BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Matematika merupakan ilmu yang mendasari perkembangan teknologi
modern dan mempunyai peran penting dalam mengembangkan berbagai disiplin
ilmu dan mengembangkan daya pikir manusia. Pada umumnya tidak ada satupun
disiplin ilmu yang perkembangannya terlepas dari matematika, paling kurang
perhitungan matematika tingkat rendah yaitu perkalian, pembagian, penjumlahan,
dan pengurangan. Matematika membekali siswa untuk mempunyai kemampuan
berpikir logis, analitis, sistematis, kritis serta kemampuan bekerja sama. Oleh
sebab itu pelajaran matematika perlu diberikan kepada semua siswa untuk setiap
jenjang pendidikan (Depdiknas, 2006).
Pembelajaran matematika pada sekolah dasar sampai sekolah menengah
dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tahun 2006 bertujuan agar
siswa memiliki seperangkat kompetensi yang harus ditunjukkan pada hasil
belajarnya dalam matematika (standar kompetensi) yaitu: (1) memahami konsep
matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep
atau algoritma, secara luwes, akurat, efesien dan tepat dalam pemecahan masalah;
(2) menggunakan penalaran pada pola sifat, dan melakukan manipulasi
matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan
gagasan dan pernyataan matematika; (3) memecahkan masalah yang meliputi
model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh;
(4) mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram atau media lain
untuk memperjelas keadaan atau masalah; (5) memiliki sikap menghargai
kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian,
dan minat dalam mempelajari matematika serta sikap ulet dan percaya diri dalam
pemecahan masalah; (6) memiliki kemampuan berpikir logis, analitis, sitematis,
kritis, kreatif serta mempunyai kemampuan bekerja sama (Depdiknas, 2006).
Standar kompetensi dalam Kurikulum 2006 menyatakan bahwa
pemecahan masalah merupakan fokus dalam pembelajaran matematika yang
mencakup masalah tertutup dengan solusi tunggal, masalah terbuka dengan solusi
tidak tunggal dan masalah dengan berbagai cara penyelesaian. Untuk
meningkatkan kemampuan pemecahan masalah perlu dikembangkan keterampilan
memahami masalah, membuat model matematika, menyelesaikan masalah, dan
menafsirkan solusinya dalam matematika.
Tujuan kurikulum pembelajaran di atas didasarkan pada National Council
of Teachers of Mathematics (NCTM) tahun 2000 dalam buku berjudul ‘Principles
and Standard for School Mathematics’ menyatakan bahwa pemecahan masalah
(problem solving), penalaran dan pembuktian (reasoning and proof), komunikasi
matematis (communication), keterkaitan dalam matematika (connection), dan
representasi (representation) merupakan standar proses pembelajaran matematika.
Adapun standar materi atau standar isi meliputi bilangan operasinya (number and
operation), aljabar (algebra), geometry (geometry), pengukuran (measurement),
standar materi maupun standar proses tersebut secara bersama-sama merupakan
keterampilan dan pemahaman dasar dibutuhkan untuk dimiliki para siswa. Standar
isi dan standar proses dalam kurikulum menekankan pentingnya kemampuan
komunikasi matematis dan kemampuan pemecahan masalah dalam pembelajaran
matematika bagi siswa.
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu proses pembelajaran yang efektif
dan efisien. Proses pembelajaran yang efektif dan efesien merupakan suatu proses
yang tepat dan sesuai dengan kondisi kelas. Dalam proses pembelajaran sebaiknya
mengandung serangkaian kegiatan guru dan siswa atas dasar timbal balik yang
berlangsung secara edukatif. Interaksi atau hubungan timbal balik antar guru dan
siswa dalam proses pembelajaran merupakan cara utama untuk kelangsungan
proses pembelajaran. Perubahan tingkah laku siswa dapat dilihat pada proses akhir
pembelajaran yang mengarah pada hasil belajar siswa dan tinggi rendahnya atau
efektif tidaknya proses pembelajaran (Sudjana, 2005).
