BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perkembangan industri di Indonesia dewasa ini maju sangat pesat, seiring
dengan tuntutan berbagai kebutuhan bermacam produk bagi kehidupan.
Perkembangan industri memberikan dampak positif berupa keuntungan ekonomi,
akan tetapi kemajuan teknologi juga menimbulkan dampak negatif yang dapat
meningkatkan potensi bahaya (hazard) yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan
dan keselamatan kerja, hazard tersebut dapat berupa fisik, kimia, ergonomi dan
psikologik. Tenaga kerja merupakan aset perusahaan yang sangat penting dalam
proses produksi, sehingga perlu diupayakan agar derajat kesehatan tenaga kerja selalu
dalam keadaan optimal. Umumnya di semua tempat kerja selalu terdapat
sumber-sumber bahaya. Hampir tidak ada tempat kerja yang sama sekali bebas dari sumber-sumber
bahaya (Sulistyoko, 2008).
Di Indonesia perlindungan keselamatan dan kesehatan tenaga kerja dijamin
sesuai dengan pasal 86 ayat (1) dan (2) Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan yang berbunyi bahwa setiap pekerja/buruh mempunyai hak
untuk memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja, moral dan
kesusilaan, perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta
nilai-nilai agama dan untuk melindungi keselamatan kerja / buruh agama mewujudkan
kerja. Ketentuan tentang jaminan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja
sebagaimana tersebut di atas dijabarkan lebih lanjut dalam Undang-Undang No. 1
Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja. Undang-undang ini memberikan
perlindungan hukum bagi tenaga kerja yang bekerja di tempat kerja, orang- orang lain
selain pekerja tetapi berada di tempat kerja.
Paparan dan risiko yang ada ditempat kerja tidak selalu dapat dihindari oleh
sebagian besar pekerja, hal ini disebabkan karena kurangnya pengetahuan pekerja
terhadap penggunaan alat pelindung diri, kurangnya pengertian pekerja terhadap
dampak yang dapat ditimbulkan tanpa menggunakan alat pelindung diri, kurangnya
sosialisasi penggunaan alat pelindung diri kepada pekerja, perilaku pekerja, tingkat
pendidikan yang rendah, dan kurangnya pengetahuan akan bahaya yang terpapar di
tempat kerja. Beberapa kendala pengendalian kecelakan kerja, yaitu keterbatasan
alat pelindung diri, ketidak taatan pekerja, dan kelalaian. Apabila penggunaan alat
pelindung diri pada pekerja tidak dilaksanakan dengan baik akan meningkatkan
prevalensi kecelakan kerja dan menurunkan kualitas kerja dan hasil kerja pada
pekerja. Namun sebaliknya jika penggunaan alat pelindung diri dilaksanakan dengan
baik, maka akan menurunkan prevalensi kecelakan kerja dan meningkatkan kualitas
kerja dan hasil kerja pada pekerja (Diana, 2005). Maka dari itu, langkah yang paling
tepat dalam menekan angka kecelakaan kerja adalah melalui penerapan atau
penggunaan dengan ketat alat pelindung diri, pengawasan dari pihak perusahaan dan
Dinas Kesehatan setempat, serta mengubah sikap dan perilaku pekerja di tempat
Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) sebenarnya merupakan alternatif
terakhir bagi pihak perusahaan untuk melindungi tenaga kerjanya dari faktor dan
potensi bahaya. Bentuk perlindungan yang diberikan selain metode eliminasi,
subtitusi, rekayasa tehnik dan administrasi, tetapi juga dengan memberikan Alat
Pelindung Diri (APD) bagi tenaga kerja, tamu serta pratikan (Setyowati dan Rima,
2011).
Tenaga kerja yang sehat akan bekerja produktif, sehingga diharapkan
produktivitas kerja karyawan meningkat yang dapat mendukung keberhasilan bisnis
perusahaan dalam membangun dan membesarkan usahanya. Namun berdasarkan
hasil di lapangan menujukkan bahwa pencapaian kinerja manajemen K3 sangat
tergantung dari sejauh mana faktor K3 telah diperhatikan oleh perusahaan tersebut.
