Johan P Mackenbach (2009) menunjukkan bahwa mereka yang mencapai tingkat pendidikan yang lebih tinggi cenderung terlibat dalam perilaku sehat dan seringkali menjadi kebiasaan. Hal yang sama berlaku pada
aktivitas fisik, diet, merokok dan aktivitas seksual. Mereka dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi cenderung untuk tidak merokok dan lebih sukses ketika mencoba untuk berhenti. Sebuah penelitian menemukan bahwa orang-orang dalam kelompok pendidikan menengah delapan kali lebih mungkin menjadi perokok dibandingkan pada kelompok pendidikan tertinggi. (Higgins, Lavin, & Metcalfe, 2008)
25 Pendidikan bisa meningkatkan perilaku kesehatan dalam beberapa cara. Individu berpendidikan tinggi lebih baik informasi yang lebih baik mengenai konsekuensi kesehatan negatif dari merokok dan makan berlebihan, baik karena mereka belajar tentang konsekuensi ini di sekolah, atau karena orang yang berpendidikan lebih baik lebih mudah untuk mendapatkan dan mengevaluasi informasi tersebut (Kenkel, 1991; Nayga, 2000; de Walque 2007). Tingkat pendidikan juga bisa mempengaruhi perilaku kesehatan melalui pendapatan yang lebih tinggi, lingkungan sosial yang berbeda dan kontrol yang dimiliki (Fuchs 1982).
II.D.
DIABETES, SELF-CARE DAN TINGKAT PENDIDIKAN
Perilaku self-care dilakukandengan tujuan merawat diri sendiri. Self-care pada penderita Diabetes Mellitus mengacu pada perilaku seperti mengikuti rencana diet, menghindari makanan berlemak tinggi, meningkatkan latihan, pemantauan diri glukosa, dan langkah-langkah perawatan. Menurut Rogers (1974) dalam
Notoatmodjo (2006), perilaku yang didasari oleh pengetahuan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan.
Salah satu sumber pengetahuan adalah melalui pendidikan. Tingkat pendidikan merupakan indikator bahwa seseorang telah menempuh jenjang pendidikan formal dibidang tertentu. Semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin mudah menerima pengaruh luar yang positif, objektif, dan terbuka pada berbagai informasi termasuk kesehatan (Notoatmodjo, 2006; Wawan & Dewi, 2010).
26 orang dewasa dengan gelar sarjana atau tingkat pendidikan tinggi (Saydah,
Imperatore & Beckles, 2013).
Penelitian di Amerika menunjukkan bahwa setelah penyesuaian demografi, akses perawatan kesehatan, dan tekanan psikologis, tingkat pendidikan yang dicapai merupakan prediktor kuat dari risiko kematian di antara orang dewasa dengan diabetes. Risiko kematian secara signifikan lebih besar bagi orang-orang dengan tingkat pendidikan dan rasio pendapatan yang rendah, daripada orang-orang di tingkat yang lebih tinggi. Setelah disesuaikan untuk demografi, komplikasi, pengobatan diabetes, durasi, akses perawatan kesehatan, dan variabel tekanan psikologis, hubungan dengan risiko kematian tetap bermakna hanya untuk orang-orang dengan tingkat pendidikan lebih rendah. (Saydah, Lochner, 2010).
Berdasarkan penelitian yang telah disebutkan sebelumnya, peneliti melihat adanya hubungan antara tingkat pendidikan yang rendah dengan kondisi kesehatan penderita Diabetes yang buruk, sedangkan perilaku self-ca re yang perlu dilakukan oleh penderita DM guna menjaga kondisi kesehatannya memerlukan pengetahuan, dan salah satu sumber pengetahuan adalah tingkat pendidikan. Berdasarkan
Informasi tersebut muncul pertanyaan apakah ada perbedaan perilaku self-ca re pada penderita DM dengan tingkat pendidikan yang berbeda.
II.E.