Berkaitan dengan pentingnya menumbuhkembangkan kemampuan
komunikasi matematis, Baroody (Firdaus, 2005) mengemukakan bahwa,
sedikitnya ada dua alasan penting mengapa komunikasi dalam pembelajaran
matematika perlu ditumbuhkembangkan di sekolah. Pertama adalah matematika
tidak hanya sekedar alat bantu berpikir, alat untuk menemukan pola,
menyelesaikan masalah atau mengambil kesimpulan tetapi matematika juga a
variable tool for communicating a variety of ideas cleary, succinctly. Kedua
matematika juga sebagai wahana interaksi antar siswa dan juga sebagai sarana
komunikasi guru dan siswa.
Kemampuan pemecahan masalah matematis juga penting untuk
dikembangkan karena kemampuan pemecahan masalah matematis dapat
membantu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi, untuk mengantisipasi
perkembangan ilmu pengetahuan dan permasalahan kehidupan sehari-hari. Hal
tersebut sebagaimana dikemukakan Ruseffendi (1991) bahwa kemampuan
pemecahan masalah sangat penting dalam matematika, bukan saja bagi mereka
yang dikemudian hari akan mendalami atau mempelajari matematika, melainkan
juga bagi mereka yang akan menerapkannya dalam bidang studi lain dan dalam
kehidupan sehari-hari.
Sebuah lembaga survey TIMSS menilai keterampilan siswa kelas IV
sekolah dasar dan siswa kelas VIII sekolah menengah pertama untuk bidang
matematika dan IPA. TIMSS menggolongkan empat tingkatan siswa pada survey
yang dilakukan, yaitu : rendah, sedang, tinggi dan lanjut. Tingkatan-tingkatan
tersebut dibatasi oleh beberapa karakteristik. Untuk siswa rendah karakteristiknya
adalah memiliki sejumlah pengetahuan tentang bilangan cacah dan desimal,
operasi, serta grafik sederhana. Pada tingkatan sedang karakteristiknya adalah
siswa dapat menerapkan pengetahuan matematika dasar secara langsung dalam
berbagai situasi. Karakteristik siswa pada tingkatan tinggi adalah dapat
menerapkan pemahaman dan pengetahuan mereka dalam beragam situasi yang
dapat mengorganisasikan informasi dan menarik kesimpulan, membuat
generalisasi serta memecahkan masalah.
Hasil laporan survey Trends in International Mathematics and Science
Study (TIMSS) pada tahun 2007 yang dipublikasikan 9 Desember 2008 untuk
siswa kelas VIII pada bidang matematika, siswa Indonesia berada di posisi 36
dengan nilai rata-rata 397. Dari hasil tersebut hanya 48% siswa Indonesia yang
mencapai tingkatan rendah, 19% siswa mencapai tingkatan sedang dan 4% siswa
mencapai tingkatan tinggi, sedangkan untuk tingkatan lanjut diabaikan secara
statistik (Muchlish, 2009: 30).
Selain lembaga survey TIMSS, lembaga survey Program for International
Student Assesment (PISA) menilai kemampuan bidang membaca, matematika, dan
IPA. Lembaga survey PISA tidak hanya mengukur kemampuan siswa dalam
menyelesaikan soal atau mengoperasikan teknik matematika. Survey tersebut
menilai kemampuan siswa dalam memecahkan masalah, yang meliputi mengenali
dan menganalisis masalah, memformulasikan alasan dan mengkomunikasikan
gagasan yang dimilikinya kepada orang lain. Hasil laporan survey PISA pada
tahun 2006, Indonesia berada diurutan ke 52 dari 57 negara peserta untuk bidang
matematika.
Rendahnya kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah matematis
juga merupakan kenyataan yang ada di masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari hasil
penelitian Setiawan (2008) tentang kemampuan komunikasi matematis
mengemukakan bahwa perbedaan rerata dari kelompok eksperimen dan kelompok
untuk kualifikasi sekolah baik, pada kelas eksperimen 9 orang (30%) siswa
dinyatakan tuntas dan sisanya (70%) tidak tuntas, sedangkan pada kelas kontrol
semua siswa (100%) tidak tuntas. Untuk kualifikasi sekolah sedang pada kelas
eksperimen 3 orang (10%) siswa dinyatakan tuntas dan sisanya (90%) tidak
tuntas, sedangkan pada kelas kontrol semua siswa (100%) tidak tuntas. Faktor
yang menyebabkan masih rendahnya kemampuan komunikasi siswa ini
disebabkan oleh faktor soal yang diberikan untuk mengukur kemampuan
komunikasi matematis yang dianggap terlalu sulit padahal hasil uji coba hanya
dua soal yang dianggap sulit. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan
komunikasi siswa yang masih rendah.