Kenyataannya, kecelakaan kerja baik karena unsafe action maupun unsafe condition masih saja terjadi di berbagai perusahaan yang secara administratif telah lulus
(comply) audit SMK3 (Yassierli, 2008). Di tempat kerja, potensi bahaya sebagai
sumber risiko khususnya terhadap keselamatan atau kesehatan kerja di perusahaan
akan selalu dijumpai, antara lain berupa faktor fisik, kimia, biologi, ergonomi, dan
lain sebagainya. Potensi bahaya dan risiko tersebut mempunyai kontribusi terhadap
terjadinya kecelakaan kerja.
Di sektor industri kayu yang dapat mengubah kayu menjadi papan, perabot
rumah tangga dan peralatan kantor, menimbulkan masalah keselamatan dan
kesehatan kerja bagi pekerjanya serta lingkungan kerja yang tercemar oleh debu dari
proses pengolahan limah udara secara baik, serta desain industri kayu tidak
mencerminkan suatu bangunan industri yang baik.
Pengaruh dari debu terhadap kesehatan tenaga kerja adalah dapat menurunkan
fungsi paru. Tenaga kerja yang bekerja pada lingkungan yang berdebu dapat
menderita penyakit akibat kerja yang disebabkan karena penimbunan debu di paru
dalam waktu lama dikenal dengan nama pneumokoniosis. Semakin lama orang
menghirup debu, semakibn banyak debu yang masuk ke paru. Jumlah debu yang
mengendap debu di paru tergantung dari jumlah debu yang masuk dalam sistem
pernapasan (lamanya terpapar dan konsentrasi debu) serta efektifitas dari mekanisme
pembersihan. Pada tenaga kerja, masa kerja yang lama pada lingkungan kerja
berdebu menyebabkan semakin banyak debu yang terhirup sehingga terjadi
pneumokoniosis, dengan gejala-gejala batuk-batuk kering, sesak napas, kelelahan
umum, susut berat badan dan banyak dahak (Yulaekah, 2007).
Debu adalah kontaminan yang tersuspensi di udara dalam bentuk partikulat
padat dengan rentang diamater 0,001 sampai dengan 100 mikron. Debu aerosol dan
gas iritan kuat menyebabkan refleks batuk atau spasme laring. Penelitian
menunjukkan bahwa kadar debu yang dihasilkan dari bahan dasar kayu dibawah nilai
ambang batas (1 mg/m3), masih ditemukan gejala dimata, hidung, tenggorokan, kulit
dan paru. Gangguan respirasi kronis akan menyebabkan penurunan fungsi paru.
Gangguan fungsi paru dalam pemeriksaan spirometri ditandai dengan menurunnya
nilai fungsi paru yaitu penurunan kapasitas paru (vital capacity) dan rendahnya hasil
pekerja, karena bekerja di tempat yang berdebu. Penurunan ini terjadi apabila pekerja
terpapar debu dalam jangka waktu lama, tetapi penurunan fungsi paru dapat terjadi
dengan cepat apabila sebelumnya pekerja mempunyai penyakit atau gangguan pada
pernapasan yang rentan (Meita, 2012).
Debu dapat menyebabkan kerusakan paru dan fibrosis bila terinhalasi selama
bekerja dan terus menerus. Bila alveoli mengeras akibatnya mengurangi elastisitas
dalam menampung volume udara sehingga kemampuan mengikat oksigen menurun
(Depkes RI, 2003). Penelitian yang dilakukan oleh Yulaekah (2007) menunjukkan
bahwa paparan debu terhirup mempunyai hubungan yang bermakna terjadinya
gangguan fungsi paru.
Salah satu hazard berupa fisik di tempat kerja pabrik kayu adalah kebisingan.