HIPOTESIS
Ho: Tidak terdapat kecenderungan perilaku self-ca re disetiap kelompok pendidikan berada ditingkat lebih tinggi atau lebih rendah dari peringkat kelompok lainnya. Ha: Terdapat kecenderungan perilaku self-ca re disetiap kelompok pendidikan
27
II.F.
KERANGKA PEMIKIRAN
28
BAB III
METODE PENELITIAN
III.A.
JENIS PENELITIAN
Penelitian ini hendak menjawab apakah terdapat perbedaan yang signifikan antara perilaku self-ca re dan dua tingkat pendidikan yang berbeda pada penderita DM di Jakarta. Penelitian komparatif akan digunakan karena peneliti akan
membandingkan antara dua kelompok dari suatu variabel tertentu (Howitt & Cramer, 2000). Peneliti tidak melakukan manipulasi terhadap variabel yang ada pada subyek, karena tingkat pendidikan merupakan faktor terikat. Subyek penelitian yakni penderita diabetes akan diukur perilaku self-ca re dalam keadaan alamiah. Penelitian ini merupakan non-experimenta l study, karena tidak adanya manipulasi (Kerlinger, 1986). Pendekatan yang digunakan di dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif. Pendekatan ini menggunakan teknik statistik untuk
menjawab permasalahan penelitian (Kumar, 2005). Penelitian akan menggunakan alat ukur self-ca re yang akan disebarkan satu kali atau disebut dengan cr oss-sectiona l study design (Kumar, 2005).
III.B.
VARIABEL PENELITIAN
Menurut Kerlinger (1986) variabel adalah suatu hal yang memiliki nilai yang berbeda atau bervariasi. Pada penelitian kali ini terdapat dua variabel yaitu :
29 Self-care
Self-ca re didefinisikan sebagai tugas rancangan terapi yang dilakukan setiap hari oleh individu yang termasuk diet umum, diet khusus, olahraga, konsumsi obat-obatan, pengujian glukosa darah, perawatan kaki dan merokok. Hal ini dapat diukur dengan menjawab 11 pertanyaan yang ada pada alat ukur Summa ry of Dia betes Self-ca re Activity (SDSCA) disusun oleh Toobert, Hampson dan Glasgow (2000) dengan menggunakan sistem skala Likert. Peneliti memilih menggunakan SDSCA karena alat tes ini mengukur self-ca re sesuai dengan konteks penelitian yaitu penderita
Diabetes dan mampu menilai perilaku self-ca re pada keseluruhan rancangan terapi. Partisipan diminta mengisi dengan cara memilih satu hingga tujuh untuk pertanyaan nomor satu hingga sepuluh. Pertanyaan nomor sebelas
dijawab dengan memilih ‘ya’ atau ‘tidak’, jika ya maka partisipan diminta menuliskan berapa batang rokok yang ia hisap perharinya. Setiap pertanyaan dibuat untuk dapat menentukan seberapa baik individu melakukan perilaku self-ca re selama tujuh hari terakhir. Jika partisipan sakit selama tujuh hari terakhir, silahkan berpikir kembali ke tujuh hari terakhir ketika partisipan tidak sakit.
Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan adalah tahapan pendidikan berkelanjutan yang pada akhir tahapan ditandai dengan mendapat ijazah kelulusan. Variabel tingkat pendidikan dibagi menjadi tiga macam, yakni pendidikan rendah, menengah dan tinggi. Oleh karena variabel tingkat pendidikan ini ada berdasarkan kategori, maka variabel tingkat pendidikan adalah variabel discrete.
Pendidikan Rendah
Telah melewati enam tahun pendidikan dasar dan memiliki ijazah Sekolah Dasar
30 Telah melewati pendidikan dasar maupun lanjutan dan memiliki ijazah Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas atau Sekolah Menengah Kejuruan, paket A dan Paket B.
Pendidikan tinggi
Memiliki ijazah pendidikan tinggi mencakup program sarjana, magister, doktor, dan spesialis yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi.