Hasil ini pun sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Subagiyana
(2009) mengenai pemecahan masalah matematis siswa, hasil yang diperoleh dari
penelitiannya adalah rerata kelompok eksperimen 9,25 (39,38%) hal ini masih
tergolong rendah dari skor ideal 24 dan rerata kelompok kontrol 8,25 (28,95%),
jadi perbedaan peningkatannya cuma (10,43%). Hal ini disebabkan siswa tidak
terbiasa mengerjakan soal-soal non- rutin, sehingga siswa tidak terlatih dan
kurang siap menghadapi soal-soal uraian non-rutin dan mengalami kesulitan
dalam menyelasaikannya karena sebelumnya siswa sering diberikan soal-soal
pilihan ganda saat ulangan.
Noer (2007) mengatakan bahwa sebagian besar siswa di SMP Bandar
Lampung, mereka cenderung menghapal tanpa makna dan kemampuan
pemecahan masalahnya masih rendah. Penelitian yang dilakukan oleh Setiawan
kemampuan pemecahan masalah matematis melalui PBM (pembelajaran berbasis
masalah) masih tergolong sangat rendah. Pada kualifikasi sekolah baik hanya
23,3% siswa yang tuntas dan pada kualifikasi sekolah yang sedang hanya 13,3%.
Hal ini disebabkan beberapa faktor salah satunya menurut siswa soal tes yang
diberikan untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah yang dianggap terlalu
sulit.
Hasil yang diperoleh dari penelitian dan lembaga tersebut menunjukkan
lemahnya kemampuan komunikasi dan kemampuan pemecahan masalah
matematis siswa. Rendahnya kemampuan siswa tersebut disebabkan oleh
beberapa faktor yang berkaitan dengan pembelajaran matematika. Pembelajaran
diistilahkan sebagai Kegiatan Belajar-Mengajar (KBM) merupakan
langkah-langkah kongkret kegiatan belajar siswa dalam rangka memperoleh,
mengaktualisasi atau meningkatkan kompetensi yang dikehendaki (Muslich, 2011
:71). Adapun beberapa faktor dari siswa yang terjadi di lapangan yang
menyebabkan tidak tercapainya kompetensi yang diharapkan kurikulum, yaitu :
(1) siswa mengalami kesulitan mengingat materi pelajaran apabila materi yang
disampaikan dengan kata-kata (verbal) terjadi pada kelas konvensional; (2)
mayoritas anak mampu mengingat dengan baik apabila mereka menangani atau
mengalaminya secara langsung; (3) siswa susah belajar sendiri karena
membutukan teman untuk sharing; (4) siswa belum memiliki kesadaran akan
pentingnya materi dan belum mengetahui terapannya dalam kehidupan
Model penyajian materi dalam pembelajaran matematika merupakan salah
satu faktor yang menarik untuk dikaji dan diteliti, karena ternyata di lapangan
secara umum penyajian materinya masih lebih banyak dalam bentuk memberikan
informasi, sedikit tanya jawab, otak anak dipaksa untuk mengingat dan menimbun
informasi tanpa dituntut untuk memahami informasi yang diberikan, guru sering
memberi tugas soal-soal matematika dengan konteks yang jauh dari realita
kehidupan sehari-hari (soal-soal rutin), sehingga kurang memberikan kesempatan
kepada siswa untuk mengembangkan daya pikirnya. Akibatnya siswa hanya pintar
menghafal rumus tapi salah dalam mengaplikasikannya, serta siswa tidak mampu
untuk mengkomunikasikan ide-ide yang dimilikinya kepada orang lain dan tidak
mampu memecahkan masalah-masalah dalam kehidupanya secara mandiri.
Dengan demikian perlu adanya pembenahan dan variasi dalam proses kegiatan
pembelajaran di kelas.