Beberapa operator mesin seperti gergaji atau mesin potong harus menjalankan mesin
yang berisik. Suara yang keras ini merupakan polusi suara yang apabila berlangsung
lama bisa mengganggu kesehatan pendengaran. Secara umum kebisingan adalah
bunyi yang tidak diinginkan (Bashiruddin, 2007). Berdasarkan SE 01/MEN/1978,
kebisingan adalah suara yang tidak di kehendaki yang bersumber dari alat-alat,
proses produksi yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan kesehatan
dan pendengaran. Sataloff dalam Kusuma dan Indra (2004) menyatakan bahwa
sebanyak 35 juta orang Amerika menderita ketulian dan 8 juta orang diantaranya
merupakan tuli akibat kerja. The Enviromental Protection Agency (EPA)
memperkirakan bahwa lebih 9 juta pekerja di industri manufaktur terpapar bising
yang berakibat kesulitan dalam melaksanakan kehidupan normal, biasanya dalam hal
memahami pembicaraan (Buchari, 2007). Manusia normal mampu mendengar suara
berfrekuensi 20 - 20.000 Hz (satuan suara berdasarkan perhitungan jumlah getaran
sumber bunyi per detik) dengan intensitas atau tingkat kekerasan di bawah 80 desibel
(dB). Bunyi di atas itu kalau terus menerus dan dipaksakan bisa merusak
pendengaran karena bisa mematikan fungsi sel-sel rambut dalam sistem
pendengaran. Gejala awal seringkali tidak dirasakan kecuali telinga berdengung,
kemudian diikuti oleh menurunnya pendengaran. Gangguan pendengaran bertambah
jelas sehingga sukar berkomunikasi. Dengan demikian tuli menetap terjadi apabila
nilai ambang pendengaran menurun dan tidak pernah kembali ke nilai ambang
semula, meskipun diberikan waktu istirahat secara cukup.
Hilangnya pendengaran adalah kejadian umum di tempat kerja dan sering
dihiraukan karena gangguan suara tidak mengakibatkan luka. Alat pelindung telinga
bekerja sebagai penghalang antara bising dan teling dalam. Pemakaian alat pelindung
diri merupakan pilihan terakhir yang harus dilakukan, alat pelindung diri yang
dipakai harus mampu mengurangi kebisingan hingga mencapai level TWA atau
kurang dari 85 dB. Bising dalam kesehatan kerja diartikan sebagai suara yang dapat
menurunkan pendengaran baik secara kuantitatif (peningkatkan ambang
pendengaran) maupun secara kualitatif (penyempitan sepektrum pendengaran).
Berkaitan dengan faktor intensitas, frekuensi, durasi dan pola waktu. Kebisingan
terdengarnya suara-suara, musik dsb, atau yang menyebabkan rasa sakit atau yang
menghalangi gaya hidup (Saputra dan Agus, 2007).
Ear Muff melindungi telinga dari kebisingan dengan intensitas suara yang sangat tinggi atau terus menerus, dapat mengurangi intensitas suara 5-30%.
Lingkungan kerja seperti di bengkel, pabrik kayu, pembangkit tenaga listrik dan
lainnya sering dijumpai kebisingan yang cukup tinggi, rata-rata di atas 95 dB vs 80
dB batas aman bagi pendengaran manusia, dengan tingkat kebisingan yang tinggi,
jika seseorang berada pada lingkungan tersebut terlalu lama dan berulang-ulang,
maka resiko kerusakan fungsi pendengaran akan bertambah (Kusuma, 2004).
Kebisingan yang melebihi ambang pendengaran dan berlangsung dalam
waktu yang cukup lama serta berulang-ulang dapat menyebabkan gangguan
pendengaran yang menetap, gangguan pendengaran yang terjadi akibat terpapar
bising dikenal sebagai gangguan pendengaran akibat bising. Bagian sistem
pendengaran yang menerima dampak negatif bising adalah koklea (rumah siput)
yang perannya teramat penting sebagai sensor bunyi dari luar. Bagian-bagian koklea
juga berperan dalam mendistribusikan stimulus bunyi dari luar berdasarkan frekuensi
yang spesifik. Mulai dari frekuensi tinggi dibagian basal sampai dengan frekuensi
rendah pada bagian apex (puncak) koklea. Selain itu koklea juga berfungsi untuk
merubah energi akustik menjadi energi listrik untuk diteruskan pada jarak
pendengaran yang lebih tinggi. Bagian koklea yang menerima dampak langsung dari
Telinga merupakan orang vital dari manusia yang sangat berguna dan
sensitif. Sebagai orang tubuh yang vital, telinga tidak luput dari resiko kerusakan
akibat kerja. Umumnya kerusakan fungsi telinga sebagai alat pendengaran adalah
permanen. Sehingga proses rehabilitasinya bisa dikatakan sangat kecil
kemungkinannya. Oleh karena itu perlindungan terhadap orang yang satu ini sangat
diperlukan untuk mencegah rusaknya fungsi pendengaran akibat lingkungan kerja.