III.C.
POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN
Populasi Penelitian
Populasi penelitian yang diambil adalah penderita Diabetes Melitus perempuan dengan tingkat pendidikan beragam. Tingkat pendidikan dibedakan menjadi pendidikan menengah dan pendidikan tinggi.
Karakteristik Populasi
Menderita diabetes selama lebih dari satu tahun.
Setelah memiliki pengetahuan bahwa ia menderita diabetes minimal satu tahun subyek diperkirakan telah mengenal kondisi tubuhnya serta telah beradaptasi sehingga self-ca re sudah terbentuk.
Berusia 45 hingga 65 tahun.
31 hingga 65 tahun karena menurut WHO, pada negara berkembang, DM cenderung diderita oleh penduduk usia 45-65 tahun. (DM-WHO). Berjenis kelamin perempuan.
Abrahim (2011) menyatakan bahwa jenis kelamin memiliki hubungan yang signifikan dengan aktivitas self-ca re yang lebih baik. Jenis kelamin laki-laki dikaitkan dengan self-ca re yang lebih baik daripada perempuan. Sedangkan Kusniawati (2011) menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara perilaku self-ca re dengan jenis kelamin. Adanya perbedaan ini dapat mempengaruhi penelitian dalam mengukur perilaku self-ca re, karenanya peneliti memutuskan untuk membatasi populasi penelitian kepada jenis kelamin perempuan saja, agar jenis kelamin tidak mempengaruhi hasil penelitian. Peneliti memutuskan untuk meneliti perempuan saja karena berdasarkan prevalensinya, penderita diabetes perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki.
Teknik Sampling
Penelitian ini menggunakan teknik sampling convinience sa mpling, yaitu teknik pengumpulan sa mple yang dilakukan berdasarkan kemudahan akses pada partisipan, dengan mencari partisipan yang sesuai dengan kriteria yang sudah ditentukan. Dalam penelitian ini, ada beberapa kriteria partisipan yang sudah dijelaskan sebelumnya, sehingga dapat mempermudah pe neliti untuk menentukan partisipan dalam penelitian, dan dapat mencapai tujuan
penelitian.
Jumlah sampel
32 batas signifikansi 0,05, maka jumlah sampelnya adalah 119 orang. Populasi penelitian ini jumlahnya lebih dari 10.000 orang karena dengan prevalensi DM 14,7% didaerah perkotaan dengan jumlah penduduk kurang lebih 10 juta orang, akan tetapi tidak ada data yang menyampaikan angka pasti besaran populasi tersebut. Atas dasar pertimbangan terhadap hal tersebut, peneliti memutuskan untuk menggunakan jumlah subyek penelitian minimal sebanyak 119 orang.
III.D.
TEKNIK PENGAMBILAN DATA
Pengambilan data dilakukan dengan memberikan kuesioner berisikan informed consent dan alat tes SDSCA ( Summa ry Dia betes Self-ca re Activity) secara
langsung kepada partisipan yang sesuai dengan kriteria yang telah dibuat. Serta menyebarkan kuesioner secara online pada forum dan komunitas diabetes secara bebas dengan mencantumkan usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan serta lama menderita diabetes yang kemudian akan dipilih sesuai dengan kriteria.
III.E.
INSTRUMEN PENELITIAN
Peneliti menggunakan kuesioner sebagai instrumen penelitian. Kuesioner adalah instrumen penelitian yang berisikan pertanyaan atau pernyataan, subyek dapat memberikan respon dengan menjawab langsung atau memilih alternatif jawaban yang tersedia (Kerlinger & Lee, 2000).
33 diri selama tujuh hari terakhir dihitung menggunakan hari rata-rata per minggu (0-7 hari). Ringkasnya pertanyaan dan kemudahan pemberian skor membuat SDSCA praktis untuk digunakan. Terlebih lagi, SDSCA telah banyak digunakan dalam berbagai penelitian tentang self-ca re pada penderita Diabetes. Telah diterjemahkan dalam 21 bahasa, seperti Malaysia, Jerman, Korea, dan Arab serta disahkan ke dalam beberapa bahasa.