Dugaan rendahnya mutu pendidikan matematika tersebut terlihat dari hasil
TIMSS, PISA, hasil penelitian, serta hasil belajar siswa, maka menurut Ruseffendi
(2006: 7) mengatakan bahwa dalam proses pembelajaran matematika terdapat
sepuluh faktor yang mempengaruhi keberhasilan anak, kesiapan anak, bakat anak,
kemauan belajar, minat anak, model penyajian materi, pribadi dan sikap guru,
suasana belajar, kompetensi guru serta kondisi luar. Sanjaya (2007: 1)
mengemukakan bahwa dalam proses pembelajaran, anak kurang didorong untuk
mengembangkan kemampuan berpikir tetapi lebih diarahkan kepada kemampuan
Untuk itu perlu adanya perubahan paradigma pembelajaran yang mampu
mengeksplorasi seluruh kompetensi siswa dan melakukan kegiatan matematik
dengan lebih baik. Kegiatan matematika (doing math) merupakan suatu kegiatan
yang perlu dilakukan oleh siswa pada waktu mempelajari matematika. Melalui
doing math siswa diharapkan dapat menemukan kembali (reinvention)
konsep-konsep matematika secara bermakna pada materi yang diajarkan. Hal ini juga
memberi ruang kepada guru-guru agar berupaya dan mencari serta menemukan
alternatif-alternatif atau variasi dalam pembelajaran yang memungkinkan siswa
mampu memahami dan mempelajari konsep-konsep matematika.
Mengatasi kesenjangan antara harapan dan kenyataan seperti yang
dikemukakan di atas, diperlukan strategi, model, pendekatan atau metode yang
sesuai untuk melatih kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah matematis
siswa, dan melibatkan siswa secara aktif dalam pembelajaran. Model
pembelajaran yang efektif dalam pembelajaran matematika antara lain memiliki
nilai relevansi dengan pencapaian daya matematik dan memberi peluang untuk
bangkitnya kreativitas guru. Kemudian berpotensi mengembangkan suasana
belajar mandiri serta dapat menarik perhatian dan minat siswa. Hal ini dapat
terwujud melalui suatu bentuk model pembelajaran alternatif yang dirancang
sedemikian rupa sehingga mencerminkan keterlihatannya siswa secara aktif
melalui strategi REACT (Relating, Experiencing, Applying, Cooperating, dan
Transferring). Strategi ini merupakan strategi pembelajaran dengan pendekatan
Hull’s dan Sounder (Komalasari, 1996) mengatakan dalam pembelajaran
kontekstual siswa menemukan hubungan penuh makna antara ide-ide abstrak
dengan penerapan praktis di dalam konteks dunia nyata. Siswa mengintegralisasi
konsep melalui penemuan, penguatan, dan keterhubungan. Pembelajaran
kontekstual menghendaki kerja dalam tim serta dapat meningkatkan kinerja siswa.
Sounders (1999: 5-10) menjelaskan bahwa “pembelajaran kontekstual tersebut
difokuskan dengan digunakan strategi REACT (Relating, Experiencing, Applying,
Cooperating, dan Transferring)”. Selanjutnya Crawford (1999) mengatakan
bahwa yang dimaksud dengan Relating adalah pembelajaran yang dimulai dengan
cara mengkaitkan antar konsep-konsep baru yang sedang dipelajarinya dengan
konsep-konsep yang telah dikuasainya; Experiencing adalah pembelajaran yang
mebuat siswa belajar dengan melakukan kegiatan matematik (doing math) melalui
eksplorasi, pencarian, dan penemuan; Applying adalah pembelajaran yang
membuat siswa belajar mengaplikasikan konsep; Cooperating adalah
pembelajaran yang mengkondisikan siswa agar belajar bersama, saling berbagi,
saling merespon dan berkomunikasi dengan sesama temannya; sedangkan yang
dimaksud Transferring adalah pembelajaran yang mendorong siswa belajar
digunakan pengetahuan yang telah dipelajarinya di kelas berdasarkan pada
pemahaman. Pembelajaran matematika seperti ini selanjutnya kita sebut
pembelajaran matematika dengan strategi REACT.
Tim Dirjen Dikdasmen (Suhena, 2009) mengatakan pembelajaran dengan
strategi REACT adalah pembelajaran kontekstual, yaitu merupakan pembelajaran
nyata siswa, dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang
dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari sebagai anggota
keluarga/masyarakat. Melalui pembelajaran ini diharapkan kemampuan
komunikasi dan pemecahan masalah matematis siswa dapat meningkat. Dengan
peningkatan kemampuan ini siswa diharapakan dapat menjawab setiap tantangan
yang dihadapinya di sekolah maupun dalam kehidupan sehari-hari. Tantangan
yang dihadapi di zaman globalisasi seperti sekarang ini semakin kompleks,
demikian pula perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi yang
begitu pesat, tentu memerlukan sumber daya manusia (SDM) yang handal.