Setiap aktivitas yang melibatkan faktor manusia, mesin dan bahan yang
melalui tahapan proses memiliki risiko bahaya dengan tingkatan risiko berbeda-beda
yang memungkinkan terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Resiko
kecelakan dan penyakit akibat kerja tersebut disebabkan karena adanya
sumber-sumber bahaya akibat dari aktivitas kerja di tempat kerja. Sumber-sumber-sumber bahaya
perlu dikendalikan untuk mengurangi kecelakaan dan penyakit akibat kerja.
Pengendalian faktor-faktor bahaya yang dilakukan untuk meminimalkan
bahkan menghilangkan penyakit akibat kerja dan kecelakaan kerja adalah dengan
cara pengendalian teknis dan administratif, tetapi banyak perusahaan yang menolak
untuk melaksanakan pengendalian tersebut dengan alasan biaya yang mahal. Maka
perusahaan tersebut mengupayakan dengan merekomendasikan APD sebagai
tindakan proteksi dini terhadap bahaya kecelakaan dan penyakit akibat kerja yang
timbul di tempat kerja.
PT. Hidup Baru merupakan perusahaan yang bergerak dalam produksi papan
dan olahan lainnya dari kayu yang memiliki potensi bahaya seperti bahaya dari debu,
bising debu, zat-zat kimia dan lain-lain) dapat merupakan beban tambahan terhadap
pekerja. Beban-beban tambahan tersebut secara sendiri-sendiri atau bersama-sama
dapat menimbulkan gangguan atau penyakit akibat kerja. Potensi dan faktor bahaya
yang tinggi tersebut, maka APD sangat diperlukan sebagai bentuk perlindungan
terhadap tenaga kerja. Jenis APD yang disediakan harus dapat memberikan
perlindungan yang adekuat terhadap bahaya spesifik yang dihadapi oleh tenaga kerja
pabrik kayu karena pada hakekatnya APD merupakan alternatif terakhir untuk tenaga
kerja. Survei awal di perusahaan tersebut, ternyata masih banyak mengalami
hambatan dalam menjalankan program manajemen keselamatan dan kesehatan kerja
karena rendahnya pemahaman dan kesadaran para pekerja dalam mengantisipasi
bahaya dan resiko yang ada di tempat kerja, terbukti dari tidak ada satu pun pekerja
yang menggunakan alat pelindung diri seperti masker, kaca mata dan penutup telinga
untuk kebisingan, padahal ada keluhan dari beberapa tenaga kerja yang mengalami
gangguan batuk-batuk dan sesak napas, tidak mendengarkan suara yang pelan seperti
panggilan seseorang kecuali dengan berteriak. Pihak manajemen menyatakan bahwa
mereka belum pernah mengadakan pelatihan penggunaan alat pelindung diri terhadap
karyawan dan tidak menyediakan alat pelindung diri saat ini untuk karyawan.
Awalnya perusahaan menyediakan alat pelindung diri bagi pekerja seperti masker
dan penutup telinga, akan tetapi tidak ada satu orang pun karyawan yang mau
menggunakan masker saat bekerja, sehingga pihak manajemen tidak menyediakan
lagi alat pelindung diri bagi karyawan, saat survey pendahuluan, para pekerja
dan merasa tidak ada gunanya menggunakan APD tersebut. Para pekerja merasa
sehat dan apabila ada gangguan kesehatan yang dirasakan seperti batuk itu bukan
karena tidak menggunakan masker.
APD adalah seperangkat alat yang digunakan oleh tenaga kerja untuk
melindungi seluruh/sebagian tubuhnya terhadap kemungkinan adanya potensi
bahaya/kecelakaan kerja APD dipakai sebagai upaya terakhir dalam usaha
melindungi tenaga kerja apabila usaha rekayasa (engineering) dan administratif tidak
dapat dilakukan dengan baik. Namun pemakaian APD bukanlah pengganti dari kedua
usaha tersebut, namun sebagai usaha akhir. Usaha pencegahan kecelakaan kerja
hanya berhasil apabila dimulai dari memperbaiki manajemen tentang keselamatan
dan kesehatan kerja. Kemudian, praktek dan kondisi di bawah standar merupakan
penyebab terjadinya suatu kecelakaan dan merupakan gejala dan penyebab utama
terjadinya akibat kesalahan manajemen.