Alat tes SDSCA yang dikembangkan oleh Toobert, dan Glasgow (1988) adalah kuesioner self-eva lua tion yang menilai seberapa baik individu melakukan perilaku self-ca re selama satu minggu terakhir, jika dalam tujuh hari terakhir mereka mengelami gangguan kesehatan maka yang dilihat adalah satu minggu dimana pasien merasa sehat. Skala dinilai dari hari pertama ke hari ketujuh dan dianggap bahwa, perilaku yang muncul kurang dari tiga hari tidak memadai, sementara yang lebih dari tiga hari dianggap memadai. Perilaku self-ca re yang dinilai adalah diet umum, diet khusus, olahraga, konsumsi obat-obatan, pengujian glukosa darah, perawatan kaki dan merokok. Hal ini dapat diukur dengan menjawab 11 pertanyaan dengan skala Interval. Partisipan diminta mengisi dengan cara memilih dari angka satu hingga tujuh untuk menentukan seberapa sering individu melakukan perilaku self-ca re selama satu minggu terakhir.
34 Lee, Kim, Choi, Seo, & Chang, 2014). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Wanda Borger (2005) mengenai perilaku diabetes Self-ca re dan self-effica cy dalam populasi Biethnic, SDSCA digunakan untuk melihat frekuensi perilaku self-ca re. Di China, SDSCA digunakan untuk menilai pengetahuan dan perilaku self-ca re yang berhubungan dengan diabetes (Zhou, Liao, Sun & He, 2013). SDSCA versi
Indonesia pernah digunakan dalam pembuatan thesis berjudul ‘Pengaruh Program
Edukasi Keluarga Terhadap Kontrol Gula Darah Penderita DM Rawat Jalan di RSUD Ulin Banjarmasih (Intannia, 2011).
Peneliti menggunakan alat tes SDSCA versi bahasa Indonesia yang telah ada sebelumnya, yang diberikan oleh pembuat alat tes. SDSCA versi bahasa Indonesia ini diterjemahkan Iman Permana, salah seorang dosen Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Peneliti telah meminta ijin kepada Deborah Toobert dan Iman Permana sebelumnya untuk menggunakan alat tes SDSCA. (Toobert, komunikasi pribadi, 9 Maret 2015; Permana, komunikasi pribadi, 13 Maret 2015)
Validitas dan Reliabilitas Validitas
Menurut Cronbach (dalam Croker & Algina, 1986), validitas adalah proses pengembang tes mengumpulkan bukti-bukti yang bisa mendukung jenis interpretasi yang ditarik dari skor tes. Dalam kegiatan pengukuran sehari-hari, validitas sering diartikan dalam pengertian sejauh mana alat ukur tepat untuk mengukur konstruk yang diukur (Anastasi & Urbina, 1997).
Peneliti melakukan fa ce va lidity yang umumnya digunakan untuk melihat sejauh mana item terlihat mengukur konstruk yang ingin diukur bagi awam maupun partisipan (Crocker & Algina, 1986).
35 bersifat homogen atau hanya mengukur satu konstruk yang sama. Interna l consistency dilakukan dengan mengkorelasikan skor item dengan skor total alat tes. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa item adalah bagian dari seluruh tes (skor total), di mana skor total adalah representasi konstruk. Untuk menghitung interna l consistency peneliti menggunakan pea rson product moment
Uji contrasted group dilakukan dengan membandingkan nilai SDSCA pada penderita DM dengan non-DM. Masing-masing group berisikan enam puluh partisipan. Uji contra sted group dilakukan untuk menguji alat tes pada dua kelompok yang memiliki ciri yang kontras sehingga diharapkan akan menghasilkan skor tes yang berbeda secara signifikan. Contrasted group dihitung menggunakan independent sample t-test.