Banyak kemampuan matematis yang mendukung kemampuan tersebut yang dapat
dimiliki siswa, diantaranya kemampuan pemecahan masalah matematis yang
mendorong siswa untuk memahami masalah yang diperoleh serta mencari solusi
terhadap masalah tersebut kemudian hasilnya dapat dikomunikasikan secara baik
pada orang lain yang ingin mengetahuinya.
Kegiatan pembelajaran yang dipandang dapat memberikan kesempatan
kepada siswa untuk memahami, merencanakan, melaksanakan penyelesaian, dan
memeriksa kembali hasil pekerjaannya, adalah merupakan pembelajaran yang
tercakup dalam strategi REACT, karena dalam strategi ini juga siswa diberikan
masalah sehingga mereka mampu menghubungkan antar konsep baru yang sedang
dipelajarinya dengan konsep-konsep yang telah dikuasainya kemudian mampu
mengkomunikasikannya secara lisan dan tulisan. Selain itu juga melalui belajar
bersama dalam kelompok siswa diberi kesempatan belajar untuk melakukan
dihadapinya, yang selanjutnya siswa belajar mengaplikasikan yang telah
dipelajarinya ke konteks situasi baru yang belum dipelajari dengan berdasarkan
pemahaman.
Ditinjau secara umum, dengan upaya meningkatkan kemampuan
komunikasi dan pemecahan masalah matematis diharapkan tidak akan
menurunkan prestasi belajar siswa. Hal ini apabila kita melihat dari tujuan yang
ada pada kurikulum (standar isi) tuntutan akan kemampuan pemecahan masalah
dipertegas secara eksplisit yaitu sebagai kompetensi dasar yang harus
dikembangkan dan diintegrasikan pada sejumlah materi yang sesuai. Siswa yang
memiliki kemampuan komunikasi maka di dalamnya mereka memiliki
pemahaman tentang suatu konsep, kemampuan mengaitkan dengan konsep
sebelumnya sehingga siswa dapat menyampaikan ide yang mereka miliki secara
lisan atau tulisan, sedangkan siswa yang memiliki kemampuan pemecahan
masalah maka siswa akan terlatih berfikir tingkat tinggi, di mana siswa harus
mampu memahami konsep, mengaitkan dengan materi sebelumnya dan berlatih
untuk bernalar. Dengan demikian diharapkan dengan meningkatnya kemampuan
komunikasi dan pemecahan masalah siswa dapat memberikan sumbangan yang
besar bagi siswa dalam meningkatkan prestasi belajarnya.
Dalam penelitian ini, selain faktor pembelajaran (strategi REACT dan
konvensional), diduga ada faktor lain yang mempengaruhi atau berkonstribusi
terhadap peningkatan kemammpuan komunikasi dan pemecahan masalah
matematis. Faktor yang dimaksud adalah kategori kemampuan matematis (KKM)
dari sekelompok siswa yang tidak dipilih secara khusus (sebarang), akan selalu
kita jumpai siswa berkemampuan tinggi, sedang dan rendah. Menurut Piaget (Nur,
1998) mengatakan bahwa perkembangan kognitif sebagian besar siswa
ditentukan oleh manipulasi dan interaksi aktif siswa dengan lingkungannya.
Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa kemampuan komunikasi dan
pemecahan masalah matematis dapat membantu keberhasilan belajar matematika
dan meningkatkan prestasi belajar. Pembelajaran dengan strategi REACT
merupakan jembatan dalam proses pembelajaran matematika yang bertujuan
mengupayakan dapat meningkatkan kemampuan komunikasi dan pemecahan
masalah matematis siswa, selain itu strategi ini juga diharapkan dapat
mengakomodasi kemampuan siswa yang heterogen. Oleh karena itu, penulis
memfokuskan penelitian ini dalam melihat efektivitas strategi REACT dalam
upaya peningkatan kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah matematis
siswa Sekolah Menengah Pertama.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Apakah peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang
memperoleh pembelajaran dengan strategi REACT lebih baik daripada siswa
yang memperoleh pembelajaran konvensional?