Pelatihan untuk para pekerja dalam pemakaian alat pelindung diri juga perlu
dilaksanakan sehingga APD ini bisa dipakai dengan benar dan efektif. Menurut UU
RI No. 1 Tahun 1970 bab X tentang Keselamatan Kerja, bahwa kewajiban pengurus
yang dijelaskan pada UU RI No. 1 Tahun 1970 adalah menyediakan secara
cuma-cuma, semua APD yang diwajibkan pada tenaga kerja yang berada di bawah
pimpinannya dan menyediakan bagi setiap orang lain yang memasuki tempat kerja
tersebut, disertai dengan petunjuk-petunjuk yang diperlukan menurut petunjuk
Kesehatan kerja secara khusus meningkatkan kualitas hidup tenaga kerja
melalui berbagai upaya peningkatan kesehatan, pencegahan gangguan kesehatan,
atau penyakit yang mungkin dialami oleh tenaga kerja akibat pekerjaan atau tempat
kerja. Kesehatan kerja bertujuan untuk meningkatkan dan memelihara kesehatan
guna meningkatkan kapasitas kerja, mencegah penyakit pada pekerja sebagai akibat
dari kondisi kerjanya, penempatan dan pemeliharaan pekerja dalam lingkungan kerja
sesuai dengan fisik dan psikologis (Depnakertrans RI, 2007).
Pengetahuan kesehatan kerja di tempat kerja dapat mengurangi angka
kesakitan akibat kerja dan dapat menciptakan suasana kerja yang nyaman,
lingkungan kerja yang memenuhi syarat serta melindungi tenaga kerja dalam
melakukan pekerjaan, dalam melakukan apapun sebenarnya berisiko untuk mendapat
gangguan kesehatan atau penyakit yang ditimbulkan oleh pekerjaan tersebut. Hal ini
merupakan problem bagi para pekerja di berbagai sektor. Sebagian orang menyadari
bahwa penyakit yang diderita besar kemungkinannya karena pekerjaannya, tetapi
banyak yang tidak menyadari bahwa pekerjaan yang ditekuninya sehari-hari sebagai
penyebab penyakit tertentu. Berdasarkan latar belakang diatas peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian tentang pengaruh pelatihan penggunaan alat pelindung diri
terhadap pengetahuan dan tindakan pekerja pabrik kayu di PT. Hidup Baru.
1.2.Permasalahan
Dari uraian pada latar belakang di atas, diperoleh rumusan masalah sebagai
pengetahuan tentang penggunaan alat pelindung diri pada pekerja pabrik kayu dan
apakah ada pengaruh pelatihan penggunaan alat pelindung diri terhadap tindakan
penggunaan alat pelindung diri pada pekerja pabrik kayu di PT. Hidup Baru Kota
Binjai tahun 2014.
1.3.Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui pengaruh penelitian penggunaan alat pelindung diri terhadap
pengetahuan pekerja pabrik kayu tentang pengunaan alat pelindung diri.
2. Untuk mengetahui pengaruh penelitian penggunaan alat pelindung diri terhadap
tindakan pekerja pabrik kayu dalam penggunaan alat pelindung diri.
1.4.Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah :
1. Ada pengaruh pelatihan penggunaan alat pelindung diri terhadap pengetahuan
pekerja pabrik kayu tentang pengunaan alat pelindung diri.
2. Ada pengaruh pelatihan penggunaan alat pelindung diri terhadap tindakan pekerja
pabrik kayu tentang pengunaan alat pelindung diri.
1.5.Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat :
1. Sebagai bahan masukan bagi manajemen PT. Hidup Baru dalam membuat
2. Bagi dunia ilmu pengetahuan diharapkan dapat menambah informasi yang ada
tentang pengaruh pelatihan penggunaan alat pelindung diri terhadap pengetahuan
dan tindakan pekerja pabrik kayu, serta hasil penelitian ini diharapkan dapat
bermanfaat bagi peneliti lanjutan sebagai informasi atau masukan mengenai