Reliabilitas
Reliabilitas secara sederhana adalah konsistensi dari skor-skor alat tes (Crocker & Algina, 1986). Reliabilitas melihat sejauh mana pengukuran bebas dari error dan menghasilkan hasil yang konsisten. Reliabilitas berubah dengan populasi yang berbeda seiring pengaruh error yang terlibat.
Dalam pengujian reliabilitas SDSCA, peneliti akan menggunakan Cronba ch Alpha . Cronba ch Alpha adalah koefisien reliabilitas yang mengukur reliabilitas antar-item atau tingkat konsistensi
internal/homogenitas antara variabel yang mengukur satu konstruk. Karena berdasarkan er r or va r ia nce, SDSCA memiliki error pada content
heter ogeneity mengarah pada beragamnya dimensi dalam alat ukur. Semakin
banyak dimensi di dalam sebuah alat tes, maka semakin besar er r or di
dalamnya (Anastasi & Urbina, 1997). SDSCA memiliki lima dimensi, Oleh
karena itu, peneliti menggunakan perhitungan Coefficient Alpha . Rumus
coefficient a lpha (Anastasi & Urbina, 1997) yang digunakan di dalam
36 ���= � −� ��
2− Σ � � 2
��2
Keterangan:
rtt = koefisien reliabilitas coefficient a lpha n = jumlah item
SDt2 = varians skor total SDi2 = varians tiap item
Hasil Validitas dan Reliabilitas Hasil Validitas
Face validity dilakukan kepada orang yang memiliki karakteristik mirip dengan sampel penelitian, yaitu orang berusia diatas 45 tahun dengan 5 orang berpendidikan menengah dan 5 orang berpendidikan tinggi. Dari kegiatan Fa ce validity ini, partisipan memberikan masukan kepada peneliti mengenai kalimat pernyataan item yang dianggap kurang dimengerti sehingga perlu diperbaiki kata-katanya agar lebih mudah dimengerti. Secara umum, para partisipan menyatakan bahwa mereka bisa memahami pertanyaan, meskipun beberapa item yang membingungkan dan membutuhkan penjelasan lebih lanjut. Berdasarkan hasil uji
keterbacaan peneliti akhirnya menambahkan contoh pada makanan berlemak tinggi, produk susu berlemak, dan karbohidrat. Serta
menghilangkan kata sesi dan mengganti kata aktifitas khusus menjadi olahraga.
37 Tabel 1. Perhitungan Internal Consistency dari Summary of Diabetes Self-care Activity Menggunakan Pearson Corelation
Pearson Correlation
item1 .541**
Item 2 .570**
Item 3 .528**
Item 4 .515**
Item 5 .238*
Item 6 .407**
Item 7 .503**
Item 8 .477**
Item 9 .674**
Item 10 .721**
Item 11 ,013
N 100
Berdasarkan hasil perhitungan uji Constrasted group menggunakan t-test, dapat dilihat bahwa alat ukur SDSCA mampu membedakan dengan baik antara kelompok penderita DM dan kelompok non-DM dengan signifikansi kurang dari 0.05, yaitu 0.012. Perhitungan uji constrasted group dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Perhitungan Constrasted Group Antara Kelompok Penderita Diabetes Melitus Dan Non Diabetes Melitus Dengan Menggunakan Independent Samples Test
Levene's Test for Equality of
Variances
t-test for Equality of Means
F Sig. T Df Sig.