2. Apakah tidak terdapat perbedaan kemampuan komunikasi matematis yang
signifikan ditinjau dari subkelompok tinggi, sedang, dan rendah pada
3. Apakah peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang
memperoleh strategi REACT, secara signifikan lebih baik daripada siswa
yang memperoleh pembelajaran konvensional ditinjau dari (a) kelompok
siswa berkemampuan tinggi; (b) kelompok siswa berkemampuan sedang; dan
(c) kelompok siswa berkemampuan rendah?
4. Apakah terdapat interaksi antara pembelajaran dan kategori kemampuan
matematis siswa terhadap peningkatan kemampuan komunikasi matematis
siswa?
5. Apakah peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang
memperoleh pembelajaran dengan strategi REACT lebih baik daripada siswa
yang memperoleh pembelajaran konvensional?
6. Apakah tidak terdapat perbedaan kemampuan pemecahan masalah matematis
yang signifikan ditinjau dari subkelompok tinggi, sedang, dan rendah pada
kelompok siswa yang memperoleh pembelajaran dengan strategi REACT?
7. Apakah peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang
memperoleh strategi REACT, secara signifikan lebih baik daripada siswa
yang memperoleh pembelajaran konvensional ditinjau dari (a) kelompok
siswa berkemampuan tinggi; (b) kelompok siswa berkemampuan sedang; dan
(c) kelompok siswa berkemampuan rendah?
8. Apakah terdapat interaksi antara pembelajaran dan kategori kemampuan
matematis siswa terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah
9. Bagaimanakah efektivitas strategi REACT dalam upaya peningkatan
kemampuan komunikasi matematis dan kemampuan pemecahan masalah
matematis siswa dalam pembelajaran matematika?
10. Apakah terdapat hubungan antara kemampuan komunikasi matematis siswa
dengan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa?
11. Bagaimana sikap siswa terhadap pembelajaran matematika dengan strategi
REACT?
C. Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran
tentang efektivitas strategi REACT terhadap peningkatan kemampuan komunikasi
matematis dan pemecahan masalah matematis. Secara lebih khusus penelitian ini
bertujuan sebagai berikut :
1. Menelaah perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa
yang memperoleh pembelajaran dengan strategi REACT dan siswa yang
memperoleh pembelajaran konvensional.
2. Menelaah perbedaan kemampuan komunikasi matematis antara siswa dengan
kemampuan matematika tinggi, sedang dan rendah pada siswa yang belajar
dengan strategi REACT.
3. Mengkaji perbedaan kemampuan komunikasi matematis antara kelompok
siswa yang memperoleh strategi REACT dengan siswa yang memperoleh
pembelajaran konvensional dilihat dari (a) kelompok siswa berkemampuan
tinggi, (b) kelompok siswa berkemampuan sedang, dan (c) kelompok siswa
4. Menelaah interaksi antara pembelajaran dan kategori kemampuan matematis
siswa terhadap peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa.
5. Menelaah perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis
siswa yang memperoleh pembelajaran dengan strategi REACT dan siswa yang
memperoleh pembelajaran konvensional.
6. Menelaah perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis
antara siswa dengan kemampuan matematika tinggi, sedang dan rendah pada
siswa yang belajar dengan strategi REACT.
7. Mengkaji perbedaan kemampuan pemecahan masalah matematis antara
kelompok siswa yang memperoleh strategi REACT dengan siswa yang
memperoleh pembelajaran konvensional dilihat dari (a) kelompok siswa
berkemampuan tinggi, (b) kelompok siswa berkemampuan sedang, dan (c)
kelompok siswa berkemampuan rendah.
8. Menelaah interaksi antara pembelajaran dan kategori kemampuan matematis
siswa terhadap peningkatan kemampuan pemecahan matematis siswa.
9. Menelaah sejauh mana efektif pembelajaran dengan strategi REACT terhadap
peningkatan kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah matematis
siswa.
10. Menelaah dan mendeskripsikan hubungan antara kemampuan komunikasi
matematis siswa dengan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa.
11. Mendeskripsikan sikap siswa terhadap pembelajaran matematika dengan
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi :
1. Bagi siswa, penerapan strategi REACT dapat meningkatkan kemampuan
komunikasi dan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa sehingga
diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari.
2. Bagi guru, penerapan strategi REACT dapat dijadikan salah satu variasi
pembelajaran di SMP untuk peningkatan kemampuan komunikasi dan
kemampuan pemecahan masalah matematis siswa di sekolah untuk
meningkatkan kualitas pembelajaran yang dilakukannya.