(2-tailed) Mean Difference Std. Error Difference 95% Confidence Interval of the Difference
Lower Upper
Equal variances
assumed 6.46 .012
-9.49 198 .000 -6.02 .634 -7.27
-4.76
Equal variances not assumed
-9.49 188.0 .00 -6.02 .63 -7.27
-4.76 Hasil Reliabilitas
38 penelitian dalam versi pertama bukunya, meskipun kemudian meningkat ke 0,70 di bukunya selanjutnya (nunally, 1978). Namun, Clark dan Watson (1995) menunjukkan bahwa beberapa peneliti kontemporer mendefinisikan nilai cronbach alpha diantara 0.60 dan 0.70 sudah termasuk cukup atau baik. Nilai cronba ch alpha dari SDSCA 0,709 sehingga bisa dianggap memiliki reliabilitas konsistensi internal yang memadai untuk digunakan dalam populasi Indonesia.
Tabel 3. Perhitungan Statistik Reliabilitas Menggunakan Cronbach Alpha
Cronbach's Alpha
Cronbach's Alpha Based
on Standardized
Items
N of Items
,697 ,709 10
Scoring
Pada pertanyaan nomor satu hingga sepuluh kecuali nomor 4, skor yang diberikan sesuai dengan jumlah hari yaitu 0 hari (skor = 0), 1 hari (skor = 1), 2 hari (skor = 2), 3 hari (skor = 3), 4 hari (skor = 4), 5 hari (skor =5), 6 hari (skor = 6) dan 7 hari (skor = 7). Sedangkan untuk pernyataan pada
pertanyaan nomor 4, skor yang diberikan terbalik yaitu 0 hari (skor = 7), 1 hari (skor = 6), 2 hari (skor = 5), 3 hari (skor = 4), 4 hari (skor = 3), 5 hari (skor = 2), 6 hari (skor = 1) dan 7 hari (skor = 0). Hasil skor pengukuran self ca re diabetes dinyatakan dalam bentuk interval dengan menghitung jumlah skor kumulatif self ca re diabetes dibagi dengan jumlah pertanyaan. Nilai untuk setiap kategori dihitung dengan cara :
diet umum: rata-rata dari jumlah hari soal nomor 1 dan 2.
39 Olahraga: rata-rata jumlah hari soal nomor 5 dan 6.
tes gula darah: rata-rata jumlah hari soal nomor 7 dan 8. foot-ca re: rata-rata jumlah hari soal nomor 9 dan 10.
merokok: item 11 (0 = bukan perokok, 1 = perokok), dan jumlah rokok yang dihisap per hari.
Hasil skor pengukuran self care diabetes dinyatakan dalam bentuk interval dengan menghitung jumlah skor kumulatif self care diabetes dibagi dengan jumlah item pertanyaan.
III.F.
METODE ANALISIS DATA
Metode pengujian untuk pengambilan keputusan hipotesis mengenai
kecenderungan adanya peringkat pada perilaku self-ca re disetiap kelompok tingkat pendidikan dilakukan dengan perhitungan statistik kruska l-wa llis test dengan bantuan program SPSS. Adapun rumus kruska l-wa llis test adalah sebagai berikut:
� = � � + Σ � − � +2
Keterangan:
N= total partisipan secara keseluruhan n = total partisipan ditiap kelompok T = total skor partisipan dalam kelompok
Metode perhitungan menggunakan kruska l-wa llis karena sesuai dengan tujuan dari penelitian untuk melihat perbedaan peringkat diantara tiga kelompok.
40 maka setidaknya salah satu dari kelompok sampel berbeda dari sampel lainnya, namun tes tidak mengidentifikasi di mana perbedaan terjadi.
III.G.
PROSEDUR PENELITIAN
Persiapan penelitian
Pada tahap persiapan, peneliti mencari dan membaca banyak artikel mengenai penderita diabetes untuk mendapatkan gambaran mengenai penderita diabetes. Peneliti lebih banyak mencari tahu mengenai hal-hal yang mempengaruhi bagaimana seseorang penderita Diabetes Melitus (DM) hidup. Pada awalnya peneliti lebih melihat pada kualitas hidup dari para penderita Diabetes Melitus, namun setelah membaca lebih lanjut peneliti memutuskan untuk menggali lebih banyak mengenai self-ca re yang berperan langsung pada kehidupan sehari-hari penderita. Setelah itu peneliti mulai membaca buku, artikel, serta jurnal yang berkaitan dengan self-ca re dan DM. Konstruk self-ca re memiliki cangkupan yang cukup luas, namun telah ada penelitian-penelitian yang membahas konstruk self-ca re dalam konteks penderita Diabetes sehingga peneliti dapat menemukan teori serta alat tes mengenai self-ca re yang sesuai dengan konteks penelitian. Setelah membaca mengenai Diabetes self-ca re peneliti memutuskan untuk meneliti apakah ada perbedaan perilaku self-ca re pada penderita diabetes berdasarakan tingkat pendidikannya.
Pelaksanaan penelitian
Pelaksanaan penelitian dimulai dengan uji validitas dan reliabilitas dari alat tes yang akan digunakan. Penyebaran kuesioner dilakukan dengan memberikan kuesioner secara langsung maupun melalui media sosial.
41 Jakarta sejak tanggal 19 April hingga 29 Mei 2015. Pada awalnya penyebaran kuesioner secara online kurang mendapatkan respon, sehingga peneliti mulai menyebarkan kuesioner online dengan mengirim persona l messa ge pada masing-masing anggota komunitas diabetes.
Pada tanggal 25 April 2015 saya akhirnya mendapatkan ijin penyebaran kuesioner di RSAL Mintohradjo selama kurang lebih satu bulan. Penyebarkan kuesioner di RSAL dilakukan dengan menyebarkannya di ruang tensi poli penyakit dalam. Semua pasien poli penyakit dalam akan diperiksa tensinya terlebih dahulu di ruang tensi sebelum mendapat nomor antrian periksa di poli penyakit dalam. Di ruang tensi selalu terdapat satu at au dua perawat yang bertugas memeriksa tensi, berat dan tinggi badan pasien. Disinilah perawat melakukan diagnosis awal pasien sehingga peneliti dapat membedakan pasien dengan diagnosis DM dan non-DM. Peneliti melakukan penyebarkan kuesioner dari hari senin sampai hari jumat dari jam delapan pagi hingga jam 12 siang.
Pada awal penelitian, peneliti meminta pasien RSAL untuk mengisi kuesioner, namun sebagian besar partisipan merasa lebih nyaman jika kuesioner dibacakan oleh peneliti, karena itu pada akhirnya peneliti membacakan instruksi serta semua pertanyaan, kemudian meminta para partisipan untuk memilih dari pilihan tanggapan yang disediakan. Tanggapan yang diucapkan oleh peserta kemudian dipindahkan ke dalam kuesioner. Secara keseluruhan, para partisipan
menyelesaikan SDSCA dalam waktu 15 hingga 20 menit. Sebelumnya peneliti akan meminta partisipan mengisi persetujuan tertulis terlebih dahulu, partisipan diberikan penjelasan bahwa data yang didapatkan hanya akan digunakan untuk kepentingan penelitian dan semua data personal yang didapatkan akan dijaga kerahasiaannya. Setelah menyelesaikan SDSCA, setiap peserta diberi hadiah kecil berupa tempat tusuk gigi atau handuk kecil.
Peneliti mendapatkan 146 partisipan dari total pengambilan data secara
42 berpendidikan rendah, 57 orang berpendidikan menengah dan 61 orang
43
BAB IV
ANALISIS DAN INTERPRETASI DATA
IV.A.
GAMBARAN UMUM SUBJEK PENELITIAN
Pengambilan data dilakukan pada tanggal 19 April 2015 sampai dengan 30 Mei 2015 peneliti menyebarkan 150 lembar kuesioner namun jumlah kuesioner yang dapat digunakan dalam penelitian ini sejumlah 135 kuesioner, yaitu sebesar 90% dari total kuesioner yang disebarkan. Empat dari kuesioner tidak kembali pada peneliti dan 11 kuesioner diisi oleh artisipan dengan