3. Bagi sekolah, dapat dijadikan salah satu bahan masukan dalam rangka
peningkatan kemampuan komunikasi dan kemampuan pemecahan masalah
matematis siswa di Sekolah Menengah Pertama.
4. Bagi peneliti, hasil penelitian ini dapat menjadi landasan berpijak dalam
rangka menindaklanjuti penelitian ini dengan ruang lingkup yang lebih luas.
E. Definisi Operasional 1. Efektivitas
Efektivitas adalah suatu ukuran yang berhubungan dengan tingkat
keberhasilan baik kuantitas maupun kualitas dari suatu proses tertentu. Efektivitas
berkaitan dengan keberhasilan tercapainya sasaran dan tujuan yang telah
ditentukan sebelumnya. Efektivitas yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
sejauh mana keberhasilan strategi REACT dalam upaya meningkatkan
2. Strategi REACT
Strategi REACT dalam penelitian ini adalah prinsip-prinsip pembelajaran
yang bertujuan untuk peningkatan kemampuan komunikasi dan pemecahan
masalah matematis.
a. Relating (mengaitkan)
Mengkaitkan konsep baru yang akan dipelajari dengan
konsep-konsep yang telah diajarkan.
b. Experiencing (mengalami)
Membangun konsep baru dengan cara mengkonsentrasikan
pengalaman-pengalaman yang terjadi dalam kelas melalui eksplorasi, pencarian, dan
penemuan.
c. Applying (menerapkan)
Menerapkan materi yang telah dipelajari untuk diterapkan atau digunakan
pada situasi lain yang berbeda merupakan penggunaan (apply) fakta konsep,
prinsip, atau prosedur.
d. Cooperating (kerjasama)
Bekerjasama dalam konteks saling tukar pikiran, mengajukan dan
menjawab pertanyaan, komunikasi interaktif antarsesama siswa, antarsiswa
dengan guru, dan bekerja memecahkan masalah dalam kelompok.
e. Transferring (mentransfer)
Kemampuan untuk menstransfer pengetahuan, keterampilan dan sikap
3. Kemampuan Komunikasi Matematis
Kemampuan komunikasi matematis dalam penelitian ini adalah (1)
kemampuan siswa menjelaskan ide atau situasi dalam bentuk gambar yang
diberikan dengandigunakan kata-kata sendiri dalam bentuk tulisan (Menulis); (2)
kemampuan menyatakan suatu persoalan secara tertulis dalam bentuk model
matematis (Ekspresi Matematis).
4. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis
Pemecahan masalah matematis dalam penelitian ini adalah (1) menerapkan
dan menggunakan berbagai strategi yang tepat untuk memecahkan masalah; (2)
memecahkan masalah matematika maupun dalam konteks lain yang berhubungan
dengan kehidupan sehari-hari; (3) menjelaskan atau menginterpretasikan hasil
sesuai permasalahan asal, serta memeriksa kebenaran hasil atau jawaban.
5. Peningkatan Kemampuan
Peningkatan yang dimaksud adalah peningkatan kemampuan komunikasi
dan pemecahan masalah matematis siswa ditinjau berdasarkan gain ternormalisasi
dari perolehan skor pretes dan postes siswa.
Gain ternormalisasi (g) =
Dengan kategori gain normal (g) menurut Meltzer (2002) adalah :
g < 0,3 = rendah
0,3 ≤ g < 0,7 = sedang
6. Pembelajaran Konvensional
Pembelajaran konvensional yang dimaksud dalam penelitian ini
merupakan pembelajaran ekspositori. Dalam pembelajaran ini guru menjelaskan
materi pelajaran, siswa mendengarkan dan mencatat penjelasan yang disampaikan
guru, siswa belajar tidak dalam kelompok, kemudian guru memberikan latihan
dan siswa mengerjakan latihan yang diberikan guru, dan siswa diperbolehkan
bertanya apabila ada pelajaran yang tidak dimengerti.
7. Sikap
Sikap yang dimaksud dalam penelitian ini adalah derajat kesetujuan dan
ketidaksetujuan terhadap suatu pernyataan tentang pembelajaran matematika
untuk melihat perubahan sikap siswa ke arah yang lebih baik dengan cara
membandingkan rata-rata skor sikap siswa hasil skala sikap dengan